rekan Fabian yg baik,
di sini Anda sudah berat sebelah jg dg menyatakan bhikkhu2 yg menolak sutta2 tertentu itu "salah" ber-Ehipassiko!
apa Anda sudah ber-Ehipassiko benar sehingga tau bahwa menolak sutta tertentu hasil dari Ehipassiko yg salah?
Anda tidak memakai kata "sebagian" atau "beberapa" atau "mungkin" oleh Bhikkhu...
kalimat Anda ini bersifat menvonis langsung lho...
Saudara tesla yang baik,
Ehipassiko disini menurut saya secara harfiah berarti datang (
ehi) dan alami (
passati) sebenarnya ini lebih mengacu pada praktek... dasar katanya sama dengan
passana dari Vipassana...., Ehipassiko disini mengacu pada
sifat Dhamma yang bisa dimengerti setelah dipraktekkan, bukan dengan teori logika semata. Jadi maksudnya sifat Dhamma (bersama dengan
sanditthiko dan
akaliko bukan cara berpikir kita.
Sering orang berpikir untuk menolak lebih dahulu sebelum membuktikan, seharusnya membuktikan lebih dahulu.......baru..... bersikap.
Oleh karena itu bagi orang yang belum merealisasi Dhamma (belum mempraktekkan Dhamma), maka ia sebaiknya menerima dengan
"presume innocence", jangan langsung ditolak mentah-mentah begitu saja hanya karena ia belum mengalaminya. Pemikiran ini dilakukan oleh bhikkhu maupun umat awam (saya tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya)
sebaiknya rekan Fabian jg memulai dg tidak menerima ataupun menolak (yg fifty-fifty tsb).
saya tidak hanya belajar teori, dan menurut saya setelah berlatih meditasi lalu membandingkan kembali dengan sutta, saya tidak melihat bahwa hal itu bertentangan. Sepanjang meditasi yang kita lakukan adalah meditasi yang sejalan dengan kitab suci Tipitaka, bukan meditasi non Buddhis.
Saudara Tesla mungkin belum memahami maksud saya. Maksud tulisan saya adalah
ajaran Sang Buddha seringkali memerlukan praktek untuk bisa membuktikannya, jadi jangan kita menolak ajaran Sang Buddha hanya bila tidak sesuai dengan logika kita (karena Dhamma harus dialami, bukan di logika-kan), kita boleh tolak bila ternyata setelah dipraktekkan ternyata tidak sesuai, atau tidak membawa manfaat.
tampaknya rekan Fabian belum membaca mengenai kejanggalan dalam Mahaparinnibana sutta dalam thread ini:
Membaca Sutta secara Kritis
Saudara Tesla, saya sudah membaca thread tersebut, entah karena saya kurang kritis atau gimana, saya tidak mempermasalahkan Dhamma dan Sutta berbeda, karena Sutta adalah khotbah Sang Buddha dan para Arahat, dan Dhamma yang dimaksud adalah ajaran Sang Buddha
(bukan ajaran orang lain), jadi Dhamma dan sutta saya anggap sama, Dhamma yang diajarkan oleh para Arahat saya anggap sama saja dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha, karena Mereka semua adalah "penembus dhamma" Dhamma yang mereka realisasikan sama. Ini Senada dengan kata-kata Sang Buddha "who sees the Dhamma, see me"
Harus saya ulangi seperti yang ada dalam postingan saya, bukan berarti kita percaya membuta, maksudnya kita melihat Tipitaka secara positif, yaitu:
ini pandangan umat Buddha, ini referensi tertinggi.Tipitaka mungkin salah (ini yang dimaksud fifty-fifty), tetapi saya menganggap benar sebelum terbukti salah.
persis seperti kata rekan Fabian... bahwa Buddha menganjurkan utk membandingkan suatu ajaran apakah sesuai dg sutta & vinaya.
pertanyaan saya adalah: "Bagaimana bisa timbul anjuran yg merujuk ke sutta apabila sutta baru disusun setelah Sang Buddha parinibbana?"
Nah ini adalah perbedaan pandangan.
Setahu saya sutta tidak disusun, tetapi sutta disampaikan secara oral oleh Siswa-siswa Sang Buddha langsung, kemudian disampaikan secara oral dari guru ke murid (dari Bhikkhu senior ke bhikkhu junior) dan itu berlangsung hingga beberapa ratus tahun.Mengapa Tipitaka bertahan sekian lama? Karena
Tipitaka dihafal mati... !!! (sebelum akhirnya ditulis di daun lontar) oleh para siswa-siswa penghafal (
bhanaka) Jumlah Bhikkhu di masa lampau jumlahnya mencapai ratusan ribu sehingga menghafal Tipitaka tidak terlalu sulit jika penghafalannya dibagi-bagi oleh ribuan Bhikkhu (Kita lihat saja jumlah bhikkhu di Thai dan Myanmar) hafal mati inipun masih kadang dilakukan. Bahkan oleh umat, pada lomba baca Dhammapada misalnya (a,i,u harus dibaca pendek dsbnya).
pada periode-periode tertentu para siswa penghafal ini berkumpul dan mengulang kembali (konsili pertama dan kedua semua Arahat), mereka lalu menyaring mana sutta yang otentik dan yang tidak otentik (kriterianya adalah: yang pengertiannya tidak bertentangan dengan ajaran Sang Buddha / tidak bertentangan dengan sutta-sutta lainnya. Sutta tidak selalu khotbah Sang Buddha, tetapi bisa juga khotbah Arahat), kalau ingin lebih jelas mengenai hal ini boleh baca Dipavamsa, Mahavamsa, Kathavatthu dll)
jangan pula dianggap benar dulu yah... Smiley
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah
pandangan saudara Tesla saya rasa cukup fair... dan baik....
Tetapi pandangan saya agak berbeda, saya sudah mengatakan banyak sekali sutta yang saya bandingkan dengan pengalaman meditasi (maksudnya membaca kembali sutta-sutta lalu bandingkan dengan pengalaman meditasi yang lalu), ternyata sejalan. Demikian banyak guru meditasi Buddhis yang mempraktekkan meditasi lalu mereka setuju bahwa ajaran Sang Buddha yang termaktub dalam kitab suci Tipitaka ternyata benar setelah mereka praktekkan.
sejauh ini saya melihat bahwa memang tidak semua ajaran Sang Buddha yang masuk logika atau sudah saya praktekkan, contohnya mengenai surga dan neraka umpamanya, tetapi bukan berarti saya harus menolak kan? nah inilah contoh jelas sikap saya terhadap Tipitaka.
jangan lupa kalimat fifty-fifty tadi yah...
Iya benar... tapi jangan lupa juga "presume inocence" dongg... Semoga kita semua berbahagia
Semoga semua terbebas dari penderitaan
Iya deh tambahin biar lebih afdol....
sukhi hotu...