9/22/06, Hudoyo Hupudio <<mailto:hudoyo [at] ...> hudoyo [at] ...> wrote:
[...] Ketika affair itu akhirnya diumumkan, kerugiannya sebanding dengan sejauh mana asumsi-asumsi kaku tentang K yang dipegang orang runtuh, bukannya dengan fakta-fakta dari hubungan itu sendiri. Para pengikutnya mengangkat dia kepada status bikinan mereka sendiri, seperti dulu dilakukan oleh kaum Teosofi, dan berupaya agar dia tetap berada di sana. Ketika mereka mendapati bahwa pakaian yang mereka buat tidak cocok dengan pribadinya yang sebenarnya, banyak yang menjadi marah.
Tentu saja rasa tidak senang mereka dapat dibenarkan seandainya K menghabiskan hidupnya berkhotbah tentang manfaat hidup selibat, dan mendukung kesakralan lembaga pernikahan. Sesungguhnya, ia tidak pernah mengajarkan kedua hal itu. Bahkan sebaliknya; ia sering kali mencemoohkan tradisi religius asketisme (pertarakan), baik Timur maupun Barat, sebagai sesuatu yang mengingkari kehidupan; ia tidak suka dengan penekanan secara artifisial dorongan-dorongan alamiah, mencemoohkan sumpah-sumpah kebiaraan akan hidup bebas dari seks[chastity] (yang dianggapnya sebagai pengumbaran ego), dan berkata bahwa mengingkari seks atas dasar pertimbangan keagamaan adalah seperti mengingkari keindahan penciptaan demi etika yang dibuat oleh manusia; keadaan itu merintangi emosi, membuat hidup gersang, dan membuat batin kita menjadi medan pertempuran. Mengenai masalah seks, pernikahan dan legitimasi keturunan, ia menyatakan, bahkan sejak 1933: "Dalam kebanyakan kasus, pernikahan hanyalah penyucian sikap
posesif [the sanctification of possessiveness], oleh agama dan oleh hukum. Misalkan Anda mencintai seorang perempuan; Anda ingin hidup bersamanya, memilikinya. Nah, masyarakat mempunyai undang-unda g yang tak terhitung yang membantu Anda untuk memiliki, dan berbagai upacara yang menyucikan sikap posesif itu. Suatu perbuatan yang Anda anggap dosa sebelum menikah, Anda anggap sah setelah upacara itu. Artinya, sebelum hukum mengesahkan dan agama menyucikan sikap posesif Anda, Anda menganggap tindakan persetubuhan itu ilegal, berdosa.-- Di mana ada cinta, cinta sejati, tidak ada masalah dosa, tidak ada masalah sah atau tidak sah."
Pernikahan tidak berarti banyak bagi K, tetapi ia sadar akan makna komitmen dalam suatu hubungan. Dalam tahun 1933, ia berkata bahwa ia akan bertanggung jawab bagi Rosalind dan Radha, yang berarti membuka hubungan mereka kepada umum dan menanggungkan skandal publik. Mereka berdua surut dari ide ini, dan affair tertutup itu pun berlanjut. Suatu titik kritis tercapai pada 1935, ketika Rosalind mendapati dirinya hamil. Dilakukan ebuah aborsi secara ilegal oleh seorang teman, seorang osteopath, bukan dokter. Rosalind dua kali lagi hamil dari K, yang pertama sekitar 1937, yang berakhir dengan keguguran dini, dan yang kedua pada 1939, yang lagi-lagi diakhiri dengan aborsi sembunyi-sembunyi. Mereka telah memutuskan untuk merahasiakan hubungan mereka, dengan demikian kemungkinan untuk menghasilkan seorang anak harus dihindarkan.
Sekalipun hubungan K dan Rosalind tidak bisa disebut tidak jujur, dalam arti tidak menyalahi ajaran-ajarannya, namun tidak bisa diingkari bahwa sejak saat itu K menjalani kehidupan ganda. Entah ia melindungi citranya sebagai figur orang suci dan mendorong ilusi dari para pengikutnya, seperti diklaim oleh Radha Rajagopal Sloss, entah ia sekadar melindungi Rosalind dan bayinya dari skandal, tidak bisa dibuktikan secara definitif, sekalipun klaim yang pertama berarti pengingkaran terang-terangan terhadap ajarannya sendiri, yang setidak-tidaknya tidak biasanya dilakukan oleh K. Suatu alasan yang lebih masuk akal bagi sikap merahasiakan hal itu adalah ketidaksukaan yang alamiah dalam dirinya akan segala sesuatu yang bersifat vulgar, untuk (seperti kadang-kadang dikatakannya tentang
hal itu) "memamerkan pakaian kotor kita di depan umum." Sejarah tidak akan melihat K dalam cahaya yang dulu lagi sebagai akibat dari pengungkapan tentang kehidupan pribadinya, tetapi tidak jelas apakah itu telah merugikan reputasi baik manusianya maupun ajarannya.
[...]