Catatan kaki
1615 >
Amanussā. Lit. “bukan manusia.” Kata ini secara khusus merujuk pada para dewa bumi, yakkha, dan siluman. Vism 312,9 – 313,18 (Ppn 9,24-69), mengilustrasikan manfaat ini dengan sebuah kisah tentang seorang bhikkhu yang memenangkan kasih-sayang para dewa pohon.
1616 >
Sabbe ca pāne manasānukampī. Anukampā (kata benda abstrak dari
anukampī) memiliki nuansa yang agak berbeda dari
karuṇā, kualitas tak terbatas ke dua.
Anukampā biasanya menyiratkan belas kasihan sebagai motif atas perbuatan yang mewakili orang lain, sedangkan
karuṇā umumnya merujuk pada keadaan meditatif.
1617 > Saya menerjemahkan dengan berdasarkan Be dan Ee yang menuliskan
assamedhaṃ, yang selaras dengan nama kelompok pengorbanan tradisional pertama yang disebutkan di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya. Pada
4:39 pengorbanan ini dikecam karena bahaya yang ditimbulkan atas makhluk-makhluk yang tidak berdaya. Ce di sini menuliskan
sassamedhaṃ, “pengorbanan jagung,” suatu kemasan yang terdapat dalam Mp (baik Ce maupun Be. Kemasan ini mungkin bersifat pembetulan, yang dimaksudkan untuk membenarkan asal-usul pengorbanan ini dari para bangsawan kerajaan.
1618 > Ini adalah nama-nama pengorbanan lainnya.
1619 > Bersama Be dan Ee membaca
tāraganā va, bukan seperti Ce
tāragaṇa cā.
1620 >
Mettaṃso sabbabhūtānaṃ veraṃ tassa na kenaci. Mp menganggap
mettaṃso sebagai kata majemuk dari
mettā dan
aṃso, mengemasnya menjadi
mettāyamānacittakoṭṭhāso, “seporsi pikiran cinta.” BHSD sv
amśa membuktikan kemunculan
maitra amśa dalam literatur BHS;
maitreṇāṃśena sphuritvā dalam Divyāvadāna 60.24 dan 61.12.
1621 >
Ādibrahmacariyikāya paññāya. Mp: “[Ini adalah] pandangan terang, kebijaksanaan yang menjadi landasan bagi kehidupan spiritual sang jalan” (
maggabrahmacariyassa ādibhūtāya paññāyā ti vipassanāya).
1622 >
Ariyaṃ vā tuṇhībhāvaṃ nātimaññati. Lit., “atau ia tidak merendahkan keheningan mulia.”
1623 >
Piyattāya garuttāya bhāvanāya sāmaññāya ekībhāvāya saṃvattati. Mp mengemas
bhāvanāya di sini sebagai
bhāvanatthāya guṇasambhāvanāya vā, “pada pengembangan [meditatif] atau pada penghargaan atas moralitas.” Makna terakhir tampaknya lebih sesuai dengan konteks. Mp mengemas
sāmaññāya sebagai
samaṇadhammathāya, “demi tugas petapa,” tetapi saya pikir lebih mungkin bahwa
samaññā adalah kata benda abstrak dari
samāṇa, yang berarti “sama” atau “serupa.” Saya menerjemahkannya sebagai “kerukunan,” yang sesuai dengan kata berikutnya “
akibhāvāya. PED mengartikan
sāmañña sebagai “kesesuaian” dan “persatuan.” Kata ini muncul dalam makna ini sebagai nama dari vagga ke lima dari kelimpok Lima Puluh Ke Dua (bca p.1237 di bawah). Tidak terdapat paralel China, tapi baca pp.1848-49, catatan 2106.
1624 > Sebuah paralel yang diperluas dari
7:1. Walaupun menggunakan kerangka yang sama,
8:4 bukanlah sebuah paralel yang persis dari
7:2.
1625 >
Asuci. Mp hanya mengatakan “ia memiliki perbuatan jasmani yang tidak murni, dan seterusnya”
1626 > Devadatta telah memecah-belah Saṅgha dan pergi bersama kumpulan para bhikkhunya, bermaksud untuk mendirikan kelompok tandingan.
1627 >
Yaṃ kiñci subhāsitaṃ sabbaṃ taṃ tassa bhagavato vacanaṃ arahato sammāsambuddhassa. Tato upādāy’upādāya mayañ c’aññe ca bhaṇāma. Ini dapat diterjemahkan, “Apa pun kata-kata Sang Bhagavā … diucapkan dengan baik.” Seperti disebutkan, ini mengungkapkan gagasan bahwa ajaran yang baik yang mana pun yang disampaikan oleh para siswa, bahkan ketika berasal dari mereka sendiri, dapat dianggap sebagai
buddhavacana karena berdasarkan atas ajaran Sang Buddha.
1628 > Kemungkinan bahwa sutta ini dimasukkan dalam Kelompok Delapan karena delapan kondisi buruk yang disebutkan dalam khotbah tentang Devadatta.
1629 > Sulit untuk melihat atas dasar apa Sakka mengatakan bahwa pembabaran Dhamma ini belum dikenal luas di antara empat kumpulan (
d’ayaṃ dhammapariyāyo kismiñci patiṭṭhito). Khotbah tentang mengetahui kegagalan dan pencapaian diri sendiri telah diajarkan kepada para bhikkhu, yang kemungkinan besar juga telah mengajarkannya kepada tiga kumpulan lainnya.
1630 > Nanda, adik sepupu Sang Buddha, jelas memiliki keinginan indriawi yang kuat. Setelah ia menjadi seorang bhikkhu ia terus-menerus memikirkan tunangannya dan kelak berharap dapat terlahir di antara para bidadari surgawi. Kisahnya terdapat pada Ud 3:2,21-24.
1631 > Pada
4:41, ini disebut pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perhatian dan pemahaman jernih.
1632 >
Aññenāññaṃ paṭicarati, bahiddhā kathaṃ apanāmeti, kopañca dosañca appaccayañca pātukaroti.
1633 > Bersama Ce dan Be saya membaca
niddhamath’etaṃ … niddhamath’etaṃ, bukan seperti Ee
dhammath’etaṃ … niddhamath’etaṃ.1634 > Semua tulisan atas kalimat ini tampaknya membingungkan. Ce menuliskan
kiṃ vo paraputto vihethīyati, di mana kata kerja pasif tampaknya tidak sesuai. Ee menuliskan
kiṃ vo paraputtā viheṭheti, yang menghubungkan ebuah subjek jamak pada kata kerja aktif tunggal. Be menuliskan
kiṃ vo tena paraputtena visodhitena, “Apakah hubungan antara engkau dengan putra orang lain yang telah murni?” yang tidak sesuai dalam konteks ini. Ee mencantumkan variasi lainnya lagi dalam catatan kaki. Saya menganggap tulisan yang seharusnya adalah:
kiṃ vo paraputto viheṭheyya. Mp tidak memberikan penjelasan, tetapi maknanya tampaknya adalah bahwa si bhikkhu yang bermasalah, karena perilakunya, bukanlah seorang siswa sejati Sang Buddha dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai “putra” (yaitu, siswa) dari guru lain.
1635 >
Aññesaṃ bhaddakānaṃ bhikkhūnaṃ. Saya menganggap bahwa ini adalah delapan modus perilaku di atas yang mendasari klasifikasi sutta ini dalam Kelompok Delapan.
1636 >
Kuṭhāripāsena. DOP ragu-ragu atas makna ini tetapi mengusulkan bahwa ini adalah cincin atau bilah dari kapak. PED menuliskan “lemparan kapak.”
1637 >
Naḷerupucimandamūle. Sp I 108,29-30 mengatakan bahwa Naḷeru adalah nama sesosok yakkha.
1638 > Kecaman serupa terhadap Sang Buddha terdapat pada
4:22.
1639 >
Arasarūpo bhavaṃ Gotamo. Mp: “Brahmana itu, karena kurangnya kebijaksanaan, tidak mengenali Sang Buddha sebagai yang tertua di dunia. Sama sekali tidak ingin menerima pernyataan Sang Buddha, ia berkata demikian, dengan merujuk pada ‘rasa kerukunan’ (
sāmaggirasa), yang di dunia ini berarti memberi hormat, berdiri dengan hormat, salam hormat, dan perilaku sopan. Untuk melunakkan pikirannya, Sang Buddha menghindari secara langsung membantahnya; sebaliknya Beliau mengatakan bahwa sebutan itu berlaku untuk Beliau, tetapi dalam makna berbeda. [Sang Buddha mengatakan tentang ‘rasa’] sebagai kepuasan dalam kenikmatan indria yang muncul pada kaum duniawi – bahkan pada mereka yang dianggap terbaik dalam hal kasta atau kelahiran kembali – yang menyukai, menyambut, dan bernafsu pada objek-objek seperti bentuk, dan sebagainya.”
1640 >
Nibbhogo bhavaṃ Gotamo.Mp mengatakan bahwa brahmana itu bermaksud mengatakan ini dalam makna bahwa Sang Buddha tidak memiliki “kenikmatan kerukunan” (
sāmaggiparibhogo, kebersamaan), yang dengannya sekali lagi ia merujuk pada isyarat hormat seperti memberi hormat kepada sesepuh, dan sebagainya. Tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada kenikmatan indriawi yang muncul pada makhluk-makhluk biasa.
1641 >
Akiriyavādo bhavaṃ Gotamo. Doktrin tidak-berbuat, seperti yang diungkapkan oleh para penganutnya, menyangkal adanya perbedaan antara baik dan buruk. Baca DN 2.17, I 52,22-53,2; MN 60.13, I 404,21-35; MN 76.10, I 516,3-17; SN 24.6, III 208,20-209,6. Mp mengatakan bahwa brahmana itu mengatakan ini dengan maksud bahwa Sang Buddha tidak berbuat sesuai kebiasaan, seperti memberi hormat kepada sesepuh, dan sebagainya. Tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada tidak-berbuat perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.
1642 >
Ucchedavādo bhavaṃ Gotamo. Para penganut nihilis menyatakan “pemusnahan, kehancuran, dan pembinasaan” seorang yang benar-benar ada pada saat kematian. Baca DN 1.3.9-16, I 34,2-35,36. Mp mengatakan bahwa brahmana itu bermaksud untuk menuduh bahwa Sang Buddha berusaha memusnahkan kebiasaan menghormati para sesepuh, dan sebagainya yang telah lama ada, tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada pemusnahan segala kekotoran dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat melalui empat jalan mulia.
1643 >
Jegucchi bhavaṃ Gotamo. Mp: “Brahmana itu menyebut Sang Bhagavā seorang ‘penolak’ (
JegucchI); ia berpikir bahwa karena Sang Buddha menolak (
jigucchati) perilaku sopan seperti menghormati para sesepuh, maka Beliau tidak melakukan perbuatan demikian. Tetapi Sang Bhagavā mengakui hal ini dalam makna metafora. Beliau menolak perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran dan berbagai kualitas buruk yang tidak bermanfaat, seperti halnya seseorang yang menyukai perhiasan akan menolak dan jijik pada kotoran tinja.
1644 >
Venayiko bhavaṃ Gotami. Venayika, dari kata kerja
vineti (mendisiplinkan, melenyapkan), dapat berarti “seorang yang menjatuhkan disiplin, seorang yang melatih orang lain.” Tetapi pada masa Sang Buddha kata
venayika tampaknya juga bermakna “seorang yang menyesatkan,” yang mengarahkan seseorang menuju kehancuran.. demikianlah Mp mengemas
vineti, dalam pandangan si brahmana, sebagai
vināseti, “menghancurkan.” Tetapi Sang Buddha menegaskan hal ini dalam makna bahwa Beliau mengajarrkan Dhamma untuk pelenyapan nafsu dan kekotoran lainnya (
rāgādīnaṃ vinayāya).
1645 >
Tapassī bhavaṃ Gotamo. Seorang
tapassī biasanya adalah seorang petapa yang menekuni praktik menyiksa-diri. Kata ini diturunkan dari kata kerja
tapati, “membakar, memanaskan.” Si brahmana, menurut Mp, menggunakan kata ini dalam makna seorang yang menyiksa para sesepuh dengan tidak menunjukkan penghormatan selayaknya kepada mereka. Tetapi Sang Buddha menggunakan kata ini dalam makna bahwa Beliau membakar habis kualitas-kualitas tidak bermanfaat.
1646 >
Apagabbho bhavaṃ Gotamo. SED menjelaskan Skt
apagalbha sebagai “kurangnya keberanian, malu, bingung” (baca juga DOP sv
apagabbha). Sang Buddha bermain kata seolah-olah bermakna “bebas dari (
apa) rahim (
gabbha).” Adalah nyaris mustahil untuk menangkap permainan kata itu dalam terjemahan; penggunaan “pensiun” oleh saya adalah suatu usaha yang canggung untuk menjembatani kedua makna “takut” dan “berhenti” dari pengembaraan melalui lingkaran kelahiran kembali.
1647 > Baca
4:128 §4.1648 > Mengikuti Be dan Ee, saya menerjemahkan kedua pengetahuan secara lengkap. Ce menyingkatnya.
1649 > Saya tidak mengikuti Ce, yang di sini memasukkan
diṭṭhāsava, noda pandangan, yang tidak ada dalam Be atau Ee. Kalimat paralel dalam Ce pada
3:59, 4:198, dan sebagainya, tidak memasukkan
diṭṭhāsava.1650 > Agak aneh bahwa Mahāvīra (Nigaṇṭha Nātaputta) digambarkan membuat pernyataan demikian. Kaum Jain pasti sudah mengetahui bahwa Sang Buddha juga mengajarkan doktrin kamma, walaupun berbeda dengan doktrin mereka. Mp mengatakan bahwa Nātaputta sangat tidak senang atas permohonan Sīha dan berniat untuk mencegahnya pergi. Kata-katanya “menghancurkan kegembiraan yang telah muncul dalam diri Sīha, seolah-olah dengan tongkat kayu memukul seekor sapi yang sedang berkeliaran, memadamkan pelita yang menyala, atau membalikkan mangkuk berisi makanan.”
1651 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca:
yannūnāhaṃ anapaloketvā va nigaṇṭhe, bukan seperti Ce
yannūnāhaṃ anapalokitā va nigaṇṭhe. Dalam kalimat sebelumnya, dengan
nigaṇṭhā sebagai subjek, bentuk lampau
apalokitā vā anapalokitā vā cocok sebagai nominatif sesuai dengan subjek. Dalam kalimat ini, di mana subjeknya adalah
ahaṃ, bentuk absolutif yang menyiratkan tindakan Sīha lebih disukai.
1652 > Baca p.1646, catatan 416.
1653 > Dalam
8:11 tuduhan §§1, 3-7 diarahkan pada Sang Buddha.
1654 > Ce dan Be menuliskan
assāsako; Ee membaca
assattho, yang berarti “terhibur.” Saya tidak yakin bagaimana hal ini dimaksudkan sebagai kritikan.
1655 > Mp: “
Penghiburan tertinggi (
paramena assāsena): empat jalan dan empat buah.”
1656 > Bagian berikutnya di sini, hingga “menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam ajaran Sang Guru,” sangat mirip dengan pengalaman Upāli dalam MN 56.16-18, I 379,2 – 380,10.
1657 > Tuduhan ini juga disebutkan pada
3:57.
1658 > Ce dan Ee
jīranti; Be
jiridanti. Mp: “Mereka tidak membatasi fitnahan mereka (
abbhakkhānassa antaṃ na gacchanti). Atau, kata
jiridanti ini berarti malu (
lajjanatthe). Artinya adalah bahwa mereka tidak malu (
na lajjanti).”
1659 > Baca Jīvaka Sutta (MN 55) untuk posisi Sang Buddha atas makan-daging. Agak mengherankan, bahkan nyaris tidak jujur, bahwa teks Buddhis menggambarkan kaum Jain mengkritik Sang Buddha karena memakan daging dari binatang yang dibunuh khusus untuknya. Tuduhan ini berperan pada protes Buddhis bahwa Sang Buddha sedang difitnah dan pembelaan mereka bahwa Beliau tidak akan pernah dengan sengaja menyebabkan makhluk hidup terbunuh untuk makananNya. Tetapi karena kaum Jain adalah praktisi vegetarian keras, maka kita dapat yakin bahwa mereka mengkritik Sang Buddha dan para siswaNya, bukan karena menyebabkan binatang terbunuh untuk makanan mereka, melainkan hanya karena makan daging. Tentang larangan makan daging oleh Jain, baca
http://www.jainworld.com/jainbooks/guideline/28.htm.
1660 > Dalam Ee,
so rato harus dibaca tanpa spasi sebagai
sorato.