Terakhir juga
kalo boleh saya simpulkan, yg anda maksudkan dengan "asas praduga tidak bersalah" di atas adalah sikap yg memilih untuk percaya kepada isi kitab2 di atas walaupun kebenarannya belum atau tidak terbuktikan dan nalar tidak boleh bertentangan dengan "kebenaran" yg terdapat dalam kitab2 tersebut...
Kebenarannya belum terbukti -> keragu-raguan
Di sini prinsip kehati-hatian saya pegang. Karena keragu-raguan adalah penghalang, bagaimana orang bisa tercerahkan jika tidak percaya (saddha, bukan membabi buta) karma dan kelahiran kembali?
kelahiran kembali... alam dewa... mara... tidak masuk akal bagi sebagian orang karena belum dialami. tidak masuk nalar. saya hanya mengatakan nalar belum tentu benar sepenuhnya.
Masalahnya, adalah ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan sekarang, seperti Tavatimsa.
Benar atau salah tidak tahu, tetapi konon para bijaksana telah membawakan hal tersebut.
seperti cara berpikir yg terdapat dalam kalama sutta dan jalan tengah, saya merasa segala sesuatu harus diragukan dulu, tidak langsung dianggap kebenaran dan juga tidak ditolak. segala yg ada di tipitaka dan kitab komentarnya tidak langsung disertifikasi sebagai kebenaran seperti yg anda sebutkan di atas.
Demikian juga dengan tulisan Anda. Apakah anda pernah baca Kalama Sutta? Di Tipitaka bagian mana Sang Buddha menyatakan ajaranNya harus diragukan atau diterima? Tetapi Beliau mengatakan perkataan para Bijaksana digunakan sebagai pertimbangan dan masukkan. Mungkin ada baiknya anda baca dulu Kalama Sutta dan Tipitaka dengan baik.
Meskipun demikian, saya juga menelaah dan menjalani Tipitaka dan kitab komentar sesuai dengan prinsip dan semangat Kalama Sutta.
well, dalam hal ini tampaknya anda me-misquote secara kurang akurat sumber2 di atas, tapi itu urusan anda dengan sumber2 tersebut
Darimana saya miss-quote secara kurang akurat?
Tulisan Pak Hudoyo bisa anda cari di sini.
Tulisan Mettanando bisa anda cari di Internet : The First Council and Suppression of Bhikkhuni Order dan juga How Buddha Died
Ceramah Ajahn Maha Boowa bisa anda cari di Internet : Maha Boowa Eternal Citta, dan satu-satunya pembelaan yang masuk akal adalah : Ajahn kami adalah Arahat. Jika Sutta bertentangan dengan Ajahn kami, maka sekianlah nasib Sutta.
Buddhadasa juga bisa anda cari di Internet : Buddhadasa deny rebirth.
Saya juga tidak sembarangan percaya begitu saja, saya buktikan dulu, mana yang baik, benar, berguna, dipuji para bijaksana, membawa manfaat.
Saya melihat berkembangnya sikap conservatism dan skolastik dalam pengajaran dan pembelajaran buddha dhamma, terutama -tapi tidak terbatas hanya- dalam lingkungan tradisi theravada. saya banyak melihat dan mengamati yg terjadi dalam agama2 lain (sebagai orang luar, kita bisa melihat lebih jernih tanpa subjectivitas) betapa kekuatan otoritas buku2 dan pemuka agama menghambat kebebasan berpikir dan kemajuan spiritual penganutnya. agama yg seharusnya dibuat untuk manusia berbalik menjadi manusia semata2 digunakan untuk kejayaan agama, sebuah label. saya melihat kecenderungan yg sama pada agama buddha sejalan dengan intensitas conservatism dan pengajaran agama secara skolastik. semakin terbelenggu pada kedua hal ini, semakin kuat pasungan yg ada pada pikiran penganutnya dan malah ada kecenderungan pada sikap2 intoleransi dan pemaksaan kehendak pada ajaran2 lain yg tidak sama...
Sama dong. Tapi saya melihat juga mereka yang sangat energik dan terbuka, tanpa label dan tanpa batas, mereka yang mempraktekkan, melihat secara jernih, konservatifisme ini, dengan tujuan menegakkan kebenaran, demi kebahagiaan banyak makhluk.
Saya melihat bahaya yang mungkin terjadi. Karena tidak tahu, karena tidak sesuai nalar, lantas menyatakan sesuatu sebagai yang salah. Ada sebab maka ada akibat. Bukan kesombongan, ketidak-pedulian. Peace.