Mungkin kalau ditarik kesimpulan dari apa yang dikatakan bro Edward.
Intinya begini, gak ada maksud menghina Theravada di sutta ini. Karena bagi pemahaman Mahayana, Savaka dan Pancekkha Buddha (arahat) itu baru "setengah" jalan karena belum menolong makhluk lain.. Berbeda dengan pemahaman Theravada yang menganggap arahat itu sudah selesai.
Kalau ini dianalogikan ke suatu bus kota yang mengangkut penumpang dari Grogol ke Blok M.
Bagi yang rumahnya di Slipi, ya turunlah di Slipi. Namun bus itu tetaplah berjalan menuju ke Blok M dan mengangkut orang yang dari Slipi ingin menuju Blok M.
Saya rasa tidak ada paksaan dari bus kota, semuanya harus turun di Blok M. Apakah turun di Slipi salah ? Apakah turun di Blok M salah ? Saya rasa tidak ada salah, tapi lebih ke manfaat apa yang diperoleh dari turun di Slipi dan turun di Blok M. Dan semua nya itu kembali ke pribadi masing2.
Dan jika diambil lagi ilustrasi kedua, surga bukanlah tempat kekal bagi agama Buddha karena menurut versi Buddhism, ada lagi kondisi yang lebih tinggi yaitu Nibbana, namun hal ini berbeda dengan agama lain yang menyatakan surga adalah tempat yang kekal. Jadi dari pola pikir bro Marcedes, perlukah ditarik kesimpulan agama Buddha menghina agama lain ? Saya rasa tidak karena prinsip dasar agamanya sudah berbeda, dan prinsip dasar agama Buddha ada bukan untuk menghina agama lain.
Kesimpulan : Menganut Theravada / Mahayana ibarat seseorang yang ingin turun di Slipi / di Blok M atau bagi yang ingin menganut Buddhism / agama lain.. semua tergantung manfaat pribadi masing2 menganut Theravada / Mahayana. Dan tidak ada hina2an yang terdapat di dalam sutta ini.
Semoga dapat dipahami.
Saya sangat setuju kalau membahas polemik sesuatu itu berdasarkan dasar pegangan-nya. Dalam hal ini misalnya membahas tentang tingkatan-tingkatan ke-BUDDHA-an di dalam Mahayana beserta dengan peran dan apa yang dapat dilakukan oleh masing2 jenis BUDDHA, maka saya mengambil referensi dari SALAH SATU SUTRA UTAMA Mahayana yaitu Sutra Intan seperti yang saya kutip berikut ini :
Kemudian Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Dijunjungi, jika seorang laki-laki atau wanita bajik bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, bagaimana seharusnya dia bertumpu, bagaimana seharusnya dia mengendalikan hatinya?"
Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi. Saya kira di dalam kutipan di atas, tidak perlu kita tafsirkan macam macam dan cukup jelas pengertiannya. Dalam hal ini, dikatakan bahwa bahkan seorang bodhisatva tingkat tinggi (mungkin setara akan mencapai annutara samyaksambuddha), harus membebaskan "diri"-nya dari ciri ke-akuan dengan membuang jauh jauh semua keinginannya, bahkan keinginan mulia (chanda) yang sehalus mungkin seperti terma MEMBEBASKAN MAKHLUK HIDUP, karena apa
SAYA SETUJU dengan logika bahwa PADA DASARNYA TIDAK ADA MAKHLUK YANG DIBEBASKAN (OLEH MAKHLUK LAIN), Karena mengapa ?? KARENA DIRI SENDIRI-lah yang MENJADI PELINDUNG/PULAU dan MENJALANI JALUR KESUCIAN itu sendiri.
Para BUDDHA hanya menunjukkan JALAN, Masing-masing individu-lah yang menjalani arahatta magga (jalan pembebasan) itu. Jadi Term MEMBEBASKAN MAKHLUK ITU telah dan harus menjadi syarat untuk dibuang sebelum mencapai tingkat ke-BUDDHA-an....
Jangankan untuk bertekad kepada pikiran MEMBEBASKAN MAKHLUK, bahkan pikiran UNTUK MEMBEBASKAN DIRI SENDIRI juga harus tidak dilekati (seperti cerita pencapaian ke-BUDDHA-an Ananda yang sangat jelas kita lihat, yaitu ANANDA mencapai ke-BUDDHA-an/ARAHAT dalam postur setengah miring/akan berbaring yaitu ketika melepas keinginan pencapaian ARAHAT menjelang konsili Sangha I)...