Sabtu, 21/03/2009 14:05 WIB
Kronologi Munculnya Buddha Bar di Bekas Kantor Imigrasi
Ken Yunita - detikNews
Jakarta - Keberadaan Buddha Bar di Menteng, Jakarta Pusat menuai banyak protes. Selain menggunakan nama dan ornamen Buddha, bar itu juga diprotes karena menggunakan bangunan yang notabene termasuk bangunan cagar budaya atau dilindungi.
Menurut rilis yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Departemen Agama yang dikutip Sabtu (21/3/2009), pemanfaatan gedung bekas kantor Imigrasi DKI Jakarta itu berawal dari ide Sutiyoso saat menjabat Gubernur. Saat itu, Bang Yos, demikian dia biasa disapa ingin merenovasi dan memanfaatkan gedung tua di Jalan Teuku Umar No. 1 Jakarta Pusat itu.
Untuk mewujudkannya, diadakanlah lomba kepada masyarakat umum untuk dapat merencanakan, merenovasi, dan memanfaatkan gedung itu agar lebih baik. Kepada pemenang, nantinya akan diberi kesempatan untuk mengelola tempat itu sebagai bisnis yang berhubungan dengan pariwisata.
"Maka keluar pemenang pertama JF yang merupakan pemilik Tanah Abang Plaza dan pemenang kedua A, pemilik hotel Tugu, Malang, Jawa Timur," kata Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha Budi Setiawan dalam rilisnya.
Kedua pemenang akhirnya bersepakat untuk membuka usaha hiburan dengan nama Buddha Bar. "Pak JF akhirnya menghubungi pusat Buddha Bar di Paris untuk bisa membuka franchise di Jakarta dan juga mengusahakan izin-izin dan rekomendasi dari institusi yang berwenang," lanjut Budi.
Dari situlah, penolakan terhadap Buddha Bar mulai terjadi. Sekelompok massa mengatasnakaman mahasiswa Buddha sempat beberapa kali mendemo agar bar tersebut ditutup.
Bahkan Indonesia Corruption Wacth (ICW) mengendus adanya penyimpangan dalam pemanfaatan gedung cagar budaya tersebut. Mereka meminta KPK untuk mengusutnya.
Namun hal itu langsung dibantah oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budhiman. Menurutnya, proses penggunaan benda yang manjadi salah satu cagar budaya itu telah dilakukan dengan mekanisme yang benar. Dia juga menegaskan, gedung tersebut masih milik Pemprov DKI Jakarta.
"Kalau dikatakan pengalihan, jelas tidak, gedung masih milik Pemprov kok. Penggunaan itu dengan sistem sewa. Pasti mekanismenya sudah melalui proses yang benar," kata Arie saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.
Arie juga menegaskan tidak ada yang salah dari pemanfaatan gedung bekas kantor Imigrasi tersebut. Asal tak mengubah bentuk secara fisik, pemanfaatan bangunan cagar budaya memang diperbolehkan. Pemanfaatan bangunan cagar budaya oleh pihak swasta justru dimaksudkan agar pemeliharaan bangunan tersebut tetap baik.
Lebih lanjut, Budi mengatakan, penolakan demi penolakan tetap terjadi. Menteri Agama Maftuh Basyuni pun menegaskan sebaiknya bar tersebut ditutup karena telah melukai perasaan umat beragama. "Jika tidak ditutup, dikhawatirkan nanti ada Islam Bar, kr****n Bar dan bar-bar lainnya," kata Maftuh dalam pertemuan dengan para tokoh agama di Jambi 11 Maret lalu.
Karena itu, Depag pun memohon kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meninjau ulang izin tetap usaha dagang Buddha Bar. Serta meminta pemilik untuk mengganti nama merek usaha tersebut.
"Dari pembicaraan, JFsanggup menginformasikan keadaan ini ke pemilik pranchise Buddha Bar di Paris. DIa juga akan merencanakan nama baru pengganti Buddha Bar," kata Budi.
Tak Rekomendasi Usaha dengan Nama Buddha
Untuk menghindari polemik semacam itu, Depag pun mengeluarkan surat edaran No: DJ.VI/2/BA.00/168/2009. Surat itu berisi tidak memberi rekomendasi terhadap usaha dagang atau hiburan dengan menggunakan nama Buddha seperti Buddha Bar, Buddha Spa, Buddha Disc, Buddha Cafe dan lain-lain.
"Jika sudah, kita minta pemilik usaha mengganti nama tersebut," kata Budi.
(ken/djo)
http://www.detiknews.com/read/2009/03/21/140537/1103016/10/kronologi-munculnya-buddha-bar-di-bekas-kantor-imigrasi