2161 > Saya mengikuti Be, yang konsisten menempatkan jalan gelap sebelum jalan terang di sini dan di 10:190. Ce dan Ee menempatkan jalan terang terlebih dulu di sini, tetapi membalikkan urutannya di 10:190. judul saya selaras dengan Be, sedangkan Ce menuliskan “Jalan Terang” di sini tetapi di 10:190 “Jalan Gelap.”
2162 > Sutta ini dan sutta berikutnya berturur-turut adalah paralel dari 10:119 dan 10:120.
2163 > Sutta ini dan sutta berikutnya berturur-turut adalah paralel dari 10:171 dan 10:1118
2164 > Terdapat ciri paralel antara 10:171 dan 10:113; 10:172 dan 10:115; dan 10:173 dan 10:114..
2165 > Adalah Cunda ini yang memberikan makanan terakhir kepada Sang Buddha. Baca DN 16.4.17-19, II 127.
2166 > Soceyyāni. Maknanya tidak seketika jelas dan Mp tidak mengemas kata ini. Socceya biasanya berarti “kemurnian, pemurnian,” tetapi dari konteksnya tampaknya merujuk pada sejenis ritual.
2167 >Empat terakhir merujuk berturut-turut pada: (1) seorang perempuan yang dilindungi oleh sesama pengikut religius, (2) Seorang yang telah menikah atau bahkan yang telah diserahkan kepada seorang suami sejak lahir atau sejak kanak-kanak. (3) Seorang yang mana hubungan seksualnya dengannya akan dikenai hukuman, dan (4) seorang gadis yang telah dikalungi bunga oleh seorang laki-laki sebagai tanda pertunangan.
2168 > Seluruh tiga edisi di sini membaca bajjhantu, “semoga mereka diikat.” Mp tidak memberikan kemasan tetapi pada MN I 287, 11 kita menemukan vajjhantu, dikemas oleh Ps II 332,16 sebagai vadhaṃ pāpuṇantu, “semoga mereka dibantai,” dan oleh Ps-pṭ II 230 (edisi VRI) sebagai maraṇaṃ pāpuṇantu, “semoga mereka mati.” Demikianlah saya menganggap vajjhantu sebagai tulisan yang benar.
2169 > Pāli: saddhāni; Skt śrāddhāni. SED sv śrāddha mengatakan: “Sebuah upacara untuk menghormati dan demi manfaat bagi sanak-saudara yang telah meninggal yang dijalankan dengan sangat ketat pada berbagai rentang waktu yang tetap dan pada kesempatan bergembira serta bersedih oleh sanak-saudara yang masih hidup (upacara ini dilakukan dengan mempersembahkan air setiap hari dan waktu yang telah ditetapkan dengan mempersembahkan piṇḍa atau bola nasi dan makanan kepada tiga generasi leluhur dari pihak ayah dan tiga generasi leluhur dari pihak ibu, yaitu, kepada ayah, kakek, dan buyut; harus diingat bahwa śrāddha bukanlah upacara pemakaman melainkan sebuah upacara tambahan pada upacara pemakaman; ini adalah suatu tindakan penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia yang dilakukan oleh sanak-saudara, dan lebih jauh lagi diharapkan untuk memberikan makanan penguat kepada orang yang telah meninggal dunia itu setelah upacara pemakaman yang dilakukan sebelumnya telah memberikan tubuh yang halus kepada mereka; sesungguhnya, sebelum anteyeṣti atau ‘ritual pemakaman’ dilakukan, dan sebelum śrāddha pertama yang dirayakan, sanak saudara yang telah meninggal dunia itu adalah hantu preta atau gelisah yang mengembara, dan belum memiliki tubuh sebenarnya …; hingga śrāddha pertama telah dilakukan baru ia mencapai posisi di antara para pitṛ atau para Ayah Surgawi di alam bahagia mereka yang disebut pitṛ-loka, dan śrāddha ini paling dibutuhkan dan efektif jika dilakukan oleh seorang anak …).”
2170 > Diduga paragraf tentang sepuluh jalan kamma yang tidak bermanfaat dan yang bermanfaat menjelaskan tentang dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Sepuluh.
2171 > Ce anuppannā harus dikoreksi menjadi upapannā, tulisan dalam Be dan Ee dan jelas dibutuhkan oleh konteksnya.
2172 > Aṭṭhānepi bhavaṃ gotamo parikappaṃ vadati. Mp: “[Dengan ini] ia bertanya: ‘Pada kesempatan yang tidak tepat itu [untuk berbagi jasa dari memberi], apakah Guru Gotama menyatakan keberbuahan dari memberi kepada sanak-saudara itu?’ Karena si brahmana menganut kepercayaan bahwa si pemberi tidak memperoleh buah apa pun dari sebuah pemberian yang diberikan demikian. Tetapi Sang Bhagavā, setelah menegaskan pertanyaannya, menunjukkan: ‘Pemberi memperoleh buah dari pemberiannya di mana pun ia dilahirkan, di tempat mana pun di mana ia bertahan hidup dengan buah kebajikannya.’”
2173 > Bab ini adalah paralel dari Lima Puluh Ke Tiga, Bab IV; bab berikutnya paralel dengan Lima Puluh Ke Tiga, Bab V.
2174 > Bab ini paralel dengan Lima Puluh Ke Empat, bab I.
2175 > Ee menggabungkan sebelas sutta ini dengan sutta sebelumnya, dengan demikian menghitung hanya satu sutta dalam bab ini, sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, memiliki dua belas sutta berbeda. Dengan demikian dimulai dari sini penomoran saya berbeda jauh dengan Ee.
2176 > Kecuali dalam hal ringkasan saya tidak melihat adanya perbedaan antara sutta ini dengan sutta sebelumnya. Saya menerjemahkan teks ini sebagaimana adanya, dengan hanya menyingkat bagian penjelasan tentang pandangan salah dan pandangan benar. Tidak ada edisi yang mengatakan apa pun tentang hal ini. Mp tidak mengomentari lima sutta pertama dalam vagga ini, menyiratkan bahwa maknanya telah jelas.
2177 > Saṃsappanīyapariyāyaṃ vo bhikkhave dhammapariyāyaṃ desessāmi. Mp: “Sebuah penjelasan Dhamma dengan ‘merayap’ sebagai topiknya.”
2178 > Mp: “Dalam melakukan perbuatan itu ia merayap ke depan, merayap ke sekeliling, menggeliat ke sekeliling.”
2179 > Utakā. Mungkin burung hantu dimasukkan ke sini karena burung hantu bekerja secara sembunyi-sembunyi. Padanan China pada T I 273c27-28 hanya menyebutkan empat binatang: ular, tikus, kucing, dan rubah.
2180 > Teks menuliskan bentuk jamak genitif sañcetanikānaṃ kammānaṃ. Untuk menyesuaikan dengan penggunaan dalam Bahasa Inggris, saya menggunakan bentuk tunggal “kamma.” Mengingat fakta bahwa kamma menurut definisi adalah kehendak (cetanā ‘haṃ bhikkhave kammaṃ vadāmī). Maka “kamma kehendak terdengar berlebihan, tetapi saya mengikuti Pāli. Jelas bahwa teks menggunakan kedua makna kamma, makna literal “perbuatan, tindakan,” dan makna yang diperluas dari perbuatan dengan kapasitas untuk menghasilkan buah yang ditentukan secara etika. Makna pertama mungkin ditekankan melalui kata, “dilakukan,” dan makna ke dua melalui upacita, “dikumpulkan, ditimbun” serta melalui rujukan pada periode waktu kapan kamma itu matang.
2181 > Tentang tiga matangnya kamma, baca pp.1639-40, catatan 372. Pernyataan Sang Buddha bahwa tidak ada penghentian kamma kehendak yang telah dilakukan dan dikumpulkan selama ia belum mengalami akibatnya tampaknya bertentangan dengan salah satu prinsip utama ajaranNya, yaitu, untuk mencapai kebebasan – “mengakhiri penderitaan” – seseorang tidak perlu mengalami akibat-akibat dari semua kamma yang telah ia kumpulkan di masa lalu. Prinsip ini (setidaknya menurut Nikāya-Nikāya) dianut oleh kaum Jain, seperti disebutkan pada MN 14.17, I 92,35-93,10; MN 101.10, II 218,1-42. Akan tetapi, karena lingkaran kelahiran kembali adalah “tanpa awal yang dapat ditemukan” (anamatagga saṃsāra), dan dalam rentang waktu ini kita semua telah mengumpulkan kamma yang sangat banyak, hal ini memerlukan waktu yang tak terhingga untuk menghabiskan kamma demikian dengan mengalami akibatnya. Sang Buddha mengajarkan bahwa kunci menuju kebebasan bukanlah lenyapnya kamma masa lalu (apakah dengan mengalami akibatnya atau melalui pertapaan keras) melainkan dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran. Para Arahant, dengan menghentikan kekotoran-kekotoran, memadamkan potensi matangnya kamma masa lalu mereka yang melebihi sisa-sisa yang akan matang dalam kehidupan terakhir mereka. Mp menjelaskan bahwa pernyataan teks ini memiliki makna tersirat: “Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa selama saṃsāra masih berlanjut, jika ada kamma yang telah memperoleh kapasitas untuk matang (paṭiladdhavipākārahakamma) “tidak ada tempat di bumi ini di mana seseorang dapat melarikan diri dari perbuatan jahatnya.’” (kutipannya, na vijjati so jagatippadeso, yattaṭṭhito mucceyya pāpakammā, berasal dari Dhp 127). Intinya, dengan kata lain, bukanlah bahwa semua kamma yang telah dilakukan harus menjadi matang, melainkan bahwa kamma apa pun yang telah dilakukan dan dikumpulkan menyimpan potensi untuk matang selama ia mengembara di dalam lingkaran kelahiran kembali.
Sebuah paralel China dari 10:219, MĀ 15 (T I 437b24-438b11), memulai dengan pernyataan serupa seperti pada 10:217. pernyataan (pada T I 437b26-28 ) membaca seperti terjemahan ini: “Jika seseorang telah melakukan kamma masa lampau, Aku katakan, bahwa ia harus mengalami akibatnya: ia mengalaminya apakah dalan kehidupan ini atau dalam kehidupan mendatang. Tetapi jika ia tidak melakukan kamma masa lampau, Aku katakan bahwa ia tidak akan mengalami akibatnya“ (若有故作業,我說被必受其報,或現世受或後世受。若不故作業,我說此不必受報). Paralel China hanya memberikan dua alternatif untuk waktu matangnya dan tidak menjelaskan apa pun yang bersesuaian untuk pernyataan membingungkan, “Aku tidak mengatakan bahwa ada mengakhiri penderitaan selama seseorang belum mengalami [akibat dari] kamma kehendak yang telah dilakukan dan dikumpulkan.”
2182 > Kāyakammantasandosabyāpatti. Mp mengemas menjadi “sebuah pelanggaran yang terdapat dalam perbuatan jasmani” (kāyakammantasaṅkhātā vipatti). Jelas bahwa Mp memahami sandosa dan byāpatti sebagai menyampaikan makna yang sama, yang dikemas dengan vipatti, tetapi saya menganggap kata majemuk itu sebagai sebuah dvanda: “kerusakan dan kegagalan.”
2183 > Baca p.1672, catatan 582.
2184 > Jelas bahwa versi ini berbeda dengan 10:217 hanya dalam hal penyingkatan bagian penjelasan dan dengan menghilangkan perumpamaan dadu.
2185 > Walaupun teks sutta (dalam ketiga edisi) tidak memasukkan peyyāla di sini, yang menunjukkan suatu penghilangan, namun adalah mungkin bahwa di sini sutta ini pada awalnya memasukkan paragraf tentang sepuluh jalan kamma (seperti pada dua sutta sebelumnya). Hanya dengan cara ini maka dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Sepuluh menjadi masuk akal. Lebih jauh lagi, transisi menjadi sa kho so … ariyasāvako evaṃ vigatābhijjho vigatabyāpādo asammūlho dalam paragraf berikutnya, dengan rujukan pada subjek tertentu, menyiratkan bahwa ini telah didahului dengan sebuah paragraf yang telah dibabarkan tentang siswa mulia. Sebenarnya, paragraf lengkap ada terdapat pada paralel China, MĀ 15, yang merupakan perpaduan dari 10:217-18 dan sutta yang sekarang ini.
Struktur dari MĀ 15 adalah sebagai berikut: melanjutkan pernyataan pembuka, Sang Buddha mendefinisikan sepuluh jenis kamma jasmani, ucapan, dan pikiran yang tidak bermanfaat. Kemudian Beliau mengatakan bahwa seorang siswa mulia yang terpelajar melenyapkan tiga tidak bermanfaat dari kamma (jasmani, ucapan, dan pikiran. Ia tanpa kemarahan dan permusuhan, telah menghalau kantuk, melenyapkan kegelisahan dan kesombongan, telah meninggalkan keragu-raguan, dan telah melampaui keangkuhan. Ia penuh perhatian, memiliki pemahaman jernih, dan tidak bingung. Kemudian ia melingkupi segala penjuru dan seluruh dunia dengan pikiran cinta-kasih dan ketiga tanpa-batas lainnya.
2186 > Yaṃ kho pana kiñci pamānakataṃ kammaṃ, na taṃ tatrāvasissati, na taṃ tatrāvatiṭṭhati. Mp mengidentifikasi “kamma tidak terukur” sebagai kamma alam indria (kāmāvacarakamma), yaitu, kamma yang menghasilkan akibat di alam indria. Karena siswa yang sedang dijelaskan diduga adalah seorang yang-tidak-kembali (atau seorang yang pasti menjadi seorang yang-tidak-kembali), maka ia akan terlahir kembali di alam berbentuk dan tidak akan pernah turun ke alam indria. Dengan demikian kamma alam indria tidak akan menemukan kesempatan untuk matang.
2187 > Seperti telah disebutkan sebelumnya, kata Pāli kamma mengandung dua makna yang sering kali sulit dibedakan: makna etimologis, hanya berarti tindakan atau perbuatan, dan makna religius berarti suatu perbuatan yang dianggap sebagai dorongan moral yang dapat membawa konsekuensi pembalasan. Mengherankan bahwa teks mengatakan dengan cukup jelas bahwa seseorang yang mengembangkan kebebasan pikiran melalui cinta-kasih tidak dapat melakukan perbuatan buruk. Tampaknya bagi saya walaupun orang itu mungkin tidak melakukan perbuatan buruk yang didorong oleh kebencian dan niat buruk, namun masih dapat melakukan perbuatan buruk, bahkan yang kecil, yang didorong oleh keserakahan dan delusi.
2188 > Pernyataan ini juga tampaknya bertentangan dengan pandangan umum. Mereka yang tidak melakukan perbuatan buruk dalam kehidupan ini bisa saja menderita akibat kamma dari perbuatan buruk yang dilakukan pada kehidupan-kehidupan sebelumnya. Demikianlah Moggallāna dibunuh dan Sang Buddha sendiri terluka parah oleh serpihan batu tajam pecahan dari batu besar yang dilemparkan oleh Devadatta. Orang-orang bermoral yang belum menjadi Arahant juga mungkin mengalami penderitaan psikologis, dan bukan hanya penderitaan fisik, sebagai konsekuensi dari situasi yang tidak diinginkan. Misalnya, Ānanda, seorang bhikkhu bermoral, merasakan kesedihan dan kekhawatiran ketika Sang Buddha jatuh sakit dan Visākha, seorang pemasuk-arus, meratapi kematian cucunya.
2189 > Cittantaro ayaṃ bhikkhave macco. Mp: “Mereka memiliki pikiran sebagai penyebabnya, atau bagian internal mereka adalah karena pikiran (cittakāraṇo, atha vā citten’eva antariko). Karena dengan pikiran pada saat kelahiran kembali yang mengikuti pikiran pada saat kematian tanpa jeda, seseorang menjadi deva, makhluk-neraka, atau binatang.”
2190 > Karajakāya. Saya menerjemahkan ungkapan ini secara literal tetapi mungkin menyiratkan kurang lebih sama dengan ungkapan Bahasa Inggris yang berarti “tubuh yang tidak kekal ini” atau “tubuh badaniah ini.” DOP sv kara, mengatakan: “Tubuh yang dihasilkan melalui perbuatan, tubuh fisik.” SN 12:37, II 65,1, mengatakan tubuh sebagai “kamma masa lalu” (purāṇamidaṃ … kammaṃ). Paralel China tidak mengatakan apa pun yang bersesuaian dengan istilah ini.
2191 > Mp: “Melalui cinta-kasih, perasaan yang akan dialami pada kelahiran kembali menjadi terpotong, dan dengan demikian tidak mengikuti seseorang. Ini adalah refleksi dari seorang mulia yang adalah seorang pemasuk-arus atau yang-kembali-sekali.” Diduga, kamma buruk semuanya harus dialami di sini (sabbaṃ taṃ idha vedanīyaṃ), dalam kehidupan ini, dan tidak akan mengikuti (na taṃ anugaṃ bhavissati) karena kelahirannya berikutnya adalah di alam berbentuk, di mana tidak ada pengalaman menyakitkan, dan ia akan mencapai nibbāna di alam berbentuk tanpa kembali ke alam ini.
2192 > Idha paññassa bhikkhuno uttariṃ vimuttiṃ appaṭivijjhato. Mp: “Seorang bhikkhu bijaksana di sini: Kebijaksanaan dalam ajaran ini disebut ‘kebijaksanaan di sini.’ Maknanya [dari seorang bijaksana di sini] adalah seorang siswa mulia yang kokoh dalam kebijaksanaan mulia yang berhubungan dengan ajaran.” (imasmiṃ sāsane paññā idhapaññā nāma, sāsanacaritāya ariyapaññāya ṭhitassa ariyasāvakassā ti attho).
2193 > Mp menyebut ini sebagai keadaan dari seorang “yang-tidak-kembali jhāna” (jhānānāgāmitā). Orang-orang demikian telah merealisasikan dua buah yang lebih rendah dan mencapai jhāna-jhāna, tetapi masih belum benar-benar mencapai tingkat yang-tidak-kembali. Melalui kekuatan kamma dari jhāna-jhāna mereka maka mereka akan terlahir kembali di alam berbentuk, di mana mereka akan mencapai dua jalan dan buah yang lebih tinggi tanpa pernah kembali ke alam indria; demikianlah mereka disebut “para yang-tidak-kembali jhāna.” “Kebebasan lebih jauh” (uttariṃ vimutti) adalah Kearahattaan. Baca p.1664, catatan 539.
2194 > Ee menggabungkan ketiga sutta ini dengan sutta sebelumnya.
2195 > Baik Ce maupun Ee tidak menomori vagga ini. Akan tetapi, Ce menomori sutta-sutta dalam rangkaian ini seolah-olah vagga ini harus dihitung menjadi 3 (dengan dimulai dari 10.5.3.1, di mana angka pada segmen ke dua menunjukkan nomor Kelompok Lima Puluh dan segmen ke tiga meunjukkan nomor vagga). Be menomorinya 23, sesuai dengan skema penomoran berurutan yang digunakan untuk vagga-vagga itu. Karena “Lima Puluh Tambahan” hanya terdiri dari dua puluh enam sutta tanpa vagga ini, maka saya menomorinya “III,” dengan asumsi bahwa ini adalah bagian dari Kelompok Lima Puluh ini.
2196 > Ce menomori sutta ini dari 10.5.3.1 hingga 10.5.3.510. Be, menggunakan penomoran berkelanjutan untuk keseluruhan nipāta, menomorinya dari 237 hingga 746; Ee menomorinya dari 217 hingga 219, mengumpulkan semua penjelasan ke dalam 219. saya mengikuti cara Be.
2197 > Agak aneh bahwa pengetahuan benar dan kebebasan benar diperlakukan sebagai kondisi bagi pengetahuan langsung, karena (sewaktu menjelakan pengetahuan dan kebebasan Arahant) dua ini biasanya merupakan hasil dari pengetahuan langsung.
2198 > Di sini Ce dan Ee menambahkan upasamāya (“demi penenangan”).