Meditasi Itu Tidak Berguna
Walaupun saya hidup miskin, tapi saya dapat hidup tentram dan bahagia karena tekun dalam melatih mediatasi samatha-vippasana. Melalui meditasi samatha, saya bisa memperoleh ketenangan-ketenangan yang luar biasa. Ketenangan itu menyebar kepada orang-orang di sekeliling saya, anak, istri , orang tua, sahabat, teman dan saudara, siapapun yang berada di dekat saya, dapat merasakan atmosfer ketenangan yang memancar dari kekuatan jhana yang saya raih dalam meditasi. Dan dengan kebijaksanaan yang muncul dalam meditasi vippasana, banyaklah masalah hidup yang dapat teratasi. Rasanya ingin sekali berbagai kebahagiaan yang saya raih kepada semua manusia di dunia ini.
Dengan meditasi seseorang dapat memperoleh manfaat, ketenangan, kebahagiaan spiritual, kekuatan supranatural dan kebijaksanaan. Tapi akhirnya semua itu menjadi tidak berguna. Mengapa ? simak dulu kisah hidup saya di bawah ini, tentang 3 perempuan yang datang ke rumah!
Perempuan Pertama
Alkisah, ada seorang perempuan yang datang menemui saya untuk minta tolong. “saya tidak tahu harus bagaimana.” Katanya. Dia menangis tersedu sedan, karena anaknya ditangkap polisi, ketahuan mencuri. Saya menasihatinya untuk sabar, dan berkata, “semua orang menerima buah karmanya masing-masing. Tidak ada yang dapat dilakukan dengan apa yang sudah terjadi, karena apa yang telah lewat tidak dapat diulangi.” Tapi dia tidak dapat sabar, selalu gelisah mengingat nasib anaknya yang dipenjara. Akhirnya saya menawarkan kepadanya untuk bermeditasi, agar dia mencapai ketenangan. Lalu diapun mengikuti instruksi saya. Tapi baru 3 menit dia bermeditasi, dia berteriak keras, karena tangannya merasa terbakar. Ketika diulang untuk kedua kalinya, diapun berteriak kembali. Akhirnya dia menyatakan tak sanggup melanjutkan meditasi.
Dia minta tolong kepada saya agar anaknya bisa dibebaskan dari penjara. Tapi saya hanya bisa mengajarinya meditasi untuk menenangkan dirinya, serta bisa menasihatinya dengan segudang nasihat, tapi tidak dapat mengeluarkan anak laki-laki dari perempuan tersebut. Sedangkan perempuan itu selalu mengalami kejadian aneh setiap kali meditasi sehingga menyebabkan dia tidak sanggup melanjutkan meditasi. Akhirnya, tidak ada yang aku lakukan terhadap perempuan itu, kecuali diam saja.
Siang malam perempuan itu menangis tidak rela anaknya dipenjara. Suaminya yang merasa kasihan melihat perempuan itu selalu menangis, lalu dia pergi menuju rumah Bapak Abdul Karim, seorang kyai kaya raya. Rumahnya hanya berjarak 200 meter dari rumah saya. Bersama kyai Muda tersebut berangkatlah Bpk. Abdul Karim ke kantor polisi, dan anaknyapun bisa pulang. Saya tidak tahu, bagaimana caranya bisa begitu. Orang lain dapat menolong perempuan itu karena punya uang. Dan aku tidak dapat menolong perempuan itu, walaupun aku pandai bermeditasi. Akhirnya meditasi itu menjadi tampak tidak berguna, selain bagi diriku sendiri.
Perempuan Kedua
Lain waktu, adik perempuanku datang ke rumahku sambil menangis pula. Dia mengatakan bahwa anaknya telah dibawa kabur oleh suaminya ke rumah mertuanya. Adik meminta saya untuk mengambilkan anak itu dari mantan suaminya. Sayapun segera pergi bermaksud memenuhi permintaan sang adik. Sampai di rumah suami sang Adik, maka sebilah golok ditancapkan diatas meja, dan laki-laki itu bereriak, “kita duel dulu sampai mati, jika kamu ingin mengambil anakku.” Hati saya bergetar melihat golok yang sangat tajam itu. Tapi, kemudian cepat menenangkan diri dengan perhatian yang dipusatkan kepada nafas. Saya mencoba berbicara selembut mungkin padanya, tapi laki-laki itu semakin bringas saja. Saya berpikir, “saya seorang meditator, tak pantas melakukan aksi kekerasan.” Akhirnya saya pulang dengan tangan hampa.
Sesampainya di rumah, adikku bertanya, “kakak, mana anakku?” lalu adikku menangis setelah saya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Saya menasihatinya dengan banyak kata-kata, kadang-kadang berusaha menirukan kata-kata bijak sang budha yang saya baca dalam sutta-sutta. Tangis adikku mereda, sebelum kemudian dia pamit pulang. Tapi, ternyata dia tidak pulang. Karena beberapa saat kemudian ayahku datang dan berkata, “candra, susul kakakmu! dia pergi bersama adik perempuanmu dengan membaca golok. Takut terjadi apa-apa.” Saya terperanjat, dan segera bangkit, pergi untuk menyusul kakak laki-lakiku.
Sesampai di tempat, aku melihat sedang terjadi pertengkaran sengit. Laki-laki jahat, mantan suami adikku itu mengayunkan goloknya ke arah wajah kakak-ku, tapi dengan gesit kakak-ku menghindar. Dan gak tahu bagaimana gerakan detailnya, yang jelas akhirnya si laki-laki jahat itu terjatuh, lalu tak diberi ampun, dipukulin habis-habisan dan ditendang sampai minta ampun. Akhirnya, anak adikku yang masih berumur 5 tahun dapat diambil lagi. Saya hanya menyaksikan saja. Adik perempuanku menggendong anaknya. Saat dia berjalan melewatiku, dia tidak berkata sepatah katapun, hanya memandang sejurus dengan pandangan yang seolah-olah berkata, “aku tidak butuh nasihat bijakmu, aku butuh orang yang dapat mempertahankan hak ku sebagai ibu. Dan kamu adalah orang yang tidak berdaya, Cuma penjual nasihat.” Lalu diapun pergi. Pukulan keras dari kakak laki-lakiku ternyata lebih efektif untuk menyelesaikan masalah adikku dari pada nasihat bijakku yang panjang dan lebar itu. Tampaknya, meditasi-meditasi itu hanya berguna bagiku, tapi tidak bagi adikku.
Perempuan Ketiga
Lain waktu, ada lagi seorang perempuan datang ke rumahku dan minta pertolongan. Katanya temannya telah melahirkan seorang bayi di bidan. Tapi malangnya, suami temannya itu tidak bertanggung jawab. Dia kabur entah kemana. Sementara temannya itu tidak mempunyai sanak keluarga, ayah ibunya sudah meninggal. Dan kini, temannya itu tidak diperkenankan pulang, karena belum membayar biaya kelahiran. Bidannya tampak marah-marah dan jengkel. Mendengar ceritanya, sangatlah hatiku merasa kasihan. Tapi saya tidak punya uang untuk menolong.
Memberanikan diri saya menemui bidan tersebut, meminta agar perempuan yang melahirkan itu diizinkan pulang. Bidan itu mengizinkan setelah saya menaruh jaminan, kamera digital kesayangan saya. Sampainya di rumah kontrakan perempuan itu, saya bingung. Di rumah itu gak ada sesuatupun untuk di makan. Padahal perempuan yang baru melahirkan butuh makanan bergizi untuk memulihkan kesehatan tubuh. Akhirnya, walaupun tak banyak uang saya miliki, saya memaksakan diri untuk membeli susu bayi, beras, minyak tanah dan minyak kelapa, cukup untuk satu dua hari saja.
Singkat cerita, kehidupan perempuan itu sangat sulit. Sayapun sangat sulit untuk menolongnya. Akhirnya perempuan itu memutuskan untuk menyerahkan anaknya kepada siapa saja yang mau merawat. Maka saya menawar-nawarkan bayi itu kepada sahabat, teman dan saudara. Tak mudah saya menawarkan. Saya harus menilik dan menilai orang itu dulu. Jika saya dapat melihat bahwa orang itu baik-baik, memiliki sikap bijak dalam merawat anak, maka saya baru berani menawarkan anak kepadanya.
Akhirnya, ada sahabat saya yang istrinya begitu menginginkan mengadopsi anak tersebut. Karena bayi itu laki-laki dan pasang suami istri tersebut belum memiliki anak laki-laki. Dibelakang, suaminya berkata, “saya, sangat ingin memenuhi impian istri saya untuk bisa mengadopsi anak laki-laki. Tapi saya khawatir tak mampu membiayai-nya.”
Saya berkata kepadanya, “keputusan ada ditangan anda. Tapi kalau menurut saya, setiap anak itu ada rezekinya. Segala sesuatu ada rezekinya. Perhatikan saja, kodok yang tidak terbang, makanannya nyamuk yang dapat terbang. Pepohonan yang tidak bergerak, tetapi makanan menghampirinya.”
Mendengar nasihat saya, wajah sahabat saya itu berseri, “kalau begitu, saya akan mengadopsi anak itu.” Saya heran, mengapa dia tampak percaya sekali dengan kata-kata saya. Apa yang saya katakan, sepertinya langsung dia “imani”. Tak tahulah, kalau dia akan mengalami hidup yang sangat sulit.
Akhirnya bayi itu diserahkan oleh ibunya kepada sahabat saya. Keluarga itu tampak menyayangi anak adopsi tersebut. Di situ ada tiga anak perempuan yang menjadi kakak angkat bagi bayi tersebut. Tiga anak perempuan itu satu sudah smu, satu masih kelas 2 SD, dan yang terkecil belum sekolah. Semuanya tampak bahagia.
Baru tiga bulan mengadopsi bayi tersebut, keluarga itu terpuruk secara ekonomi. Biasanya, ketika saya berkunjung ke rumah sahabat saya itu, keceriaan tampak di sana. Wajah yang riang gembira dapat saya saksikan. Kini, bila saya mampir ke rumahnya, suasanya jadi redup. Keceriaan yang seperti dulu gak terlihat lagi.
Sahabat saya itu di PHK oleh perusahaannya. Sementara itu dia belum berpengalaman dalam berwiraswasta. Lagi pula tidak ada modal untuk melakukannya. Intinya, kehidupan mereka sangat sulit. Setiap hari bagi mereka merupakan perjuangan hidup dan mati. Kadang-kadang, mereka dapat membeli susu bagi bayi itu kadang-kadang tidak. Dalam kesulitannya itu, saya membantu sedikit-sedikit. Tapi amatlah jauh dari cukup. Malam ini, dirumahnya sudah tak ada beras dan tak ada susu untuk bayi. Saya memberinya uang Rp. 20.000. itupun uang terakhir di saku saya. untuk membeli susu SGM yang 300 gr saja, uang sejumlah itu tidak cukup, kurang Rp. 1.000,-. Kalau dia membelikan uang itu untuk susu, maka bagaimana caranya dia dapat membeli beras? Kalau dia membeli beras, maka bagaimana caranya dia membeli susu? Kegelisan dan kebingungan tampak diwajahnya.
Ditengah kesulitannya itu, saya mencoba untuk memberikan nasihat-nasihat bijaksana. Mencoba menenangkannya dan mengajarkan meditasi ketengan kepadanya, sampai dia mampu menenangkan diri. Suatu malam, hujan-hujan, dia datang ke rumah saya, kemudian saya tanya, “bagaimana perkembangan meditasi anda saat ini?”
“alhamdulillah, saya dapat menenangkan diri sekarang. Jika sudah memusatkan perhatian ke nafas, nikmaaat sekali rasanya. Dan sayapun dapat tidur nenyak. Kata sahabat. Tapi tetap saja, krisis ekonomi keluarga saya belum teratasi. Bagi saya, biarlah saya hidup dalam kegelisahan asal anak dan istri saya dapat makan.” Begitulah katanya. Rupanya dia telah membuktikan bahwa meditasi yang saya ajarkan itu mampu memberi ketenangan baginya. Tapi tetap saja akhirnya hal itu tidak berguna bagi dia.
Lalu saya mengajarinya meditasi vippasana. Saat itu pukul 10 malam. Sulit sekali dia mengerti. Ketika dia melakukan meditasi vippasana, tampaknya dia malah mengalami depresi. Lalu saya mengarahkan dia untuk melakukan meditasi samatha, agar dia tenang kembali. Maka tenanglah dia. Dari wajah dan auranya, tampak dia telah mengalami ketenangan. Tapi lalu tiba-tiba dia bangkit dari duduk. “bahaya, bahaya, bahaya!” katanya, “meditasi ini menenangkan sekali. Membuat saya lupa banyak masalah. Bahkan saya lupa kalau saat ini dirumah, kami tidak punya beras dan juga susu bayi. Saya tidak ingin menjadi tenang dalam mediatasi dengan ketenangan yang membuat saya lupa pada masalah hidup yang harus saya atasi. Maaf! Saya tidak bisa duduk lebih lama lagi di sini, saya harus pergi mencari sesuatu yang bisa dimakan anak istri saya di rumah.”
Sebelum pergi, saya menasihatinya, “jangan mengeluh kepada orang kaya, karena umumnya orang kaya tidak mau diganggu dengan keluhan orang miskin. Kamu hanya akan mendapat kebencian dari pada belas kasihan. Cari saja orang yang lebih miskin dari mu agar kamu dapat bersyukur dengan keadaanmu sekarang ini.”
“saya harus mencari orang yang bisa memberi pinjaman uang.” Katanya.
“kalau begitu, carilah orang kaya!” saya.
Entahlah kemana perginya sang sahabat. Saya tidak tahu, apakah setelah seharian istrinya menunggu sang suami pulang, apakah suaminya pulang dengan membawa sesuatu yang bisa di makan? Sedangkan saya bukannya saya tidak mau menolong dia, tapi bagaiamana. Sementara saya juga tidak punya uang sepeserpun. Beras terakhir, sudah di masak. Dan susu bayi tinggal sedikit. Kondisi ekonomi saya tidak jauh dari kondisi ekonominya.