//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH  (Read 11847 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #45 on: 07 October 2013, 07:57:07 PM »
2001 > Sabbaṃ dhammaṃ. Saya memahami bentuk tunggal ini sebagai mendukung bentuk jamak sabbe dhamme..

2002 >Ce dan Ee sabbaṃ dhammaṃ abhiññāya abhiññāya. Be tidak mencantumkan pengulangan.

2003 > Terlepas dari bentuk tata bahasa dari kalimat-kalimat ini, saya yakin bahwa terjemahan ini lebih tepat daripada terjemahan literal, “Satu pertanyaan, satu pernyataan ringkas, satu penjelasan.” “Dua” dan angka yang lebih tiggi tidak menyebutkan “dua pertanyaan, dan seterusnya,” “tiga pertanyaan, dan seterusnya,” dan seterusnya, melainkan sebuah pertanyaan tentang dua hal, sebuah pertanyaan tentang tiga hal, dan seterusnya.

2004 > Paralel China pada EĀ 46.8 (T II 778b17) memberikan beberapa poin menarik atas perbedaan. Versi Pāli lebih meyakinkan sehubungan dengan beberapa hal tertentu,, khususnya pada bagian empat, lima, enam, dan sepuluh; di sini EĀ 46.8 menuliskan empat kebenaran mulia, lima indria spiritual, enam prinsip kerukunan komunal, dan sepuluh jenis perhatian (enam pengingatan, perhatian pada jasmani, kematian, pernfasan, dan kedamaian). EĀ 46.8 memberikan penjelasan pada hal-hal dalam tiap kelompok yang mengembalikan perhatian kita pada apa yang hilang dalam versi Pāli. Sementara versi Pāli menyebutkan tiga kategori untuk tiap-tiap nomor – pertanyaan (pañha), pernyataan ringkas (uddesa), dan penjelasan (veyyākaraṇa) – sutta hanya memberikan dua, pertanyaan dan pernyataan ringkas, tetapi tanpa penjelasan. Bagian Kumārapañha dari Khuddakapātha (§4) menggandakan sebagian daftar ini, tetapi karena Kumārapañha hanya menyebutkan hal-hal yang harus diingat, tanpa merujuk pada kekecewaan dan kebosanan, maka memasukkan kelompok positif: empat kebenaran mulia, tujuh faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan, dan sepuluh faktor seorang Arahant.

2005 > Sabbe satta āhāraṭṭhitikā.

2006 > Perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.

2007 > Makanan yang dapat dimakan, kontak, kehendak pikiran, dan kesadaran. Ini disebut makanan (āhāra) dalam makna bahwa hal-hal itu mempertahankan kelangsungan kehidupan.

2008 > Baca 7:44.

2009 > Baca 8:6.

2010 > Baca 9:24.

2011 > Saya mengikuti Be dan Ee dasasu akusalesu kammapathesu, bukan seperti Ce dasasu akusalesu dhammesu. Ce menuliskan dasasu kusalesu kammapathesu pada 10:28 §10.

2012 > Bhikkhunī Kajaṅgalikā. Sulit untuk menentukan apakah ini adalah nama yang benar atau sebuah sebutan melalui tempat asalnya. Akan tetapi, jika itu adalah nama yang benar maka teks mungkin akan menuliskannya Kajaṅgalikā nāma bhikkhunī.

2013 > Ketika ia membicarakan tentang empat penegakan perhatian – dan di bawah tentang lima indria, enam elemen membebaskan diri, jalan mulia berunsur delapan, dan sepuluh perbuatan bermanfaat – formulanya berubah. Bukannya mengatakan, “sepenuhnya kecewa dengan … sepenuhnya bosan padanya, sepenuhnya terbebaskan darinya” (sammā nibbindamāno sammā virajjamāno samma vimuccamāno), ia mengatakan: “memiliki pikiran yang sepenuhnya terkembang dengan baik dalam” (sammā subhāvitacitto).

2014 > Edisi Pāli meringkas teks demikian.

2015 > Baca 6:13.

2016 > Kosmologi ini juga terdapat pada 3:80.

2017 > Yebhuyyena sattā ābhassarasaṃvattanikā bhavanti. Ini tampaknya berarti bahwa mereka terlahir kembali di antara para deva ābhassara, alam tertinggi yang bersesuaian dengan jhāna ke dua. Alam ini tetap bertahan sementara semua alam yang di bawahnya mengalami kehancuran.

2018 > Seperti di atas pada 10:25.

2019 > Seperti pada 8:65.

2020 > Seperti pada 4:161-62.

2021 > Mp tidak berkomentar, tetapi saya mengasumsikan bahwa keempat persepsi ini adalah persepsi alam-indria, persepsi dalam keempat jhāna, persepsi dalam dua pertama pencapaian tanpa bentuk, dan persepsi dalam landasan kekosongan.

2022 > Baca pp.1780-82, catatan 1532.

2023 > Yā cāyaṃ bhave appaṭikulyatā, sā c’assa na bhavissati, yā cāyaṃ bhavanirodho paṭikulyatā, sā c’assa na bhavissati. Intinya tampaknya adalah bahwa karena pandangan pemusnahan muncul dari penolakan pada kelangsungan penjelmaan personal, maka penganut pemusnahan menyambut lenyapnya penjelmaan, walaupun dari sudut pandang Sang Buddha pandangan pemusnahan ini keliru terlalu jauh dalam menginterpretasikan lenyapnya itu sebagai pemusnahan diri atau eksistensi orang yang sesungguhnya. Baca It §49, 43-44.

2024 > Paramatthavisuddhim paññāpenti. Mp: “Ini adalah sebutan bagi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Karena landasan kekosongan adalah yang tertinggi sebagai landasan bagi pandangan terang, tetapi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi adalah yang tertinggi dalam hal umur kehidupan terpanjang.”

2025 > Paramadiṭṭhadhammaṃ nibbānaṃ paññāpenti. Baca DN 1.3.19-25, I 36-38, di mana lima pandangan “nibbāna tertinggi dalam kehidupan ini” dikupas. Pandangan-pandangan ini menganggap bahwa nibbāna tertinggi adalah kenikmatan tanpa batas pada kelima jenis kenikmatan indria atau masing-masing dari keempat jhāna (secara sendiri-sendiri). Sang Buddha di sini membantah hal ini dengan menyatakan bahwa nibbāna tertinggi dicapai melalui pemahaman penuh pada enam landasan bagi kontak. Hal yang sama disebutkand alam DN 1.3.71, I 45, 17-20.

2026 > Mp mengemas “pemahaman penuh” (pariññā) di sini dengan yang melampaui (samatikkama). Pemahaman penuh (atau yang melampaui) kenikmatan indria terjadi melalui jhāna pertama; pemahaman penuh pada bentuk, melalui pencapaian meditasi tanpa bentuk; dan pemahaman penuh pada perasaan-perasaan, melalui pencapaian nibbāna, di mana semua perasaan ditenangkan.

2027 > Mp menjelaskan latar belakang historis: Ketika Raja Kosala Yang Agung (ayah Pasenadi) menyerahkan putrinya untuk menikah dengan Bimbisāra (raja Magadha), ia memberikan kepada putrinya desa Kāsi (terletak antara kedua kerajaan) sebagai hadiah pernikahan. Beberapa tahun kemudian, setelah Ajātasattu membunuh ayahnya, Bimbisāra, ibunya meninggal dunia karena sedih. Pasenadi memutuskan: “Karena Ajātasattu membunuh orangtuanya, maka desa itu kembali menjadi milik ayahku.” Ajātasattu juga berpikir: “Desa itu milik ibuku.” Keduanya, paman dan keponakan, berperang memperebutkan Kāsi. Pasenadi dikalahkan dua kali oleh Ajātasattu dan terpaksa melarikan diri dari peperangan, tetapi pada peperangan ke tiga ia menangkap Ajātasattu. Ini adalah tujuan yang dimaksudkan dalam frasa “tujuannya telah tercapai” (laddhādhippāyo).

2028 > Pada MN II 120,1-4 Raja Pasenadi melakukan penghormatan serupa kepada Sang Buddha dan memberikan sepuluh alasan dalam menunjukkan penghormatan dan cinta tertinggi kepada Sang Buddha. Akan tetapi, masih-masing alasan itu berbeda dengan yang di sini.

2029 > Bahuno janassa ariye patiṭṭhāpitā yadidaṃ kalyāṇadhammatāya kusaladhammatāya. Mp mengemas “dalam metode mulia” sebagai “dalam jalan bersama dengan pandangan terang” (sahavipassanake magge). Saya mengikuti PED dalam memperlakukan patiṭṭhāpitā sebagai kata benda pelaku dalam bentuk tunggal nominatif.

2030 > Walaupun sikkhāpadaṃ berbentuk tunggal, namun saya memahami pernyataan di sini merujuk pada keseluruhan batang tubuh aturan-aturan latihan dan dengan demikian saya menerjemahkannya dalam bentuk jamak. Dalam Vinaya Piṭaka, pernyataan ini muncul sehubungan deengan penetapan pārājika pertama dan oleh karena itu bentuk tunggal di sini sudah benar; baca Vin III 21,15-23.

2031 > Ee secara keliru menggabungkan sutta ini dengan sutta sebelumnya, dengan demikian mengurangi satu dari jumlah sutta. Pada Vin II 240-47 “menskors Pātimokkha” (pātimokkhaṭṭhapana) merujuk pada membatalkan hal seseorang untuk mengikuti pelafalan Pātimokkha pada hari uposatha. Tampaknya bagi saya bahwa sutta “menskors Pātimokkha” ini termasuk keduanya yaitu membatalkan pelafalan Pātimokkha bagi bhikkhu tertentu dan menunda pelafalan Pātimokkha hingga kondisi penghalang dilenyapkan. Baca Thānissaro 2007b: 270-71, untuk pembahasan kelompok kondisi pertama yang karenanya pelafalan Pātimokkha dibatalkan.

2032 > Pārajikakathā vippakatā hoti. Mp: “Pembicaraan seperti berikut, ‘Apakah orang itu melakukan pārājika atau tidak ?’ telah dimulai dan belum selesai (‘asukapuggalo pārājikaṃ āpanno nu kho no’ ti evaṃ kathā ārabhitvā aniṭṭhāpitā hoti).” Perhatikan bahwa paragraf ini mendukung terjemahan dari pertanyaan umum yang ditanyakan oleh Sang Buddha ketika para bhikkhu sedang terlibat dalam suatu percakapan – kā ca pana vo antarākathā vippakatā? – sebagai: “Apakah pembicaraan kalian yang sedang berlangsung? “ alternatif yang umum – “Apakah pembicaraan kalian yang terhenti?” dan “Apakah pembicaraan kalian yang belum selesai?” – tidak tepat dalam konteks ini, dan berlawanan dengan komentar, yang secara konsisten mengemas vippakatā sebagai bermakna “belum berakhir, belum selesai” (apariniṭṭhitā sikhaṃ appattā pada Sv I 49,27-28, PS II 169, 15-16; pariyantaṃ na gatā pada Ps III 26,1-4; apariyositā pada Ud-a 104,26-30).

2033 > Kata paṇḍaka memiliki makna yang lebih luas daripada “orang kasim” seperti yang biasanya dipahami. Sp V 1016,1-9 menjelaskan lima jenis paṇḍaka. Di antaranya, dua yang paling relevan di sini adalah laki-laki yang dikebiri (opakkamikapaṇdaka) dan orang yang terlahir dengan jenis kelamin yang tidak dapat ditentukan (napuṃsakapaṇḍaka). Sebuah paralel dari perbedaan ini dapat ditemukan pada Matius 19:12 (Versi Bahasa Inggris Standard): “Karena ada orang kasim sejak lahir, dan ada orang kasim yang dibuat menjadi kasim demi kerajaan surga.” (yang pertama bersesuaian dengan napuṃsaka, dan yang ke dua bersesuaian dengan opakkamika, dan yang ke tiga mungkin bersesuaian dengan mereka yang memilih hidup selibat (atau mengebiri diri mereka sendiri) demi alasan religius.

2034 > Implikasi dari bhikkhunidūsaka tidak dijelaskan dalam teks kanon itu sendiri. Akan tetapi, Vinayavinicchaya-ṭīkā I 121 (edisi VRI; Be §322) mendefinisikan istilah ini dalam suatu cara yang berlaku pada seorang bhikkhu yang melakukan hubungan seksual dalam bentuk apa pun dengan seorang bhikkhunī: “Seseorang dikatakan sebagai bhikkhunidūsaka ketika ia telah mengotori seorang bhikkhunī yang baik dengan melakukan hubungan seksual dengannya” (dūsako ti pakatattāya bhikkhuniyā methunaṃ paṭisevitvā tassā dūsitattā bhikkhuniṃ dūsetīti “bhikkhunidūsako”ti vutto ca). Dengan demikian istilah ini tidak harus berarti memperkosa dan “penggoda bhikkhunī” adalah terjemahan yang cocok.

2035 > Ubbāhikā. DOP mendefinisikan sebagai “rujukan (dari sebuah perselisihan) pada sebuah komite yang terdiri dari para bhikkhu pilihan.” Mp: “Pengambilan keputusan berarti memilih dari Saṅgha untuk menyelesaikan persoalan disiplin yang telah muncul” (sampatta-adhikaraṇaṃ vūpasametuṃ saṅghato ubbāhitvā uddharitvā gahaṇatthāya). Prosedur ini dijelaskan secara terperinci pada Vin II 95,25-97,16.

2036 > Mp: “Empat jenis persoalan disiplin.” Empat itu adalah perselisihan, tuduhan, pelanggaran, dan pemeriksaan (vivādādhikaraṇa, anuvādādhikaraṇa, āpattādhikaranā, kiccādikaraṇa). Baca MN 104.12-20, II 247-50.

2037 > Mp mendefinisikan ini sebagai tujuh cara menyelesaikan persoalan disiplin (satta adhikaraṇasamathā).

2038 > Ee menggabungkan sutta ini dengan sutta sebelumnya, sehingga dimulai dari sini dan seterusnya penomoran saya lebih dari dari Ee.

2039 > Ee memperlakukan ini sebagai akhir sutta dan kalimat berikutnya sebagai awal dari sutta terpisah, yang dinomori 38. Dengan demikian penomoran Ee menyusul satu dari ketinggalan dua sutta sebelumnya.

2040 > Kappaṭṭhiyaṃ kibbisaṃ pasavati. Mp mengemas kibbisaṃ sebagai pāpaṃ dan mengatakan bahwa pertanyaan berhubungan dengan penyebab keberdiaman di neraka selama āyukappa, “kappa kehidupan.” Penjelasan kata kappa demikian tidak ditemukan dalam Nikāya dan tampaknya adalah inovasi komentar. Baca p.1811, catatan 1786.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #46 on: 07 October 2013, 07:57:31 PM »
2041 > Seperti di atas, Ee memperlakukan ini sebagai akhir dari sutta dan kalimat berikutnya sebagai awal dari sutta terpisah, yang dinomori 40. Dengan demikian penomoran Ee sekarang sama dengan edisi lainnya.

2042 > Saya menambahkan kata “saling” dengan berdasarkan pada kemasan Mp: aññamaññassa saṅgahānuggaho.

2043 > Untuk penjelasan atas istilah-istilah ini, baca p.1602, catatan 66.

2044 > Sutta ini menggabungkan dua kelompok lima dan dengan demikian dapat dianggap sebagai sepuluh campuran.

2045 > Ce guyhavantā harus dikoreksi menjadi guyhamantā, seperti pada Be dan Ee. Di sini guyhamantā hampir dipastikan bermakna “musyawarah-musyawarah rahasia,” bukan “mantra-mantra rahasia.”

2046 > Mp mengemas pattheti sebagai māretuṃ icchati, “ingin membunuh.” Saya tidak melihat bagaimana suatu keinginan untuk membunuh dapat diturunkan dari Pāli dan dengan demikian saya lebih suka menganggap pattheti dalam makna biasanya, sebagai hanya “berkeinginan, merindukan.” Dugaan saya sehubungan dengan relevansinya di sini adalah bahwa seseorang yang menjadi ayah dari seorang putra melalui salah seorang selir ingin menemui putranya, dan putra seorang selir yang mengetahui bahwa ia berayahkan seseoang yang bukan sang raja ingin bertemu dengan ayahnya yang sebenarnya, dan raja mencurigai bahwa bhikkhu itu menjadi perantara.

2047 > Ce dan Be membaca hatthisamaddaṃ; Ee menuliskan hatthisammadaṃ dalam teks, tetapi -sammaddaṃ dan -sambādiṃ sebagai tulisan alternatif. Mp (Be) membaca hatthisambādhaṃ, dipecah menjadi hatthīhi sambādhaṃ (“ramai oleh gajah-gajah”). Mp (Ce) menerima tulisan ini juga, walaupun teksnya tampaknya rusak. Kedua edisi Mp mengenali alternatif hatthisammaddaṃ.

2048 > Delapan faktor adalah delapan aturan uposatha, tentang ini baca 8:41.

2049 > Ce dan Ee berhenti pada lima puluh kahāpaṇa, tetapi Be menambahkan seratus kahāpaṇa. Kahāpaṇa adalah mata uang utama pada masa itu.

2050 > Lit., “seratus kali seratus tahun” (satampi vassasatāni).

2051 > Lit., “seratus kali seratus ribu tahun” (satampi vassasatasahassāni).

2052 > Karena makna ganda dari kata kamma (bermakna “perbuatan” dan “potensi akibat yang dihasilkan oleh suatu perbuatan”), pertanyaan dan jawaban juga harus diformulasikan dalam hal “perbuatan buruk.” Hal yang sama berlaku untuk kamma baik.

2053 > Vevaṇṇiy’amhi ajjhupagato. Empat kasta utama dalam masyarakat India pada masa Sang Buddha dirujuk sebagai vaṇṇa, lit., “warna,” dan dengan demikian bentuk turunan, vivaṇṇa, berarti “tanpa kasta.” Vevaṇṇiya adalah kata benda abstrak, “ketanpa-kastaan,” yang menyiratkan bahwa mereka yang telah meninggalkan keduniawian melepaskan status mereka sebelumnya sebagai brahmana, khattiya, vessa, sudda, atau kasta buangan, dan menjadi dikenal hanya sebagai para petapa yang mngikuti putra Sakya (baca 8:19 §4). Pada masa komentar makna sebenarnya tampaknya telah terlupakan, dan dengan demikian Mp menganggap kata ini bermakna “polos” atau “tanpa hiasan”: “Vevaṇṇiya ada dua jenis: sehubungan dengan tubuh dan sehubungan dengan benda-benda yang digunakan. Vevaṇṇiya sehubungan dengan tubuh berarti mencukur rambut dan janggut. Vevaṇṇiya sehubungan dengan benda-benda yang digunakan berarti mengenakan jubah jingga yang terbuat dari potongan-potongan kain yang dijahit; memakan makanan yang dicampur menjadi satu menggunakan air dalam mangkuk besi atau tanah; tidur di bawah pohon, dan sebagainya, dan berbaring di atas alas yang terbuat dari buluh dan rumput, dan sebagainya; duduk di atas sehelai kain atau kulit, dan sebagainya; dan menggunakan air kencing sapi yang difermentasikan, dan sebagainya, sebagai obat. Ketika seseorang merefleksikan demikian, kemarahan dan keangkuhan ditinggalkan.

2054 > Parapaṭibaddhā me jīvikā. Kaum monastik tidak bekerja pada pekerjaan-pekerjaan bayaran untuk mencari uang yang dengannya mereka membeli benda-benda kebutuhan melainkan menerima semua materi-materi penyokong mereka – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – sebagai persembahan dari komunitas awam. Seseorang tidak menggunakan keempat benda kebutuhan ini tanpa merefleksikannya.

2055 > Añño me ākappo karaṇīyo. Mp: “Orang-orang awam berjalan dengan menggembungkan dada mereka, mengangkat kepala mereka tinggi-tinggi, dalam sikap bangga, dengan langkah yang tidak teratur. Tetapi sikapku harus berbeda, aku harus berjalan dengan organ-organ indria yang tenang, dengan pikiran yang tenang, dengan langkah yang perlahan dan teratur.

2056 > Di sini dan refleksi berikutnya makna yang dimaksudkan tersampaikan dengan lebih jelas dalam Bahasa Inggris jika na tidak diterjemahkan.

2057 > Ini dan refleksi berikutnya terdapat pada 5:57.

2058 > Ponobhaviko bhavasaṅkhāro. Mp: “Kamma yang menciptakan penjelmaan, produksi aktif pada penjelmaan baru” (ponobbhaviko ti punabbhavanibbattako, bhavasaṅkhāro ti bhavasaṅkharaṇakammaṃ[/i]). Diduga ini dikatakan hidup melalui jasmani karena jasmani adalah alat untuk membentuk dan mengekspresikan kehendak.

2059 > Formula ini sama dengan formula pada 6:12, walaupun isinya berbeda. Sepuluh prinsip ini sama dengan “sepuluh kualitas yang berfungsi sebagai pelindung” pada 10:18.

2060 > Ce paripuṇṇaṃ harus dikoreksi menjadi parisuddhaṃ seperti pada Be dan Ee. Ce membaca parisuddhaṃ dalam paragraf paralel yang muncul pada sutta berikutnya dalam bab ini, jadi jelas bahwa paripuṇṇaṃ adalah kesalahan penulisan.

2061 > Sebuah paralel China, MĀ 110 (T I 598c21-599b7), sedikit berbeda dari Pāli dalam daftar kekotoran dan lawannya yang bermanfaat. Paralel ini memasukkan ketiadaan keyakinan dan keyakinan, berpikiran-kacau dan perhatian, dan kedunguan dan kebijaksanaan. Keyakinan, perhatian, dan kebijaksanaan – bersama dengan kegigihan dan konsentrasi (tumpang tindih dengan daftar Pāli) – merupakan lima indria spiritual, yang dianggap sebagai tidak ada atau ada.

2062 > Saya menggunakan “kemunduran” untuk menerjemahkan parihāni dan “kemerosotan” untuk menerjemahkan hāni. Keduanya sebenarnya bersinonim.

2063 > Pemeriksaan-diri berikut ini meniru 4:93.

2064 > Bagian sutta ini meniru 9:6, tetapi pergaulan dengan orang-orang ditempatkan pada urutan terakhir dan tidak diperlakukan secara terperinci.

2065 > Paragraf serupa terdapat pada 6:51. Dalam sutta yang sekarang ini, Be dan Ee membaca hal ke dua sebagai sammosaṃ gacchanti, lit. “melupakan,” yang tampaknya lebih disukai daripada Ce sammohaṃ gacchanti, “terdelusi.” Dalam 6:51 seluruh tiga edisi membaca sammosaṃ gacchanti, yang didukung oleh kemasan Mp: vināsaṃ na gacchanti (“mereka tidak tersesat”). Di sini dan di bawah, di mana Ce dan Ee membaca pubbe cetaso samphuṭṭhapubbā, Be menuliskan bentuk negatif pubbe cetaso asamphuṭṭhapubbā, “yang dengannya ia sebelumnya belum akrab.” Ini sepertinya suatu kesalahan penulisan; pada 6:51 Be membaca sama seperti Ce dan Ee, pubbe cetaso samphuṭṭhapubbā.

2066 > Sebuah paralel yang diperluas dari 5:61, 7:48, dan 9:16.

2067 > Lima perenungan terakhir terdapat di antara sepuluh subjek meditasi kejijikan yang dibahas secara terperinci dalam Vism bab 6.

2068 > Sebuah paralel yang diperluas, berdasarkan pada 8:83. Juga berhubungan erat dengan 9:14, yang mencantumkan sembilan pertanyaan, tetapi dalam hal “kehendak dan pikiran” (saṅkappavitakkā) bukan “segala sesuatu” (sabbe dhammā).

2069 > Dua hal terakhir, amatogadhā sabbe dhammā dan nibbānapariyosānā sabbe dhammā, tampaknya bersinonim. Sebuah paralel China, MĀ 113 (pada T I 602c1-16), memberikan pernyataan berikut: ‘Segala sesuatu berakar pada keinginan; semuanya muncul dalam kontak; semuanya bertemu dalam perasaan; semuanya berasal-mula dari perhatian; semuanya terhenti oleh perhatian (baca Sn 1035); semuanya dipimpin oleh konsentrasi; semuanya memiliki nibbāna sebagai kesempurnaannya.” Yang menarik, MĀ 113 melanjutkan (pada T I 602c17-28 ) dengan sebuah paragraf dalam AN yang bersesuaian dengan sutta berikutnya, 10:59, walaupun bukannya memastikan bhikkhu yang mempraktikkan demikian pada salah satu dari dua buah, paragraf itu menyatakan bahwa ia pasti akan mencapai Kearahattaan.

2070 > Na c’uppannā pāpakā akusalā dhammā cittaṃ pariyādāya ṭhassanti. Seperti frasa, teks tampaknya mengatakan bahwa kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu memang muncul tetapi tidak mengendalikan pikiran si bhikkhu. Akan tetapi, adalah mungkin bahwa maksud dari pernyataan ini adalah bahwa kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu tidak muncul dan mengendalikan pikirannya.

2071 > Lokassa samañca visamañca. Mp: “Perbuatan baik dan perbuatan buruk di dunia makhluk-makhluk” (sattalokassa sucaritaduccaritāni).

2072 > Lokassa bhavañca vibhavañca. Mp mengemas sebagai “kemajuan dan kehancurannya, juga keberhasilan dan kegagalan.”

2073 > Persepsi-persepsi §§8-10 akan dijelaskan di bawah pada 10:60.

2074 > Selain dari teks ini tidak ada informasi lainnya tentang Girimānanda dalam Nikāya-nikāya. Di Negara-negara Buddhis sutta ini mendapatkan status paritta, sebuah “khotbah perlindungan,” yang sering dibacakan oleh para bhikkhu kepada orang-orang yang menderita penyakit.

2075 > Hanya dalam Be, penyakit bibir, terdapat antara dantarogo dan kāso.

2076 > Ini dan persepsi berikutnya adalah perenungan reflektif pada nibbāna. Dalam skema empat puluh subjek meditasi klasik, persepsi-persepsi ini termasuk dalam “Perenungan kedamaian” (upasamānussati), yang dijelaskan pada Vism 293-94, Ppn 8:245-51.

2077 > Sementara Ce dan Ee membaca pajahanto viramati anupādiyanto, Be membaca pajahanto viharati anupādiyanto. Mp tidak memberikan klarifikasi.

2078 > Sulit untuk memastikan bagaimana penjelasan ini berhubungan dengan tema ketidak-kekalan. Beberapa naskah membaca persepsi ini sebagai sabbasaṅkhāresu anicchāsaññā, “persepsi tanpa pengharapan (atau tanpa keinginan) sehubungan dengan segala fenomena terkondisi,” yang tampaknya berhubungan lebih baik daripada definisi ini.

2079 > Aktivitas pikiran (cittasaṅkhāra) di sini adalah persepsi dan perasaan, karena hal-hal ini dikatakan sebagai terikat dengan pikiran dan muncul dengan bergantung pada pikiran (baca MN 44.15, I 301,28-29).

2080 > Yaitu, membebaskan pikiran dari rintangan-rintangan menuju pemurnian ketenangan dan pandangan terang.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #47 on: 07 October 2013, 07:58:07 PM »
2081 > Saya membaca kalimat ini sebagai berikut: “Purimā bhikkhave koṭi na paññāyati avijjāya, ito pubbe avijjā nāhosi atha pacchā sambhavī” ti: evametaṃ bhikkhave vuccati. Tanda baca pada seluruh tiga edisi memberikan kesan bahwa hanya bagian kalimat Pāli yang membentuk kutipan langsung adalah antara ito pubbe dan sambhavi. Saya rasa besar kemungkinan bahwa evametaṁ bhikkhave vuccati  termasuk dalam kalimat secara keseluruhan, dari purimā hingga sambhavi, daripada hanya sebagian darinya, dan saya menerjemahkan sesuai itu.

2082 > Mp mengemas “memiliki makanan” (sāhāraṃ) sebagai “memiliki kondisi” (sapaccayaṃ).

2083 > Walaupun hanya ada sembilan hal pada bagian pertama sutta ini (rangkaian yang negatif), tetapi tampaknya dimasukkan ke dalam kelompok sepuluh karena ada sepuluh hal dalam bagian ke dua (rangkaian yang positif). Sutta berikutnya menggunakan skema yang sama tetapi dengan menambahkan ketagihan pada penjelmaan dalam bagian pertama.

2084 > Terdapat permainan kata di sini. “Telah mencapai kepastian tentang Aku” (mayi niṭṭhaṃ gatā) adalah sebuah idiom yang bermakna bahwa seseorang telah mencapai keyakinan teguh pada Sang Buddha, yang menandai seorang pemasuk-arus. Tetapi niṭṭhā juga bermakna tujuan, yaitu, Kearahattaan. Dengan demikian mencapai kepastian tentang Sang Buddha menandai pencapaian tingkat memasuki-arus (atau tingkatan yang lebih tinggi), sedangkan mencapai tujuan menandai pencapaian Kearahattaan. Di bawah sorotan perbedaan ini, Mp menjelaskan “mencapai tujuan di sini dalam dunia ini” (idha niṭṭhā) sebagai “mencapai nibbāna akhir di dunia ini” (imasmiṃyeva loke parinibbānaṃ). “Dunia ini” (idha, lit. “di sini”) jelas bermakna alam indria, karena pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali dapat mencapai tujuan di alam surga dan tidak harus di alam manusia. Mp mengatakan bahwa “setelah meninggalkan dunia ini” (idha vihāya) bermakna “di alam murni dari alam brahmā (suddhāvāsabrahmalokaṃ).”

2085 > Ekabījī, kolaṃkola, dan sattakkhattuparama. Ini adalah tiga tingkatan pemasuk-arus dalam makna teknis. Mereka dibedakan menurut ketajaman indria spiritual mereka. Untuk perbedaan di antara mereka, baca 3:89.

2086 > Untuk perbedaan antara kelima jenis yang-tidak-kembali ini, baca 7:55. Mereka disebutkan sehubungan dengan tiga latihan pada 3:87 and 3:88.

2087 > Di sini teks menggunakan kata sotāpanna dalam makna bebas. Mp mengatakan bahwa ini berarti mereka yang telah memasuki “arus” jalan mulia (ariyamaggasotaṃ āpannā). Dengan demikian kata ini berlaku juga untuk para siswa pada seluruh empat tingkat pencerahan.

2088 > Ee menghilangkan paragraf ini, walaupun mengakui keberadaannya dalam naskah turunannya. Ce dan Be keduanya memasukkannya. Perpindahan pada khotbah Sang Buddha tentang sepuluh dasar bagi pujian tidak elas, kecuali jika mengasumsikan bahwa, seperti juga pada sutta sebelumnya, Sang Buddha mendatangi para bhikkhu dan menegur mereka karena melakukan pembicaraan tanpa arah.

2089 > Ini adalah versi ringkas dari MN 6, I 33-36. MN memasukkan bagian tentang tiga tingkat realisasi yang lebih rendah dan lima pengetahuan langsung duniawi tetapi tidak memasukkan §§5-6 dari sutta ini.

2090 > Sebuah paralel yang diperluas dari 5:63 dan 5:64.

2091 > Paralel sebagian dari 6:44, dengan situasi serupa tetapi dengan isi yang berbeda.

2092 > Ce pettā pi yo; Be pitāmaho; Ee pettā piyo. PED menjelaskan pitāmahā (di bawah kata pitar) sebagai “kakek,” yang tampaknya tidak tepat di sini. PED, di bawah pettāpiya (Epic Skt pitṛvya), mendefinisikan “saudara laki-laki dari ayah, paman dari pihak ayah,” yang dengan demikian mendukung Ce dan Ee jika spasinya dihilangkan. Baca juga pp.1758-59, catatan 1330.

2093 > Saya menganggap Ce -ñāṇo di sini kesalahan cetak untuk -ñāṇe, yang muncul dalam bagian pengulangan dari pernyataan menjelang akhir sutta ini. Pada 6:44 Ce menuliskan -ñāṇe pada kedua tempat.

2094 > Dussīlaṃ aparisesaṃ nirujjhati. Mp: “Di sini, kelima jenis ketidak-bermoralan ditinggalkan melalui jalan memasuki-arus; sepuluh [jalan kamma tidak bermanfaat], ditinggalkan melalui jalan Kearahattaan. Pada momen buah semua itu dikatakan telah ditinggalkan. Nirujjhati pada teks ini merujuk pada momen buah. Seorang kaum duniawi melanggar perilaku bermoral dalam lima cara: dengan melakukan pelanggaran pārājika, dengan meninggalkan latihan, bergabung dengan sekte lain, mencapai Kearahattaan, dan kematian. Tiga pertama mengarah pada mundurnya pengembangan, yang ke empat mengarah pada kemajuannya, dan ke lima tidak mengarah pada kemunduran maupun kemajuan. Tetapi bagaimanakah perilaku bermoral dilanggar dengan mencapai Kearahattaan. Karena seorang kaum duniawi dapat memiliki perilaku bermoral bermanfaat yang luar biasa, tetapi jalan menuju Kearahattaan mengarah pada hancurnya kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat; dengan demikian dihancurkan dengan cara itu.” Hal ini, harus disebutkan, dijelaskan dari sudut pandang Abhidhamma, yang menjelaskan perbuatan-perbuatan seorang Arahant, karena hanya sebagai aktivitas (kiriya) tanpa akibat kamma, tidak dikelompokkan sebagai apakah bermanfaat atau tidak bermanfaat. Akan tetapi, dalam bahasa sutta, hal ini dijelaskan sebagai luar biasa bermanfaat.

2095 > Saya menerjemahkan dengan dasar Ce dan Be, yang membaca tayo me. Ee secara konsisten hanya membaca tayo, tanpa me.

2096 > Bersama Ce dan Ee saya membaca micchādiṭṭhikā, tidak seperti Be pāpamittā, “memiliki teman-teman yang jahat.”

2097 > Sebuah paralel yang diperluas dari 9:29.

2098 > Aṭṭhane ca kuppati. Mp: “Sehubungan dengan suatu kejadian yang didorong oleh kehendak maka ada alasan [untuk marah], seperti ketika seseorang bertindak demi bahaya bagiku, dan seterusnya. Tetapi hal ini tidak berlaku pada kasus ketika seseorang melukai dirinya sendiri karena menabrak tunggul pohon dan sebagainya. Oleh karena itu, kasus ini disebut sebagai kekesalan yang tanpa alsan (aṭṭhāne āghāto).

2099 > Sebuah paralel yang diperluas dari 9:30.
 
2100 > Juga terdapat pada 4:36.

2101 > Sebuah paralel yang diperluas dari 8:82.

2102 > Di sini saya dan Be membaca Sati kho pana ayamāyasmā uttari karaṇīye, tidak seperti Ce dan Ee Mutṭhassati kho pana ayamāyasmā uttari karaṇīye, “Yang mulia ini, yang berpikiran-kacau, ketika masih ada yang harus dilakukan lebih lanjut …” dalam Be sati adalah dalam bentuk kata kerja kini yang digunakan dalam kostruksi absolute lokatif; sama sekali tidak berhubungan dengan kata benda sati yang bermakna perhatian. Mungkin tulisan muṭṭhassati muncul karena pengaruh 10:85 §7 di bawah.

2103 > Ce mengulangi percakapan itu sekali lagi di sini, dengan si penipu menyuruh temannya untuk menggali sekali lagi. Saya mengikuti Be dan Ee, yang menghilangkan pengulangan ini.

2104 > Seperti pada 10:84 §10, saya lebih menyukai tulisan pada Be.

2105 > Ini adalah nama dalam Ce, Ee membaca kālakaṃ, yang juga dapat dianggap sebagai nama yang sebenarnya. Tetapi Be menuliskan kālakataṃ, yang berarti “seorang yang telah meninggal dunia.”

2106 > Ayampi dhammo na piyatāya na garutāya na bhāvanāya na sāmaññāya na ekībhāvāya saṃvattati. Mp mengemas na sāmaññāya sebagai na samaṇadhammabhāvāya “juga tidak menuju status [atau tugas] seorang petapa.” Mp jelas menganggapsāmañña sebagai turunan dari samaṇa. Akan tetapi, kata sāmaññā juga merupakan kata benda abstrak dari samāna, yang berarti “sama” atau “serupa,” dan saya yakin ini adalah makna yang dimaksudkan di sini. Saya menerjemahkannya sebagai “kerukunan,” yang cocok dengan kata berikutnya, ekibhāvāya. Baca juga p.1791, catatan 1623. Mp tidak mengemas bhāvanāya, tetapi dalam mengomentari 8:2 Mp memperbolehkan dua alternatif, “pengembangan meditatif” dan “menghargai moralitas.” Dalam konteks ini saya menganggap bahwa yang dimaksudkan adalah yang ke dua. Sebuah paralel China, MĀ 94, pada T 1576a23-25, menuliskan untuk bhāvanāya, (不能令修習), “juga tidak menuju pengembangan meditatif”; dan untuk sāmañña, (不能令的沙門), “juga tidak memperoleh status petapa.” Terlepas dari kesesuaian antara Mp dan MĀ, saya tetap merasa bahwa ada kemungkinan kata itu disalah-pahami pada masa awal dan saya lebih menyukai terjemahan saya.

2107 > Ini adalah pengulangan sebagian dari 5:211, tetapi perbedaan dalam formulasi sangat menonjol untuk dapat disebut sebagai paralel yang diperluas dari sutta sebelumnya.

2108 > Bersama dengan Ce, Be dan Mp (Ce dan Be) saya membaca saddhammassa na vedāyanti. Ee menuliskan kata kerja bentuk tunggal vodāyati, tetapi catatan dalam Ee juga merujuk pada mss pada vodāyanti. Saddhammassa harus dipecah menjadi saddhammā assa. Mp: “Kualitas-kualitas baik dari ajaran, yang terdapat dalam tiga latihan, tidak dipoles baginya” (sikkhāttayasaṅkhātā sāsanasaddhammā assa vodānaṃ na gacchanti).

2109 > Versi sutta ini juga terdapat pada SN 6:9-10 dan Sn 3:10.

2110 > Mā h’evaṃ Kokālika, mā h’evaṃ Kokālika, Sn p.124 menuliskan tulisan yang sama, tetapi SN I 150,7-8 membaca: mā h’evaṃ Kokālika avaca, mā h’evaṃ Kokālika avāca.

2111 > Buah maja yang belum matang kurang lebih sebesar buah peach, buah yang telah matang berukuran kurang lebih sebesar buah delima.

2112 > Sutta merujuk Tudu sebagai paccekabrahmā. Baik Mp maupun Mp-ṭ tidak mendefinisikan istilah ini, tetapi Spk-pṭ I 215 (edisi VRI), mengomentari kata ini pada SN I 146,26-27, menjelaskannya sebagai brahmā yang bepergian sendirian, bukan sebagai anggota dari suatu kumpulan (paccekabrahmā ti ca ekacārī brahmā, na parisacārī brahmāti attho). Mp mengatakan bahwa dalam kehidupan lampaunya ia adalah penahbis Kokālika. Ia meninggal dunia sebagai seorang yang-tidak-kembali dan terlahir kembali di alam brahmā. Ketika ia mendengar bahwa Kokālika sedang memfitnah Sāriputta dan Moggallāna, ia datang untuk meminta agar Kokāloka berkeyakinan pada mereka.

2113 > Karena Sang Buddha telah menyatakan bahwa Tudu adalah seorang yang-tidak-kembali, maka Kokālika menegurnya karena muncul di alam manusia. Sebagai seorang yang-tidak-kembali tentu saja ia tidak terlahir kembali di alam manusia, tetapi ia dapat mewujudkan dirinya di hadapan manusia.

2114 > Tiga bait syair berikut ini terdapat pada 4:3.

2115 > Dalam sistem penomoran India satu koṭi = sepuluh juta; satu koṭi koṭi = satu pakoṭi; satu koṭi pakoṭi = satu koṭipakoṭi; satu koṭi koṭipakoṭi = satu nahuta; satu koṭi nahuta = satu ninnahuta; satu koṭi ninnahuta = satu abbuda; dua puluh abbuda = satu nirabbuda.

2116 > Mp mengatakan bahwa neraka seroja-merah (paduma) bukanlah alam neraka terpisah melainkan sebuah tempat khusus di neraka avīci di mana durasi siksaan diukur dengan unit paduma. Hal yang sama berlaku untuk neraka abbuda, dan seterusnya yang disebutkan di bawah.

2117 > Ce harus dikoreksi dengan menggeser kata dīghaṃ satu baris ke bawah. Dengan demikian paragraf itu dinilai dengan evaṃ vutte dan pertanyaan dimulai dengan kīva dīghaṃ nu kho bhante. Kesalahan ini terdapat baik pada edisi cetakan dan edisi elektronik dari Ce.

2118 > Sebuah paralel yang diperluas dari 8:28.

2119 > Dalam Ee judulnya adalah Upāsakavagga, “Bab tentang Umat-Umat Awam.”

2120 > Ini adalah paralel sebagian dari SN 42:12, IV 331-37, tetapi sedikit berbeda dalam penataan. Di mana terdapat dasar campuran bagi pujian dan kritikan. SN 42:12 menguraikan seluruh dasar bagi pujian dan kritikan secara bersama-sama, masing-masing dalam kelompoknya sendiri-sendrii, sedangkan sutta yang sekarang ini memperlakukan masing-masing hal menurut urutan kemunculannya, menyebutnya sebagai dasar dari kritik atau pujian.

2121 > Tiga variabel dari pola ini yang akan dijelaskan adalah: (i) Bagaimanakah kekayaan itu diperoleh, apakah dengan tidak benar, dengan benar, atau keduanya; (ii) apakah kekayaan itu digunakan untuk manfaat dirinya sendiri atau tidak; dan (3) apakah digunakan demi manfaat orang lain atau tidak. Mereka yang bernilai positif pada ketiga hal ini dibagi lebih lanjut menjadi mereka yang melekati kekayaan mereka dan mereka yang tidak melekatinya.

2122 > Sebuah paralel yang diperluas dari 9:27. berbeda hanya dengan penambahan bagian kemunculan bergantungan, yang juga terdapat pada versi SN 12:41, II 68-70, sebuah paralel utuh.

2123 > Mp: “Metode mulia (ariya ñāya) adalah sang jalan bersama dengan pandangan terang.”

2124 > Sutta ini dimasukkan ke dalam Kelompok Sepuluh mungkin karena ada sepuluh pandangan.

2125 > Evaṃ kho te, gahapati, moghapurisā kālena kālaṃ sahadhammena suniggahitaṃ niggahetabbā. Mp mengemas sahadhammena sebagai “dengan penyebab, dengan alasan, dengan pernyataan” (sahetukena kāraṇena vacanena).

2126 > Vibhajjavādī bhagavā, na so bhagavā ettha ekaṃsavādī. Ungkapan vibhajjavādi, digunakan untuk menggambarkan Sang Buddha, kadang-kadang digunakan untuk memaknai bahwa Sang Buddha menganalisa hal-hal ke dalam komponen-komponennya. Tetapi penggunaan kata itu di sini (dan di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya) menunjukkan bahwa kata ini sesungguhnya bermakna bahwa Sang Buddha menarik perbedaan yang diperlukan untuk menghindari generalisasi yang mengabaikan ambiguitas yang penting. Baca juga tentang bagaimana penggunaan kata ini pada MN 99,  197,10-18.

2127 > Seperti 10:93, sutta ini mungkin dimasukkan ke dalam Kelompok Sepuluh karena berhubungan dengan sepuluh pandangan spekulatif.

2128 > MP: “Pertanyaan paling tinggi: ‘Jangan sampai ia memendam pandangan yang buruk: “Ketika aku mengajukan pertanyaan tertinggi  kepada Petapa Gotama, Beliau menjadi gugup dan tidak menjawab. Mungkinkah ini adalah karena Beliau tidak mampu menjawab?”’”

2129 > Mp: “Pertanyaan yang sama: Ia menunjukkan bahwa Uttiya sekali lagi mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang ia ajukan sebelumnya dalam hal apakah dunia kekal atau tidak kekal. Ia bertanya dari sudut pandang berbeda tentang seluruh dunia, dengan mengambil posisi pada kepercayaan dalam diri makhluk-makhluk hidup (sattūpaladdhiyaṃyeva ṭhatvā aññenakarena pucchati).”

2130 > Dalam Be dan Ee, Kokanuda.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #48 on: 07 October 2013, 07:58:44 PM »
2131 > Pada 4:38 dan 6:54, saya menerjemahkan diṭṭhiṭṭhāna sebagai “sudut pandang,” tetapi di sini sebagai “dasar bagi pandangan.” Saya mengikuti Mp, yang mengemas kata ini pada kemunculan sebelumnya sebagai bermakna pandangan itu sendiri, tetapi di sini sebagai “penyebab-penyebab bagi pandangan-pandangan” (diṭṭhikāraṇa). Mp menyebutkan delapan penyebab demikian: kelompok-kelompok unsur kehidupan, ketidak-tahuan, kontak, persepsi, perasaan, pemikiran, perhatian tidak seksama, teman-teman yang jahat, dan ucapan orang lain (khandhā, avijjā, phasso, saññā, vitakko, ayoniso manasikāro, pāpamittā, paraghoso).

2132 > Saya mengikuti Be, yang tulisannya atas kalimat umum ini selaras dengan urutan yang terdapat di tempat-tempat lain dalam AN. Ce dan Ee membalik urutan pada pasangan “luhur,” “konsentrasi,” dan “terbebaskan,” yang lebih tinggi secara konsisten mengikuti yang rendah. Tulisan pada Ce dan Ee atas semua sutta AN sebelumnya menggunakan urutan dari tulisan Be, dan tampaknya di sini tidak ada alasan untuk membalik urutan itu.

2133 > Mp: “Ia akan tenggelam (saṃsīdissatī) karena pikiran-pikiran indriawi, atau hanyut (uplavissati) karena pikiran berniat buruk dan pikiran mencelakai.”

2134 > Banyak dari yang berikut ini yang berasal dari urutan standar tentang latihan bertahap, telah dijelaskan pada 4:198.

2135 > No ca kho tāva anuppattasadatthā viharanti. Formula umum untuk Arahant, pada 3:37 dan 6:49, menggambarkan Arahant seagai seorang yang “telah mencapai tujuannya sendiri” (anuppattasaddho). Demikianlah Mp II 235,14-15 dan ṃp III 380,17-18, mengomentari formula ini, mengidentifikasikan sadattha sebagai Kearahattaan.

2136 > Bersama dengan Be saya membaca anuppattasadatthā ca viharanti, yang tampaknya diperlukan. Ce dan Ee menuliskan, seperti sebelumnya, no ca kho tāva anuppattasadatthā viharanti, “tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.” Karena hanya sembilan pencapaian meditatif yang disebutkan, maka tidak jelas apa yang membenarkan dimasukkannya sutta ini ke dalam Kelompok Sepuluh. Untuk mendapatkan sepuluh hal, maka saya telah membagi tahap terakhir menjadi dua bagian, tetapi saya tidak yakin bahwa ini adalah apa yang dimaksudkan.

2137 > Saṅghe te viharato phāso bhavissati. Lit., “Dengan engkau berdiam di dalam Saṅgha, maka akan ada ketenangan [atau kenyamanan].” Mp: “[Sang Buddha] memintanya untuk menetap di tengah-tengah Saṅgha dan tidak mengizinkannya menetap di hutan. Mengapa? [Beliau berpikir:] ‘Jika ia menetap di hutan, maka ia hanya akan memenuhi tugas praktik, bukan tugas pembelajaran. Tetapi jika ia menetap di tengah-tengah Saṅgha, maka ia akan memenuhi kedua tugas itu, mencapai Kearahattaan, dan menjadi seorang ahli yang terunggul dalam hal Vinaya Piṭaka. Kemudian, Aku akan menjelaskan aspirasi dan tekad masa lampaunya dan menunjuknya sebagai bhikkhu yang terunggul di atara para ahli vinaya.’ Melihat manfaat ini, Sang Guru tidak mengizinkan Upāli untuk menetap di hutan.”

2138 > Samaṇasaññā. Identik dengan tiga pertama dari “sepuluh hal yang harus sering direfleksikan oleh seorang yang telah meninggalkan keduniawian.” Baca 10:48 untuk catatan atas ketiga tema ini.

2139 > Seluruh tiga pengetahuan diringkas dalam teks.

2140 > Ps I 188,12 – 189,a, mengomentari MN I 42,28, menjelaskan pengetahuan salah (micchāñāṇa) sebagai delusi (moha) yang muncul ketika seseorang, setelah melakukan perbuatan buruk atau merenungkan pikiran buruk, merefleksikannya dan berpikir, “Aku telah melakukan kebaikan.” Kebebasan salah (micchāvimutti) muncul ketika seseorang yang belum terbebaskan berpikir, “aku terbebaskan,” atau kepercayaan bahwa apa yang bukan kebebasan adalah kebebasan sejati.

2141 > Pada Ps I 188,15 – 189,9 pengetahuan benar (sammāñāṇa) dijelaskan sebagai sembilan belas jenis pengetahuan peninjauan kembali (baca Vism 676,4-29, Ppn 22.20-21) dan kebebasan benar (sammāvimutti) sebagai faktor batin yang menyertai buah. Saya berpendapat adalah lebih sederhana untuk menginterpretasikan “pengetahuan benar” sebagai pengetahuan langsung yang memuncak pada Kearahattaan dan “kebebasan benar” sebagai kebebasan pikiran dari āsava dan kekotoran lainnya.

2142 > Sebuah paralel yang diperluas dari 1:314 dan 1:315.

2143 > Sutta yang sama, tetapi hanya sejauh micchāsamādhi dan sammāsamādhi, adalah SN 45:1, V 1-2. Mp tidak memberikan komentar yang subtantif di sini, tetapi Spk III 116,5-6, mengomentari kalimat yang sama pada SN 45:1, menjelaskan bahwa ketidak-tahuan adalah pelopor (pubbaṅgama) dalam dua cara, sebagai kondisi yang muncul bersama-sama (sahajāta, sebuah kondisi bagi fenomena yang muncul bersamaan) dan sebagai kondisi pendukung-keputusan (upanissaya, kondisi yang kuat bagi fenomena yang muncul berikutnya). Spk-pṭ II 103 (edisi VRI) menambahkan bahwa ketidak-tahuan adalah pelopor yang muncul bersamaan ketika ketidak-tahuan itu membuat keadaan yang bersamaan yang selaras dengan kebingungannya sehubungan dengan objek, sehingga menggenggam fenomena yang tidak kekal sebagai kekal, dan seterusnya. Sebagai pelopor yang muncul bersamaan dan pelopor pendukung keputusan ketika seseorang yang dikuasai oleh delusi, dengan tidak melihat bahaya, membunuh, mencuri, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan melakukan perbuatan-perbuatan tidak bermoral lainnya.

2144 > Pada Spk III 117,27-31 dikatakan bahwa hal-hal ini tidak terjadi sekaligus dalam jalan duniawi melainkan muncul sekaligus dalam jalan yang melampaui-duniawi. Bahkan dalam pengembangan jalan duniawi adalah kekeliruan untuk menganggap bahwa delapan faktor ini muncul secara berurutan. Pandangan benar adalah penuntun bagi faktor-faktor jalan lainnya dan kondisi langsung bagi kehendak benar. Pandangan benar dan kehendak benar secara bersama-sama mengkondisikan ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar. Ini pada gilirannya adalah landasan bagi usaha benar dan perhatian benar. Konsentrasi benar dihasilkan dari usaha benar dan perhatian benar yang saling mempengaruhi. Pengetahuan benar (sammā ñāṇa) adalah kebijaksanaan jalan Kearahattaan, dan kebebasan benar (sammā vimutti) adalah kebebasan dari āsava yang muncul melalui pengetahuan benar. Puncaknya adalah anāsava cetovimutti paññāvimutti (“kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan”) dari Arahant.

2145 > Nijjarā. Kamma lama yang “menjadi usang” melalui pertapaan keras adalah konsep dasar dari Jain. Sang Buddha meminjam kata ini tetapi memberikan arti baru. Baca juga 3:74 untuk tiga jenis “menjadi usang” yang diajarkan oleh Sang Buddha.

2146 > Mp menjelaskan bahwa di negeri ini, orang-orang tidak mengkremasi sanak-saudaranya yang meninggal dunia melainkan mengubur mereka. Setelah jasadnya membusuk, mereka menggali tulang-belulangnya, mencucinya, dan menyusunnya, dan menyembahnya dengan dupa dan bunga. Ketika sebuah bintang [yang menguntungkan] muncul, mereka mengambil tulang-belulang itu dan menangis dan meratap setelah itu mereka memainkan [permainan] bintang.

2147 > Asekha. Sebuah istilah untuk seorang Arahant, yang telah menyelesaikan latihan dalam jalan mulia berunsur delapan dan dengan demikian memiliki, lebih dari delapan faktor sang jalan, pengetahuan benar (sammāñāṇa) dan kebebasan benar (sammāvimutti).

2148 > Adhammo ca bhikkhave veditabbo anattho ca; dhammo ca veditabbo attho ca. di sini dhamma harus dipahami lebih jauh dalam makna prinsip kebaikan dan kebenaran daripada dalam makna sempit ajaran Sang Buddha. Dan attha harus dipahami dalam makna apa yang baik, bermanfaat, dan menguntungkan (dalam makna spiritual), yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang seseorang. Kata ini juga bermakna “arti.” Sering kali dhamma dan attha dipasangkan sebagai dua hal yang harus dipahami dan dihargai dalam proses kontemplasi, seperti dalam ungkapan atthaveda dan dhammaveda, atau atthapaṭisaṃvedī dhammapaṭisaṃvedī.

2149 > Berikutnya adalah ungkapan umum yang mengarah pada penjelasan atas ajaran ringkas oleh salah seorang bhikkhu, biasanya oleh Mahākaccāna atau Ānanda.

2150 > Sebuah paralel China terdapat pada MĀ 188. bagian pertama, T I 734a29-c24, kurang lebih bersesuaian dengan 10:116, tetapi memasukkan satu bagian teks yang mengulang MN 76.21, I 519,13-29, sebuah kisah satire tentang guru tertentu yang mengaku maha-tahu. Bagian sutta berikutnya, T I 734c25 – 735b25, paralel dengan 10:115.

2151 > Paṇḍita. Kata ini bermakna “yang bijaksana, yang terpelajar.” Saya tidak yakin apakah ini adalah nama seseorang atau sebuah julukan.

2152 > Cittaṭṭhānasatāni. Mp mengemas sebagai cittuppādasatāni. Bagi saya tampaknya tulisan cinta- pada tempat citta- adalah lebih sesuai dengan konteks. Naskah Burma yang dirujuk pada catatan dalam Ee sebenarnya tidak mencantumkan tulisan ini.
 
2153 > Paṇḍito vata bho paṇḍito vata bho. Ini merujuk pada nama si petapa sesat.

2154 > Tiga kasus pertama terdapat pada Ce, Be, dan Ee. Be berakhir sampai di sini, tetapi Ce menambahkan dua paragraf selanjurnya, dan Ee satu paragraf, yang hanya terdapat pada edisi itu.

2155 > Kedua paragraf dalam tanda kurung siku terdapat dalam Ce tetapi tidak ada dalam Be atau Ee. Hal ini bagi saya tampaknya asing pada dunia pemikiran Nikāya-Nikāya untuk saling mengadu dua doktrin yang selaras dengan Dhamma satu sama lain dalam suatu kontes yang bertujuan untuk membantah, dan juga tidak sesuai dengan suatu “kumpulan yang selaras dengan Dhamma” (dhammikā parisā) yang digambarkan sebagai “riuh dan ramai” (uccāsaddā mahāsaddā). Biasanya, ungkapan ini menggambarkan kumpulan para pengembara non-Buddhis (seperti pada 10:93, V 185,14) atau sekelompok perumah tangga nakal yang berisik (seperti pada 5:30, III 30,27). Pada satu kejadian ungkapan ini menggambarkan sekelompok bhikkhu (MN I 456,20-23), tetapi mereka segera diusir oleh Sang Buddha.

Pada tempat kedua paragraf ini dalam Ce, Ee mencantumkan satu paragraf sebagai berikut: “seseorang membantah dan menyanggah suatu doktrin yang bertentangan dengan Dhamma dengan doktrin yang selaras dengan Dhamma. Dengan cara ini, [231] ia bersenang dalam kumpulan yang selaras dengan Dhamma. Karena alasan ini, kumpulan yang selaras dengan Dhamma itu menjadi riuh dan ramai, menyerukan: ‘Ia sungguh bijaksana, tuan! Ia sungguh bijaksana, tuan!’” ini cukup wajar, bahkan memang diharapkan bahwa suatu doktrin yang selaras dengan Dhamma menang melawan doktrin yang bertentangan dengan Dhamma, tetapi sekali lagi tampaknya tidak cocok untuk suatu kumpulan yang sesuai dengan Dhamma dapat menjadi “riuh dan ramai.”
2156 > Syair ini juga terdapat pada Dhp 86-89.

2157 > Te loke parinibbutā. Ini juga dapat diterjemahkan, “Mereka telah mencapai nibbāna di dunia ini.”

2158 > PED menjelaskan paccorohaṇī sebagai “upacara kedatangan kembali (?), mendatangi atau turun menuju (akusatif), khususnya, api suci.” SED sv pratyavarohaṇa mengatakan: “Festival Gṛhya [perumah tangga] tertentu di bulan Mārgaśirṣa” (November-Desember).

2159 > Paccorohāma bhavantaṃ, paccorohāma bhavantaṃ. Jelas bahwa dari penghormatan ini nama festival paccorohaṇī  itu diturunkan. SED menjelaskan kata kerja pratyavarohati berarti: “turun (dari tempat duduk, kereta, dan sebagainya) untuk menghormati (akusatif).” Jelas, di sini para brahmana turun untuk menghormati Agni, dewa api, yang mewakili energi yang meliputi seluruh alam semesta.

2160 > Saya mengikuti Ce, yang tidak seperti Be dan Ee, tidak memasukkan dhammaṃ dalam kalimat ini.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #49 on: 07 October 2013, 07:59:18 PM »
2161 > Saya mengikuti Be, yang konsisten menempatkan jalan gelap sebelum jalan terang di sini dan di 10:190. Ce dan Ee menempatkan jalan terang terlebih dulu di sini, tetapi membalikkan urutannya di 10:190. judul saya selaras dengan Be, sedangkan Ce menuliskan “Jalan Terang” di sini tetapi di 10:190 “Jalan Gelap.”

2162 > Sutta ini dan sutta berikutnya berturur-turut adalah paralel dari 10:119 dan 10:120.

2163 > Sutta ini dan sutta berikutnya berturur-turut adalah paralel dari 10:171 dan 10:1118

2164 > Terdapat ciri paralel antara 10:171 dan 10:113; 10:172 dan 10:115; dan 10:173 dan 10:114..

2165 > Adalah Cunda ini yang memberikan makanan terakhir kepada Sang Buddha. Baca DN 16.4.17-19, II 127.

2166 > Soceyyāni. Maknanya tidak seketika jelas dan Mp tidak mengemas kata ini. Socceya biasanya berarti “kemurnian, pemurnian,” tetapi dari konteksnya tampaknya merujuk pada sejenis ritual.

2167 >Empat terakhir merujuk berturut-turut pada: (1) seorang perempuan yang dilindungi oleh sesama pengikut religius, (2) Seorang yang telah menikah atau bahkan yang telah diserahkan kepada seorang suami sejak lahir atau sejak kanak-kanak. (3) Seorang yang mana hubungan seksualnya dengannya akan dikenai hukuman, dan (4) seorang gadis yang telah dikalungi bunga oleh seorang laki-laki sebagai tanda pertunangan.

2168 > Seluruh tiga edisi di sini membaca bajjhantu, “semoga mereka diikat.” Mp tidak memberikan kemasan tetapi pada MN I 287, 11 kita menemukan vajjhantu, dikemas oleh Ps II 332,16 sebagai vadhaṃ pāpuṇantu, “semoga mereka dibantai,” dan oleh Ps-pṭ II 230 (edisi VRI) sebagai maraṇaṃ pāpuṇantu, “semoga mereka mati.” Demikianlah saya menganggap vajjhantu sebagai tulisan yang benar.

2169 > Pāli: saddhāni; Skt śrāddhāni. SED sv śrāddha mengatakan: “Sebuah upacara untuk menghormati dan demi manfaat bagi sanak-saudara yang telah meninggal yang dijalankan dengan sangat ketat pada berbagai rentang waktu yang tetap dan pada kesempatan bergembira serta bersedih oleh sanak-saudara yang masih hidup (upacara ini dilakukan dengan mempersembahkan air setiap hari dan waktu yang telah ditetapkan dengan mempersembahkan piṇḍa atau bola nasi dan makanan kepada tiga generasi leluhur dari pihak ayah dan tiga generasi leluhur dari pihak ibu, yaitu, kepada ayah, kakek, dan buyut; harus diingat bahwa śrāddha bukanlah upacara pemakaman melainkan sebuah upacara tambahan pada upacara pemakaman; ini adalah suatu tindakan penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia yang dilakukan oleh sanak-saudara, dan lebih jauh lagi diharapkan untuk memberikan makanan penguat kepada orang yang telah meninggal dunia itu setelah upacara pemakaman yang dilakukan sebelumnya telah memberikan tubuh yang halus kepada mereka; sesungguhnya, sebelum anteyeṣti atau ‘ritual pemakaman’ dilakukan, dan sebelum śrāddha pertama yang dirayakan, sanak saudara yang telah meninggal dunia itu adalah hantu preta atau gelisah yang mengembara, dan belum memiliki tubuh sebenarnya …; hingga śrāddha pertama telah dilakukan baru ia mencapai posisi di antara para pitṛ atau para Ayah Surgawi di alam bahagia mereka yang disebut pitṛ-loka, dan śrāddha ini paling dibutuhkan dan efektif jika dilakukan oleh seorang anak …).”

2170 > Diduga paragraf tentang sepuluh jalan kamma yang tidak bermanfaat dan yang bermanfaat menjelaskan tentang dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Sepuluh.

2171 > Ce anuppannā harus dikoreksi menjadi upapannā, tulisan dalam Be dan Ee dan jelas dibutuhkan oleh konteksnya.

2172 > Aṭṭhānepi bhavaṃ gotamo parikappaṃ vadati. Mp: “[Dengan ini] ia bertanya: ‘Pada kesempatan yang tidak tepat itu [untuk berbagi jasa dari memberi], apakah Guru Gotama menyatakan keberbuahan dari memberi kepada sanak-saudara itu?’ Karena si brahmana menganut kepercayaan bahwa si pemberi tidak memperoleh buah apa pun dari sebuah pemberian yang diberikan demikian. Tetapi Sang Bhagavā, setelah menegaskan pertanyaannya, menunjukkan: ‘Pemberi memperoleh buah dari pemberiannya di mana pun ia dilahirkan, di tempat mana pun di mana ia bertahan hidup dengan buah kebajikannya.’”

2173 > Bab ini adalah paralel dari Lima Puluh Ke Tiga, Bab IV; bab berikutnya paralel dengan Lima Puluh Ke Tiga, Bab V.

2174 > Bab ini paralel dengan Lima Puluh Ke Empat, bab I.

2175 > Ee menggabungkan sebelas sutta ini dengan sutta sebelumnya, dengan demikian menghitung hanya satu sutta dalam bab ini, sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, memiliki dua belas sutta berbeda. Dengan demikian dimulai dari sini penomoran saya berbeda jauh dengan Ee.

2176 > Kecuali dalam hal ringkasan saya tidak melihat adanya perbedaan antara sutta ini dengan sutta sebelumnya. Saya menerjemahkan teks ini sebagaimana adanya, dengan hanya menyingkat bagian penjelasan tentang pandangan salah dan pandangan benar. Tidak ada edisi yang mengatakan apa pun tentang hal ini. Mp tidak mengomentari lima sutta pertama dalam vagga ini, menyiratkan bahwa maknanya telah jelas.

2177 > Saṃsappanīyapariyāyaṃ vo bhikkhave dhammapariyāyaṃ desessāmi. Mp: “Sebuah penjelasan Dhamma dengan ‘merayap’ sebagai topiknya.”

2178 > Mp: “Dalam melakukan perbuatan itu ia merayap ke depan, merayap ke sekeliling, menggeliat ke sekeliling.”

2179 > Utakā. Mungkin burung hantu dimasukkan ke sini karena burung hantu bekerja secara sembunyi-sembunyi. Padanan China pada T I 273c27-28 hanya menyebutkan empat binatang: ular, tikus, kucing, dan rubah.

2180 > Teks menuliskan bentuk jamak genitif sañcetanikānaṃ kammānaṃ. Untuk menyesuaikan dengan penggunaan dalam Bahasa Inggris, saya menggunakan bentuk tunggal “kamma.” Mengingat fakta bahwa kamma menurut definisi adalah kehendak (cetanā ‘haṃ bhikkhave kammaṃ vadāmī). Maka “kamma kehendak terdengar berlebihan, tetapi saya mengikuti Pāli. Jelas bahwa teks menggunakan kedua makna kamma, makna literal “perbuatan, tindakan,” dan makna yang diperluas dari perbuatan dengan kapasitas untuk menghasilkan buah yang ditentukan secara etika. Makna pertama mungkin ditekankan melalui kata, “dilakukan,” dan makna ke dua melalui upacita, “dikumpulkan, ditimbun” serta melalui rujukan pada periode waktu kapan kamma itu matang.

2181 > Tentang tiga matangnya kamma, baca pp.1639-40, catatan 372. Pernyataan Sang Buddha bahwa tidak ada penghentian kamma kehendak yang telah dilakukan dan dikumpulkan selama ia belum mengalami akibatnya tampaknya bertentangan dengan salah satu prinsip utama ajaranNya, yaitu, untuk mencapai kebebasan – “mengakhiri penderitaan” – seseorang tidak perlu mengalami akibat-akibat dari semua kamma yang telah ia kumpulkan di masa lalu. Prinsip ini (setidaknya menurut Nikāya-Nikāya) dianut oleh kaum Jain, seperti disebutkan pada MN 14.17, I 92,35-93,10; MN 101.10, II 218,1-42. Akan tetapi, karena lingkaran kelahiran kembali adalah “tanpa awal yang dapat ditemukan” (anamatagga saṃsāra), dan dalam rentang waktu ini kita semua telah mengumpulkan kamma yang sangat banyak, hal ini memerlukan waktu yang tak terhingga untuk menghabiskan kamma demikian dengan mengalami akibatnya. Sang Buddha mengajarkan bahwa kunci menuju kebebasan bukanlah lenyapnya kamma masa lalu (apakah dengan mengalami akibatnya atau melalui pertapaan keras) melainkan dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran. Para Arahant, dengan menghentikan kekotoran-kekotoran, memadamkan potensi matangnya kamma masa lalu mereka yang melebihi sisa-sisa yang akan matang dalam kehidupan terakhir mereka. Mp menjelaskan bahwa pernyataan teks ini memiliki makna tersirat: “Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa selama saṃsāra masih berlanjut, jika ada kamma yang telah memperoleh kapasitas untuk matang (paṭiladdhavipākārahakamma) “tidak ada tempat di bumi ini di mana seseorang dapat melarikan diri dari perbuatan jahatnya.’” (kutipannya, na vijjati so jagatippadeso, yattaṭṭhito mucceyya pāpakammā, berasal dari Dhp 127). Intinya, dengan kata lain, bukanlah bahwa semua kamma yang telah dilakukan harus menjadi matang, melainkan bahwa kamma apa pun yang telah dilakukan dan dikumpulkan menyimpan potensi untuk matang selama ia mengembara di dalam lingkaran kelahiran kembali.

Sebuah paralel China dari 10:219, MĀ 15 (T I 437b24-438b11), memulai dengan pernyataan serupa seperti pada 10:217. pernyataan (pada T I 437b26-28 ) membaca seperti terjemahan ini: “Jika seseorang telah melakukan kamma masa lampau, Aku katakan, bahwa ia harus mengalami akibatnya: ia mengalaminya apakah dalan kehidupan ini atau dalam kehidupan mendatang. Tetapi jika ia tidak melakukan kamma masa lampau, Aku katakan bahwa ia tidak akan mengalami akibatnya“ (若有故作業,我說被必受其報,或現世受或後世受。若不故作業,我說此不必受報). Paralel China hanya memberikan dua alternatif untuk waktu matangnya dan tidak menjelaskan apa pun yang bersesuaian untuk pernyataan membingungkan, “Aku tidak mengatakan bahwa ada mengakhiri penderitaan selama seseorang belum mengalami [akibat dari] kamma kehendak yang telah dilakukan dan dikumpulkan.”
2182 > Kāyakammantasandosabyāpatti. Mp mengemas menjadi “sebuah pelanggaran yang terdapat dalam perbuatan jasmani” (kāyakammantasaṅkhātā vipatti). Jelas bahwa Mp memahami sandosa dan byāpatti sebagai menyampaikan makna yang sama, yang dikemas dengan vipatti, tetapi saya menganggap kata majemuk itu sebagai sebuah dvanda: “kerusakan dan kegagalan.”

2183 > Baca p.1672, catatan 582.

2184 > Jelas bahwa versi ini berbeda dengan 10:217 hanya dalam hal penyingkatan bagian penjelasan dan dengan menghilangkan perumpamaan dadu.

2185 > Walaupun teks sutta (dalam ketiga edisi) tidak memasukkan peyyāla di sini, yang menunjukkan suatu penghilangan, namun adalah mungkin bahwa di sini sutta ini pada awalnya memasukkan paragraf tentang sepuluh jalan kamma (seperti pada dua sutta sebelumnya). Hanya dengan cara ini maka dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Sepuluh menjadi masuk akal. Lebih jauh lagi, transisi menjadi sa kho so … ariyasāvako evaṃ vigatābhijjho vigatabyāpādo asammūlho dalam paragraf berikutnya, dengan rujukan pada subjek tertentu, menyiratkan bahwa ini telah didahului dengan sebuah paragraf yang telah dibabarkan tentang siswa mulia. Sebenarnya, paragraf lengkap ada terdapat pada paralel China, MĀ 15, yang merupakan perpaduan dari 10:217-18 dan sutta yang sekarang ini.

Struktur dari MĀ 15 adalah sebagai berikut: melanjutkan pernyataan pembuka, Sang Buddha mendefinisikan sepuluh jenis kamma jasmani, ucapan, dan pikiran yang tidak bermanfaat. Kemudian Beliau mengatakan bahwa seorang siswa mulia yang terpelajar melenyapkan tiga tidak bermanfaat dari kamma (jasmani, ucapan, dan pikiran. Ia tanpa kemarahan dan permusuhan, telah menghalau kantuk, melenyapkan kegelisahan dan kesombongan, telah meninggalkan keragu-raguan, dan telah melampaui keangkuhan. Ia penuh perhatian, memiliki pemahaman jernih, dan tidak bingung. Kemudian ia melingkupi segala penjuru dan seluruh dunia dengan pikiran cinta-kasih dan ketiga tanpa-batas lainnya.
2186 > Yaṃ kho pana kiñci pamānakataṃ kammaṃ, na taṃ tatrāvasissati, na taṃ tatrāvatiṭṭhati. Mp mengidentifikasi “kamma tidak terukur” sebagai kamma alam indria (kāmāvacarakamma), yaitu, kamma yang menghasilkan akibat di alam indria. Karena siswa yang sedang dijelaskan diduga adalah seorang yang-tidak-kembali (atau seorang yang pasti menjadi seorang yang-tidak-kembali), maka ia akan terlahir kembali di alam berbentuk dan tidak akan pernah turun ke alam indria. Dengan demikian kamma alam indria tidak akan menemukan kesempatan untuk matang.

2187 > Seperti telah disebutkan sebelumnya, kata Pāli kamma mengandung dua makna yang sering kali sulit dibedakan: makna etimologis, hanya berarti tindakan atau perbuatan, dan makna religius berarti suatu perbuatan yang dianggap sebagai dorongan moral yang dapat membawa konsekuensi pembalasan. Mengherankan bahwa teks mengatakan dengan cukup jelas bahwa seseorang yang mengembangkan kebebasan pikiran melalui cinta-kasih tidak dapat melakukan perbuatan buruk. Tampaknya bagi saya walaupun orang itu mungkin tidak melakukan perbuatan buruk yang didorong oleh kebencian dan niat buruk, namun masih dapat melakukan perbuatan buruk, bahkan yang kecil, yang didorong oleh keserakahan dan delusi.

2188 > Pernyataan ini juga tampaknya bertentangan dengan pandangan umum. Mereka yang tidak melakukan perbuatan buruk dalam kehidupan ini bisa saja menderita akibat kamma dari perbuatan buruk yang dilakukan pada kehidupan-kehidupan sebelumnya. Demikianlah Moggallāna dibunuh dan Sang Buddha sendiri terluka parah oleh serpihan batu tajam pecahan dari batu besar yang dilemparkan oleh Devadatta. Orang-orang bermoral yang belum menjadi Arahant juga mungkin mengalami penderitaan psikologis, dan bukan hanya penderitaan fisik, sebagai konsekuensi dari situasi yang tidak diinginkan. Misalnya, Ānanda, seorang bhikkhu bermoral, merasakan kesedihan dan kekhawatiran ketika Sang Buddha jatuh sakit dan Visākha, seorang pemasuk-arus, meratapi kematian cucunya.

2189 > Cittantaro ayaṃ bhikkhave macco. Mp: “Mereka memiliki pikiran sebagai penyebabnya, atau bagian internal mereka adalah karena pikiran (cittakāraṇo, atha vā citten’eva antariko). Karena dengan pikiran pada saat kelahiran kembali yang mengikuti pikiran pada saat kematian tanpa jeda, seseorang menjadi deva, makhluk-neraka, atau binatang.”

2190 > Karajakāya. Saya menerjemahkan ungkapan ini secara literal tetapi mungkin menyiratkan kurang lebih sama dengan ungkapan Bahasa Inggris yang berarti “tubuh yang tidak kekal ini” atau “tubuh badaniah ini.” DOP sv kara, mengatakan: “Tubuh yang dihasilkan melalui perbuatan, tubuh fisik.” SN 12:37, II 65,1, mengatakan tubuh sebagai “kamma masa lalu” (purāṇamidaṃ … kammaṃ). Paralel China tidak mengatakan apa pun yang bersesuaian dengan istilah ini.

2191 > Mp: “Melalui cinta-kasih, perasaan yang akan dialami pada kelahiran kembali menjadi terpotong, dan dengan demikian tidak mengikuti seseorang. Ini adalah refleksi dari seorang mulia yang adalah seorang pemasuk-arus atau yang-kembali-sekali.” Diduga, kamma buruk semuanya harus dialami di sini (sabbaṃ taṃ idha vedanīyaṃ), dalam kehidupan ini, dan tidak akan mengikuti (na taṃ anugaṃ bhavissati) karena kelahirannya berikutnya adalah di alam berbentuk, di mana tidak ada pengalaman menyakitkan, dan ia akan mencapai nibbāna di alam berbentuk tanpa kembali ke alam ini.

2192 > Idha paññassa bhikkhuno uttariṃ vimuttiṃ appaṭivijjhato. Mp: “Seorang bhikkhu bijaksana di sini: Kebijaksanaan dalam ajaran ini disebut ‘kebijaksanaan di sini.’ Maknanya [dari seorang bijaksana di sini] adalah seorang siswa mulia yang kokoh dalam kebijaksanaan mulia yang berhubungan dengan ajaran.” (imasmiṃ sāsane paññā idhapaññā nāma, sāsanacaritāya ariyapaññāya ṭhitassa ariyasāvakassā ti attho).

2193 > Mp menyebut ini sebagai keadaan dari seorang “yang-tidak-kembali jhāna” (jhānānāgāmitā). Orang-orang demikian telah merealisasikan dua buah yang lebih rendah dan mencapai jhāna-jhāna, tetapi masih belum benar-benar mencapai tingkat yang-tidak-kembali. Melalui kekuatan kamma dari jhāna-jhāna mereka maka mereka akan terlahir kembali di alam berbentuk, di mana mereka akan mencapai dua jalan dan buah yang lebih tinggi tanpa pernah kembali ke alam indria; demikianlah mereka disebut “para yang-tidak-kembali jhāna.” “Kebebasan lebih jauh” (uttariṃ vimutti) adalah Kearahattaan. Baca p.1664, catatan 539.

2194 > Ee menggabungkan ketiga sutta ini dengan sutta sebelumnya.

2195 > Baik Ce maupun Ee tidak menomori vagga ini. Akan tetapi, Ce menomori sutta-sutta dalam rangkaian ini seolah-olah vagga ini harus dihitung menjadi 3 (dengan dimulai dari 10.5.3.1, di mana angka pada segmen ke dua menunjukkan nomor Kelompok Lima Puluh dan segmen ke tiga meunjukkan nomor vagga). Be menomorinya 23, sesuai dengan skema penomoran berurutan yang digunakan untuk vagga-vagga itu. Karena “Lima Puluh Tambahan” hanya terdiri dari dua puluh enam sutta tanpa vagga ini, maka saya menomorinya “III,” dengan asumsi bahwa ini adalah bagian dari Kelompok Lima Puluh ini.

2196 > Ce menomori sutta ini dari 10.5.3.1 hingga 10.5.3.510. Be, menggunakan penomoran berkelanjutan untuk keseluruhan nipāta, menomorinya dari 237 hingga 746; Ee menomorinya dari 217 hingga 219, mengumpulkan semua penjelasan ke dalam 219. saya mengikuti cara Be.

2197 > Agak aneh bahwa pengetahuan benar dan kebebasan benar diperlakukan sebagai kondisi bagi pengetahuan langsung, karena (sewaktu menjelakan pengetahuan dan kebebasan Arahant) dua ini biasanya merupakan hasil dari pengetahuan langsung.

2198 > Di sini Ce dan Ee menambahkan upasamāya (“demi penenangan”).

 

anything