//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN  (Read 8682 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #15 on: 12 August 2013, 10:41:58 PM »
53 (3) Secara Ringkas <1749>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas, sehingga, setelah mendengar Dhama dari Sang Bhagavā, aku dapat berdiam sendirian, terasing, tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh.”

“Gotamī, hal-hal itu yang engkau ketahui: ‘Hal-hal ini mengarah pada (1) nafsu, bukan pada kebebasan dari nafsu; (2) pada ikatan, bukan pada keterlepasan; (3) pada pembangunan, bukan pada pembongkaran; (4) pada keinginan kuat, bukan pada keinginan yang sedikit; (5) pada ketidak-puasan, bukan pada kepuasan; (6) pada kumpulan, bukan pada kesendiran; (7) pada kemalasan, bukan pada pembangkitan semangat; (8 ) pada kesulitan untuk disokong, bukan pada kemudahan untuk disokong,’ maka engkau harus dengan tegas mengenalinya: ‘Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah disiplin; ini bukanlah ajaran Sang Guru.’ Tetapi, Gotamī, hal-hal itu yang engkau ketahui: ‘Hal-hal ini mengarah pada (1) kebebasan dari nafsu, bukan pada nafsu; (2) pada keterlepasan, bukan pada ikatan; (3) pada pembongkaran, bukan pada pembangunan; (4) pada keinginan yang sedikit, bukan pada keinginan kuat; (5) pada kepuasan, bukan pada ketidak-kepuasan; (6) pada kesendirian, bukan [281] pada kumpulan; (7) pada pembangkitan semangat, bukan pada kemalasan; (8 ) pada kemudahan untuk disokong, bukan pada kesulitan untuk disokong,’ maka engkau harus dengan tegas mengenalinya: ‘Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru.’

54 (4) Dīghajāṇu

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Koliya di dekat pemukiman Koliya bernama Kakkarapatta. Di sana pemuda Koliya Dīghajāṇu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, kami adalah para umat awam yang menikmati kenikmatan-kenikmatan indria, menetap di rumah yang penuh dengan anak-anak. Kami menggunakan kayu cendana dari Kāsi; kami memakai kalung bunga, wewangian, dan salep; kami menerima emas dan perak. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepada kami dalam suatu cara yang dapat mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami dalam kehidupan ini dan kehidupan mendatang.”

“Ada, Byagghapajja,<1750> empat hal ini yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam kehidupan ini. Apakah empat ini? Kesempurnaan dalam inisiatif, kesempurnaan dalam perlindungan, pertemanan yang baik, dan kehidupan yang seimbang.

(1) “Dan apakah kesempurnaan dalam inisiatif? Di sini, cara apa pun yang dengannya seorang anggota keluarga mencari penghidupannya – apakah dengan bertani, berdagang, beternak, keterampilan memanah, pelayanan pemerintahan, atau keterampilan-keterampilan lainnya – ia terampil dan rajin; ia memiliki penilaian yang baik atasnya agar dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar. Ini disebut kesempurnaan dalam inisiatif.

(2) “Dan apakah kesempurnaan dalam perlindungan? Di sini, seorang anggota keluarga mendirikan perlindungan dan penjagaan atas kekayaan yang telah ia [282] peroleh, yang diusahakan dengan keringat di dahinya, kekayaan yang benar yang diperoleh dengan benar, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah aku dapat mencegah raja-raja dan para pencuri merampasnya, api membakarnya, banjir menghanyutkannya, dan para pewaris yang tidak disukai mengambilnya?’ ini disebut kesempurnaan dalam perlindungan.

(3) “Dan apakah pertemanan yang baik? Di sini, di desa atau pemukiman mana pun seorang anggota keluarga menetap, ia bergaul dengan para perumah tangga atau para putra mereka – apakah yang masih muda dengan moralitas yang matang, atau yang sudah tua dengan moralitas yang matang – yang sempurna dalam keyakinan, perilaku bermoral, kedermawan, dan kebijaksanaan; ia berbincang-bincang dengan mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka. Sejauh mereka sempurna dalam keyakinan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan dalam keyakinan; sejauh mereka sempurna dalam perilaku bermoral, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan dalam perilaku bermoral; sejauh mereka sempurna dalam kedermawanan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan dalam kedermawanan; sejauh mereka sempurna dalam kebijaksanaan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Ini disebut pertemanan yang baik.

(4) “Dan apakah kehidupan yang seimbang? Di sini, seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani kehidupan seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu berhemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’ Bagaikan seorang petugas penimbang atau pembantunya, dengan memegang timbangan, mengetahui: ‘Dengan sebanyak ini timbangan akan turun, dengan sebanyak ini timbangan akan naik,’ demikian pula seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu hemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku [283] dan bukan sebaliknya.’

“Jika anggota keluarga ini memiliki pendapatan yang kecil namun hidup mewah, orang lain akan berkata tentangnya: ‘Anggota keluarga ini memakan hartanya bagaikan pemakan buah ara.’<1751> Tetapi jika ia memiliki pendapatan besar namun hidup hemat.’ Orang lain akan berkata tentangnya: ‘Anggota keluarga ini bahkan bisa kelaparan.’<1752> Tetapi ini disebut kehidupan seimbang ketika seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu hemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’

“Kekayaan yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber pemborosan: bermain perempuan, bermabuk-mabukan, berjudi, dan pertemanan yang buruk. Seperti halnya ada sebuah waduk besar dengan empat saluran masuk dan empat saluran keluar, dan seseorang menutup saluran-saluran masuk dan membuka saluran-saluran keluar, dan tidak ada turun hujan, maka seseorang dapat berharap air dalam waduk tersebut menjadi berkurang dan bukan bertambah; demikian pula, kekayaan  yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber pemborosan: bermain perempuan … pertemanan yang buruk.

“Kekayaan yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber pertambahan: ia menghindari bermain perempuan, menghindari bermabuk-mabukan, dan [284] menghindari berjudi, dan mengembangkan pertemanan yang baik. Seperti halnya ada sebuah waduk besar dengan empat saluran masuk dan empat saluran keluar, dan seseorang membuka saluran-saluran masuk dan menutup saluran-saluran keluar, dan hujan turun dengan cukup, maka seseorang dapat berharap air dalam waduk tersebut menjadi bertambah dan bukan berkurang; demikian pula, kekayaan  yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber pertambahan: ia menghindari bermain perempuan … dan mengembangkan pertemanan yang baik.

“Ini adalah keempat hal itu yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam kehidupan ini.

“Ada, Byagghapajja, empat hal [lainnya] yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam kehidupan mendatang. Apakah empat ini? Kesempurnaan dalam keyakinan, kesempurnaan dalam perilaku bermoral, kesempurnaan dalam kedermawanan, dan kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

(5) “Dan apakah kesempurnaan dalam keyakinan? Di sini, seorang anggota keluarga memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kesempurnaan dalam keyakinan.

(6) “Dan apakah kesempurnaan dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang anggota keluarga menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral.

(7) “Dan apakah kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, seorang anggota keluarga berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepaskan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi. Ini disebut kesempurnaan kedermawanan.

(8 ) “Dan apakah kesempurnaan dalam kebijaksanaan? [285] Di sini, seorang anggota keluarga bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini disebut kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

“Ini adalah keempat hal [lainnya] yang mengarah kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam kehidupan mendatang.”

   Berusaha dalam pekerjaannya,
   cermat dalam pengaturannya,
   seimbang dalam gaya hidupnya,
   ia menjaga kekayaan yang ia peroleh.

   Dengan memiliki keyakinan, sempurna dalam moralitas,
   Dermawan dan hampa dari kekikiran,
   Ia terus-menerus memurnikan sang jalan
   Yang mengrah pada keamanan dalam kehidupan mendatang.

   Demikianlah kedelapan kualitas ini
   Dari seorang pencari kehidupan rumah tangga yang berkeyakinan
   Dikatakan oleh Ia yang dinamai dengan benar<1753>
   Mengarah pada kebahagiaan di kedua keadaan:

   Kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan ini,
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang.
   Demikianlah bagi mereka yang berdiam di rumah,
   Kedermawanan dan jasa mereka bertambah.

55 (5) Ujjaya

Brahmana Ujjaya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, aku hendak pergi ke luar negeri. Sudilah Guru Gotama mengajarkan Dhamma kepadaku tentang hal-hal yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku dalam kehidupan ini dan kehidupan mendatang.”

[Berikutnya identik dengan 8:54, termasuk syairnya, tetapi dibabarkan kepada sang Brahmana.] [286-89].

56 (6) Bahaya <1754>

“Para bhikkhu, (1) ‘bahaya’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. (2) ‘Penderitaan’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. (3) ‘Penyakit’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. (4) ‘Bisul’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. (5) ‘Anak panah’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. (6) ‘Ikatan’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. (7) ‘Rawa-rawa’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria. (8 ) ‘Rahim’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria.

“Dan mengapakah, para bhikkhu ‘bahaya’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria? Seseorang yang tergerak oleh nafsu indriawi, terikat oleh keinginan dan nafsu, tidak terbebas dari bahaya yang berhubungan dengan kehidupan ini [290] atau dari bahaya yang berhubungan dengan kehidupan mendatang; oleh karena itu ‘bahaya’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria.

“Dan mengapakah ‘penderitaan’ … ‘penyakit’ … ‘bisul’ … ‘anak panah’ … ‘ikatan’ … ‘rawa-rawa’ … ‘rahim’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria? Seseorang yang tergerak oleh nafsu indriawi, terikat oleh keinginan dan nafsu, tidak terbebas dari rahim yang berhubungan dengan kehidupan ini atau dari rahim yang berhubungan dengan kehidupan mendatang;<1755> oleh karena itu ‘rahim’ adalah sebutan untuk kenikmatan indria.

   Bahaya, penderitaan, dan penyakit,
   Bisul, anak panah, dan ikatan,
   Rawa-rawa dan rahim:
   Ini menggambarkan kenikmatan-kenikmatan indria.
   Yang padanya para kaum duniawi terikat.
   Karena terbenam dalam apa yang dinikmati
   Ia sekali lagi pergi menuju rahim.

   Tetapi ketika seorang bhikkhu tekun
   Dan tidak mengabaikan pemahaman jernih
   Dengan cara demikian ia melampaui
   Lumpur kesengsaraan ini;
   Ia mengamati populasi yang goyah ini
   Yang telah jatuh ke dalam kelahiran dan usia tua.

57 (7) Layak Menerima Persembahan (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki delapan kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah delapan ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu bermoral … Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya.

(2) “Ia telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan.

(3) “Ia memiliki teman-teman, kawan-kawan, sahabat-sahabat yang baik.

(4) “Ia adalah seorang yang berpandangan benar, [291] memiliki perspektif benar.

(5) “Ia memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman dalam kebahagiaan dalam kehidupan ini.

(6) “Ia mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … [seperti pada 8:11] … demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

(7) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia … [seperti pada 8:11] … ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

(8 ) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebaasn yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

 “Dengan memiliki delapan kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #16 on: 12 August 2013, 10:42:25 PM »
58 (8 ) Layak Menerima Persembahan (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki delapan kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah delapan ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu bermoral … Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya.

(2) “Ia telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan.

(3) “Ia telah membangkitkan kegigihan;<1756> ia kuat, kokoh dalam usaha, dan tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat.

(4) “Ia adalah seorang penghuni hutan, seorang yang mendatangi tempat-tempat tinggal terpencil.

(5) “Ia telah menaklukkan ketidak-puasan; ia mengatasi ketidak-puasan kapan pun munculnya.

(6) “Ia telah menaklukkan ketakutan dan teror; ia mengatasi ketakutan dan teror kapan pun munculnya. [292]

(7) “Ia memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman dalam kebahagiaan dalam kehidupan ini.

(8 ) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebaasn yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

 “Dengan memiliki delapan kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

59 (9) Delapan Orang (1)

“Para bhikkhu, delapan orang ini adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah delapan ini? pemasuk-arus, orang yang berlatih untuk merealisasikan buah memasuki-arus, yang-kembali-sekali, orang yang berlatih untuk merealisasikan buah yang-kembali-sekali; yang-tidak-kembali, orang yang berlatih untuk merealisasikan buah yang-tidak-kembali; Arahant, orang yang berlatih untuk merealisasikan buah Kearahattaan.<1757> Delapan orang ini adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

   Empat berlatih sang jalan<1758>
   Dan empat kokoh dalam buah:
   Ini adalah Saṅgha yang lurus –
   Tenang dalam kebijaksanaan dan perilaku bermoral.<1759>

   Bagi orang-orang yang tekun pada pengorbanan,
   Bagi makhluk-makhluk hidup yang mencari jasa,
   Melakukan jasa yang matang dalam perolehan,<1760>
   Apa yang diberikan pada Saṅgha ini menghasilkan buah yang besar.

60 (10) Delapan Orang (2)

“Para bhikkhu, delapan orang ini adalah layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah delapan ini? [293] pemasuk-arus, orang yang berlatih untuk merealisasikan buah memasuki-arus … Arahant, orang yang berlatih untuk merealisasikan buah Kearahattaan. Delapan orang ini adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

   Empat berlatih sang jalan
   Dan empat kokoh dalam buah:
   Delapan orang di antara makhluk-makhluk –
   Ini adalah Saṅgha terunggul.

   Bagi orang-orang yang tekun pada pengorbanan,
   Bagi makhluk-makhluk hidup yang mencari jasa,
   Melakukan jasa yang matang dalam perolehan,
   Apa yang diberikan pada Saṅgha ini menghasilkan buah yang besar.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #17 on: 12 August 2013, 10:42:54 PM »
II. CĀPĀLA

61 (1) Keinginan

“Para bhikkhu, ada delapan jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah delapan ini?

(1) “Di sini, ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendiran, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan itu.<1761> Namun demikian, ia gagal memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan [294] yang bangkit, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan, tetapi tidak mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(2) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendiran, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan, dan mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(3) “Tetapi, ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendiran, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berjuang, dan tidak berusaha untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berjuang, dan tidak berusaha untuk memperoleh keuntungan, dan tidak mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(4) “Tetapi, ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendiran, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berjuang, dan tidak berusaha untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berjuang, dan tidak berusaha untuk memperoleh keuntungan, tetapi ia mendapatkannya, menjadi mabuk dan lengah: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(5) “Tetapi, ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendiran, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, [295] ia gagal memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena tidak memperoleh keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan, dan walaupun tidak mendapatkannya, ia tidak bersedih atau meratap: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(6) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendiran, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan, dan setelah mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(7) “Tetapi, ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendiran, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berjuang, dan tidak berusaha untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena tidak mendapat keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berjuang, dan tidak berusaha untuk memperoleh keuntungan, dan setelah tidak mendapatkannya, ia tidak berduka atau meratap: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(8 ) “Tetapi, ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendiran, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berjuang, dan tidak berusaha untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berjuang, dan tidak berusaha untuk memperoleh keuntungan, dan setelah ia mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

“Ini adalah kedelapan jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [296]

62 (2) Mampu

(1) “Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri dan orang lain.<1762> Apakah enam ini?

“Di sini, (i) seorang bhikkhu adalah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat;<1763> (ii) ia mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia pelajari; (iii) ia menyelidiki makna dari ajaran-ajaran yang telah ia ingat; (iv) ia telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma; (v) ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia memiliki ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; (vi) ia adalah seorang yang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri dan orang lain.

(2) “Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri dan orang lain. Apakah lima ini?

“Di sini, seorang bhikkhu bukanlah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat. Akan tetapi, (i) ia mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia pelajari; (ii) ia menyelidiki makna dari ajaran-ajaran yang telah ia ingat; (iii) ia telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma; (iv) ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … ekspresif dalam makna; (v) ia adalah seorang yang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri dan orang lain.

(3) “Dengan memiliki empat kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri tetapi tidak untuk orang lain. Apakah empat ini?

Di sini, (i) seorang bhikkhu adalah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat; (ii) ia mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia pelajari; [297] (iii) ia menyelidiki makna dari ajaran-ajaran yang telah ia ingat; (iv) ia telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma. Akan tetapi  ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia juga tidak memiliki ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; dan ia bukanlah seorang yang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan memiliki keempat kualitas di atas seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri tetapi tidak untuk orang lain.

(4) “Dengan memiliki empat kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk orang lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Apakah empat ini?

Di sini, (i) seorang bhikkhu adalah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat; (ii) ia mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia pelajari. Akan tetapi, ia tidak menyelidiki makna dari ajaran-ajaran yang telah ia ingat, dan  ia tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak berlatih sesuai Dhamma. (iii) Namun,  ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … ekspresif dalam makna; dan (iv) ia adalah seorang yang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan memiliki keempat kualitas di atas seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk orang lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri.

(5) “Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri tetapi tidak untuk orang lain. Apakah tiga ini?

“Di sini, seorang bhikkhu bukanlah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat. Akan tetapi, (i) ia mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia pelajari; (ii) ia menyelidiki makna dari ajaran-ajaran yang telah ia ingat; dan (iii) ia telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma. Tetapi ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … [298] …ekspresif dalam makna; dan ia bukanlah seorang yang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan memiliki ketiga kualitas di atas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri tetapi tidak untuk orang lain.

(6) “Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk orang lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Apakah tiga ini?

Di sini, seorang bhikkhu bukanlah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat; tetapi (i) ia mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia pelajari. Akan tetapi, ia tidak menyelidiki makna dari ajaran-ajaran yang telah ia ingat, dan  ia tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak berlatih sesuai Dhamma. (iii) Namun,  ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … ekspresif dalam makna; dan (iii) ia adalah seorang yang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan memiliki ketiga kualitas di atas seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk orang lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri.

(7) “Dengan memiliki dua kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri tetapi tidak untuk orang lain. Apakah dua ini?

“Di sini, seorang bhikkhu bukanlah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat, dan ia tidak mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia pelajari. Akan tetapi (i) ia menyelidiki makna dari ajaran-ajaran yang telah ia ingat; dan (ii) ia telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma. Tetapi  ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … ekspresif dalam makna; dan ia bukanlah seorang yang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan memiliki kedua kualitas di atas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri tetapi tidak untuk orang lain.

(8 ) “Dengan memiliki dua kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk orang lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Apakah dua ini?

“Di sini, seorang bhikkhu bukanlah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat; ia tidak mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia pelajari; ia tidak menyelidiki makna dari ajaran-ajaran yang telah ia ingat; [299] dan ia tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak berlatih sesuai Dhamma. Tetapi  (i) ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … ekspresif dalam makna; dan (ii) ia adalah seorang yang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan memiliki kedua kualitas di atas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk untuk orang lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri.”

63 (3) Secara Ringkas

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas, setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam sendirian, terasing, tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh.

“Seperti inilah caranya beberapa manusia kosong di sini memohon padaKu, tetapi ketika Dhamma sedang dibabarkan, mereka hanya berpikir untuk mengikutiKu kemana-mana.”<1764>

“Bhante, sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas. Sudilah Yang Berbahagia mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas. Mungkin aku dapat memahami makna dari pernyataan Sang Bhagavā; mungkin aku dapat menjadi seorang pewaris dari pernyataan Sang Bhagavā.”

“Kalau begitu, bhikkhu, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku akan kokoh dan tenang secara internal. Kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul tidak akan menguasai pikiranku.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

(1) “Ketika, bhikkhu, pikiranmu kokoh dan tenang secara internal, dan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul tidak menguasai pikiranmu, maka engkau harus berlatih sebagai berikut: [300] ‘Aku akan mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya kendaraan dan landasan, menjalankannya, mengokohkan, dan dengan benar melakukannya,’ Demikinlah engkau harus berlatih.

“Ketika konsentrasi ini telah dikembangkan dan dilatih olehmu dengan cara ini, maka engkau harus mengembangkan konsentrasi ini dengan pemikiran dan pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya tanpa pemikiran melainkan hanya dengan pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya dengan sukacita; engkau harus mengembangkannya tanpa sukacita; engkau harus mengembangkannya dengan disertai kenyamanan; dan engkau harus mengembangkannya dengan disertai keseimbangan.<1765>

(2) – (4) “Ketika, bhikkhu, konsentrasi ini telah dikembangkan dan dikembangkan dengan baik olehmu dengan cara ini, maka engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui belas kasihan … kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik … kebebasan pikiran melalui keseimbangan

“Ketika konsentrasi ini telah dikembangkan dan dilatih<1766> olehmu dengan cara ini, maka engkau harus mengembangkan konsentrasi ini dengan pemikiran dan pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya tanpa pemikiran melainkan hanya dengan pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya dengan sukacita; engkau harus mengembangkannya tanpa sukacita; engkau harus mengembangkannya dengan disertai kenyamanan; dan engkau harus mengembangkannya dengan disertai keseimbangan.

(5) “Ketika, bhikkhu, konsentrasi ini telah dikembangkan dan dikembangkan dengan baik olehmu dengan cara ini, maka engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

“Ketika konsentrasi ini telah dikembangkan dan dilatih olehmu dengan cara ini, maka engkau harus mengembangkan konsentrasi ini dengan pemikiran dan pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya tanpa pemikiran melainkan hanya dengan pemeriksaan [301]; engkau harus mengembangkannya tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya dengan sukacita; engkau harus mengembangkannya tanpa sukacita; engkau harus mengembangkannya dengan disertai kenyamanan; dan engkau harus mengembangkannya dengan disertai keseimbangan.

(6) – (8 ) “Ketika, bhikkhu, konsentrasi ini telah dikembangkan dan dikembangkan dengan baik olehmu dengan cara ini, maka engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan berdiam dengan merenungkan perasaan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … fenomena dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

“Ketika konsentrasi ini telah dikembangkan dan dilatih olehmu dengan cara ini, maka engkau harus mengembangkan konsentrasi ini dengan pemikiran dan pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya tanpa pemikiran melainkan hanya dengan pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksaan; engkau harus mengembangkannya dengan sukacita; engkau harus mengembangkannya tanpa sukacita; engkau harus mengembangkannya dengan disertai kenyamanan; dan engkau harus mengembangkannya dengan disertai keseimbangan.

“Ketika, bhikkhu, konsentrasi ini telah dikembangkan dan dikembangkan dengan baik olehmu dengan cara ini, maka kemana pun engkau berjalan, engkau akan berjalan dengan nyaman; di mana pun engkau berdiri, engkau akan berdiri dengan nyaman, di mana pun engkau duduk, engkau akan duduk dengan nyaman; di mana pun engkau berbaring, engkau akan berbaring dengan nyaman.”

Setelah menerima nasihat demikian dari Sang Bhagavā, bhikkhu itu bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.<1767> Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama bhikkhu itu merealisasikan untuk dirinya sendiri, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tiada taranya yang karenanya para anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. [302] Ia secara langsung mengetahui:”Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #18 on: 12 August 2013, 10:43:23 PM »
64 (4) Gayā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Gayā di Gayāsīsa. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang bodhisatta, masih belum tercerahkan sempurna, aku hanya mempersepsikan cahaya, tetapi tidak melihat bentuk-bentuk.<1768>

(2) “Aku berpikir, para bhikkhu: ‘Jika aku dapat mempersepsikan cahaya dan juga melihat bentuk-bentuk, dalam kasus demikian maka pengetahuan dan penglihatanKu ini akan menjadi semakin murni.’<1769> Demikianlah beberapa waktu kemudian, ketika Aku sedang berdiam dengan tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh, Aku mempersepsikan cahaya dan juga melihat bentuk-bentuk. Namun Aku tidak bergaul dengan para dewata itu, tidak berbincang-bincang dengan mereka, dan tidak terlibat dalam suatu diskusi dengan mereka.

 (3) “Aku berpikir, para bhikkhu: ‘Jika aku dapat mempersepsikan cahaya dan juga melihat bentuk-bentuk, dan juga bergaul dengan para dewata itu, berbincang-bincang dengan mereka, dan terlibat dalam suatu diskusi dengan mereka, dalam kasus demikian maka pengetahuan dan penglihatanKu ini akan menjadi semakin murni.’ Demikianlah beberapa waktu kemudian, ketika Aku sedang berdiam dengan tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh, Aku mempersepsikan cahaya dan melihat bentuk-bentuk, dan aku juga bergaul dengan para dewata itu, berbincang-bincang dengan mereka, dan terlibat dalam suatu diskusi dengan mereka. Namun aku tidak mengetahui tentang para dewata itu: ‘Para dewata ini berasal dari kelompok deva ini atau itu.’ [303]

(4) Aku berpikir, para bhikkhu: ‘Jika aku dapat mempersepsikan cahaya dan juga melihat bentuk-bentuk, dan bergaul dengan para dewata itu, berbincang-bincang dengan mereka, dan terlibat dalam suatu diskusi dengan mereka,dan juga mengetahui tentang para dewata itu: ‘Para dewata ini berasal dari kelompok deva ini dan itu.’ dalam kasus demikian maka pengetahuan dan penglihatanKu ini akan menjadi semakin murni.’ Demikianlah beberapa waktu kemudian, ketika Aku sedang berdiam dengan tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh, Aku mempersepsikan cahaya dan melihat bentuk-bentuk, dan bergaul dengan para dewata itu, berbincang-bincang dengan mereka, dan terlibat dalam suatu diskusi dengan mereka, dan aku juga mengetahui tentang para dewata itu: ‘Para dewata ini berasal dari kelompok deva ini dan itu.’ Namun aku tidak mengetahui tentang para dewata itu: ‘Setelah meninggal dunia di sini para dewata itu terlahir kembali sebagai akibat dari kamma apa.’

(5) “… dan aku juga mengetahui tentang para dewata itu: ‘Setelah meninggal dunia di sini para dewata itu terlahir kembali sebagai akibat dari kamma ini.’ Namun aku tidak mengetahui tentang para dewata itu: ‘Sebagai akibat dari kamma ini, para dewata itu bertahan hidup dari makanan apa dan mengalami kenikmatan dan kesakitan apa.’

(6) “… dan Aku juga mengetahui tentang para dewata itu: ‘Sebagai akibat dari kamma ini, para dewata itu bertahan hidup dari makanan ini dan mengalami kenikmatan dan kesakitan ini.’ Namun aku tidak mengetahui tentang para dewata itu: ‘Sebagai akibat dari kamma ini, para dewata ini memiliki umur kehidupan berapa lama.’

(7) “…dan Aku juga mengetahui tentang para dewata itu: ‘Sebagai akibat dari kamma ini, para dewata ini memiliki umur kehidupan berapa lama.’ Namun aku tidak mengetahui apakah Aku sebelumnya pernah hidup bersama dengan para dewata itu atau tidak.

(8 ) “aku berpikir, para bhikkhu: ‘Jika (i) Aku mempersepsikan cahaya dan (ii) melihat bentuk-bentuk; dan (iii) Aku bergaul dengan para dewata itu, berbincang-bincang dengan mereka, dan terlibat dalam suatu diskusi dengan mereka [304]; dan (iv) Aku mengetahui tentang para dewata itu: ‘Para dewata ini berasal dari kelompok deva ini atau itu’; dan (v) ‘Setelah meninggal dunia di sini para dewata itu terlahir kembali sebagai akibat dari kamma ini; dan (vi) ‘Sebagai akibat dari kamma ini, para dewata itu bertahan hidup dari makanan apa dan mengalami kenikmatan ini dan kesakitan ini; dan (vii) : ‘Sebagai akibat dari kamma ini, para dewata ini memiliki umur kehidupan berapa lama’; dan (viii) juga mengetahui apakah Aku sebelumnya pernah hidup bersama dengan para dewata itu atau tidak, dalam kasus demikian maka pengetahuan dan penglihatanKu ini akan menjadi semakin murni

Demikianlah beberapa waktu kemudian, ketika Aku sedang berdiam dengan tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh: (i) Aku mempersepsikan cahaya; dan (ii) melihat bentuk-bentuk; dan (iii) Aku bergaul dengan para dewata itu, berbincang-bincang dengan mereka, dan terlibat dalam suatu diskusi dengan mereka; dan (iv) Aku mengetahui tentang para dewata itu: ‘Para dewata ini berasal dari kelompok deva ini atau itu’; dan (v) ‘Setelah meninggal dunia di sini para dewata itu terlahir kembali sebagai akibat dari kamma ini’; dan (vi) ‘Sebagai akibat dari kamma ini, para dewata itu bertahan hidup dari makanan apa dan mengalami kenikmatan dan kesakitan apa’; dan (vii) : ‘Sebagai akibat dari kamma ini, para dewata ini memiliki umur kehidupan berapa lama’; dan (viii) juga mengetahui apakah Aku sebelumnya pernah hidup bersama dengan para dewata itu atau tidak.<1770>

“Selama, para bhikkhu, pengetahuan dan penglihatanKu tentang para dewa dengan delapan seginya tidak murni sempurna, maka Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui dalam dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika pengetahuan dan penglihatanKu tentang para dewa dengan delapan seginya telah murni sempurna, maka Aku [305] mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui dalam dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘Kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”

65 (5) Melampaui

“Para bhikkhu, ada delapan landasan yang nelampaui ini.<1771> Apakah delapan ini?

(1) “Seseorang yang mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, terbatas, indah atau buruk. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan yang melampaui yang pertama.<1772>

(2) “Seseorang yang mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, tidak terbatas, indah atau buruk. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan yang melampaui yang ke dua.<1773>

(3) “Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, terbatas, indah atau buruk. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan yang melampaui yang ke tiga.<1774>

(4) “Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, tidak terbatas, indah atau buruk. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan yang melampaui yang ke empat.

(5) “Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang biru, berwarna biru, bercorak biru, bernuansa biru. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan yang melampaui yang ke lima.<1775>

(6) “Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang kuning, berwarna kuning, bercorak kuning, bernuansa kuning. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan yang melampaui yang ke enam. [306]

(7) “Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang merah, berwarna merah, bercorak merah, bernuansa merah. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan yang melampaui yang ke tujuh.

(8 ) “Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang putih, berwarna putih, bercorak putih, bernuansa putih. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ Ini adalah landasan yang melampaui yang ke delapan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedelapan landasan yang melampaui itu.”

66 (6) Pembebasan

“Para bhikkhu, ada delapan pembebasan ini.<1776> Apakah delapan ini?

(1) “Seorang yang memiliki bentuk melihat bentuk-bentuk. Ini adalah pembebasan pertama.<1777>

(2) “Seorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal.<1778>

(3) “Seorang hanya berfokus pada yang ‘indah.’ Ini adalah pembebasan ke tiga.<1779>

(4) “Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tidak terbatas,’ seseorang masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini adalah pembebasan ke empat.

(5) “Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seseorang masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ini adalah pembebasan ke lima.

(6) “Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seseorang masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini adalah pembebasan ke enam.

(7) “Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini adalah pembebasan ke tujuh.

(8 ) “Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Seseorang masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.<1780> Ini adalah pembebasan ke delapan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedelapan pembebasan itu.” [307]

67 (7) Pernyataan (1)

“Para bhikkhu, ada delapan pernyataan tidak mulia ini.<1781> Apakah delapan ini? (1) Mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang sesungguhnya tidak ia lihat; (2) mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang sesungguhnya tidak ia dengar; (3) mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang sesungguhnya tidak ia indera; (4) mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang sesungguhnya tidak ia kenali; (5) mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang sesungguhnya telah ia lihat; (6) mentakan bahwa ia tidak mendengar apa yang sesungguhnya telah ia dengar; (7)mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang sesungguhnya telah ia indera; (8 ) mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang sesungguhnya telah ia kenali. Ini adalah kedelapan pernyataan tidak mulia itu.”

68 (8 ) Pernyataan (2)

“Para bhikkhu, ada delapan pernyataan mulia ini.<1782> Apakah delapan ini? (1) Mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang sesungguhnya tidak ia lihat; (2) mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang sesungguhnya tidak ia dengar; (3) mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang sesungguhnya tidak ia indera; (4) mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang sesungguhnya tidak ia kenali; (5) mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang sesungguhnya telah ia lihat; (6) mentakan bahwa ia telah mendengar apa yang sesungguhnya telah ia dengar; (7)mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang sesungguhnya telah ia indera; (8 ) mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang sesungguhnya telah ia kenali. Ini adalah kedelapan pernyataan mulia itu.”

69 (9) Kumpulan <1783>

“Para bhikkhu, ada delapan kumpulan ini. Apakah delapan ini? Kumpulan para khattiya, kumpulan para brahmana, kumpulan para perumah tangga, kumpulan para petapa, kumpulan para deva [yang dipimpin oleh] Empat Raja Dewa, kumpulan para deva Tāvatiṃsa, kumpulan Māra, kumpulan Brahmā.

(1) “Sekarang Aku ingat, para bhikkhu, mendatangi suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan khattiya. Sebelumnya Aku duduk di sana, berbincang-bincang, dan berdiskusi. Aku tampak persis seperti mereka, dan suaraku menjadi seperti suara mereka. Aku mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma, dan sewaktu aku berbicara mereka tidak mengenali Aku melainkan berpikir: ‘Siapakah ini yang sedang berbicara, apakah deva atau manusia?’ setelah mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma, Aku menghilang dan ketika Aku menghilang mereka tidak mengenali Aku melainkan berpikir: ‘Siapakah ini yang telah menghilang, apakah dewa atau manusia?’<1784> [308]

(2) – (8 ) “Kemudian Aku ingat, para bhikkhu, mendatangi suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan brahmana … suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan perumah tangga … suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan petapa … suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan petapa … suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan deva [yang dipimpin oleh] Empat Raja Dewa … suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan deva Tāvatiṃsa … suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan pengikut Māra … suatu kumpulan yang terdiri dari ratusan pengikut Brahmā. Sebelumnya Aku duduk di sana, berbincang-bincang, dan berdiskusi. Aku tampak persis seperti mereka, dan suaraku menjadi seperti suara mereka. Aku mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma, dan sewaktu aku berbicara mereka tidak mengenali Aku melainkan berpikir: ‘Siapakah ini yang sedang berbicara, apakah deva atau manusia?’ setelah mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma, Aku menghilang dan ketika Aku menghilang mereka tidak mengenali Aku melainkan berpikir: ‘Siapakah ini yang telah menghilang, apakah dewa atau manusia?

“Ini, para bhikkhu, adalah kedelapan kumpulan itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #19 on: 12 August 2013, 10:44:09 PM »
70 (10) Gempa Bumi <1785>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, dan memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah melakukan perjalanan menerima dana makanan di Vesālī, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dan makanan itu, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Bawalah alas duduk, Ānanda. Mari kita pergi ke Altar Cāpāla untuk melewatkan hari.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab, dan setelah mengambil alas duduk, ia mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā pergi ke Altar Cāpāla, duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk Beliau, dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: [309]

“Vesālī sungguh menyenangkan, Ānanda. Altar Udena sungguh menyenangkan, Altar Gotamaka sungguh menyenangkan, Altar Sattamba sungguh menyenangkan, Altar Bahuputta sungguh menyenangkan, Altar Sārandada sungguh menyenangkan, Altar Cāpāla sungguh menyenangkan. Siapa pun, Ānanda, yang telah mengembangkan dan melatih empat landasan kekuatan batin, menjadikannya kendaraan dan landasan, menjalankannya, mengokohkan, dan dengan benar melakukannya maka ia dapat, jika ia menghendaki, hidup selama satu kappa atau selama sisa dari kappa itu. Sang Tathāgata, Ānanda, telah mengembangkan dan melatih empat landasan kekuatan batin, menjadikannya kendaraan dan landasan, menjalankannya, mengokohkan, dan dengan benar melakukannya. Jika Beliau mengjhendaki, maka Sang Tathāgata dapat hidup selama satu kappa atau selama sisa dari kappa itu.”<1786>

Tetapi walaupun Yang Mulia Ananda diberikan isyarat yang jelas itu oleh Sang Bhagavā, walaupun ia diberikan petunjuk yang jelas itu, ia tidak mampu menangkap petunjuk itu. Ia tidak memohon kepada Sang Bhagavā: “Bhante, sudilah Sang Bhagavā hidup selama satu kappa! Sudilah Yang Berbahagia hidup selama satu kappa, demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan pada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.” Karena pikirannya dikuasai oleh Māra.<1787>

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Vesālī sungguh menyenangkan … Altar Udena sungguh menyenangkan … Altar Cāpāla sungguh menyenangkan. Siapa pun, Ānanda, yang telah mengembangkan dan melatih empat landasan kekuatan batin … dan dengan benar melakukannya maka ia dapat, jika ia menghendaki, hidup selama satu kappa atau selama sisa dari kappa itu. Sang Tathāgata, Ānanda, telah mengembangkan dan melatih empat landasan kekuatan batin, menjadikannya kendaraan dan landasan, menjalankannya, mengokohkan, dan dengan benar melakukannya. Jika Beliau mengjhendaki, maka Sang Tathāgata dapat hidup selama satu kappa atau selama sisa dari kappa itu.”

Tetapi sekali lagi, walaupun Yang Mulia Ānanda [310] diberikan isyarat yang jelas itu oleh Sang Bhagavā, walaupun ia diberikan petunjuk yang jelas itu, ia tidak mampu menangkap petunjuk itu … Karena pikirannya dikuasai oleh Māra.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Engkau boleh pergi, Ānanda, jika engkau menghendaki.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab, dan ia bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan duduk di bawah sebatang pohon tidak jauh dari Sang Bhagavā.

Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Ānanda pergi, Māra Yang Jahat berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, sudilah Sang Bhagavā mencapai nibbāna akhir sekarang! Sudilah Yang Berbahagia mencapai nibbāna akhir sekarang! Sekarang adalah waktunya, Bhante, bagi Sang Bhagavā untuk mencapai nibbāna akhir! Kata-kata ini diucapkan, Bhante, oleh Sang Bhagavā:<1788> ‘Aku tidak akan mencapai nibbāna akhir, Yang Jahat, hingga ada para siswaKu para bhikkhu yang kompeten, disiplin, percaya-diri, mencapai keamanan dari belenggu, terpelajar, penegak Dhamma, berlatih sesuai Dhamma, berlatih dengan cara yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma; yang telah mempelajari ajaran guru mereka dan dapat menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya; yang dapat sepenuhnya membantah dalam cara-cara yang logis ajaran-ajaran orang lain dan mengajarkan Dhamma penawar.’<1789> Sekarang pada saat ini Sang Bhagavā memiliki para bhikkhu siswa yang kompeten … dan yang dapat mengajarkan Dhamma penawar. Bhante, sudilah Sang Bhagavā mencapai nibbāna akhir sekarang! Sudilah Yang Berbahagia mencapai nibbāna akhir sekarang! Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai nibbāna akhir!

“Dan kata-kata ini diucapkan, Bhante, oleh Sang Bhagavā: ‘Aku tidak akan mencapai nibbāna akhir, Yang Jahat, hingga ada para siswaKu para bhikkhunī  yang kompeten … hingga ada para siswaKu umat awam laki-laki [311] yang kompeten … hingga ada para siswaKu umat awam perempuan yang kompeten … dan mengajarkan Dhamma penawar.’ Sekarang pada saat ini Sang Bhagavā memiliki para siswa  bhikkhunī, para siswa umat awam laki-laki … para siswa umat awam perempuan yang kompeten, disiplin, percaya-diri, mencapai keamanan dari belenggu, terpelajar, penegak Dhamma, berlatih sesuai Dhamma, berlatih dengan cara yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma; yang telah mempelajari ajaran guru mereka dan dapat menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya; yang dapat sepenuhnya membantah dalam cara-cara yang logis ajaran-ajaran orang lain dan mengajarkan Dhamma penawar. Bhante, sudilah Sang Bhagavā mencapai nibbāna akhir sekarang! Sudilah Yang Berbahagia mencapai nibbāna akhir sekarang! Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai nibbāna akhir!

“Dan kata-kata ini diucapkan, Bhante, oleh Sang Bhagavā: ‘Aku tidak akan mencapai nibbāna akhir, Yang Jahat, hingga kehidupan spiritual dariKu telah menjadi berhasil dan makmur, meluas, terkenal, menyebar luas, dinyatakan dengan baik di antara para deva dan manusia.’ Kehidupan spiritual dari Sang Bhagavā itu telah berhasil dan makmur, meluas, terkenal, menyebar luas, dinyatakan dengan baik di antara para deva dan manusia. Bhante, sudilah Sang Bhagavā mencapai nibbāna akhir sekarang! Sudilah Yang Berbahagia mencapai nibbāna akhir sekarang! Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai nibbāna akhir!”

[Sang Bhagavā berkata:] “Tenanglah, Yang jahat. Tidak akan lama lagi sebelum nibbāna akhir Sang Tathāgata terjadi. Tiga bulan dari sekarang Sang Tathāgata akan mencapai nibbāna akhir.”

Kemudian Sang Bhagavā, di Altar Cāpāla, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, melepaskan kekuatan vitalNya.<1790> Dan ketika Sang Bhagavā melepaskan kekuatan vitalNya, suatu gempa bumi terjadi, menakutkan dan mengerikan, dan gemuruh halilintar mengguncang angkasa.

Kemudian, setelah memahami makna ini, Sang Bhagavā pada kesempatan itu mengucapakan ucapan inspiratif ini: [312]

“Membandingkan yang tidak dapat dibandingkan dan penjelmaan yang berkelanjutan,
Sang Bijaksana melepaskan kekuatan kehidupan.
Bergembira secara internal, terkonsentrasi,
Beliau memutuskan kehidupanNya sendiri bagaikan jaket perisai.”<1791>

Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Gempa bumi ini sungguh kuat! Gempa bumi ini sungguh kuat, menakutkan dan mengerikan, dan dan gemuruh halilintar mengguncang angkasa! Apakah penyebab dan kondisi dari gempa bumi yang kuat ini?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, gempa bumi ini sungguh kuat! Gempa bumi ini sungguh kuat, menakutkan dan mengerikan, dan dan gemuruh halilintar mengguncang angkasa! Apakah penyebab dan kondisi dari gempa bumi yang kuat ini?”

“Ānanda, ada delapan penyebab dan kondisi bagi sebuah gempa bumi yang kuat. Apakah delapan ini?

(1) “Ānanda, bumi ini berdiri di atas air; air bersandar pada angin; angin bertiup di angkasa. Akan tiba waktunya, Ānanda, ketika angin kencang bertiup dan mengguncang air. Air itu, karena terguncang, juga mengguncang bumi ini. Ini adalah penyebab dan kondisi pertama bagi gempa bumi yang kuat.

(2) “Kemudian, ada petapa atau brahmana yang memiliki kekuatan batin dan mencapai penguasaan pikiran, atau dewata yang sangat kuat dan perkasa. Ia telah mengembangkan persepsi tanah yang tebatas dan persepsi air yang tidak terbatas. Ia membuat bumi ini berguncang, bergoyang keras, dan bergetar.<1792> Ini adalah penyebab dan kondisi ke dua bagi gempa bumi yang kuat.

(3) “Kemudian, ketika Sang Bodhisatta meninggal dunia dari kumpulan Tusita dan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, memasuki rahim ibunya, bumi [313] ini berguncang, bergoyang keras, dan bergetar. Ini adalah penyebab dan kondisi ke tiga bagi gempa bumi yang kuat.

(4) “Kemudian, ketika Sang Bodhisatta, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, keluar dari rahim ibunya, bumi ini berguncang, bergoyang keras, dan bergetar. Ini adalah penyebab dan kondisi ke empat bagi gempa bumi yang kuat.

(5) “Kemudian, ketika Sang Tathāgata tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak taranya, bumi ini berguncang, bergoyang keras, dan bergetar. Ini adalah penyebab dan kondisi ke lima bagi gempa bumi yang kuat.

(6) “Kemudian, ketika Sang Tathāgata memutar roda Dhamma yang tiada taranya, bumi ini berguncang, bergoyang keras, dan bergetar. Ini adalah penyebab dan kondisi ke enam bagi gempa bumi yang kuat.

(7) “Kemudian, ketika Sang Tathāgata, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, melepaskan kekuatan vitalNya, bumi ini berguncang, bergoyang keras, dan bergetar. Ini adalah penyebab dan kondisi ke tujuh bagi gempa bumi yang kuat.

(8 ) “Kemudian, ketika Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir melalui elemen nibbāna tanpa sisa, bumi ini berguncang, bergoyang keras, dan bergetar. Ini adalah penyebab dan kondisi ke tujuh bagi gempa bumi yang kuat.

“Ini adalah kedelapan penyebab dan kondisi itu bagi sebuah gempa bumi yang kuat.” [314]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #20 on: 12 August 2013, 10:44:27 PM »
III. PASANGAN

71 (1) Keyakinan (1)

(1) “Para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi tidak bermoral; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan dan juga menjadi bermoral?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan juga bermoral, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

(2) “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, tetapi ia tidak terpelajar; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan, bermoral, dan juga terpelajar?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, dan juga terpelajar, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

(3) “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan, bermoral, dan terpelajar, tetapi ia bukan seorang pembabar Dhamma … (4) … seorang pembabar Dhamma, tetapi bukan seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan … (5) … seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan, tetapi bukan seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan … (6) … seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan, tetapi bukan seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini … (7) … seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini, tetapi bukan seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [315] [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan … dan juga menjadi seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya’?

(8 ) “Tetapi ketika seorang bhikkhu (i) memiliki keyakinan, (ii) bermoral, dan (iii) terpelajar; (iv) seorang pembabar Dhamma; (v) seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan; (vi) seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan; (vii) seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini; dan (viii) ia juga seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

“Seorang bhikkhu yang memiliki kedelapan kualitas ini adalah seorang yang menginspirasi kepercayaan dalam segala hal dan seorang yang lengkap dalam segala aspek.”

72 (2) Keyakinan (2)

(1) “Para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi tidak bermoral; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan dan juga menjadi bermoral?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan juga bermoral, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

(2) “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, tetapi ia tidak terpelajar; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan, bermoral, dan juga terpelajar?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, dan juga terpelajar, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

(3) “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan, bermoral, dan terpelajar, tetapi ia bukan seorang pembabar Dhamma … (4) … seorang pembabar Dhamma, tetapi bukan seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan … (5) … seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan, tetapi bukan seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan [316] … (6) … seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan, tetapi ia bukan seorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan-pembebasan yang damai itu, yang melampaui bentuk-bentuk, yang tanpa bentuk … (7) … seorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan-pembebasan yang damai itu, yang melampaui bentuk-bentuk, yang tanpa bentuk, tetapi bukan seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan … dan juga menjadi seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya’?

(8 ) “Tetapi ketika seorang bhikkhu (i) memiliki keyakinan, (ii) bermoral, dan (iii) terpelajar; (iv) seorang pembabar Dhamma; (v) seorang yang sering mengunjungi kumpulan-kumpulan; (vi) seorang yang dengan percaya diri mengajar Dhamma pada suatu kumpulan; (vii) seorang menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan-pembebasan yang damai itu, yang melampaui bentuk-bentuk, yang tanpa bentuk; dan (viii) ia juga seorang yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

“Seorang bhikkhu yang memiliki kedelapan kualitas ini adalah seorang yang menginspirasi kepercayaan dalam segala hal dan seorang yang lengkap dalam segala aspek.”

73 (3) Perenungan pada Kematian (1) <1793>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [317] “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, perenungan pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya. Tetapi apakah kalian, para bhikkhu, mengembangkan perenungan pada kematian?”

(1) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(2) Seorang bhikkhu lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(3) Seorang bhikkhu lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup setengah hari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(4) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(5) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, [318] Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk setengah kali makan sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(6) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(7) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”
   
(8 ) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan nafas setelah menarik nafas, atau untuk menarik nafas setelah mengembuskan nafas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu:

“Para bhikkhu, (1) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (2) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: [319] ‘Semoga aku dapat hidup sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (3) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup setengah hari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (4) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (5) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk setengah kali makan sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (6) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā.  Dan aku berhasil sejauh itu!’: mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan lengah. Mereka mengembangkan perenungan pada kematian dengan lambat demi hancurnya noda-noda.

“Tetapi (7) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ ; dan (8 ) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan nafas setelah menarik nafas, atau untuk menarik nafas setelah mengembuskan nafas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’: mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan tekun. Mereka mengembangkan perenungan pada kematian dengan giat demi hancurnya noda-noda.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berdiam dengan tekun, kami akan mengembangkan perenungan pada kematian dengan giat demi hancurnya noda-noda.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [320]

74 (4) Perenungan pada Kematian (2) <1794>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, perenungan pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya. Dan bagaimanakah hal ini demikian?

“Di sini, para bhikkhu, ketika siang hari berlalu dan malam menjelang, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. (1) Seekor ular mungkin menggigitku, atau seekor kalajengking atau seekor lipan mungkin menyengatku, dan aku bisa mati; itu akan menjadi rintangan bagiku. (2) Aku mungkin tersandung dan jatuh, atau (3) makananku mungkin tidak cocok bagiku, atau (4) empeduku mungkin menjadi terganggu, atau (5) dahakku mungkin menjadi terganggu, atau (6) angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, atau (7) orang-orang mungkin menyerangku, atau (8 ) makhluk-makhluk halus yang jahat mungkin menyerangku, dan aku bisa mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu [321] harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Tetapi ketika malam hari berlalu dan pagi menjelang, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. Seekor ular mungkin menggigitku …  atau angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: [308] ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati siang ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati siang ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati siang ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Adalah, para bhikkhu, ketika perenungan pada kematian dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka akan berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.” [309]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #21 on: 12 August 2013, 10:44:50 PM »
75 (5) Kesempurnaan (1)

“Para bhikkhu, ada delapan kesempurnaan ini. Apakah delapan ini? Kesempurnaan dalam inisiatif, kesempurnaan dalam perlindungan, pertemanan yang baik, kehidupan yang seimbang, kesempurnaan dalam keyakinan, kesempurnaan dalam perilaku bermoral, kesempurnaan dalam kedermawanan, dan kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Ini adalah kedelapan kesempurnaan itu.”

[Empat syair identik dengan syair pada 8:54.]

76 (6) Kesempurnaan (2)


“Para bhikkhu, ada delapan kesempurnaan ini. Apakah delapan ini?<1795> Kesempurnaan dalam inisiatif, kesempurnaan dalam perlindungan, pertemanan yang baik, kehidupan yang seimbang, kesempurnaan dalam keyakinan, kesempurnaan dalam perilaku bermoral, kesempurnaan dalam kedermawanan, dan kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah kesempurnaan dalam inisiatif? Di sini, cara apa pun yang dengannya seorang anggota keluarga mencari penghidupannya – apakah dengan bertani, berdagang, beternak, keterampilan memanah, pelayanan pemerintahan, atau keterampilan-keterampilan lainnya [323] – ia terampil dan rajin; ia memiliki penilaian yang baik atasnya agar dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar. Ini disebut kesempurnaan dalam inisiatif.

(2) “Dan apakah kesempurnaan dalam perlindungan? Di sini, seorang anggota keluarga mendirikan perlindungan dan penjagaan atas kekayaan yang telah ia peroleh, yang diusahakan dengan keringat di dahinya, kekayaan yang benar yang diperoleh dengan benar, dengan berpikir: ‘Bagaimanakah aku dapat mencegah raja-raja dan para pencuri merampasnya, api membakarnya, banjir menghanyutkannya, dan para pewaris yang tidak disukai mengambilnya?’ ini disebut kesempurnaan dalam perlindungan.

(3) “Dan apakah pertemanan yang baik? Di sini, di desa atau pemukiman mana pun seorang anggota keluarga menetap, ia bergaul dengan para perumah tangga atau para putra mereka – apakah yang masih muda dengan moralitas yang matang, atau yang sudah tua dengan moralitas yang matang – yang sempurna dalam keyakinan, perilaku bermoral, kedermawan, dan kebijaksanaan; ia berbincang-bincang dengan mereka dan terlibat dalam diskusi dengan mereka. Sejauh mereka sempurna dalam keyakinan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan dalam keyakinan; sejauh mereka sempurna dalam perilaku bermoral, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan dalam perilaku bermoral; sejauh mereka sempurna dalam kedermawanan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan dalam kedermawanan; sejauh mereka sempurna dalam kebijaksanaan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Ini disebut pertemanan yang baik.

(4) “Dan apakah kehidupan yang seimbang? Di sini, seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani kehidupan seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu berhemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’ Bagaikan seorang petugas penimbang atau pembantunya, dengan memegang timbangan, mengetahui: ‘Dengan sebanyak ini timbangan akan turun, [324] dengan sebanyak ini timbangan akan naik,’ demikian pula seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu hemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’

“Jika anggota keluarga ini memiliki pendapatan yang kecil namun hidup mewah, orang lain akan berkata tentangnya: ‘Anggota keluarga ini memakan hartanya bagaikan pemakan buah ara.’ Tetapi jika ia memiliki pendapatan besar namun hidup hemat.’ Orang lain akan berkata tentangnya: ‘Anggota keluarga ini bahkan bisa kelaparan.’ Tetapi ini disebut kehidupan seimbang ketika seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu hemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’

 (5) “Dan apakah kesempurnaan dalam keyakinan? Di sini, seorang anggota keluarga memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kesempurnaan dalam keyakinan.

(6) “Dan apakah kesempurnaan dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang anggota keluarga menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral.

(7) “Dan apakah kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, seorang anggota keluarga berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepaskan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi. Ini disebut kesempurnaan kedermawanan.

(8 ) “Dan apakah kesempurnaan dalam kebijaksanaan? [325] Di sini, seorang anggota keluarga bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini disebut kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedelapan kesempurnaan itu.”

[Empat syair identik dengan syair pada 8:54.]

77 (7) Keinginan

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, ada delapan jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah delapan ini?

[Bagian selanjutnya identik dengan 8:61, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta.] … [326-28]

“Ini adalah kedelapan orang itu yang terdapat di dunia.”

78 (8 ) Mampu

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!” …

(1) “Teman-teman, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain. Apakah enam ini? …

(2) [Bagian berikutnya identik dengan 8:62, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta … [329-31]

“Dengan memiliki kedua kualitas ini, seorang bhikkhu mampu [memberikan manfaat] untuk orang lain tetapi bukan dirinya sendiri.”

79 (9) Kemunduran <1796>

“Para bhikkhu, delapan kualitas ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah delapan ini? Bersenang dalam bekerja, bersenang dalam berbicara, bersenang dalam tidur, bersenang dalam kumpulan, tidak menjaga pintu-pintu organ indria, makan berlebihan, bersenang dalam ikatan, dan bersenang dalam proliferasi. Kedelapan kualitas ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Para bhikkhu, delapan kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah delapan ini? Tidak bersenang dalam bekerja, tidak bersenang dalam berbicara, tidak bersenang dalam tidur, tidak bersenang dalam kumpulan, menjaga pintu-pintu organ indria, makan secukupnya, tidak bersenang dalam ikatan, dan tidak bersenang dalam proliferasi. Kedelapan kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.” [332]

80 (10) Dasar-Dasar Bagi Kemalasan dan Pembangkitan Kegigihan

“Para bhikkhu, ada delapan dasar bagi kemalasan ini. Apakah delapan ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu harus melakukan suatu pekerjaan. Ia berpikir: ‘Aku harus melakukan suatu pekerjaan. Sewaktu aku sedang bekerja, tubuhku akan menjadi lelah. Biarlah aku berbaring.’ Ia berbaring. Ia tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar pertama bagi kemalasan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu telah menyelesaikan suatu pekerjaan. Ia berpikir: ‘Aku telah menyelesaikan suatu pekerjaan. Karena pekerjaan itu, tubuhku menjadi lelah. Biarlah aku berbaring.’ Ia berbaring. Ia tidak membangkitkan kegigihan … untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar ke dua bagi kemalasan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu harus melakukan suatu perjalanan. Ia berpikir: ‘Aku harus melakukan suatu perjalanan. Sewaktu sedang melakukan perjalanan, tubuhku akan menjadi lelah. Biarlah aku berbaring.’ Ia berbaring. Ia tidak membangkitkan kegigihan … untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar ke tiga bagi kemalasan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu telah melakukan suatu perjalanan. Ia berpikir: ‘Aku telah melakukan suatu perjalanan. Sewaktu sedang melakukan perjalanan, tubuhku telah menjadi lelah. Biarlah aku berbaring.’ Ia berbaring. Ia tidak membangkitkan kegigihan … untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar ke empat bagi kemalasan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu telah berjalan untuk menerima dana makanan di sebuah desa atau pemukiman namun tidak mendapatkan sebanyak yang ia butuhkan, apakah kasar atau baik. Ia berpikir: [333] ‘Aku telah berjalan untuk menerima dana makanan di sebuah desa atau pemukiman namun tidak mendapatkan sebanyak yang kubutuhkan, apakah kasar atau baik. Tubuhku telah menjadi lelah dan susah digerakkan. Biarlah aku berbaring.’ Ia berbaring. Ia tidak membangkitkan kegigihan … untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar ke lima bagi kemalasan.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu telah berjalan untuk menerima dana makanan di sebuah desa atau pemukiman dan telah mendapatkan sebanyak yang ia butuhkan, apakah kasar atau baik. Ia berpikir: ‘Aku telah berjalan untuk menerima dana makanan di sebuah desa atau pemukiman dan telah mendapatkan sebanyak yang kubutuhkan, apakah kasar atau baik. Tubuhku telah menjadi berat dan susah digerakkan bagaikan tumpukan biji-bijian basah. Biarlah aku berbaring.’ Ia berbaring. Ia tidak membangkitkan kegigihan … untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar ke enam bagi kemalasan.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu merasa kurang sehat. Ia berpikir: ‘Aku merasa kurang sehat. Biarlah aku berbaring.’ Ia berbaring. Ia tidak membangkitkan kegigihan … untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar ke tujuh bagi kemalasan.

(8 ) “Kemudian, seorang bhikkhu telah sembuh dari sakitnya. Segera setelah ia sembuh, ia berpikir: ‘Aku telah sembuh dari sakit; aku baru saja sembuh dari sakit. Tubuhku masih lemah dan susah digerakkan. Biarlah aku berbaring.’ Ia berbaring. Ia tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar ke delapan bagi kemalasan.

“Ini adalah kedelapan dasar bagi kemalasan itu. [334]

“Para bhikkhu, ada delapan dasar ini untuk membangkitkan kegigihan. Apakah delapan ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu harus melakukan suatu pekerjaan. Ia berpikir: ‘Aku harus melakukan suatu pekerjaan. Sewaktu sedang bekerja, tidaklah mudah bagiku untuk menekuni ajaran para Buddha. Biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan.’ Ia membangkitkan kegigihan untuk untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar pertama untuk membangkitkan kegigihan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu telah menyelesaikan suatu pekerjaan. Ia berpikir: ‘Aku telah menyelesaikan suatu pekerjaan. Sewaktu sedang bekerja, tidaklah mudah bagiku untuk menekuni ajaran para Buddha. Biarlah aku membangkitkan kegigihan  …‘ Ini adalah dasar ke dua untuk membangkitkan kegigihan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu harus melakukan suatu perjalanan. Ia berpikir: ‘Aku harus melakukan suatu perjalanan. Sewaktu sedang melakukan perjalanan, tidaklah mudah bagiku untuk menekuni ajaran para Buddha. Biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan  …‘ Ini adalah dasar ke tiga untuk membangkitkan kegigihan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu telah melakukan suatu perjalanan. Ia berpikir: ‘Aku telah melakukan suatu perjalanan. Sewaktu sedang melakukan perjalanan, tidaklah mudah bagiku untuk menekuni ajaran para Buddha. . Biarlah aku membangkitkan kegigihan  …‘ Ini adalah dasar ke empat untuk membangkitkan kegigihan. [335]

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu telah berjalan untuk menerima dana makanan di sebuah desa atau pemukiman namun tidak mendapatkan sebanyak yang ia butuhkan, apakah kasar atau baik. Ia berpikir: [333] ‘Aku telah berjalan untuk menerima dana makanan di sebuah desa atau pemukiman namun tidak mendapatkan sebanyak yang kubutuhkan, apakah kasar atau baik. Tubuhku telah menjadi ringan dan mudah digerakkan. Biarlah aku membangkitkan kegigihan  …‘ Ini adalah dasar ke lima untuk membangkitkan kegigihan.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu telah berjalan untuk menerima dana makanan di sebuah desa atau pemukiman dan telah mendapatkan sebanyak yang ia butuhkan, apakah kasar atau baik. Ia berpikir: ‘Aku telah berjalan untuk menerima dana makanan di sebuah desa atau pemukiman dan telah mendapatkan sebanyak yang kubutuhkan, apakah kasar atau baik. Tubuhku telah menjadi kuat dan mudah digerakkan. Biarlah aku membangkitkan kegigihan  …‘ Ini adalah dasar ke enam untuk membangkitkan kegigihan.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu merasa kurang sehat. Ia berpikir: ‘Aku merasa kurang sehat. Adalah mungkin bahwa penyakitku akan bertambah parah. Biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan  …‘ Ini adalah dasar ke tujuh untuk membangkitkan kegigihan.

(8 ) “Kemudian, seorang bhikkhu telah sembuh dari sakitnya. Segera setelah ia sembuh, ia berpikir: ‘Aku telah sembuh dari sakit; baru saja sembuh dari sakit. Adalah mungkin bahwa penyakitku akan kambuh. Biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan.’ Ia membangkitkan kegigihan untuk untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Ini adalah dasar ke delapan untuk membangkitkan kegigihan.

“Ini adalah kedelapan dasar untuk membangkitkan kegigihan itu.” [336]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #22 on: 12 August 2013, 10:45:42 PM »
IV. PERHATIAN

81 (1) Perhatian <1797>

“Para bhikkhu, (1) ketika tidak ada perhatian dan pemahaman jernih, pada seorang yang tidak memiliki perhatian dan pemahaman jernih, maka (2) rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, pada seorang yang tidak memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, maka (3) pengendalian organ-organ indria tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang tidak memiliki pengendalian atas organ-organ indria, maka (4) perilaku bermoral tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada perilaku bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, maka (5) konsentrasi benar tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, maka (6) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (7) kekecewaan dan kebosanan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekcewaan dan kebosanan, pada seorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (8 ) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika tidak ada perhatian dan pemahaman jernih, pada seorang yang tidak memiliki perhatian dan pemahaman jernih, maka rasa malu bermoral dan raas takut bermoral tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Para bhikkhu, (1) ketika ada perhatian dan pemahaman jernih, pada seorang yang memiliki perhatian dan pemahaman jernih, maka (2) rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, pada seorang yang memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, maka (3) pengendalian organ-organ indria memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang memiliki pengendalian atas organ-organ indria, maka (4) perilaku bermoral memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada perilaku bermoral, pada seorang yang memiliki perilaku bermoral, maka (5) konsentrasi benar memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, maka (6) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (7) kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. [337] Ketika ada kekcewaan dan kebosanan, pada seorang yang memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (8 ) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika ada perhatian dan pemahaman jernih, pada seorang yang memiliki perhatian dan pemahaman jernih, maka rasa malu bermoral dan raas takut bermoral memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.”

82 (2) Puṇṇiya

Yang Mulia Puṇṇiya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, mengapakah kadang-kadang Sang Tathāgata condong untuk mengajarkan Dhamma dan kadang-kadang tidak condong untuk mengajar?”<1798>

(1) “Ketika, Puṇṇiya, seorang bhikkhu memiliki keyakinan tetapi tidak mendatangi Beliau, maka Sang Tathāgata tidak condong untuk mengajarkan Dhamma. (2) Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan mendatangi Beliau, maka Sang Tathāgata condong untuk mengajar.

(3) “Ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan mendatangi Beliau, tetapi ia tidak memperhatikan Beliau … (4) Ketika ia memperhatikan Beliau tetapi tidak mengajukan pertanyaan … (5) Ketika ia mengajukan pertanyaan tetapi tidak mendengarkan Dhamma dengan menyimak … (6) Ketika ia mendengarkanDhamma dengan menyimak, tetapi setelah mendengarnya, ia tidak mengingatnya … (7) ketika, setelah mendengarnya, ia mengingatnya tetapi tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah diingat … (8 ) Ketika ia memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah diingat tetapi tidak memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma, maka Sang Tathāgata tidak condong untuk mengajar.

“Tetapi, Puṇṇiya, (1) ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, [338] (2) mendatangi [Sang Tathāgata], (3) memperhatikan [Sang Tathāgata], (4) mengajukan pertanyaan, dan (5) mendengarkan Dhamma dengan menyimak; dan (6) setelah mendengarkan Dhamma, ia mengingatnya, (7) memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah ia ingat, dan (8 ) memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma, maka Sang Tathāgata condong untuk mengajarkan Dhamma. Ketika, Puṇṇiya, seseorang memiliki kedelapan kualitas ini, maka Sang Tathāgata sepenuhnya condong untuk mengajarkan Dhamma.”<1799>

83 (3) Berakar

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mungkin bertanya kepada kalian: (1) ‘Dalam apakah, teman-teman, segala sesuatu itu berakar? (2) Melalui apakah segala sesuatu itu menjadi ada? (3) Dari manakah segala sesuatu itu berasal-mula?<1800> (4) Atas apakah segala sesuatu itu bertemu? (5) Dengan apakah segala sesuatu itu dipimpin? (6) Kekuasaan apakah yang mengendalikan segala sesuatu itu? (7) Apakah pengawas dari segala sesuatu itu? (8 ) Apakah inti dari segala sesuatu itu? Jika kalian ditanya demikian, bagaimanakah kalian akan menjawabnya?”

“Bhante, ajaran kami berakar pada Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”

‘Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Dalam apakah, teman-teman, segala sesuatu itu berakar? … [339] …  Apakah inti dari segala sesuatu itu?’ maka kalian harus menjawabnya sebagai berikut:

“Teman-teman, (1) segala sesuatu berakar dalam keinginan. (2) Segala sesuatu itu menjadi ada melalui pengamatan. (3) Segala sesuatu itu berasal-mula dari kontak. (4) Segala sesuatu bertemu pada perasaan. (5) Segala sesuatu itu dipimpin oleh konsentrasi. (6) Perhatian adalah kekuasaan yang mengendalikan segala sesuatu. (7) Kebijaksanaan adalah pengawasnya. (8 ) Kebebasan adalah intinya.’<1801>

“Jika kalian ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan ini, demikianlah kalian harus menjawab para pengembara sekte lain itu.”

84 (4) Pencuri

“Para bhikkhu, dengan memiliki delapan faktor, seorang pencuri ulung dengan cepat menemui kesulitan dan tidak bertahan lama. Apakah delapan ini? (1) Ia menyerang seorang yang tidak menyerangnya. (2) Ia mencuri tanpa meninggalkan sisa. (3) Ia membunuh perempuan. (4) Ia memperkosa gadis muda. (5) Ia merampok bhikkhu. (6) Ia merampok bendahara kerajaan. (7) Ia melakukan pekerjaannya di lingkungannya. Dan (8 ) ia tidak mahir dalam menyembunyikan [barang rampasannya].<1802> Dengan memiliki delapan faktor, seorang pencuri ulung dengan cepat menemui kesulitan dan tidak bertahan lama.

“Para bhikkhu, dengan memiliki delapan faktor, seorang pencuri ulung tidak dengan cepat menemui kesulitan dan dapat bertahan lama. Apakah delapan ini? (1) Ia tidak menyerang seorang yang tidak menyerangnya. (2) Ia tidak mencuri tanpa meninggalkan sisa. (3) Ia tidak membunuh perempuan. (4) Ia tidak memperkosa gadis muda. (5) Ia tidak merampok bhikkhu. (6) Ia tidak merampok bendahara kerajaan. (7) Ia tidak melakukan pekerjaannya di lingkungannya. Dan (8 ) ia mahir dalam menyembunyikan [barang rampasannya]. Dengan memiliki kedelapan faktor ini, seorang pencuri ulung tidak dengan cepat menemui kesulitan dan dapat bertahan lama.” [340]

85 (5) Sebutan

“Para bhikkhu, (1) “Petapa’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. (2) ‘Brahmana’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. (3) ‘Penyembuh’ … (4) ‘Penguasa Pengetahuan’<1803> … (5) ‘Seorang Yang Tak Ternoda’ … (6) ‘Seorang yang tanpa noda’ … (7) ‘Pengenal’ … (8 ) ‘Yang terbebaskan’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.

   Keadaan tertinggi yang harus dicapai oleh seorang petapa,<1804>
   Oleh seorang brahmana yang telah menjalani kehidupan spiritual,
   Untuk dicapai oleh seorang penguasa pengetahuan dan seorang penyembuh –
   Keadaan tertinggi itu harus dicapai oleh seorang yang tak ternoda,
   Oleh seorang yang tanpa noda yang murni,

   Untuk dicapai oleh seorang pengenal, oleh seorang yang terbebaskan –
   [Di atas itu] Aku adalah pemenang dalam peperangan;
   Terbebaskan, Aku bebas dari ikatan.
   Aku adalah nāga, yang jinak sepenuhnya,<1805>
   Seorang yang melampaui latihan, mencapai nibbāna.

86 (6) Nāgita <1806>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara dalam suatu perjalanan di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernaam Icchānaṅgala. Di sana Sang Bhagavā menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Icchānaṅgala mendengar: ‘Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari keluarga Sakya, telah tiba di Icchānaṅala dan sedang menetap [341] di hutan belantara Icchānaṅgala. Sekarang suatu berita baik tentang Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna … [seperti pada 6:42] … Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali menjumpai para Arahant demikian.”

Kemudian, ketika malam telah berlalu, para brahmana perumah tangga dari Icchānaṅgala membawa banyak makanan dari berbagai jenis dan mendatangi hutan belantara Icchānaṅgala. Mereka berdiri di luar pintu masuk membuat kegaduhan dan keributan. Pada saat itu Yang Mulia Nāgita adalah pelayan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nāgita: “Siapakah yang membuat kegaduhan dan keributan demikian, Nāgita? Seseorang akan berpikir bahwa mereka adalah para nelayan yang sedang mengangkut ikan.”

“Bhante, mereka adalah para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala yang membawa makanan berlimpah berbagai jenis. Mereka berdiri di luar pintu masuk, [ingin mempersembahkannya] kepada Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu.”

“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini, kebahagiaan keterasingan ini, kebahagiaan kedamaian ini, kebahagiaan pencerahan ini yang kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian.”

“Sudilah Sang Bhagavā menerimanya sekarang, Bhante, sudilah Yang Berbahagia menerimanya. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk menerima. Ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Seperti halnya, [342] ketika tetesan besar air hujan turun, airnya akan mengalir turun di sepanjang lereng, demikian pula, ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Karena alasan apakah? Karena perilaku bermoral dan kebijaksanaan dari Sang Bhagavā.”
 
“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini …  boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian.

“Bahkan beberapa dewata, Nāgita, tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan yang Kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan.

(1) “Ketika,<1807> Nāgita, engkau datang bersama dan bertemu, bertekad untuk menjalin pertemanan, Aku berpikir: ‘Para mulia ini pasti tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan yang Kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan; karena ketika mereka [343] datang bersama dan bertemu, mereka bertekad untuk menjalin pertemanan.’

(2) “Aku melihat, Nāgita, para bhikkhu tertawa dan bermain dengan saling menepuk satu sama lain dengan jari-jari mereka. Aku berpikir: ‘Para mulia ini pasti tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini … yang Kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan; karena para mulia ini tertawa dan bermain dengan saling menepuk satu sama lain dengan jari-jari mereka.’

(3) “Aku melihat, Nāgita, para bhikkhu yang, setelah makan sebanyak yang mereka inginkan hingga perut mereka penuh, menyerah pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan kemalasan, kenikmatan tidur. Aku berpikir: ‘Para mulia ini pasti tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini … yang Kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan. Karena setelah makan sebanyak yang mereka inginkan hingga perut mereka penuh, mereka menyerah pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan kemalasan, kenikmatan tidur.’

(4) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu yeng menetap di pinggiran desa duduk dalam keadaan konsentrasi. Aku berpikir: ‘Sekarang seorang pelayan vihara atau seorang samaṇera akan kembali pada yang mulia ini dan menyebabkannya jatuh dari konsentrasi itu.’<1808> [344] Karena alasan ini aku tidak bersenang dengan kediaman bhikkhu ini di pinggiran sebuah desa.

(5) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni hutan sedang duduk mengantuk di dalam hutan. Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan menghalau kantuk dan letihnya dan memperhatikan hanya pada persepsi hutan, [suatu keadaan] kemanunggalan.’ Karena alasan ini aku bersenang atas kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(6) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni hutan sedang duduk di dalam hutan dalam keadaan tidak terkonsentrasi. Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan mengkonsentrasikan pikirannya yang tidak terkonsentrasi atau menjaga pikirannya yang terkonsentrasi.’ Karena alasan ini aku bersenang atas kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(7) “Aku melihat, Nāgita, seorang bhikkhu penghuni hutan sedang duduk di dalam hutan dalam keadaan terkonsentrasi. Aku berpikir: ‘Sekarang yang mulia ini akan membebaskan pikirannya atau menjaga pikirannya yang terbebaskan.’ Karena alasan ini aku bersenang atas kediaman bhikkhu ini di dalam hutan.

(8 ) “Ketika, Nāgita, Aku sedang melakukan perjalanan di jalan raya dan tidak melihat siapa pun di depan dan di belakangku, bahkan jika hanya untuk buang air besar atau air kecil, pada saat itu Aku merasa nyaman.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #23 on: 12 August 2013, 10:46:11 PM »
87 (7) Mangkuk Makanan

“Para bhikkhu, ketika seorang umat awam memiliki delapan kualitas, Saṅgha, jika menghendaki, boleh membalikkan mangkuk makanan terhadapnya.<1809> Apakah delapan ini? [345] (1) Ia berusaha mencegah para bhikkhu memperoleh keuntungan; (2) ia berusaha membahayakan para bhikkhu; (3) ia berusaha mencegah para bhikkhu menetap [di tempat tertentu]; (4) ia menghina dan mencaci para bhikhu; (5) ia memecah-belah para bhikkhu satu sama lain; (6) ia mencela Sang Buddha; (7) ia mencela Dhamma; (8 ) ia mencela Saṅgha. Ketika seorang umat awam memiliki kedelapan kualitas ini, Saṅgha, jika menghendaki, boleh membalikkan mangkuk makanan terhadapnya.

“Para bhikkhu, ketika seorang umat awam memiliki delapan kualitas, Saṅgha, jika menghendaki, boleh menegakkan mangkuk makanan terhadapnya. Apakah delapan ini? (1) Ia tidak berusaha mencegah para bhikkhu memperoleh keuntungan; (2) ia tidak berusaha membahayakan para bhikkhu; (3) ia tidak berusaha mencegah para bhikkhu menetap [di dekatnya]; (4) ia tidak menghina dan tidak mencaci para bhikhu; (5) ia tidak memecah-belah para bhikkhu satu sama lain; (6) ia memuji Sang Buddha; (7) ia memuji Dhamma; (8 ) ia memuji Saṅgha. Ketika seorang umat awam memiliki kedelapan kualitas ini, Saṅgha, jika menghendaki, boleh menegakkan mangkuk makanan terhadapnya.”

88 (8 ) Tidak Memiliki Kepercayaan

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas, para umat awam, jika menghendaki, boleh menyatakan ketidak-percayaan terhadapnya.<1810> Apakah delapan ini? (1) Ia berusaha mencegah umat-umat awam memperoleh keuntungan; (2) ia berusaha membahayakan umat-umat awam; (3) ia menghina dan mencaci umat-umat awam; (4) ia memecah-belah umat-umat awam satu sama lain; (5) ia mencela Sang Buddha; (6) ia mencela Dhamma; (7) ia mencela Saṅgha; (8 ) mereka melihatnya di tempat yang tidak selayaknya.<1811> Ketika seorang bhikkhu memiliki kedelapan kualitas ini, para umat awam, jika menghendaki, boleh menyatakan ketidak-percayaan terhadapnya. [346]

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas, para umat awam, jika menghendaki, boleh menyatakan kepercayaan terhadapnya. Apakah delapan ini? (1) Ia tidak berusaha mencegah umat-umat awam memperoleh keuntungan; (2) ia tidak berusaha membahayakan umat-umat awam; (3) ia tidak menghina dan tidak mencaci umat-umat awam; (4) ia tidak memecah-belah umat-umat awam satu sama lain; (5) ia memuji Sang Buddha; (6) ia memuji Dhamma; (7) ia memuji Saṅgha; (8 ) mereka melihatnya di tempat yang [selayaknya]. Ketika seorang bhikkhu memiliki kedelapan kualitas ini, para umat awam, jika menghendaki, boleh menyatakan kepercayaan terhadapnya.”

89 (9) Rekonsiliasi

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas, Saṅgha, jika menghendaki, boleh memerintahkan suatu tindakan rekonsiliasi terhadapnya.<1812> Apakah delapan ini? (1) Ia berusaha mencegah umat-umat awam memperoleh keuntungan; (2) ia berusaha membahayakan umat-umat awam; (3) ia menghina dan mencaci umat-umat awam; (4) ia memecah-belah umat-umat awam satu sama lain; (5) ia mencela Sang Buddha; (6) ia mencela Dhamma; (7) ia mencela Saṅgha; (8 ) ia tidak memenuhi janji yang sah pada umat-umat awam. Ketika seorang bhikkhu memiliki kedelapan kualitas ini, Saṅgha, jika menghendaki, boleh memerintahkan suatu tindakan rekonsiliasi terhadapnya.

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki delapan kualitas, Saṅgha, jika menghendaki, boleh mencabut suatu tindakan rekonsiliasi [yang dijatuhkan padanya sebelumnya]. Apakah delapan ini? (1) Ia tidak berusaha mencegah umat-umat awam memperoleh keuntungan; (2) ia tidak berusaha membahayakan umat-umat awam; (3) ia tidak menghina dan tidak mencaci umat-umat awam; (4) ia tidak memecah-belah umat-umat awam satu sama lain; (5) ia memuji Sang Buddha; [347] (6) ia memuji Dhamma; (7) ia memuji Saṅgha; (8 ) ia memenuhi janji yang sah pada umat-umat awam. Ketika seorang bhikkhu memiliki kedelapan kualitas ini, Saṅgha, jika menghendaki, boleh mencabut suatu tindakan rekonsiliasi rekonsiliasi [yang dijatuhkan padanya sebelumnya].”

90 (10) Perilaku

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang dituduh dengan perbuatan buruk yang menjengkelkan<1813> harus bersikap dengan benar sehubungan dengan delapan prinsip. (1) Ia tidak boleh memberikan penahbisan penuh; (2) ia tidak boleh menjadi tempat bergantung;<1814> (3) ia tidak boleh memiliki seorang samaṇera melayaninya; (4) ia tidak boleh menerima penunjukan untuk memberikan nasihat kepada para bhikkhunī; (5) bahkan jika ia ditunjuk, ia tidak boleh menasihati para bhikkhunī; (6) ia tidak boleh menerima penunjukan [sebagai seorang petugas] di dalam Saṅgha; (7) ia tidak boleh diangkat dalam posisi pemimpin apa pun; (8 ) ia tidak boleh memberikan rehabilitasi [dalam sebuah kasus] dengan akar itu.<1815> Seorang bhikkhu yang dituduh dengan perbuatan buruk yang menjengkelkan harus bersikap dengan benar sehubungan dengan kedelapan prinsip ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #24 on: 12 August 2013, 10:46:34 PM »
V. KEMIRIPAN<1816>

91 (1) – 117 (27) <1817>

Umat awam perempuan Bojjhā … Sirimā … Padumā … Sutanā … Manujā … Uttarā … Muttā … Khemā … Somā<1818> … Ruci … Putri Cundī … umat awam perempuan Bimbī … putrid Sumanā … [348] Ratu Mallikā … umat awam perempuan Tissā … Soṇa ibunya Tissā … ibunya Soṇā … Kāṇā … ibunya Kāṇā … Uttarā Nandamātā<1819> … Visākā Migāramātā … umat awam perempuan Khujjuttarā … umat awam perempuan Sāmāvatī … Suppavāsā putrid Koliya … umat awam perempuan Suppiyā … perumah tangga Nākulamātā …

VI. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<1820>

118 (1)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka delapan hal harus dikembangkan. Apakah delapan ini? Pandangan Benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kedelapan hal ini harus dikembangkan.

119 (2)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka delapan hal harus dikembangkan. Apakah delapan ini? (1) Seseorang yang mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, terbatas, indah atau buruk. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ (2) Seseorang yang mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, tidak terbatas, indah atau buruk. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ (3) Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, terbatas, indah atau buruk. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ (4) Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, tidak terbatas, indah atau buruk. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ [349] (5) Seseorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang biru, berwarna biru, bercorak biru, bernuansa biru … (6) … yang kuning, berwarna kuning, bercorak kuning, bernuansa kuning … (7) … yang merah, berwarna merah, bercorak merah, bernuansa merah … (8 ) … yang putih, berwarna putih, bercorak putih, bernuansa putih.. Setelah melampauinya, ia ṃempersepsikan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat.’ demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kedelapan hal ini harus dikembangkan.”

120 (3)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka delapan hal harus dikembangkan. Apakah delapan ini? (1) Seorang yang memiliki bentuk melihat bentuk-bentuk. (2) Seorang yang tidak mempersepsikan bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal. (3) Seseorang berfokus hanya pada ‘yang indah.’ (4) Dengan sepenuhnya melampai persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seseorang masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. (5) Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seseorang masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. (6) Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seseorang masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. (7) dengan sepenuhnya melampui landasan kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. (8 ) Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seseorang masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kedelapan hal ini harus dikembangkan.

121 (4) – 147 (30)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka kedelapan hal harus dikembangkan.”

148 (31) – 627 (510)


“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran [350] … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan … maka kedelapan hal ini harus dikembangkan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā



Buku Kelompok Delapan selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #25 on: 12 August 2013, 10:47:06 PM »
Catatan kaki

1615 > Amanussā. Lit. “bukan manusia.” Kata ini secara khusus merujuk pada para dewa bumi, yakkha, dan siluman. Vism 312,9 – 313,18 (Ppn 9,24-69), mengilustrasikan manfaat ini dengan sebuah kisah tentang seorang bhikkhu yang memenangkan kasih-sayang para dewa pohon.

1616 > Sabbe ca pāne manasānukampī. Anukampā (kata benda abstrak dari anukampī) memiliki nuansa yang agak berbeda dari karuṇā, kualitas tak terbatas ke dua. Anukampā biasanya menyiratkan belas kasihan sebagai motif atas perbuatan yang mewakili orang lain, sedangkan karuṇā umumnya merujuk pada keadaan meditatif.

1617 > Saya menerjemahkan dengan berdasarkan Be dan Ee yang menuliskan assamedhaṃ, yang selaras dengan nama kelompok pengorbanan tradisional pertama yang disebutkan di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya. Pada 4:39 pengorbanan ini dikecam karena bahaya yang ditimbulkan atas makhluk-makhluk yang tidak berdaya. Ce di sini menuliskan sassamedhaṃ, “pengorbanan jagung,” suatu kemasan yang terdapat dalam Mp (baik Ce maupun Be. Kemasan ini mungkin bersifat pembetulan, yang dimaksudkan untuk membenarkan asal-usul pengorbanan ini dari para bangsawan kerajaan.

1618 > Ini adalah nama-nama pengorbanan lainnya.

1619 > Bersama Be dan Ee membaca tāraganā va, bukan seperti Ce tāragaṇa cā.

1620 > Mettaṃso sabbabhūtānaṃ veraṃ tassa na kenaci. Mp menganggap mettaṃso sebagai kata majemuk dari mettā dan aṃso, mengemasnya menjadi mettāyamānacittakoṭṭhāso, “seporsi pikiran cinta.” BHSD sv amśa membuktikan kemunculan maitra amśa dalam literatur BHS; maitreṇāṃśena sphuritvā dalam Divyāvadāna 60.24 dan 61.12.

1621 > Ādibrahmacariyikāya paññāya. Mp: “[Ini adalah] pandangan terang, kebijaksanaan yang menjadi landasan bagi kehidupan spiritual sang jalan” (maggabrahmacariyassa ādibhūtāya paññāyā ti vipassanāya).
 
1622 > Ariyaṃ vā tuṇhībhāvaṃ nātimaññati. Lit., “atau ia tidak merendahkan keheningan mulia.”

1623 > Piyattāya garuttāya bhāvanāya sāmaññāya ekībhāvāya saṃvattati. Mp mengemas bhāvanāya di sini sebagai bhāvanatthāya guṇasambhāvanāya vā, “pada pengembangan [meditatif] atau pada penghargaan atas moralitas.” Makna terakhir tampaknya lebih sesuai dengan konteks. Mp mengemas sāmaññāya sebagai samaṇadhammathāya, “demi tugas petapa,” tetapi saya pikir lebih mungkin bahwa samaññā adalah kata benda abstrak dari samāṇa, yang berarti “sama” atau “serupa.” Saya menerjemahkannya sebagai “kerukunan,” yang sesuai dengan kata berikutnya “akibhāvāya. PED mengartikan sāmañña sebagai “kesesuaian” dan “persatuan.” Kata ini muncul dalam makna ini sebagai nama dari vagga ke lima dari kelimpok Lima Puluh Ke Dua (bca p.1237 di bawah). Tidak terdapat paralel China, tapi baca pp.1848-49, catatan 2106.

1624 > Sebuah paralel yang diperluas dari 7:1. Walaupun menggunakan kerangka yang sama, 8:4 bukanlah sebuah paralel yang persis dari 7:2.

1625 > Asuci. Mp hanya mengatakan “ia memiliki perbuatan jasmani yang tidak murni, dan seterusnya”

1626 > Devadatta telah memecah-belah Saṅgha dan pergi bersama kumpulan para bhikkhunya, bermaksud untuk mendirikan kelompok tandingan.

1627 > Yaṃ kiñci subhāsitaṃ sabbaṃ taṃ tassa bhagavato vacanaṃ arahato sammāsambuddhassa. Tato upādāy’upādāya mayañ c’aññe ca bhaṇāma. Ini dapat diterjemahkan, “Apa pun kata-kata Sang Bhagavā … diucapkan dengan baik.” Seperti disebutkan, ini mengungkapkan gagasan bahwa ajaran yang baik yang mana pun yang disampaikan oleh para siswa, bahkan ketika berasal dari mereka sendiri, dapat dianggap sebagai buddhavacana karena berdasarkan atas ajaran Sang Buddha.

1628 > Kemungkinan bahwa sutta ini dimasukkan dalam Kelompok Delapan karena delapan kondisi buruk yang disebutkan dalam khotbah tentang Devadatta.

1629 > Sulit untuk melihat atas dasar apa Sakka mengatakan bahwa pembabaran Dhamma ini belum dikenal luas di antara empat kumpulan (d’ayaṃ dhammapariyāyo kismiñci patiṭṭhito). Khotbah tentang mengetahui kegagalan dan pencapaian diri sendiri telah diajarkan kepada para bhikkhu, yang kemungkinan besar juga telah mengajarkannya kepada tiga kumpulan lainnya.

1630 > Nanda, adik sepupu Sang Buddha, jelas memiliki keinginan indriawi yang kuat. Setelah ia menjadi seorang bhikkhu ia terus-menerus memikirkan tunangannya dan kelak berharap dapat terlahir di antara para bidadari surgawi. Kisahnya terdapat pada Ud 3:2,21-24.

1631 > Pada 4:41, ini disebut pengembangan konsentrasi yang mengarah pada perhatian dan pemahaman jernih.

1632 > Aññenāññaṃ paṭicarati, bahiddhā kathaṃ apanāmeti, kopañca dosañca appaccayañca pātukaroti.

1633 > Bersama Ce dan Be saya membaca niddhamath’etaṃ … niddhamath’etaṃ, bukan seperti Ee dhammath’etaṃ … niddhamath’etaṃ.

1634 > Semua tulisan atas kalimat ini tampaknya membingungkan. Ce menuliskan kiṃ vo paraputto vihethīyati, di mana kata kerja pasif tampaknya tidak sesuai. Ee menuliskan kiṃ vo paraputtā viheṭheti, yang menghubungkan ebuah subjek jamak pada kata kerja aktif tunggal. Be menuliskan kiṃ vo tena paraputtena visodhitena, “Apakah hubungan antara engkau dengan putra orang lain yang telah murni?”   yang tidak sesuai dalam konteks ini. Ee mencantumkan variasi lainnya lagi dalam catatan kaki. Saya menganggap tulisan yang seharusnya adalah: kiṃ vo paraputto viheṭheyya. Mp tidak memberikan penjelasan, tetapi maknanya tampaknya adalah bahwa si bhikkhu yang bermasalah, karena perilakunya, bukanlah seorang siswa sejati Sang Buddha dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai “putra” (yaitu, siswa) dari guru lain.

1635 > Aññesaṃ bhaddakānaṃ bhikkhūnaṃ. Saya menganggap bahwa ini adalah delapan modus perilaku di atas yang mendasari klasifikasi sutta ini dalam Kelompok Delapan.

1636 > Kuṭhāripāsena. DOP ragu-ragu atas makna ini tetapi mengusulkan bahwa ini adalah cincin atau bilah dari kapak. PED menuliskan “lemparan kapak.”

1637 > Naḷerupucimandamūle. Sp I 108,29-30 mengatakan bahwa Naḷeru adalah nama sesosok yakkha.

1638 > Kecaman serupa terhadap Sang Buddha terdapat pada 4:22.

1639 > Arasarūpo bhavaṃ Gotamo. Mp: “Brahmana itu, karena kurangnya kebijaksanaan, tidak mengenali Sang Buddha sebagai yang tertua di dunia. Sama sekali tidak ingin menerima pernyataan Sang Buddha, ia berkata demikian, dengan merujuk pada ‘rasa kerukunan’ (sāmaggirasa), yang di dunia ini berarti memberi hormat, berdiri dengan hormat, salam hormat, dan perilaku sopan. Untuk melunakkan pikirannya, Sang Buddha menghindari secara langsung membantahnya; sebaliknya Beliau mengatakan bahwa sebutan itu berlaku untuk Beliau, tetapi dalam makna berbeda. [Sang Buddha mengatakan tentang ‘rasa’] sebagai kepuasan dalam kenikmatan indria yang muncul pada kaum duniawi – bahkan pada mereka yang dianggap terbaik dalam hal kasta atau kelahiran kembali – yang menyukai, menyambut, dan bernafsu pada objek-objek seperti bentuk, dan sebagainya.”

1640 > Nibbhogo bhavaṃ Gotamo.Mp mengatakan bahwa brahmana itu bermaksud mengatakan ini dalam makna bahwa Sang Buddha tidak memiliki “kenikmatan kerukunan” (sāmaggiparibhogo, kebersamaan), yang dengannya sekali lagi ia merujuk pada isyarat hormat seperti memberi hormat kepada sesepuh, dan sebagainya. Tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada kenikmatan indriawi yang muncul pada makhluk-makhluk biasa.

1641 > Akiriyavādo bhavaṃ Gotamo. Doktrin tidak-berbuat, seperti yang diungkapkan oleh para penganutnya, menyangkal adanya perbedaan antara baik dan buruk. Baca DN 2.17, I 52,22-53,2; MN 60.13, I 404,21-35; MN 76.10, I 516,3-17; SN 24.6, III 208,20-209,6. Mp mengatakan bahwa brahmana itu mengatakan ini dengan maksud bahwa Sang Buddha tidak berbuat sesuai kebiasaan, seperti memberi hormat kepada sesepuh, dan sebagainya. Tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada tidak-berbuat perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.

1642 > Ucchedavādo bhavaṃ Gotamo. Para penganut nihilis menyatakan “pemusnahan, kehancuran, dan pembinasaan” seorang yang benar-benar ada pada saat kematian. Baca DN 1.3.9-16, I 34,2-35,36. Mp mengatakan bahwa brahmana itu bermaksud untuk menuduh bahwa Sang Buddha berusaha memusnahkan kebiasaan menghormati para sesepuh, dan sebagainya yang telah lama ada, tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada pemusnahan segala kekotoran dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat melalui empat jalan mulia.

1643 > Jegucchi bhavaṃ Gotamo. Mp: “Brahmana itu menyebut Sang Bhagavā seorang ‘penolak’ (JegucchI); ia berpikir bahwa karena Sang Buddha menolak (jigucchati) perilaku sopan seperti menghormati para sesepuh, maka Beliau tidak melakukan perbuatan demikian. Tetapi Sang Bhagavā mengakui hal ini dalam makna metafora. Beliau menolak perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran dan berbagai kualitas buruk yang tidak bermanfaat, seperti halnya seseorang yang menyukai perhiasan akan menolak dan jijik pada kotoran tinja.

1644 > Venayiko bhavaṃ Gotami. Venayika, dari kata kerja vineti (mendisiplinkan, melenyapkan), dapat berarti “seorang yang menjatuhkan disiplin, seorang yang melatih orang lain.” Tetapi pada masa Sang Buddha kata venayika tampaknya juga bermakna “seorang yang menyesatkan,” yang mengarahkan seseorang menuju kehancuran.. demikianlah Mp mengemas vineti, dalam pandangan si brahmana, sebagai vināseti, “menghancurkan.” Tetapi Sang Buddha menegaskan hal ini dalam makna bahwa Beliau mengajarrkan Dhamma untuk pelenyapan nafsu dan kekotoran lainnya (rāgādīnaṃ vinayāya).

1645 > Tapassī bhavaṃ Gotamo. Seorang tapassī biasanya adalah seorang petapa yang menekuni praktik menyiksa-diri. Kata ini diturunkan dari kata kerja tapati, “membakar, memanaskan.” Si brahmana, menurut Mp, menggunakan kata ini dalam makna seorang yang menyiksa para sesepuh dengan tidak menunjukkan penghormatan selayaknya kepada mereka. Tetapi Sang Buddha menggunakan kata ini dalam makna bahwa Beliau membakar habis kualitas-kualitas tidak bermanfaat.

1646 > Apagabbho bhavaṃ Gotamo. SED menjelaskan Skt apagalbha sebagai “kurangnya keberanian, malu, bingung” (baca juga DOP sv apagabbha). Sang Buddha bermain kata seolah-olah bermakna “bebas dari (apa) rahim (gabbha).” Adalah nyaris mustahil untuk menangkap permainan kata itu dalam terjemahan; penggunaan “pensiun” oleh saya adalah suatu usaha yang canggung untuk menjembatani kedua makna “takut” dan “berhenti” dari pengembaraan melalui lingkaran kelahiran kembali.

1647 > Baca 4:128 §4.

1648 > Mengikuti Be dan Ee, saya menerjemahkan kedua pengetahuan secara lengkap. Ce menyingkatnya.

1649 > Saya tidak mengikuti Ce, yang di sini memasukkan diṭṭhāsava, noda pandangan, yang tidak ada dalam Be atau Ee. Kalimat paralel dalam Ce pada 3:59, 4:198, dan sebagainya, tidak memasukkan diṭṭhāsava.

1650 > Agak aneh bahwa Mahāvīra (Nigaṇṭha Nātaputta) digambarkan membuat pernyataan demikian. Kaum Jain pasti sudah mengetahui bahwa Sang Buddha juga mengajarkan doktrin kamma, walaupun berbeda dengan doktrin mereka. Mp mengatakan bahwa Nātaputta sangat tidak senang atas permohonan Sīha dan berniat untuk mencegahnya pergi. Kata-katanya “menghancurkan kegembiraan yang telah muncul dalam diri Sīha, seolah-olah dengan tongkat kayu memukul seekor sapi yang sedang berkeliaran, memadamkan pelita yang menyala, atau membalikkan mangkuk berisi makanan.”

1651 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca: yannūnāhaṃ anapaloketvā va nigaṇṭhe, bukan seperti Ce yannūnāhaṃ anapalokitā va nigaṇṭhe. Dalam kalimat sebelumnya, dengan nigaṇṭhā sebagai subjek, bentuk lampau apalokitā vā anapalokitā vā cocok sebagai nominatif sesuai dengan subjek. Dalam kalimat ini, di mana subjeknya adalah ahaṃ, bentuk absolutif yang menyiratkan tindakan Sīha lebih disukai.

1652 > Baca p.1646, catatan 416.

1653 > Dalam 8:11 tuduhan §§1, 3-7 diarahkan pada Sang Buddha.

1654 > Ce dan Be menuliskan assāsako; Ee membaca assattho, yang berarti “terhibur.” Saya tidak yakin bagaimana hal ini dimaksudkan sebagai kritikan.

1655 > Mp: “Penghiburan tertinggi (paramena assāsena): empat jalan dan empat buah.”

1656 > Bagian berikutnya di sini, hingga “menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam ajaran Sang Guru,” sangat mirip dengan pengalaman Upāli dalam MN 56.16-18, I 379,2 – 380,10.

1657 > Tuduhan ini juga disebutkan pada 3:57.

1658 > Ce dan Ee jīranti; Be jiridanti. Mp: “Mereka tidak membatasi fitnahan mereka (abbhakkhānassa antaṃ na gacchanti). Atau, kata jiridanti ini berarti malu (lajjanatthe). Artinya adalah bahwa mereka tidak malu (na lajjanti).”

1659 > Baca Jīvaka Sutta (MN 55) untuk posisi Sang Buddha atas makan-daging. Agak mengherankan, bahkan nyaris tidak jujur, bahwa teks Buddhis menggambarkan kaum Jain mengkritik Sang Buddha karena memakan daging dari binatang yang dibunuh khusus untuknya. Tuduhan ini berperan pada protes Buddhis bahwa Sang Buddha sedang difitnah dan pembelaan mereka bahwa Beliau tidak akan pernah dengan sengaja menyebabkan makhluk hidup terbunuh untuk makananNya. Tetapi karena kaum Jain adalah praktisi vegetarian keras, maka kita dapat yakin bahwa mereka mengkritik Sang Buddha dan para siswaNya, bukan karena menyebabkan binatang terbunuh untuk makanan mereka, melainkan hanya karena makan daging. Tentang  larangan makan daging oleh Jain, baca http://www.jainworld.com/jainbooks/guideline/28.htm.

1660 > Dalam Ee, so rato harus dibaca tanpa spasi sebagai sorato.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #26 on: 12 August 2013, 10:47:59 PM »
1661 > Juga terdapat pada 2:5.

1662 > Piṭṭhito rathaṃ pavatteti. Mp: “mendorong gandar ke atas dengan bahunya, ia mundur, memutar kereta ke sekeliling dengan sisi badannya.”

1663 > Pacchā laṅghati, kubbaraṃ hanati, tidaṇḍaṃ bhañjati. Mp: “Ia menendang dengan kedua kaki belakangnya, menghantam jeruji kereta, dan merusak jeruji. Ia mematahkan tongkat tiga, ketiga tongkat di depan kereta.”

1664 > Rathīsāya satthiṃ ussajjitvā rathīsaṃyeva ajjhomaddati. Mp: “Setelah menurunkan kepalanya, ia menjatuhkan gandar ke tanah dan memukul tiang kereta dengan pahanya dan mematahkan tiang kereta dengan kedua kaki depannya.”

1665 > Saya mengikuti Ce dan Ee, yang di sini dan di bawah membaca patodaṃ, bukan seperti Be patodalaṭṭhi, “tongkat kendali dan cambuk.”

1666 > Anuṭṭhānamalā gharā. Lit., “Perumahan memiliki ketiadaan inisiatif sebagai nodanya.” Mp: “Noda perumahan adalah ketiadaan inisiatif, ketiadaan kegigihan.” Mp-ṭ: “Ini dikatakan karena sebuah rumah akan hancur jika seseorang tidak terus-menerus berinisiatif untuk memperbaiki apa yang sudah usang, dan seterusnya.”

1667 > Syair ini terdapat pada Dhp 241-43ab. Dhp 243cd menambahkan: “Setelah meninggalkan noda-noda ini, menjadi tanpa noda, O para bhikkhu” (etaṃ malaṃ pahatvāna nimmalā hotha bhikkhavo).

1668 > Vanabhaṅgena. Lit., “dengan apa yang rusak [dari] hutan.” Mp: “Dengan sebuah hadiah, seperti bunga atau buah, yang diambil dari hutan dan diberikan kepadanya.”

1669 > Saya menerjemahkan dengan berdasarkan atas Ce dan Ee. Be, dalam sutta ini dan sutta berikutnya, memiliki delapan cara pengikatan yang berbeda, yang muncul dalam urutan yang berbeda, yaitu: dengan menangis, dengan senyuman, dengan ucapan, dengan penampilan, dengan hadiah, dengan bau-bauan, dengan rasa kecapan, dengan sentuhan (ruṇṇena, hasitena, bhaṇitena, ākappena, vanabhaṅgena, gandhena, rasena, phassena). Demikianlah, selain dari perubahan urutan, Be mengganti “bentuk” dan “nyanyian” dari Ce dan Ee menjadi “bau-bauan” dan “rasa kecapan.” Menurut Mp, “penampilan” (ākappa) berarti “cara berpakaian dan sebagainya,” tetapi ini menjadi terlalu sempit. Paralel China pada EĀ II 765c24-766a2 mengurutkan sembilan cara seorang perempuan mengikat seorang laki-laki: dengan nyanyian, tarian, keterampilannya, sentuhannya, senyumnya, menangis, suatu cara yang berguna, mempercantik wajahnya dan tubuhnya, dan penampilan dan sikapnya.

1670 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca subaddhā yeva phassena baddhā. Ee menuliskan sebuah variasi di sini dan dalam sutta berikutnya: subaddhā yeva pāsena baddhā, “[mereka] yang terikat oleh jerat telah terikat erat.”

1671 > Frasa terakhir ini sering diterjemahkan sebagai “dengan turunan terjal setelah dataran panjang.” Tetapi Pāli na āyataken’eva papāto, dengan partikel negatif na, sesungguhnya berarti sebaliknya: bahwa tidak ada turunan terjal. Baca DOP sv āyataka, instr. Āyatakena, “secara tiba-tiba, tanpa peringatan, mendadak.” Mp menjelaskan: “tidak menurun seketika bagaikan jurang curam atau lubang dalam. Dimulai dari pantai¸bertambah dalam inci demi inci, kaki demi kaki, meter demi meter, [dan berturut-turut dalam satuan ukuran yang lebih panjang] hingga sedalam 84.000 yojana di kaki Gunung Sineru.”

1672 > Tiga pertama adalah ikan legenda berukuran raksasa.

1673 > Anupubbasikkha, anupubbakiriyā, anupubbapaṭipadā. Saya menganggap kata-kata ini adalah kata instrumental singkat relatif untuk aññāpaṭiveddho. Mp mengemasnya dengan anupubbasikkhāya, dan seterusnya. Mp menghubungkan masing-masing kata dengan sekelompok faktor latihan: “Dengan latihan bertahap ketiga latihan termasuk (baca 3:89); dengan aktivitas bertahap, ketujuh perenungan, delapan belas pandangan terang agung (baca Vism 694,3-27, Ppn 22.113), tiga puluh delapan objek meditasi, dan tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan termasuk. Penembusan pada pengetahuan akhir terjadi … bukan secara tiba-tiba (na āyataken’eva aññāpaṭivedho): tidak ada penembusan pada Kearahattaan secara seketika (ādito va) bagaikan lompatan seekor kodok, tanpa memenuhi perilaku bermoral dan seterusnya. Seseorang dapat mencapai Kearahattaan hanya setelah memenuhi sesuai urutan (paṭipātiyā) perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan.” Baca juga MN I 479.

1674 > Na tena nibbānadhātuyā ūnattaṃ vā purattaṃ vā paññāyati. Mp: “Ketika tidak ada Buddha yang muncul dalam tidak terhitung banyaknya kappa, tidaklah mungkin bagi bahkan satu makhluk untuk mencapai nibbāna. Namun seseorang tidak dapat mengatakan, ‘Elemen nibbāna kosong.’ Dan selama masa munculnya seorang Buddha, ketika tidak terhitung banyaknya makhluk mencapai keabadian pada satu pertemuan, seseorang juga tidak dapat mengatakan, ‘Elemen nibbāna telah penuh.’”

1675 > Sebuah versi singkat dari sutta ini, dengan syair yang ditambahkan pada bagian akhirnya, adalah Ud 5:5, 51-56. Juga terdapat pada Vin II 236-40, yang menjadi kisah latar belakang untuk aturan dalam menskors hak seorang bhikkhu untuk mengikuti pembacaan Pātimokkha.

1676 > Bersama dengan Ce saya membaca āgamessati, bukan seperti Be dan Ee āgamissati.

1677 > Pada 1:253 ia dinyatakan sebagai yang terunggul di antara mereka yang memberikan apa yang menyenangkan. Pada 5:44 ia memberikan persembahan yang menyenangkan kepada Sang Buddha.

1678 > Brahmacariyapañcamāni sikkhāpadāni. Ini adalah lima aturan yang biasa, tetapi dengan “menghindari aktivitas seksual” menggantikan “menghindari hubungan seksual yang salah” sebagai aturan ke tiga.

1679 > Seperti pada 7:53 §7. Dengan ini ia menyatakan dirinya sebagai yang-tidak-kembali.

1680 > Ini adalah cara lain untuk menyatakan diri sendiri sebagai seorang yang-tidak-kembali. Dengan mengatakan bahwa ia tidak akan kembali ke “alam ini” (imaṃ lokaṃ) ia menunjukkan bahwa ia telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, yang mengikat seseorang pada alam indria ini, dan juga bahwa ia masih belum menjadi seorang Arahant, yang tidak akan kembali pada kondisi makhluk apa pun.

1681 > Walaupun Hatthaka dikatakan berdiam di rumah (nivesana), namun tidak seperti kedua umat awam sebelumnya, di sini ia tidak dipanggil sebagai “perumah tangga” (gahapati) melainkan sebagai “teman” (avuso). Apakah ini adalah kesengajaan atau kesalahan dalam penyampaian adalah mustahil untuk dipastikan. Akan tetapi, pada 6:123, Hatthaka dirujuk sebagai seorang perumah tangga (gahapati) sementara beberapa siswa awam lainnya dalam vagga ini disebut sebagai umat awam (upāsaka).

1682 > Teks mengulangi semuanya dari kunjungan bhikkhu itu ke rumah Hatthaka hingga akhir percakapan.

1683 > Disebutkan pada 4:32 dan 4:256.

1684 > Daḷiddassa kho no tathā sotabbaṃ maññanti. Mp: “Mereka tidak mendengarkan aku seperti yang mereka lakukan pada orang miskin, yang tidak dapat memberikan apa pun atau melakukan apa pun; melainkan mereka berpikir bahwa mereka harus mendengarkan aku dan mengikuti nasihatku dan tidak berpikir bahwa mereka boleh melanggar instruksiku.

1685 > Jīvaka adalah tabib pribadi Sang Buddha. Untuk kisah latar belakangnya, baca Vin I 268-80.

1686 > Tampaknya bahwa kedua kata Pāli ujjhatti dan nijjhati secara sengaja dilawankan satu sama lain. Mp mengemas ujjhatibala sebagai ujjhānabala dan menjelaskan: “Karena si dungu hanya memiliki kekuatan mengeluh: ‘Ketika orang itu mengatakan ini dan itu, ia mengatakannya kepadaku, bukan kepada orang lain.’ Tetapi [si bijaksana] memiliki kekuatan menyimpulkan, menarik kesimpulan atas apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya: ‘Ini bukan begitu, karenanya ini adalah itu.’” Tentang nijjhatti dan kata kerjanya, nijjhāpeti, baca 2:51.

1687 > Bersama dengan Ce membaca vavakaṭṭhaṃ, bukan vivekaṭṭhaṃ seperti pada Be dan Ee. Vavakaṭṭha adalah bentuk lampau dari vavakassati. PED mendefinisikan, “menarik diri, menjauhi, menyendiri, mengasingkan diri.”

1688 > Khaṇakicco loko. Lit., “ dunia tugas-momen.” Mp: “Seseorang melakukan tugasnya pada suatu momen. Setelah memperoleh kesempatan ini, seseorang melakukan tugasnya.”

1689 > Dīghāyukaṃ devanikāyaṃ. Mp: “Ini dikatakan dengan merujuk pada kelompok para deva tanpa-persepsi (asaññaṃ devanikāyaṃ).” Akan tetapi, ini juga tampaknya berlaku untuk para deva di alam tanpa bentuk, yang (karena tidak memiliki tubuh) tidak dapat mendengarkan Sang Buddha atau para siswaNya mengajarkan Dhamma dan dengan demikian bahkan tidak dapat mencapai jalan memasuki-arus.

1690 > Saddhammassa niyāmataṃ: Mp mengemas sebagai jalan mulia (ariyaṃ maggaṃ).

1691 > Bersama dengan Ce dan Ee saya membaca māradheyyasarānuge, bukan seperti Be māradheyyaparānuge. Mp: “Yang menyertai saṃsāra, disebut ‘alam Māra’” (māradheyyasaṅkhātaṃ saṃsāraṃ anugate).

1692 > Mp: “Setelah meninggalkan keduniawian, pada masa pengasingan musim hujan pertamanya Anuruddha memperoleh pencapaian meditatif dan memperoleh pengetahuan mata-dewa yang dengannya ia dapat melihat seribu sistem dunia. Ia mendatangi Sāriputta untuk meminta nasihat … dan Sāriputta menjelaskan suatu subjek meditasi kepadanya. Ia mempelajari subjek meditasi tersebut, meminta izin dari Sang Buddha, dan pergi ke Negeri Ceti, di mana selama delapan bulan ia melewatkan waktu dengan meditasi berjalan. Tubuhnya menjadi kelelahan karena usaha itu, maka ia duduk di semak bambu. Kemudian pemikiran ini muncul padanya.”

1693 > Nippapañcāramassāyaṃ dhammo nippapañcaratino nāyaṃ dhammo papañcārāmassa papañcaratino. Mp: “[Dhamma ini adalah] untuk seorang ‘yang menyukai ketiadaan proliferasi,’ yang bersenang dalam keadaan nibbāna, disebut ‘ketiadaan-proliferasi’ karena hampa dari proliferasi melalui ketagihan, keangkuhan, dan pandangan” (taṇhāmānadiṭṭhipapañcarahitattā nippapañcasankhāte nibbānapade abhiratassa). Tentang papañca, baca juga 4:173.

1694 > Bersama dengan Ce saya membaca vavakaṭṭhena, bukan seperti Be dan Ee vivekaṭṭhena. PED mengatakan bahwa vavakaṭṭha dan vūpakaṭṭha adalah bentuk-bentuk alternatif dari kata yang sama. Keduanya berbeda dengan vivekaṭṭha, “kokoh dalam keterasingan.” Karena kata majemuk viveka mendahului kata ini, maka mudah untuk melihat bagaimana kata aslinya mungkin telah mengalami perubahan. Baca p.1797, catatan 1687.

1695 > Termasuk di antara syair-syair Anuruddha pada Th 901-3.

1696 > Motif untuk memberi yang ke lima, enam, dan delapan juga terdapat pada 7:52.

1697 > Āsajja dānaṃ deti. Mp: “Seseorang memberikan pemberian ketika seseorang datang. Setelah melihat seseorang telah datang, ia segera mempersilakannya duduk, memberi hormat kepadanya, dan memberikan suatu pemberian kepadanya. Ia berpikir, “Aku akan memberi, tetapi tidak menyusahkannya.” Penjelasan ini menganggap āsajja sebagai bentuk absolutif dari āsīdati, dikemas oleh Mp sebagai nisīdāpetvā, “setelah mempersilakannya duduk.” Akan tetapi, dalam Nikāya-Nikāya, āsajja tampaknya tidak pernah bermakna ini melainkan selalu bermakna “setelah menghina, setelah menyinggung, setelah mengganggu.” Karena jenis pemberian ini muncul pertama dalam daftar yang jelas bertingkat, maka makna yang umum dari āsajja lebih sesuai.

1698 > Seluruh tiga edisi menuliskan cittālaṅkāracittaparikkhāratthaṃ dānaṃ deti. Baca 7:52, di mana Ce menuliskan cittālaṅkāraṃ cittaparikkhāranti dānaṃ deti. Mp: “Untuk tujuan menghias dan melengkapi pikirannya dengan ketenangan dan pandangan terang.”

1699 > Kemungkinan besar sutta ini awalnya adalah sebuah syair yang melekat pada sutta sebelumnya, yang pada suatu titik telah terpecah dan diperlakukan sebagai sutta terpisah. Dalam bentuk yang sekarang ini, tidak ada kelompok delapan faktor yang menjadi alasan dimasukkannya sutta ini dalam kelompok delapan.

1700 > Dānavatthūni. Mp: dānakāraṇāni, “sebab-sebab untuk memberi.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #27 on: 12 August 2013, 10:49:19 PM »
1701 > Bersama dengan Be dan Ee membaca bhayā dānaṃ deti; Ce menuliskan garahā dānaṃ deti, “seseorang memberikan suatu pemberian karena kritikan,” mungkin dengan implikasi “karena takut kritikan.”

1702 > Dalam menerjemahkan syair ini, saya berganti-ganti antara “kesempurnaan” dan “kebaikan” sebagai terjemahan untuk sampadā, dan “sempurna” dan “baik” sebagai terjemahan untuk sampanna. Dalam masing-masing kasus, saya telah membiarkan gaya bahasa wajar dalam Bahasa Inggris untuk menentukan pilihan yang sesuai.

1703 > Teks menuliskan tassa taṃ cittaṃ, tetapi “aspirasi” di sini lebih baik daripada “pikiran” untuk cittaṃ.

1704 > Bersama dengan Ee saya membaca hīne ‘dhimuttaṃ (= hīne adhimuttaṃ), sama seperti edisi Siam. Ce dan Ee menuliskan hīne vimuttaṃ, yang merupakan tulisan pada Mp. Mp-ṭ mengemas: “Terbebaskan pada adalah ditekadkan pada, yang berarti ‘mengarah pada, miring ke arah, condong pada’” (vimuttan ti adhimuttaṃ, ninnaṃ ponaṃ pabbhāranti attho[/i]). Mp: “Yang rendah (hīna) adalah kelima objek kenikmatan indria.”

1705 > Vītarāgassa, no sarāgassa. Ini ditambahkan karena kelahiran kembali di alam brahmā memerlukan lebih dari sekedar praktik kedermawanan. Melainkan juga harus didukung oleh pencapaian jhāna-jhāna, yang muncul melalui lenyapnya ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria.

1706 > Baca 5:148. Satu-satunya faktor yang umum di antara kelima kualitas yang disebutkan di sana dan yang terdapat di sini adalah memberi pada waktu yang tepat.

1707 > Ini adalah sebuah paralel yang diperluas dari 5:42, tetapi dengan syair berbeda.

1708 > Mp mengemas pubbe sebagai paṭhamaṃeva, tetapi saya mencurigai ini adalah singkatan dari pubbapeta, yang disebutkan pada bagian prosa. Saya menerjemahkan dengan berdasarkan pada asumsi ini.

1709 > Saya membaca syair ini sebagai terdiri dari dua bait enam baris dan satu bait yang terdiri dari empat baris. Ce dan Be keduanya membaginya ke dalam empat bait yang terdiri dari empat baris. Ee tidak membaginya dalam bait-bait.

1710 > Bersama dengan Be dan Ee saya membaca ñatvā dhamme ca pesalo, bukan seperti Ce ñatvā dhamme’dha pesale.

1711 > Apace brahmacārayo. Mp mengemas seolah-olah apace mewakili apacayati, “menghormati”: brahmacārino apacayati, nīcavuttitaṃ nesaṃ āpajjati. Akan tetapi, DOP menganggap apaca sebagai berarti “tidak memasak,” dan dengan demikian menyiratkan tanpa-rumah. Saya mengikuti ini dengan menerjemahkan sebagai “pengemis.”

1712 > Baca 4:51-52, 5:45.

1713 > Tentang pelaksanaan uposatha para mulia, baca 3:70

1714 > Syair ini identik dengan syair pada 3:70.

1715 > Dari ketiga edisi, hanya Ee yang menuliskan sace ceteyyuṃ, yang konsisten dengan tulisan pada paralelnya pada 4:193, II 194,24-25.

1716 > Dihubungkan dengan 5:33. Mp mengidentifikasikan para dewata ini sebagai “para deva yang senang dalam penciptaan” (nimmānaratino devā). Mp menceritakan asal-mula sutta ini sebagai berikut: “Dikatakan bahwa para dewata itu, setelah memeriksa keagungan mereka sendiri, bertanya kepada mereka sendiri: ‘Bagaimanakah kami memperoleh keagungan ini?’ Dengan merefleksikan, mereka melihat Anuruddha dan mengetahui: ‘Di masa lampau, ketika ia adalah seorang raja pemutar-roda, kami adalah para selirnya. Kami menerima bimbingan darinya dan dengan demikian kami memperoleh keagungan ini. Marilah kita pergi. Kita akan membawa sesepuh itu dan [bersama-sama] kita akan menikmati (anubhavissāma) keagungan ini.’ Demikianlah pada hari itu mereka mendatangi Anuruddha.”

1717 > Suppaṭipatāḷitassa. Paṭipatāḷita tidak tercantum dalam PED, ettapi SED sv prati > pratitāla, dijelaskan sebagai “dalam musik, sejenis birama.” Mp (Ce) mengemas suppaṭipatālitassa sebagai pamāṇena ṭhitabhāvajananatthaṃ suṭṭhu paṭipatāḷitassa, yang saya terjemahkan: ‘terkoordinasi baik untuk tujuan mempertahankan birama tertentu.”

1718 > Tā devatā’na khvayyo anuruddho sādiyatī’ ti tatth’ev’antaradhāyiṃsu. Mp: “[Para dewata itu berpikir:] ‘Guru Anuruddha tidak menikmati tarian dan nyanyian kita. Ia memejamkan matanya dan menolak melihat kita. Mengapa kita harus menari dan menyanyi?’ Kemudian mereka lenyap dari sana.”

1719 > Lima hal pertama di sini secara substantif identik dengan apa yang disebutkan pada 5:33, kecuali untuk perubahan tata bahasa yang diperlukan untuk menyesuaikan dengan konteks.

1720 > Bersama dengan Ee saya membaca rajataṃ vā jātarūpaṃ vā, seperti pada 5:33. baik Ce maupun Be tidak memasukkan rajataṃ di sini tetapi seluruh tiga edisi memasukkannya pada 8:49 persis di bawah.

1721 > Bersama dengan Be dan Ee (dan Ce pada 5:33) saya membaca sabbakāmaharaṃ, bukan seperti Ce sabbakāmadaṃ di sini.

1722 > Seluruh tiga edisi di sini membaca issāvādena. Secara berlawanan, pada 5:33 ketiganya membaca frasa ini secara berbeda. Baca p.1726, catatan 1010.

1723 > Sutta ini dapat dianggap sebagai gabungan, karena delapan hal diperoleh dengan menggabungkan dua kelompok empat.

1724 > Mp menjelaskan ayaṃ’sa loko āraddho hoti sebagai berikut: AYam assa loko idhaloke karaṇamattāya āraddhattā paripuṇṇattā āraddho hoti paripuṇna (“Dunia berikutnya baginya dan dipenuhi karena ia berlanjut dan mencapai pemenuhan hanya dengan melakukan [apa yang harus dilakukan] di dunia sekarang”).

1725 > Mengikuti Ee, saya telah melengkapi teks, yang disingkat dalam Ce dan Be.

1726 > Soḷasākārasampannā. Referensinya tidak segera jelas dari teks itu sendiri. Mp: “Delapan yang disebutkan dalam sutta, dan delapan dalam syir, menjadikan enam belas aspek. Atau delapan yang ia miliki dan delapan [yang sama] yang menyuruh orang lain, menjadikan enam belas aspek.”

1727 > Sutta ini, kisah kanonis tentang berdirinya Saṅgha Bhikkhunī, telah menjadi subjek penyelidikan yang luas dikalangan para terpelajar. Narasi ini juga terdapat pada Vin II 253-56. beberapa penelitian belakangan atas sutta ini, dari perspektif kritis, terdapat pada Mohr dan Tsedroen 2010. Yang secara khusus mengandung pelajaran adalah Ute Hüsken, “The Eight Garudhamma,” dan Anālayo, “Women’s Renunciation in Early Buddhism: The Four Assemblies and the Foundation of the Order of Nuns,” yang memperlakukan problem kronologis pada pp.86-90.

1728 > Kronologinya tidak jelas bagi saya. Mp mengatakan bahwa pada waktu sutta ini dimulai Sang Buddha sedang menetap di antara penduduk Sakya pada kunjungan pertamaNya ke Kapilavatthu (paṭhamagamanena gantvā viharati). Namun, karena Mahāpajāpati Gotamī hanya bisa meninggalkan keduniawian setelah kematian suaminya, Suddhodana, ayah Sang Buddha, dan tampaknya tidak mungkin bahwa Suddhodana meninggal dunia pada kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu, yang terjadi segera setelah pencerahanNya, fakta ini nyaris tidak dapat dipercaya. Hal ini juga mengarah pada anakhronisme [penempatan kejadian pada waktu yang salah, penj.]. Cuḷavagga mengatakan bahwa Ānanda dan orang-orang penting Sakya lainnya menjadi bhikkhu setelah kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu (Vin II 182-83). Ānanda menjadi pelayan tetap Sang Buddha dua puluh tahun setelah pencerahanNya, ketika Sang Buddha berusia lima puluh lima, dan melayani Sang Buddha dalam kapasitas ini selama dua puluh lima tahun, hingga akhir hidup Sang Guru (Th 1041-43). Akan tetapi, dalam sutta ini, Ānanda digambarkan sebagai pelayan Sang Buddha sebelum berdirinya Saṅgha Bhikkhunī. Apakah kejadian ini terjadi tidak lama setelah kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu, atau bahkan lima atau sepuluh tahun kemudian, tetap saja masih terlalu awal bagi Ānanda untuk melayani Sang Buddha sebagai pelayanNya. Dengan demikian, jika Ānanda bukan pelayan tetap Sang Buddha pada waktu itu, tampaknya terdapat pertentangan antara situasi yang digambarkan dalam sutta dan masa yang mungkin ketika para perempuan pertama kali diperbolehkan untuk menerima penahbisan.

1729 > Saya merangkum urutan kejadian dari Mp. Ketika Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada Nanda dan Rāhula dan memecahkan konflik antara penduduk Sakya dan tetangga mereka, penduduk Koliya (kerabat Sang Buddha dari pihak ibu). Setelah itu, 250 pemuda dari masing-masing pihak meninggalkan kehidupan rumah tangga di bawah Sang Buddha. Tidak lama kemudian, mereka mulai merindukan istri-istri mereka. Sang Buddha membawa mereka ke danau Kuṇāla, di mana Beliau mengajarkan Kuṇala Jātaka kepada mereka tentang muslihat dan kepalsuan perempuan. Setelah mendengar ini, kelima ratus pemuda itu mencapai tingkat memasuki-arus dan tidak lama kemudian menjadi para Arahant. Istri-istri mereka mengirimkan pesan kepada mereka memohon agar mereka kembali pulang ke rumah, tetapi mereka menjawan bahwa mereka sekarang tidak mampu lagi menjalani kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu para perempuan itu mendatangi Mahāpajāpatī Gotami dan memintanya agar memohon pada Sang Buddha, anak angkatnya, untuk memperbolehkan para perempuan untuk meninggalkan keduniawian. Mahāpajāpatī Gotami membawa mereka mendatangi Sang Buddha, dan mengajukan permohanan ini.

1730 > Mp: “Mengapakah Beliau menolaknya? Bukankah semua Buddha juga memiliki empat kelompok? Ini benar, namun Beliau menolaknya dengan pikiran bahwa jika para perempuan diperbolehkam meninggalkan keduniawian hanya setelah mereka berusaha berulang-ulang, maka mereka akan menjaga penahbisan mereka itu dan menghormatinya, dengan mengingat betapa sulitnya memperoleh pelepasan keduniawian.

1731 > Mereka adalah kelima ratus perempuan Sakya yang suaminya telah meninggalkan keduniawian dan mencapai Kearahattaan. Dalam sebuah komunikasi pribadi, Pruitt menulis: “Tidak ada petunjuk berapa lama waktu telah berlalu antara keberangkatan Sang Buddha dan apa yang terjadi di sini. Dalam Thī-a 3, [komentator] Dhammapāla berkata, ‘Beliau menahbiskan pemuda Nanda dan pemuda Rāhula dan kemudian Beliau kembali lagi ke Rājagaha. Pada kesempatan berikutnya, ketika Sang Guru sedang menetap di Aula Kuṭāgāra di Vesālī, Raja Suddhodana yang agung mencapai pemadaman akhir [nibbāna], setelah mencapai Kearahattaan selagi ia masih [berkuasa] di bawah payung putih. Keinginan untuk meninggalkan keduniawian muncul pada Mahā-Pajāpatī (Pruitt 1998: 6-7). Ini juga dikisahkan pada Thī-a 141 (Pruitt 1998: 181). Raja Suddhodana adalah satu-satunya umat awam yang saya ketahui yang menjadi seorang Arahant dan tetap menjadi umat awam, yang berarti bahwa ia tidak dapat hidup selama lebih dari tujuh hari setelah menjadi seorang Arahant.”

1732 > Be menuliskan muhuttaṃ, yang tidak terdapat pada Ce ataupun Ee.

1733 > Aṭṭha garudhamme. Kata garudhamma bermakna ganda. Kata garu biasanya berarti “berat, penting, serius,” seperti contohnya pada ungkapan garukā āpatti, sebuah pelanggaran berat atau besar. Tetapi garuṃ karoti, lit. “menganggap penting,” berarti “menghormati,” dan garukata, “terhormat.” Dengan demikian garudhamma dapat berarti “aturan berat, serius” atau “aturan yang harus dihormati, prinsip penghormatan.” Mp mendukung interpretasi ke dua. “Garudhamma adalah prinsip-prinsip yang harus diperlakukan dengan hormat oleh para bhikkhunī yang menerimanya.” Penerjemah Vinaya ke dalam bahasa China juga condong pada interpretasi ini. Dengan demikian dalam paragraf yang bersesuaian dalam Vinaya Sarvāstivāda (pada T XXIII 345b29-c33) aturan-aturan itu dirujuk sebagai (MANDARIN), “delapan prinsip penghormatan.” Vinaya Mūlasarvāstivāda (misalnya pada T XXIV 350c29) menyebutnya (MANDARIN), “delapan prinsip  penghargaan dan penghormatan.” Tetapi Vinaya Dharmaguptaka (pada T XXII 923a27 dan di tempat lainnya) menyebutnya (MANDARIN), “delapan prinsip yang tidak boleh dilanggar seumur hidup,” yang bersesuaian denga Pāli yāvajīvaṃ anatikkamanīyo. Dan Vinaya Mahīśasaka (pada T XXII 185c19) juga demikian menyebutnya (MANDARIN), “delapan prinsip yang tidak boleh dilanggar.”

1734 > Cukup menarik bagaimana topik diskusi bergeser hampir tidak terlihat dari pelepasan keduniawian (pabbajjāi) bagi para perempuan menjadi penahbisan penuh mereka (upasampadā). Pelepasan keduniawian hanya merujuk pada mereka meninggalkan kehidupan rumah tangga, sedangkan penahbisan penuh adalah tindakan bergabung dalam Saṅgha.

1735 > ṃahāpajāpatī kelak memohon pada Sang Buddha agar memperbolehkan para bhikkhu dan bhikkhunī untuk saling memberi hormat satu sama lain (dan menunjukkan isyarat hormat lainnya) dengan berdasarkan senioritas, tanpa perbedaan jenis kelamin. Sang Buddha menolak dan menetapkan aturan: “Para bhikkhu tidak boleh memberi hormat kepada perempuan, berdiri untuk mereka, memberi salam hormat kepada mereka, atau bersikap hormat kepada mereka. Siapa pun yang melakukannya berarti melakukan pelanggaran perbuatan-salah” (na bhikkhave mātugāmassa abhivaādanaṃ paccuṭṭhānaṃ añkalikammaṃ sāmīcikammaṃ kātabbaṃ; yo kareyya āpatti dukkatassa). Peristiwa ini tercatat pada Vin II 257-58.

1736 > Ini merujuk pada tiga bulan masa pengasingan tetap selama musim hujan.

1737 > Demikianlah pada hari uposatha seorang bhikkhu ditunjuk untuk mengemban tugas memberikan nasihat (ovāda) kepada para bhikkhunī. Baca Thānissaro 2007b: 446-47.

1738 > “Undangan” (pavāraṇā) adalah suatu upacara yang diadakan pada hari terakhir masa pengasingan musim hujan yang mana semua anggota Saṅgha dalam urutan senioritas meminta yang lainnya untuk menunjukkan pelanggaran yang mungkin telah mereka lakukan, apakah yang dilihat, didengar, atau dicurigai. Masing-masing bhikkhu menyampaikan undangan kepada para bhikkhu lainnya. Akan tetapi, dengan peraturan ini, para bhikkhunī wajib untuk mengundang koreksi dari kedua Saṅgha para bhikkhu dan para bhikkhunī. Baca Thānissaro 2007b: 447-48.

1739 > Periode hukuman (mānatta) dijatuhkan atas kesalahan monastik pelanggaran saṅghādisesa. Selama masa ini, bhikkhu yang melanggar harus menjalani hukuman selama masa enam hari; setiap hari ia juga harus memberitahukan pelanggarannya kepada semua teman-temannya para bhikkhu, sebuah pengalaman yang memalukan, akan tetapi, dalam kasus para bhikkhunī, masa hukuman berlangsung selama dua minggu dan harus dijalankan sehubungan dengan kedua Saṅgha para bhikkhu dan para bhikkhunī. Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007b: 358-73. Dalam aturan ini, kata garudhamma memiliki makna berbeda dari penggunaannya sehubungan dengan delapan prinsip sebagai satu kelompok. Di sini, Mp mengemasnya sebagai garukaṃ saṅghādisesāpattiṃ, yaitu, pelanggaran pada aturan saṅghādisesa. Hüskin (dalam Mohr dan Tsedroen 2010, p.144)  menggabungkan kedua makna kata itu dan dengan demikian melihat ketidak-konsistenan di sini walaupun sebenarnya tidak ada.

1740 > Seorang yang menjalani masa percobaan (sikkhamānā) adalah seorang perempuan yang menjadi kandidat untuk menerima penahbisan penuh yang telah meninggalkan keduniawian. Untuk melengkapi persyaratan untuk penahbisan, ia wajib menjalani dua tahun latihan khusus sehubungan dengan enam aturan (cha dhammā). Enam aturan ini – dijelaskan dalam Vin IV 319,24-29 sehubungan dengan Bhikkhunī Pācittiya 63 – termasuk menjalankan tanpa pelanggaran aturan-aturan menghindari membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari aktivitas seksual, menghindari berbohong, menghindari makan di waktu yang salah (antara tengah hari hingga fajar keesokan harinya). Pelanggaran atas aturan-aturan ini menuntut dikembalikannya si kandidat ke awal dari dua tahun masa latihannya.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #28 on: 12 August 2013, 10:50:17 PM »
1741 > Dalam bagian Vibhaṅga dari Vinaya Piṭaka, aturan-aturn Bhikkhunī Pāṭimokkha ditunjukkan telah ditetapkan sebagai respon atas kejadian-kejadian perilaku salah oleh bhikkhunī tertentu (atau sekelompok bhikkhunī). Beberapa di antara aturan-aturan ini sudah termasuk di antara garudhamma. Dengan demikian garudhamma 2,3,4, dan 7 bersesuaian dengan BhikkhunI Pācittiya 56, 59, 57, dan 52. Garudhamma 6 memiliki padanan dalam Bhikkhunī Pācittiya 63 dan 64. Fakta bahwa kisah latar belakang dari aturan-aturan ini yang menunjukkan asal-mula pada hal berbeda dalam sejarah awal Saṅgha Bhikkhunī melontarkan keragu-raguan pada kebenaran sejarah atas kisah sekarang ini, yang menunjukkan bahwa delapan garudhamma ditetapkan pada saat awal Saṅgha Bhikkhunī. Jika delapan garudhamma ini ditetapkan pada saat berdirinya Saṅgha Bhikkhunī, maka aturan-aturan itu telah berlaku dan Sang Buddha tidak perlu menetapkan aturan yang melarang perilaku yang tidak menyenangkan yang sama itu. Beliau cukup merujuk pada peratuan yang telah ada. Fakta bahwa Beliau menetapkan aturan-aturan baru dengan demikian bertentangan dengan tesis bahwa delapan garudhamma ditetapkan pada masa awal dimulainya Saṅgha Bhikkhunī.

1742 > Untuk atimuttaka, DOP mengartikan “sejenis semak belukar (mungkin Ougeinia oojeinensis); bunganya.” Daripada menggunakan kata Pāli atau latin yang tidak jelas, saya dengan bebas menerjemahkan nama bunga ini sebagai “bakung.”

1743 > Dengan asumsi kebenaran sejarah atas paragraf ini, jika Sang Buddha ingin mencegah penahbisan perempuan, tampaknya Beliau kemungkinan besar akan menunjukkan bahaya ini pada Ānanda di awal pembicaraan mereka. Maka Ānanda kemudian akan menghentikan usahanya dan para perempuan tidak akan menerima hak untuk ditahbiskan.

1744 > Corehi kumbhatthenakehi. Lit., “Para penjahat yang melakukan pencurian kendi.” Mp: “Mereka menggunakan lampu dengan sebuah kendi dan dengan cahayanya mereka mencari benda-benda berharga di rumah-rumah orang lain.”


1745 > Setaṭṭhikā rogajāti nipatati. Mp: “Sejenis serangga menusuk tangkainya dan memasuki bagian tengah batangnya. Ketika tangkai itu tertusuk, getahnya keluar dan tidak dapat mencapai pucuk tanaman padi.”

1746 > Mañjiṭṭhikā rogajāti nipatati. Mp: “Kemerahan internal pada tebu.”

1747 > Mp (Ce): “Dengan ini Beliau menunjukkan sebagai berikut: ‘Ketika sebuah tanggul tidak didirikan di sekeliling waduk besar, maka air mana pun yang ada di sana jika tanggul telah dibangun terlebih dulu tidak akan ada di sana karena tidak adanya tanggul. Demikian pula, prinsip-prinsip penghormatan ini telah ditetapkan terlebih dulu, sebelum kejadiannya terjadi, untuk tujuan mencegah pelanggaran. Jika aturan-aturan itu tidak ditetapkan, maka, karena para perempuan telah meninggalkan keduniawian, maka Dhamma sejati akan bertahan selama lima ratus tahun. Tetapi karena aturan-aturan itu telah ditetapkan terlebih dulu, maka Dhamma sejati akan berlanjut selama lima ratus tahun berikutnya dan dengan demikian bertahan selama seribu tahun yang disebutkan di awal.’ Dan ungkapan ‘seribu tahun’ ini dikatakan dengan merujuk pada para Arahant yang telah mencapai pengetahuan analitis (paṭisambhidāpabhedappattakhīṇāsavānaṃ vsen’eva vuttaṃ). Setelah ini, untuk seribu tahun berikutnya, akan muncul para Arahant pandangan terang kering; seama seribu tahun berikutnya lagi, yang-tidak-kembali; selama seribu tahun berikutnya lagi, yang-kembali-sekali; dan selama seribu tahun berikutnya lagi, para pemasuk-arus. Demikianlah Dhamma sejati penembusan (paṭivedhasaddhamo) akan bertahan selama lima ribu tahun. Dhamma pembelajaran (pariyattidhammo) juga akan bertahan selama ini. Karena tanpa adanya pembelajaran, maka tidak ada penembusan.” Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa menurut komentar, diperbolehkannya para perempuan untuk meninggalkan keduniawian tidak memperpendek umur Dhamma; ini adalah karena Sang Buddha telah menetapkan delapan prinsip penghormatan yang berfungsi sebagai tanggul.

1748 > Ini jelas merujuk pada garudhamma ke tiga. anakhronisme lainnya juga terjadi di sini, setidaknya sehubungan dengan kronologi pada komentar. Saṅgha Bhikkhunī, pada kronologi ini, didirikan segera setelah kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu (atau, pada kronologi lainnya, mungkin lima atau sepuluh tahun setelah pencerahan), namun hal ini menuntut bhikkhu yang memberikan nasihat harus memiliki senioritas dua puluh tahun. Ini, tentu saja, tidak dimungkinkan hingga paling sedikit dua puluh tahun sejak berdirinya Saṅgha Bhikkhu. Akan tetapi, pada waktu itu, Mahāpajāpatī tentu saja sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh menuju Vesālī dengan berjalan kaki.

1749 > Juga terdapat pada Vin II 258-59. Sutta ini mirip dengan 7:83.

1750 > Walaupun Ce mengeja nama ini “Vyagghapajja,” namun saya menggunakan ejaan ini yang konsisten dengan ejaan nama pada 4:194. Ini kemungkinan adalah nama sukunya, Dīghajāṇu adalah nama pribadinya.

1751 > Ce dan Ee udumbarakhādikaṃ va; Be udumbarakhādivāyaṃ. Makna yang dimaksudkan tidak jelas. Mp menjelaskan: ‘Seseorang yang ingin memakan buah ara akan mengguncang sebatang pohon ara yang sudah matang dan dengan usahanya ia meruntuhkan banyak buah. Ia akan memakan buah yang matang dan pergi, meninggalkan sisanya di belakang; demikian pula, seseorang yang menghabiskan sebagian besar dari pendapatannya memakan kekayaannya bagaikan si pemakan buah ara.” Sebuah paralel China, SĀ 81 (T II 23a22-c17), menuliskan pada T II 23b17: (MANDARIN); “Semua orang menyebutnya sebutir ara tanpa benih. Seorang dungu, mangsa bagi ketagihan, tidak mempertimbangkan siapa yang akan datang setelahnya.”

1752 > Ce dan Ee ajaddhumārikaṃ; Be ajeṭṭhamaranaṃ. DOP menghubungkan kata majemuk itu pada Skt jadhvā, “setelah memakan,” dan mendefinisikan ajaddhumārikā sebagai “kematian karena kelaparan.” Baca PED sv jaddhu, dikatakan hanya muncul sebagai bentuk negatif ajaddhu, “tidak makan, menghindari makanan.” Mp (Ce) mengemas dengan anāthamaraṇaṃ, “kematian tanpa pelindung,” Mp (Be) anāyakamaraṇaṃ, “kematian tanpa pemimpin.” Tampaknya Mp (Ce) mengemas tulisan yang terdapat pada Be. Versi China pada T II 23b19-20 menuliskan (MANDARIN), “Orang lain semuanya akan mengatakan bahwa orang dungu itu bagaikan anjing yang kelaparan sampai mati.”

1753 > Akkhāta saccanāmena. Seorang “yang dinamai dengan benar” adalah Sang Buddha, karena nama “Buddha” sesuai dengan statusNya yang sebenarnya sebagai seorang yang tercerahkan. Baca juga p.1757, catatan 1320.

1754 > Sebuah paralel yang diperluas dari 6:23. sebutan tambahan untuk kenikmatan indria adalah “anak panah” (salla) dan “rahim” (gabbha). Syairnya berbeda dengan syair pada 6:23. keseluruhan sutta, dengan syairnya, terdapat pada Nidd II 62,29-38 (edisi VRI 240).

1755 > Ditthadhammikāpi gabbhā na parimuccati, samparāyikāpi gabbhā na parimuccati. Mp: “Rahim yang berhubungan dengan kehidupan sekarang adalah rahim manusia; rahim yang berhubungan dengan kehidupan mendatang adalah rahim selain manusia.”

1756 > Frasa umum, “untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat,” dihilangkan, mungkin secara sengaja karena bhikkhu ini adalah seorang Arahant.

1757 > Teks di sini menuliskan arahattaphalasacchikiriyāya paṭipanno, sedangkan 8:19 menuliskan arahattāya paṭipanno.

1758 > Syair ini juga terdapat pada SN II:16, I 233.

1759 > Paññāsīlasamāhito. Mp mengemas: paññāya ca sīlena ca samannāgato. Walaupun ini meganggap samāhito berarti “memiliki” dan bukan pencapaian samādhi, dengan menerjemahkannya sebagai “tenang” kita dapat melihat bagaimana kata itu secara tidak langsung merujuk pada samādhi.

1760 > Karotaṃ opadhikaṃ puññaṃ. Kata opadhikaṃ berarti bahwa jasanya matang pada upadhi, perolehan kelima kelompok unsur kehidupan di masa depan.

1761 > Mp: “Untuk memperoleh empat kebutuhan,” yaitu, jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.

1762 > Alaṃ attano alaṃ paresaṃ. Saya menambahkan frasa dalam kurung dengan berdasarkan pada Mp, yang mengatakan “Mampu [memberikan manfaat] untuk dirinya sendiri dan mampu [memberikan manfaat] untuk orang lain: mampu, dapat, memiliki perlengkapan dalam praktik demi kesejahteraan dirinya sendiri dan orang lain” (attano ca paresañca hitapaṭipattiyaṃ samattho pariyatto anucchaviko).

1763 > Khippanisanti ca hoti kusalesu dhammesu. Mp: “Ia menangkapnya dengan cepat, yang berarti bahwa ketika subjek-subjek seperti kelompok-kelompok unsur kehidupan, elemen-elemen, dan landasan-landasan indria sedang diajarkan, ia memahaminya dengan cepat” (khippaṃ upadhāreti khandhadātu-āyatanādīsu kathiyamānesu te dhamme khippaṃ jānāti).

1764 > Dhamme ca bhāsite mamaññeva anubhanditabbaṃ maññanti. Mp: “Dikatakan bahwa walaupun nasihat diberikan [kepadanya], bhikkhu ini tetap lengah. Setelah mendengarkan Dhamma, ia hanya berkeliaran namun tidak berusaha. Oleh karena itu Sang Bhagavā menegurnya. Tetapi karena bhikkhu itu memiliki kondisi pendukung untuk mencapai Kearahattaan, maka Sang Buddha menasihatinya dengan kata-kata [di bawah], ‘Demikianlah engkau harus berlatih.’”

1765 > Mp: “Ini adalah maknanya: ‘Ketika, bhikkhu, engkau telah mengembangkan konsentrasi cinta-kasih yang dasar ini dengan cara itu, engkau tidak boleh puas hanya dengan sejauh itu, melainkan engkau harus mencapai jhāna ke empat atau ke lima [dalam skema lima jhāna] sehubungan dengan obek-objek meditasi lainnya. Demikianlah engkau harus mengembangkannya menurut metode “dengan pemikiran dan pemeriksaan” dan seterusnya.’” Walaupun, dalam skema jhāna dalam Nikāya-Nikāya, transisi dari jhāna pertama ke kedua ditandai dengan pelenyapan pemikiran (vitakka) dan pemeriksaan (vicāra) secara bersamaan, namun teks lainnya membedakan samādhi dalam tiga: dengan pemikiran dan pemeriksaan, tanpa pemikiran tetapi dengan pemeriksaan, dan tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksaan (baca DN 33.1.10, III 219,19-20; MN 128.31, III 13-16; SN 43:3, IV 360,11-13). Tahap pertengahan samādhi ini memunculkan skema lima jhāna dalam Abhidhamma, yang menyisipkannya, setelah jhāna pertama, terdapat jhāna ke dua yang tanpa pemikiran tetapi dengan pemeriksaan. Skema ini kemudian mengurutkan ulang penomoran jhāna ke dua, ke tiga, dan ke empat dari skema empat menjadi jhāna ke tiga, ke empat, dan ke lima dalam skema lima. Samādhi dengan sukacita (sappītika) termasuk dalam jhāna pertama dan ke dua (dari skema empat); yang tanpa sukacita (nippītika) termasuk dalam jhāna ke tiga dan ke empat. Samādhi dengan kenyamanan (sātasahagata) adalah jhāna ke tiga, and samādhi dengan keseimbangan (upekkhāsahagata) adalah jhāna ke empat.

1766 > Bersama dengan Ee saya membaca bahulīkato, bukan seperti Ce dan Be subhāvito.

1767 > Kalimat ini tidak terdapat dalam Ce, jelas dihilangkan karena kekliruan.

1768 > Obhāsaññeva kho sañjānāmi, no ca rūpāni passāmi. Mp mengemas obhāsaṃ sebagai “cahaya pengetahuan mata dewa” (dibbacakkhuñāṇobhāsaṃ).

1769 > Mp: “Di sini, pengetahuan dan penglihatan (ñāṇadassana) adalah mata dewa (dibbacakkhubhūtaṃ).”

1770 > Mp menghubungkan kedelapan segi ini berturut-turut dengan delapan jenis pengetahuan yang lebih tinggi berikut ini: (1) pengetahuan mata dewa, (2) pengetahuan kekuatan spiritual, (3) pengetahuan melingkupi pikiran makhluk lain, (4) pengetahuan bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka, (5) pengetahuan masa depan, (6) pengetahuan masa sekarang, (7) pengetahuan masa lalu, dan (8 ) pengetahuan kehidupan lampau. Mp melanjutkan: “Ini adalah delapan pengetahuan yang telah diturunkan dalam teks. Tetapi sutta ini harus dijelaskan dengan menghubungkan hal-hal ini dengan pengetahuan pandangan terang, empat pengetahuan sang jalan, empat pengetahuan buah, empat pengetahuan peninjauan kembali, empat pengetahuan analitis, dan enam pengetahuan khas seorang Buddha.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku DELAPAN
« Reply #29 on: 12 August 2013, 10:50:46 PM »
1771 > Abhibhāyatanāni. Dari penjelasan baik dalam teks maupun dalam komentar, tampaknya bahwa “landasan yang melampaui” sebenarnya adalah pendekatan pada kasiṇa, yang dijelaskan secara terperinci dalam Vism, bab 4 dan 5. Mp: “Abhibhāyatanāni adalah penyebab-penyebab bagi pelampauan (abhibhāvanakāraṇāni). Apakah yang dilampaui? Kualitas-kualitas yang berlawanan dan objek-objeknya. Karena landasan-landasan ini melampaui kualitas-kualitas yang berlawanan dengannya (paṭipakkhabhāvena paccanīkadhamme) dan, melalui pengetahuan tinggi seseorang [landasan-landasan ini melampaui] objek-objeknya (puggalassa ñāṇuttariyatāya ārammaṇāni).

1772 > Mp: “mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal (ajjhattaṃ rūpasaññī): ini merujuk pada bentuk internal yang digunakan dalam tahap persiapan. Untuk seseorang yang melakukan tahap persiapan [meditasi] pada bentuk biru, seperti rambut kepala, empedu, atau selaput pelangi pada mata. Melakukan tahap persiapan pada bentuk kuning, ia menggunakan lemak tubuh, kulit, atau permukaan tangan dan kaki, atau bagian kuning pada mata. Melakukan tahap persiapan pada warna merah, ia menggunakan daging, darah, lidah, atau bidang merah pada mata. Melakukan tahap persiapan pada warna putih, ia menggunakan tulang, gigi, kuku, atau bagian putih pada mata. Ini tidak benar-benar biru, kuning, merah, atau putih, melainkan tidak murni. [Ia] melihat bentuk-bentuk secara eksternal (eko bahiddhā rūpāni passati): Ketika tahap persiapan telah muncul demikian secara internal, tetapi gambaran muncul secara eksternal, maka ia dikatakan sebagai ‘seorang yang mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal [yang] melihat bentuk-bentuk secara eksternal,’ yaitu, pekerjaan persiapannya dilakukan secara internal namun penyerapann (jhāna) muncul secara eksternal. Setelah melampauinya (tāni abhibhuyya): Seperti seorang dengan pencernaan yang baik yang telah memperoleh  hanya sesendok makanan mengambilnya, dengan berpikir: ‘Apakah yang dapat dimakan di sini?’ dan menggunakan kemampuan yang terbatas, demikian pula seseorang yang pengetahuannya telah muncul, seorang dengan pengetahuan jernih, berpikir: ‘Apakah yang dapat dicapai sehubungan dengan objek yang terbatas? Ini tidak sulit bagiku.’ Setelah melampaui bentuk-bentuk itu, ia memasuki sebuah pencapaian, dan dengan munculnya gambaran, ia mencapai penyerapan. Ia mempersepsikan sebagai berikut (evaṃsaññī hoti): Ia mempersepsikan dengan persepsi perhatian reflektif (ābhoga) dan dengan persepsi jhāna. ‘Aku mengetahui, aku melihat’ (jānāni passāmi): Yang dibicarakan di sini adalah perhatian reflektifnya; karena hal itu muncul setelah ia keluar dari pencapaian itu, bukan di dalam pencapaian itu sendiri. Persepsi yang melampaui (abhibhavanasaññā) ada dalam pencapaian, tetapi persepsi perhatian reflektif (ābhogasaññā) muncul setelah ia keluar dari pencapaian itu.”

1773 > Mp: “Seperti seorang yang lapar yang telah memperoleh banyak makanan tidak melihatnya sebagai banyak namun berpikir: ‘Berikan aku ke dua dan ke tiga. Ini tidak cukup untukku’demikianlah seorang yang pengetahuannya muncul, seorang dengan pengetahuan jernih, berpikir: ‘Apa yang harus dicapai di sini? Ini bukan objek yang tidak terbatas. Tidaklah menyusahkan bagiku unruk memperoleh keterpusatan pikiran.’ Setelah melampaui [bentuk-bentuk itu] ia memasuki pencapaian, dan dengan munculnya gambaran ia mencapai penyerapan.”

1774 > Mp: “Seorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal (ajjhatta arūpasaññī eko bahiddhā rūpāni passati): Ini menggambarkan seseorang yang baginya pekerjaan persiapan dan gambaran telah muncul secara eksternal. Dengan demikian keduanya melalui tahap persiapan dan melalui penyerapan, ia disebut seorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal [tetapi] melihat bentuk-bentuk secara eksternal.

1775 > Mp: “Dari landasan yang melampaui yang ke lima dan seterusnya, Beliau menunjukkan pemurnian menyuluruh. Karena landasan-landasan ini disebutkan melalui warna yang dimurnikan (visuddhavaṇṇavasen’eva).” Pelampauan berdasarkan warna diilustrasikan dengan perumpamaan di bawah pada 10:29, serta pada DN 16.3.29-32, II.110-11.

1776 > Kata vimokkha digunakan di sini dalam makna yang khusus dan terbatas dan tidak menyiratkan kebebasan dari segala kekotoran yang tidak dapat berbalik; kebebasan yang tidak dapat berbalik itu biasanya disiratkan dengan akuppā cetovimutti atau cetovimutti paññāvimutti. Mp: “Dalam makna apakah pembebasan itu? Dalam makna melepaskan (adhimuccanaṭṭhena). Dalam makna melepaskan apakah? Dalam makna sepenuhnya terbebaskan dari kualitas-kualitas yang berlawanan, dan dalam makna sepenuhnya terbebas melalui kesenangan di dalam objek. Apa yang dimaksudkan adalah kejadian [pikiran] di dalam objek tanpa paksaan, bebas dari kekhawatiran, bagaikan seorang anak tertidur di pangkuan ayahnya, tubuhnya sama sekali santai. Makna ke dua ini [sehubungan dengan objek] tidak berlaku untuk pembebasan terakhir, melainkan hanya untuk yang lainnya (karena dalam pembebasan terakhir, tidak ada objek persepsi].”

1777 > Rūpī rūpāni passati. Mp: “Di sini, ‘bentuk’ adalah jhāna dengan objek bentuk, yang telah muncul melalui kasiṇa biru, dan seterusnya, berdasarkn pada sesuatu yang internal seperti rambut kepala, dan sebagainya. Seorang yang memperoleh [jhāna] ini dikatakan memiliki bentuk. Seseorang juga mungkin melihat bentuk-bentuk dengan mata jhāna secara eksternal, seperti kasiṇa biru, dan seterusnya. Apa yang ditunjukkan oleh ini adalah empat jhāna berbentuk dalam kasus seorang yang telah mencapai jhāna melalui kasiṇa dengan dasar internal atau eksternal.

1778 > Seorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksteral (ajjhattaṃ arūpasaññī, bahiddhā rūpāni passati). Mp: “Seorang yang tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal adalah seorang yang tidak mencapai jhāna berbentuk berdasarkan rambut kepala sendiri, dan seterusnya. Apa yang ditunjukkan oleh ini adalah jhāna berbentuk dari seorang yang mencapai jhāna secara eksternal, setelah melakukan tahap persiapan secara eksternal.”

1779 > Subhant’eva adhimutto hoti. Mp: “Dengan ini apa yang ditunjukkan adalah jhāna-jhāna yang berdasarkan pada kasiṇa warna yang telah sangat dimurnikan, seperti biru, dan seterusnya.” Mp menunjukkan bahwa Paṭis, sebuah naskah penafsiran kanonis, mendefinisikan pembebasan atas yang indah sebagai empat keadaan tanpa batas (cinta-kasih, belas kasihan, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan); baca Paṭis II 39,14-26. Tampaknya bahwa pembebasan pertama terdiri dari kedua landasan yang melampaui yang pertama; yang kedua terdiri dari dua landasan yang melampaui ke dua; dan ke tiga terdiri dari empat landasan yang melampaui selebihnya.

1780 > Tentang lenyapnya persepsi dan perasaan (saññāvedayitanirodha), baca MN 43.25, I 296,5-23; MN 44.16-21, 301,30-302,27; SN 41.6, IV 293-95; Vism 702-9, Ppn 23.16-52.

1781 > Diperoleh dengan menggabungkan empat dari 4:250 dan empat dari 4:252.

1782 > Diperoleh dengan menggabungkan empat dari 4:251 dan empat dari 4:253.

1783 > Juga terdapat pada DN 16.3.21-23, II 109-10.

1784 > Paragraf ini, yang menunjukkan Sang Buddha sebagai seorang ahli transformasi tubuh, tampaknya memiliki cirri proto-mahāyānistis. Mp megomentari: “Apakah yang lain berwarna putih, hitam, atau coklat, Sang Guru berwarna keemasan. Tetapi ini disebutkan sehubungan dengan bentuk. Dan hanya bentuk yang terlihat oleh mereka. Bukan berarti bahwa Sang Bhagavā menjadi seperti orang asing atau seperti seorang yang mengenakan anting-anting mutiara; Beliau duduk di sana dalam bentuk seorang Buddha. Tetapi mereka melihatnya memiliki bentuk yang sama dengan mereka. Beberapa berbicara dengan suara parau, beberapa dengan suara serak, beberapa dengan suara seperti burung gagak, tetapi Sang Guru selalu bersuara Brahmā. Ini disebutkan sehubungan dengan bahasa. Karena jika Sang Guru sedang duduk di tempat duduk raja, mereka berpikir, “Raja berbicara manis hari ini.’ Ketika Sang Bhagavā pergi setelah berbicara, dan mereka melihat raja [yang sebenarnya] datang, mereka bertanya-tanya: ‘Siapakah itu?’ … walaupun mereka menyelidiki, mereka tidak akan mengetahuinya. Kalau begitu mengapakah Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada mereka jika mereka tidak mengenalinya? Untuk menanamkan kesan (vāsanatthāya). Karena ketika Dhamma didengar bahkan dalam cara demikian, itu akan menjadi kondisi di masa depan. Demikianlah Beliau mengajar dengan pertimbangan masa depan.

1785 > Bagian sutta ini sampai pada bagian syair juga terdapat pada SN 51:10, V 258-63. Keseluruhan sutta terdapat pada DN 16.3.1-20, II 102-9.

1786 > Kappaṃ vā tiṭṭheyya kappāvasesaṃ vā. Mp mengemas kappa sebagai āyukappa, “kappa umur kehidupan,”umur kehidupan normal manusia pada waktu tertentu, pada saat itu adalah seratus tahun. Kappāvasesa, “sisa dari kappa,” dijelaskan sebagai sedikit lebih dari umur kehidupan normal yang seratus tahun. Mp menyebutkan pandangan seorang sesepuh bernama Mahāsīva, yang berpendapat bahwa Sang Buddha dapat hidup selama sisa kappa kosmis, tetapi Mp mengutip komentar kuno yang berpendapat bahwa hanya “kappa umur kehidupan” yang dimaksudkan (idameva aṭṭhakathāya niyānitaṃ). Namun demikian, tidak ada dalam Nikāya-Nikāya kata kappa digunakan dalam makna umur kehidupan normal, dan tampaknya tidak ada alasan untuk mengartikan kata yang digunakan di sini memiliki makna yang berbeda dari penggunaan biasa, yaitu, kappa kosmis.

1787 > Yathā taṃ Mārena pariyuṭṭhitacitto. Mp: “Seperti halnya semua kaum duniawi tidak akan dapat menangkap petunjuk itu, demikian pula Ānanda tidak mampu menangkapnya. Karena Māra dapat menguasai pikiran siapa pun yang belum sepenuhnya meninggalkan dua belas pembalikan persepsi (vipallāsa; baca 4:49), dan Ānanda [sebagai hanya seorang pemasuk-arus] masih memiliki empat di antaranya. [Mp-ṭ: Pembalikan persepsi dan pikiran yang menganggap apa yang tidak menarik sebagai menarik dan yang menyakitkan sebagai menyenangkan.] Māra menguasai pikirannya dengan memperlihatkan pemandangan yang menyeramkan. Ketika melihat ini, Ānanda gagal menangkap petunjuk jelas yang diberikan kepadanya oleh Sang Buddha.

1788 > Menarik bahwa dalam Nikāya-Nikāya tidak terdapat percakapan demikian antara Sang Buddha dan Māra yang tercatat pernah terjadi sebelumnya dalam kehidupan Sang Buddha. Ini hanya terdapat dalam sutta ini dan paralelnya pada DN 16.3.7-8, II 104-6; dan SN 51:10, V 260,29-262,11.

1789 > Ungkapan pattayogakkhemā, “mencapai keamanan dari belenggu,” terdapat dalam seluruh tiga edisi AN tetapi tidak terdapat pada beberapa (tidak semua) edisi teks paralel dalam DN dan SN yang disebutkan dalam catatan sebelumnya. Karena frasa ini biasanya menunjukkan pencapaian Kearahattaan, tampaknya tidak pada tempatnya untuk menggambarkan umat-umat awam. Mp mengomentari semua ungkapan lainnya di sini kecuali ini, yang menyiratkan bahwa ungkapan ini tidak ada dalam versi yang digunakan oleh komentator.

Mp mengemas sappāṭihāriyaṃ dhammaṃ desenti dengan “mereka mengajarkan Dhamma yang membebaskan” (yāva niyyānikaṃ katvā dhammaṃ desessanti). Mp-ṭ menjelaskan: “Mereka menjelaskan Dhamma sedemikian sehingga doktrin-doktrin orang lain terbantahkan dan doktrin mereka sendiri ditegakkan; demikianlah, dengan mengutip alasan-alasan yang membawa pencapaian tujuan [yang harus] dicapai]” (yathā paravādaṃ bhañjitvā sakavādo patiṭṭhahati, evaṃ hetūdāharaṇehi yathādhigatamatthaṃ sampādetvā dhammaṃ kathessanti). Alasan saya menerjemahkan sappāṭihariya sebagai “penawar” dijelaskan pada p.1673, catatan 586.

1790 > Āyusaṅkhāraṃ ossaji. Mp: “Setelah sepenuhnya menegakkan perhatian, setelah membatasinya dengan pengetahuan, Beliau melepaskan, meninggalkan kekuatan vitalNya. Sang Bhagavā tidak melepaskan kekuatan vitalNya dengan cara seperti seseorang menjatuhkan segumpal tanah dengan tangannya, melainkan Beliau bertekad, “Aku akan memasuki buah pencapaian selama hanya tiga bulan lagi tetapi tidak lebih dari itu.’”

1791 > Syair ini sulit, khususnya bait pertama. Dikomentari secara identik oleh Spk III 254-55, Sv II 557-58, Mp IV 153-54, dan Ud-a 329-30. komentar memberikan dua interpretasi, satu menganggap tulaṃ dan atulaṃ sebagai berlawanan, yang lainnya menganggap tulaṃ sebagai singkatan dari kata kerja kini (= tulento) dan atulaṃ dan sambhavaṃ sebagai berlawanan. Saya mengadopsi interpretasi ke dua untuk pembahasan terperinci atas syair ini, baca CDB 1941-44, catatan 255.

1792 > Ce dan Ee menuliskan kampeti, saṅkampeti, sampakampeti. Be menambahkan kata kerja ke empat, sampavedheti, yang dapat diterjemahkan “membuat[nya] bergoyang keras.” Persis di bawah, padanan non-kausatif dari ketiga kata kerja muncul dalam Ce dan Ee: kampati, saṅkampati, sampakampati. Be menuliskan yang ke empat, sampavedhati.

1793 > Sebuah paralel yang diperluas dari 6:19. bagian tambahan adalah tentang hidup selama setengah hari dan tentang waktu yang dibutuhkan untuk setengah kali makan.

1794 > Sebuah paralel yang diperluas dari 6:20.

1795 > Delapan kesempurnaan (sampadā) dan definisinya terdapat pada 8:54, tetapi tanpa bagian tentang empat pemborosan kekayaan.

1796 > Sebuah paralel yang diperluas dari 6:13 dan sebagian dari 5:90 dan 7:26.

1797 > Sebuah paralel yang diperluas dari 5:24, 6:50, dan 7:65.

1798 > Tathāgataṃ dhammadesanā paṭibhāti. Di sini saya menerjemahkan idiom Pāli yang ganjil ini menurut konteksnya sebagai “condong untuk mengajar.” Secara literal, seharusnya diterjemahkan “suatu ajaran Dhamma yang menyinari [atau ‘muncul pada’] Sang Tathāgata.”

1799 > Ekantapaṭibhānā tathāgataṃ dhammadesanā hoti.

1800 > Sebuah perbedaan antara sambhava (dalam pertanyaan 2) dan samudaya (dalam pertanyaan 3) sulit ditentukan, karena dalam sutta-surra kedua kata ini sering kali digunakan secara hampir bersinonim. Mp menurunkan samudaya dari kata kerja samudenti dan mengemasnya sebagai rāsī bhavanti, “mengumpulkan, menjadi tumpukan.”
« Last Edit: 12 August 2013, 10:53:03 PM by Indra »

 

anything