Namo Buddhaya
Saya ingin berbagi cerita dan meminta opini dari kawan-kawan sekalian.
Saya terlahir di sebuah keluarga yang sangat kental unsur kekr****nannya. Ibu saya orang ambon, ayah saya orang manado, kedua suku tersebut banyak yang merupakan umat kristiani. Sejak kecil saya dididik untuk mengenal tuhan (maaf tanpa kapitalisasi, saya tidak mau mengekslusifkan kata tersebut). Dan saya dulu tergolong rajin untuk pergi beribadah ke gereja. Sekitar umur 4 tahun, orangtua bercerai, lalu saya ikut ibu. Tak lama kemudian ibu saya menikah lagi dengan seorang beragama I, baru beberapa tahun kemudian beliau pindah ke agama K, dikarenakan keluarga besar saya cukup fanatik mengenai agama.
Yang saya senangi dari agama K adalah hukum kasih, diajarkan untuk saling mengasihi, sangat cocok dengan saya yang pasifis. Namun, saya mulai terusik ketika saya menyadari bahwa kalimat "akulah jalan kebenaran dan hidup" absurd di mata saya. Ketika saya kebaktian remaja, saya bertanya kepada kakak pembina, apabila kita yang sekarang ini adalah umat yang terselamatkan, bagaimana dengan nasib manusia-manusia yang hidup sebelum agama K ini diciptakan? apakah mereka langsung masuk neraka? atau instan masuk surga? tidak ada yang mampu menjawab.
Saya mulai mencari jawabannya dan membandingkannya dengan ajaran agama lain, terutama agama pewahyuan seperti I dan J, namun masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk tidak gereja lagi, meninggalkan komitmen pelayanan, dan memilih untuk tidak melibatkan diri pada agama tertentu. Saya mulai menjalani kehidupan ateis dan agnostik. Alasannya buat saya cukup simpel, kalaupun memang ada suatu entitas mahatinggi yang dinamakan tuhan, yang maha sempurna, maka manusia dengan segala ketidaksempurnaannya tidak akan mampu untuk memahami, mencapai, serta menjabarkan entitas tersebut.
Saya menjalani kehidupan agnostik ini tentunya tanpa diketahui oleh keluarga, hanya segelintir sahabat yang tahu, karena saya dulu belum punya cukup keberanian untuk mengutarakan, ditambah lagi pada saat itu saya tengah mempersiapkan diri untuk studi di Jepang, saya hanya mau fokus kepada studi, tidak ingin terganggu dengan hal lain.
Sepulangnya saya dari negrinya doraemon, saya mulai
open kepada orang-orang tentang pandangan spiritual saya. Jujur saja, saya samasekali tidak tertarik kepada hal spiritual, saya seorang skeptis, mendasarkan segalanya pada sains. Di malam natal 2010, saya memutuskan untuk memberitahukan kepada keluarga bahwa saya sudah bukan beragama K lagi. Setiap malam natal, kami biasanya berdoa, kebaktian keluarga, tukar kado, dsb. tradisi standar. Pada jam 12 biasanya masing-masing memberitahukan pokok doa yang ingin didoakan, lalu akan dipilih satu orang anggota keluarga secara acak untuk mendoakannya. Pada saat giliran saya, saya menjelaskan kepada keluarga, mereka spontan terlihat sedih dan kecewa. Namun pada akhirnya, mereka bisa menghargai keputusan saya.
Karena saya pada waktu itu saya masih
fresh graduate, cukup sulit untuk mencari pekerjaan di bidang saya. Pengalaman kerja saya hanya 2, sebagai tenaga pengajar bahasa asing, dan penyanyi kafe/bar. Saya mengirimkan CV ke beberapa lembaga, namun ditolak karena alasan saya
tidak beragama. Cukup menyedihkan dan tidak adil. Kala itu saya juga harus memperpanjang KTP, saat mengisi formulir, saya menuliskan "agnostik" pada kolom agama, KTP saya tidak dicetak juga, meski telah lewat 3 bulan, otomatis saya tidak dapat mencari kerja. Saat saya tanya orang kelurahan, ia bilang bahwa agama saya harus diisi sesuai kartu keluarga, yaitu K. Mau tidak mau saya harus isi, meski dalam hati saya merasa janggal.
Suatu hari saya teringat, dulu saya sering nonton ceramah Master Cheng Yen, dan saya sangat mengagumi beliau. Bagian yang paling saya sukai adalah nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri; karma. Dalam benak saya yang skeptis dan logis, saya sangat menyukai konsep ini, karena menurut saya, saya tidak mau membuang waktu untuk mencari tuhan. Saya pun mulai mempelajari tentang dhamma sedikit demi sedikit. Ternyata semakin saya pelajari, semakin banyak ajaran Buddha yang sesuai dengan pandangan hidup saya. Hukum sebab-akibat, pembebasan diri dari kesengsaraan, kemelekatan dll, menurut saya sangatlah logis.
Itulah mengapa saya mempelajari dhamma Buddha, karena isinya (sejauh ini) sesuai dengan pandangan saya terhadap kehidupan, serta dalam Buddha tidak ada paksaan dan doktrinisasi; tidak bisa menelan ajaran mentah-mentah.
Mohon maaf bila terlalu panjang, maaf juga apabila ada kata-kata yang tidak berkenan dalam post (baca: curhat) ini.
Silahkan kawan-kawan memberi komentar dan koreksi apabila ada kesalahan
Terima kasih
Semoga semua makhluk berbahagia