Rekan - rekan dhamma yang saya hormati,
Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita review
presupposition berikut :
1. Setiap individu ada benih - benih kebuddhan
2. Setiap individu menginginkan kebahagiaan
3. Thread ini bersifat untuk direnungkan.
Terkait dengan fenomena Buddha Bar yang sedang berlangsung, saya terinspirasi untuk menuangkan kata-kata yang ada dalam pikiran saya dalam thread baru ini, soalnya ketika saya coba reply pada thread terkait, ternyata sudah di lock. Lalu saya coba buka thread baru....
Dalam kehidupan ini, kita semua mempunyai pengalaman hidup yang berbeda - beda, ada pengalaman langsung dan ada pengalaman tidak langsung (yg kita ambil hikmahnya dari pengalaman yang di alami orang lain).... pengalaman - pengalaman yang masuk melalui pintu gerbang pengetahuan ini lah yang berperan serta dalam membentuk karakter dan sikap setiap orang.
Kadang begitu terkungkungnya kita, bagaikan katak dalam tempurung yang cakrawalanya hanya sebatas luas dari tempurung itu. Maaf, saya tidak menuduh, tapi karena itu pernah menjadi pengalaman hidup saya.
Kadang kita baru membaca sepenggal sutta, sepenggal paritta, sepenggal kheng, sepenggal dharani. Kita sudah berani mengambil kesimpulan, ini bukan asli, ini bukan karya Sang Buddha, ini palsu, ini Buddhist sesat.
Kita sering lupa mempertimbangkan kontek dan/atau konten dari sebuah sutta dan tindakan kita dalam kehidupan sehari - hari.
Karena masih berkhayal, maka saya menggunakan paradigma khayalan. Contoh sederhana, Kita melihat seseorang (A) sedang bersembunyi dibelakang tembok, dan kemudian kita dihampiri seseorang (B) dan bertanya, apakah kita melihat dimana A dgn ciri2 yg B jelaskan, sekelumit "khayalan" berkecambuk dalam pikiran kita. Kita berada diambang
membuat/mengambil sebuah keputusan. Beberapa keputusan yang terlintas dalam pikiran yaitu :
1. Memberitahukan
2. Mengisyaratkan ketidaktahuan
3.
Mislead si B (mengarahkan ke arah yang salah)
4. dan mungkin masih ada ide yang lain.
(tidak usah dijawab) karena ini bukan test psikologi...
Faktanya apapun yang kita lakukan itu ada konsekuensinya
Kita sering memperdebatkan apa yang masih berbentuk khayalan, maksud saya sesuatu yang belum tentu akan terjadi seperti yang kita pikirkan. Dan diakhiri dengan tanpa kesimpulan untuk kebaikan dan kebersamaan kita. Kok malah dicap "inilah wajah - wajah yang mengaku buddhist, bla - bla dkk" maaf saya tidak menyerang individu, tapi mengambil sebuah statement yang framenya tidak jelas. Maaf, saya juga akan menggunakan pernyataan khayalan, saya fikir, Sang Buddha tidak pernah bersabda "Setiap orang yang akan mencapai kesempurnaan harus melalui AKU, dan hanya Aku" atau "Setiap orang yang ingin menuju ke Nibbana, harus menggunakan kereta berlabel Theravada/Mahayana/Tao/Khong Hu Cu/Tantrayana." Saya tidak bermaksud menimbulkan pertentangan dan perdebatan lebih lanjut namun mari kita sama-sama merenung dan merenung bersama-sama.
Lingkar roda sepeda berfungsi ketika masing - masing jari-jari berada pada posisi yang berbeda - beda namun bertemu/berkumpul di poros tengah. Bapak/Ibu yang saya hormati, apakah itu naif, ketika saya dan mungkin orang - orang yang lain merindukan sebuah persatuan dalam sebuah sanggha yang bernama umat Buddha ?
Ketika kita protes dengan Buddha Bar, framenya apa ? silahkan kita lihat, ini berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, maaf, jangan melontarkan bahwa Sang Buddha melarang umat buddha berpolitik juga loh...
Apakah kasus BB diboncengi oleh orang - orang tertentu, itu persoalan yang lain, namun juga merupakan reaksi dari aksi yang lain. Kembali lagi, adalah konsekuensi sebuah kejadian.
Saya coba sajikan cuplikan dari Sakkapanha Sutta sebagai berikut :
"Raja dewa, khayalan 2) adalah penyebab dan sumber dari pengarahan pikiran. Inilah yang melahirkan pengarahan pikiran terjadi. Karena khayalan maka pengarah pikiran kita ada, dan bila khayalan tidak ada maka pengarahan pikiran pun tidak ada."
14. "Bhante, bagaimanakah para bhikkhu yang mengikuti jalan kebenaran dapat melenyapkan khayalan ?"
"Raja dewa, ada dua macam Somanassa (pleasure) 3) yang saya nyatakan, yaitu yang perlu dikembangkan dan yang tidak perlu dikembangkan. Ada dua macam domanassa 4) yang saya nyatakan, yaitu perlu dikembangkan dan yang tidak perlu dikembangkan. Juga ada dua macam upekkha 5) yang saya nyatakan, yaitu yang perlu dikembangkan dan yang tidak perlu dikembangkan.
Perbedaan dari Somanassa yang saya nyatakan adalah yang didasarkan pada : Bila mengembangkan Somanassa, kemudian melihat hal-hal buruk 6) berkembang, sedangkan hal-hal baik 7) berkurang, maka Somanassa demikian tidak perlu dikembangkan ; tetapi bila mengembangkan Somanassa, kemudian melihat hal-hal baik berkembang, sedang hal-hal buruk berkurang, maka Somanassa demikian perlu dikembangkan.
Dari Somanassa yang disertai pengarahan pikiran dan khayalan, dan Somanassa yang tidak disertai kedua faktor itu, maka yang terakhir inilah yang terbaik.
...........begitu juga dengan penjelasan Domanassa dan Uppekha.Lalu maksud saya apa?.... Segala sesuatu yang kita pikirkan, ada konsekuensinya Bapak/Ibu. Bagi kita tidak berguna, bagi orang lain mungkin berguna. Seperti halnya mengejar kekayaan juga ada konsekuensinya, bukan hanya seputaran kemelekatan saja namun banyak hal-hal lain yang mengikutinya, yang menjadi landasan untuk seseorang itu berusaha, bekerja, berbisnis apapun ceritanya. Jadi tidak fair kalau labeling seseorang dengan kecap "kemelekatan", karena masih ada point - point pertimbangan lainnya.
Karena dalam arti Lobha itu sendiri, terjemahannya masih bervariasi, serakah, craving, attachment.
Cuplikan selanjutnya dari Sakkapanha Sutta "Raja dewa, apakah kau mengakui bahwa kau telah menanyakan pertanyaan yang sama ini kepada para pertapa dan brahmana lain?"
"Ya, Bhante."
"Bilamana tidak keberatan, katakanlah kepadaKu apakah jawaban mereka kepadamu?"
"Tidak, sedikitpun tidak keberatan, bila Sang Bhagava atau orang yang seperti Dia mendengarkan apa yang akan saya katakan."
"Katakanlah, raja dewa."
Terlepas pro dan kon atas konteksnya (apakah salah terjemah atau tidak), Seorang Sammasambuddha saja masih menanyakan perihal keberatan atau tidaknya Raja Dewa (yang notabane) posisinya masih dibawah level Buddha, untuk memberikan jawaban.
Setelah mendapatkan jawaban, timbul pikiran "nakal" saya untuk berandai - andai (berkhayal)...Apa kata dunia, seandainya setelah dari Raja Dewa, Sakka memberikan pernyataan/jawabn...Sang Buddha kemudian memberikan argumen sebagai berikut :
Sudah saya duga, beginilah wajah - wajah yang mengaku pertapa dan brahmana yang ada di dunia.Another cuplikan :19. "Raja dewa, apakah yang ada dalam pikiran ketika kau mengakui mengalami kepuasan dan kebahagiaan seperti itu?"
"Bhante, ada enam hal yang ada dalam pikiran ketika saya merasa puas dan bahagia :
Guru para dewa dan manusia, yang sempurna dalam pengetahuan, yang memiliki kekuatan abhinna saja masih bertanya.
Sedangkan, kita yang masih belajar saja sudah berusaha menjadi
mind reader... shame on us....shame on us......
Masih banyak nilai - nilai yang bisa kita pelajari dari Sakkapanha Sutta. Terjemahan sutta ini saya dapatkan di website Samaggi-Phala. Mungkin akan bermanfaat untuk rekan - rekan.
Detach things through wisdom
Harmony in and out for happy life.
Svatti hottu,
Johny