Topik Buddhisme > Pengalaman Pribadi

"Kosong = Isi, Isi = Kosong"

(1/133) > >>

Sunya:
Topik ini saya buat untuk menyoroti kalimat "kosong = isi, isi = kosong", yang menjadi perdebatan di thread sebelumnya: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23460.new.html#new

Sekedar saran dari saya sebagai pembuat topik, ada baiknya bila ingin memberikan pendapat/pandangan, sanggahan, dlsb, agar ditunjang/dilandasi dengan pengetahuan (prajna/wisdom) dari meditasi (khususnya vipassana). Karena bila membahas sesuatu berkenaan dengan kebenaran, terutama yang sulit dijangkau oleh intelektual, maka samadhi menjadi jalan keluar yang baik (menurut saya).

Bila hanya menggunakan intelektual, dikhawatirkan terdapat banyak batasan; dari pengalaman tiap makhluk yang subyektif, tingkat kemampuan berpikir yang berbeda-beda, ego (LDM) yang setiap saat bisa mempengaruhi pandangan (delusi), dan banyak faktor-faktor mental non-konstruktif lainnya yang berpengaruh terhadap pencarian dari kebenaran itu sendiri.

Baiklah, tanpa panjang lebar lagi, mari langsung masuk pada pembahasan, "kosong = isi, isi = kosong".

Terlepas apakah kalimat ini valid atau tidak, secara historis diakui/tidak, kejelasan sumber literatur, dsb...

Saya hanya akan membahas dari perspektif Sunyata (dalam korelasinya dengan thread sebelumnya).

Jadi topik ini fokus pada esensi kalimat "kosong = isi, isi = kosong", bukan kevalidan secara konvensional, historis literatur, dsb.

Mari langsung pada makna tulisan ini: "kosong = isi, isi = kosong". Apakah maksud tulisan itu ditinjau dari pemahaman (khususnya penembusan/realisasi) Sunyata?

Saya akan lanjutkan di postingan berikutnya.

cumi polos:
sebelum lebih jauh.. coba jelaskan dgn detail apa itu :

1 Sunyata
2 Realisasi
3 Realisasi Sunyata
4 Kosong
5 Isi

trims sebelumnya...  _/\_

6 kalau ada kosong dan isi, apakah ada 1/2 kosong dan 1/2 isi ?
7 kalau kosong = isi, isi = kosong, bagaimana mengetahui mana yg kosong, mana yg isi ?

Sunya:
Dalam hakikat Sunyata (dapat diselami via meditasi vipassana), sebenarnya semua fenomena tanpa kecuali adalah muncul dari saya, termasuk keberadaan saya sekarang (dalam kesadaran ini, berkarakter tertentu, punya pengalaman yang sudah lewat tertentu, menyadari keberadaan saya sekarang, serta juga punya impian/cita-cita untuk di masa depan saya).

Jadi keberadaan saya sekarang (kesadaran + faktor mental lainnya + fisik/rupa/bentuk saya), bahkan juga makhluk-makhluk di sekeliling saya (yang mana ada dalam persepsi saya), adalah hasil/akibat perbuatan saya sendiri (lewat pikiran, ucapan, maupun tindakan).

Saya persingkat, langsung ke korelasinya dengan "kosong=isi, isi=kosong", bahwa setiap fenomena ada karena sebab, bahkan saya (dalam kesadaran ini), ada juga karena sebab yang lain (ini yang tidak dijelaskan secara terperinci oleh Buddha Gautama, dengan mempertimbangkan tingkat pemahaman makhluk yang masih terlalu jauh untuk mengerti).

Karena saya ada akibat/hasil dari sebab yang lain, atau segala tentang Anda saat ini adalah hasil karma Anda di masa lalu, maka Anda yang sekarang sebenarnya "tiada".

Memang mirip nihilisme (anihilasi), tapi bukan ini yang saya maksud.

Bila seseorang telah terbebas (dari ketidaktahuan/avidya), maka Ia (huruf kapital) sesungguhnya akan menyaksikan dirinya sendiri, berkutat (interaksi) dengan unsur-unsur lain (skhandas), dalam sebuah permainan "tidak-menguntungkan" (makanya disebut Dukkha).

Dan potensi (tidak saya bahas di thread ini) Dia ternyata jauh lebih besar dari yang dapat dibayangkan dan diketahui oleh Ia sebelumnya.

Karena itu, Kosong = Isi, berarti:

Dalam ketiadaan (Tiada Aku, tapi bukan kemusnahan/nihilisme), ada fenomena (yaitu kehidupan ini beserta makhluknya, termasuk "saya" dalam gabungan skhandas/agregat).

Isi = Kosong, artinya:

Dalam kewujudan ini (keberadaan/kehidupan yang seolah tanpa akhir ini), sesungguhnya mereka bukan (tiada) apa-apa, atau (kita kenal dengan) Anatta.

Makhluk-makhluk itu semua sunya (kosong), karena jika mereka mencapai Kebuddhaan (Ia/Mereka dengan huruf kapital), maka identitas yang Mereka kenai (pakai) saat ini adalah tidak "valid" (mungkin ada kata yang lebih tepat, saya tidak menemukannya saat mengetikkan ini).

Mengapa?

Karena identitas yang Mereka kenakan saat ini, adalah: Karma (Proyeksi) dari diri Anda (masing-masing) sendiri.

Tanpa karma yang tepat, dalam kehidupan Anda tidak akan pernah ada sosok pemuda yang meninggalkan istana demi bertapa, lalu (disebut-sebut) mencapai kesempurnaan, dst...

Tidak akan ada itu. Bahkan, bila Anda lahir sejaman dengan Beliau (mengesampingkan faktor bahwa Anda terlahir sebagai seekor lalat atau kucing), Anda tidak akan pernah dengar, atau dengar tapi tak signifikan bagi Anda, atau bahkan dengar tapi berujung petaka bagi Anda (seperti kasus Cinca-manavika dan Devadatta).

Jadi, apakah Buddha itu mutlak adalah Guru bagi setiap insan (makhluk)?

Jawabannya, tergantung (tergantung apa karma Anda, memungkinkan atau tidak meresapi dharma dari Guru Agung Buddha Gautama).

Jadi (maka disebut/dikatakan) Buddha itu pun, Sunya dari sifat hakiki, atau, (apapun itu) tergantung siapa subyek yang mencerap/memproyeksikannya.

Sampai disini, semoga tidak terlalu melelahkan.

Besok saya lanjutkan. Silakan komentari dengan arif.


Terima kasih.

cumi polos:
sambil menunggu 7 jawaban yg singkat, jelas, dan padat... ;D

jangan panjang2, capek bacanya... brooo :-[

adi lim:

--- Quote from: Sunya on 04 December 2012, 09:59:26 PM ---Saya persingkat, langsung ke korelasinya dengan "kosong=isi, isi=kosong", bahwa setiap fenomena ada karena sebab, bahkan saya (dalam kesadaran ini), ada juga karena sebab yang lain (ini yang tidak dijelaskan secara terperinci oleh Buddha Gautama, dengan mempertimbangkan tingkat pemahaman makhluk yang masih terlalu jauh untuk mengerti).


--- End quote ---

bro Sunya, Tipitaka sudah baca semua ! :o,
kok tahu Buddha Gotama tidak menjelaskan secara terperinci !  ???
walaupun Tipitaka tidak wajib untuk dibaca dan dihafal keseluruhannya ataupun sebagian saja.  :)

menurut saya tidak mungkin juga dijelaskan semua fenomena yang ada disetiap mahluk manusia
karna memang tidak akan membawa manfaat bagi pembebasan.

Dhamma Vinaya yang di 'patenkan' para Arahant pada Konsili Pertama yang dipimpin Bhikkhu Mahakassapa, sudah lebih dari cukup sebagai pedoman bagi mahluk manusia untuk pembebasan dari penderitaan.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version