//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA  (Read 18463 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« on: 12 March 2013, 02:14:51 AM »
[1] BUKU KELOMPOK LIMA

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #1 on: 12 March 2013, 02:15:39 AM »
LIMA PULUH PERTAMA
   
I. KEKUATAN DARI YANG SEORANG MASIH BERLATIH

1 (1) Secara Ringkas

Demikianlah yang kudengar pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada lima kekuatan dari seorang yang masih berlatih.<974> Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih itu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki kekuatan keyakinan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan rasa malu bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan rasa takut bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan kegigihan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan kebijaksanaan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih.’ Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih. [Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.]<975> [2]

2 (2) Secara Terperinci

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ada lima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakiann pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kekuatan keyakinan.

(2) “Dan apakah kekuatan rasa malu bermoral? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa malu bermoral; ia malu terhadap perilaku salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia malu dalam memperoleh kejahatan, kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Ini disebut kekuatan rasa malu bermoral.

(3) “Dan apakah kekuatan rasa takut bermoral? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa takut bermoral; ia takut terhadap perilaku salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia takut dalam memperoleh kejahatan, kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Ini disebut kekuatan rasa takut bermoral.<976>

(4) “Dan apakah kekuatan kegigihan? Di sini, seorang siswa mulia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kekuatan kegigihan.

(5) “Dan apakah kekuatan kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran sepenuhnya penderitaan.<977>

Ini adalah kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih itu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki kekuatan keyakinan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan rasa malu bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan rasa takut bermoral, [3] satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kegigihan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan kebijaksanaan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih.’ Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

3 (3) Penderitaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dalam kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang buruk menantinya. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, dengan moralitas yang sembrono, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dalam kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang buruk menantinya.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang baik menantinya. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, memiliki rasa takut bermoral, dan bersemangat dan bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas [lainnya] ini, seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang baik menantinya.”

4 (4) Seolah-olah Dibawa ke Sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, dengan moralitas yang sembrono, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. [4]

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.  Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, memiliki rasa takut bermoral, dan bersemangat dan bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. “

5 (5) Latihan

 “Para bhikkhu, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah mengundang lima kritik yang masuk akal dan landasan bagi celaan dalam kehidupan ini. Apakah lima ini? (1) ‘Engkau tidak memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (2) Engkau tidak memiliki rasa malu bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (3) Engkau tidak memiliki rasa takut bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (4) Engkau tidak memiliki kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (5) Engkau tidak memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah mengundang lima kritik yang masuk akal dan landasan bagi celaan dalam kehidupan ini.

“Para bhikkhu, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni, bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, memperoleh lima dasar bagi pujian dalam kehidupan ini. Apakah lima ini? (1) ‘Engkau memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (2) Engkau memiliki rasa malu bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (3) Engkau memiliki rasa takut bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (4) Engkau memiliki kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (5) Engkau memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni, bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, [5] memperoleh lima dasar bagi pujian dalam kehidupan ini.”

6 (6) Memasuki

(1) “Para bhikkhu, tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama keyakinan secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika keyakinan telah lenyap dan ketiadaan keyakinan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

(2) “Tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama rasa malu bermoral secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika rasa malu bermoral telah lenyap dan ketiadaan rasa malu bermoral mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

(3) “Tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama rasa takut bermoral secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika rasa takut bermoral telah lenyap dan ketiadaan rasa takut bermoral mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

(4) “Para bhikkhu, tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama kegigihan secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika kegigihan telah lenyap dan kemalasan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

(5) “Para bhikkhu, tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama kebijaksanaan secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika kebijaksanaan telah lenyap dan ketiadaan kebijaksanaan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

7 (7) Kenikmatan Indria

“Para bhikkhu, sebagian besar makhluk-makhluk terpikat oleh kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika seorang anggota keluarga meninggalkan arit dan tongkat pikulan dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka ia digambarkan sebagai seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan. Karena alasan apakah? Kenikmatan-kenikmatan indria, apakah dari jenis ini atau itu, dapat diperoleh seorang pemuda. Kenikmatan indria yang rendah, kenikmatan indria yang menengah, dan kenikmatan indria yang tinggi semuanya dikenal hanya sebagai kenikmatan-kenikmatan indria. [6]

“Misalkan seorang bayi kecil, yang tidak tahu apa-apa, berbaring pada punggungnya, memasukkan sebatang kayu atau kerikil ke dalam mulutnya karena kelengahan pengasuhnya. Pengasuhnya akan segera merawatnya dan berusaha untuk mengeluarkannya. Jika ia tidak dapat dengan cepat mengeluarkannya, maka ia akan merangkul kepala anak itu dengan tangan kirinya dan, dengan menekukkan jari tangan kannya, ia akan mengeluarkannya bahkan jika ia harus melukainya hingga berdarah. Karena alasan apakah? Anak itu akan mengalami kesakitan – hal ini Aku tidak membantahnya – tetapi pengasuh itu terpaksa melakukan itu demi kebaikan dan kesejahteraan anak itu, demi belas kasihan padanya. Akan tetapi, ketika anak itu telah tumbuh besar dan telah memiliki akal yang cukup, pengasuh itu tidak akan prihatin padanya, dengan berpikir: ‘Anak itu sekarang dapat menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi lengah.’

“Demikian pula, selama seorang bhikkhu masih belum sempurna dalam keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam rasa malu bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam rasa takut bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka Aku masih harus menjaganya. Tetapi ketika bhikkhu itu telah sempurna dalam keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat … sempurna dalam kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka Aku tidak prihatin padanya, dengan berpikir: ‘Bhikkhu itu sekarang dapat menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi lengah.’”<978>

8 (8 ) Jatuh (1)

“Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Seorang bhikkhu yang hampa dari keyakinan jatuh dan tidak kokoh [7] dalam Dhamma sejati. (2) Seorang bhikkhu yang tidak memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu yang memiliki moralitas yang sembrono … (4) Seorang bhikkhu yang malas … (5) Seorang bhikkhu yang tidak bijaksana jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati.

“Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Seorang bhikkhu yang memiliki keyakinan tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. (2) Seorang bhikkhu yang memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu yang memiliki rasa takut bermoral … (4) Seorang bhikkhu yang bersemangat … (5) Seorang bhikkhu yang bijaksana tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati.”

9 (9) Jatuh (2)

Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang hampa dari keyakinan jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. (2) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang tidak memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang memiliki moralitas yang sembrono … (4) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang malas … (5) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang tidak bijaksana jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu yang tidak sopan dan tidak hormat jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. [8]

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang memiliki keyakinan tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. (2) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang memiliki rasa takut bermoral … (4) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang bersemangat … (5) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang bijaksana tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati.”

10 (10) Tidak Sopan

Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah lima ini? ? (1) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang hampa dari keyakinan tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. (2) Seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang tidak memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang memiliki moralitas yang sembrono … (4) Seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang malas … (5) Seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang tidak bijaksana tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.

Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah lima ini? ? (1) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang memiliki keyakinan mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. (2) Seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat yang memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat yang memiliki rasa takut bermoral … [9] … (4) Seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat yang bersemangat … (5) Seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat yang bijaksana tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #2 on: 12 March 2013, 02:17:43 AM »
II. KEKUATAN

11 (1) Belum Pernah Terdengar Sebelumnya

“Para bhikkhu, Aku mengaku telah mencapai penyempurnaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya.<979>

“Ada lima kekuatan Tathāgata ini yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memlikinya Beliau mengaku menempati posisi sapi jantan pemimpin, mengaumkan auman singaNya di dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.<980> Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memlikinya Beliau mengaku menempati posisi sapi jantan pemimpin, mengaumkan auman singaNya di dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.” [10]

12 (2) Puncak (1)

“Para bhikkhu, ada lima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih itu. Di antara kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya. Seperti halnya puncak atap adalah bagian utama dari sebuah rumah beratap lancip, bagian yang mempertahankan semua bagian lainnya pada posisinya, yang menyatukannya, demikian pula di antara kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: (1) ‘Kami akan memiliki kekuatan keyakinan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; (2) kekuatan rasa malu bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; (3) kekuatan rasa takut bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; (4) kekuatan kegigihan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; (5) kekuatan kebijaksanaan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih.’ Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

13 (3) Secara Ringkas

“Para bhikkhu, ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan itu.<981>

14 (4) Secara Terperinci

“Para bhikkhu ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna … [seperti pada 5:2] … Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ [11] Ini disebut kekuatan keyakinan.

(2) “Dan apakah kekuatan kegigihan? Di sini, seorang siswa mulia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kekuatan kegigihan.

(3) “Dan apakah kekuatan perhatian? Di sini, seorang siswa mulia penuh perhatian, memiliki perhatian tertinggi dan keawasan, seorang yang mengingat dan mengingat kembali apa yang telah dilakukan dan dikatakan pada waktu yang lama berlalu. Ini disebut kekuatan perhatian.

(4) “Dan apakah kekuatan konsentrasi? dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ini disebut kekuatan konsentrasi.

(5) “Dan apakah kekuatan kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran sepenuhnya penderitaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima kekuatan itu.”

15 (5) Terlihat

“Para bhikkhu ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, [12] dan kekuatan kebijaksanaan.

(1) “Dan di manakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan itu terlihat? Kekuatan keyakinan itu terlihat dalam empat faktor memasuki-arus.<982> (2) Dan di manakah kekuatan kegigihan itu terlihat? Kekuatan kegigihan itu terlihat dalam empat usaha benar. (3) Dan di manakah kekuatan perhatian itu terlihat? Kekuatan perhatian terlihat dalam empat penegakan perhatian. (4) Dan di manakah kekuatan konsentrasi itu terlihat? Kekuatan konsentrasi terlihat dalam empat jhāna. (5) Dan di manakah kekuatan kebijaksanaan itu terlihat? Kekuatan kebijaksanaan terlihat dalam empat kebenaran mulia.

“Ini, para bhikkhu, adalah lima kekuatan.”

16 (6) Puncak (2)

“Para bhikkhu ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan itu. Di antara kelima kekuatan ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya. Seperti halnya puncak atap adalah bagian utama dari sebuah rumah beratap lancip, bagian yang mempertahankan semua bagian lainnya pada posisinya, yang menyatukannya, demikian pula di antara kelima kekuatan ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya.”

17 (7) Kesejahteraan (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral oleh dirinya sendiri tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri sempurna dalam konsentrasi tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri sempurna dalam kebebasan tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. [13] Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain.”

18 (8 ) Kesejahteraan (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi tidak demi kesejahteraannya sendiri. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidk sempurna dalam perilaku bermoral oleh dirinya sendiri tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri tidak sempurna dalam konsentrasi tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri tidak sempurna dalam kebijaksanaan tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri tidak sempurna dalam kebebasan tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri tidak sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi tidak demi kesejahteraannya sendiri.”

19 (9) Kesejahteraan (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih tidak demi kesejahteraannya sendiri juga tidak demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak sempurna dalam perilaku bermoral oleh dirinya sendiri dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri tidak sempurna dalam konsentrasi dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri tidak sempurna dalam kebijaksanaan dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri tidak sempurna dalam kebebasan dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri tidak sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. [14] Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih tidak demi kesejahteraannya sendiri juga tidak demi kesejahteraan orang lain.”

20 (10) Kesejahteraan (4)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral oleh dirinya sendiri dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri sempurna dalam konsentrasi dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan dan  mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri sempurna dalam kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #3 on: 12 March 2013, 02:18:35 AM »
III. BERFAKTOR LIMA

21 (1) Tidak Sopan (1)

“(1) Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat, dan perilakunya tidak menyenangkan bagi teman-temannya para bhikkhu, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi faktor perilaku selayaknya. [15] (2) Tanpa memenuhi faktor perilaku selayaknya, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih. (3) Tanpa memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi perilaku bermoral. (4) Tanpa memenuhi perilaku bermoral, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi pandangan benar. (5) Tanpa memenuhi pandangan benar, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi konsentrasi benar.<983>

“(1) Tetapi, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat, dan perilakunya menyenangkan bagi teman-temannya para bhikkhu, adalah mungkin baginya untuk memenuhi faktor perilaku selayaknya. (2) Dengan memenuhi faktor perilaku selayaknya, adalah mungkin baginya untuk memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih. (3) Dengan memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih, adalah mungkin baginya untuk memenuhi perilaku bermoral. (4) Dengan memenuhi perilaku bermoral, adalah mungkin baginya untuk memenuhi pandangan benar. (5) Dengan memenuhi pandangan benar, adalah mungkin baginya untuk memenuhi konsentrasi benar.”

21 (2) Tidak Sopan (2)

“(1) Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat, dan perilakunya tidak menyenangkan bagi teman-temannya para bhikkhu, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi faktor perilaku selayaknya. [15] (2) Tanpa memenuhi faktor perilaku selayaknya, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih. (3) Tanpa memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi kelompok perilaku bermoral. (4) Tanpa memenuhi kelompok perilaku bermoral, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi kelompok konsentrasi. (5) Tanpa memenuhi kelompok konsentrasi, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi kelompok kebijaksanaan.

“(1) Tetapi, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat, dan perilakunya menyenangkan bagi teman-temannya para bhikkhu, adalah mungkin baginya untuk memenuhi faktor perilaku selayaknya. (2) Dengan memenuhi faktor perilaku selayaknya, adalah mungkin baginya untuk memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih. (3) Dengan memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih, adalah mungkin baginya untuk memenuhi kelompok perilaku bermoral. (4) Dengan memenuhi kelompok perilaku bermoral, adalah mungkin baginya untuk memenuhi kelompok konsentrasi. (5) Dengan memenuhi kelompok konsentrasi, adalah mungkin baginya untuk memenuhi kelompok kebijaksanaan.”

23 (3) Kotoran

“Para bhikkhu,<984> ada lima kotoran ini pada emas, yang dengan dikotori olehnya maka emas menjadi tidak lunak, tidak lentur, dan tidak bersinar, melainkan rapuh dan tidak dapat dikerjakan dengan baik. Apakah lima ini? Besi, tembaga, timah, timbel, dan perak. Ini adalah kelima kotoran pada emas, yang dengan dikotori olehnya emas menjadi tidak lunak, tidak lentur, dan tidak cerah, melainkan rapuh dan tidak dapat dikerjakan dengan baik. Tetapi ketika emas terbebas dari kelima kotoran ini, maka emas menjadi lunak, lentur, dan bersinar, dapat dibentuk, dan dapat dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang seseorang ingin hasilkan dari emas ini – apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga emas – ia dapat mencapai tujuannya.<985>

“Demikian pula, para bhikkhu, ada lima kotoran pikiran ini, yang dengan dikotori olehnya maka pikiran menjadi tidak lunak, tidak lentur, dan tidak bersinar, melainkan rapuh dan tidak terkonsentrasi dengan baik demi hancurnya noda-noda. Apakah lima ini? Keinginan indria, niat buruk, ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan. Ini adalah lima kotoran pikiran, yang dengan dikotori olehnya maka pikiran menjadi tidak lunak, tidak lentur, dan tidak bersinar, melainkan rapuh dan tidak terkonsentrasi dengan baik demi hancurnya noda-noda. Tetapi ketika pikiran terbebas dari kelima kotoran ini, maka pikiran menjadi menjadi lunak, lentur, [17] dan bersinar, dapat dibentuk, dan terkonsentrasi baik demi hancurnya noda-noda. Kemudian, jika ada landasan yang sesuai, maka seseorang mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.<986>

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; semoga aku menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; semoga aku berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tanganku semoga aku menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; [18] pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana [256] aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini” – semoga aku mengingat mengingat banyak kehidupan lampauku dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai. [19]

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, semoga aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”

24 (4) Tidak Bermoral

“Para bhikkhu, (1) pada seorang yang tidak bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, (2) maka konsentrasi tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, (3) maka pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, (4) maka kekecewaan dan kebosanan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekecewaan dan kebosanan, pada seseorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, (5) maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.<987>

“Misalkan ada sebatang pohon yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh sempurna; juga kulit kayunya, [20] kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna. Demikian pula, pada seorang yang tidak bermoral, seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, maka konsentrasi tidak memiliki penyebab terdekatnya. Jika tidak ada konsentrasi benar … pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Para bhikkhu, (1) pada seorang yang bermoral, pada seorang yang perilakunya bermoral, (2) maka konsentrasi memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, (3) maka pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seseorang yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, (4) maka kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kekecewaan dan kebosanan, pada seseorang yang memiliki kekecewaan dan kebosanan, (5) maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, pada seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral, maka konsentrasi memiliki penyebab terdekatnya. Jika ada konsentrasi benar … pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.”

25 (5) Dibantu

“Para bhikkhu, ketika pandangan benar dibantu oleh lima faktor, maka pandangan benar itu memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.<988> Apakah lima ini? [21] Di sini, pandangan benar dbantu oleh perilaku bermoral, pembelajaran, diskusi, ketenangan, dan pandangan terang. Ketika pandangan benar dibantu oleh kelima faktor ini, maka pandangan benar itu memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.”

26 (6) Kebebasan

“Para bhikkhu, ada lima landasan kebebasan<989> ini yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, Sang Guru atau seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu. Dalam cara bagaimana pun Sang Guru atau bhikkhu itu yang dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, dengan cara itu pula ia mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma.<990> Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.<991> Ini adalah landasan kebebasan pertama, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

(2) “Kemudian, bukan sang guru juga bukan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, melainkan ia sendiri mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. Dalam cara bagaimana pun juga bhikkhu itu [22] mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, dengan cara itu pula, sehubungan dengan Dhamma itu, ia mengalami mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini adalah landasan kebebasan ke dua, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

(3) “Kemudian, bukan sang guru juga bukan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, juga ia sendiri tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, melainkan ia sendiri melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. Dalam cara bagaimana pun juga bhikkhu itu melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, dengan cara itu pula, sehubungan dengan Dhamma itu, ia mengalami mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini adalah landasan kebebasan ke tiga, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

(4) “Kemudian, bukan sang guru juga bukan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, juga ia sendiri tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, juga ia tidak melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, melainkan ia merenungkan, [23] memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari. Dalam cara bagaimana pun juga bhikkhu itu merenungkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari, dengan cara itu pula, sehubungan dengan Dhamma itu, ia mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini adalah landasan kebebasan ke empat, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

(5) “Kemudian, bukan sang guru juga bukan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, juga ia sendiri tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, juga ia tidak melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, juga ia tidak merenungkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari, melainkan ia menggenggam dengan baik suatu objek konsentrasi tertentu, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan. Dalam cara bagaimana pun juga bhikkhu itu menggenggam dengan baik suatu objek konsentrasi tertentu, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan, dengan cara itu pula, sehubungan dengan Dhamma itu, ia mengalami mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini adalah landasan kebebasan ke lima, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

“Ini, para bhikkhu adalah kelima landasan kebebasan itu, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #4 on: 12 March 2013, 02:19:01 AM »
27 (7) Konsentrasi

“Para bhikkhu, dengan awas dan penuh perhatian, kembangkanlah konsentrasi yang tanpa batas.<992> Ketika, dengan awas dan penuh perhatian, kalian mengembangkan konsentrasi yang tanpa batas, maka lima jenis pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi. Apakah lima ini? (1) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini menyenangkan pada saat ini dan memiliki akibat menyenangkan di masa depan.’ (2) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini adalah mulia dan spiritual.’ (3) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini tidak dipraktikkan oleh orang-orang rendah.’ (4) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini adalah damai dan luhur, diperoleh melalui ketenangan penuh, dan mencapai kesatuan; tidak dikekang dan ditahan melalui penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa.’<993> (5) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Aku memasuki konsentrasi<994> ini dengan penuh perhatian dan keluar dari sana dengan penuh perhatian.’ Para bhikkhu, dengan awas dan penuh perhatian, kembangkanlah konsentrasi yang tanpa batas. Ketika kalian dengan awas dan penuh perhatian mengembangkan konsentrasi yang tanpa batas, maka lima jenis pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi.” [25]

28 (8 ) Berfaktor Lima   

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang pengembangan konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.<995> Dengarkanlah dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, pengembangan konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia?

(1) “Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Ia membuat sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, bhikkhu itu membuat sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Ini adalah pengembangan pertama pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.

(2) “Kemudian, Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Ia membuat sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, [26] atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, bhikkhu itu membuat sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi itu. Ini adalah pengembangan ke dua pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.

(3) “Kemudian, dengan memudarnya sukacita, seorang bhikkhu berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Ia membuat kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula, bhikkhu itu membuat kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu. Ini adalah pengembangan ke tiga pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.


(4) “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan [27] dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Ini adalah pengembangan ke empat pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu telah dengan baik menggenggam objek peninjauan kembali,<996> memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan. Bagaikan seseorang yang melihat orang lainnya – seperti halnya seorang yang berdiri melihat orang yang sedang duduk, atau seorang yang duduk melihat orang yang sedang berbaring – demikian pula, seorang bhikkhu telah dengan baik menggenggam objek pemeriksaan, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan. Ini adalah pengembangan ke lima pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.

“Ketika, para bhikkhu, konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.<997>

“Misalkan sebuah kendi yang penuh air diletakkan di atas sebuah bidang, kendi itu penuh air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya. Jika seorang kuat mendorongnya ke arah manapun, apakah air itu akan tumpah?”

“Benar, [28] Bhante.”

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.

“Misalkan di sebuah tanah datar terdapat sebuah kolam bersisi empat, dibentengi oleh suatu tanggul, penuh air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya. Jika seorang kuat membuka tanggulnya di salah satu sisi, apakah air itu akan mengalir keluar?’

“Benar, Bhante.”

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.

“Misalkan di atas tanah datar di sebuah persimpangan terdapat sebuah kereta yang terpasang pada kuda-kuda berdarah murni, lengkap dengan tongkat kendali, sehingga seorang pelatih yang terampil, sang kusir, dapat mengendarainya, dan dengan memegang tali kekang di tangan kiri dan tongkat kendali di tangan kanan, dapat berkendara pergi dan kembali ke mana pun dan kapan pun ia menginginkan. Demikian pula, para bhikkhu, ketika konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak … [di sini dan di bawah seperti pada 5:23] … semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami … pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau … dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”

29 (9) Meditasi Berjalan

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dari meditasi berjalan ini. Apakah lima ini? [30] Seseorang menjadi mampu melakukan perjalanan; ia menjadi mampu berusaha; ia menjadi sehat; apa yang ia makan, minum, konsumsi, dan kecap dapat dicerna dengan baik; konsentrasi yang dicapai melalui meditasi berjalan bertahan lama.<998> Ini adalah kelima manfaat dari meditasi berjalan.”

30 (10) Nāgita

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Icchānaṅgala. Di sana Sang Bhagavā menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra Sakya yang telah meninggalkan keduniawian dari keluarga Sakya, telah tiba di Icchānaṅgala dan sekarang menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Sekarang suatu berita baik tentang Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pemimpin terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah dengan pengetahuan langsungnya sendiri merealisasikan dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini dengan para petapa dan brahmananya, para deva dan manusianya, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Ia mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali menemui Arahant demikian.”

Kemudian, ketika malam telah berlalu, para brahmana perumah tangga Icchānaṅala membawa banyak makanan berbagai jenis dan mendatangi hutan belantara Icchānaṅgala. Mereka berdiri di luar pintu masuk membuat kegaduhan dan keributan. [31] Pada saat itu Yang Mulia Nāgita adalah pelayan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nāgita: “Siapakah yang membuat kegaduhan dan keributan demikian, Nāgita? Seseorang akan berpikir bahwa mereka adalah para nelayan yang sedang mengangkut ikan.”

“Bhante, mereka adalah para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala yang membawa makanan berlimpah berbagai jenis. Mereka berdiri di luar pintu masuk, [ingin mempersembahkannya] kepada Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu.”

“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini, kebahagiaan keterasingan ini, kebahagiaan kedamaian ini, kebahagiaan pencerahan ini yang kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian.”

“Sudilah Sang Bhagavā menerimanya sekarang, Bhante, sudilah Yang Berbahagia menerimanya. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk menerima. Ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Seperti halnya, ketika tetesan besar air hujan turun, airnya akan mengalir turun di sepanjang lereng, demikian pula, ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Karena alasan apakah? Karena perilaku bermoral dan kebijaksanaan dari Sang Bhagavā.”

“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini …  boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian. [32]

(1) “Nāgita, apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap akan berakhir menjadi tinja dan air kencing: ini adalah hasilnya. (2) Dari perubahan dan pergantian pada hal-hal yang disukai muncul dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan: ini adalah hasilnya. (3) Pada seseorang yang tekun berlatih meditasi pada gambaran ketidak-menarikan, maka kejijikan pada gambaran keindahan menjadi terbentuk: ini adalah hasilnya. (4) Pada seseorang yang berdiam dengan merenungakn ketidak-kekalan dalam enam landasan kontak, maka kejijikan pada kontak menjadi terbentuk: ini adalah hasilnya. (5) Pada seseorang yang berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, maka kejijikan pada kemelekatan menjadi terbentuk: ini adalah hasilnya.”<999>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #5 on: 12 March 2013, 02:19:33 AM »
IV. SUMANĀ

31 (1) Sumanā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā,<1000> disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata kepada Sang Bhagavā:

“Di sini, Bhante, mungkin ada dua orang siswa Sang Bhagava yang setara dalam hal keyakinan, perilaku bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam lima cara: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima cara ini.”

“Tetapi, Bhante, jika kedua orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang lainnya dalam lima cara: umur kehidupan manusia, kecantikan manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia. Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang lainnya dalam kelima cara ini.”

“Tetapi, Bhante, jika kedua orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam lima cara.<1001> (1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (2) Ia biasanya memakan makanan yang secara telah khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (3) Ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (4) Ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Mereka biasanya memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan [34] apa yang tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima cara ini.”

“Tetapi, Bhante, jika keduanya mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?’

“Dalam hal ini, Sumanā, Aku nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang lainnya].”

“Menakjubkan dan mengagumkan, Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”

“Demikianlah, Sumanā!, demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:

   “Seperti halnya rembulan tanpa noda
   Bergerak di sepanjang lintasan di angkasa
   Cahayanya lebih cemerlang
   Daripada semua bintang di dunia,
   Demikian pula seseorang yang sempurna dalam perilaku bermoral,
   Seorang yang memiliki keyakinan,
   Lebih cemerlang karena kedermawanan
   Daripada semua orang kikir di dunia.

   “Seperti halnya awan hujan berpuncak-seratus,
   Bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar,
   Menurunkan hujan ke bumi
   Membanjiri dataram-dataran dan tanah rendah,
   Demikian pula siswa Yang Tercerahkan Sempurna,
   Yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan,
   Melampaui orang kikir
   Dalam lima aspek:
   Umur kehidupan dan keagungan,
   Kecantikan dan kebahagiaan.<1002>
   Memiliki kekayaan, setelah kematian
   Ia bergembira di alam surga.” [35]

32 (2) Cundī <1003>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Putri Cundī,<1004> disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Cundī berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, kakakku adalah Pangeran Cunda. Ia berkata sebagai berikut: ‘Kapan pun seorang laki-laki atau seorang perempuan telah berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan menghindari membunuh, menghindari apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, arak, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk.’ Aku bertanya kepada Sang Bhagavā: ‘Guru seperti apakah, Bhante, yang seseorang harus yakini, agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali hanya dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk? Dhamma seperti apakah, yang seseorang harus yakini, agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali hanya dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk? Saṅgha seperti apakah, yang seseorang harus yakini, agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali hanya dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk? Perilaku bermoral seperti apakah yang seseorang harus penuhi agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali hanya dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk?”

(1) “Cundī, sejauh apa pun jangkauan makhluk-makhluk yang ada, apakah tanpa kaki atau berkaki dua, berkaki empat, atau berkaki banyak, apakah memiliki bentuk atau tanpa bentuk, apakah memiliki persepsi, tanpa persepsi, atau bukan memiliki persepsi juga bukan tanpa persepsi, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dinyatakan sebagai yang terunggul di antara mereka. Mereka yang berkeyakinan pada Sang Buddha memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(2) “Sejauh apa pun, Cundī, jangkauan fenonena-fenomena terkondisi yang ada, jalan mulia berunsur delapan dinyatakan senagai yang terunggul di antaranya. Mereka yang berkeyakinan pada jalan mulia berunsur delapan memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.<1005>

(3) “Sejauh apa pun, Cundī, jangkauan fenonena-fenomena terkondisi atau tidak terkondisi yang ada, kebosanan dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, yaitu digilasnya keangkuhan, dilenyapkannya dahaga, dicabutnya kemelekatan, dihentikannya lingkaran, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Mereka yang [36] berkeyakinan pada Dhamma, pada kebosanan,<1006> memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(4) “Sejauh apa pun, Cundī, jangkauan Saṅgha-Saṅgha atau kelompok-kelompokk yang ada, Saṅgha para siswa Sang Tathāgata dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Mereka yang berkeyakinan pada Saṅgha memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(5) “Sejauh apa pun, Cundī, jangkauan perilaku bermoral yang ada, perilaku bermoral yang disukai para mulia dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, yaitu, ketika tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Mereka yang memenuhi perilaku bermoral yang disukai para mulia ini memenuhi yang terunggul, dan bagi mereka yang memenuhi yang terunggul, hasilnya juga terunggul.”

   Bagi mereka yang berkeyakinan pada apa yang terunggul,<1007>
   Mengetahui Dhamma yang terunggul,
   Berkeyakinan pada Sang Buddha – yang terunggul –
   Tidak terlampaui, layak menerima persembahan;

   Bagi mereka yang berkeyakinan pada Dhamma yang terunggul,
   Dalam kedamaian kebosanan yang membahagiakan;
   Bagi mereka yang berkeyakinan pada Saṅgha yang terunggul,
   Lahan jasa yang tiada taranya;

   Bagi mereka yang memberikan pemberian kepada yang terunggul,
   Jenis jasa yang terunggul meningkat.
Umur kehidupan yang terunggul, kecantikan yang terunggul, dan keagungan yang terunggul,
Reputasi baik yang terunggul, kebahagiaan yang terunggul, dan kekuatan yang terunggul.

Yang bijaksana yang memberi kepada yang terunggul,
Terkonsentrasi pada Dhamma yang terunggul,
Setelah menjadi deva atau manusia,
Bergembira setelah mencapai yang terunggul.

33 (3) Uggaha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bhaddiya di Hutan Jātiyā. Kemudian Uggaha, cucu Meṇḍaka, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan tiga orang bhikkhu lainnya<1008> menerima undangan makan [37] dariku besok.”

Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian Uggaha, setelah memahami bahwa Sang Bhagavā telah menerima, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Beliau, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, pada pagi harinya Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan mendatangi kediaman Uggaha, di mana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Uggaha, cucu Meṇḍaka, melayani dan memuaskan Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan lezat.

Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menyingkirkan mangkuknya, Uggaha duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, anak-anak gadisku ini akan pergi ke keluarga-keluarga suami mereka. Sudilah Sang Bhagavā menasihati mereka dan memberikan instruksi dalam suatu cara yang akan mengarahkan mereka kepada kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada gadis-gadis itu:

(1) “Baiklah, gadis-gadis, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kepada suami yang manapun orang tua kami menyerahkan kami – yang dilakukan karena menginginkan kebaikan kami, mengusahakan kesejahteraan kami, berbelas kasihan pada kami, bertindak demi belas kasihan pada kami – kami harus bangun sebelum ia dan pergi tidur setelah ia pergi tidur, melakukan apa pun yang harus dilakukan, bertingkah laku menyenangkan dan ramah dalam bertutur kata.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(2) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghormati, menghargai, dan memuliakan mereka yang dihormati oleh suami kami – ibu dan ayahnya, para petapa dan brahmana – dan ketika mereka datang kami akan mempersembahkan tempat duduk dan air kepada mereka.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(3) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan terampil dan tekun dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga suami kami, apakah merajut atau menenun; kami akan memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(4) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mencari tahu apa yang telah dikerjakan dan belum diselesaikan oleh para pembantu rumah tangga suami kami – apakah budak-budak, utusan-utusan, atau [38] para pekerja; dan kami akan mencari tahu kondisi mereka yang sakit; dan kami akan membagikan porsi makanan yang selayaknya kepada mereka masing-masing.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(5) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga dan melindungi pendapatan apa pun yang dibawa pulang oleh suami kami – apakah uang atau beras, perak atau emas – dan kami tidak akan memboroskan, mencuri, atau menghambur-hamburkan pendapatannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

“Ketika, gadis-gadis, seorang perempuan memiliki kelima kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan tubuh yang menyenangkan.”<1009>

   Ia tidak memandang rendah suaminya,
   Orang yang terus-menerus menyokongnya,
   Yang dengan tekun dan berkeinginan
   Selalu membawakan apa pun yang ia inginkan.

   Seorang perempuan yang baik juga tidak memarahi suaminya
   Dengan kata-kata yang disebabkan oleh kecemburuan;<1010>
   Seorang perempuan bijaksana menunjukkan penghormatan
   Kepada mereka semua yang dihormati oleh suaminya.

   Ia bangun lebih awal, bekerja dengan rajin,
   Mengatur rumah tangga;
   Ia memperlakukan suaminya dengan cara-cara yang menyenangkan
   Dan menjaga kekayaan yang ia peroleh.

   Seorang perempuan yang memenuhi tugas-tugasnya demikian,
   Mengikuti kehendak dan keinginan suaminya,
   Terlahir kembali di antara para deva
   Yang disebut “mereka yang menyenangkan.”

34 (4) Sīha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Jenderal Sīha mendatangi [39] Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:<1011>

“Mungkinkah, Bhante, menunjukkan buah dari memberi yang terlihat secara langsung?”<1012>

“Mungkin saja, Sīha,” Sang Bhagavā berkata.

(1) “Seorang penyumbang, Sīha, seorang pemberi yang dermawan, disukai dan disenangi banyak orang. Ini adalah buah dari memberi yang terlihat secara langsung.

(2) “Kemudian, orang-orang baik mendatangi seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan. Ini juga adalah buah dari memberi yang terlihat secara langsung.

(3) “Kemudian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, memperoleh reputasi baik. Ini juga adalah buah dari memberi yang terlihat secara langsung.

(4) “Kemudian, kumpulan apa pun yang didatangi oleh seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan – apakah para khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – ia mendatanginya dengan percaya-diri dan tenang.<1013> Ini juga adalah buah dari memberi yang terlihat secara langsung.

(5) “Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini juga adalah buah dari memberi yang berhubungan dengan kehidupan-kehidupan di masa depan.”<1014>

Ketika hal ini dikatakan, Jenderal Sīha berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, Aku tidak menuruti Sang Bhagavā karena keyakinan sehubungan dengan empat buah dari memberi yang terlihat secara langsung ini. Aku juga mengetahuinya. Karena aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan disukai dan disenangi banyak orang. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan banyak orang baik mendatangiku. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan aku memperoleh reputasi baik sebagai seorang penyumbang, sponsor, dan penyokong Saṅgha. Aku [40] adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan kumpulan apa pun yang kudatangi – apakah para khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – aku mendatanginya dengan percaya-diri dan tenang. Aku tidak menuruti Sang Bhagavā karena keyakinan sehubungan dengan empat buah dari memberi yang terlihat secara langsung ini. Aku juga mengetahuinya. Tetapi ketika Sang Bhagavā memberitahukan kepadaku: ‘Sīha, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga,’ aku tidak mengetahui hal ini, dan di sini aku menuruti Sang Bhagavā karena keyakinan.”

“Demikianlah, Sīha, demikianlah! Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.”

   Dengan memberi, ia menjadi disukai dan banyak orang mendatanginya.
   Ia memperoleh reputasi baik dan kemasyhurannya meningkat.
   Orang yang dermawan tenang
   Dan dengan percaya-diri memasuki kumpulan orang-orang.

   Oleh karena itu, untuk mencari kebahagiaan,
   Orang-orang bijaksana memberikan pemberian,
   Setelah menyingkirkan noda kekikiran.
   Ketika mereka menempati tiga surga,
   Untuk waktu yang lama mereka bergembira
   Di tengah-tengah para deva.

   Setelah mengambil kesempatan melakukan perbuatan-perbuatan bermanfaat,
Meninggal dunia dari sini, dengan bercahaya, mereka berkeliling di Nandana,<1015>
   Mereka bergembira, berbahagia, dan bersenang-senang,
   Dilengkapi dengan kelima objek kenikmatan indria.
   Setelah memenuhi kata-kata Yang Stabil yang tidak melekat,
   Para siswa Yang Berbahagia bergembira di alam surga. [41]

35 (5) Manfaat Memberi

“Para bhikkhu, ada lima manfaat memberi ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang disukai dan disenangi oleh banyak orang. (2) Orang-orang baik mendatanginya. (3) Ia memperoleh reputasi baik. (4) Ia tidak kurang dalam tugas-tuas umat awam. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat memberi itu.”

   Dengan memberi, seseorang menjadi disayangi,
   Ia mengikuti tugas kebaikan;
   Para bhikkhu yang baik dan terkendali
   Selalu mendatanginya.
   
   Mereka mengajarkan Dhamma kepadanya
   Yang menghalau segala penderitaan,
   Yang setelah memahaminya
   Seorang yang tanpa noda di sini mencapai nibbāna.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #6 on: 12 March 2013, 02:19:58 AM »
36 (6) Tepat pada Waktunya

“Para bhikkhu, ada lima pemberian yang tepat pada waktunya ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang memberikan pemberian kepada seorang tamu. (2) Seseorang memberikan pemberian kepada seseorang yang melakukan perjalanan. (3) Seseorang memberikan pemberian kepada pasien. (4) Seseorang memberikan pemberian pada masa bencana kelaparan. (5) Seseorang mempersembahkan panen dan buah pertama kepada para mulia. Ini adalah kelima pemberian yang tepat pada waktunya itu.”

   Pada waktu yang tepat, mereka yang bijaksana,
   Orang-orang yang dermawan dan murah hati
   Memberikan pemberian yang tepat waktu kepada para mulia,
   Yang stabil dan lurus;
   Yang diberikan dengan pikiran yang jernih,
   Persembahannya adalah sangat luas.

   Mereka yang bergembira dalam perbuatan-perbuatan demikian
   Atau yang memberikan pelayanan [lain]
   Tidak melewatkan persembahan;
   Mereka juga mendapat bagian jasa.

   Oleh karena itu, dengan pikiran tidak mundur,
   Seseorang harus memberikan pemberian yang menghasilkan buah besar.
   Jasa adalah penyokong makhluk-makhluk hidup
   [ketika mereka muncul] di alam lain. [42]

37 (7) Makanan

“Para bhikkhu, seorang penyumbang yang memberikan makanan memberikan lima hal kepada penerimanya. Apakah lima ini? Ia memberikan kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan, dan kearifan.<1016> (1) Setelah memberikan kehidupan, seseorang memperoleh kehidupan, apakah surgawi atau manusiawi. (2) Setelah memberikan kecantikan, seseorang memperoleh kecantikan, apakah surgawi atau manusiawi. (3) Setelah memberikan kebahagiaan, seseorang memperoleh kebahagiaan, apakah surgawi atau manusiawi. (4) Setelah memberikan kekuatan, seseorang memperoleh kekuatan, apakah surgawi atau manusiawi. (5) Setelah memberikan kearifan, seseorang memperoleh kearifan, apakah surgawi atau manusiawi. Seorang penyumbang yang memberikan makanan memberikan kelima hal ini kepada penerimanya.”

   Seorang bijaksana adalah seorang pemberi kehidupan,
   Kekuatan, kecantikan, dan kearifan.
   Seorang yang cerdas adalah seorang penyumbang kebahagiaan
   Dan sebagai balasannya ia memperoleh kebahagiaan.

   Setelah memberi kehidupan, kekuatan, kecantikan,
   Kebahagiaan, dan kearifan,
   Seseorang berumur panjang dan termasyhur
   Di mana pun ia terlahir kembali.

38 (8 ) Keyakinan

“Para bhikkhu, lima manfaat ini mendatangi seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. Apakah lima ini? (1) Ketika orang-orang baik di dunia menunjukkan belas kasihan,<1017> mereka pertama-tama menunjukkan belas kasihan pada orang yang berkeyakinan, bukan pada orang yang tanpa keyakinan. (2) Ketika mereka mendatangi siapa pun, mereka pertama-tama mendatangi orang yang berkeyakinan, bukan mendatangi orang yang tanpa keyakinan. (3) Ketika mereka menerima dana makanan, mereka pertama-tama menerima dana makanan dari orang yang berkeyakian, bukan dari orang yang tanpa keyakinan. (4) Ketika mereka mengajarkan Dhamma, mereka pertama-tama mengajarkan Dhamma kepada orang yang berkeyakinan, bukan kepada orang yang tanpa keyakinan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang yang berkeyakinan terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat yang mendatangi seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan.

“Seperti halnya di sebuah persimpangan di tanah yang datar, sebatang pohon banyan besar didatangi oleh burung-burung dari segala penjuru, demikian pula [43] seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan didatangi oleh banyak orang: para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan.”

   Sebatang pohon besar dengan batang yang kuat,
   Dahan, dedaunan, dan buah yang banyak,
   Dengan akar yang kokoh, dan berbuah,
   Adalah penyokong bagi banyak burung.
   Setelah terbang melintasi angkasa,
   Burung-burung mendatangi pangkalan yang menyenangkan ini:
   Mereka yang membutuhkan keteduhan berteduh dalam kerimbunannya;
   Mereka yang membutuhkan buah memakan buahnya.

   Demikian pula, ketika seseorang bermoral,
   Memiliki keyakinan,
   Rendah hati, mengalah,
   Lemah-lembut, ramah, halus,
   Mereka di dunia ini merupakan lahan jasa –
   Yang hampa dari nafsu dan kebencian,
   Hampa dari delusi, dan tanpa noda –
   Mendatangi orang demikian.

   Mereka mengajarkan Dhamma kepadanya
   Yang menghalau segala penderitaan,
   Yang setelah memahaminya
   Seorang yang tanpa noda di sini mencapai nibbāna.

39 (9) Putra

“Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan lima prospek, ibu dan ayah menginginkan seorang putra terlahir dalam keluarga mereka. Apakah lima ini? (1) ‘Setelah disokong oleh kita, ia akan menyokong kita. (2) Atau ia akan melakukan pekerjaan untuk kita. (3) Keluarga kita akan berlanjut. (4) Ia akan mengurus warisan kita, (5) atau, ketika kita meninggal dunia, ia akan memberikan persembahan mewakili kita.’ Dengan mempertimbangkan kelima prospek ini, ibu dan ayah menginginkan seorang putra terlahir dalam keluarga mereka.”

   Dengan mempertimbangkan lima prospek,
   Orang-orang bijaksana menginginkan seorang putra.
   “Dengan disokong oleh kita, ia akan menyokong kita,
   Atau ia akan melakukan pekerjaan untuk kita.

   Silsilah keluarga akan berlanjut,
   Ia akan mengurus warisan,
   Atau, ketika kami telah meninggal dunia,
   Ia akan memberikan persembahan mewakili kita.”

   Dengan mempertimbangkan prospek-prospek ini,
   Orang-orang bijaksana menginginkan seorang putra.
   Oleh karena itu orang-orang baik,
   Yang bersyukur dan menghargai,
   Menyokong ibu dan ayah mereka,
   Mengingat bagaimana mereka membantunya di masa lalu; [44]
   Orang-orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk mereka
   Seperti yang mereka lakukan kepadanya di masa lalu.

   Dengan mengikuti nasihat mereka,
   Memelihara mereka yang mengasuhnya,
   Melanjutkan silsilah keluarga,
   Memikiki keyakinan, bermoral;
   Putra ini layak dipuji.

40 (10) Pohon Sal <1018>

“Para bhikkhu, dengan berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam lima cara. Apakah lima ini? (1) Pepohonan itu tumbuh dalam hal dahan, daun, dan kerimbunan; (2) pepohonan itu tumbuh dalam hal kulit kayunya; (3) pepohonan itu tumbuh dalam hal tunas; (4) pepohonan itu tumbuh dalam hal kayu lunak; dan (5) pepohonan itu tumbuh dalam hal inti kayu. Dengan berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam kelima cara ini.

“Demikian pula, ketika kepala keluarga<1019> memiliki keyakinan, orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam lima cara. Apakah lima ini? (1) Mereka tumbuh dalam keyakinan; (2) mereka tumbuh dalam perilaku bermoral; (3) mereka tumbuh dalam pembelajaran; (4) mereka tumbuh dalam kedermawanan; dan (5) mereka tumbuh dalam kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam kelima cara ini.”

   Seperti halnya pepohonan yang tumbuh
   Dengan bergantung pada pegunungan berbatu
   Dalam hutan belantara yang luas
   Akan menjadi “raja hutan kayu,”

   Demikian pula, ketika kepala keluarga di sini
   Memiliki keyakinan dan moralitas,
   Istri, anak-anak, dan sanak saudaranya
   Semuanya tumbuh dengan bergantung padanya;
   Demikian pula kerabat-kerabatnya, lingkaran keluarganya,
   Dan mereka yang bergantung padanya.

   Mereka yang memiliki kearifan,
   Melihat perilaku baik orang bermoral itu,
   Kedermawanan dan perbuatan-perbuatan baiknya,
   Akan meniru teladannya.

   Setelah hidup di sini sesuai Dhamma,
   Jalan menuju takdir yang baik,
  Mereka yang menginginkan kenikmatan-kenikmatan indria bergembira,
  Dan bersenang-senang di alam deva. [45]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #7 on: 12 March 2013, 02:21:18 AM »
V. MUṆḌA SANG RAJA

41 (1) Pemanfaatan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ada lima pemanfaatan kekayaan ini. Apakah lima ini?<1020>

(1) “Di sini, perumah tangga, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu membuat dirinya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam dirinya; ia membuat orang tuanya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka; ia membuat istri dan anak-anaknya, para budah, para pekerja, dan para pelayan  bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang pertama.

(2) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu membuat teman-teman dan para sahabatnya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ke dua.

(3) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu melakukan persiapan perbekalan dengan kekayaannya untuk menghadapi kehilangan yang mungkin muncul karena api atau banjir, raja-raja atau para penjahat atau pewaris yang tidak disukai; ia membuat dirinya aman terhadap hal-hal itu. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ke tiga.

(4) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu melakukan lima pengorbanan: kepada sanak saudara, para tamu, para leluhur, raja, dan para dewata. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ke empat.

(5) Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … [46] … kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu memberikan contoh persembahan dana – suatu persembahan yang surgawi, yang memberikan hasil dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – kepada para petapa dan brahmana yang menghindari kemabukan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang menjinakkan diri mereka sendiri, menenangkan diri mereka sendiri, dan berlatih untuk mencapai nibbāna. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ke lima.

“Ini, perumah tangga, adalah kelima pemanfaatan kekayaan itu. Perumah tangga, jika kekayaan seorang siswa mulia habis ketika ia menggunakannya dalam kelima cara ini, maka ia berpikir: ‘Aku telah memanfaatkan kekayaan dalam kelima cara ini dan kekayaanku habis.’ Dengan demikian ia tidak menyesal. Tetapi jika kekayaan seorang siswa mulia bertambah ketika ia memanfaatkan kekayaannya dalam kelima cara ini, maka ia berpikir: ‘Aku telah memanfaatkan kekayaan dalam kelima cara ini dan kekayaanku bertambah.’ Demikianlah, yang mana pun juga, ia tidak menyesal.

   “Aku telah menikmati kekayaan,
   Menyokong mereka yang bergantung padaku,
   Dan mengatasi kesusahan.
   Aku telah memberikan contoh memberikan persembahan,
   Dan melakukan lima pengorbanan.
   Aku telah melayani para bhikkhu bermoral,
   Dan mereka yang selibat dan terkendali.

   “Aku telah mencapai tujuan apa pun
   Yang diinginkan oleh seorang bijaksana, yang berdiam di rumah,
   Yang menginginkan kekayaan;
   Apa yang telah kulakukan tidak akan membawa penyesalan padaku.”

   Mengingat hal ini, seorang manusia
   Berdiam kokoh dalam Dhamma mulia.
   Mereka memujinya di sini dalam kehidupan ini,
   Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.

42 (2) Orang Baik

“Para bhikkhu, ketika seorang baik terlahir dalam suatu keluarga, itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang. Itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan (1) ibu dan ayahnya, (2) istri dan anak-anaknya, (3) para budak, pekerja, dan pelayan, (4) teman-teman dan kerabatnya, dan (5) para petapa dan brahmana. Seperti halnya awan hujan yang besar, memelihara tanaman, muncul demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, demikian pula, [47] ketika seorang baik terlahir dalam suatu keluarga, itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang. Itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan ibu dan ayahnya … para petapa dan brahmana.”

   Para dewata melindungi seseorang yang dijaga oleh Dhamma,<1021>
   Yang telah mengatur kekayaannya demi kesejahteraan banyak orang.
   Kemasyhuran tidak meninggalkan seseorang yang setia pada Dhamma,
   Yang terpelajar dan berperilaku bermoral  dan memiliki ketaatan.

   Siapakah yang layak mencelanya,
   Yang berdiri di dalam Dhamma,
   Sempurna dalam perilaku bermoral,
   Pengucap kejujuran,
   Memiliki rasa malu,
   [Murni] bagaikan keping uang emas murni?
   Bahkan para deva memujinya;
   Oleh Brahmā juga ia dipuji.

43 (3) Diharapkan

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ada lima hal ini yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Apakah lima ini? Umur panjang, perumah tangga, adalah diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Kecantikan … Kebahagiaan … Kemasyhuran … alam surga adalah diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Ini adalah kelima hal yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini.<1022>

“Kelima hal ini, perumah tangga, yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini, Aku katakan, tidak dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi. Jika kelima hal ini yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini dapat diperoleh melalui doa-doa [48] atau aspirasi-aspirasi, siapakah yang akan kekurangan sesuatu?

(1) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan umur panjang seharusnya tidak berdoa demi umur panjang atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya.<1023> Seorang siswa mulia yang menginginkan umur panjang harus mempraktikkan jalan yang megarah pada umur panjang.<1024> Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah pada umur panjang, hal itu mengarah pada diperolehnya umur panjang, dan ia memperoleh umur panjang apakah surgawi atau pun manusiawi.

(2) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan kecantikan … (3) … yang menginginkan kebahagiaan … (4) … yang menginginkan kemasyhuran seharusnya tidak berdoa demi kemasyhuran atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya. Seorang siswa mulia yang menginginkan kemasyhuran harus mempraktikkan jalan yang megarah pada kemasyhuran. Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah pada kemasyhuran, hal itu mengarah pada diperolehnya kemasyhuran, dan ia memperoleh kemasyhuran apakah surgawi atau pun manusiawi.

(5) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan surga seharusnya tidak berdoa demi surga atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya. Seorang siswa mulia yang menginginkan surga harus mempraktikkan jalan yang megarah menuju surga. Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah menuju surga, hal itu mengarah pada diperolehnya surga, dan ia memperoleh surga.”<1025>

Bagi seseorang yang menginginkan umur panjang, kecantikan, kemasyhuran,<1026>
Pengakuan, surga, keluarga-keluarga mulia,
Dan kesenangan luhur
Mengikuti secara berturut-turut,
Para bijaksana memuji kewaspadaan
Dalam melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. [49]

   Dengan menjadi waspada, orang-orang bijaksana
   Aman dalam kedua jenis kebaikan:
   Kebaikan dalam kehidupan ini,
   Dan kebaikan dalam kehidupan mendatang.
   Dengan memperoleh kebaikan,<1027> yang teguh
   Disebut seorang yang memiliki kebijaksanaan.

44 (4) Pemberi Apa yang Menyenangkan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada pagi harinya Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan mendatangi kediaman Ugga dari Vesālī, di mana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian perumah tangga Ugga dari Vesālī menghampiri Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, bubur bunga sal ini menyenangkan.<1028> Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, daging babi dengan bumbu jujube ini menyenangkan.<1029> Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, tangkai sayuran kering ini menyenangkan.<1030> Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, nasi beras gunung yang telah dibersihkan dari butiran-butiran beras hitam, yang dilengkapi dengan berbagai kuah dan bumbu-bumbu ini menyenangkan. Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan. [50]

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, kain dari Kāsi ini menyenangkan. Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, dipan yang beralaskan permadani, selimut, dan penutup, dengan tutup yang baik dari kulit kijang, dengan atap di atas dan bantal guling di kedua sisinya ini menyenangkan. Walaupun aku mengetahui bahwa ini tidak diperbolehkan untuk Sang Bhagavā, papan cendana ini bernilai lebih dari seribu.<1031> Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

Kemudian Sang Bhagavā mengungkapkan penghargaannya kepada perumah tangga Ugga dari Vesālī sebagai berikut:

   “Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan,
   Ketika ia dengan kerelaan memberikan kepada mereka yang lurus
   Kain, tempat tidur, makanan, dan minuman,
   Dan berbagai jenis benda kebutuhan.

   “Setelah mengetahui para Arahant adalah bagaikan lahan
   Karena apa yang dilepaskan dan dipersembahkan, tidak ditahan,<1032>
   Orang-orang baik memberikan apa yang sulit diberikan:
   Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.”

Kemudian, setelah mengungkapkan penghargaannya kepada perumah tangga Ugga dari Vesālī, Sang Bhagavā bangkit dari duduknya dan pergi. Kemudian, beberapa waktu kemudian, perumah tangga Ugga dari Vesālī meninggal dunia. Setelah kematiannya, perumah tangga Ugga dari Vesālī terlahir kembali di tengah-tengah kelompok [dewata] dengan tubuh ciptaan-pikiran.<1033> Pada saat itu Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika malam telah berlalu, deva muda Ugga, dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh [51] Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan berdiri di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Aku harap Ugga, bahwa ini adalah apa yang engkau harapkan.”

“Tentu saja, Bhante, ini adalah apa yang kuharapkan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada deva muda Ugga dalam syair berikut:

   “Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan;
   Pemberi apa yang terunggul sekali lagi memperoleh apa yang terunggul;
   Pemberi apa yang baik memperoleh apa yang baik;
   Pemberi apa yang terbaik mencapai kondisi terbaik.

   “Orang yang memberikan apa yang terbaik,
   Pemberi apa yang terunggul,
   Pemberi apa yang baik,
   Berumur panjang dan termasyhur
   Di mana pun ia terlahir kembali.”<1034>

45 (5) Arus <1035>

“Para bhikkhu, ada lima arus jasa ini, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah pada apa yang diharapkan, diinginkan, disukai, mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang. Apakah lima ini?

“(1) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu menggunakan jubah [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu. (2) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu memakan makanan [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu. (3) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu menggunakan tempat kediaman [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu. (4) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu menggunakan tempat tidur dan tempat duduk [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu. (5) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], [52] maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu.

“Ini adalah kelima arus jasa itu, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah pada apa yang diharapkan, diinginkan, disukai, mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang.

“Ketika, para hikkhu, seorang siswa mulia memiliki kelima arus jasa ini, arus yang bermanfaat ini, tidaklah mudah untuk mengukur jasanya sebagai berikut: ‘Sebanyak ini arus jasanya, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang’; melainkan, hanya dianggap sebagai tidak terhitung, tidak terukur, kumpulan jasa yang besar.

“Para bhikkhu, seperti halnya tidaklah mudah untuk mengukur air di samudera raya sebagai berikut: ‘Ada berapa galon air,’ atau ‘ Ada berapa ratus galon air,’ atau ‘Ada berapa ribu galon air,’<1036> atau ‘Ada berapa ratus ribu galon air,’ melainkan ini hanya dianggap kumpulan air yang banyak, tidak terhitung, tidak terukur; demikian pula, ketika seorang siswa mulia memiliki empat arus jasa ini …  ini hanya dianggap sebagai sebagai tidak terhitung, tidak terukur, kumpulan jasa yang besar.

   Seperti halnya banyak sungai yang digunakan oleh banyak orang,
   Mengalir ke hilir, mencapai samudera,
   Kumpulan besar air, lautan yang tanpa batas,
   Wadah luar biasa dari tumpukan permata; [53]
   Demikian pula arus jasa yang mencapai seorang bijaksana
   Yang adalah pemberi makanan, minuman, dan pakaian;
[arus itu mencapai] penyumbang tempat tidur, tempat duduk, dan penutup tempat tidur
Bagaikan sungai membawa air ke lautan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #8 on: 12 March 2013, 02:21:45 AM »
46 (6) Penyempurnaan

“Para bhikkhu, ada lima penyempurnaan ini. Apakah lima ini? Penyempurnaan keyakinan, penyempurnaan perilaku bermoral, penyempurnaan pembelajaran, penyempurnaan kedermawanan, dan penyempurnaan kebijaksanaan. Ini adalah kelima penyempurnaan itu.”

47 (7) Kekayaan

“Para bhikkhu, ada lima jenis kekayaan ini. Apakah lima ini? Kekayaan keyakinan, kekayaan perilaku bermoral, kekayaan pembelajaran, kekayaan kedermawanan, dan kekayaan kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekayaan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kekayaan keyakinan.

(2) “Dan apakah kekayaan perilaku bermoral? Di sini, seorang siswa mulia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku seksual yang salah, menghindari berbohong, menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut kekayaan perilaku bermoral.

(3) “Dan apakah kekayaan pembelajaran? Di sini, seorang siswa mulia telah benyak belajar, mengingat apa yang telah dipelajari, mengumpulkan apa yang telah dipelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang murni dan lengkap sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, dihafalkan, dilafalkan secara lisan, dan diselidiki dalam pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.<1037>

(4) “Dan apakah kekayaan kedermawanan? Di sini, seorang siswa mulia berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dlam memberi dan berbagi. Ini disebut kekayaan kedermawanan.

(5) “Dan apakah kekayaan kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia bijaksana, memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran sepenuhnya penderitaan. Ini disebut kekayaan kebijaksanaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima jenis kekayaan itu.” [54]

   Ketika seseorang berkeyakinan pada Sang Tathāgata,<1038>
   Tidak tergoyahkan dan berdiri kokoh,
   Dan berperilaku bermoral yang baik,
   Disukai dan dipuji oleh para mulia;
   Ketika Ia memiliki keyakinan pada Saṅgha,
   Dan pandangannya telah diluruskan,
   Mereka mengatakan bahwa ia tidak miskin,
   Bahwa kehidupannya tidak dijalankan secara sia-sia.
   Oleh karena itu seorang yang cerdas,
   Yang mengingat ajaran para Buddha,
   Harus bersungguh-sungguh pada keyakinan dan perilaku bermoral,
   Memiliki keyakinan dan penglihatan pada Dhamma.

48 (8 ) Situasi

“Para bhikkhu, ada lima situasi ini yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia. Apakah lima ini? (1) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada penuaan tidak menjadi tua’: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia. (2) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada penyakit tidak jatuh sakit’: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (3) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kematian tidak mati: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (4) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kehancuran tidak menjadi hancur: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (5) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kehilangan tidak menjadi hilang: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia.

(1) “Para bhikkhu, bagi kaum duniawi yang tidak terpelajar, apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Ketika hal ini terjadi, ia tidak merenungkan: ‘Aku bukan satu-satunya yang padanya apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Karena semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Jika aku berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan ketika apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua, maka aku akan kehilangan selera makanku dan penampilanku akan menjadi buruk. Aku tidak akan mampu melakukan pekerjaanku, musuh-musuhku akan menjadi gembira, dan teman-temanku akan menjadi sedih.’ Demikianlah, ketika apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua, ia berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang kaum duniawi yang tertusuk oleh anak panah dukacita yang beracun yang hanya menyiksa dirinya sendiri.

(2) “Kemudian, bagi kaum duniawi yang tidak terpelajar, [55] apa yang tunduk pada penyakit jatuh sakit … (3) … apa yang tunduk pada kematian menjadi mati … (4) … apa yang tunduk pada kehancuran menjadi hancur … (5) … apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Ketika hal ini terjadi, ia tidak merenungkan: ‘Aku bukan satu-satunya yang padanya apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Karena semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Jika aku berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan ketika apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang, maka aku akan kehilangan selera makanku dan penampilanku akan menjadi buruk. Aku tidak akan mampu melakukan pekerjaanku, musuh-musuhku akan menjadi gembira, dan teman-temanku akan menjadi sedih.’ Demikianlah, ketika apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang, ia berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang kaum duniawi yang tertusuk oleh anak panah dukacita yang beracun yang hanya menyiksa dirinya sendiri.

(1) “Para bhikkhu, bagi siswa mulia yang terpelajar, apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Ketika hal ini terjadi, ia merenungkan: ‘Aku bukan satu-satunya yang padanya apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Karena semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Jika aku berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan ketika apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua, maka aku akan kehilangan selera makanku dan penampilanku akan menjadi buruk. Aku tidak akan mampu melakukan pekerjaanku, musuh-musuhku akan menjadi gembira, dan teman-temanku akan menjadi sedih.’ Demikianlah, ketika apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua, ia tidak berdukacita, tidak merana, tidak meratap, tidak menangis dengan memukul dada, dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang siswa mulia yang telah mencabut anak panah dukacita yang beracun yang karena tertusuk oleh anak panah ini kaum duniawi yang tidak terpelajar hanya menyiksa dirinya sendiri. Dengan tidak berdukacita, tanpa anak panah, siswa mulia itu merealisasi nibbāna.<1039>

(2) “Kemudian, bagi siswa mulia yang terpelajar, apa yang tunduk pada penyakit jatuh sakit … (3) … apa yang tunduk pada kematian menjadi mati … (4) … apa yang tunduk pada kehancuran menjadi hancur … (5) … apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Ketika hal ini terjadi, ia merenungkan: ‘Aku bukan satu-satunya yang padanya apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Karena semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Jika aku berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan ketika apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang, maka aku akan kehilangan selera makanku dan penampilanku akan menjadi buruk. Aku tidak akan mampu melakukan pekerjaanku, musuh-musuhku akan menjadi gembira, dan teman-temanku akan menjadi sedih.’ Demikianlah, ketika apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang, ia tidak berdukacita, tidak merana, tidak meratap, tidak menangis dengan memukul dada, dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang siswa mulia yang telah mencabut anak panah dukacita yang beracun yang karena tertusuk oleh anak panah ini kaum duniawi yang tidak terpelajar hanya menyiksa dirinya sendiri. Dengan tidak berdukacita, tanpa anak panah, siswa mulia itu merealisasi nibbāna.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima situasi itu ini yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia.

   “Bukanlah dengan berdukacita dan meratap
   Maka bahkan kebaikan terkecil pun di sini dapat diperoleh.<1040>
   Karena mengetahui bahwa seseorang berdukacita dan bersedih,
   Maka musuh-musuhnya bergembira.

   “Ketika orang bijaksana tidak terguncang dalam kemalangan,
   Mengetahui bagaimana menentukan apa yang baik,
   Musuh-musuhnya menjadi sedih, setelah melihat
   Bahwa raut wajahnya tidak berubah.

   “Di mana pun seseorang dapat memperoleh kebaikannya,
   Dalam cara apa pun – dengan merapal, mantra-mantra,
   Peribahasa-peribahasa, pemberian, atau tradisi<1041> - di sana
   Ia harus mengerahkan usaha dengan cara itu.

   “Tetapi jika ia memahami: ‘Kebaikan ini
   Tidak dapat diperoleh olehku atau siapa pun juga,’
   Ia harus menerima situasi tersebut tanpa berdukacita,
Dengan berpikir: ‘Kamma adalah kuat; apakah yang dapat kulakukan sekarang?” [57]

49 (9) Kosala

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [Pada saat itu Ratu Mallikā baru saja meninggal dunia.]<1042> seseorang mendatang Raja Pasenadi dan berbisik di telinganya: “Baginda, Ratu Mallikā baru saja meninggal dunia.” Ketika hal ini dikatakan, Raja Pasenadi merasa sakit dan sedih, dan ia duduk di sana dengan bahu terkulai, wajah merunduk, murung, dan terdiam.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah mengetahui kondisi raja, berkata kepadanya:

“Baginda, ada lima situasi ini yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia.”

[Bagian selanjutnya dari sutta ini identik dengan 5:48, termasuk syairnya.]

50 (10) Nārada

Paad suatu ketika Yang Mulia Nārada sedang menetap di Pāṭaliputta di Taman Ayam. Pada saat itu Ratu Bhaddā, [istri]Raja Muṇḍa yang disayangi dan dicintai oleh raja telah meninggal dunia. Sejak kematian istrinya, ia tidak mandi, tidak meminyaki dirinya, tidak makan, dan tidak melakukan pekerjaannya. Siang dan malam, ia hanya menunggui jenazah Ratu Bhaddā. Kemudian Raja Muṇḍa berkata kepada bendaharanya, Piyaka: “Piyaka, [58] rendamlah tubuh Ratu Bhadā dalam wadah besi yang berisikan minyak dan tutuplah dengan wadah besi lainnya agar kita dapat melihat tubuh Ratu Bhaddā lebih lama lagi.”

“Baik, Baginda,” bendahara Piyaka menjawab. Kemudian ia merendam tubuh Ratu Bhadā dalam wadah besi yang berisikan minyak dan menutupnya dengan wadah besi lainnya.

Kemudian bendahara Piyaka berpikir: “Ratu Bhaddā [istri] Raja Muṇḍa telah meninggal dunia, dan ia disayangi dan dicintai oleh raja. Sejak kematian istrinya, ia tidak mandi, tidak meminyaki dirinya, tidak makan, dan tidak melakukan pekerjaannya. Siang dan malam, ia hanya menunggui jenazah Ratu Bhaddā. Petapa atau brahmana manakah yang dapat dikunjungi oleh Raja Muṇḍa, yang setelah mendengar Dhamma darinya, ia dapat mencabut anak panah dukacita?”

Kemudian Piyaka berpikir: “Yang Mulia Nārada sedang menetap di Pāṭaliputta, di Taman Ayam. Sekarang suatu berita baik tentang Yang Mulia Nārada telah beredar sebagai berikut: “Ia bijaksana, kompeten, cerdas, terpelajar, dan pembabar yang cerdik, fasih, matang, dan seorang Arahant.” Bagaimana jika Raja Muṇḍa mengunjungi Yang Mulia Nārada: mungkin jika ia mendengar Dhamma dari Yang Mulia Nārada, ia dapat mencabut anak panah dukacita.”

Kemudian Bendahara Piyaka mendatangi Raja Muṇḍa dan berkata kepadanya: “Baginda, Yang Mulia Nārada sedang menetap di Pāṭaliputta, di Taman Ayam. Sekarang suatu berita baik tentang Yang Mulia Nārada telah beredar sebagai berikut: “Ia bijaksana … dan seorang Arahant.” Baginda harus mengunjungi Yang Mulia Nārada. Mungkin, jika engkau mendengar Dhamma dari Yang Mulia Nārada, engkau dapat mencabut anak panah dukacita.” [Raja berkata:], Piyaka, [59] beritahukanlah kepada Yang Mulia Nārada. Karena bagaimana mungkin seseorang sepertiku dapat berpikir untuk mendatangi seorang petapa atau brahmana yang menetap di negerinya tanpa pemberitahuan sebelumnya?”

“Baik, Baginda,” piyaka menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Nārada, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Ratu Bhaddā [istri] Raja Muṇḍa telah meninggal dunia, dan ia disayangi dan dicintai oleh raja. Sejak kematian istrinya, ia tidak mandi, tidak meminyaki dirinya, tidak makan, dan tidak melakukan pekerjaannya. Siang dan malam, ia hanya menunggui jenazah Ratu Bhaddā. Baik sekali, Bhante, jika Yang Mulia Nārada sudi mengajarkan Dhamma kepada Raja Muṇḍa sedemikian sehingga ia dapat mencabut anak panah dukacita.”

“Maka biarlah Raja Muṇḍa datang kapan saja.”

Kemudian Bendahara Piyaka bangkit dari duduknya, bersujud kepada Yang Mulia Nārada, mengelilinginya dengan sisi kanannya menghadap Yang Mulia Nārada, dan pergi menghadap Raja Muṇḍa. ia memberi tahu raja: “Baginda, Yang Mulia Nārada telah memberikan persetujuan. Engkau boleh pergi kapan saja.”

“Baiklah, Piyaka, persiapkan kereta-kereta terbaik!”

“Baik, Baginda,” Piyaka menjawab, dan setelah ia mempersiapkan kereta terbaik ia memberitahu Raja Muṇḍa: “Baginda, kereta terbaik telah siap. . Engkau boleh pergi kapan saja.”

Kemudian Raja Muṇḍa menaiki sebuah kereta yang baik, dan bersama dengan kereta-kereta lainnya ia pergi dengan kemegahan kerajaan menuju Taman Ayam untuk menemui Yang Mulia Nārada. Ia mengendarai kereta sejauh tanah yang layak dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari keretanya dan memasuki taman dengan berjalan kaki. Ia mendatangi Yang Mulia Nārada, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. [60] Kemudian Yang Mulia Nārada berkata kepadanya:

“Baginda, ada lima situasi ini yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia. Apakah lima ini? (1) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada penuaan tidak menjadi tua’: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia. (2) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada penyakit tidak jatuh sakit’: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (3) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kematian tidak mati: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (4) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kehancuran tidak menjadi hancur: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (5) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kehilangan tidak menjadi hilang: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia …

[Selanjutnya identik dengan 5:48, termasuk syairnya.] [61-62]

Ketika hal ini dikatakan, Raja Muṇḍa bertanya kepada Yang Mulia Nārada: “Bhante, apakah judul dari pembabaran Dhamma ini?”

“Baginda, pembabaran Dhamma ini berjudul pencabutan anak panah dukacita.”<1043>

“Tentu saja, Bhante, ini adalah pencabutan anak panah dukacita! Tentu saja, Bhante, ini adalah pencabutan anak panah dukacita! Karena setelah mendengar pembabaran Dhamma ini, aku telah mencabut anak panah dukacita.”

Kemudian Raja Muṇḍa berkata kepada bendahara Piyaka: “Baiklah, Piyaka, kremasilah jenazah Ratu Bhaddā dan bangunlah sebuah tugu peringatan untuknya. Mulai hari ini, aku akan mandi dan meminyaki diriku dan makan dan melakukan pekerjaanku.” [63]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #9 on: 12 March 2013, 02:22:18 AM »
LIMA PULUH KE DUA


I. RINTANGAN-RINTANGAN

1 (1) Halangan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada lima halangan, rintangan, beban pikiran, kondisi-kondisi yang melemahkan kebijaksanaan. Apakah lima ini? (1) Keinginan indria adalah sebuah halangan, sebuah rintangan, sebuah beban pikiran, sebuah kondisi yang melemahkan kebijaksanaan. (2) Niat buruk … (3) Ketumpulan dan kantuk … (4) Kegelisahan dan penyesalan … (5) Keragu-raguan adalah sebuah halangan, sebuah rintangan, sebuah beban pikiran, sebuah kondisi yang melemahkan kebijaksanaan. Ini adalah kelima halangan, rintangan, beban pikiran, kondisi-kondisi yang melemahkan kebijaksanaan itu.

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan kelima halangan, rintangan, beban pikiran, kondisi-kondisi yang melemahkan kebijaksanaan ini, adalah tidak mungkin seorang bhikkhu, dengan kebijaksanaannya yang lemah dan tanpa kekuatan, dapat mengetahui kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, [64] atau kebaikan keduanya, atau merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Misalkan sebuah sungai mengalir turun dari sebuah gunung, berjalan menempuh jarak yang jauh, dengan arus yang kencang, membawa serta segala reruntuhan. Kemudian, di kedua tepinya, seseorang membuka saluran irigasi.<1044> Dalam kasus demikian, arus di tengah sungai akan terpecah, menyebar, dan terbagi, sehingga sungai itu tidak lagi menempuh jarak yang jauh, tidak dengan arus yang kencang, dan tidak membawa serta segala reruntuhan. Demikian pula, tanpa meninggalkan kelima halangan …  adalah tidak mungkin seorang bhikkhu … dapat merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.

“Tetapi, para bhikkhu, setelah meninggalkan kelima halangan, rintangan, beban pikiran, kondisi-kondisi yang melemahkan kebijaksanaan ini, adalah mungkin seorang bhikkhu, dengan kebijaksanaannya yang kuat, dapat mengetahui kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya, dan merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Misalkan sebuah sungai mengalir turun dari sebuah gunung, berjalan menempuh jarak yang jauh, dengan arus yang kencang, membawa serta segala reruntuhan. Kemudian, seseorang menutup saluran irigasi di kedua tepinya. Dalam kasus demikian, arus di tengah sungai tidak akan terpecah, menyebar, dan terbagi, sehingga sungai itu dapat menempuh jarak yang jauh, dengan arus yang kencang, dan membawa serta segala reruntuhan. Demikian pula, setelah meninggalkan kelima halangan …  adalah mungkin seorang bhikkhu … dapat merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. [65]

52 (2) Tumpukan

“Para bhikkhu, dengan mengatakan ‘tumpukan yang tidak bermanfaat,’ adalah tentang kelima rintangan maka seseorang dapat dengan benar mengatakan hal ini.<1045> Apakah lima ini? Rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan ketumpulan dan kantuk, rintangan kegelisahan dan penyesalan, rintangan keragu-raguan. Para bhikkhu, dengan mengatakan ‘tumpukan yang tidak bermanfaat,’ adalah tentang kelima rintangan maka seseorang dapat dengan benar mengatakan hal ini. Karena kelima rintangan ini adalah tumpukan yang tidak bermanfaat sepenuhnya.”

53 (3) Faktor

“Para bhikkhu, ada lima faktor ini yang membantu usaha. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik dari orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’

(2) “Ia jarang sakit atau menderita, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha.

(3) “Ia jujur dan terbuka, seorang yang mengungkapkan dirinya sebagaimana adanya kepada Sang Guru dan teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana.

(4) “Ia membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat.

(5) “Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima faktor yang membantu usaha itu.”

54 (4) Kesempatan

“Para bhikkhu, ada lima kesempatan yang tidak menguntungkan ini untuk berusaha. Apakah lima ini? [66]

(1) “Di sini, seorang bhikkhu sudah tua, dikuasai oleh usia tua. Ini adalah kesempatan pertama  yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu sakit, dikuasai oleh penyakit. Ini adalah kesempatan ke dua yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

(3) “Kemudian, terjadi bencana kelaparan, panen yang gagal, suatu masa ketika dana makanan sulit diperoleh dan tidak mudah untuk bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit.<1046> Ini adalah kesempatan ke tiga yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

(4) “Kemudian, terjadi marabahaya, pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, dan ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah. Ini adalah kesempatan ke empat yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

(5) “Kemudian, terjadi perpecahan dalam Saṅgha, dan ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha maka ada saling menghina, saling mencaci, saling mencela, dan saling menolak.<1047> Maka mereka yang tanpa keyakinan tidak memperoleh keyakinan, sedangkan beberapa yang berkeyakinan berubah pikiran. Ini adalah kesempatan ke lima yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

“Ini adalah kelima kesempatan yang tidak menguntungkan untuk berusaha itu.

“Ada, para bhikkhu, kelima kesempatan itu yang menguntungkan untuk berusaha. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan. Ini adalah kesempatan  pertama yang menguntungkan yang untuk berusaha.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu jarang sakit atau menderita, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha. Ini adalah kesempatan ke dua yang menguntungkan yang untuk berusaha.

(3) “Kemudian, makanan yang banyak; ada panen yang baik [67] dan dana makanan berlimpah, sehingga seseorang dapat dengan meudah bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit. Ini adalah kesempatan ke tiga yang menguntungkan yang untuk berusaha.

(4) “Kemudian, orang-orang berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur seperti susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang. Ini adalah kesempatan ke empat yang menguntungkan yang untuk berusaha.

(5) “Kemudian, Saṅgha berdiam dengan nyaman – dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, dengan pembacaan tunggal. Ketika Saṅgha berdiam dalam kerukunan, maka tidak ada saling menghina, tidak ada saling mencaci, tidak ada saling mencela, dan tidak ada saling menolak. Maka mereka yang tanpa keyakinan memperoleh keyakinan dan mereka yang berkeyakinan meningkat [keyakinannya].<1048> Ini adalah kesempatan ke lima yang menguntungkan yang untuk berusaha

“Ini adalah kelima kesempatan itu yang menguntungkan untuk berusaha.”

55 (5) Ibu dan Anak

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu seorang ibu dan putranya, yang adalah seorang bhikkhunī dan seorang bhikkhu, memasuki masa musim hujan di Sāvatthī. Mereka sering kali ingin saling bertemu satu sama lain, sang ibu sering ingin bertemu putranya dan sang putra ingin bertemu ibunya. Karena mereka sering bertemu satu sama lain, maka suatu keterikatan terbentuk; karena keterikatan terbentuk, maka keakraban muncul; karena ada keakraban, maka nafsu mendapatkan peluang.<1049> Dengan pikiran mereka dicengkeram oleh nafsu, tanpa meninggalkan latihan dan menyatakan kelemahan mereka, mereka melakukan hubungan seksual.<1050>

Kemudian sejumlah para bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang telah terjadi. [68] [Sang Bhagava berkata:]

“Para bhikkhu, apakah orang dungu itu berpikir: ‘Seorang ibu tidak jatuh cinta pada putranya, atau seorang putra tidak jatuh cinta pada ibunya’? (1) Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu bentuk lain pun yang begitu menggoda, sensual, memabukkan, memikat, menggilakan, dan begitu menghalangi untuk mencapai keamanan yang tidak terlampaui dari belenggu seperti halnya bentuk seorang perempuan. Makhluk-makhluk yang bernafsu pada bentuk seorang perempuan – kelaparan, terikat padanya, tergila-gila, dan secara membuta terserap di dalamnya<1051> - berdukacita untuk waktu yang lama di bawah kendali bentuk seorang perempuan. (2) Aku tidak melihat bahkan satu suara lain pun … (3) … bahkan satu bau lain pun … (4) … bahkan satu rasa kecapan lain pun … (5) … bahkan satu sentuhan lain pun yang begitu menggoda, sensual, memabukkan, memikat, menggilakan, dan begitu menghalangi untuk mencapai keamanan yang tidak terlampaui dari belenggu seperti halnya sentuhan seorang perempuan - Makhluk-makhluk yang bernafsu pada sentuhan seorang perempuan – kelaparan, terikat padanya, tergila-gila, dan secara membuta terserap di dalamnya - berdukacita untuk waktu yang lama di bawah kendali sentuhan seorang perempuan.

“Para bhikkhu, sewaktu berjalan, seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki; sewaktu berdiri … sewaktu duduk … sewaktu berbaring … sewaktu tertawa … sewaktu berbicara … sewaktu bernyanyi … sewaktu menangis seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Ketika membengkak,<1052> juga seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Bahkan ketika mati, seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Jika, para bhikkhu, seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang sesuatu: ‘Keseluruhan jerat Māra,’ adalah sehubungan dengan para perempuan hal ini dikatakan.”<1053> [69]

   Seseorang boleh berbicara dengan musuh yang berniat membunuh,
   Seseorang boleh berbicara dengan makhluk jahat,
   Seseorang bahkan boleh mendekati seekor ular berbisa,
   Yang gigitannya pasti mengakibatkan kematian;
   Tetapi dengan seorang perempuan, satu lawan satu,
   Seseorang tidak boleh berbicara.

   Mereka mengikat seseorang yang pikirannya kacau
   Dengan lirikan dan senyuman,
   Dengan pakaiannya yang berantakan,
   Dan dengan tutur kata yang lembut,
   Tidaklah aman mendekati<1054> orang demikian
   Walaupun ia membengkak dan mati.

   Kelima objek kenikmatan indria ini
   Terlihat dalam tubuh seorag perempuan:
   Bentuk, suara, rasa kecapan, dan bau-bauan,
   Dan juga sentuhan yang menyenangkan.

   Mereka yang terhanyutkan oleh banjir indriawi,
   Yang tidak sepenuhnya memahami kenikmatan-kenikmatan indria,
   Jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam saṃsāra, [ke dalam] waktu,
   Takdir, dan kehidupan demi kehidupan.<1055>

Tetapi mereka yang telah sepenuhnya memahami kenikmatan-kenikmatan indria
Hidup tanpa takut dari arah mana pun juga,
Setelah mencapai hancurnya noda-noda,
Selagi masih di dunia ini, mereka telah menyeberang

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #10 on: 12 March 2013, 02:23:19 AM »
56 (6) Penahbis

Seorang bhikkhu mendatangi penahbisnya dan berkata kepadanya: “Bhante, tubuhku sekarang rasanya seolah-olah terbius, aku menjadi kebingungan, dan ajaran-ajaran tidak lagi menjadi jelas bagiku. Ketumpulan dan kantuk menguasai pikiranku. Aku menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas dan memiliki keragu-raguan sehubungan dengan ajaran-ajaran.”<1056>

Kemudian sang penahbis membawa muridnya menghadap Sang Bhagavā. Ia bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang dikatakan oleh muridnya. [70] [Sang Bhagavā berkata:]

“Demikianlah, bhikkhu! (1) Ketika seseorang tidak terjaga dalam pintu-pintu organ indria, (2) makan berlebihan, (3) dan tidak menekuni keawasan; (4) ketika ia tidak memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat (5) dan tidak berdiam dalam usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap awal dan akhir malam hari, ṃaka tubuh seseorang terasa seolah-olah terbius, ia menjadi kebingungan, dan ajaran-ajaran tidak lagi menjadi jelas baginya. Ketumpulan dan kantuk mengusai pikirannya. Ia menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas dan memiliki keragu-raguan sehubungan dengan ajaran-ajaran.

“Oleh karena itu, bhikkhu, engkau harus berlatih sebagai berikut: (1) ‘Aku akan terjaga dalam pintu-pintu organ indria, (2) makan secukupnya, (3) dan menekuni keawasan; (4) aku akan memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat (5) dan akan berdiam dalam usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap awal dan akhir malam hari.’ Adalah dengan cara ini, bhikkhu, engkau harus berlatih.”

Kemudian, setelah menerima nasihat demikian dari Sang Bhagavā, bhikkhu itu bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama bhikkhu itu merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant.

Kemudian, setelah mencapai Kearahattaan, bhikkhu itu mendatangi penahbisnya dan berkata: “Bhante, tubuhku sekarang tidak lagi terasa seolah-olah terbius, aku tidak menjadi kebingungan, dan ajaran-ajaran menjadi jelas bagiku. Ketumpulan dan kantuk tidak menguasai pikiranku. Aku menjalani kehidupan spiritual dengan gembira dan tidak memiliki keragu-raguan sehubungan dengan ajaran-ajaran.”<1057>

Kemudian sang penahbis membawa muridnya menghadap Sang Bhagavā. [71] Ia bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang dikatakan oleh muridnya. [Sang Bhagavā berkata:]

“Demikianlah, bhikkhu! Ketika seseorang terjaga dalam pintu-pintu organ indria, makan secukupnya, dan menekuni keawasan; ketika ia memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat dan berdiam dalam usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap awal dan akhir malam hari, ṃaka tubuh seseorang tidak terasa seolah-olah terbius, ia tidak menjadi kebingungan, dan ajaran-ajaran menjadi jelas baginya. Ketumpulan dan kantuk tidak mengusai pikirannya. Ia menjalani kehidupan spiritual dengan gembira dan tidak memiliki keragu-raguan sehubungan dengan ajaran-ajaran.


“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: (1) ‘Kami akan terjaga dalam pintu-pintu organ indria, (2) makan secukupnya, (3) dan menekuni keawasan; (4) kami akan memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat (5) dan akan berdiam dalam usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap awal dan akhir malam hari.’ Adalah dengan cara ini, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

57 (7) Tema

“Para bhikkhu, ada lima tema ini yang harus sering kali direnungkan oleh seorang perempuan atau laki-laki, oleh seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian.<1058> Apakah lima ini? (1) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada usia tua; aku tidak terbebas dari usia tua.’ (2) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk penyakit; aku tidak terbebas dari penyakit.’ (3) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada kematian; aku tidak terbebas dari kematian.’ (4) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan [72] sebagai berikut: ‘Aku pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang kusukai dan kusayangi.’<1059> (5) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; aku memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindungku; aku akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang kulakukan.’

(1) “Demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada usia tua; aku tidak terbebas dari usia tua’? Pada masa muda mereka, makhluk-makhluk dimabukkan oleh kemudaan mereka, dan ketika mereka dimabukkan oleh kemudaan mereka maka mereka melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, kemabukan pada kemudaan akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada usia tua; aku tidak terbebas dari usia tua.’

(2) “Dan demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk penyakit; aku tidak terbebas dari penyakit’? Dalam keadaan sehat makhluk-makhluk dimabukkan oleh kesehatan mereka, dan ketika mereka dimabukkan oleh kesehatan mereka maka mereka melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, kemabukan pada kesehatan akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada usia tua; aku tidak terbebas dari usia tua.’

(3) “Dan demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut:: ‘Aku tunduk pada kematian; aku tidak terbebas dari kematian’? Selama masa kehidupan mereka makhluk-makhluk dimabukkan oleh kehidupan mereka, dan ketika mereka dimabukkan oleh kehidupan mereka maka mereka melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, [73] dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, kemabukan pada kehidupan akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada kematian; aku tidak terbebas dari kematian.’

(4) “Dan demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang kusukai dan kusayangi’? Makhluk-makhluk memiliki keinginan dan nafsu sehubungan dengan orang-orang dan benda-benda yang mereka sukai dan sayangi, dan dengan digerakkan oleh nafsu ini maka mereka melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, keinginan dan nafsu sehubungan dengan siapa pun dan apa pun yang disukai dan disayangi akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang kusukai dan kusayangi.’

(5) “Dan demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; aku memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindungku; aku akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang kulakukan’? Orang-orang melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, perbuatan salah demikian akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; aku memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindungku; aku akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang kulakukan.’

(1) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: [74] ‘Aku bukanlah satu-satunya yang tunduk pada usia tua, tidak terbebas dari usia tua. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, tunduk pada usia tua, tidak ada yang terbebas dari usia tua.’ Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.<1060>

(2) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah satu-satunya yang tunduk pada penyakit, tidak terbebas dari penyakit. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, tunduk pada penyakit, tidak ada yang terbebas dari penyakit.’ Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.

(3) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah satu-satunya yang tunduk pada kematian, tidak terbebas dari kematian. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, tunduk pada kematian, tidak ada yang terbebas dari kematian.’ Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.

(4) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah satu-satunya yang pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang disukai dan disayangi. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang disukai dan disayangi.’ Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.

(5) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah satu-satunya yang menjadi pemilik kamma sendiri, pewaris kamma sendiri; yang memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindung; yang akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang dilakukan. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, adalah pemilik kamma mereka sendiri, pewaris kamma mereka sendiri; yang memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindung; yang akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang mereka lakukan.’ [75] Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.

   “Kaum duniawi tunduk pada penyakit,<1061>
   Usia tua, dan kematian adalah menjijikkan
   [bagi orang-orang lain] yang ada
   Sesuai dengan sifatnya

   “Jika aku menjadi jijik
   Pada makhluk-makhluk yang memiliki sifat demikian,
   Maka itu tidaklah selayaknya bagiku
   Karena aku juga memiliki sifat yang sama.

   “Sewaktu aku berdiam demikian,
   Setelah mengetahui kondisi tanpa perolehan,
   Aku mengatasi segala kemabukan –
   Kemabukan pada kesehatan,
   Pada kemudaan, dan pada kehidupan –
   Setelah melihat keamanan dalam pelepasan keduniawian.<1062>

   “Kemudian semangat muncul dalam diriku
   Ketika aku dengan jelas melihat nibbāna.
   Sekarang aku tidak mampu lagi
   Menikmati kenikmatan-kenikmatan indria.
   Dengan mengandalkan kehidupan spiritual,
   Aku tidak akan pernah berbalik lagi.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #11 on: 12 March 2013, 02:23:29 AM »
58 (8 ) Pemuda Licchavi

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, dan memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Setelah berjalan menerima dana makanan di Vesālī, setelah makan, ketika Beliau telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Beliau memasuki Hutan Besar dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

Pada saat itu sejumlah pemuda Licchavi membawa busur mereka dan sedang berjalan-jalan di Hutan Besar, disertai oleh sekumpulan anjing, ketika mereka melihat Sang Bhagavā duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Ketika mereka melihat Beliau, mereka meletakkan busur mereka, mengusir anjing-anhing ke satu sisi, dan mendatangi Beliau. Mereka bersujud kepada Sang Bhagavā [76] dan berdiri diam mengawasi Beliau sambil merangkapkan tangan sebagai penghormatan.

Pada saat itu Mahānāma pemuda Licchavi sedang berjalan-jalan untuk berolah-raga di Hutan Besar ketika ia melihat para pemuda Licchavi berdiri diam mengawasi Beliau sambil merangkapkan tangan sebagai penghormatan. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan mengucapkan ucapan inspiratif ini: “Mereka akan menjadi Vajji! Mereka akan menjadi Vajji!”

[Sang Bhagava berkata:] “Tetapi mengapakah, Mahānāma, engkau mengatakan: ‘Mereka akan menjadi Vajji! Mereka akan menjadi Vajji!’?”

“Para pemuda Licchavi ini, Bhante, bengis, kasar, dan kurang ajar. Mereka selalu merampas manisan apa pun yang disisakan sebagai pemberian di antara keluarga-keluarga, apakah tebu, buah jujube, kue, pai, atau kembang gula, dan kemudian mereka memakannya. Mereka memukul punggung para perempuan dan gadis-gadis dari keluarga-keluarga terhormat.<1063> Sekarang mereka berdiri diam mengawasi Sang Bhagavā sambil merangkapkan tangan sebagai penghormatan.”

“Mahānāma, dalam anggota keluarga mana pun juga terdapat lima kualitas ini – apakah ia adalah seorang raja khattiya yang sah, seorang laki-laki terhormat, jenderal dari suatu bala tentara, kepala desa, kepala kelompok pekerja, atau salah satu di antara mereka yang memimpin berbagai suku – hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, [77] dan memuliakan orang tuanya. Orang tuanya, karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika orang tua seorang anggota keluarga berbelas kasihan padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

(2) “Kemudian, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, dan memuliakan istri dan anak-anaknya, para budak, pekerja dan pelayannya. Karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, mereka akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika istri dan anak-anak seorang anggota keluarga, para budak, pekerja dan pelayannya berbelas kasihan padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

(3) “Kemudian, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, dan memuliakan para pemilik lahan tetangga dan mereka yang kepadanya ia melakukan bisnis.<1064> Karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, mereka akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika para pemilik lahan tetangga dan mereka yang kepadanya ia melakukan bisnis berbelas kasihan padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

(4) “Kemudian, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, dan memuliakan para dewata yang diberikan pengorbanan.<1065> Karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, mereka akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika para dewata yang diberikan pengorbanan berbelas kasihan padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

(5) “Kemudian, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, dan memuliakan para petapa dan brahmana. Karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, mereka akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika para petapa dan brahmana berbelas kasihan [78] padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

“Mahānāma, dalam anggota keluarga mana pun juga terdapat kelima kualitas ini – apakah ia adalah seorang raja khattiya yang sah, seorang laki-laki terhormat, jenderal dari suatu bala tentara, kepala desa, kepala kelompok pekerja, atau salah satu di antara mereka yang memimpin berbagai suku – hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.”

   Ia selalu melakukan tugasnya terhadap orang tuanya;
   Ia memajukan kesejahteraan istri dan anak-anaknya.
   Ia mengurus orang-orang di rumahnya
   Dan mereka yang hidup dengan bergantung padanya.

   Orang bijaksana, murah hati dan bermoral,
   Bertindak demi kebaikan kedua jenis sanak saudara,
   Mereka yang telah meninggal dunia
   Dan mereka yang masih hidup di dunia ini.

   [Ia memberi keuntungan] kepada para petapa dan brahmana,
   Dan [juga] para dewata;
   Ia adalah seorang yang memberikan kegembiraan
   Selagi menjalani kehidupan yang baik di rumah.

   Setelah melakukan apa yang baik,
   Ia layak dimuliakan dan dipuji.
   Mereka memujinya di sini di dunia ini
   Dan setelah kematian ia bergembira di surga.

59 (9) Meninggalkan Keduniawian di Usia Tua (1)

“Para bhikkhu, adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua yang memiliki lima kualitas ini. Apakah lima ini? Adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua (1) yang cerdik; (2) yang memiliki tingkah laku selayaknya; (3) yang terpelajar; (4) yang dapat membabarkan Dhamma; dan (5) yang ahli dalam disiplin. Adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua yang memiliki kelima kualitas ini.”

60 (10) Meninggalkan Keduniawian di Usia Tua (2)

“Para bhikkhu, adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua yang memiliki lima kualitas ini. Apakah lima ini? Adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua (1) yang mudah diperbaiki; [79] (2) yang mengingat dengan baik apa yang telah ia pelajari; (3) yang menerima ajaran dengan penuh hormat; (4) yang dapat membabarkan Dhamma; dan (5) yang ahli dalam disiplin. Adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua yang memiliki kelima kualitas ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #12 on: 12 March 2013, 02:23:55 AM »
II. PERSEPSI

61 (1) Persepsi (1)
   
“Para bhikkhu, lima persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi bahaya, persepsi kejijikan pada makanan, dan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.<1066> Kelima persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.”

62 (2) Persepsi (2)

“Para bhikkhu, lima persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi tanpa-diri, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, dan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.<1067> Kelima persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.”

63 (3) Pertumbuhan (1)

“Para bhikkhu, dengan tumbuh dalam lima cara, seorang siswa mulia laki-laki tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti kehidupan ini dan yang terbaik dari kehidupan ini. Apakah lima ini? Ia tumbuh dalam keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Dengan tumbuh dalam kelima cara ini, seorang siswa mulia laki-laki tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti kehidupan ini dan yang terbaik dari kehidupan ini.

   Ia yang tumbuh dalam keyakinan dan perilaku bermoral,
   Dalam kebijaksanaan, kedermawanan, dan pembelajaran –
   Laki-laki unggul yang arif demikian
   Menyerap untuk dirinya inti kehidupan ini.

64 (3) Pertumbuhan (2)

“Para bhikkhu, dengan tumbuh dalam lima cara, seorang siswa mulia perempuan tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti kehidupan ini dan yang terbaik dari kehidupan ini. Apakah lima ini? Ia tumbuh dalam keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Dengan tumbuh dalam kelima cara ini, seorang siswa mulia perempuan tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti kehidupan ini dan yang terbaik dari kehidupan ini.

   Ia yang tumbuh dalam keyakinan dan perilaku bermoral,
   Dalam kebijaksanaan, kedermawanan, dan pembelajaran –
   Umat awam perempuan yang bermoral demikian
   Menyerap untuk dirinya inti kehidupan ini. [81]

65 (5) Diskusi

“Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki lima kualitas, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk berdiskusi dengannya. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan perilaku bermoral. (2) Ia sendiri sempurna dalam konsentrasi, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan konsentrasi. (3) Ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebijaksanaan. (4) Ia sendiri sempurna dalam kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebebasan. (5) Ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Jika seorang bhikkhu memiliki kelima kualitas ini, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk berdiskusi dengannya.”

66 (6) Gaya Hidup

“Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki lima kualitas, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk menetap bersama dengannya.<1068> Apakah lima ini? ? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan perilaku bermoral. (2) Ia sendiri sempurna dalam konsentrasi, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan konsentrasi. (3) Ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebijaksanaan. (4) Ia sendiri sempurna dalam kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebebasan. (5) Ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Jika seorang bhikkhu memiliki kelima kualitas ini, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk menetap bersama dengannya.”

67 (7) Landasan Kekuatan Batin (1)

“Para bhikkhu, jika bhikkhu atau bhikkhunī mana pun mengembangkan dan melatih lima hal, maka satu di antara dua buah menantinya: [82] apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, kondisi yang-tidak-kembali. Apakah lima ini?

“(1) Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (2) Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (3) mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas-aktivitas berusaha. (4) mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas-aktivitas berusaha.<1069> (5) Semangat itu sendiri sebagai yang ke lima.<1070>

“Jika bhikkhu atau bhikkhunī mana pun mengembangkan dan melatih kelima hal ini, maka satu di antara dua buah menantinya: apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, kondisi yang-tidak-kembali.”

68 (8 ) Landasan Kekuatan Batin (2)

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih seorang bodhisatta, belum tercerahkan sempurna, Aku mengembangkan dan melatih lima hal. Apakah lima ini?

“(1) Aku mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (2) Aku mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (3) Aku mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas-aktivitas berusaha. (4) Aku mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (5) Semangat itu sendiri sebagai yang ke lima.

“Karena Aku telah mengembangkan dan melatih hal-hal ini dengan semangat sebagai yang ke lima, maka jika ada landasan yang sesuai, Aku mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke mana Aku mengarahkan pikiranKu.

“Jika Aku menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak … [seperti pada 5:23] …  semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ Aku mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai … [seperti pada 5:23]

“Jika Aku menghendaki: [83] ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ Aku mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”

69 (9) Kekecewaan

“Para bhikkhu, kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah hanya menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju nibbāna. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia telah menegakkan dengan baik persepsi kematian secara internal. Kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah hanya menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju nibbāna.”

70 (10) Hancurnya Noda-Noda

“Para bhikkhu, kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah menuju hancurnya noda-noda. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia telah menegakkan dengan baik persepsi kematian secara internal. Kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah menuju hancurnya noda-noda.” [84]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #13 on: 12 March 2013, 02:24:17 AM »
III. BAHAYA MASA DEPAN

71 (1) Kebebasan Pikiran (1)

“Para bhikkhu, lima hal ini, ketika dikembangkan dan dilatih, memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; lima hal ini memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.<1071> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia telah menegakkan dengan baik persepsi kematian secara internal. Kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; kelima hal ini memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; kelima hal ini memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.

“Ketika seorang bhikkhu terbebaskan dalam pikiran dan terbebaskan melalui kebijaksanaan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah menyingkirkan palang penghalang, telah menimbun parit, telah mencabut tiang, tanpa pasak, seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas.<1072>

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menyingkirkan palang penghalang? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan ketidak-tahuan, memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah menyingkirkan palang penghalang.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah menimbun parit? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan pengembaraan dalam kelahiran yang membawa penjelmaan baru; ia memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah menimbun parit.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencabut tiang? [85] Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan ketagihan; memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah mencabut tiang.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah tanpa pasak? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah tanpa pasak.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan keangkuhan ‘aku,’ memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas.”

72 (2) Kebebasan Pikiran (2)

“Para bhikkhu, lima hal ini, ketika dikembangkan dan dilatih, memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; lima hal ini memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan di dalam apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, persepsi kebosanan.<1073> Kelima hal ini memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; kelima hal ini memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.

“Ketika seorang bhikkhu terbebaskan dalam pikiran dan terbebaskan melalui kebijaksanaan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah menyingkirkan palang penghalang, telah menimbun parit, telah mencabut tiang, tanpa pasak, seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menyingkirkan palang penghalang … [seluruhnya sama seperti pada 5:71, hingga:] [86] … Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas.”

73 (3) Seorang yang Berdiam dalam Dhamma (1)

Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Dikatakan, Bhante, ‘seorang yang berdiam dalam Dhamma, seorang yang berdiam dalam Dhamma.’<1074> Dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang berdiam dalam Dhamma?”

(1) “Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia melewatkan hari dengan mempelajari Dhamma tetapi mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pembelajaran, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma. [87]

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari. Ia melewatkan hari dengan mengkomunikasikan Dhamma<1075> tetapi mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam komunikasi, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari. Ia melewatkan hari dengan melafalkan Dhamma tetapi mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pelafalan, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan, memeriksa, dan menyelidiki Dhamma dalam pikiran seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari. Ia melewatkan hari dengan memikirkan tentang Dhamma tetapi mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pemikiran, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(5) “Di sini, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma - khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia tidak melewatkan hari [hanya] dengan mempelajari Dhamma. Ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal.<1076> Dengan cara inilah seorang bhikkhu disebut seorang yang berdiam dalam Dhamma.

“Demikianlah, bhikkhu, Aku telah mengajarkan tentang seorang yang tenggelam dalam pembelajaran, seorang yang tenggelam dalam komunikasi, seorang yang tenggelam dalam pelafalan, seorang yang tenggelam dalam pemikiran, dan seorang yang berdiam dalam Dhamma. Apa pun yang harus dilakukan oleh seorang guru yang berbelas kasihan demi belas kasihan kepada para siswanya, mengusahakan kesejahteraan mereka, telah Aku lakukan untukmu. Ada bawah pepohonan ini, ada gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, bhikkhu, jangan lalai. Jangan sampai menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.” [88]

74 (4) Seorang yang Berdiam dalam Dhamma (2)

Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Dikatakan, Bhante, ‘seorang yang berdiam dalam Dhamma, seorang yang berdiam dalam Dhamma.’ Dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang berdiam dalam Dhamma?”

(1) “Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia tidak pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan.<1077> Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pembelajaran, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari, tetapi ia tidak pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam komunikasi, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari, tetapi ia tidak pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pelafalan, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari tetapi ia tidak pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pemikiran, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(5) “Di sini, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma - khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu disebut seorang yang berdiam dalam Dhamma.

“Demikianlah, bhikkhu, Aku telah mengajarkan tentang seorang yang tenggelam dalam pembelajaran, [89] seorang yang tenggelam dalam komunikasi, seorang yang tenggelam dalam pelafalan, seorang yang tenggelam dalam pemikiran, dan seorang yang berdiam dalam Dhamma. Apa pun yang harus dilakukan oleh seorang guru yang berbelas kasihan demi belas kasihan kepada para siswanya, mengusahakan kesejahteraan mereka, telah Aku lakukan untukmu. Ada bawah pepohonan ini, ada gubuk-gubuk kosong. Bermeditasilah, bhikkhu, jangan lalai. Jangan sampai menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

75 (5) Prajurit (1)

“Para bhikkhu, ada lima jenis prajurit ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang prajurit, ketika melihat awan debu,<1078> ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit pertama yang terdapat di dunia.

(2) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke dua yang terdapat di dunia.

(3) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke tiga yang terdapat di dunia.

(4) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke empat yang terdapat di dunia.

(5) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, hiruk-pikuk, [90] dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke lima yang terdapat di dunia.

“Ini adalah kelima jenis prajurit itu yang terdapat di dunia.

“Demikian pula, ada lima jenis orang ini yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu, ketika ia melihat awan debu, merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah.<1079> Apakah awan debu dalam hal ini? Bhikkhu itu mendengar: ‘Di suatu desa atau pemukiman terdapat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa.’ Setelah mendengar hal ini, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah awan debu dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang, ketika ia melihat awan debu, merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis pertama yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah panji-panji dalam hal ini? Bhikkhu itu tidak mendengar: ‘Di suatu desa atau pemukiman terdapat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa.’ Tetapi ia sendiri melihat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. Setelah melihatnya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan [91] tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah panji-panji dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke dua yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah hiruk-pikuk dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, tersenyum kepadanya, berbincang-bincang dengannya, tertawa padanya, dan menggodanya. Ketika perempuan itu tersenyum kepadanya, berbincang-bincang dengannya, tertawa padanya, dan menggodanya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah hiruk-pikuk dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke tiga yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu dan panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Apakah serangan dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, [92] atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, duduk atau berbaring di sebelahnya, dan merangkulnya. Ketika ia melakukan hal itu, bhikkhu itu melakukan hubungan seksual dengannya tanpa meninggalkan latihan dan mengungkapkan kelemahannya. Ini adalah serangan dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu dan panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke empat yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(5) Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu dan panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Apakah kemenangan dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, duduk atau berbaring di sebelahnya, dan merangkulnya. Tetapi ia melepaskan dirinya, membebaskan dirinya, dan pergi ke mana pun yang ia kehendaki.

“Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan pegunungan, ruang terbuka, tumpukan jerami. Setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kerinduan; ia memurnikan pikirannya dari kerinduan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran bebas dari niat buruk, berbelas kasihan pada semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Setelah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, ia berdiam dengan bebas dari ketumpulan dan kantuk, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih. Setelah meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa gejolak, dengan pikiran damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Setelah meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, [93] tidak bingung sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahaun hancurnya noda-noda.<1080> Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’ Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’ Ini adalah kemenangan dalam pertempuran.

“Para bhikkhu, Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu dan panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke lima yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

“Ini adalah kelima jenis orang itu yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #14 on: 12 March 2013, 02:25:26 AM »
76 (6) Prajurit (2)

“Para bhikkhu, ada lima jenis prajurit ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, [94] mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya membunuhnya dan menewaskannya. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit pertama yang terdapat di dunia.

(2) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sewaktu ia sedang dibawa kepada sanak saudaranya, ia meninggal dunia dalam perjalanan sebelum sampai di sana. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke dua yang terdapat di dunia.

(3) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sanak saudaranya mengobatinya dan merawatnya, tetapi ketika mereka sedang melakukan hal itu ia meninggal dunia karena lukanya. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke tiga yang terdapat di dunia.

(4) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sanak saudaranya mengobatinya dan merawatnya, dan sebagai akibatnya ia sembuh dari luka itu. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke empat yang terdapat di dunia.

(5) ) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang [95] dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke lima yang terdapat di dunia.

“Ini adalah kelima jenis prajurit itu yang terdapat di dunia.

“Demikian pula, ada lima jenis orang ini yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan, dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terjaga, tanpa menegakkan perhatian, organ-organ indrianya tidak terkendali. Di sana ia melihat para perempuan dengan pakaian berantakan dan terbuka. Ketika ia melihat mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia melakukan hubungan seksual tanpa mengungkapkan kelemahannya dan tanpa meninggalkan latihan. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, [94] mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya membunuhnya dan menewaskannya. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis pertama yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … [dan] nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara [96] dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Sewaktu ia berjalan kembali ke vihara, bahkan sebelum sampai, ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah dalam perjalanan itu. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat dan dibawa kepada sanak saudaranya tetapi meninggal dunia dalam perjalanan bahkan sebelum sampai. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke dua yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … [dan] nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Ia kembali ke vihara dan memberitahu para bhikkhu: ‘Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Teman-temannya para bhikkhu menasihatinya dan mengajarinya: [97] ‘Teman, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi.<1081> Dengan perumpaan tulang-belulang Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang pinjaman … dengan perumpamaan buah-buahan di atas pohon … dengan perumpamaan pisau dan papan pemotong tukang daging … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Nikmatilah kehidupan spiritual. Jangan berpikir bahwa engkau tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Sewaktu ia sedang dinasihati dan diajari oleh teman-temannya para bhikkhu dengan cara ini, ia membantah: ‘Teman-teman, walaupun Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi, tetap saja, aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Setelah mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat [98] dan dibawa kepada sanak saudaranya, yang mengobati dan merawatnya, tetapi meninggal dunia karena luka itu. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke tiga yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Ia kembali ke vihara dan memberitahu para bhikkhu: ‘Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Teman-temannya para bhikkhu menasihatinya dan mengajarinya: ‘Teman, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Dengan perumpaan tulang-belulang … [99] … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Nikmatilah kehidupan spiritual. Jangan berpikir bahwa engkau tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Sewaktu ia sedang dinasihati dan diajari oleh teman-temannya para bhikkhu dengan cara ini, ia berkata: ‘Aku akan berusaha, teman-teman, aku akan melanjutkan, aku akan menikmatinya. Aku tidak akan berpikir bahwa aku tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat dan dibawa kepada sanak saudaranya, yang mengobati dan merawatnya, dan yang kemudian sembuh dari luka itu. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke empat yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan dengan jasmani, ucapan, dan pikiran terjaga, dengan perhatian ditegakkan, dan organ-organ indrianya terkendali.  Setelah melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan akan dapat menyerangnya, ia berlatih mengekangnya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah medengar suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapain dengan lidah … [100] … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan akan dapat menyerangnya, ia berlatih mengekangnya; ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia mendatangi tempat tinggal terasing: : hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan pegunungan, ruang terbuka, tumpukan jerami. Setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia … [seperti pada 5:75] … ; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahaun hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’ Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, dan setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke lima yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

“Ini adalah kelima jenis orang itu yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu.”

77 (7) Bahaya Masa Depan (1)

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu hutan mempertimbangkan lima bahaya masa depan, cukuplah baginya untuk berdiam dengan waspada, teguh, [101] dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi sewaktu aku sedang menetap di sini, seekor ular mungkin memggigitku, seekor kalajengking mungkin menyengatku, seekor lipan mungkin menyengatku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan pertama yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi sewaktu aku sedang menetap di sini, aku mungkin tersandung dan terjatuh, atau makanan yang kumakan mungkin membahayakanku, atau empedu atau dahak atau angin tajam mungkin bergejolak dalam tubuhku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi sewaktu aku sedang menetap di sini, aku mungkin bertemu dengan binatang-binatang buas, seperti singa, harimau, macan, beruang, atau dubuk, dan binatang-binatang itu mungkin membunuhku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, [102] yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi sewaktu aku sedang menetap di sini, aku mungkin bertemu dengan penjahat yang sedang melarikan diri dari suatu kejahatan atau yang sedang merencanakan suatu kejahatan dan mereka mungkin membunuhku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi di dalam hutan ini terdapat makhluk-makhluk halus yang buas,<1082> dan mereka mungkin membunuhku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya masa depan itu yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.” [103]


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #15 on: 12 March 2013, 02:25:38 AM »
78 (8 ) Bahaya Masa Depan (2)

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu hutan mempertimbangkan lima bahaya masa depan, cukuplah baginya untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan. Tetapi akan tiba saatnya ketika usia tua menyerang tubuh ini. Ketika seseorang sudah tua, dikuasai oleh usia tua, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun aku sudah tua.’ Ini adalah bahaya masa depan pertama yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku jarang sakit atau menderita; aku memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha. Tetapi akan tiba saatnya ketika penyakit menyerang tubuh ini. Ketika seseorang sakit, dikuasai oleh penyakit, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [104] Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun aku sakit.’ Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang ada cukup makanan; telah ada panen yang baik dan dana makanan berlimpah, sehingga seseorang dapat dengan mudah bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi bencana kelaparan, panen yang buruk, ketika dana makanan sulit diperoleh dan seseorang tidak dapat dengan mudah bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit. Pada masa bencana kelaparan, orang-orang pindah ke tempat-tempat di mana tersedia cukup makanan dan kondisi kehidupan di sana padat dan ramai. Ketika kondisi kehidupan padat dan ramai, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman bahkan dalam masa bencana kelaparan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(4) ) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang orang-orang berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi marabahaya, pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, dan ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah. Pada masa bahaya, orang-orang pindah ke tempat-tempat di mana terdapat keamanan dan kondisi kehidupan di sana padat dan ramai. [105] Ketika kondisi kehidupan padat dan ramai, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman bahkan dalam masa bahaya.’ Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(5) ) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang Saṅgha berdiam dalam kenyamanan – dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, dengan pembacaan tunggal. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha. Ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara. Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun terjadi perpecahan dalam Saṅgha.’ Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya masa depan itu yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.”

79 (9) Bahaya Masa Depan (3)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya masa depan ini yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya [106] dan berusaha untuk meninggalkannya. Apakah lima ini?

(1) “Di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan.<1083> Mereka akan memberikan penahbisan penuh kepada orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Pada gilirannya mereka akan memberikan penahbisan penuh kepada orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma.<1084> Ini adalah bahaya masa depan pertama yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(2) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka akan menjadi tempat bergantung<1085> bagi orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Pada gilirannya mereka akan menjadi tempat bergantung bagi orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya. [107]

(3) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Sewaktu terlibat dalam pembicaraan yang berhubungan dengan Dhamma, dalam pertanyaan-dan-jawaban,<1086> mereka akan tergelincir ke dalam Dhamma gelap tetapi tidak menyadarinya. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(4) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata sedang diulangi yang mendalam, dengan makna yang mendalam, melampaui keduniawian, berhubungan dengan kekosongan, mereka tidak ingin mendengarkannya, tidak menyimaknya, atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu seharusnya dipelajari dan diketahui.<1087> Tetapi ketika khotbah-khotbah yang sedang diulang itu hanya sekedar puisi yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata dan frasanya, diciptakan oleh pihak luar; dibabarkan oleh para siswa, mereka ingin mendengarkannya, menyimaknya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka akan berpikir bahwa ajaran-ajaran itu seharusnya dipelajari dan diketahui. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(5) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, [108] dan kebijaksanaan. Para bhikkhu senior – karena tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan – akan hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak akan membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikankan apa-yang-belum-direalisasikan. Mereka dalam generasi berikutnya akan mengikuti teladan mereka. Mereka juga, akan hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak akan membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya masa depan itu yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.”

80 (10) Bahaya Masa Depan (4)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya masa depan ini yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya. Apakah lima ini?

(1) “Di masa depan, akan ada para bhikkhu yang menginginkan jubah yang baik. Mereka akan berhenti menggunakan jubah potongan kain, berhenti bertempat tinggal di tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara, dan setelah berkumpul di desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar, akan menetap di sana; dan mereka akan terlibat dalam banyak jenis pencarian yang salah dan tidak selayaknya demi sehelai jubah. Ini adalah bahaya masa depan pertama yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya. [109]

(2) “Kemudian, di masa depan akan ada para bhikkhu yang menginginkan makanan yang baik. Mereka akan berhenti melakukan perjalanan menerima dana makanan, berhenti bertempat tinggal di tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara, dan setelah berkumpul di desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar, akan menetap di sana; mencari makanan-makanan lezat terbaik dengan ujung lidah mereka; dan mereka akan terlibat dalam banyak jenis pencarian yang salah dan tidak selayaknya demi makanan. Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(3) “Kemudian, di masa depan akan ada para bhikkhu yang menginginkan tempat tinggal yang baik. Mereka akan berhenti berdiam di bawah pohon, akan berhenti bertempat tinggal di tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara, dan setelah berkumpul di desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar, akan menetap di sana; dan mereka akan terlibat dalam banyak jenis pencarian yang salah dan tidak selayaknya demi tempat tinggal. Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(4) “Kemudian, di masa depan akan ada para bhikkhu yang berhubungan erat dengan para bhikkhunī, para perempuan yang dalam masa percobaan, dan para samaṇerī.<1088> Ketika mereka membentuk hubungan demikian, dapat diharapkan bahwa mereka akan menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas, melakukan pelanggaran kotor tertentu,<1089> atau meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

(5) “Kemudian, di masa depan akan ada para bhikkhu yang berhubungan erat dengan para pekerja vihara dan para samaṇera. Ketika mereka membentuk hubungan demikian, dapat diharapkan bahwa mereka akan terlibat dalam penggunaan berbagai jenis barang-barang simpanan [110] dan memberikan isyarat nyata sehubungan dengan tanah dan tanaman.<1090> Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya masa depan itu yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #16 on: 12 March 2013, 02:26:03 AM »
IV. SENIOR

81 (1) Merangsang Nafsu

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia penuh dengan nafsu terhadap apa yang merangsang nafsu; (2) ia penuh dengan kebencian terhadap apa yang merangsang kebencian; (3) ia terdelusi oleh apa yang mendelusikan; (4) ia bergejolak oleh apa yang menggejolakkan; (5) dan ia dimabukkan oleh apa yang memabukkan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? [111] (1) Ia tidak penuh dengan nafsu terhadap apa yang merangsang nafsu; (2) ia tidak penuh dengan kebencian terhadap apa yang merangsang kebencian; (3) ia tidak  terdelusi oleh apa yang mendelusikan; (4) ia tidak bergejolak oleh apa yang menggejolakkan; (5) dan ia tidak dimabukkan oleh apa yang memabukkan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka.”

82 (2) Hampa dari Nafsu

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia tidak hampa dari nafsu; ia tidak hampa dari kebencian; ia tidak hampa dari delusi; ia merendahkan; dan ia kurang ajar. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia hampa dari nafsu; ia hampa dari kebencian; ia hampa dari delusi; ia tidak merendahkan; dan ia tidak kurang ajar. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.”

83 (3) Seorang Pengatur Siasat

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia adalah seorang pengatur siasat, seorang penyanjung, seorang pemberi isyarat, seorang yang meremehkan, dan seorang yang mengejar perolehan dengan perolehan.<1091> Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta tidak dihargai oleh mereka. [112]

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia bukanlah seorang pengatur siasat, bukan seorang penyanjung, bukan seorang pemberi isyarat, bukan seorang yang meremehkan, dan bukan seorang yang mengejar perolehan dengan perolehan. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.”

84 (4) Hampa dari Keyakinan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, memiliki moralitas yang sembrono, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, memiliki rasa takut bermoral, bersemangat, dan bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.”

85 (5) Tidak Dapat dengan Sabar Menahankan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior tidak disukai dan tidak disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, suara-suara, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. [113] Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, suara-suara, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.

86 (6) Pengetahuan Analitis

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? Ia telah mencapai pengetahuan analitis pada makna, pengetahuan analitis pada Dhamma, pengetahuan analitis pada bahasa, pengetahuan analitis pada pemahaman,<1092> dan ia terampil dan rajin dalam melakukan berbagai tugas yang harus dilakukan pada teman-temannya para bhikkhu; ia memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar. Dengan memiliki kelima kualitas ini … serta dihargai oleh mereka.

87 (7) Moralitas

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini?

(1) “Ia bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalan pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya.

(2) “Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, [114] dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar,<1093> yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.

(3) “Ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik, ia memiliki ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna.

(4) “Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini.

(5) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu, dan dihormati serta dihargai oleh mereka.”

88 (8 ) Seorang Senior

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu senior bertindak untuk bahaya banyak orang, untuk ketidak-bahagiaan banyak orang, untuk kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Apakah lima ini?

“(1) Seorang senior yang telah lama menjadi bhikkhu dan telah lama meninggalkan keduniawian. (2) ia terkenal dan termasyhur dan memiliki banyak pengikut, termasuk para perumah tangga dan kaum monastik. (3) Ia memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. (4) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, [114] dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.<1094> (5) Ia menganut pandangan salah dan memiliki perspektif menyimpang.

“Ia mengalihkan banyak orang dari Dhamma sejati dan mengokohkan mereka dalam Dhamma palsu. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu telah lama menjadi bhikkhu dan telah lama meninggalkan keduniawian,’ [115] mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu terkenal dan termasyhur dan memiliki banyak pengikut, termasuk para perumah tangga dan kaum monastik,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari,’ mereka mengikuti teladannya.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior bertindak untuk bahaya banyak orang, untuk ketidak-bahagiaan banyak orang, untuk kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu senior bertindak untuk kesejahteraan banyak orang, untuk kebahagiaan banyak orang, untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Apakah lima ini?

“(1) Seorang senior yang telah lama menjadi bhikkhu dan telah lama meninggalkan keduniawian. (2) ia terkenal dan termasyhur dan memiliki banyak pengikut, termasuk para perumah tangga dan kaum monastik. (3) Ia memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. (4) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal … ia telah menembusnya dengan baik melalui pandangan. (5) Ia menganut pandangan benar dan memiliki perspektif yang benar.

“Ia mengalihkan banyak orang dari Dhamma palsu dan mengokohkan mereka dalam Dhamma sejati. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu telah lama menjadi bhikkhu dan telah lama meninggalkan keduniawian,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu ia terkenal dan termasyhur dan memiliki banyak pengikut, termasuk para perumah tangga dan kaum monastik,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit,’ mereka mengikuti teladannya. Dengan berpikir, ‘Bhikkhu senior itu telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari,’ mereka mengikuti teladannya.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior bertindak untuk kesejahteraan banyak orang, untuk kebahagiaan banyak orang, [116] untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.”

89 (9) Seorang yang Masih Berlatih (1)

“Para bhikkhu, kelima kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah lima ini? Kesenangan dalam bekerja, kesenangan dalam berbicara, kesenangan dalam tidur, dan kesenangan dalam pergaulan; dan ia tidak meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan.<1095> Kelima kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Para bhikkhu, kelima kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah lima ini? Ketidak-senangan dalam bekerja, ketidak-senangan dalam berbicara, ketidak-senangan dalam tidur, dan ketidak-senangan dalam pergaulan; dan ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Kelima kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.”<1096>

90 (10) Seorang yang Masih Berlatih (2)

“Para bhikkhu, kelima kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu yang masih berlatih memiliki banyak tugas dan kewajiban dan kompeten dalam berbagai pekerjaan yang harus dilakukan, ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal pertama yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih melewatkan hari dengan melakukan pekerjaan remeh, ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran [117] internal. Ini adalah hal ke dua yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih berhubungan erat dengan para perumah tangga dan kaum monastik, bersosialisasi dalam cara yang tidak pantas selayaknya para umat awam,<1097> ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih memasuki desa terlalu awal dan kembali terlalu terlambat di siang hari, ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke empat yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak mendengarkan sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, pembicaraan yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang mendukung terbukanya pikiran, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, tentang keterasingan, tentang ketidak-terlibatan dengan [orang-orang lain], tentang pembangkitan kegigihan, tentang perilaku bermoral, tentang konsentrasi, tentang kebijaksanaan, tentang kebebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan; ia mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke lima yang mengarah menuju menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Kelima kualitas ini mengarah menuju kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Para bhikkhu, kelima kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak memiliki banyak tugas dan kewajiban; walaupun ia kompeten dalam berbagai pekerjaan yang harus dilakukan; ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal pertama yang mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak melewatkan hari dengan melakukan pekerjaan remeh, ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke dua yang mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak  berhubungan erat dengan para perumah tangga dan kaum monastik, tidak bersosialisasi dalam cara yang tidak pantas selayaknya para umat awam, ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. [118] Ini adalah hal ke tiga yang mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih tidak memasuki desa terlalu awal dan tidak kembali terlalu terlambat di siang hari, ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke empat yang mengarah menuju menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu yang masih berlatih mendengarkan sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, pembicaraan yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang mendukung terbukanya pikiran, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit …  tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan; ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal. Ini adalah hal ke lima yang mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Kelima kualitas ini mengarah menuju ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #17 on: 12 March 2013, 02:26:24 AM »
V. KAKUDHA

91 (1) Penyempurnaan (1)

“Para bhikkhu, ada lima penyempurnaan ini. Apakah lima ini? Penyempurnaan keyakinan, penyempurnaan perilaku bermoral, penyempurnaan pembelajaran, penyempurnaan kedermawanan, dan penyempurnaan kebijaksanaan. Ini adalah kelima penyempurnaan itu.” [119]

92 (2) Penyempurnaan (2)

“Para bhikkhu, ada lima penyempurnaan ini. Apakah lima ini? Penyempurnaan perilaku bermoral, penyempurnaan konsentrasi, penyempurnaan kebijaksanaan, penyempurnaan kebebasan, dan penyempurnaan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Ini adalah kelima penyempurnaan itu.”

93 (3) Pernyataan

“Para bhikkhu, ada lima pernyataan pengetahuan akhir ini.<1098> Apakah lima ini? (1) Seseorang menyatakan pengetahuan akhir karena ketumpulan dan kebodohannya; (2) seseorang menyatakan pengetahuan akhir karena ia memiliki keinginan jahat dan didorong oleh keinginan; (3) seseorang menyatakan pengetahuan akhir karena gila dan pikirannya terganggu; (4) seseorang menyatakan pengetahuan akhir karena menilai dirinya terlalu tinggi; dan (5) seseorang dengan benar menyatakan pengetahuan akhir. Ini adalah kelima pernyataan pengetahuan akhir itu.”

94 (4) Kediaman yang Nyaman

“Para bhikkhu, ada lima jenis kediaman yang nyaman ini. Apakah lima ini? (1) Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, teraing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … (2) … jhāna ke dua … (3) … jhāna ke tiga … (4) … jhāna ke empat. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah kelima jenis kediaman yang nyaman itu.”

95 (5) Kondisi Yang Tak Tergoyahkan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.<1099> Apakah lima ini? [120] Di sini, seorang bhikkhu telah mencapai pengetahuan analitis pada makna, pngetahuan analitis pada Dhamma, pengetahuan analitis pada bahasa, dan pengetahuan analitis pada pemahaman; dan ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.”

96 (6) Apa yang Telah Dipelajari Seseorang

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu yang mengejar perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki sedikit pekerjaan, sedikit tugas, mudah disokong, dan mudah puas dengan barang-barang kebutuhan hidup. (2) Ia makan sedikit dan bertekad untuk makan secukupnya. (3) Ia jarang mengantuk dan bertekad pada keawasan. (4) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (5) Ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Dengan memiliki kelima hal ini, maka seorang bhikkhu yang mengejar perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.

97 (7) Pembicaraan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki sedikit pekerjaan … (2) Ia makan sedikit … (3) Ia jarang mengantuk … [121] (4) Ia mendengarkan sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, pembicaraan yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang mendukung terbukanya pikiran, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, tentang keterasingan, tentang ketidak-terlibatan dengan [orang-orang lain], tentang pembangkitan kegigihan, tentang perilaku bermoral, tentang konsentrasi, tentang kebijaksanaan, tentang kebebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. (5) Ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Dengan memiliki kelima hal ini, maka seorang bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.

98 (8 ) Seorang Penghuni Hutan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu yang melatih perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki sedikit pekerjaan … (2) Ia makan sedikit … (3) Ia jarang mengantuk … (4) Ia adalah seorang penghuni hutan yang mendatangi tempat-tempat tinggal terpencil. (5) Ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Dengan memiliki lima hal, maka seorang bhikkhu yang melatih perhatian pada pernafasan dalam waktu tidak lama akan menembus kondisi yang tidak tergoyahkan.

99 (9) Singa

“Para bhikkhu, pada malam hari seekor singa, raja binatang buas, keluar dari sarangnya, meregangkan tubuhnya, mengamati empat penjuru sekeliling, dan mengaumkan aumannya tiga kali. Kemudian ia pergi berburu.

(1) “Ketika ia menyerang seekor gajah, ia selalu menyerang dengan hormat, bukan dengan tidak hormat.<1100> (2) Ketika ia menyerang seekor sapi jantan … (3) … seekor sapi betina … (4) … seekor macan tutul … (5) Ketika ia menyerang [122] binatang apa pun yang lebih kecil, bahkan seekor kelinci atau seekor kucing, ia menyerang dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. Karena alasan apakah? [dengan berpikir:] ‘Agar latihanku tidak hilang.’

“Singa, para bhikkhu, adalah sebutan untuk Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ketika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada suatu kumpulan, ini adalah auman singaNya. (1) Ketika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu, Beliau mengajar dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. (2) Ketika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhunī … (3) … kepada umat awam laki-laki … (4) … kepada umat awam perempuan, Beliau mengajar dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. (5) Ketika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada kaum duniawi, bahkan kepada para pembawa-makanan atau para pemburu,<1101>Beliau mengajar dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. Karena alasan apakah? Karena Sang Tathāgata menghormati Dhamma, memuliakan Dhamma.”

100 (10) Kakudha

Demikianlah yang kudengar.<1102> Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Pada saat itu Kakudha putra Koliya, pelayan Yang Mulia Mahāmoggallāna, baru saja meninggal dunia dan terlahir kembali di tengah-tengah kelompok [dewata] dengan tubuh ciptaan pikiran.<1103> Tubuhnya berukuran dua atau tiga kali luas lahan di sebuah desa Magadha, tetapi ia tidak menghalangi dirinya atau yang lainnya dengan tubuhnya itu.<1104>

Kemudian deva muda Kakudha mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna, bersujud kepadanya, berdiri di satu sisi, dan [123] berkata kepadanya: “Bhante, suatu keinginan muncul pada Devadatta: ‘Aku akan memimpin Saṅgha para bhikkhu.’ Dan bersama dengan munculnya pikiran ini, Devadatta kehilangan kekuatan batinnya.”<1105> Ini adalah apa yang dikatakan oleh deva muda Kakudha. Kemudian ia bersujud kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna, mengelilinginya dengan sisi kanannya menghadap Yang Mulia Mahāmoggallāna, dan lenyap dari sana.

“Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan segala yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] “Tetapi, Moggallāna, apakah engkau melingkupi pikirannya dengan pikiranmu dan memahami deva muda Kakudha: ‘Apa pun yang dikatakan oleh deva muda Kakudha semuanya benar dan bukan sebaliknya’?”

“Benar, Bhante.”

“Ingatlah pernyataan ini, Moggallāna! Sekarang orang dungu itu, atas kehendaknya sendiri, mengungkapkan dirinya sendiri.

“Ada, Moggallāna, lima jenis guru ini terdapat di dunia. Apakah lima ini? [124]

(1) “Di sini, seorang guru yang perilakunya tidak murni mengaku: ‘Aku adalah seorang yang perilakunya murni. Perlakuku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun perilakunya tidak murni, tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang perilakunya murni. Perlakuku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’<1106> Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal perilakunya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal perilakunya.

(2) “Kemudian, seorang guru yang penghidupannya tidak murni mengaku: ‘Aku adalah seorang yang penghidupannya murni. Penghidupanku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun penghidupannya tidak murni, tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang penghidupannya murni. Penghidupanku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’ Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal penghidupannya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal penghidupannya.

(3) “Kemudian, seorang guru yang ajaran Dhammanya tidak murni mengaku: ‘Aku adalah seorang yang ajaran Dhammanya murni. Ajaran Dhammaku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun ajaran Dhammanya tidak murni, [125] tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang ajaran Dhammanya murni. Ajaran Dhammaku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’ Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal ajaran Dhammanya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal ajaran Dhammanya.

(4) “Kemudian, seorang guru yang penjelasan-penjelasannya tidak murni<1107> mengaku: ‘Aku adalah seorang yang penjelasan-penjelasannya murni. Penjelasan-penjelasanku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun penjelasan-penjelasannya tidak murni, tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang penjelasan-penjelasannya murni. Penjelasan-penjelasanku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’ Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal penjelasan-penjelasannya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal penjelasan-penjelasannya.

(5) “Kemudian, seorang guru yang pengetahuan dan penglihatannya tidak murni mengaku: ‘Aku adalah seorang yang pengetahuan dan penglihatannya murni. Pengetahuan dan penglihatanku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswanya mengenalinya sebagai berikut: ‘Guru yang terhormat ini, walaupun pengetahuan dan penglihatannya tidak murni, tetapi mengaku: “Aku adalah seorang yang pengetahuan dan penglihatannya murni. Pengetahuan dan penglihatanku murni, bersih, tidak kotor.” Ia akan tidak senang jika kami melaporkan hal ini kepada orang-orang awam. Bagaimana kami dapat memperlakukannya dengan cara yang tidak ia sukai? [126] Lebih jauh lagi, ia dihormati dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Seseorang akan dikenal dengan apa yang ia lakukan.’ Para siswanya melindungi guru demikian dalam hal pengetahuan dan penglihatannya, dan seorang guru demikian mengharapkan agar dilindungi oleh para siswanya dalam hal pengetahuan dan penglihatannya.

“Ini adalah kelima jenis guru itu terdapat di dunia.”

(1) “Tetapi, Moggallāna, Aku adalah seorang yang perilakuNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang perilakuNya murni. PerlakuKu murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal perilakuKu, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal perilakuKu. (2) Aku adalah seorang yang penghidupanNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang penghidupanNya murni. Penghidupanku murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal penghidupanku, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal penghidupanku. (3) Aku adalah seorang yang ajaran DhammaNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang ajaran DhammaNya murni. Ajaran DhammaKu murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal ajaran DhammaKu, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal ajaran DhammaKu. (4) Aku adalah seorang yang penjelasan-penjelasanNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang penjelasan-penjelasanNya murni. Penjelasan-penjelasanKu murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal penjelasan-penjelasanKu, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal penjelasan-penjelasanKu. (5) Aku adalah seorang yang pengetahuan dan penglihatanNya murni dan Aku mengaku: ‘Aku adalah seorang yang pengetahuan dan penglihatanNya murni. Pengetahuan dan penglihatanKu murni, bersih, tidak kotor.’ Para siswaKu tidak melindungiKu dalam hal pengetahuan dan penglihatanKu, dan Aku tidak berharap agar dilindungi oleh para siswaKu dalam hal pengetahuan dan penglihatanKu.” [127]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #18 on: 12 March 2013, 02:27:10 AM »
LIMA PULUH KE TIGA


I. KEDIAMAN YANG NYAMAN

1 (1) Ketakutan

“Para bhikkhu, ada lima kualitas ini yang menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.<1108> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan bermoral, terpelajar, bersemangat, dan bijaksana. (1) Ketakutan<1109> apa pun yang ada pada seorang yang tanpa keyakinan tidak ada pada seorang yang memiliki keyakinan; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih. (2) Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak bermoral tidak ada pada seorang yang bermoral; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih. (3) Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak terpelajar tidak ada pada seorang yang terpelajar; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih. (4) Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang malas tidak ada pada seorang yang bersemangat; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih. (5) Ketakutan apa pun yang ada pada seorang yang tidak bijaksana tidak ada pada seorang yang bijaksana; oleh karena itu kualitas ini menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.. Ini adalah kelima kualitas itu yang menghasilkan kepercayaan-diri pada seorang yang masih berlatih.” [128]

102 (2) Dicurigai

“Para bhikkhu, atas lima dasar seorang bhikkhu tidak dipercaya dan dicurigai sebagai ‘seorang bhikkhu jahat’ walaupun ia berkarakter tak tergoyahkan.<1110> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu sering mengunjungi pelacur, janda, perempuan tidak menikah, orang kebiri, atau bhikkhunī.<1111> atas lima dasar ini seorang bhikkhu tidak dipercaya dan dicurigai sebagai ‘seorang bhikkhu jahat’ walaupun ia berkarakter tak tergoyahkan.”

103 (3) Pencuri <1112>

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya. Apakah lima ini? Di sini, seorang pencuri ulung (1) bergantung pada permukaan yang tidak rata, (2) pada belantara, (3) pada orang-orang berkuasa; (4) memberi suap, dan (5) ia bergerak sendirian.

(1) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada sungai-sungai yang sulit diseberangi dan pegunungan bergelombang. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata.

(2) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada hutan rotan, belantara pepohonan, semak belukar, atau hutan rapat. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun [129] menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa.

(4) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung memberi suap? Di sini, seorang pencuri ulung yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan. Ia berpikir: ‘Jika seseorang menuduhku melakukan apa pun, maka aku akan menenangkannya dengan suapan.’ Jika seseorang menuduhnya melakukan apa pun, maka aku akan menenangkannya dengan suapan. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung memberi suap.

(5) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergerak sendirian? Di sini, seorang pencuri ulung melakukan perampasannya<1113> semuanya sendirian. Karena alasan apakah? [Dengan pikiran:] ‘Rencana-rencana rahasiaku<1114> seharusnya tidak disebarkan kepada orang lain!’ Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergerak sendirian.

“Adalah dengan memiliki kelima faktor ini, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana,dan menghasilkan banyak keburukan. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu jahat (1) bergantung pada permukaan yang tidak rata, (2) pada belantara, dan (3) pada orang-orang berkuasa; (4) ia memberi suap dan (5) bergerak sendirian.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang bhikkhu jahat terlibat dalam perbuatan tidak baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara? [130] Di sini, seorang bhikkhu jahat menganut pandangan salah, mengadopsi pandangan ekstrim.<1115> Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan membatalkan perkara itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat memberi suap? Di sini, seorang bhikkhu jahat memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ia berpikir: ‘Jika seseorang menuduhku melakukan apa pun, maka aku akan menenangkannya dengan menawarkan salah satu dari perolehan ini.’ Jika seseorang menuduhnya melakukan apa pun, maka ia menenangkannya dengan menawarkan salah satu dari perolehan ini. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat memberi suap.

(5) Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergerak sendirian? Di sini, seorang bhikkhu jahat membangun tempat kediaman terasing untuk dirinya sendiri di daerah perbatasan. Dengan mendatangi keluarga-keluarga di sana, ia mendapatkan perolehan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergerak sendirian.

“Adalah dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana,dan menghasilkan banyak keburukan.”

104 (4) Lembut <1116>

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu adalah seorang petapa lembut di antara para petapa. Apakah lima ini? (1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya; ia biasanya memakan makanan yang secara telah khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya; ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya; ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. [131] (2) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. (3) Ketidak-nyamanan yang berasal dari empedu, dahak, angin, atau kombinasinya; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perubahan cuaca; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perilaku yang tidak hati-hati; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari serangan; atau ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari akibat kamma – hal-hal ini tidak muncul padanya. Ia jarang sakit. (4) Sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, ia mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu adalah seorang petapa lembut di antara para petapa.

“Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan dengan benar tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang petapa lembut di antara para petapa,’ adalah tentang Aku maka ia mengatakan hal ini. (1) Karena Aku biasanya biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya memakan makanan yang secara telah khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu; Aku biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadaKu, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadaKu. (2) Para bhikkhu itu, yang dengan mereka Aku menetap, biasanya memperlakukanKu dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. (3) Ketidak-nyamanan yang berasal dari empedu, dahak, angin, atau kombinasinya; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perubahan cuaca; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari perilaku yang tidak hati-hati; ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari serangan; atau ketidak-nyamanan yang dihasilkan dari akibat kamma – hal-hal ini [132] tidak muncul padaKu. Aku jarang sakit. (4) Sesuai kehendakKu, tanpa kesusahan atau kesulitan, Aku mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, Aku telah merealisasikan untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, Aku berdiam di dalamnya. Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan dengan benar tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang petapa lembut di antara para petapa,’ adalah tentang Aku maka ia mengatakan hal ini.

105 (5) Dengan Nyaman

“Para bhikkhu, ada lima cara kediaman yang nyaman ini.<1117> Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu mempertahankan tindakan jasmani cinta kasih terhadap teman-temannya para bhikkhu, baik secara terbuka maupun secara pribadi. (2) mempertahankan tindakan ucapan cinta kasih terhadap teman-temannya para bhikkhu, baik secara terbuka maupun secara pribadi. (3) mempertahankan tindakan pikiran cinta kasih terhadap teman-temannya para bhikkhu, baik secara terbuka maupun secara pribadi. (4) Ia berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki kesamaan dengan teman-temannya para bhikkhu dalam hal perilaku bermoral yang tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak dicengkeram, mengarah pada konsentrasi. (5) ) Ia berdiam baik secara terbuka maupun secara pribadi dengan memiliki kesamaan dengan teman-temannya para bhikkhu dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, yang mengarahkan seseorang yang berbuat sesuai dengannya menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini, para bhikkhu, adalah lima cara kediaman yang nyaman itu.”

106 (6) Ānanda

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“(1) Bhante, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ketika, Ānanda, [133] seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral,<1118> sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha.”

(2) “Tetapi, Bhante, adakah cara lain yang dengannya seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ada, Ānanda, ketika seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral, dan ia memeriksa dirinya sendiri tetapi tidak memeriksa orang lain, sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha.”

(3) “Tetapi, Bhante, adakah cara lain yang dengannya seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ada, Ānanda, ketika seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral, dan ia memeriksa dirinya sendiri tetapi tidak memeriksa orang lain, dan ia tidak terkenal namun tidak bergejolak karena tidak terkenal, sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha.”

(4) “Tetapi, Bhante, adakah cara lain yang dengannya seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ada, Ānanda, ketika seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral, dan ia memeriksa dirinya sendiri tetapi tidak memeriksa orang lain, dan ia tidak terkenal namun tidak bergejolak karena tidak terkenal; dan ia memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini, sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha.”

(5) “Tetapi, Bhante, adakah cara lain yang dengannya seorang bhikkhu dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha?”

“Ada, Ānanda, ketika seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral tetapi ia tidak menasihati orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral, dan ia memeriksa dirinya sendiri tetapi tidak memeriksa orang lain, [134] dan ia tidak terkenal namun tidak bergejolak karena tidak terkenal; dan ia memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini; dan dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, sejauh ini ia dapat berdiam dengan nyaman ketika berada di tengah-tengah Saṅgha. Dan, Ānanda, Aku katakan bahwa tidak ada cara kediaman  yang nyaman lainnya yang lebih baik atau lebih luhur daripada ini.”

107 (7) Perilaku Bermoral

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral, sempurna dalam konsentrasi, sempurna dalam kebijaksanaan. Sempurna dalam kebebasan, dan sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

108 (8 ) Seorang Yang Melampaui Latihan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki kelompok perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan,  kelompok konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, kelompok kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan, kelompok kebebasan dari seorang yang melampaui latihan, kelompok pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.” [135]

109 (9) Rumah di Empat Penjuru

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas ini, seorang bhikkhu berada di rumah di empat penjuru.<1119> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalan pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. (2) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. (4) Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu berada di rumah di empat penjuru.”

110 (10) Hutan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas ini, seorang bhikkhu layak mendatangi tempat-tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu bermoral … ia berlatih di dalamnya. (2) ) Ia telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat. (4) Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, [136] kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu layak mendatangi tempat-tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #19 on: 12 March 2013, 02:27:39 AM »
II. ANDHAKAVINDA<1120>

111 (1) Tamu Keluarga-Keluarga

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga tidak disukai dan tidak disenangi oleh mereka, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia memperlihatkan keakraban terhadap mereka yang hanya sekedar kenalan; (2) ia memberikan benda-benda yang bukan miliknya; (3) ia bergaul dengan mereka yang terpecah;<1121> (4) ia berbisik di telinga dan (5) ia mengajukan permintaan yang berlebihan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga tidak disukai dan tidak disenangi oleh mereka, dan tidak dihormati serta tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga disukai dan disenangi oleh mereka, dan dihormati serta dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia tidak memperlihatkan keakraban terhadap mereka yang hanya sekedar kenalan; (2) ia tidak memberikan benda-benda yang bukan miliknya; (3) ia tidak bergaul dengan mereka yang terpecah; (4) ia tidak berbisik di telinga dan (5) ia tidak mengajukan permintaan yang berlebihan. [137] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu yang menjadi tamu keluarga-keluarga disukai dan disenangi oleh mereka, dan dihormati serta dihargai oleh mereka.

112 (2) Bhikkhu Pelayan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang tidak boleh dijadikan sebagai seorang bhikkhu pelayan. Apakah lima ini? (1) Ia berjalan terlalu jauh di belakang atau terlalu dekat; (2) ia tidak membawakan mangkukmu ketika penuh; (3) ia tidak menahanmu ketika ucapanmu berbatasan dengan suatu pelanggaran; (4) ia terus-menerus menyelamu ketika engkau berbicara; dan (5) ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seseorang tidak boleh dijadikan sebagai seorang bhikkhu pelayan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seseorang boleh dijadikan sebagai seorang bhikkhu pelayan. Apakah lima ini? (1) Ia tidak berjalan terlalu jauh di belakang atau terlalu dekat; (2) ia membawakan mangkukmu ketika penuh; (3) ia menahanmu ketika ucapanmu berbatasan dengan suatu pelanggaran; (4) ia tidak terus-menerus menyelamu ketika engkau berbicara; dan (5) ia bijaksana, cerdas, cerdik. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seseorang boleh dijadikan sebagai seorang bhikkhu pelayan.”

113 (3) Konsentrasi

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu masuk dan berdiam dalam konsentrasi benar. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu masuk dan berdiam dalam konsentrasi benar.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu mampu masuk dan berdiam dalam konsentrasi benar. Apakah lima ini? [138] Di sini, seorang bhikkhu dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu mampu masuk dan berdiam dalam konsentrasi benar.”

114 (4) Andhakavinda

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Magadha di Andhakavinda. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ānanda, para bhikkhu itu yang adalah para pendatang baru, yang baru saja meninggalkan keduniawian, yang baru saja mendatangi Dhamma dan disiplin ini, harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan olehmu dalam lima hal. Apakah lima ini?

(1) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam pengendalian Pātimokkha sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, jadilah bermoral; berdiamlah dengan terkendali oleh Pātimokkha, dengan memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, berlatihlah di dalamnya.’

(2) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam pengendalian organ-organ indria sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, jagalah pintu-pintu organ indria; gunakan perhatian sebagai pelindung; penuh perhatian dan waspada, dengan pikiran yang terlindungi, dengan pikiran di bawah perlindungan perhatian.’

(3) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam membatasi ucapan mereka sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, jangan berbicara terlalu banyak. Batasilah ucapan kalian.’

(4) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam keterasingan jasmani sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, jadilah penghuni hutan. Datangilah tempat-tempat tinggal terpencil di hutan-hutan dan belantara.’

(5) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam perspektif benar sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, anutlah pandangan benar dan milikilah perspektif benar.’<1122> [139]

“Ānanda, para bhikkhu itu yang adalah para pendatang baru, yang baru saja meninggalkan keduniawian, yang baru saja mendatangi Dhamma dan disiplin ini, harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan olehmu dalam kelima hal ini.”

115 (5) Kikir

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia kikir dengan tempat kediamannya, keluarga-keluarganya, perolehan, pujian, atau Dhamma.<1123> Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia tidak kikir dengan tempat kediamannya, keluarga-keluarganya, perolehan, pujian, dan Dhamma. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

116 (6) Pujian

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan.<1124> Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.  (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. [140] (3) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

117 (7) Iri

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia iri-hati (4) dan kikir. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.  (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Ia bebas dari sifat iri-hati (4) dan dari kekikiran. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

118 (8 ) Pandangan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia menganut pandangan salah (4) dan memiliki kehendak salah. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. [141]

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Ia menganut pandangan benar (4) dan memiliki kehendak benar. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

119 (9) Ucapan

[Seperti pada 5:118], tetapi dengan menggantikan kualitas ke tiga dan ke empat yang mengarah pada neraka dan surga berturut-turut sebagai berikut:]

“… (3) Ia memiliki ucapan salah dan (4) perbuatan salah …

“… (3) Ia memiliki ucapan benar dan (4) perbuatan benar …”

120 (10) Usaha

[Seperti pada 5:118], tetapi dengan menggantikan kualitas ke tiga dan ke empat yang mengarah pada neraka dan surga berturut-turut sebagai berikut:]

“… (3) Ia memiliki usaha salah dan (4) perhatian salah … [142]

“… (3) Ia memiliki usaha benar dan (4) perhatian benar …”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #20 on: 12 March 2013, 02:28:03 AM »
III. SAKIT

121 (1) Sakit

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada malam hari, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi balai pengobatan, di mana Beliau melihat seorang bhikkhu yang sedang lemah dan sakit. Kemudian Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, jika lima hal tidak terlepas dari seorang bhikkhu yang lemah dan sakit, maka dapat diharapkan baginya: ‘Dalam waktu tidak lama, dengan hancurnya noda-noda, ia akan merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia akan berdiam di dalamnya.’ Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, [143] merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia telah menegakkan dengan baik persepsi kematian secara internal. Jika kelima hal ini tidak terlepas dari seorang bhikkhu yang lemah dan sakit, maka dapat diharapkan baginya: ‘Dalam waktu tidak lama, dengan hancurnya noda-noda, ia akan merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia akan berdiam di dalamnya.’”

122 (2) Penegakan Perhatian

“Para bhikkhu, jika bhikkhu atau bhikkhunī mana pun mengembangkan dan melatih lima hal, maka salah satu dari dua buah ini menanti: apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, kondisi yang-tidak-kembali. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu menegakkan perhatiannya secara internal untuk [mencapai] kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena;<1125> ia berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, dan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi. Jika bhikkhu atau bhikkhunī mana pun mengembangkan dan melatih kelima hal ini, maka salah satu dari dua buah ini menanti: apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, kondisi yang-tidak-kembali.”

123 (3) Seorang Perawat (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang pasien sulit dirawat. Apakah lima ini? (1) Ia melakukan apa yang berbahaya. (2) Ia tidak melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya. (3) Ia tidak meminum obatnya. (4) Ia tidak secara tepat mengungkapkan gejalanya kepada perawatnya yang baik hati; ia tidak melaporkan, sesuai situasinya bahwa kondisinya bertambah buruk, atau bertambah baik, atau tidak berubah. (5) Ia tidak dapat dengan sabar menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. [144] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang pasien sulit dirawat.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang pasien mudah dirawat. Apakah lima ini? (1) Ia melakukan apa yang bermanfaat. (2) Ia melakukan  apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya. (3) Ia meminum obatnya. (4) Ia secara tepat mengungkapkan gejalanya kepada perawatnya yang baik hati; ia melaporkan, sesuai situasinya bahwa kondisinya bertambah buruk, atau bertambah baik, atau tidak berubah. (5) Ia dapat dengan sabar menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang pasien mudah dirawat.”

124 (4) Seorang Perawat (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang perawat tidak memenuhi syarat untuk merawat pasien. Apakah lima ini? (1) Ia tidak mampu mempersiapkan obat. (2) Ia tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, maka ia memberikan apa yang berbahaya dan tidak memberikan apa yang bermanfaat. (3) Ia merawat pasien demi mendapatkan hadiah materi, bukan dengan pikiran cinta-kasih. (4) Ia merasa jijik ketika harus membuang kotoran tinja, air kencing, muntahan, atau ludah. (5) Ia tidak mampu dari waktu ke waktu mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan pasien dangan khotbah Dhamma. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang perawat tidak memenuhi syarat untuk merawat pasien
 
“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang perawat memenuhi syarat untuk merawat pasien. Apakah lima ini? (1) Ia mampu mempersiapkan obat. (2) Ia mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, maka ia tidak memberikan apa yang berbahaya dan memberikan apa yang bermanfaat. (3) Ia merawat pasien dengan pikiran cinta-kasih, bukan demi mendapatkan hadiah materi. (4) Ia tidak merasa jijik ketika harus membuang kotoran tinja, air kencing, muntahan, atau ludah. (5) Ia mampu dari waktu ke waktu mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan pasien dangan khotbah Dhamma. [145] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang perawat memenuhi syarat untuk merawat pasien.”

125 (5) Vitalitas (1)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang menurunkan vitalitas. Apakah lima ini? Seseorang melakukan apa yang berbahaya; ia tidak melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya; ia memiliki pencernaan yang buruk; ia berjalan [untuk menerima dana makanan] pada waktu yang salah;<1126> ia tidak hidup selibat. Ini adalah kelima hal itu yang menurunkan vitalitas.

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang meningkatkan vitalitas. Apakah lima ini? Seseorang melakukan apa yang bermanfaat; ia melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya; ia memiliki pencernaan yang baik; ia berjalan [untuk menerima dana makanan] pada waktu yang benar; ia hidup selibat. Ini adalah kelima hal itu yang meningkatkan vitalitas.”

126 (6) Vitalitas (2)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang menurunkan vitalitas. Apakah lima ini? Seseorang melakukan apa yang berbahaya; ia tidak melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya; ia memiliki pencernaan yang buruk; ia tidak bermoral; ia memiliki teman-teman yang jahat. Ini adalah kelima hal itu yang menurunkan vitalitas.

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang meningkatkan vitalitas. Apakah lima ini? Seseorang melakukan apa yang bermanfaat; ia melakukan apa yang bermanfaat hingga batas secukupnya; ia memiliki pencernaan yang baik; ia bermoral; ia memiliki teman-teman yang baik. Ini adalah kelima hal itu yang meningkatkan vitalitas.”

127 (7) Hidup Terpisah

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tidak layak untuk hidup terpisah dari Saṅgha. Apakah lima ini? Ia tidak puas dengan segala jenis jubah; ia tidak puas dengan segala jenis makanan; ia tidak puas dengan segala jenis tempat tinggal; ia tidak puas dengan segala jenis obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; dan ia berdiam dengan terpikat pada pikiran indriawi. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tidak layak untuk hidup terpisah dari Saṅgha.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu layak untuk hidup terpisah dari Saṅgha. Apakah lima ini? [146] Ia puas dengan segala jenis jubah; ia puas dengan segala jenis makanan; ia puas dengan segala jenis tempat tinggal; ia puas dengan segala jenis obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit;<1127> dan ia berdiam dengan terpikat pada pikiran pelepasan keduniawian. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu layak untuk hidup terpisah dari Saṅgha.

128 (8 ) Kebahagiaan Seorang Petapa

“Para bhikkhu, ada lima jenis penderitaan ini bagi seorang petapa. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak puas dengan segala jenis jubah; ia tidak puas dengan segala jenis makanan; ia tidak puas dengan segala jenis tempat tinggal; ia tidak puas dengan segala jenis obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; dan ia menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas. Ini adalah kelima penderitaan itu bagi seorang petapa.

“Para bhikkhu, ada lima jenis kebahagiaan ini bagi seorang petapa. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu puas dengan segala jenis jubah; ia puas dengan segala jenis makanan; ia puas dengan segala jenis tempat tinggal; ia puas dengan segala jenis obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; dan ia menjalani kehidupan spiritual dengan puas. Ini adalah kelima kebahagiaan itu bagi seorang petapa.”

129 (9) Luka

“Para bhikkhu, ada lima luka ini yang tidak dapat disembuhkan<1128> mengarah menuju alam sengsara; yang mengarah menuju neraka. Apakah lima ini? Seseorang membunuh ibunya; ia membunuh ayahnya; ia membunuh seorang Arahant; dengan pikiran kebencian ia melukai Sang Tathāgata hingga berdarah; ia memecah belah Saṅgha. Ini adalah kelima luka itu yang tidak dapat disembuhkan.” [147]

130 (10) Keberhasilan

“Para bhikkhu, ada lima bencana ini. Apakah lima ini? Bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] sanak saudara, bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] kekayaan, bencana yang disebabkan oleh penyakit, bencana sehubungan dengan perilaku bermoral, dan bencana sehubungan dengan pandangan.<1129> Bukanlah karena bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] sanak saudara, atau bencana yang disebabkan oleh [kehilangan] kekayaan, atau bencana yang disebabkan oleh penyakit maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Adalah karena bencana sehubungan dengan perilaku bermoral dan bencana sehubungan dengan pandangan, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bencana itu.

“Para bhikkhu, ada lima keberhasilan ini. Apakah lima ini? Keberhasilan dalam hal sanak saudara, keberhasilan dalam hal kekayaan, keberhasilan dalam hal kesehatan, keberhasilan dalam hal perilaku bermoral, dan keberhasilan dalam hal pandangan. Bukanlah karena keberhasilan dalam hal sanak saudara, keberhasilan dalam hal kekayaan, keberhasilan dalam hal kesehatan maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Adalah karena keberhasilan dalam hal perilaku bermoral dan keberhasilan dalam hal pandangan maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima keberhasilan itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #21 on: 12 March 2013, 02:28:51 AM »
IV. RAJA-RAJA

131 (1) Melanjutkan Memutar Roda (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, seorang raja pemutar-roda memutar roda hanya melalui Dhamma,<1130> roda yang [148] tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi. Apakah lima ini? Di sini, seorang raja pemutar-roda adalah seorang yang mengetahui apa yang baik, yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui ukuran yang tepat, yang mengetahui waktu yang tepat, dan yang mengetahui kumpulan. Dengan memiliki kelima faktor ini, seorang raja pemutar-roda memutar roda hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna memutar roda Dhamma yang tiada taranya hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun juga juga di dunia. Apakah lima ini? Di sini, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna adalah seorang yang mengetahui apa yang baik, yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui ukuran yang tepat, yang mengetahui waktu yang tepat, dan yang mengetahui kumpulan.<1131> Dengan dengan memiliki kelima kualitas ini, Sang Tathāgata … memutar roda Dhamma yang tiada taranya hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik … oleh siapa pun juga juga di dunia.”

132 (2) Melanjutkan Memutar Roda (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, putra tertua dari seorang raja pemutar-roda melanjutkan, hanya melalui Dhamma, memutar roda yang telah diputar oleh ayahnya, roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi. Apakah lima ini? Di sini, putra tertua dari seorang raja pemutar-roda adalah seorang yang mengetahui apa yang baik, yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui ukuran yang tepat, yang mengetahui waktu yang tepat, dan yang mengetahui kumpulan. Dengan memiliki kelima faktor ini, putra tertua dari seorang raja pemutar-roda melanjutkan, hanya melalui Dhamma, memutar roda yang telah diputar oleh ayahnya, roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi. [149]

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, Sāriputta melanjutkan, hanya melalui Dhamma, memutar roda Dhamma yang tiada taranya yang telah diputar oleh Sang Tathāgata, roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun juga juga di dunia.<1132> Apakah lima ini? Di sini, Sāriputta adalah seorang yang mengetahui apa yang baik, yang mengetahui Dhamma, yang mengetahui ukuran yang tepat, yang mengetahui waktu yang tepat, dan yang mengetahui kumpulan. Dengan dengan memiliki kelima kualitas ini, Sāriputta melanjutkan, hanya melalui Dhamma, memutar roda Dhamma yang tiada taranya yang telah diputar oleh Sang Tathāgata, roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun juga juga di dunia.”

133 (3) Raja <1133>

“Para bhikkhu, bahkan seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, tidak memutar roda tanpa raja di atasnya.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Bhante, siapakah yang menjadi raja di atas seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma?”

“Adalah Dhamma, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “di sini, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma,  mengandalkan hanya pada Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai tiang, panji, dan otoritas, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik kepada para penduduk dalam kerajaannya. Kemudian, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma … memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik kepada para khattiya bawahannya; kepada bala tentaranya; kepada para brahmana dan perumah tangga; kepada para penduduk pemukiman dan luar kota; kepada para petapa dan brahmana; kepada binatang-binatang dan burung-burung. [150] Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik demikian, raja pemutar-roda itu, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, memutar roda hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia mana pun yang memusuhi.

“Demikian pula, para bhikkhu, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, mengandalkan hanya pada Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai tiang, panji, dan otoritas, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik kepada para bhikkhu, dengan mengatakan: (1) ‘Perbuatan jasmani demikian harus dilatih; perbuatan jasmani demikian tidak boleh dilatih. (2) Perbuatan ucapan demikian harus dilatih; perbuatan ucapan demikian tidak boleh dilatih. (3) Perbuatan pikiran demikian harus dilatih; perbuatan pikiran demikian tidak boleh dilatih. (4) Penghidupan demikian harus dilatih; penghidupan demikian tidak boleh dilatih. (5) Desa atau pemukiman demikian boleh dikunjungi; desa atau pemukiman demikian tidak boleh dikunjungi.’

“Kemudian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, mengandalkan hanya pada Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai tiang, panji, dan otoritas, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik kepada para bhikkhunī … kepada para umat awam laki-laki … kepada para umat awam perempuan, dengan mengatakan: ‘Perbuatan jasmani demikian harus dilatih … ) Perbuatan ucapan demikian harus dilatih … Perbuatan pikiran demikian harus dilatih … Penghidupan demikian harus dilatih; penghidupan demikian tidak boleh dilatih. Desa atau pemukiman demikian boleh dikunjungi; desa atau pemukiman demikian tidak boleh dikunjungi.’

Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang baik demikian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, [151] Raja Dhamma yang baik, memutar roda Dhamma yang tiada taranya hanya melalui Dhamma, roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun juga juga di dunia.”

134 (4) Di Daerah Mana pun

“Para bhikkhu, di daerah mana pun juga ia berdiam, seorang raja khattiya yang sah yang memiliki lima faktor berdiam di dalam wilayahnya sendiri. Apakah lima ini?

“(1) Di sini, seorang raja khattiya yang sah terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayah, dari keturunan murni, tidak dapat disangkal dan tidak tercela sehubungan dengan kelahirannya hingga tujuh generasi dari pihak ayah.<1134> (2) Ia kaya, dengan banyak harta dan kekayaan, dengan banyak pusaka dan gudang harta. (3) ia berkuasa, memiliki empat barisan bala tentara yang patuh dan menuruti perintahnya. (4) Penasihatnya bijaksana, kompeten, dan cerdas, mampu mempertimbangkan manfaat-manfaat yang berhubungan dengan masa lalu, masa depan, dan masa sekarang.<1135> (5) Keempat kualitas ini memajukan kemasyhurannya. Dengan memiliki kelima kualitas ini termasuk kemasyhuran ini, ia berdiam di dalam wilayahnya sendiri di daerah mana pun ia berada. Karena alasan apakah? Karena ini adalah bagaimana seharusnya bagi para pemenang.

“Demikian pula, para bhikkhu, di daerah mana pun juga ia berdiam, seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas berdiam dengan pikiran yang terbebaskan. Apakah lima ini?

“(1) Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. [152] Ini adalah seperti sang raja khattiya yang sah yang terlahir baik. (2) Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. Ini adalah seperti raja khattiya yang sah yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan, dengan banyak pusaka dan gudang harta. (3) Ia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam usaha, dan tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini adalah seperti raja khattiya yang sah yang berkuasa. (4) Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah seperti raja khattiya yang sah yang memiliki penasihat yang baik. (5) Keempat kualitas ini memajukan kebebasannya. Dengan memiliki kelima kualitas ini termasuk kebebasan, di daerah mana pun ia berdiam, ia berdiam dengan pikiran yang terbebaskan. Karena alasan apakah? Karena ini adalah bagaimana seharusnya bagi mereka yang terbebaskan dalam pikiran.”

135 (5) Merindukan (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah merindukan menjadi raja. Apakah lima ini? (1) Di sini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayah, dari keturunan murni, tidak dapat disangkal dan tidak tercela sehubungan dengan kelahirannya hingga tujuh generasi dari pihak ayah. (2) Ia tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. (3) ia menyenangkan dan disukai oleh orang tuanya. (4) ia menyenangkan dan disukai oleh para penduduk pemukiman-pemukiman dan luar kota. (5) ia terlatih dan mahir dalam berbagai seni dari para raja khattiya yang sah, apakah menunggang gajah, menunggang kuda, mengendarai kereta, memanah, atau berpedang. [153]

“Ia berpikir: (1) ‘Aku terlahir baik dari kedua pihak … tidak dapat disangkal dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja? (2) Aku tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja? (3) Aku menyenangkan dan disukai oleh orang tuaku, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja? (4) Aku menyenangkan dan disukai oleh para penduduk pemukiman-pemukiman dan luar kota, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja? (5) Aku terlatih dan mahir dalam berbagai seni dari para raja khattiya yang sah, apakah menunggang gajah, menunggang kuda, mengendarai kereta, memanah, atau berpedang, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja?’ Dengan memiliki kelima faktor ini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah merindukan menjadi raja.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu merindukan hancurnya noda-noda. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ (2) Ia jarang sakit atau menderita, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha. (3) Ia jujur dan terbuka, seorang yang mengungkapkan dirinya sebagaimana adanya kepada Sang Guru dan teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana. (4) Ia membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. (5) Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.

“Ia berpikir: (1) ‘Aku memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna … Yang Tercerahkan, Yang Suci, ” mengapa aku tidak boleh [154] merindukan hancurnya noda-noda? (2) Aku jarang sakit atau menderita, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (3) Aku jujur dan terbuka; aku mengungkapkan dirinya sebagaimana adanya kepada Sang Guru dan teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (4) Aku telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (5) Aku bijaksana; aku memiliki kebijaksanaan … [yang] mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda?’

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu merindukan hancurnya noda-noda.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #22 on: 12 March 2013, 02:29:39 AM »
136 (6) Merindukan (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah merindukan menjadi raja muda. Apakah lima ini? (1) Di sini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah terlahir baik … hingga tujuh generasi dari pihak ayah. (2) Ia tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. (3) ia menyenangkan dan disukai oleh orang tuanya. (4) ia menyenangkan dan disukai oleh bala tentara. (5) ia bijaksana, kompeten, dan cerdas, mampu mempertimbangkan manfaat-manfaat yang berhubungan dengan masa lalu, masa depan, dan masa sekarang.
   
“Ia berpikir: (1) ‘Aku terlahir baik … hingga tujuh generasi dari pihak ayah.  mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda? (2) Aku tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda? (3) Aku menyenangkan dan disukai oleh orang tuaku, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda? [155] (4) Aku menyenangkan dan disukai oleh bala tentara, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda? (5) Aku bijaksana, kompeten, dan cerdas, mampu mempertimbangkan manfaat-manfaat yang berhubungan dengan masa lalu, masa depan, dan masa sekarang, mengapa aku tidak boleh merindukan menjadi raja muda?’ Dengan memiliki kelima faktor ini, putra sulung dari seorang raja khattiya yang sah merindukan menjadi raja muda.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu merindukan hancurnya noda-noda. Apakah lima ini? “(1) Di sini, seorang bhikkhu bermoral … ia berlatih di dalamnya. (2) Ia telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia adalah seorang yang pikirannya ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian. (4) Ia telah membangkitkan kegigihan … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. (4) Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan … [yang] mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya.

“Ia berpikir: (1) ‘Aku bermoral … aku berlatih di dalamnya, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (2) Aku telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (3) Aku adalah adalah seorang yang pikirannya ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (4) Aku telah membangkitkan kegigihan … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda? (5) Aku bijaksana; aku memiliki kebijaksanaan … [156] [yang] mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya, mengapa aku tidak boleh merindukan hancurnya noda-noda?’

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu merindukan hancurnya noda-noda.”

137 (7) Tidur Sedikit

“Para bhikkhu, lima ini tidur sedikit di malam hari tetapi lebih banyak terjaga. Apakah lima ini? Seorang perempuan yang terarah pada seorang laki-laki, seorang laki-laki yang terarah pada seorang perempuan, seorang pencuri yang terarah pada pencurian, seorang raja yang sibuk dengan tugas-tugas kerajaan, dan seorang bhikkhu yang bertekad untuk memutuskan ikatan. Kelima ini tidur sedikit di malam hari tetapi lebih banyak terjaga.”

138 (8 ) Pemakan Makanan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, seekor gajah jantan besar adalah pemakan makanan, penghuni ruang, pembuang kotoran, pengambil-kupon,<1136> namun ia tetap dianggap sebagai seekor gajah jantan besar milik raja. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki lima faktor, seekor gajah jantan yang besar adalah pemakan makanan, penghuni ruang … namun ia tetap dianggap sebagai seekor gajah jantan besar milik raja.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu adalah pemakan makanan, penghuni ruang, penghancur kursi,<1137> pengambil-kupon,<1138> namun ia masih dianggap seorang bhikkhu. Apakah lima ini? [157] Di sini, seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan. Dengan memiliki kelima faktor ini, seorang bhikkhu adalah pemakan makanan, penghuni ruang … namun ia masih dianggap seorang bhikkhu.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #23 on: 12 March 2013, 02:29:48 AM »
139 (9) Tidak Dapat dengan Sabar Menahankan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor seekor gajah jantan besar milik raja adalah tidak layak menjadi milik seorang raja, bukan perlengkapan seorang raja, dan tidak dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

(1) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat melihat pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta, atau pasukan pejalan kaki, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mendengar suara gajah-gajah, kuda-kuda, kereta-kereta, atau pasukan pejalan kaki, atau suara genderang, tambur, kulit kerang, dan gendang, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara.

(3) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan? [158] Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mencium bau air kencing dan kotoran tinja gajah-gajah jantan kerajaan dari keturunan yang baik dan terbiasa berperang, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan.

(4) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika satu porsi rumput dan air, atau dua, tiga, empat, atau lima porsi dirampas darinya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.

(5) ) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika ia tertusuk oleh satu berondongan anak panah, atau oleh dua, tiga, empat, atau lima berondongan, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

“Dengan memiliki kelima faktor ini seekor gajah jantan besar milik raja adalah tidak layak menjadi milik seorang raja, bukan perlengkapan seorang raja, dan tidak dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas,<1139> seorang bhikkhu adalah tidak layak menerima pemberian, tidak layak menerima keramahan, tidak layak menerima persembahan, tidak layak menerima penghormatan, bukan lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia. Apakah lima ini? Ia tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara, tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan, tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata, ia menjadi terpikat pada suatu bentuk yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara? [159] Di sini, ketika seorang bhikkhu mendengar suatu suara dengan telinga, ia menjadi terpikat pada suatu suara yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan suara-suara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika seorang bhikkhu mencium suatu bau dengan hidung, ia menjadi terpikat pada suatu bau yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan bau-bauan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seorang bhikkhu mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, ia menjadi terpikat pada suatu rasa kecapan yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.

(5) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seorang bhikkhu merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, ia menjadi terpikat pada suatu objek sentuhan yang menggoda dan tidak dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seorang bhikkhu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu adalah tidak layak menerima pemberian, tidak layak menerima keramahan, tidak layak menerima persembahan, tidak layak menerima penghormatan, bukan lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah lima ini? Ia dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

(1) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat melihat pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta, atau pasukan pejalan kaki, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan suara-suara? [160] Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mendengar suara gajah-gajah, kuda-kuda, kereta-kereta, atau pasukan pejalan kaki, atau suara genderang, tambur, kulit kerang, dan gendang, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan suara-suara.

(3) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, saat mencium bau air kencing dan kotoran tinja gajah-gajah jantan kerajaan dari keturunan yang baik dan terbiasa berperang, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan bau-bauan.

(4) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika satu porsi rumput dan air, atau dua, tiga, empat, atau lima porsi dirampas darinya, ia tidak merosot, tidak terperosok, melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.

(5) ) “Dan bagaimanakah gajah jantan besar milik raja itu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja pergi ke suatu pertempuran, jika ia tertusuk oleh satu berondongan anak panah, atau oleh dua, tiga, empat, atau lima berondongan, ia tidak merosot, tidak terperosok melainkan menahan dirinya, dan dapat memasuki pertempuran. Dengan cara ini seekor gajah jantan besar milik raja itu tidak dapat dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

“Dengan memiliki kelima faktor ini seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia. Apakah lima ini? Ia dengan sabar menahankan bentuk-bentuk, dengan sabar menahankan suara-suara, dengan sabar menahankan bau-bauan, dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan, dan dengan sabar menahankan [161] objek-objek sentuhan.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk? Di sini, ketika seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menjadi terpikat pada bentuk yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bentuk-bentuk.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan suara-suara? Di sini, ketika seorang bhikkhu mendengar suatu suara dengan telinga, ia tidak menjadi terpikat pada suara yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan suara-suara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bau-bauan? Di sini, ketika seorang bhikkhu mencium suatu bau dengan hidung, ia tidak menjadi terpikat pada bau yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan bau-bauan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan? Di sini, ketika seorang bhikkhu mengalami suatu rasa kecapan dengan lidah, ia tidak menjadi terpikat pada rasa kecapan yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan rasa-rasa kecapan.

(5) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan? Di sini, ketika seorang bhikkhu merasakan suatu objek sentuhan dengan badan, ia tidak menjadi terpikat pada objek sentuhan yang menggoda dan dapat mengkonsentrasikan pikirannya. Dengan cara ini seekor seorang bhikkhu dengan sabar menahankan objek-objek sentuhan.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya bagi dunia.”

140 (10) Seorang Yang Mendengarkan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah lima ini? Di sini, seekor gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang mendengarkan, yang menghancurkan, yang menjaga, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang mendengarkan? Di sini, tugas apapun yang diberikan oleh pelatih gajah kepadanya, apakah [162] pernah dilakukan sebelumnya atau tidak, gajah jantan besar milik raja itu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang mendengarkan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang menghancurkan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja telah memasuki suatu pertempuran, ia menghancurkan gajah-gajah dan para penunggang gajah, kuda-kuda dan para prajurit penunggang kuda, kereta-kereta dan para kusirnya, dan para prajurit pejalan kaki. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang menghancurkan.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang menjaga? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja telah memasuki suatu pertempuran, ia menjaga bagian depannya, bagian belakangnya, kaki depannya, kaki belakangnya, kepalanya, telinganya, gadingnya, belalainya, ekornya, dan penunggangnya. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang menjaga.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang dengan sabar menahankan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar milik raja telah memasuki suatu pertempuran, ia dengan sabar menahankan tusukan oleh tombak, pedang, anak panah, dan kapak; ia menahankan gelegar tambur, genderang, kulit kerang, dan gendang. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang dengan sabar menahankan.

(5) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar milik raja adalah gajah yang bepergian? Di sini, seekor gajah jantan besar milik raja dengan cepat pergi ke wilayah mana pun yang sang pelatih mengirimnya, apakah pernah dikunjungi sebelumnya atau tidak. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang bepergian.

“Dengan memiliki kelima faktor ini seekor gajah jantan besar milik raja adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan, yang menghancurkan, [163] yang menjaga, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan? Di sini, ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan suatu pikiran indriawi yang muncul, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak membiarkan suatu pikiran berniat buruk yang muncul … suatu pikiran mencelakai yang muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat apa pun yang muncul dari waktu ke waktu, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang menjaga? Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan akan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran … ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang menjaga.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian? [164] Di sini, seorang bhikkhu dengan cepat pergi ke wilayah di mana ia belum pernah mengunjunginya sebelumnya dalam waktu yang lama, yaitu, untuk menenangkan segala aktivitas, melepaskan segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian.

“Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

“Dengan memiliki lima kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #24 on: 12 March 2013, 02:30:14 AM »
V. TIKAṆḌAKĪ

141 (1) Setelah Memberi, Ia Merendahkan

“Para bhikkhu, ada lima jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah lima ini? Seorang yang memberi dan kemudian merendahkan; seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama; seorang yang mudah tertipu oleh gosip; seorang yang berubah-ubah; dan seorang yang tumpul dan bodoh.

(1) “Dan bagaimanakah seseorang adalah seorang yang memberi dan kemudian merendahkan? Di sini, seseorang memberikan kepada orang lain jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ia berpikir: ‘Aku memberi; ia menerima.’ Setelah memberikan kepadanya, ia merendahkannya. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang memberi dan kemudian merendahkan.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama? [165] Di sini, seseorang hidup bersama dengan orang lain selama dua atau tiga tahun. Kemudian ia merendahkan orang lain karena mereka telah hidup bersama. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang merendahkan sebagai akibat dari hidup bersama.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang mudah tertipu oleh gosip? Di sini, ketika pujian atau celaan sedang dibicarakan tentang orang lain, ia segera mempercayainya. Dengan cara inilah seseorang yang mudah tertipu oleh gossip.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berubah-ubah? Di sini, keyakinan seseorang, kesetiaannya, kasih sayangnya, dan kepercayaannya lemah. Dengan cara inilah seseorang berubah-ubah.

(5) “Dan bagaimanakah seorang yang tumpul dan bodoh? Di sini, seseorang tidak mengetahui kualitas-kualitas apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat, kualitas-kualitas apa yang tercela dan apa yang tidak tercela, kualitas-kualitas apa yang rendah dan apa yang tinggi; ia tidak mengetahui kualitas-kualitas yang gelap dan terang bersama dengan padanannya. Dengan cara inilah seseorang tumpul dan bodoh.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

142 (2) Seseorang melanggar

“Para bhikkhu, ada lima jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seseorang melanggar dan kemudian menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.<1140>

(2) “Di sini, seseorang melanggar dan tidak menjadi menyesal,<1141> dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.

(3) “Di sini, seseorang tidak melanggar [166] namun menyesal,<1142> dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.

(4) “Di sini, seseorang tidak melanggar dan tidak menjadi menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.

(5) “Di sini, seseorang tidak melanggar dan tidak menjadi menyesal, dan memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa.

(1) “Para bhikkhu, orang di antara mereka yang melanggar dan kemudian menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa, harus diberitahu: ‘Noda-noda yang muncul dari pelanggaran ada padamu, dan noda-noda yang muncul dari penyesalan bertambah. Tinggalkanlah noda-noda yang muncul dari pelanggaran dan hilangkanlah noda-noda yang muncul dari penyesalan; kemudian kembangkanlah pikiran dan kebijaksanaanmu.<1143> Dengan cara ini engkau akan menjadi persis seperti orang jenis ke lima.’

(2) “Orang di antara mereka yang melanggar dan tidak menjadi menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa, harus diberitahu: ‘Noda-noda yang muncul dari pelanggaran ada padamu, tetapi noda-noda yang muncul dari penyesalan tidak bertambah. Tinggalkanlah noda-noda yang muncul dari pelanggaran, dan kemudian kembangkanlah pikiran dan kebijaksanaanmu. Dengan cara ini engkau akan menjadi persis seperti orang jenis ke lima.’

(3) “Orang di antara mereka yang tidak melanggar namun menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa, harus diberitahu: [167] ‘Noda-noda yang muncul dari pelanggaran tidak ada padamu, tetapi noda-noda yang muncul dari penyesalan bertambah. Hilangkanlah noda-noda yang muncul dari penyesalan, dan kemudian kembangkanlah pikiran dan kebijaksanaanmu. Dengan cara ini engkau akan menjadi persis seperti orang jenis ke lima.’

(4) “Orang di antara mereka yang tidak melanggar dan tidak menjadi menyesal, dan tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang ia miliki lenyap tanpa sisa, harus diberitahu: ‘Noda-noda yang muncul dari pelanggaran tidak ada padamu, dan noda-noda yang muncul dari penyesalan tidak bertambah. Kembangkanlah pikiran dan kebijaksanaanmu. Dengan cara ini engkau akan menjadi persis seperti orang jenis ke lima.’

(5) “Demikianlah, para bhikkhu, ketika orang-orang dari keempat jenis ini dinasihati dan diajari melalui teladan orang jenis ke lima, maka mereka secara bertahap mencapai hancurnya noda-noda.”

143 (3) Sārandada

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā meraipikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, dan memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Pada saat itu lima ratus orang Licchavi telah berkumpul di altar Sārandada dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini berlangsung: “Manifestasi lima permata adalah jarang di dunia ini. Apakah lima ini? Permata-gajah, permata-kuda, permata-perhiasan, permata-perempuan, dan permata-pelayan. Manifestasi kelima permata ini adalah jarang di dunia.” [168]

Kemudian para Licchavi menugaskan seseorang di jalan dan memberitahunya: “Sahabat, ketika engkau melihat Sang Bhagavā datang, engkau harus memberitahu kami.” Dari jauh orang itu melihat Sang Bhagavā datang, ia mendatangi para Licchavi, dan memberitahu mereka: “Tuan-tuan, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna datang. Kalian boleh pergi menghadap Beliau.”

Kemudian para Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, mereka berkata kepada Beliau: “Bhante, sudilah Sang Bhagavā pergi ke altar Sārandada demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri. Beliau pergi ke altar Sārandada, duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada para Licchavi:

“Diskusi apakah yang sedang kalian bicarakan tadi ketika kalian duduk bersama di sini? Pembicaraan apakah yang sedang berlangsung?”

“Di sini, Bhante, ketika kami telah berkumpul dan sedang duduk bersama, pembicaraan ini berlangsung … [Di sini ia mengulangi keseluruhan pembicaraan di atas.] … Manifestasi kelima permata ini adalah jarang di dunia.’”

“Sambil menekuni kenikmatan-kenikmatan indria, para Licchavi terlibat dalam pembicaraan tentang kenikmatan-kenikmatan indria! Para Licchavi, manifestasi lima permata adalah jarang di dunia. Apakah lima ini? (1) Manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna adalah jarang di dunia. (2) Seorang yang mengajarkan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata [169] adalah jarang di dunia. (3) Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata telah diajarkan, seorang yang memahaminya adalah jarang di dunia. (4) Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata telah diajarkan dan dipahami, seorang yang berlatih sesuai Dhamma adalah jarang di dunia. (5) Seorang yang bersyukur dan berterima kasih adalah jarang di dunia. Para Licchavi, manifestasi kelima permata ini adalah jarang di dunia.”

144 (4) Tikaṇḍakī

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāketa di Hutan Tikaṇḍakī. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“(1) Para bhikkhu, adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam apa yang tidak menjijikkan. (2) Adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan dalam apa yang menjijikkan. (3) Adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam apa yang tidak menjijikkan maupun apa yang menjijikkan. (4) Adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan dalam apa yang menjijikkan maupun apa yang tidak menjijikkan. (5) Adalah baik bagi seorang bhikkhu agar dari waktu ke waktu berdiam dengan seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah berpaling dari apa yang menjijikkan dan apa yang tidak menjijikkan.<1144>

(1) “Dan demi manfaat apakah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam apa yang tidak menjijikkan? ’Semoga tidak ada nafsu yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang nafsu!’: Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan kejijikan di dalam apa yang tidak menjijikkan.

(2) “Dan demi manfaat apakah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan dalam apa yang menjijikkan? ’Semoga tidak ada kebencian yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang kebencian!’: Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan di dalam apa yang menjijikkan.

(3) “Dan demi manfaat apakah [170] seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan kejijikan dalam apa yang tidak menjijikkan maupun apa yang menjijikkan? ’Semoga tidak ada nafsu yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang nafsu, dan tidak ada kebencian yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang kebencian!’: Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan kejijikan di dalam apa yang tidak menjijikkan maupun apa yang menjijikkan.

(4) “Dan demi manfaat apakah seorang bhikkhu harus mempersepsikan ketidak-jijikan dalam apa yang menjijikkan maupun apa yang tidak menjijikkan? ’Semoga tidak ada kebencian yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang kebencian, dan tidak ada nafsu yang muncul padaku terhadap hal-hal yang merangsang nafsu!’: Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan mempersepsikan ketidak-jijikan di dalam apa yang menjijikkan maupun apa yang tidak menjijikkan.

(4) “Dan demi manfaat apakah seorang bhikkhu harus berdiam dengan seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah berpaling dari apa yang menjijikkan dan apa yang tidak menjijikkan? ’Semoga tidak ada nafsu yang muncul padaku di mana pun dan dalam cara apa pun sehubungan dengan hal-hal yang merangsang nafsu! Semoga tidak ada kebencian yang muncul padaku di mana pun dan dalam cara apa pun sehubungan dengan hal-hal yang merangsang kebencian! Semoga tidak ada delusi yang muncul padaku di mana pun dan dalam cara apa pun sehubungan dengan hal-hal yang mengembangkan delusi!’:<1145> Demi manfaat inilah seorang bhikkhu harus berdiam dengan dengan seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah berpaling dari apa yang menjijikkan dan apa yang tidak menjijikkan.”

145 (5) Neraka

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. [171]

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas [lainnya] ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #25 on: 12 March 2013, 02:30:39 AM »
146 (6) Teman

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya tidak berteman dengan seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas. Apakah lima ini? Ia menggerakkan proyek-proyek pekerjaan; ia mengangkat persoalan-persoalan disiplin; ia memusuhi para bhikkhu terkemuka; ia gemar melakukan perjalanan panjang dan tanpa akhir; ia tidak mampu dari waktu ke waktu mengajari, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan seseorang dengan khotbah Dhamma. Seseorang seharusnya tidak berteman dengan seorang bhikkhu yang memiliki kelima kualitas ini.

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya berteman dengan seorang bhikkhu yang memiliki lima kualitas [lainnya]. Apakah lima ini? Ia tidak menggerakkan proyek-proyek pekerjaan; ia tidak mengangkat persoalan-persoalan disiplin; ia tidak memusuhi para bhikkhu terkemuka; ia tidak gemar melakukan perjalanan panjang dan tanpa akhir; ia mampu dari waktu ke waktu mengajari, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan seseorang dengan khotbah Dhamma. Seseorang seharusnya berteman dengan seorang bhikkhu yang memiliki kelima kualitas ini.”

147 (7) Orang Jahat

“Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang jahat ini. Apakah lima ini? Ia memberi secara sambil-lalu; ia memberi tanpa hormat; ia tidak memberikan melalui tangannya; ia memberikan apa yang seharusnya dibuang; ia memberikan tanpa pandangan tentang akibat dari memberi.<1146> Ini adalah kelima pemberian dari orang jahat. [172]

“Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang baik ini. Apakah lima ini? Ia memberi secara hormat; ia memberikan dengan penghormatan mendalam; ia memberikan melalui tangannya; ia memberikan apa yang seharusnya tidak dibuang; ia memberikan dengan pandangan tentang akibat dari memberi.<1147> Ini adalah kelima pemberian dari orang baik.”

148 (8 ) Orang Baik

“Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang baik ini. Apakah lima ini? Ia memberikan pemberian dengan penuh keyakinan; ia memberikan pemberian dengan hormat; ia memberikan pemberian yang tepat waktu; ia memberikan tanpa enggan; ia memberikan pemberian tanpa melukai dirinya atau orang lain.

“(1) Karena ia memberikan dengan penuh keyakinan, maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan ia menjadi tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. (2) Karena ia memberikan pemberian dengan hormat, maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan anak-anak dan istri-istrinya, para budak, para pelayan, dan para pekerjanya patuh, menyimak, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahami. (3) Karena memberikan pemberian yang tepat waktu, maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan manfaat-manfaat yang sesuai waktunya mendatanginya secara berlimpah. (4) Karena ia memberikan tanpa enggan, maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan pikirannya condong pada kenikmatan lima jenis kenikmatan indria. [173] (5) Karena memberikan pemberian tanpa melukai dirinya atau orang lain, maka maka di mana pun akibat dari pemberian itu berbuah, ia menjadi kaya, dengan harta dan kekayaan berlimpah, dan tidak ada kerusakan pada hartanya dari sumber mana pun, apakah dari api, banjir, raja-raja, pencuri, atau pewaris yang tidak disukai. Ini adalah kelima pemberian dari orang baik.”

149 (9) Terbebaskan Sementara (1)

“Para bhikkhu, kelima hal ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.<1148> Apakah lima ini? Bersenang-senang dalam pekerjaan, bersenang-senang dalam pembicaraan, bersenang-senang dalam tidur, bersenang-senang dalam pergaulan; and ia tidak meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Kelima hal ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.

“Para bhikkhu, kelima hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara. Apakah lima ini? Tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bersenang-senang dalam pembicaraan, tidak bersenang-senang dalam tidur, tidak bersenang-senang dalam pergaulan; and ia meninjau kembali sejauh mana pikirannya terbebaskan. Kelima hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.”

150 (10) Terbebaskan Sementara (2)

“Para bhikkhu, kelima hal ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara. Apakah lima ini? Bersenang-senang dalam pekerjaan, bersenang-senang dalam pembicaraan, bersenang-senang dalam tidur, tidak menjaga pintu-pintu indria dan makan berlebihan. Kelima hal ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.

“Para bhikkhu, kelima hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara. Apakah lima ini? Tidak bersenang-senang dalam pekerjaan, tidak bersenang-senang dalam pembicaraan, tidak bersenang-senang dalam tidur, menjaga pintu-pintu indria dan makan secukupnya. [174] Kelima hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang terbebaskan sementara.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #26 on: 12 March 2013, 02:31:37 AM »
LIMA PULUH KE EMPAT


I. DHAMMA SEJATI

151 (1) Jalan Pasti Kebenaran <1149> (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.<1150> Apakah lima ini? Ia meremehkan khotbah itu; ia meremehkan sang pembabar; ia meremehkan diri sendiri; ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran kacau dan berhamburan; ia memperhatikan secara sembrono. Dengan dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan [175] Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? Ia tidak meremehkan khotbah itu; ia tidak meremehkan sang pembabar; ia tidak meremehkan diri sendiri; ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran tidak kacau dan terpusat; ia memperhatikan secara teliti. Dengan dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

152 (2) Jalan Pasti Kebenaran  (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? Ia meremehkan khotbah itu; ia meremehkan sang pembabar; ia meremehkan diri sendiri; ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul; ia membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami. Dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? Ia tidak meremehkan khotbah itu; ia tidak meremehkan sang pembabar; ia tidak meremehkan diri sendiri; ia bijaksana, cerdas, cerdik; ia tidak membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami. Dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

153 (3) Jalan Pasti Kebenaran  (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? (1) Ia mendengarkan Dhamma sebagai seorang pencela yang dikuasai oleh celaan; (2) ia mendengarkan Dhamma dengan niat untuk mengkritiknya, mencari kesalahan-kesalahan; [176] (3) ia berwatak buruk terhadap gurunya, berniat untuk menyerangnya; (4) ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul; (5) ia membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami. Dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? (1) Ia tidak mendengarkan Dhamma sebagai seorang pencela yang dikuasai oleh celaan; (2) ia mendengarkan Dhamma tanpa niat untuk mengkritiknya, bukan sebagai seorang yang mencari kesalahan-kesalahan; (3) ia tidak berwatak buruk terhadap gurunya dan tidak berniat untuk menyerangnya (4) ia bijaksana, cerdas, cerdik; (5) ia tidak membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami. Dengan memiliki kelima kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

154 (4) Kemunduran Dhamma Sejati (1)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Di sini, para bhikkhu tidak dengan hormat mendengarkan Dhamma; (2) mereka tidak dengan hormat mempelajari Dhamma; (3) mereka tidak dengan hormat menghafalkan Dhamma dalam pikiran; (4) mereka tidak dengan hormat memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah mereka hafalkan dalam pikiran; (5) mereka tidak dengan hormat memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma. Kelima hal ini mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Para bhikkhu, ada lima hal [lainnya] ini yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Di sini, para bhikkhu dengan hormat mendengarkan Dhamma; (2) mereka dengan hormat mempelajari Dhamma; (3) mereka dengan hormat menghafalkan Dhamma dalam pikiran; (4) mereka dengan hormat memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah mereka hafalkan dalam pikiran; (5) mereka dengan hormat memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma. Kelima hal ini mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

155 (5) Kemunduran Dhamma Sejati (2)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu tidak mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(3) “Kemudian, para bhikkhu tidak menyuruh orang-orang lain untuk mengulangi Dhamma secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(4) “Kemudian, para bhikkhu tidak melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(5) “Kemudian, para bhikkhu tidak merenungkan, memeriksa, dan menyelidiki dalam pikiran Dhamma seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke lima ke empat yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ini adalah kelima hal itu yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Para bhikkhu, ada lima hal [lainnya] ini yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah … dan pertanyaan-dan-jawaban. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(3) “Kemudian, para bhikkhu menyuruh orang-orang lain untuk mengulangi Dhamma secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(4) “Kemudian, para bhikkhu melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(5) “Kemudian, para bhikkhu merenungkan, memeriksa, dan menyelidiki dalam pikiran Dhamma seperti yang mereka dengar dan pelajari. Ini adalah hal ke lima ke empat yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

“Ini adalah kelima hal itu yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

156 (6) Kemunduran Dhamma Sejati (3)

“Para bhikkhu, ada lima hal ini yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima ini?<1151>

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari khotbah-khotbah yang diperoleh dengan buruk, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan buruk. Ketika kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan buruk, maka maknanya menjadi diinterpretasikan dengan buruk. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu sulit dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka sulit dikoreksi. Mereka tidak sabar dan tidak menerima ajaran dengan hormat. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. [179]

(3) “Kemudian, para bhikkhu itu yang terpelajar, pewaris warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli kerangka, tidak dengan hormat mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang-orang lain. Ketika mereka telah meninggal dunia, khotbah-khotbah itu terpotong di akarnya, dibiarkan tanpa ada yang melestarikannya. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(4) “Kemudian, para bhikkhu senior hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga, hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam hal kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(5) “Kemudian, terjadi perpecahan dalam Saṅgha, dan ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha maka terdapat saling menghina, saling mencaci, saling mencela, dan saling menolak. Kemudian mereka yang tanpa keyakinan tidak memperoleh keyakinan, sedangkan beberapa di antara mereka yang berkeyakinan menjadi berubah pikiran.<1152> Ini adalah hal ke lima yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ini adalah kelima hal itu yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Para bhikkhu, ada lima hal [lainnya] ini yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari khotbah-khotbah yang diperoleh dengan baik, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan baik. Ketika kata-kata dan frasa-frasa yang ditata dengan baik, maka maknanya menjadi diinterpretasikan dengan baik. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. [180]

(2) “Kemudian, para bhikkhu mudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka mudah dikoreksi. Mereka sabar dan menerima ajaran dengan hormat. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(3) “Kemudian, para bhikkhu itu yang terpelajar, pewaris warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli kerangka, dengan hormat mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang-orang lain. Ketika mereka telah meninggal dunia, khotbah-khotbah itu tidak terpotong di akarnya, karena ada mereka yang melestarikannya. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(4) “Kemudian, para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan dan tidak menjadi mengendur, melainkan membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga, tidak hidup mewah dan dan tidak menjadi mengendur, melainkan membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. . Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(5) “Kemudian, Saṅgha berdiam dengan nyaman – dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, dengan pembacaan tunggal. Ketika Saṅgha rukun, maka tidak ada saling menghina, tidak ada saling mencaci, tidak ada saling mencela, dan tidak ada saling menolak. Kemudian mereka yang tanpa keyakinan memperoleh keyakinan dan mereka yang berkeyakinan menjadi meningkat [keyakinannya]. Ini adalah hal ke lima yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

“Ini adalah kelima hal itu yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.” [181]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #27 on: 12 March 2013, 02:31:59 AM »
157 (7) Khotbah yang Disampaikan Secara Keliru

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini. Apakah lima ini? Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan? Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang hampa dari keyakinan menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral? Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bermoral menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral.

(3) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar? Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang sedikit belajar menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar.

(4) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir? Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang kikir menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan [182] tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir.

(5) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana? Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bijaksana menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

“Sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini. Apakah lima ini? Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan? Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang memiliki keyakinan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral? Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang bermoral tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral.

(3) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar? Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang terpelajar tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan [183] keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar.

(4) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan? Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang dermawan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan.

(5) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana? Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang bijaksana tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Karena alasan apakah? Karena ia melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan benar kepada seorang yang bijaksana.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini.”

158 (8 ) Ketakutan <1153>

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu dikuasai oleh ketakutan. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu hampa dari keyakinan, tidak bermoral, tidak terpelajar, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu dikuasai oleh ketakutan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu menjadi percaya-diri. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, terpelajar, bersemangat, dan bijaksana. [184] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu menjadi percaya-diri.”

159 (9) Udāyī

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Pada saat itu Yang Mulia Udāyī, dengan dikelilingi oleh kumpulan besar umat awam, sedang duduk mengajarkan Dhamma.<1154> Yang Mulia Ānanda melihat hal ini dan mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Yang Mulia Udāyī, dengan dikelilingi oleh kumpulan besar umat awam, sedang mengajarkan Dhamma.”

“Tidaklah mudah, Ānanda, mengajarkan Dhamma kepada orang lain. Seseorang yang mengajarkan Dhamma kepada orang lain pertama-tama harus menegakkan lima kualitas secara internal. Apakah lima ini? (1) [Setelah memutuskan:] ‘Aku akan memberikan khotbah bertingkat,’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain.<1155> (2) [Setelah memutuskan:] ‘Aku akan memberikan khotbah dengan memperlihatkan alasan-alasan,’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain.<1156> (3) [Setelah memutuskan:] ‘Aku akan memberikan khotbah demi simpati,’ ’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain. (4) [Setelah memutuskan:] ‘Aku tidak akan memberikan khotbah dengan menghendaki perolehan materi,’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain. (5) [Setelah memutuskan:] ‘Aku akan memberikan khotbah tanpa membahayakan diriku atau orang lain,’ ’ ia boleh mengajarkan Dhamma kepada orang lain. Seseorang yang mengajarkan Dhamma kepada orang lain pertama-tama harus menegakkan kelima kualitas ini secara internal.”

160 (10) Sulit Dihilangkan

“Para bhikkhu, kelima hal ini, begitu muncul, adalah sulit dihilangkan. Apakah lima ini? [185] Nafsu, begitu muncul, adalah sulit dihilangkan. Kebencian … Delusi … Kearifan … Desakan untuk melakukan perjalanan, begitu muncul, adalah sulit dihilangkan. Kelima hal ini, begitu muncul, adalah sulit dihilangkan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #28 on: 12 March 2013, 02:32:26 AM »
II. KEKESALAN

161 (1) Pelenyapan Kekesalan (1)

“Para bhikkhu, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.<1157> Apakah lima ini? (1) Ia harus mengembangkan cinta-kasih terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (2) Ia harus mengembangkan belas-kasihan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (3) Ia harus mengembangkan keseimbangan terhadap orang yang kepadanya ia merasa kesal; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. [186] (4) Ia harus mengabaikan orang yang kepadanya ia merasa kesal dan tidak memperhatikannya; dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. (5) Ia harus menerapkan gagasan kepemilikan kamma pada orang yang kepadanya ia merasa kesal, sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini adalah pemilik kammanya, pewaris kammanya, ia memiliki kamma sebagai asal-mulanya, kamma sebagai sanak-saudaranya, kamma sebagai pelindungnya; ia akan menjadi pewaris kamma apa pun yang ia lakukan, baik atau buruk.’ Dengan cara inilah ia harus melenyapkan kekesalan terhadap orang itu. Ini adalah kelima cara itu ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

162 (2) Pelenyapan Kekesalan (2)

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman, ada lima cara ini untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun. Apakah lima ini? (1) Di sini, perilaku jasmani seseorang tidak murni, tetapi perilaku ucapannya murni; seseorang harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (2) Perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni; seseorang harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (3) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, tetapi dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran;<1158> seseorang harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (4) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan ia tidak mendapatkan [187] bukaan pikiran, ketenangan pikiran dari waktu ke waktu; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian. (5) Perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni, dan dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran; seseorang juga harus melenyapkan kekesalan terhadap orang demikian.

(1) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmaninya tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni? Misalkan seorang bhikkhu pemakai jubah kain potongan melihat sepotong kain di tepi jalan. Ia akan menginjaknya dengan kaki kirinya, menghamparkannya dengan kaki kanannya, merobek bagian yang utuh, dan mengambilnya; demikian pula, ketika perilaku jasmani orang lain tidak murni tetapi perilaku ucapannya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku jasmaninya melainkan harus memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(2) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku ucapannya tidak murni, tetapi perilaku jasmaninya murni? Misalkan terdapat sebuah kolam yang tertutup oleh ganggang dan tanaman air. Seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan terjun ke dalam kolam, menyingkirkan ganggang dan tanaman air dengan tangannya, meminum air dengan menangkupkan tangannya, dan kemudian pergi; demikian pula, [188] ketika perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi perilaku jasmaninya murni, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku ucapannya melainkan harus memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(3) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni tetapi yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran? Misalkan ada sedikit air dalam sebuah genangan. Kemudian seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Ia akan berpikir: ‘Ada sedikit air dalam genangan ini. Jika aku mencoba untuk meminumnya dengan menangkupkan tanganku atau menggunakan wadah, maka aku akan mengacaukannya, mengganggunya, dan membuatnya tidak dapat diminum.  Biarlah aku merangkak dengan keempat tangan dan kaki, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi.’ Kemudian ia merangkak pada keempat tangan dan kakinya, menghirupnya bagaikan seekor sapi, dan pergi. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni tetapi yang dari waktu ke waktu ia mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang seharusnya tidak memperhatikan ketidak-murnian perilaku jasmani dan ucapannya, melainkan harus memperhatikan [189] bukaan pikiran, ketenangan pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan.

(4) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya tidak murni, dan yang tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran dari waktu ke waktu? Misalkan seorang yang sakit, menderita, sakit parah sedang melakukan perjalan di sepanjang jalan raya, dan desa terakhir di belakangnya dan desa berikutnya di depannya keduanya berjauhan. Ia tidak akan memperoleh makanan dan obat-obatan yang sesuai atau perawat yang kompeten; ia tidak akan dapat [bertemu] kepala desa. Seorang lainnya yang melakukan perjalanan di sepanjang jalan raya itu mungkin bertemu dengannya dan membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir: ‘Oh, semoga orang ini memperoleh makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan seorang perawat yang kompeten! Semoga ia dapat [bertemu] dengan kepala desa! Karena alasan apakah? Agar orang ini tidak menemui kemalangan dan bencana di sini.’ Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain tidak murni, dan ia dari waktu ke waktu tidak mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang harus membangkitkan belas kasihan, simpati, dan keprihatinan lembut padanya, dengan berpikir, ‘Oh, semoga Yang Mulia ini meninggalkan perilaku buruk melalui jasmani dan mengembangkan perilaku baik melalui jasmani; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui ucapan dan mengembangkan perilaku baik melalui ucapan; semoga ia meninggalkan perilaku buruk melalui pikiran dan mengembangkan perilaku baik melalui pikiran! Karena alasan apakah? Agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak akan terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan. [190]

(5) “Bagaimanakah, teman-teman, kekesalahan dilenyapkan terhadap orang yang perilaku jasmani dan perilaku ucapannya murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran? Misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang jernih, manis, dan sejuk, bersih, dengan tepian yang landai, sebuah tempat yang menyenangkan di bawah keteduhan berbagai pepohonan. Kemudian seseorang datang, didera dan dilanda panas, letih, dahaga, dan terik matahari. Setelah terjun ke dalam kolam itu, ia akan mandi dan minum, dan kemudian, setelah keluar dari sana, ia akan duduk atau berbaring di bawah keteduhan sebatang pohon di sana. Demikian pula, ketika perilaku jasmani dan perilaku ucapan orang lain murni dan yang dari waktu ke waktu mendapatkan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, pada saat itu seseorang harus memperhatikan kemurnian perilaku jasmaninya, memperhatikan kemurnian perilaku ucapannya, dan memperhatikan bukaan pikiran, ketenangan pikiran, yang ia dapatkan dari waktu ke waktu. Dengan cara ini kekesalan terhadap orang itu harus dilenyapkan. Teman-teman, melalui seseorang yang menginspirasi keyakinan dalam berbagai cara, maka pikiran memperoleh keyakinan.<1159>

“Ini, teman-teman, adalah kelima cara itu untuk melenyapkan kekesalan yang dengannya seorang bhikkhu harus sepenuhnya melenyapkan kekesalan yang muncul terhadap siapa pun.”

163 (3) Diskusi

[Sutta ini identik dengan 5:65, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta kepada para bhikkhu.] [191]

164 (4) Gaya Hidup

[Sutta ini identik dengan 5:66, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta kepada para bhikkhu.]

165 (5) Mengajukan Pertanyaan

Yang Mulia Sāriputta … berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, siapa pun yang mengajukan pertanyaan kepada orang lain melakukannya untuk lima alasan atau salah satu di antaranya. Apakah lima ini? (1) Seseorang mengajukan pertanyaan kepada orang lain karena ketumpulan dan kebodohannya; (2) seseorang dengan keinginan jahat, didorong oleh keinginan, mengajukan pertanyaan kepada orang lain; [192] (3) seseorang mengajukan pertanyaan kepada orang lain sebagai cara untuk mencemooh [orang lain]; (4) seseorang mengajukan pertanyaan kepada orang lain karena ia ingin belajar; (5) atau seseorang mengajukan pertanyaan kepada orang lain dengan pikiran: ‘Jika, ketika ia ditanya olehku, ia menjawab dengan benar, maka itu bagus; tetapi jika ia tidak menjawab dengan benar, maka aku akan memberikan penjelasan yang benar kepadanya.’ Teman-teman, siapa pun yang mengajukan pertanyaan kepada orang lain melakukannya untuk lima alasan atau salah satu di antaranya. Teman-teman, aku mengajukan pertanyaan kepada orang lain dengan pikiran: ‘Jika, ketika ia ditanya olehku, ia menjawab dengan benar, maka itu bagus; tetapi jika ia tidak menjawab dengan benar, maka aku akan memberikan penjelasan yang benar kepadanya.’”

166 (6) Lenyapnya

Yang Mulia Sāriputta … berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan mungkin masuk dan keluar dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini. Tetapi jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan.<1160> Ada kemungkinan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Mustahil, teman Sāriputta, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak ada kemungkinan seperti itu.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya, [193] Yang Mulia Sāriputta berkata: “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral … setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu … mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini.” Untuk ke tiga kalinya, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Mustahil, teman Sāriputta, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu … mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak ada kemungkinan seperti itu.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Yang Mulia Udāyī telah menolakku hingga ke tiga kali, dan tidak ada seorang bhikkhu pun yang mengungkapkan persetujuannya denganku. Biarlah aku mendatangi Sang Bhagavā.” Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada para bhikkhu: “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan mungkin masuk dan keluar dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini. Tetapi jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Mustahil, teman Sāriputta, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak ada kemungkinan seperti itu.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya, Yang Mulia Sāriputta berkata: “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral … [194] … setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu … mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini.” Untuk ke tiga kalinya, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Mustahil, teman Sāriputta, tidak mungkin terjadi bahwa seorang bhikkhu, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu … mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak ada kemungkinan seperti itu.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Bahkan ketika aku berada di hadapan Sang Bhagavā, Yang Mulia Udāyī menolakku hingga ke tiga kali, dan tidak ada seorang bhikkhu pun yang mengungkapkan persetujuannya denganku. Biarlah aku berdiam diri.” Kemudian Yang Mulia Sāriputta berdiam diri.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Udāyī, seperti apakah yang engkau pahami sehubungan dengan kelompok ciptaan-pikiran?”

“Bhante, itu adalah para deva yang tanpa bentuk, ciptaan-persepsi.”<1161>

“Apakah yang sedang engkau katakan, Udāyī, engkau yang dungu dan tidak kompeten? Tetapi engkau merasa bahwa engkau harus berbicara!”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, apakah engkau hanya melihat dengan pasif ketika seorang bhikkhu senior sedang diserang? Tidakkah engkau berbelas kasihan terhadap seorang bhikkhu senior ketika ia sedang diserang?”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang sempurna dalam perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan mungkin masuk dan keluar dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Jika ia tidak mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini, setelah terlahir kembali di antara kelompok [para dewata] ciptaan-pikiran tertentu yang melampaui kumpulan para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan, ia mungkin masuk dan keluar [lagi] dari lenyapnya persepsi dan perasaan. Ada kemungkinan ini.” Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. [195]

Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Upavāṇa dan berkata kepadanya: “Di sini, teman Upavāṇa, mereka sedang menyerang para bhikkhu senior lainnya, tetapi kami tidak mempertanyakan mereka.<1162> Tidak akan mengherankan jika malam ini, ketika Beliau keluar dari keterasingan, Sang Bhagavā akan memberikan pernyataan sehubungan dengan hal ini, dan Beliau akan memanggil Yang Mulia Upavāṇa sendiri [untuk memberikan pendapat].<1163> Tadi aku merasa takut.”

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada Yang Mulia Upavāṇa:

“Upavāṇa, berapa banyakkah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang bhikkhu senior agar disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan agar dihormati dan dihargai oleh mereka?”

“Dengan memiliki lima kualitas, Bhante, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan dihormati dan dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Paṭimokkha … [seperti pada 5:134] … ia berlatih di dalamnya. (2) Ia telah banyak belajar … [seperti pada 5:134] … ia telah menembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik, ia memiliki ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna. (4) Ia mencapai sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan dihormati dan dihargai oleh mereka.” [196]

“Bagus, bagus, Upavāṇa! Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu senior disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan dihormati dan dihargai oleh mereka. Tetapi jika kelima kualitas ini tidak ditemukan pada seorang bhikkhu senior, mengapakah teman-temannya para bhikkhu harus menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya?<1164> Karena giginya yang tanggal, rambutnya yang memutih, dan kulitanya yang keriput? Tetapi adalah karena kelima kualitas ini terdapat pada seorang bhikkhu senior, maka teman-temannya para bhikkhu menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #29 on: 12 March 2013, 02:32:51 AM »
167 (7) Menegur

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: …

“Teman-teman, seorang bhikkhu yang ingin menegur orang lain pertama-tama harus menegakkan lima hal dalam dirinya. Apakah lima ini? (1) [Ia harus mempertimbangkan:] ‘Aku akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat; (2) aku akan berbicara dengan jujur, bukan dengan berbohong; (3) aku akan berbicara secara halus, bukan secara kasar; (4) aku akan berbicara dalam cara yang bermanfaat, bukan dalam cara yang berbahaya; (5) aku akan berbicara dengan pikiran cinta-kasih, bukan selagi memendam kebencian.’ Seorang bhikkhu yang ingin menegur orang lain pertama-tama harus menegakkan lima hal dalam dirinya.

“Di sini, teman-teman, aku melihat beberapa orang ditegur pada waktu yang tidak tepat, tidak diganggu<1165> pada waktu yang tepat; ditegur secara bohong, tidak diganggu secara jujur; ditegur secara kasar, tidak diganggu secara halus; ditegur dalam cara yang berbahaya, tidak diganggu dalam cara yang bermanfaat; ditegur oleh seseorang yang memendam kebencian, tidak diganggu oleh seseorang dengan pikiran cinta kasih.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu ditegur dalam cara yang bertentangan dengan Dhamma, maka ketidak-menyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam lima cara: (1) ‘Teman, engkau ditegur pada waktu yang tidak tepat, bukan [197] pada waktu yang tepat; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (2) Engkau ditegur secara bohong, bukan secara jujur; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (3) Engkau ditegur secara kasar, bukan secara halus; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (4) Engkau ditegur dalam cara yang berbahaya, bukan dalam cara yang bermanfaat; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (5) Engkau ditegur oleh seseorang yang memendam kebencian, bukan oleh seseorang dengan pikiran cinta-kasih; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal.’ Ketika seorang bhikkhu ditegur dalam cara yang bertentangan dengan Dhamma, maka ketidak-menyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam kelima cara ini.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu menegur dalam cara yang bertentangan dengan Dhamma, maka penyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam lima cara: (1) ‘Teman, engkau menegurnya pada waktu yang tidak tepat, bukan pada waktu yang tepat; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (2) Engkau menegurnya secara bohong, bukan secara jujur; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (3) Engkau menegurnya secara kasar, bukan secara halus; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (4) Engkau menegurnya dalam cara yang berbahaya, bukan dalam cara yang bermanfaat; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (5) Engkau menegurnya selagi memendam kebencian, bukan dengan pikiran cinta-kasih; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal.’ Ketika seorang bhikkhu menegur dalam cara yang bertentangan dengan Dhamma, maka penyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam kelima cara ini. Karena alasan apakah? Agar bhikkhu lain tidak berpikir tentang teguran yang keliru.

“Di sini, teman-teman, aku melihat beberapa orang ditegur pada waktu yang tepat, tidak diganggu pada waktu yang tidak tepat; ditegur secara jujur, tidak diganggu secara bohong; ditegur secara halus, tidak diganggu secara kasar; ditegur dalam cara yang bermanfaat, tidak diganggu dalam cara yang berbahaya; ditegur oleh seseorang dengan pikiran cinta kasih, tidak diganggu oleh seseorang yang memendam kebencian.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu ditegur dalam cara yang sesuai dengan Dhamma, maka penyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam lima cara: (1) ‘Teman, engkau ditegur pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (2) Engkau ditegur secara jujur, bukan secara bohong; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (3) Engkau ditegur secara halus, bukan secara kasar; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal. (4) Engkau ditegur dalam cara yang bermanfaat, bukan dalam cara yang berbahaya; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (5) Engkau ditegur oleh seseorang dengan pikiran cinta-kasih, bukan oleh seseorang yang memendam kebencian; itu cukup bagimu untuk merasa menyesal.’ [198] Ketika seorang bhikkhu ditegur dalam cara yang sesuai dengan Dhamma, maka penyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam kelima cara ini.

“Teman-teman, ketika seorang bhikkhu menegur dalam cara yang sesuai dengan Dhamma, maka ketidak-nyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam lima cara: (1) ‘Teman, engkau menegurnya pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang tidak tepat; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (2) Engkau menegurnya secara jujur, bukan secara bohong; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (3) Engkau menegurnya secara halus, bukan secara kasar; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (4) Engkau menegurnya dalam cara yang bermanfaat, bukan dalam cara yang berbahaya; itu cukup bagimu untuk tidak merasa menyesal. (5) Engkau menegurnya dengan pikiran cinta-kasih, bukan selagi memendam kebencian.’ Ketika seorang bhikkhu menegur dalam cara yang sesuai dengan Dhamma, maka ketidak-menyesalan harus dimunculkan pada dirinya dalam kelima cara ini. Karena alasan apakah? Agar bhikkhu lain berpikir tentang teguran atas apa yang benar.

“Teman-teman, seseorang yang ditegur harus kokoh dalam dua hal: dalam kebenaran dan ketidak-marahan. Jika orang lain menegurku – apakah pada waktu yang tepat atau pun pada waktu yang tidak tepat; apakah tentang apa yang benar atau pun tentang apa yang tidak benar; apakah secara halus atau pun secara kasar; apakah dalam cara yang bermanfaat atau pun dalam cara yang berbahaya; apakah dengan pikiran cinta-kasih atau pun selagi memendam kebencian – aku harus tetap kokoh dalam dua hal: dalam kebenaran dan ketidak-marahan.

“Jika aku mengetahui: ‘Ada kualitas demikian padaku,’ maka aku memberitahunya: ‘Hal ini ada. Kualitas ini ada padaku.’ Jika aku mengetahui: : ‘Tidak ada kualitas demikian padaku,’ maka aku memberitahunya: ‘Hal ini tidak ada. Kualitas ini tidak ada padaku.’

[Sang Bhagavā berkata:] “Sāriputta, bahkan ketika engkau sedang berbicara kepada mereka seperti demikian, beberapa orang dungu di sini tidak dengan hormat menerima apa yang engkau katakan.”

“Ada, Bhante, orang-orang yang hampa dari keyakinan yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bukan [199] karena keyakinan melainkan menghendaki pencarian penghidupan; mereka licik, munafik, penipu, gelisah, sombong, tinggi hati, banyak berbicara, mengoceh tanpa arah dalam pembicaraan mereka, tidak menjaga pintu-pintu indria mereka, makan berlebihan, tidak menekuni keawasan, tidak mempedulikan kehidupan pertapaan, tidak menghormati latihan, hidup mewah dan mengendur, para pelopor dalam hal kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama, mengabaikan tugas keterasingan, malas, hampa dari kegigihan, berpikiran kacau, tidak memiliki pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, tidak bijaksana, bodoh. Ketika aku berbicara kepada mereka seperti demikian, mereka tidak dengan hormat menerima apa yang aku katakan.

“Tetapi, Bhante, ada orang-orang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan penuh keyakinan, yang tidak licik, tidak munafik, bukan penipu, tidak gelisah, tidak sombong, tidak tinggi hati, tidak banyak berbicara, dan tidak mengoceh tanpa arah dalam pembicaraan mereka; yang menjaga pintu-pintu indria mereka; yang makan secukupnya, menekuni keawasan, menekuni kehidupan pertapaan, sangat menghormati latihan, tidak hidup mewah dan tidak mengendur; yang membuang kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; yang bersemangat, teguh, penuh perhatian, memahami dengan jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, bijaksana, cerdas. Ketika aku berbicara kepada mereka seperti demikian, mereka dengan hormat menerima apa yang aku katakan.”

“Sāriputta, biarkan saja orang-orang itu yang hampa dari keyakinan dan yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bukan karena keyakinan melainkan menghendaki pencarian penghidupan; yang licik … tidak bijaksana, bodoh. Tetapi, Sāriputta, engkau harus berbicara kepada anggota-anggota keluarga itu yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan penuh keyakinan yang tidak licik … yang bijaksana, cerdas. [200] Nasihatilah teman-temanmu para bhikkhu, Sāriputta! Ajarilah teman-temanmu para bhikkhu, Sāriputta, [dengan berpikir:] ‘Aku akan membuat teman-temanku para bhikkhu keluar dari apa yang bertentangan dengan Dhamma sejati dan akan mengokohkan mereka dalam Dhamma sejati.’ Demikianlah, Sāriputta, engkau harus berlatih.”

168 (8 ) Perilaku Bermoral

[Sutta ini identik dengan 5:24, tetapi dibabarkan oleh Sāriputta kepada para bhikkhu.] [201]

169 (9) Pemahaman Cepat

Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Dengan cara bagaimanakah, teman Sāriputta, seorang bhikkhu adalah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat, seorang yang menangkap dengan baik apa yang telah ia pelajari, banyak belajar, dan tidak melupakan apa yang telah ia pelajari?”

“Yang Mulia Ānanda adalah seorang terpelajar, maka biarlah ia sendiri yang menjelaskan hal ini.”

“Maka dengarkanlah, teman Sāriputta, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu mahir dalam makna, mahir dalam Dhamma, mahir dalam bahasa, mahir dalam frasa, dan mahir dalam urutan.<1166> Dengan cara inilah, teman Sāriputtra, seorang bhikkhu adalah seorang yang memiliki pemahaman cepat sehubungan dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat, seorang yang menangkap dengan baik apa yang telah ia pelajari, banyak belajar, dan tidak melupakan apa yang telah ia pelajari.”

“Mengagumkan dan menakjubkan, teman, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Yang Mulia Ānanda! Kami menganggap Yang Mulia Ānanda adalah seorang yang memiliki kelima kualitas ini: ‘Yang Mulia Ānanda mahir dalam makna, mahir dalam Dhamma, mahir dalam bahasa, mahir dalam frasa, dan mahir dalam urutan.’” [202]

170 (10) Bhaddaji

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Bhaddaji mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi. Yang Mulia Ānanda berkata kepadanya:

“Teman Bhaddaji, apakah yang terunggul di antara penglihatan-penglihatan? Apakah jenis pendengaran terunggul? Apakah kebahagiaan yang terunggul? Apakah persepsi terunggul? Apakah yang terunggul di antara penjelmaan-penjelmaan?”

“(1) Ada, teman, Brahmā, sang penakluk, yang tidak terkalahkan, yang maha melihat, maha kuasa. Dapat melihat Brahmā adalah penglihatan terunggul. (2) Ada para deva dengan cahaya gemerlap yang diliputi dan dibanjiri dengan kebahagiaan. Kadang-kadang mereka mengucapkan ucapan inspiratif: “Oh, sungguh bahagia! Oh, sungguh bahagia!’ dapat mendengar suara itu adalah jenis pendengaran terunggul. (3) Ada para deva dengan keagungan gemilang. Karena bahagia, mereka mengalami kebahagiaan yang sangat damai:<1167> ini adalah kebahagiaan terunggul. (4) Ada para deva dari landasan kekosongan: ini adalah persepsi terunggul. (5) Ada para deva dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ini adalah penjelmaan terunggul.”

“Apakah Yang Mulia Bhaddaji setuju dengan semua ini?”<1168>

“Yang Mulia Ānanda adalah seorang terpelajar, maka biarlah ia sendiri yang menjelaskan hal ini.”

“Maka dengarkanlah, teman Bhaddaji, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Bhaddaji menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“(1) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang melihat sesuatu yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi:<1169> ini adalah penglihatan terunggul. (2) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang mendengar sesuatu yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi: ini adalah jenis pendengaran terunggul. (3) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang berbahagia yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi: ini adalah kebahagiaan terunggul. (4) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang mempersepsikan sesuatu yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi: ini adalah persepsi terunggul. (5) Dalam cara bagaimana pun, teman, seseorang menjelma yang segera setelahnya hancurnya noda-noda terjadi: ini adalah penjelmaan terunggul.” [203]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #30 on: 12 March 2013, 02:33:50 AM »
III. UMAT AWAM

171 (1) Ketakutan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam dikuasai oleh ketakutan. Apakah lima ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam dikuasai oleh ketakutan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam menjadi percaya-diri. Apakah lima ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam menjadi percaya-diri.

 172 (2) Percaya-diri

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam berdiam tanpa percaya-diri di rumah. Apakah lima ini? [204] Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam berdiam tanpa percaya-diri di rumah.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam berdiam dengan percaya-diri di rumah. Apakah lima ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam berdiam dengan percaya-diri di rumah.

173 (3) Neraka

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam ditempatkan di neraka seolah-olah di bawa ke sana. Apakah lima ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam ditempatkan di neraka seolah-olah di bawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam ditempatkan di surga seolah-olah di bawa ke sana. Apakah lima ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam ditempatkan di surga seolah-olah di bawa ke sana.

174 (4) Permusuhan

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, tanpa meninggalkan lima bahaya dan permusuhan, seseorang disebut tidak bermoral dan terlahir kembali di neraka. Apakah lima ini? membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. [205] Tanpa meninggalkan lima bahaya dan permusuhan, seseorang disebut tidak bermoral dan terlahir kembali di neraka.

“Perumah tangga, setelah meninggalkan lima bahaya dan permusuhan, seseorang disebut bermoral dan terlahir kembali di surga. Apakah lima ini? membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Setelah meninggalkan lima bahaya dan permusuhan, seseorang disebut bermoral dan terlahir kembali di surga.

(1) “Perumah tangga, seseorang yang membunuh karenanya menimbulkan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang, dan juga mengalami kesakitan batin dan kesedihan. Seseorang yang menghindari membunuh tidak menimbulkan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang, dan juga tidak mengalami kesakitan batin dan kesedihan. Bagi seseorang yang menghindari membunuh, maka bahaya dan permusuhan itu telah mereda.

(2) “Perumah tangga, seseorang yang mengambil apa yang tidak diberikan … (3) … melakukan hubungan seksual yang salah … (4) … berbohong … (5) … meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan, karenanya menimbulkan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang, dan juga mengalami kesakitan batin dan kesedihan. Seseorang yang menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan, tidak  menimbulkan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang, dan juga tidak mengalami kesakitan batin dan kesedihan. Bagi seseorang yang menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, maka bahaya dan permusuhan itu telah mereda.”

   Ada orang di dunia ini yang membunuh,
   Berbohong, dan mengambil apa yang tidak diberikan,
   Yang mengunjungi istri-istri orang lain,
   Dan meminum minuman keras dan anggur.

   Memendam lima permusuhan dalam dirinya,
   Ia disebut tidak bermoral.
   Dengan hancurnya jasmani,
   Orang yang tidak bijaksana itu terlahir kembali di neraka.

   Tetapi ada orang di dunia
   Yang tidak membunuh,
   Tidak berbohong, tidak mengambil apa yang tidak diberikan,
   Tidak mengunjungi istri-istri orang lain, [206]
   Dan tidak meminum minuman keras dan anggur.

   Setelah meninggalkan kelima permusuhan ini,
   Ia disebut bermoral,
   Dengan hancurnya jasmani,
   Orang bijaksana itu terlahir kembali di surga.

175 (5) Caṇḍāla

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam adalah seorang caṇḍāla seorang umat awam, noda seorang umat awam, yang terakhir di antara para umat awam.<1170> Apakah lima ini? (1) Ia hampa dari keyakinan; (2) ia tidak bermoral; (3) ia bersifat takhyul dan mempercayai tanda-tanda gaib, bukan mempercayai kamma; (4) ia mencari orang yang layak menerima persembahan di luar dari sini;<1171> dan (5) ia melakukan perbuatan-perbuatan [berjasa] terlebih dulu di sana. Dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam adalah seorang caṇḍāla seorang umat awam, noda seorang umat awam, yang terakhir di antara para umat awam.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam adalah permata seorang umat awam, teratai merah seorang umat awam, teratai putih seorang umat awam.<1172> Apakah lima ini? (1) Ia memiliki keyakinan; (2) ia bermoral; (3) ia tidak bersifat takhyul dan mempercayai kamma, bukan tanda-tanda gaib; (4) ia tidak mencari orang yang layak menerima persembahan di luar dari sini; dan (5) ia melakukan perbuatan-perbuatan [berjasa] terlebih dulu di sini. Dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam adalah adalah permata seorang umat awam, teratai merah seorang umat awam, teratai putih seorang umat awam.”

176 (6) Sukacita

Perumah tangga Anāthapiṇḍika, disertai oleh lima ratus umat awam, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada perumah tangga Anāthapiṇḍika [dan para pengikutnya]:

“Para perumah tangga, kalian telah mempersembahkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit kepada Saṅgha para bhikkhu. Kalian seharusnya tidak merasa puas dengan hal itu, [dengan berpikir]: ‘Kami telah mempersembahkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit kepada Saṅgha para bhikkhu.’ Oleh karena itu, para perumah tangga, kalian harus berlatih sebagai berikut: [207] ‘Bagaimanakah agar kami dari waktu ke waktu dapat masuk dan berdiam dalam sukacita keterasingan?’<1173> demikianlah kalian harus berlatih.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan dan menakjubkan, Bhante, betapa baiknya hal itu dikatakan oleh Sang Bhagavā. Bhante, kapan pun seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam sukacita keterasingan, maka pada saat itu lima hal tidak muncul padanya. (1) Kesakitan dan kesedihan yang berhubungan dengan indriawi tidak muncul padanya. (2) Kesenangan dan kegembiraan yang berhubungan dengan indriawi tidak muncul padanya. (3) Kesakitan dan kesedihan yang berhubungan dengan apa yang tidak bermanfaat tidak muncul padanya. (4) Kesenangan dan kegembiraan yang berhubungan dengan apa yang tidak bermanfaat tidak muncul padanya. (5) Kesakitan dan kesedihan yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat tidak muncul padanya. Bhante, kapan pun seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam sukacita keterasingan, maka pada saat itu lima hal tidak muncul padanya.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Sāriputta, Bhante, kapan pun seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam sukacita keterasingan … [Sang Buddha mengulangi keseluruhan pernyataan dari Yang Mulia Sāriputta, hingga:] … maka pada saat itu lima hal tidak muncul padanya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #31 on: 12 March 2013, 02:34:48 AM »
177 (7) Perdagangan

“Para bhikkhu, seorang umat awam seharusnya tidak terlibat dalam kelima jenis perdagangan ini. Apakah lima ini? Berdagang senjata, berdagang makhluk-makhluk hidup, berdagang daging, berdagang minuman memabukkan, dan berdagang racun. seorang umat awam seharusnya tidak terlibat dalam kelima jenis perdagangan ini.”

178 (8 ) Raja

(1) “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa ketika seseorang meninggalkan atau menghindari membunuh, raja-raja menangkapnya dengan tuduhan menghindari membunuh dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi?”

“Tidak pernah, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu! Aku juga tidak pernah melihat atau mendengar hal demikian. Melainkan [209] adalah ketika mereka memberitahu raja-raja akan perbuatan jahatnya, dengan mengatakan: ‘Orang ini telah membunuh seorang perempuan atau laki-laki,’ maka raja-raja menangkap orang itu dengan tuduhan membunuh dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi. Pernahkah kalian melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Kami pernah melihatnya, Bhante, dan kami telah mendengarnya, dan kami akan mendengarnya [pada masa mendatang].”

(2) “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa ketika seseorang meninggalkan atau menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, raja-raja menangkapnya dengan tuduhan menghindari perbuatan demikian dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi?”

“Tidak pernah, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu! Aku juga tidak pernah melihat atau mendengar hal demikian. Melainkan adalah ketika mereka memberitahu raja-raja akan perbuatan jahatnya, dengan mengatakan: ‘Orang ini telah mencuri sesuatu dari suatu desa atau hutan,’ maka raja-raja menangkap orang itu dengan tuduhan mencuri dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi. Pernahkah kalian melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Kami pernah melihatnya, Bhante, dan kami telah mendengarnya, dan kami akan mendengarnya [pada masa mendatang].”

(3) “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa ketika seseorang meninggalkan atau menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, raja-raja menangkapnya dengan tuduhan menghindari perbuatan demikian dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi?”

“Tidak pernah, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu! Aku juga tidak pernah melihat atau mendengar hal demikian. [210] Melainkan adalah ketika mereka memberitahu raja-raja akan perbuatan jahatnya, dengan mengatakan: ‘Orang ini telah melakukan perbuatan salah dengan perempuan-perempuan atau gadis-gadis milik orang lain,’ maka raja-raja menangkap orang itu dengan tuduhan melakukan hubungan seksual yang salah dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi. Pernahkah kalian melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Kami pernah melihatnya, Bhante, dan kami telah mendengarnya, dan kami akan mendengarnya [pada masa mendatang].”

(4) “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa ketika seseorang meninggalkan atau menghindari berbohong, raja-raja menangkapnya dengan tuduhan menghindari perbuatan demikian dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi?”

“Tidak pernah, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu! Aku juga tidak pernah melihat atau mendengar hal demikian. Melainkan adalah ketika mereka memberitahu raja-raja akan perbuatan jahatnya, dengan mengatakan: ‘Orang ini telah merusak seorang perumah tangga atau seorang putra perumah tangga dengan kebohongan,’ maka raja-raja menangkap orang itu dengan tuduhan melakukan kebohongan dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi. Pernahkah kalian melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Kami pernah melihatnya, Bhante, dan kami telah mendengarnya, dan kami akan mendengarnya [pada masa mendatang].”

(5) “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa ketika seseorang meninggalkan atau menghindari meminum muniman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, raja-raja menangkapnya dengan tuduhan menghindari perbuatan demikian dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi?”

“Tidak pernah, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu! Aku juga tidak pernah melihat atau mendengar hal demikian. [211] Melainkan adalah ketika mereka memberitahu raja-raja akan perbuatan jahatnya, dengan mengatakan: ‘Orang ini, dibawah pengaruh minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, telah membunuh seorang perempuan atau laki-laki; atau ia telah mencuri sesuatu dari sebuah desa atau hutan; atau ia telah melakukan perbuatan salah dengan perempuan-perempuan atau gadis-gadis milik orang lain; atau ia telah melakukan perbuatan salah dengan perempuan-perempuan atau gadis-gadis milik orang lain; atau ia telah merusak seorang perumah tangga atau seorang putra perumah tangga dengan kebohongan,’ maka raja-raja menangkap orang itu dengan tuduhan meminum muniman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan kemudian mengeksekusinya, memenjarakannya, mengusirnya, atau melakukan apa pun padanya sesuatu tuntutan situasi. Pernahkah kalian melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Kami pernah melihatnya, Bhante, dan kami telah mendengarnya, dan kami akan mendengarnya [pada masa mendatang].”

179 (9) Umat Awam

Perumah tangga Anāthapiṇḍika, disertai oleh lima ratus umat awam, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Engkau harus tahu, Sāriputta, bahwa perumah tangga berjubah putih mana pun yang perbuatan-perbuatannya terkendali oleh lima aturan latihan dan  yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat kediaman menyenangkan yang terlihat yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, dapat, jika ia menghendaki, menyatakan tentang dirinya: ‘Aku sudah selesai dengan neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita; aku sudah selesai dengan alam sengsara, takdir yang buruk, alam rendah; aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan.’

(1) “Apakah kelima aturan latihan yang dengannya perbuatan-perbuatannya menjadi terkendali? [212] Di sini, Sāriputta, seorang siswa mulia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Perbuatan-perbuatannya terkendali oleh kelima aturan latihan ini.

“Apakah keempat kediaman menyenangkan yang terlihat yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, yang ia peroleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan?

(2) “Di sini, siswa mulia itu memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha sebagai berikut: ‘‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini adalah kediaman menyenangkan pertama yang terlihat yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, yang telah ia capai untuk pemurnian pikiran yang tidak murni, untuk pembersihan pikiran yang tidak bersih.

(3) “Kemudian, siswa mulia itu memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma sebagai berikut: “Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ini adalah kediaman menyenangkan ke dua yang terlihat yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, yang telah ia capai untuk pemurnian pikiran yang tidak murni, untuk pembersihan pikiran yang tidak bersih.

(4) “Kemudian, siswa mulia itu memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ini adalah kediaman menyenangkan ke tiga yang terlihat yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, yang telah ia capai [213] untuk pemurnian pikiran yang tidak murni, untuk pembersihan pikiran yang tidak bersih.

(5) “Kemudian, siswa mulia itu memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini adalah kediaman menyenangkan ke empat yang terlihat yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, yang telah ia capai untuk pemurnian pikiran yang tidak murni, untuk pembersihan pikiran yang tidak bersih.

“Ini adalah keempat kediaman menyenangkan yang terlihat yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, yang ia peroleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan.

“Engkau harus tahu, Sāriputta, bahwa perumah tangga berjubah putih mana pun yang perbuatan-perbuatannya terkendali oleh lima aturan latihan dan  yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat kediaman menyenangkan yang terlihat yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, dapat, jika ia menghendaki, menyatakan tentang dirinya: ‘Aku sudah selesai dengan neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita; aku sudah selesai dengan alam sengsara, takdir yang buruk, alam rendah; aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran] di alam rendah, pasti dalam takdir, mengarah menuju pencerahan.’”

   Setelah melihat bahaya dalam neraka-neraka,
   Seseorang seharusnya menghindari perbuatan-perbuatan jahat;
   Setelah menjalankan Dhamma mulia,
   Yang bijaksana harus menghindarinya.

   Hingga batas kemampuannya,
   Seseorang seharusnya tidak melukai makhluk-makhluk hidup;
   Ia seharusnya tidak dengan sengaja berbohong;
   Ia seharusnya tidak mengambil apa yang tidak diberikan.

   Ia harus puas dengan istri-istrinya sendiri,<1174>
   Dan harus menjauhi istri-istri orang lain.<1175>
   Ia seharusnya tidak meminum anggur dan minuman keras,
   Yang menyebabkan kekacauan pikiran.

   Ia harus merenungkan Sang Buddha
   Dan merenungkan Dhamma
   Ia harus mengembangkan pikiran kebajikan,
   Yang mengarah menuju alam para deva.

   Ketika ada benda-benda yang dapat diberikan,
   Pada seseorang yang memerlukan dan menginginkan jasa<1176>
   Sebuah persembahan menjadi sangat besar
   Jika pertama-tama diberikan kepada para mulia.

   Aku akan menjelaskan tentang para mulia,
   Sāriputta, dengarkanlah.<1177> [214]
   Di antara sapi-sapi dari berbagai jenis,
   Apakah hitan, putih, merah, atau keemasan,
   Bebercak, sewarna, atau berwarna-merpati,
   Sapi jinak dilahirkan,
   Yang dapat mengangkat beban,
   Memiliki kekuatan, berjalan dengan kecepatan  baik.
   Mereka mengikatkan beban hanya padanya;
   Mereka tidak peduli akan warnanya.
   Demikian pula, di antara para manusia
   Dalam berbagai jenis kelahiran –
   Di antara para khattiya, brahmana, vessa,
   Sudda, caṇḍāla, atau pemungut sampah –
   Di antara orang-orang dalam berbagai jenis
   Orang jinak yang berperilaku baik dilahirkan:
   Seorang yang teguh dalam Dhamma, bermoral dalam perilaku,
   Jujur dalam ucapan, memiliki rasa malu bermoral;
   Seorang yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
   Sempurna dalam kehidupan spiritual,
   Dengan beban diturunkan, terlepas,
   Yang telah melakukan tugasnya, bebas dari noda-noda;
   Yang telah melampaui segala sesuatu [di dunia]
   Dan melalui ketidak-melekatan telah mencapai nibbāna:
   Suatu persembahan adalah sungguh sangat besar
   Ketika ditanamkan di lahan tanpa noda itu.

   Mereka yang dungu yang hampa dari pemahaman,
   Dengan kecerdasan-tumpul, tidak terpelajar,
   Tidak melayani para mulia
   Melainkan memberikan pemberian mereka kepada mereka yang di luar.
   Akan tetapi, mereka yang melayani para mulia,
   Para bijaksana yang dihargai sebagai bijaksana,
   Dan mereka yang berkeyakinan pada Yang Berbahagia
Tertanam dalam dan kokoh berdiri,
Pergi ke alam para deva
Atau terlahir di sini dalam keluarga yang baik.
   Maju dalam langkah demi langkah,
   Para bijaksana itu mencapai nibbāna.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #32 on: 12 March 2013, 02:35:01 AM »
180 (10) Gavesī

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, ketika berjalan di sepanjang jalan raya, Sang Bhagavā melihat sebuah hutan besar pepohonan sal di suatu tempat. Beliau meninggalkan jalan raya, memasuki hutan pepohonan sal, dan tersenyum ketika Beliau sampai di tempat tertentu.

Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Mengapa Sang Bhagavā tersenyum? Para Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.” Kemudian Yang Mulia Ānanda [215] berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengapakah, Bhante, Sang Bhagavā tersenyum? Para Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.”

“Di masa lampau, Ānanda, di tempat ini terdapat sebuah kota yang kaya, makmur, dan berpenduduk padat, sebuah kota yang penuh dengan orang-orang. Pada saat itu Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna Kassapa hidup dengan bergantung pada kota itu. Sang Bhagavā Kassapa memiliki seorang umat awam bernama Gavesī yang tidak memenuhi perilaku bermoral. Dan Gavesī mengajarkan dan membimbing lima ratus umat awam yang tidak memenuhi perilaku bermoral.

(1) “Kemudian, Ānanda, Gavesī berpikir: ‘Aku adalah penyokong, pemimpin, dan pembimbing kelima ratus umat awam ini, namun baik aku maupun kelima ratus umat awam ini tidak memenuhi perilaku bermoral. Dengan demikian kami berada pada tingkat yang sama, dan aku tidak sedikit pun lebih baik. Biarlah aku melebihi mereka.’

“Kemudian Gavesī mendatangi kelima ratus umat awam itu dan berkata kepada mereka: ‘Mulai hari ini, kalian harus menganggapku sebagai seorang yang memenuhi perilaku bermoral.’ Kemudian kelima ratus umat awam itu berpikir: ‘Guru Gavesī adalah penyokong, pemimpin, dan pembimbing kami. Sekarang Guru Gavesī akan memenuhi perilaku bermoral. Mengapa kami tidak melakukannya juga?’

“Kemudian kelima ratus umat awam itu mendatangi Gavesī dan berkata kepadanya: ‘Mulai hari ini dan seterusnya sudilah Guru Gavesī menganggap kami sebagai orang yang telah memenuhi perilaku bermoral.’

(2) “Kemudian, Ānanda, Gavesī berpikir: ‘Aku adalah penyokong, pemimpin, dan pembimbing kelima ratus umat awam ini. Sekarang aku sedang memenuhi perilaku bermoral, dan demikian pula dengan kelima ratus umat awam ini. [216] Dengan demikian kami berada pada tingkat yang sama, dan aku tidak sedikit pun lebih baik. Biarlah aku melebihi mereka.’

“Kemudian Gavesī mendatangi kelima ratus umat awam itu dan berkata kepada mereka: ‘Mulai hari ini, kalian harus menganggapku sebagai seorang yang hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa.’ Kemudian kelima ratus umat awam itu berpikir: ‘Guru Gavesī adalah penyokong, pemimpin, dan pembimbing kami. Sekarang Guru Gavesī akan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa. Mengapa kami tidak melakukannya juga?’

“Kemudian kelima ratus umat awam itu mendatangi Gavesī dan berkata kepadanya: ‘Mulai hari ini dan seterusnya sudilah Guru Gavesī menganggap kami sebagai orang yang hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa.

(3) “Kemudian, Ānanda, Gavesī berpikir: ‘Aku adalah penyokong, pemimpin, dan pembimbing kelima ratus umat awam ini. Sekarang aku sedang memenuhi perilaku bermoral, dan demikian pula dengan kelima ratus umat awam ini.  Aku hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa, dan demikian pula dengan kelima ratus umat awam ini. Dengan demikian kami berada pada tingkat yang sama, dan aku tidak sedikit pun lebih baik. Biarlah aku melebihi mereka.’

“Kemudian Gavesī mendatangi kelima ratus umat awam itu dan berkata kepada mereka: ‘Mulai hari ini, kalian harus menganggapku sebagai seorang yang makan satu kali sehari, menghindari makan malam, menghindari makan di luar waktu yang tepat.’ Kemudian kelima ratus umat awam itu berpikir: ‘Guru Gavesī adalah penyokong, pemimpin, dan pembimbing kami. Sekarang Guru Gavesī makan satu kali sehari, menghindari makan malam, menghindari makan di luar waktu yang tepat. Mengapa kami tidak melakukannya juga?’

“Kemudian kelima ratus umat awam itu mendatangi Gavesī dan [217] berkata kepadanya: ‘Mulai hari ini dan seterusnya sudilah Guru Gavesī menganggap kami sebagai seorang yang makan satu kali sehari, menghindari makan malam, menghindari makan di luar waktu yang tepat.’

(4) “Kemudian, Ānanda, umat awam Gavesī berpikir: ‘Aku adalah penyokong, pemimpin, dan pembimbing kelima ratus umat awam ini. Sekarang aku sedang memenuhi perilaku bermoral, dan demikian pula dengan kelima ratus umat awam ini.  Aku hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa, dan demikian pula dengan kelima ratus umat awam ini. Aku makan satu kali sehari, menghindari makan malam, menghindari makan di luar waktu yang tepat, dan demikian pula dengan kelima ratus umat awam ini. Dengan demikian kami berada pada tingkat yang sama, dan aku tidak sedikit pun lebih baik. Biarlah aku melebihi mereka.’

“Kemudian Gavesī mendatangi Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna Kassapa, dan berkata kepadanya: ‘Bhante, bolehkah aku memperoleh pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā?’ Umat awam Gavesī memperoleh pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna Kassapa. Segera setelah penahbisannya, dengan berdiam sendirian, terasing, penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh, Bhikkhu Gavesī merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan tertinggi kehidupan spiritual yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’ Dan bhikkhu Gavesī menjadi salah satu di antara para Arahant.

“Kemudian, Ānanda, kelima ratus umat awam itu berpikir: ‘Guru Gavesī adalah penyokong, pemimpin, dan pembimbing kami. Sekarang Guru Gavesī, setelah mencukur rambut dan janggutnya dan mengenakan jubah kuning, telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Mengapa kami tidak melakukannya juga?’

“Kemudian kelima ratus umat awam itu mendatangi Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna Kassapa, [218] dan berkata kepadanya: ‘Bhante, bolehkah kami memperoleh pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā?’ Kemudian kelima ratus umat awam itu memperoleh pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna Kassapa.

(5) “Kemudian, Ānanda, bhikkhu GavesI berpikir: ‘Aku memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, kebahagiaan tertinggi dari kebebasan. Oh, semoga kelima ratus bhikkhu ini dapat memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, kebahagiaan tertinggi dari kebebasan!’ Kemudian, Ānanda, dengan masing-masing berdiam sendirian, terasing, penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama kelima ratus bhikkhu itu merealisasikan untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan tertinggi kehidupan spiritual yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, mereka berdiam di dalamnya. Mereka secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Demikianlah, Ānanda, kelima ratus bhikkhu itu dengan dipimpin oleh Gavesī, dengan berusaha secara bertahap dalam cara-cara yang lebih tinggi dan lebih luhur, merealisasikan kebahagiaan tertinggi dari kebebasan.<1178> Oleh karena itu, Ānanda, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Dengan berusaha secara bertahap dalam cara-cara yang lebih tinggi dan lebih luhur, kami akan merealisasikan kebahagiaan tertinggi dari kebebasan.’ Demikianlah, Ānanda, kalian harus berlatih.” [219]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #33 on: 12 March 2013, 02:35:48 AM »
IV. PENGHUNI HUTAN

181 (1) Penghuni Hutan

“Para bhikkhu, ada lima jenis penghuni hutan ini. Apakah lima ini? (1) Seorang yang menjadi penghuni hutan karena ketumpulan dan kebodohannya; (2) seorang yang menjadi penghuni hutan karena ia memiliki keinginan jahat, karena ia didorong oleh keinginan;<1179> (3) seorang yang menjadi penghuni hutan karena ia gila dan pikirannya terganggu; (4) seorang yang menjadi penghuni hutan, [dengan berpikir]: ‘Hal ini dipuji oleh para Buddha dan para siswa Buddha’; (5) dan seorang yang menjadi penghuni hutan demi keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran-kekotoran], demi keterasingan, demi kesederhanaan. Seorang yang menjadi penghuni hutan demi keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran-kekotoran], demi keterasingan, demi kesederhanaan, adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis penghuni hutan ini.

Seperti halnya dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula seorang yang menjadi penghuni hutan demi keinginan yang sedikit … demi kesederhanaan adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis penghuni hutan ini.”

182 (2) – 190 (10) Pemakai Jubah Potongan Kain, dan seterusnya.

“Para bhikkhu, ada lima jenis pemakai jubah potongan kain ini<1180> … lima jenis orang yang menetap di bawah pohon … [220] … lima jenis orang yang menetap di tanah pekuburan … lima jenis orang yang menjalankan praktik selalu duduk … lima jenis orang yang menjalankan praktik menggunakan tempat tidur apa saja … lima jenis orang yang menjalankan praktik satu kali … lima jenis orang yang menjalankan praktik menolak makanan tambahan … lima jenis orang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya. Apakah lima ini? (1) Seorang yang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ketumpulan dan kebodohannya; (2) seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ia memiliki keinginan jahat, karena ia didorong oleh keinginan; (3) seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya karena ia gila dan pikirannya terganggu; (4) seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya, [dengan berpikir]: ‘Hal ini dipuji oleh para Buddha dan para siswa Buddha’; (5) dan seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya demi keinginan yang sedikit, demi kepuasan, demi melenyapkan [kekotoran-kekotoran], demi keterasingan, demi kesederhanaan. Seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya demi keinginan yang sedikit …  demi kesederhanaan, adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis orang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya.

Seperti halnya dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula seorang yang menjalankan praktik memakan hanya apa yang ada dalam mangkuknya [221] demi keinginan yang sedikit … demi kesederhanaan adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara kelima jenis penghuni hutan ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #34 on: 12 March 2013, 02:36:09 AM »
V. ANJING

191 (1) Anjing

“Para bhikkhu, ada lima praktik masa lampau para brahmana ini yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana. Apakah lima ini?

(1) “Di masa lampau, para brahmana melakukan hubungan seksual hanya dengan para perempuan brahmana, bukan dengan para perempuan bukan-brahmana. Akan tetapi, anjing-anjing, masih melakukan hubungan seksual hanya dengan anjing-anjing betina, tidak berpasangan dengan binatang-binatang betina lainnya. Ini adalah praktik masa lampau pertama para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

(2) “Di masa lampau, para brahmana melakukan hubungan seksual dengan para perempuan brahmana hanya pada saat masa suburnya, tidak pada masa tidak suburnya. Tetapi sekarang [222] brahmana melakukan hubungan seksual dengan para perempuan brahmana baik pada masa subur mau pun pada masa tidak subur. Akan tetapi, anjing-anjing masih melakukan hubungan seksual dengan anjing-anjing betina hanya pada masa subur, tidak pada masa tidak subur. Ini adalah praktik masa lampau ke dua para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

(3) “Di masa lampau, para brahmana tidak membeli dan menjual para perempuan brahmana, dan mereka akan mulai hidup bersama hanya melalui saling mencintai, melakukannya demi kelangsungan keluarga.<1181> Tetapi sekarang para brahmana membeli dan menjual para perempuan brahmana, dan mereka mulai hidup bersama baik karena saling mencintai maupun tidak saling mencintai, melakukannya demi kelangsungan keluarga.<1182> Akan tetapi, anjing-anjing masih tidak membeli dan menjual anjing-anjing betina, dan mereka akan mulai hidup bersama hanya melalui saling mencintai, melakukannya demi kelangsungan keluarga. Ini adalah praktik masa lampau ke tiga para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

(4) “Di masa lampau, para brahmana tidak menimbun kekayaan, hasil panen, perak, dan emas. Tetapi sekarang para brahmana menimbun kekayaan, hasil panen, perak, dan emas. Akan tetapi, anjing-anjing masih tidak menimbun kekayaan, hasil panen, perak, dan emas. Ini adalah praktik masa lampau ke empat para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

(5) ) “Di masa lampau, para brahmana mencari dana makanan di malam hari untuk makan malam dan di pagi hari untuk makan pagi. Tetapi sekarang para brahmana memakan sebanyak yang mereka inginkan hingga perut mereka penuh, dan kemudian membawa pergi sisanya. Akan tetapi, anjing-anjing masih mencari makanan di malam hari untuk makan malam dan di pagi hari untuk makan pagi. Ini adalah praktik masa lampau ke lima para brahmana yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima praktik masa lampau para brahmana itu yang sekarang terlihat di antara anjing-anjing tetapi tidak terlihat di antara para brahmana.” [223]

192 (2) Doṇa

Brahmana Doṇa mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ia telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku telah mendengar, Guru Gotama: ‘Petapa Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka.’<1183> Hal ini memang benar, karena Guru Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mengaku sebagai seorang brahmana, Doṇa?”

“Guru Gotama, jika seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang orang lain: ‘Ia adalah seorang brahmana yang terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayahnya, dari keturunan murni, tidak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga generasi ke tujuh pihak ayahnya; ia adalah pelafal dan pelestari hymne, seorang yang menguasai tiga Veda dengan kosa-kata, ritual, fonologi, dan etimologi, dan sejarah sebagai yang ke lima; terampil dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia terampil dalam filosofi alam dan tanda-tanda seorang manusia luar biasa’ – adalah tentang aku maka hal ini yang dikatakan oleh orang itu. Karena aku, Guru Gotama, adalah seorang  brahmana yang terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayahnya, dari keturunan murni, tidak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga generasi ke tujuh pihak ayah; aku adalah pelafal dan pelestari hymne, seorang yang menguasai tiga Veda dengan kosa-kata, ritual, fonologi, dan etimologi, dan sejarah sebagai yang ke lima; terampil dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, aku terampil dalam filosofi alam dan tanda-tanda seorang manusia luar biasa.”

“Doṇa, para bijaksana [224] masa lampau di antara para brahmana – yaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vamadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Aṅgirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu – adalah para pencipta hymne-hymne dan penggubah hymne-hymne, dan adalah hymne-hymne mereka, yang dulu di bacakan, dinyatakan, dan dikompilasi, yang para brahmana masa sekarang masih membaca dan mengulanginya, mengulangi apa yang dulu dibabarkan, melafalkan apa yang dulu dilafalkan, dan mengajarkan apa yang dulu diajarkan. Para bijaksana masa lampau menggambarkan kelima jenis brahmana ini: seorang yang menyerupai Brahmā, seorang yang menyerupai deva, seorang yang tetap berada di dalam batas, seorang yang telah melewati batas, dan caṇḍāla seorang brahmana sebagai yang ke lima. Yang manakah engkau, Doṇa?”

“Kami tidak mengetahui kelima jenis brahmana ini, Guru Gotama. Apa yang kami ketahui hanyalah [kata] ‘brahmana.’ Sudilah Guru Gotama mengajarkan aku Dhamma sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kelima jenis brahmana ini.”

“Maka dengarkanlah, brahmana, perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” brahmana Doṇa menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Dan bagaimanakah, Doṇa, seorang brahmana yang menyerupai Brahmā? Di sini, seorang brahmana yang terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayahnya, dari keturunan murni, tidak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga generasi ke tujuh pihak ayahnya. Ia menjalani kehidupan spiritual selibat-perjaka<1184> selama empat puluh delapan tahun, mempelajari hymne-hymne. Kemudian ia mencari imbalan guru untuk gurunya hanya dengan cara yang sesuai Dhamma, bukan yang bertentangan dengan Dhamma. Dan apakah, Doṇa, Dhamma itu dalam hal ini? [225] bukan melalui pertanian, bukan melalui perdagangan, bukan melalui peternakan, bukan melalui keterampilan memanah, bukan melalui bekerja untuk raja, bukan melalui keterampilan tertentu, melainkan hanya dengan mengembara untuk menerima dana tanpa meremehkan mangkuknya. Setelah mempersembahkan imbalan guru kepada gurunya, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.<1185> Ketika ia telah meninggalkan keduniawian, ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruisik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Setelah mengembangkan keempat alam brahmā ini,<1186> dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam brahmā. Dengan cara inilah seorang brahmana menyerupai Brahmā.

(2) “Dan bagaimanakah, Doṇa, seorang brahmana yang menyerupai deva? Di sini, seorang brahmana yang terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayahnya, dari keturunan murni, tidak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga generasi ke tujuh pihak ayahnya. Ia menjalani kehidupan spiritual selibat-perjaka selama empat puluh delapan tahun, mempelajari hymne-hymne. Kemudian ia mencari imbalan guru untuk gurunya hanya dengan cara yang sesuai Dhamma, bukan yang bertentangan dengan Dhamma. Dan apakah, Doṇa, Dhamma itu dalam hal ini? bukan melalui pertanian, bukan melalui perdagangan, bukan melalui peternakan, bukan melalui keterampilan memanah, bukan melalui bekerja untuk raja, bukan melalui keterampilan tertentu, melainkan hanya dengan mengembara untuk menerima dana [226] tanpa meremehkan mangkuknya. Setelah mempersembahkan imbalan guru kepada gurunya, ia mencari seorang istri hanya yang sesuai Dhamma, bukan yang bertentangan dengan Dhamma. Dan apakah, Doṇa, Dhamma itu dalam hal ini? Bukan dengan membeli dan menjual, [ia menerima] hanya seorang perempuan brahmana yang diberikan kepadanya dengan menuang air. Ia melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang perempuan brahmana, bukan dengan seorang perempuan khattiya, seorang perempuan vessa, seorang perempuan sudda, atau seorang perempuan caṇḍāla, juga bukan dengan seorang perempuan dari keluarga pemburu, pekerja bambu, pembuat kereta, atau pemungut bunga. Ia tidak melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan hamil, juga tidak dengan seorang perempuan yang menyusui, juga tidak dengan seorang perempuan pada saat masa tidak subur.

“Dan mengapakah, Doṇa, brahmana itu tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan hamil? Karena, jika ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan hamil, maka bayi kecil itu akan dilahirkan dengan sangat kotor; oleh karena itu ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan hamil. Dan mengapakah ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang menyusui? Karena jika ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang menyusui, maka bayi kecil itu akan meminum kembali zat menjijikkan itu;<1187> oleh karena itu ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang menyusui. Mengapa ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang pada masa tidak subur? Karena istri brahmana itu bukan berfungsi sebagai kenikmatan indria, hiburan, dan kesenangan indria, melainkan hanya demi menghasilkan keturunan.<1188> Ketika ia telah terlibat dalam aktivitas seksual, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat … ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … [seperti pada 5:14] … jhāna ke empat. Setelah mengembangkan keempat jhāna ini, [227] dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Dengan cara inilah seorang brahmana menyerupai deva.

(3) “Dan bagaimanakah, Doṇa, seorang brahmana yang tetap berada di dalam batas? Di sini, seorang brahmana yang terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayahnya, dari keturunan murni, tidak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga generasi ke tujuh pihak ayahnya. Ia menjalani kehidupan spiritual selibat-perjaka selama empat puluh delapan tahun … [seluruhnya seperti di atas hingga] … Karena istri brahmana itu bukan berfungsi sebagai kenikmatan indria, hiburan, dan kesenangan indria, melainkan hanya demi menghasilkan keturunan. Ketika ia telah terlibat dalam aktivitas seksual, karena kemelekatan pada putranya ia bertahan pada kepemilikannya dan tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ia berhenti pada batas kaum brahmana masa lampau tetapi tidak melanggarnya. Karena ia berhenti pada batas kaum brahmana masa lampau tetapi tidak melanggarnya, maka ia disebut seorang brahmana yang tetap berada di dalam batas.

(4) “Dan bagaimanakah, Doṇa, seorang brahmana yang telah melewati batas? [228] Di sini, seorang brahmana yang terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayahnya, dari keturunan murni, tidak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga generasi ke tujuh pihak ayahnya. Ia menjalani kehidupan spiritual selibat-perjaka selama empat puluh delapan tahun, mempelajari hymne-hymne. Kemudian ia mencari imbalan guru untuk gurunya hanya dengan cara yang sesuai Dhamma, bukan yang bertentangan dengan Dhamma. Dan apakah, Doṇa, Dhamma itu dalam hal ini? bukan melalui pertanian, bukan melalui perdagangan, bukan melalui peternakan, bukan melalui keterampilan memanah, bukan melalui bekerja untuk raja, bukan melalui keterampilan tertentu, melainkan hanya dengan mengembara untuk menerima dana tanpa meremehkan mangkuknya. Setelah mempersembahkan imbalan guru kepada gurunya, ia mencari seorang istri baik yang sesuai Dhamma mau pun yang bertentangan dengan Dhamma. [Ia menerima seorang istri] dengan membeli dan menjual juga seorang perempuan brahmana yang diberikan kepadanya dengan menuang air. Ia melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan brahmana, seorang perempuan khattiya, seorang perempuan vessa, seorang perempuan sudda, dan seorang perempuan caṇḍāla, dan seorang perempuan dari keluarga pemburu, pekerja bambu, pembuat kereta, atau pemungut bunga. Ia melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan hamil, dengan seorang perempuan yang menyusui, dengan seorang perempuan pada masa subur, dan dengan seorang perempuan pada saat masa tidak subur. Istri brahmana itu berfungsi sebagai kenikmatan indria, hiburan, dan kesenangan indria, juga untuk menghasilkan keturunan.<1189> Ia tidak berhenti pada batas kaum brahmana masa lampau melainkan melanggarnya. Karena ia tidak berhenti pada batas kaum brahmana masa lampau namun melanggarnya, maka ia disebut seorang brahmana yang melewati batas.

(5) “Dan bagaimanakah, Doṇa, seorang brahmana adalah caṇḍāla seorang brahmana? Di sini, seorang brahmana yang terlahir baik dari kedua pihak ibu dan ayahnya, dari keturunan murni, tidak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga generasi ke tujuh pihak ayahnya. Ia [229] menjalani kehidupan spiritual selibat-perjaka selama empat puluh delapan tahun, mempelajari hymne-hymne. Kemudian ia mencari imbalan guru untuk gurunya baik dengan cara yang sesuai Dhamma maupun dengan cara yang bertentangan dengan Dhamma - melalui pertanian, melalui perdagangan, melalui peternakan, melalui keterampilan memanah, melalui bekerja untuk raja, melalui keterampilan tertentu, dan bukan hanya<1190> dengan mengembara untuk menerima dana tanpa meremehkan mangkuknya. Setelah mempersembahkan imbalan guru kepada gurunya, ia mencari seorang istri baik yang sesuai Dhamma mau pun yang bertentangan dengan Dhamma. [Ia menerima seorang istri] dengan membeli dan menjual juga seorang perempuan brahmana yang diberikan kepadanya dengan menuang air. Ia melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan brahmana, seorang perempuan khattiya, seorang perempuan vessa, seorang perempuan sudda, dan seorang perempuan caṇḍāla, dan seorang perempuan dari keluarga pemburu, pekerja bambu, pembuat kereta, atau pemungut bunga. Ia melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan hamil, dengan seorang perempuan yang menyusui, dengan seorang perempuan pada masa subur, dan dengan seorang perempuan pada saat masa tidak subur. Istri brahmana itu bukan berfungsi sebagai kenikmatan indria, hiburan, dan kesenangan indria, juga untuk menghasilkan keturunan. Ia mencari penghidupannya melalui segala jenis pekerjaan. Para brahmana berkata kepadanya: ‘Mengapakah, Tuan, walaupun mengaku sebagai seorang brahmana, engkau mencari penghidupanmu melalui segala jenis pekerjaan? Ia menjawab mereka: ‘Bagaikan api yang membakar benda-benda yang murni mau pun tidak murni namun tidak ternoda, demikian pula, tuan-tuan, jika seorang brahmana mencari penghidupannya melalui segala jenis pekerjaan, ia tidak karena itu menjadi ternoda.’ Karena ia mencari penghidupannya melalui segala jenis pekerjaan, maka brahmana ini disebut caṇḍāla seorang brahmana. Dengan cara inilah seorang brahmana menjadi seorang caṇḍāla brahmana.

“Doṇa, para bijaksana masa lampau di antara para brahmana – yaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vamadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Aṅgirasa, Bhāradvāja, [230] Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu – adalah para pencipta hymne-hymne dan penggubah hymne-hymne, dan adalah hymne-hymne mereka, yang dulu di bacakan, dinyatakan, dan dikompilasi, yang para brahmana masa sekarang masih membaca dan mengulanginya, mengulangi apa yang dulu dibabarkan, melafalkan apa yang dulu dilafalkan, dan mengajarkan apa yang dulu diajarkan. Para bijaksana masa lampau menggambarkan kelima jenis brahmana ini: seorang yang menyerupai Brahmā, seorang yang menyerupai deva, seorang yang tetap berada di dalam batas, seorang yang telah melewati batas, dan caṇḍāla seorang brahmana sebagai yang ke lima. Yang manakah engkau, Doṇa?”

“Kalau begitu, Guru Gotama, kami bahkan tidak sebanding dengan caṇḍāla seorang brahmana. Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #35 on: 12 March 2013, 02:36:33 AM »
193 (3) Saṅgārava <1191>

Brahmana Saṅghārava mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, mengapakah kadang-kadang bahkan hymne-hymne itu yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran, apalagi yang tidak pernah dilafalkan? Mengapakah kadang-kdang bahkan hymne-hymne itu yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran, apalagi yang pernah dilafalkan?”

[Mengapa Hymne-Hymne Tidak Dapat Teringat]

(1) “Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh nafsu indriawi, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indriawi yang telah muncul,<1192> maka pada saat itu ia tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya.<1193> Maka bahkan hymne-hymne itu yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran, apalagi yang tidak pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang bercampur dengan pewarna, kunyit, celupan biru, atau celupan merah tua. Jika seseorang yang berpenglihatan baik [231] memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia tidak akan mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh nafsu indriawi …  apalagi yang tidak pernah dilafalkan.

(2) “Kemudian, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh niat buruk, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran, apalagi yang tidak pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang dipanaskan di atas api, bergolak dan mendidih. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia tidak akan mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh niat buruk … apalagi yang tidak pernah dilafalkan.

(3) “Kemudian, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh ketumpulan dan kantuk, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari ketumpulan dan kantuk yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. [232] Maka bahkan hymne-hymne itu yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran, apalagi yang tidak pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang tertutup oleh ganggang dan tanaman air. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia tidak akan mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh ketumpulan dan kantuk … apalagi yang tidak pernah dilafalkan.

(4) “Kemudian, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran, apalagi yang tidak pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang bergolak oleh angin, beriak, berpusar, dan teraduk menjadi gelombang-gelombang. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia tidak akan mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan … [233] … apalagi yang tidak pernah dilafalkan.

(5) “Kemudian, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh keragu-raguan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran, apalagi yang tidak pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang kotor, keruh, dan berlumpur, dan diletakkan di tempat gelap. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia tidak akan mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan ditindas oleh keragu-raguan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul, maka pada saat itu ia tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran, apalagi yang tidak pernah dilafalkan.

[Mengapa Hymne-Hymne Dapat Teringat]

(1) “Brahmana, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh nafsu indriawi, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indriawi yang telah muncul, maka pada saat itu ia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran, apalagi yang  pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang tidak bercampur dengan pewarna, kunyit, celupan biru, [234] atau celupan merah tua. Jika seseorang yang berpenglihatan baik  memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh nafsu indriawi …  apalagi yang pernah dilafalkan.

(2) “Kemudian, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh niat buruk, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari niat buruk yang telah muncul, maka pada saat itu ia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran, apalagi yang pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang tidak dipanaskan di atas api, tidak bergolak dan tidak mendidih. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh niat buruk … apalagi yang pernah dilafalkan.

(3) “Kemudian, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh ketumpulan dan kantuk, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari ketumpulan dan kantuk yang telah muncul, maka pada saat itu ia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran,[235] apalagi yang pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang tidak tertutup oleh ganggang dan tanaman air. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh ketumpulan dan kantuk … apalagi yang pernah dilafalkan.

(4) “Kemudian, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul, maka pada saat itu ia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran, apalagi yang pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang tidak bergolak oleh angin, tidak beriak, tidak berpusar, dan tidak teraduk menjadi gelombang-gelombang. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh kegelisahan dan penyesalan … apalagi yang pernah dilafalkan.

(5) “Kemudian, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh keragu-raguan, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul, maka pada saat itu ia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran, apalagi yang pernah dilafalkan. Misalkan terdapat semangkuk air yang bersih, tenang, dan jernih, dan diletakkan di tempat terang. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya sendiri di dalam air itu, ia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan pikiran yang tidak dikuasai dan tidak ditindas oleh keragu-raguan, dan ia memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul, maka pada saat itu ia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Maka bahkan hymne-hymne itu yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran, apalagi yang pernah dilafalkan.

“Ini, brahmana, adalah alasan mengapa kadang-kadang bahkan hymne-hymne itu yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran, apalagi yang tidak pernah dilafalkan. Ini adalah alasan mengapa kadang-kadang bahkan hymne-hymne itu yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran, apalagi yang pernah dilafalkan.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

194 (4) Kāraṇapāḷi

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Pada saat itu brahmana Kāraṇapālī sedang melakukan suatu pekerjaan untuk para Licchavi.<1194> Dari jauh Brahmana Kāraṇapālī melihat kedatangan Brahmana Piṅgiyānī [237] dan berkata kepadanya:

“Dari manakah Guru Piṅgiyānī datang di tengah hari ini?”

“Aku datang, tuan, dari hadapan Petapa Gotama.”<1195>   

“Bagaimana menurutmu tentang kompetensi Petapa Gotama dalam hal kebijaksanaan? Apakah engkau menganggapNya bijaksana?”

“Siapakah aku, tuan, yang dapat mengetahui kompetensi Petapa Gotama dalam hal kebijaksanaan? Tentu saja, hanya seseorang yang setara denganNya yang dapat mengetahui kompetensiNya dalam hal kebijaksanaan!”

“Engkau sungguh memuji Petapa Gotama dengan pujian agung.”

“Siapakah aku, tuan, yang dapat memuji Petapa Gotama? Yang dipuji oleh mereka yang terpuji, Guru Gotama adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia!”

“Atas dasar apakah yang engkau lihat, Guru Piṅgiyānī, maka engkau memiliki keyakinan yang begitu penuh pada Petapa Gotama?”

(1) “Bagaikan seseorang yang telah menemukan kepuasan dalam rasa kecapan terbaik tidak lagi menginginkan rasa kecapan yang lebih rendah; demikian pula, tuan, apa pun yang didengar seseorang dari Dhamma Guru Gotama – apakah khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, atau kisah-kisah menakjubkan – ia tidak lagi menginginkan doktrin-doktrin para petapa dan brahmana biasa.<1196>

(2) “Bagaikan seseorang yang diserang oleh rasa lapar dan lemah yang menerima kue madu akan menikmati rasa manis dan lezat di mana pun ia memakannya; demikian pula, tuan, apa pun yang didengar seseorang dari Dhamma Guru Gotama – apakah khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, atau kisah-kisah menakjubkan – ia akan memperoleh kepuasan dan ketenangan pikiran.

(3) “Bagaikan seseorang yang mendekati sepotong kayu cendana, apakah cendana kuning atau cendana merah, akan menikmati aroma yang harum dan murni di mana pun ia menciumnya, apakah di bagian bawah, di tengah, atau di atas [238]; demikian pula, tuan, apa pun yang didengar seseorang dari Dhamma Guru Gotama – apakah khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, atau kisah-kisah menakjubkan – ia akan memperoleh kegirangan dan kegembiraan.

(4) “Bagaikan seorang tabib ahli yang dapat dengan cepat menyembuhkan seseorang yang menderita, sakit, dan sakit parah; demikian pula, tuan, apa pun yang didengar seseorang dari Dhamma Guru Gotama – apakah khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, atau kisah-kisah menakjubkan – dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan siksaan seseorang akan lenyap.

(5) “Bagaikan terdapat sebuah kolam yang indah dengan pantai yang menyenangkan, airnya bersih, menyenangkan, sejuk, dan jernih, dan seseorang yang didera dan keletihan oleh panas, penat, terpanggang terik matahari, dan kehausan, akan datang, memasuki kolam, dan mandi dan minum; sehingga segala penderitaannya, kepenatannya, dan panas membakarnya mereda. Demikian pula, tuan, apa pun yang didengar seseorang dari Dhamma Guru Gotama – apakah khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, atau kisah-kisah menakjubkan - sehingga segala penderitaannya, kepenatannya, dan panas membakarnya mereda.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Kāraṇapālī bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, dan menurunkan lutut kanannya ke tanah, ia memberikan penghormatan kepada Sang Bhagavā dan mengucapkan kata-kata inspiratif ini tiga kali:

“Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna!

“Bagus sekali, Guru Piṅgiyānī! Bagus sekali, Guru Piṅgiyānī! Guru Piṅgiyānī telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Piṅgiyānī menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #36 on: 12 March 2013, 02:36:59 AM »
195 (5) Piṅgiyānī

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Pada saat itu lima ratus orang Licchavi sedang mengunjungi Sang Bhagavā. Beberapa Licchavi berwarna biru, dengan kulit biru, berpakaian biru, memakai perhiasan biru. Beberapa Licchavi berwarna kuning, dengan kulit kuning, berpakaian kuning, memakai perhiasan kuning. Beberapa Licchavi berwarna merah, dengan kulit merah, berpakaian merah, memakai perhiasan merah. Beberapa Licchavi berwarna putih, dengan kulit putih, berpakaian putih, memakai perhiasan putih. Namun Sang Bhagavā lebih cemerlang daripada mereka semua dalam hal keindahan dan keagungan.

Kemudian, Brahmana Piṅgiyānī bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, dan setelah memberikan penghormatan kepada Sang Bhagavā, ia berkata: “Suatu inspirasi muncul padaku, Bhagavā! Suatu inspirasi muncul padaku, Yang Berbahagia!”

“Maka ungkapkanlah inspirasimu, Piṅgiyānī,” Sang Bhagavā berkata.<1197> Kemudian, di hadapan Sang Bhagavā, Brahmana Piṅgiyānī memuji Beliau dengan sebuah syair yang sesuai:<1198>

   “Seperti halnya teratai merah kokanada yang harum
   Mekar di pagi hari, keharumannya tidak habis,
   Tataplah cahaya Aṅgīrasa
   Bagaikan matahari yang bersinar di langit.”

Kemudian para Licchavi itu mempersembahkan lima ratus jubah atas kepada Brahmana Piṅgiyānī. Brahmana Piṅgiyānī mempersembahkan kelima ratus jubah atas itu kepada Sang Bhagavā. [240] Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para Licchavi:

“Para Licchavi, manifestasi lima permata adalah jarang di dunia.<1199> Apakah lima ini? (1) Manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna adalah jarang di dunia. (2) Seorang yang mengajarkan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata adalah jarang di dunia. (3) Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata telah diajarkan, seorang yang memahaminya adalah jarang di dunia. (4) Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata telah diajarkan, seorang yang memahaminya dan berlatih sesuai Dhamma adalah jarang di dunia. (5) Seorang yang bersyukur dan berterima kasih adalah jarang di dunia. Para Licchavi, manifestasi kelima permata ini adalah jarang di dunia.”
   
196 (6) Mimpi

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanNya, sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna. Lima mimpi agung muncul pada Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Apakah lima ini?

(1) “Sebelum pencerahanNya, sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna [bermimpi] bahwa bumi besar ini menjadi ranjangnya; Himālaya, raja pegunungan, menjadi bantalNya; tangan kiriNya berada di atas lautan timur, tangan kananNya di lautan barat, dan kedua kakiNya di lautan selatan. Ini adalah mimpi pertama yang muncul pada Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna sebelum pencerahanNya, sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna.

(2) “Kemudian, sebelum pencerahanNya …  Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna [bermimpi] bahwa sejenis rumput yang disebut tiriyā muncul dari pusarNya dan menjulang menyentuh langit. [241] Ini adalah mimpi ke dua yang muncul pada Sang Tathāgata … sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna.

(3) “Kemudian, sebelum pencerahanNya …  Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna [bermimpi] bahwa ulat-ulat putih berkepala hitam merayap dari kaki hingga ke lututNya dan menutupinya. Ini adalah mimpi ke tiga yang muncul pada Sang Tathāgata … sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna.

(4) “Kemudian, sebelum pencerahanNya …  Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna [bermimpi] bahwa empat ekor burung berbeda warna datang dari empat penjuru, jatuh di kakinya, dan semuanya berubah menjadi putih. Ini adalah mimpi ke empat yang muncul pada Sang Tathāgata … sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna.

(5) “Kemudian, sebelum pencerahanNya …  Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna [bermimpi] bahwa Beliau mendaki gunung kotoran yang besar tanpa terkotori oleh kotoran itu. Ini adalah mimpi ke lima yang muncul pada Sang Tathāgata … sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna.

(1) “Sekarang, para bhikkhu, ketika Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna – sebelum pencerahanNya, sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna - [bermimpi] bahwa bumi besar ini menjadi ranjangnya; Himālaya, raja pegunungan, menjadi bantalNya; tangan kiriNya berada di atas lautan timur, tangan kananNya di lautan barat, dan kedua kakiNya di lautan selatan, [ini adalah sebuah pertanda] bahwa Beliau akan tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi.<1200> Mimpi agung pertama ini muncul padaNya [sebagai suatu pertanda] bahwa pencerahanNya [segera terjadi].<1201> [242]

(2) “Ketika Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna … [bermimpi] bahwa sejenis rumput yang disebut tiriyā muncul dari pusarNya dan menjulang menyentuh langit, [ini adalah sebuah pertanda] bahwa Beliau akan tercerahkan pada Jalan Mulia Berunsur Delapan dan akan menyatakannya dengan baik kepada para deva dan manusia. Mimpi agung ke dua ini muncul padaNya [sebagai suatu pertanda] bahwa pencerahanNya [segera terjadi].

(3) “Ketika Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna … [bermimpi] bahwa ulat-ulat putih berkepala hitam merayap dari kaki hingga ke lututNya dan menutupinya, [ini adalah sebuah pertanda] bahwa banyak perumah tangga berjubah putih yang akan berlindung seumur hidup pada Sang Tathāgata. Mimpi agung ke tiga ini muncul padaNya [sebagai suatu pertanda] bahwa pencerahanNya [segera terjadi].

(4) “Ketika Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna … [bermimpi] bahwa empat ekor burung berbeda warna datang dari empat penjuru, jatuh di kakinya, dan semuanya berubah menjadi putih, [ini adalah sebuah pertanda] bahwa anggota-anggota dari keempat kasta – khattiya, brahmana, vessa, dan sudda – akan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata dan merealisasikan kebebasan tertinggi. Mimpi agung ke empat ini muncul padaNya [sebagai suatu pertanda] bahwa pencerahanNya [segera terjadi].

(5) ) “Ketika Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna … [bermimpi] bahwa Beliau mendaki gunung kotoran yang besar tanpa terkotori oleh kotoran itu, [ini adalah sebuah pertanda] bahwa Beliau akan menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, dan Beliau akan menggunakannya tanpa terikat padanya, tanpa tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta terserap di dalamnya, melihat bahayanya dan mengetahui jalan membebaskan diri. Mimpi agung ke lima ini muncul padaNya [sebagai suatu pertanda] bahwa pencerahanNya [segera terjadi].

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima mimpi agung itu yang muncul pada Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, sebelum pencerahanNya, sewaktu Beliau masih menjadi hanya seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna.” [243]

197(7) Hujan

“Para bhikkhu, ada lima rintangan pada hujan ini yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya.<1202>

(1) “Para bhikkhu, elemen panas di bagian atas langit menjadi terganggu. Karena hal ini, awan-awan yang telah muncul menjadi berhamburan. Ini adalah rintangan pertama pada hujan yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya.

(2) “Kemudian, elemen udara di bagian atas atas langit menjadi terganggu. Karena hal ini, awan-awan yang telah muncul menjadi berhamburan. Ini adalah rintangan ke dua pada hujan …

(3) “Kemudian, Rāhu raja asura mengambil air dengan tangannya dan membuangnya ke samudera. Ini adalah rintangan ke tiga pada hujan …

(4) “Kemudian, para deva awan hujan menjadi lengah. Ini adalah rintangan ke empat pada hujan …

(5) “Kemudian, umat manusia menjadi tidak baik. Ini adalah rintangan ke lima pada hujan …

“Ini adalah kelima rintangan pada hujan yang tidak diketahui oleh para peramal cuaca, di mana mata mereka tidak dapat menjangkaunya.”

198 (8 ) Ucapan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor, suatu ucapan diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; ucapan itu tidak tercela dan di luar celaan oleh para bijaksana. apakah lima ini? [244] Ucapan itu diucapkan pada waktu yang tepat; apa yang dikatakan adalah benar; ucapan itu diucapkan dengan lembut; apa yang dikatakan adalah bermanfaat; ucapan itu diucapkan dengan pikiran cinta kasih. Dengan memiliki kelima faktor ini, suatu ucapan diucapkan dengan baik, bukan diucapkan dengan buruk; ucapan itu tidak tercela dan di luar celaan oleh para bijaksana.”

199 (9) Keluarga

“Para bhikkhu, ketika kaum monastik yang bermoral<1203> mendatangi sebuah rumah, maka orang-orang di sana menghasilkan banyak jasa atas lima dasar. Apakah lima ini? (1) Ketika orang-orang melihat kaum monastik yang bermoral mendatangi rumah mereka dan mereka mambangkitkan keyakinan [terhadap kaum monastik], maka pada saat itu keluarga itu mempraktikkan jalan yang mengarah menuju surga. (2) Ketika orang-orang bangkit, memberi hormat, dan menawarkan tempat duduk kepada kaum monastik yang bermoral, maka pada saat itu keluarga itu membangkitkan jalan yang mengarah menuju kelahiran dalam keluarga-keluarga berderajat tinggi. (3) Ketika orang-orang melenyapkan noda kekikiran terhadap kaum monastik yang bermoral yang mendatangi rumah mereka, maka pada saat itu keluarga itu mempraktikkan jalan yang mengarah menuju pengaruh yang besar. (4) Ketika, sesuai dengan apa yang mereka miliki, mereka membagikan kepada kaum monastik yang bermoral yang mendatangi rumah mereka, maka pada saat itu keluarga itu mempraktikkan jalan yang mengarah menuju kekayaan besar. (5) Ketika orang-orang bertanya kepada kaum monastik yang bermoral yang mendatangi rumah mereka, mengajukan pertanyaan sehubungan dengan ajaran, dan mendengarkan Dhamma, maka pada saat itu keluarga itu mempraktikkan jalan yang mengarah menuju kebijaksanaan tinggi. [245] Para bhikkhu, ketika kaum monastik yang bermoral mendatangi sebuah rumah, maka orang-orang di sana menghasilkan banyak jasa atas kelima dasar ini.”

200 (10) Jalan Membebaskan Diri

“Para bhikkhu, ada lima elemen jalan membebaskan diri ini.<1204> Apakah lima ini?

(1) “Di sini, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan kenikmatan indria,<1205> pikirannya tidak meluncur ke sana, dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya.<1206> Tetapi ketika ia memperhatikan pelepasan keduniawian, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik,<1207> terkembang dengan baik, keluar dengan baik, dan terlepas dengan baik dari kenikmatan indria. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan kenikmatan indria sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu.<1208> Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari kenikmatan indria.

(2) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan niat buruk, pikirannya tidak meluncur ke sana, dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan niat baik, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, dan terlepas dengan baik dari niat baik. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan niat buruk sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari niat buruk.

(3) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan mencelakai, pikirannya tidak meluncur ke sana, dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan tidak-mencelakai, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, dan terlepas dengan baik dari mencelakai. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan mencelakai sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari mencelakai. [246]

(4) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan bentuk, pikirannya tidak meluncur ke sana, dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan tanpa-bentuk, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, dan terlepas dengan baik dari bentuk. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan bentuk sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari bentuk.

(5) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan eksistensi-diri, pikirannya tidak meluncur ke sana, dan tidak menjadi tenang, tidak kokoh, dan tidak terpusat padanya. Tetapi ketika ia memperhatikan lenyapnya eksistensi-diri, pikirannya meluncur ke sana dan menjadi tenang, kokoh, dan terpusat padanya. Pikirannya menjauh dengan baik, terkembang dengan baik, keluar dengan baik, dan terlepas dengan baik dari bentuk. Dan ia terbebas dari noda-noda, kesengsaraan dan demam itu, yang muncul dengan eksistensi-diri sebagai kondisi. Ia tidak merasakan perasaan itu. Ini dinyatakan sebagai jalan membebaskan diri dari eksistensi-diri.

“Kesenangan dalam kenikmatan indria tidak ada padanya; kesenangan dalam niat buruk tidak ada padanya; kesenangan dalam mencelakai tidak ada padanya; kesenangan dalam bentuk tidak ada padanya; kesenangan dalam eksistensi-diri tidak ada padanya. Karena ia tanpa kecenderungan tersembunyi pada kesenangan dalam kenikmatan indria, kesenangan dalam niat buruk, kesenangan dalam mencelakai, kesenangan dalam bentuk, dan kesenangan dalam eksistensi-diri, maka ia disebut seorang bhikkhu yang hampa dari kecenderungan tersembunyi. Ia telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan. Ini, para bhikkhu, adalah kelima elemen jalan membebaskan diri itu.” [247]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #37 on: 12 March 2013, 02:37:31 AM »

LIMA PULUH KE LIMA


I. KIMBILA

200 (1) Kimbila

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kimbilā di hutan nicula.<1209> Kemudian Yang Mulia Kimbila mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Apakah sebab dan alasan mengapa, Bhante, Dhamma sejati tidak bertahan lama setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir?”<1210>

“(1) Di sini, Kimbila, setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki, para umat awam perempuan berdiam tanpa penghormatan dan penghargaan terhadap Sang Guru. (2) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan penghargaan terhadap Dhamma. (3) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan penghargaan terhadap Saṅgha. (4) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan penghargaan terhadap latihan. (5) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan penghargaan terhadap satu sama lain. Ini adalah sebab dan alasan mengapa Dhamma sejati tidak bertahan lama setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir.

“Apakah sebab dan alasan mengapa, Bhante, Dhamma sejati bertahan lama setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir?”

“(1) Di sini, Kimbila, setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki, para umat awam perempuan berdiam dengan menghormati dan menghargai Sang Guru. (2) Mereka berdiam menghormati dan menghargai Dhamma. (3) Mereka berdiam menghormati dan menghargai Saṅgha. (4) Mereka berdiam menghormati dan menghargai latihan. (5) Mereka berdiam menghormati dan menghargai satu sama lain. Ini adalah sebab dan alasan mengapa Dhamma sejati bertahan lama setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir.” [248]

202 (2) Mendengarkan Dhamma

“Para bhikkhu, ada lima manfaat ini dalam mendengarkan Dhamma. Apakah lima ini? Seseorang mendengar apa yang belum pernah ia dengar; ia mengklarifikasi apa yang telah ia dengar; ia keluar dari kebingungan; ia meluruskan pandangannya; pikirannya menjadi tenang. Ini adalah lima manfaat dalam mendengarkan Dhamma.”

203 (3) Berdarah Murni <1211>

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah lima ini? Kejujuran, kecepatan, kelembutan, kesabaran, dan kelenturan. Dengan memiliki kelima faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah … dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah lima ini? Kejujuran, kecepatan, kelembutan, kesabaran, dan kelenturan. Dengan memiliki kelima faktor ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

204 (4) Kekuatan

“Para bhikkhu, ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan itu.”

205 (5) Kemandulan <1212>

“Para bhikkhu, ada lima jenis kemandulan pikiran ini.<1213> Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu bingung terhadap Sang Guru, meragukanNya, [249] tidak mempercayaiNya, dan tidak berkeyakinan padaNya. Ketika seorang bhikkhu bingung akan Sang Guru, meragukanNya, tidak mempercayaiNya, dan tidak berkeyakinan padaNya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah jenis pertama kemandulan pikiran.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu bingung terhadap Dhamma, meragukannya, tidak mempercayainya, dan tidak berkeyakinan padanya. Ketika seorang bhikkhu bingung akan Dhamma, meragukannya, tidak mempercayainya, dan tidak berkeyakinan padanya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah jenis ke dua kemandulan pikiran.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu bingung terhadap Saṅgha, meragukannya, tidak mempercayainya, dan tidak berkeyakinan padanya. Ketika seorang bhikkhu bingung akan Saṅgha, meragukannya, tidak mempercayainya, dan tidak berkeyakinan padanya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah jenis ke tiga kemandulan pikiran.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu bingung terhadap latihan, meragukannya, tidak mempercayainya, dan tidak berkeyakinan padanya. Ketika seorang bhikkhu bingung akan latihan, meragukannya, tidak mempercayainya, dan tidak berkeyakinan padanya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah jenis ke empat kemandulan pikiran.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu jengkel karena teman-temannya para bhikkhu, tidak senang pada mereka, kesal terhadap mereka, bersikap jahat terhadap mereka. Ketika seorang bhikkhu bhikkhu jengkel karena teman-temannya para bhikkhu, tidak senang pada mereka, kesal terhadap mereka, bersikap jahat terhadap mereka, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah jenis ke empat kemandulan pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima jenis kemandulan pikiran itu.”

206 (6) Belenggu <1214>
 
“Para bhikkhu, ada lima belenggu pikiran ini.<1215> Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan indria, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya. Ketika seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan indria, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah belenggu pikiran yang pertama.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada jasmani, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya. Ketika seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada jasmani, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah belenggu pikiran yang ke dua.
   
(3) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada bentuk, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya. Ketika seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada bentuk, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah belenggu pikiran yang ke tiga.

(4) “Kemudian, setelah makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya penuh, seorang bhikkhu menyerah pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur. Ketika seorang bhikkhu … menyerah pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah belenggu pikiran yang ke empat.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu menjalani kehiduapn spiritual demi [kelahiran kembali dalam] kelompok deva tertentu, [250] dengan berpikir: ‘Dengan perilaku bermoral, pelaksanaan, praktik keras, atau kehidupan spiritual ini aku akan menjadi salah satu deva atau salah satu [pengikut] para deva.’ Ketika ia menjalani kehiduapn spiritual demi [kelahiran kembali dalam] kelompok deva tertentu … maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan perjuangan. Karena pikirannya tidak condong pada semangat … dan perjuangan, maka ini adalah belenggu pikiran yang ke lima.

“Ini, para bhikkhu adalah kelima belenggu pikiran itu.”

207 (7) Bubur Beras

“Para bhikkhu, ada lima manfaat bubur beras ini. Apakah lima ini? Menenangkan lapar, menghilangkan haus, menenangkan angin, membersihkan kandung kemih, dan membantu pencernaan sisa-sisa makanan yang belum dicerna. Ini adalah kelima manfaat bubur beras itu.”

208 (8 ) Menyikat

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam tidak menyikat gigi.<1216> Apakah lima ini? Tidak baik di mata; nafasnya bau; pucuk pengecap tidak bersih; empedu dan dahak membungkus makanan; dan makanannya tidak sesuai baginya. Ini adalah kelima bahaya dalam tidak menyikat gigi.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam menyikat gigi. Apakah lima ini? Baik di mata; nafasnya tidak bau; pucuk pengecap bersih; empedu dan dahak tidak membungkus makanan; dan makanannya sesuai baginya. Ini adalah kelima manfaat dalam tidak menyikat gigi.” [251]

209 (9) Intonasi

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini dalam melafalkan Dhamma dengan intonasi yang ditarik, menyerupai lagu.<1217> Apakah lima ini? (1) Seseorang menjadi tergila-gila pada intonasinya sendiri. (2) Orang lain menjadi tergila-gila pada intonasinya. (3) Para perumah tangga mengeluhkan: ‘Seperti kita menyanyi, demikian pula, para petapa yang mengikuti putra Sakya ini.’ (4) Terjadi gangguan konsetrasi pada seseorang yang menginginkan intonasi yang lebih baik. (5) [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladannya. Ini adalah kelima bahaya dalam melafalkan Dhamma dengan intonasi yang ditarik, menyerupai lagu.

210 (10) Dengan Pikiran Kacau

“Para bhikkhu, ada lima bahaya bagi seseorang yang jatuh terlelap dengan pikiran kacau, tanpa pemahaman jernih.<1218> Apakah lima ini? Ia tidak tidur nyenyak; ia terjaga dalam keadaan tidak bahagia; ia bermimpi buruk; para dewata tidak melindunginya; dan ia mengeluarkan mani. Ini adalah kelima bahaya bagi seseorang yang jatuh terlelap dengan pikiran kacau, tanpa pemahaman jernih.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat bagi seseorang yang jatuh terlelap dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih. Apakah lima ini? Ia tidur nyenyak; ia terjaga dalam keadaan bahagia; ia tidak bermimpi buruk; para dewata melindunginya; dan ia tidak mengeluarkan mani. Ini adalah kelima manfaat bagi seseorang yang jatuh terlelap dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih.” [252]

II. SEORANG YANG MENGHINA

211 (1) Seorang yang Menghina

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang menghina dan merendahkan teman-temannya para bhikkhu, seorang pencerca para mulia, maka lima bahaya menantinya. Apakah lima ini? (1) Apakah ia melakukan pārājika dan memutuskan jalan keluar,<1219> atau (2) melakukan suatu pelanggaran kotor tertentu,<1220> atau (3) mengidap suatu penyakit keras. (4) Ia meninggal dunia dalam kebingungan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang menghina dan merendahkan teman-temannya para bhikkhu, seorang pencerca para mulia, maka kelima bahaya ini menantinya.”

212 (2) Percekcokan

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu adalah pembuat percekcokan, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, dan persoalan disiplin dalam Saṅgha, maka lima bahaya menantinya. Apakah lima ini? (1) Ia tidak mencapai apa yang belum ia capai; (2) ia jatuh dari apa yang telah ia capai; (3) suatu berita tentang keburukannya beredar; (4) ia meninggal dunia dalam kebingungan; dan (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ketika seorang bhikkhu adalah pembuat percekcokan, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, dan persoalan disiplin dalam Saṅgha, maka kelima bahaya ini menantinya.”

213 (3) Perilaku Bermoral

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini bagi seorang yang tidak bermoral karena kekurangannya dalam perilaku bermoral. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral kehilangan banyak kekayaan karena kelengahan. Ini adalah bahaya pertama bagi seorang yang tidak bermoral karena kekurangannya dalam perilaku bermoral.

(2) “Kemudian, suatu berita beredar tentang keburukan seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam dalam perilaku bermoral. Ini adalah bahaya ke dua … [253]

(3) “Kemudian, kumpulan apa pun yang didekati oleh seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – ia mendekatinya dengan takut dan malu. Ini adalah bahaya ke tiga …

(4) “Kemudian, seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral meninggal dunia dalam kebingungan. Ini adalah bahaya ke empat …

(5) “Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang yang tidak bermoral yang kurang dalam perilaku bermoral terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah bahaya ke lima …

“Ini adalah kelima bahaya itu bagi seorang yang tidak bermoral karena kekurangannya dalam perilaku bermoral.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat ini bagi seorang yang bermoral karena sempurna dalam perilaku bermoral. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral mengumpulkan banyak kekayaan karena kewaspadaan. Ini adalah manfaat pertama bagi seorang yang bermoral karena sempurna dalam perilaku bermoral.

(2) “Kemudian, seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral memperoleh reputasi baik. Ini adalah manfaat ke dua …

(3) “Kemudian, kumpulan apa pun yang didekati oleh seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – ia mendekatinya dengan percaya-diri dan tenang. Ini adalah manfaat ke tiga …

(4) “Kemudian, seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral meninggal dunia tanpa kebingungan. Ini adalah manfaat ke empat …

(5) “Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang yang bermoral yang sempurna dalam perilaku bermoral terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah manfaat ke lima … [254]

“Ini adalah kelima manfaat itu bagi seorang yang bermoral karena sempurna dalam perilaku bermoral.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #38 on: 12 March 2013, 02:37:52 AM »
214 (4) Banyak Berbicara

“Para bhikkhu, ada lima bahaya bagi seseorang yang banyak berbicara. Apakah lima ini? Ia berbohong; ia memecah-belah; ia berkata kasar; ia bergosip; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya itu bagi seseorang yang banyak berbicara.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat bagi seseorang yang bijak berbicara. Apakah lima ini? Ia tidak berbohong; ia tidak memecah-belah; ia tidak berkata kasar; ia tidak bergosip; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat itu bagi seseorang yang bijak berbicara.”

215 (5) Ketidak-sabaran (1)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam ketidak-sabaran. Apakah lima ini? Seseorang tidak disukai dan tidak disenangi oleh banyak orang; ia menimbun permusuhan;<1221> ia memiliki banyak kesalahan; ia meninggal dunia dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam ketidak-sabaran itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam kesabaran. Apakah lima ini? Seseorang disukai dan disenangi oleh banyak orang; ia tidak menimbun permusuhan; ia tidak memiliki banyak kesalahan; ia meninggal dunia tanpa kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam ketidak-sabaran itu.” [255]

216 (6) Ketidak-sabaran (2)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam ketidak-sabaran. Apakah lima ini? Seseorang tidak disukai dan tidak disenangi oleh banyak orang; ia kasar; ia penuh penyesalan; ia meninggal dunia dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam ketidak-sabaran itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam kesabaran. Apakah lima ini? Seseorang disukai dan disenangi oleh banyak orang; ia tidak kasar; ia tanpa penyesalan; ia meninggal dunia tanpa kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam kesabaran itu.”

217 (7) Tidak Menginspirasi Keyakinan (1)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perilaku yang tidak menginspirasi keyakinan. Apakah lima ini? Seseorang menyalahkan diri sendiri; para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya; ia memperoleh reputasi buruk; ia meninggal dunia dalam kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam perilaku yang tidak menginspirasi keyakinan.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perilaku yang menginspirasi keyakinan. Apakah lima ini? Seseorang tidak menyalahkan diri sendiri; para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya; ia memperoleh reputasi baik; ia meninggal dunia tanpa kebingungan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam perilaku yang menginspirasi keyakinan.”

218 (8 ) Tidak Menginspirasi Keyakinan (2)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perilaku yang tidak menginspirasi keyakinan. Apakah lima ini? [256] Mereka yang tanpa keyakinan tidak memperoleh keyakinan; beberapa di antara mereka yang berkeyakinan menjadi berubah pikiran; ajaran Sang Guru tidak dilaksanakan; [mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladannya; dan pikirannya tidak menjadi tenang.<1222> Ini adalah kelima bahaya dalam perilaku yang tidak menginspirasi keyakinan.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perilaku yang menginspirasi keyakinan. Apakah lima ini? Mereka yang tanpa keyakinan memperoleh keyakinan; mereka yang berkeyakinan meningkat [dalam keyakinan mereka]; ajaran Sang Guru dilaksanakan; [mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladannya; dan pikirannya menjadi tenang. Ini adalah kelima manfaat dalam perilaku yang menginspirasi keyakinan.”

219 (9) Api

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam api. Apakah lima ini? Tidak baik di mata; menyebabkan corak kulit yang buruk; menyebabkan kelemahan; memicu kegemaran dalam pergaulan; dan mengarah pada pembicaraan tanpa tujuan. Ini adalah kelima bahaya dalam api itu.”

220 (10) Mahurā

“Para bhikkhu, ada lima bahaya di Madhurā.<1223> Apakah lima ini? Tidak datar; berdebu; anjing-anjingnya ganas; terdapat makhluk halus yang buas; dan sulit mendapatkan dana makanan di sana. Ini adalah kelima bahaya di Madhurā itu.” [257]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #39 on: 12 March 2013, 02:38:12 AM »
III. PENGEMBARAAN PANJANG

221 (1) Pengembaraan Panjang (1)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini bagi seseorang yang melakukan pengembaraan yang panjang dan tanpa akhir.<1224> Apakah lima ini? Ia tidak mendengarkan apa yang belum pernah ia dengar; ia tidak mengklarifikasi apa yang telah ia dengar; ia tidak mempercayai bagian dari apa yang telah ia dengar; ia mengidap suatu penyakit keras; dan ia tidak memiliki teman. Ini adalah kelima bahaya itu bagi seseorang yang melakukan pengembaraan yang panjang dan tanpa akhir.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat ini bagi seseorang yang melakukan pengembaraan secara berkala. Apakah lima ini? Ia dapat mendengarkan apa yang belum pernah ia dengar; ia mengklarifikasi apa yang telah ia dengar; ia mempercayai beberapa hal dari apa yang telah ia dengar; ia tidak mengidap suatu penyakit keras; dan ia memiliki teman. Ini adalah kelima manfaat itu bagi seseorang yang melakukan pengembaraan secara berkala.”

222 (2) Pengembaraan Panjang (2)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini bagi seseorang yang melakukan pengembaraan yang panjang dan tanpa akhir. Apakah lima ini? Ia tidak mencapai apa yang belum ia capai; ia jatuh dari apa yang telah ia capai; ia merasa takut pada beberapa hal yang telah ia capai; ia mengidap suatu penyakit keras; dan ia tidak memiliki teman. Ini adalah kelima bahaya itu bagi seseorang yang melakukan pengembaraan yang panjang dan tanpa akhir.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat ini bagi seseorang yang melakukan pengembaraan secara berkala. Apakah lima ini? Ia mencapai apa yang belum ia capai; ia tidak jatuh dari apa yang telah ia capai; ia mempercayai bagian dari apa yang telah ia capai; ia tidak mengidap suatu penyakit keras; dan ia memiliki teman. Ini adalah kelima manfaat itu bagi seseorang yang melakukan pengembaraan secara berkala.” [258]

223 (3) Menetap Terlalu Lama

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini jika menetap terlalu lama [di tempat yang sama]. Apakah lima ini? (1) Seseorang menjadi memiliki dan mengumpulkan banyak benda; (2) ia menjadi memiliki dan mengumpulkan banyak obat-obatan; (3) ia melakukan banyak tugas dan pekerjaan dan menjadi kompeten dalam berbagai hal yang harus dilakukan; (4) ia membentuk keterikatan dengan para perumah tangga dan kaum monastik dalam cara yang tidak selayaknya seperti halnya umat awam; dan (5) ketika ia meninggalkan vihara itu, ia pergi dengan penuh kecemasan. Ini adalah kelima bahaya itu jika menetap terlalu lama [di tempat yang sama].

“Para bhikkhu, ada lima manfaat ini jika menetap selama waktu yang seimbang [di tempat yang sama]. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak memiliki dan tidak mengumpulkan banyak benda; (2) ia tidak memiliki dan tidak mengumpulkan banyak obat-obatan; (3) ia tidak melakukan banyak tugas dan pekerjaan dan tidak menjadi kompeten dalam berbagai hal yang harus dilakukan; (4) ia tidak membentuk keterikatan dengan para perumah tangga dan kaum monastik dalam cara yang tidak selayaknya seperti halnya umat awam; dan (5) ketika ia meninggalkan vihara itu, ia pergi tanpa kecemasan. Ini adalah kelima manfaat itu jika menetap terlalu lama [di tempat yang sama].”

224 (4) Kekikiran

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini jika menetap terlalu lama [di tempat yang sama]. Apakah lima ini? Seseorang menjadi kikir atas tempat-tempat tinggal, kikir atas keluarga-keluarga, kikir atas perolehan, kikir atas pujian, dan kikir atas Dhmma. Ini adalah kelima bahaya itu jika menetap terlalu lama [di tempat yang sama].

“Para bhikkhu, ada lima manfaat ini jika menetap selama waktu yang seimbang [di tempat yang sama]. Apakah lima ini? Seseorang tidak menjadi kikir atas tempat-tempat tinggal, tidak kikir atas keluarga-keluarga, tidak kikir atas perolehan, tidak kikir atas pujian, dan tidak kikir atas Dhmma. Ini adalah kelima manfaat itu jika menetap terlalu lama [di tempat yang sama].”

225 (5) Seorang yang Mengunjungi Keluarga-Keluarga (1)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini bagi seseorang yang mengunjungi keluarga-keluarga. Apakah lima ini? [259] (1) Ia melakukan pelanggaran mengunjungi [keluarga-keluarga] tanpa meminta izin [dari bhikkhu lain]. (2) Ia melakukan pelanggaran duduk berdua secara pribadi [dengan seorang perempuan]. (3) Ia melakukan pelanggaran duduk di tempat tertutup [dengan seorang perempuan]. (4) Ia melakukan pelanggaran mengajarkan Dhamma kepada seorang perempuan dalam lebih dari lima atau enam kalimat. (5) Ia didera oleh pikiran indriawi. Ini adalah kelima bahaya itu bagi seseorang yang mengunjungi keluarga-keluarga.”<1225>

226 (6) Seorang yang Mengunjungi Keluarga-Keluarga (2)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini bagi seseorang yang mengunjungi keluarga-keluarga dengan terikat terlalu erat dengan mereka. Apakah lima ini? (1) Ia sering bertemu perempuan. (2) Ketika ia sering bertemu mereka, maka ia terikat dengan mereka. (3) Ketika ia terikat dengan mereka, maka mereka menjadi akrab. (4) Ketika mereka menjadi akrab, nafsu mendapatkan peluang. (5) Ketika pikirannya berada dalam cengkeraman nafsu, maka ia melanggar suatu pelanggaran kotor tertentu, atau meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah.<1226> Ini adalah kelima bahaya itu bagi seseorang yang mengunjungi keluarga-keluarga dengan terikat terlalu erat dengan mereka.”

227 (7) Kekayaan

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam kekayaan ini. Apakah lima ini? Dimiliki bersama dengan api, air, raja-raja, pencuri-pencuri, dan pewaris yang tidak disukai. Ini adalah kelima bahaya dalam kekayaan itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam kekayaan ini. Apakah lima ini? Dengan kekayaan, (1) Seseorang membahagiakan dirinya sendiri dan bersenang dan secara benar mempertahankan dirinya dalam kebahagiaan; (2) ia membahagiakan orang tuanya dan bersenang dan secara benar mempertahankan orang tuanya dalam kebahagiaan; (3) ia membahagiakan istri dan anak-anaknya, para budak, pekerja, dan pelayannya dan bersenang dan secara benar mempertahankan mereka dalam kebahagiaan; (4) ia membahagiakan teman-teman dan kerabatnya dan bersenang dan secara benar mempertahankan mereka dalam kebahagiaan; (5) ia memberikan persembahan yang menggembirakan kepada para petapa dan brahmana yang surgawi, menghasilkan kebahagiaan, dan mengarah menuju surga. Ini adalah kelima manfaat dalam kekayaan itu.” [260]

228 (8 ) Makanan

“Para bhikkhu, ini adalah lima bahaya bagi sebuah keluarga yang mempersiapkan makanannya terlambat di siang hari.<1227> Apakah lima ini? (1) Tamu-tamu yang berkunjung tidak dilayani pada waktunya. (2) Para dewata tidak menerima persembahan pada waktunya. (3) Para petapa dan brahmana yang makan satu kali sehari dan menghindari makan malam, menghindari makan di luar waktu yang  tepat, tidak dilayani pada waktunya. (4) Para budak, pekerja, dan pelayan meringis ketika mereka melakukan pekerjaan mereka. (5) Banyak makanan yang dipersiapkan pada waktu yang tidak tepat menjadi tidak bergizi. Ini adalah kelima bahaya bagi sebuah keluarga yang mempersiapkan makanannya terlambat di siang hari.

“Para bhikkhu, ini adalah lima manfaat bagi sebuah keluarga yang mempersiapkan makanannya tepat waktu.<1228> Apakah lima ini? (1) Tamu-tamu yang berkunjung dilayani tepat pada waktunya. (2) Para dewata menerima persembahan tepat pada waktunya. (3) Para petapa dan brahmana yang makan satu kali sehari dan menghindari makan malam, menghindari makan di luar waktu yang  tepat, dilayani tepat pada waktunya. (4) Para budak, pekerja, dan pelayan melakukan pekerjaan mereka tanpa meringis. (5) Banyak makanan yang dipersiapkan pada waktu yang tepat menjadi bergizi. Ini adalah kelima manfaat bagi sebuah keluarga yang mempersiapkan makanannya tepat waktu.”

229 (9) Ular (1)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini pada ular hitam. Apakah lima ini? Tidak murni, berbau-busuk, menakutkan, berbahaya, dan mengkhianati temannya. Ini adalah kelima bahaya pada ular hitam itu. Demikian pula, ada lima bahaya pada perempuan. Apakah lima ini? Mereka tidak murni, berbau-busuk, menakutkan, berbahaya, dan mengkhianati temannya. Ini adalah kelima bahaya pada perempuan.”<1229>

230 (10) Ular (2)

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini pada ular hitam. Apakah lima ini? Ganas, bersikap bermusuhan, berbisa mematikan, berlidah bercabang, dan mengkhianati teman-temannya. [261] Ini adalah kelima bahaya pada ular hitam itu. Demikian pula, ada lima bahaya pada perempuan. Apakah lima ini? Mereka Ganas, bersikap bermusuhan, berbisa mematikan, berlidah bercabang, dan mengkhianati teman-temannya.

“Para bhikkhu, ini adalah bagaimana para perempuan berbisa mematikan: sebagian besar di antara mereka bernafsu besar. Ini adalah bagaimana para perempuan berlidah bercabang: sebagian besar di antara mereka mengucapkan kata-kata yang memecah-belah. Ini adalah bagaimana para perempuan mengkhianati teman-temannya: sebagian besar di antara mereka berselingkuh. Ini adalah kelima bahaya pada perempuan.”<1230>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #40 on: 12 March 2013, 02:38:32 AM »
IV. TUAN RUMAH

231 (1) Tidak Perlu Dihargai

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah tidak perlu dihargai. Apakah lima ini? (1) Ia tidak sempurna dalam tata cara dan tugas-tugas; (2) ia tidak terpelajar dan bukan ahli dalam pembelajaran; (3) ia tidak terbiasa dengan penghapusan juga bukan seorang yang senang dalam keterasingan; (4) ia bukan pembabar yang baik dan ia tidak memiliki penyampaian yang baik; (5) ia tidak bijaksana, bodoh, dan tumpul. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah tidak perlu dihargai.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah harus dihargai. Apakah lima ini? [262] (1) Ia sempurna dalam tata cara dan tugas-tugas; (2) ia terpelajar dan ahli dalam pembelajaran; (3) ia terbiasa dengan penghapusan dan senang dalam keterasingan; (4) ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; (5) ia bijaksana, cerdas, dan cerdik. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu tuan rumah harus dihargai.

232 (2) Menyenangkan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan dihormati dan dihargai oleh mereka. Apakah lima ini? (1) Ia bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. (2) ia telah benyak belajar, mengingat apa yang telah dipelajari, mengumpulkan apa yang telah dipelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang murni dan lengkap sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, dihafalkan, dilafalkan, dan diselidiki dalam pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia memiliki ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna. (4) Ia memperoleh sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (5) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah disukai dan disenangi oleh teman-temannya para bhikkhu dan dihormati dan dihargai oleh mereka.”

233 (3) Memperindah

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah memperindah sebuah vihara. Apakah lima ini? [263] (1) Ia bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha …  ia berlatih di dalamnya. (2) ia telah benyak belajar …  dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia memiliki ucapan yang halus, jernih, jelas, ekspresif dalam makna. (4) Ia mampu mengajari, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan mereka yang mendatanginya dengan khotbah Dhamma. (5) Ia memperoleh sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah memperindah sebuah vihara.

234 (4) Sangat Membantu

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah sangat membantu bagi sebuah vihara. Apakah lima ini? (1) Ia bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha …  ia berlatih di dalamnya. (2) ia telah benyak belajar …  dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (3) Ia memperbaiki apa yang rusak dan pecah. (4) Ketika sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu tiba termasuk para bhikkhu dari berbagai negeri, ia mendatangi umat-umat awam dan memberitahu mereka: ‘Teman-teman, sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu telah tiba termasuk para bhikkhu dari berbagai negeri. Perbuatlah jasa. Ini adalah kesempatan untuk melakukan jasa.’ (5) Ia memperoleh sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah sangat membantu bagi sebuah vihara.”

235 (5) Berbelas Kasihan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah menunjukkan belas kasihan pada umat-umat awam. Apakah lima ini? (1) Ia mendorong mereka sehubungan dengan perilaku bermoral. (2) Ia mengokohkan mereka dalam pandangan Dhamma.<1231> (3) Ketika mereka sakit ia mendatangi mereka dan mambangkitkan perhatian dalam diri mereka, dengan mengatakan: [264] ‘Biarlah yang mulia menegakkan perhatian pada apa yang selayaknya.’<1232> (4) Ketika sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu tiba termasuk para bhikkhu dari berbagai negeri, ia mendatangi umat-umat awam dan memberitahu mereka: ‘Teman-teman, sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu telah tiba termasuk para bhikkhu dari berbagai negeri. Perbuatlah jasa. Ini adalah kesempatan untuk melakukan jasa.’ (5) Ia sendiri mamakan makanan apa pun yang mereka berikan kepadanya, apakah kasar atau baik; ia tidak menghambur-hamburkan apa yang telah diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah menunjukkan belas kasihan pada umat-umat awam.”

236 (6) Seorang yang Layak Dicela (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. (4) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.” [265]

237 (7) Seorang yang Layak Dicela (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.  (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. (3) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”
   
238 (8 ) Seorang yang Layak Dicela (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.  (2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. (3) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia kikir dan serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia kikir sehubungan dengan perolehan. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. (2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. [266] (3) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (4) Ia tidak kikir dan tidak serakah sehubungan dengan keluarga-keluarga. (5) Ia tidak kikir sehubungan dengan perolehan. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

239 (9) Kekikiran (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Ia kikir sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (2) Ia kikir sehubungan dengan keluarga-keluarga. (3) Ia kikir sehubungan dengan perolehan. (4) Ia kikir sehubungan dengan pujian. (5) Ia menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Ia tidak kikir sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (2) Ia tidak kikir sehubungan dengan keluarga-keluarga. (3) Ia tidak kikir sehubungan dengan perolehan. (4) Ia tidak kikir sehubungan dengan pujian. (5) Ia tidak menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

240 (10) Kekikiran (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Ia kikir sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (2) Ia kikir sehubungan dengan keluarga-keluarga. (3) Ia kikir sehubungan dengan perolehan. (4) Ia kikir sehubungan dengan pujian. (5) Ia kikir sehubungan dengan Dhamma. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? (1) Ia tidak kikir sehubungan dengan tempat-tempat tinggal. (2) Ia tidak kikir sehubungan dengan keluarga-keluarga. (3) Ia tidak [267] kikir sehubungan dengan perolehan. (4) Ia tidak kikir sehubungan dengan pujian. (5) Ia tidak kikir sehubungan dengan Dhamma. Dengan memiliki lima kualits, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #41 on: 12 March 2013, 02:38:55 AM »
V. PERBUATAN BURUK

241 (1) Perbuatan Buruk

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya. (3) Ia memperoleh reputasi buruk. (4) Ia meninggal dunia dalam kebingungan. (5) dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak mencela diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya. (3) Ia memperoleh reputasi baik. (4) Ia meninggal dunia tanpa kebingungan. (5) dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik itu.”

242 (2) Perbuatan Buruk Melalui Jasmani

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani itu.”

243 (3) Perbuatan Buruk Melalui Ucapan

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan itu.”

244 (4) Perbuatan Buruk Melalui Pikiran

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? [268] … [seperti pada 5:241] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu.”

245 (5) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk

Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya. (3) Ia memperoleh reputasi buruk. (4) Ia menjauh dari Dhamma sejati. (5) Ia kokoh dalam Dhamma palsu. Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk itu.

Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang tidak menyalahkan diri sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, memujinya. (3) Ia memperoleh reputasi baik. (4) Ia menjauh dari Dhamma palsu. (5) Ia kokoh dalam Dhamma sejati. Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik itu.”

246 (6) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Jasmani

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui jasmani itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui jasmani itu.”

246 (6) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Ucapan

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui ucapan itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui ucapan itu.”

248 (8 ) Yang Lain Tentang Perbuatan Buruk Melalui Pikiran

“Para bhikkhu, ada lima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima bahaya dalam perbuatan buruk melalui pikiran itu.

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran ini. Apakah lima ini? … [seperti pada 5:245] … . Ini adalah kelima manfaat dalam perbuatan baik melalui pikiran itu.”

249 (9) Tanah Pekuburan

“Para bhikkhu, ada lima bahaya di tanah pekuburan. Apakah lima ini? Tidak murni, berbau busuk, berbahaya, menjadi alam makhluk-makhluk halus yang jahat, [sebuah tempat di mana] banyak orang menangis. Ini adalah lima bahaya di tanah pekuburan. Demikian pula, ada lima bahaya pada seseorang yang serupa dengan tanah pekuburan ini. Apakah lima ini? [269]

(1) “Di sini, seseorang melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia tidak murni, seperti halnya tanah pekuburan yang tidak murni, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

(2) “Karena ia melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka ia memperoleh reputasi buruk. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia berbau busuk. Seperti halnya tanah pekuburan yang berbau busuk, Aku katakan, orang ini serupa dengan itu.

(3) “Karena ia melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka teman-temannya para bhikkhu menghindarinya dari jauh. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia [dianggap sebagai] berbahaya. Seperti halnya tanah pekuburan [dianggap sebagai] berbahaya, Aku katakan, orang ini serupa dengan itu.

(4) “Dengan melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, ia berdiam bersama dengan orang-orang yang serupa dengan dirinya. Ini, Aku katakan, adalah bagaimana ia menjadi alam bagi [orang-orang] jahat. Seperti halnya tanah pekuburan menjadi alam bagi makhluk-makhluk halus yang jahat, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

(5) “Setelah melihatnya melakukan perbuatan buruk yang tidak murni melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, teman-temannya para bhikkhu yang berperilaku baik mengeluhkannya, dengan berkata: ‘Oh, betapa menderitanya kami menetap bersama orang-orang demikian!’ Ini, Aku katakan, adalah bagaimana mereka menangis karenanya. Seperti halnya tanah pekuburan adalah [sebuah tempat di mana] banyak orang menangis, Aku katakan orang ini serupa dengan itu.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya itu yang serupa dengan tanah pekuburan.” [270]

250 (10) Kepercayaan pada Seseorang

“Para bhikkhu, ada lima bahaya ini dalam mendasarkan kepercayaan pada seseorang. Apakah lima ini?

(1) “Orang yang padanya seseorang memiliki kepercayaan penuh mungkin melakukan suatu pelanggaran yang karenanya Saṅgha menangguhkannya. Orang itu [yang memiliki kepercayaan padanya] berpikir: ‘Orang yang kusukai dan kusenangi telah ditangguhkan oleh Saṅgha.’ Kemudian ia kehilangan kepercayaan pada para bhikkhu. Karena ia kehilangan kepercayaan pada para bhikkhu, maka ia tidak bergaul dengan para bhikkhu lainnya. Karena ia tidak bergaul dengan para bhikkhu lainnya, maka ia tidak mendengarkan Dhamma sejati. Karena ia tidak mendengarkan Dhamma sejati, maka ia jatuh dari Dhamma sejati. Ini adalah bahaya pertama dalam mendasarkan kepercayaan pada seseorang.

(2) “Kemudian, orang yang padanya seseorang memiliki kepercayaan penuh mungkin melakukan suatu pelanggaran yang karenanya Saṅgha menghukumnya duduk di belakang.<1233> Orang itu [yang memiliki kepercayaan padanya] berpikir: ‘Saṅgha telah menghukum orang yang kusukai dan kusenangi itu dengan duduk di belakang’ Kemudian ia kehilangan kepercayaan pada para bhikkhu ... Karena ia tidak mendengarkan Dhamma sejati, maka ia jatuh dari Dhamma sejati. Ini adalah bahaya ke dua dalam mendasarkan kepercayaan pada seseorang.

(3) “Kemudian, orang yang padanya seseorang memiliki kepercayaan penuh mungkin pergi ke tempat lain … (4) … mungkin lepas jubah … (5) … mungkin meninggal dunia. Orang itu [yang memiliki kepercayaan padanya] berpikir: ‘Orang yang kusukai dan kusenangi [telah pergi ke tempat lain … telah lepas jubah … ] telah meninggal dunia.’<1234> Ia tidak bergaul dengan para bhikkhu lainnya. Karena ia tidak bergaul dengan para bhikkhu lainnya, maka ia tidak mendengarkan Dhamma sejati. Karena ia tidak mendengarkan Dhamma sejati, maka ia jatuh dari Dhamma sejati. Ini adalah bahaya ke lima dalam mendasarkan kepercayaan pada seseorang.

“Ini, para bhikkhu, adalah lima bahaya dalam mendasarkan kepercayaan pada seseorang.” [271]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #42 on: 12 March 2013, 02:39:26 AM »
LIMA PULUH KE ENAM
   

I. PENAHBISAN PENUH<1235>

251 (1) Yang Memberikan Penahbisan Penuh

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu boleh memberikan penahbisan penuh.<1236> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki kelompok perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan; ia memiliki kelompok konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan; ia memiliki kelompok kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan; ia memiliki kelompok kebebasan dari seorang yang melampaui latihan; ia memiliki kelompok pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan.”

252 (2) Bergantung

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu boleh memberikan kebergantungan.<1237> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki kelompok perilaku bermoral … kelompok konsentrasi … kelompok kebijaksanaan … kelompok kebebasan … kelompok pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu boleh memberikan kebergantungan.”

253 (3) Samaṇera

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu boleh dilayani oleh seorang samaṇera. Apakah lima ini? sini, seorang bhikkhu memiliki kelompok perilaku bermoral … kelompok konsentrasi … kelompok kebijaksanaan … kelompok kebebasan … kelompok pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu boleh dilayani oleh seorang samaṇera.” [272]

254 (4) Kekikiran

“Para bhikkhu, ada lima jenis kekikiran ini. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Di antara kelima jenis kekikiran ini, yang paling buruk<1238> adalah kekikiran sehubungan dengan Dhamma.”

255 (5) Meninggalkan Kekikiran

“Para bhikkhu, kehidupan spiritual dijalani untuk meninggalkan dan melenyapkan lima jenis kekikiran. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Kehidupan spiritual dijalani untuk meninggalkan dan melenyapkan kelima jenis kekikiran ini.”

256 (6) Jhāna Pertama

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan kelima hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Tanpa meninggalkan kelima hal ini seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan kelima hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal … kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Setelah meninggalkan kelima hal ini seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.”

257 (7) – 263 (13) Jhāna ke Dua, dan seterusnya <1239>

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan kelima hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … seseorang tidak mampu merealisasikan buah memasuki-arus … buah yang-kembali-sekali … buah yang-tidak-kembali … buah Kearahattaan. Apakah lima ini? [273] Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal … kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Tanpa meninggalkan kelima hal ini seseorang tidak mampu merealisasi buah Kearahattaan.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan kelima hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … seseorang mampu merealisasikan buah memasuki-arus … buah yang-kembali-sekali … buah yang-tidak-kembali … buah Kearahattaan. Apakah lima ini? [273] Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal … kekikiran sehubungan dengan Dhamma. Setelah meninggalkan kelima hal ini seseorang mampu merealisasi buah Kearahattaan.”

264 (14) Yang Lain Tentang Jhāna Pertama

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan kelima hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan tidak bersyukur atau tidak berterima kasih. Tanpa meninggalkan kelima hal ini seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan kelima hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga, kekikiran sehubungan dengan perolehan, kekikiran sehubungan dengan pujian, dan bersyukur atau berterima kasih. Setelah meninggalkan kelima hal ini seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.”

265 (15) – 271 (21) Yang Lain Tentang Jhāna ke Dua, dan seterusnya

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan kelima hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … seseorang tidak mampu merealisasikan buah memasuki-arus … buah yang-kembali-sekali … buah yang-tidak-kembali … buah Kearahattaan. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal … tidak bersyukur atau tidak berterima kasih. Tanpa meninggalkan kelima hal ini seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan kelima hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … seseorang tidak mampu merealisasikan buah memasuki-arus … buah yang-kembali-sekali … buah yang-tidak-kembali … buah Kearahattaan. Apakah lima ini? Kekikiran sehubungan dengan tempat-tempat tinggal, kekikiran sehubungan dengan keluarga-keluarga … bersyukur atau berterima kasih. Setelah meninggalkan kelima hal ini seseorang mampu masuk dan berdiam dalam buah Kearahattaan.” [274]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #43 on: 12 March 2013, 02:39:46 AM »
KHOTBAH-KHOTBAH TAMBAHAN PADA BAB INI<1240>

I. RANGKAIAN PENGULANGAN DITUNJUK

272 (1) Seorang Petugas Pembagi Makanan

(1) “Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi makanan.<1241> Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan; ia memasuki jalan yang salah karena kebencian; ia memasuki jalan yang salah karena delusi; ia memasuki jalan yang salah karena ketakutan; ia tidak mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi makanan.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi makanan. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan; ia tidak memasuki jalan yang salah karena kebencian; ia tidak memasuki jalan yang salah karena delusi; ia tidak memasuki jalan yang salah karena ketakutan; ia mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi makanan.”

(2) “Para bhikkhu, jika seseorang yang memiliki lima kualitas ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi makanan, maka ia tidak boleh diutus.<1242> Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia tidak mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Jika seseorang yang memiliki kelima kualitas ini ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi makanan, maka ia tidak boleh diutus.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas, jika ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi makanan, maka ia boleh diutus. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini, jika ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi makanan, maka ia boleh diutus.”

(3) “Para bhikkhu, seorang petugas pembagi makanan yang memiliki lima kualitas harus dipahami sebagai dungu. Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia tidak mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seorang petugas pembagi makanan yang memiliki kelima kualitas ini harus dipahami sebagai dungu.

“Para bhikkhu, seorang petugas pembagi makanan yang memiliki lima kualitas harus dipahami sebagai bijaksana. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seorang petugas pembagi makanan yang memiliki kelima kualitas ini harus dipahami sebagai bijaksana.”

(4) “Para bhikkhu, seorang petugas pembagi makanan yang memiliki lima kualitas mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka. Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia tidak mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seorang petugas pembagi makanan yang memiliki kelima kualitas ini mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka.

“Para bhikkhu, seorang petugas pembagi makanan yang memiliki lima kualitas mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seorang petugas pembagi makanan yang memiliki kelima kualitas ini mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka.

(5) “Para bhikkhu, seorang petugas pembagi makanan yang memiliki lima kualitas ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia tidak mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seorang petugas pembagi makanan yang memiliki kelima kualitas ini ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

(5) “Para bhikkhu, seorang petugas pembagi makanan yang memiliki lima kualitas ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia mengetahui [makanan] yang mana yang telah dibagikan dan yang mana yang belum dibagikan. Seorang petugas pembagi makanan yang memiliki kelima kualitas ini ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

273 (2) – 284 (13) Seorang Petugas Pemberi Tempat Tinggal, dan seterusnya
 
(273) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pemberi tempat tinggal.<1243> Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan … ia tidak mengetahui [tempat tinggal] yang mana yang telah diberikan  dan yang mana yang belum didiberikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pemberi tempat tinggal. Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan … ia mengetahui [tempat tinggal] yang mana yang telah diberikan  dan yang mana yang belum diberikan. …”

(274)  “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pengalokasi tempat tinggal.<1244> … ia tidak mengetahui [tempat tinggal] yang mana yang telah dialokasikan  dan yang mana yang belum dialokasikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pengalokasi tempat tinggal. … ia mengetahui [tempat tinggal] yang mana yang telah dialokasikan dan yang mana yang belum dialokasikan. …”

(275) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas penjaga gudang … ia tidak mengetahui [barang-barang] apa yang sedang dilindungi  dan apa yang tidak sedang dilindungi. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas penjaga gudang … ia mengetahui [barang-barang] apa yang sedang dilindungi  dan apa yang tidak sedang dilindungi. …”

(276) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas penerima bahan jubah … ia tidak mengetahui [bahan jubah] yang mana yang telah diterima  dan mana yang belum diterima. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas penerima bahan jubah [275] … ia mengetahui [bahan jubah] yang mana yang telah diterima  dan mana yang belum diterima. …”

(277) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi bahan jubah … ia tidak mengetahui [bahan jubah] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi bahan jubah … ia mengetahui [bahan jubah] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. …”

(278 ) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi bubur beras … ia tidak mengetahui [bubur beras] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi bubur beras … ia mengetahui [bubur beras] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. …”

(279) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi buah … ia tidak mengetahui [buah] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi bubur beras … ia mengetahui [buah] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. …”

(280) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi kue … ia tidak mengetahui [kue] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi kue … ia mengetahui [kue] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. …”

(281) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi barang perlengkapan kecil … ia tidak mengetahui [barang perlengkapan kecil] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pembagi kue … ia mengetahui [barang perlengkapan kecil] yang mana yang telah dibagikan  dan mana yang belum dibagikan. …”

(282) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pengalokasi jubah hujan. … ia tidak mengetahui [jubah hujan] yang mana yang telah dialokasikan  dan yang mana yang belum dialokasikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pengalokasi jubah hujan. … ia mengetahui [jubah hujan] yang mana yang telah dialokasikan dan yang mana yang belum dialokasikan. …”

(283) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pengalokasi mangkuk. … ia tidak mengetahui [mangkuk] yang mana yang telah dialokasikan  dan yang mana yang belum dialokasikan. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang petugas pengalokasi mangkuk. … ia mengetahui [mangkuk] yang mana yang telah dialokasikan dan yang mana yang belum dialokasikan. …”

 (284) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang pengawas para pelayan vihara. … ia tidak mengetahui [pelayan vihara] yang mana yang telah diawasi  dan yang mana yang belum diawasi. … Para Bhikkhu, seorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang pengawas pelayan vihara. … ia mengetahui [pelayan vihara] yang mana yang telah diawasi  dan yang mana yang belum diawasi  . …”

285 (14) Pengawas Samaṇera

(1) “Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang pengawas samaṇera. Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan … ia tidak mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini tidak boleh ditunjuk sebagai seorang pengawas samaṇera.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas boleh ditunjuk sebagai seorang pengawas samaṇera. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan … ia mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini boleh ditunjuk sebagai seorang pengawas samaṇera.”

(2) “Para bhikkhu, jika seseorang yang memiliki lima kualitas ditunjuk sebagai seorang pengawas samaṇera, maka ia tidak boleh diutus. Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia tidak mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini jika ditunjuk sebagai seorang pengawas samaṇera, maka ia tidak boleh diutus.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas, jika ditunjuk sebagai seorang pengawas samaṇera, maka ia boleh diutus. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini, jika ditunjuk sebagai seorang pengawas samaṇera, maka ia boleh diutus.”

(3) “Para bhikkhu, seorang pengawas samaṇera yang memiliki lima kualitas harus dipahami sebagai dungu. Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia tidak mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seorang pengawas samaṇera yang memiliki kelima kualitas ini harus dipahami sebagai dungu.

“Para bhikkhu, seorang pengawas samaṇera yang memiliki lima kualitas harus dipahami sebagai bijaksana. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seorang pengawas samaṇera yang memiliki kelima kualitas ini harus dipahami sebagai bijaksana.”

(4) “Para bhikkhu, seorang pengawas samaṇera yang memiliki lima kualitas mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka. Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia tidak mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seorang pengawas samaṇera yang memiliki kelima kualitas ini mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka.

“Para bhikkhu, seorang pengawas samaṇera yang memiliki lima kualitas mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan … ia mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seorang pengawas samaṇera yang memiliki kelima kualitas ini mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka.

(5) “Para bhikkhu, seorang pengawas samaṇera yang memiliki lima kualitas ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia memasuki jalan yang salah karena keinginan …  ia tidak mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seorang pengawas samaṇera yang memiliki kelima kualitas ini ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

(5) “Para bhikkhu, seorang pengawas samaṇera yang memiliki lima kualitas ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia tidak memasuki jalan yang salah karena keinginan … ia mengetahui [samaṇera] yang mana yang telah diawasi dan yang mana yang belum diawasi. Seorang pengawas samaṇera yang memiliki kelima kualitas ini ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #44 on: 12 March 2013, 02:40:14 AM »
II. RANGKAIAN PENGULANGAN ATURAN LATIHAN

286 (1) Seorang Bhikkhu

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia adalah seorang yang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, tidak menjalankan kehidupan selibat,<1245> berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. [276] Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia adalah seorang yang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari aktivitas seksual,<1246> menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

287 (2) – 290 (5) Seorang Bhikkhunī, dan seterusnya

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī … seorang perempuan dalam masa percobaan … seorang samaṇera … seorang samaṇerī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia membunuh …  dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī … seorang perempuan dalam masa percobaan … seorang samaṇera … seorang samaṇerī ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhunī … seorang perempuan dalam masa percobaan … seorang samaṇera … seorang samaṇerī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia menghindari membunuh …  dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhunī … seorang perempuan dalam masa percobaan … seorang samaṇera … seorang samaṇerī ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

291 (6) – 292 (7) Umat Awam Laki-Laki dan Umat Awam Perempuan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam laki-laki … seorang umat awam perempuan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah,<1247> berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang umat awam laki-laki … seorang umat awam perempuan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang umat awam laki-laki … seorang umat awam perempuan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang umat awam laki-laki … seorang umat awam perempuan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

293 (8 ) Seorang Ājīvaka

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang Ājīvaka ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.<1248> Apakah lima ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, tidak menjalankan kehidupan selibat, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang Ājīvaka ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.”

294 (9) – 302 (17) Seorang Nigaṇṭha, dan seterusnya

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang Nigaṇṭha … seorang siswa berambut gundul … seorang petapa berambut kusut … seorang pengembara … seorang māgandika … seorang tedaṇḍika … seorang āruddhaka … seorang gotamaka [277] … seorang devadhammika ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.<1249> Apakah lima ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, tidak menjalankan kehidupan selibat, berbohong, dan meminum minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang devadhammika ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #45 on: 12 March 2013, 02:40:34 AM »
III. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA

303 (1)[/i]

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka lima hal harus dikembangkan. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi bahaya, persepsi kejijikan pada makanan, dan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kelima hal ini harus dikembangkan.”

304 (2)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka lima hal harus dikembangkan. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi tanpa-diri, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, dan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kelima hal ini harus dikembangkan.”

305 (3)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka lima hal harus dikembangkan. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, dan persepsi kebosanan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka kelima hal ini harus dikembangkan.”

306 (4)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka lima hal harus dikembangkan. Apakah lima ini? Indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, dan indria kebijaksanaan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka lima hal harus dikembangkan.”

307 (5)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka lima hal harus dikembangkan. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka lima hal harus dikembangkan.”

308 (6) – 316 (14)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka lima hal harus dikembangkan. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-menarikan … [seluruh lima kelompok di atas, hingga] … Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Demi terlepasnya nafsu, maka kelima hal ini harus dikembangkan.”

317 (15) – 1152 (850) <1250>

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan, maka lima hal ini harus dikembangkan. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-menarikan … [seluruh lima kelompok di atas, hingga] … Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Demi terlepasnya kelengahan, maka kelima hal ini harus dikembangkan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.



Buku Kelompok Lima selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #46 on: 12 March 2013, 02:49:25 AM »
Catatan kaki

974> Pañca sekhabalāni. Terlepas dari tumpang tindih sebagian, ini jangan dibingungkan dengan kelima kekuatan (pañca balānini) yang terdapat dalam tiga puluh tujuah bantuan menuju pencerahan, yang diperkenalkan pada 5:13-16. Mp: “Kekuatan-kekuatan dari seorang yang masih berlatih: kekuatan-kekuatan dari tujuh jenis individu yang masih berlatih. Kekuatan keyakinan disebut demikian karena kekuatan ini tidak goyah (na kampati dalam menghadapi ketidak-yakinan; kekuatan rasa malu bermoral tidak goyah dalam menghadapi sifat tanpa rasa malu bermoral; kekuatan rasa takut bermoral tidak goyah dalam menghadapi sifat tanpa rasa takut bermoral; kekuatan kegigihan tidak goyah dalam menghadapi kemalasan;dan kekuatan kebijaksanaan tidak goyah dalam menghadapi ketidak-tahuan.”

975> Hanya dalam Be.

976> Untuk perbedaan antara rasa malu bermoral (hiri) dan rasa takut bermoral (ottappa), dengan rujukannya, baca 2:8-9 dan p. 1622, catatan 225.

977> Mp menjelaskan udayatthagāminī paññā, “kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya,” sebagai “kebijaksanaan yang mampu menembus muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan (pañcannaṃ khandhānaṃ udayavayagāminiyā udayañca vayañca paṭivijjhituṃ samathāya). Ini adalah kebijaksanaan sang jalan bersama dengan kebijaksanaan pandangan terang (vipasanāpaññāya c’eva maggapaññāya).”

978> Mp: “Ini dikatakan sehubungan dengan seorang yang kokoh dalam buah memasuki-arus.”

979> Pubbāhaṃ bhikkhave ananussutesu dhammesu abhiññāvosānapāranippatto paṭijānāmi. Mp: “’Karena, melalui empat jalan, Aku telah menyelesaikan enam belas tugas sehubungan dengan empat kebenaran [mulia], maka Aku mengaku telah mencapai penyempurnaan dan kesempurnaan, setelah secara langsung mengetahuinya; [yaitu,] Aku telah mencapai supremasi dalam menyempurnakan tugas-tugasKu dengan menyelesaikan semua tugas.’ Beliau menunjukkan moralitas yang ia capai oleh diriNya sendiri di ambang pencerahan agung.”

980> Baca 4:8 untuk perlakuan paralel pada empat landasan keyakinan diri, 6:64 untuk enam kekuatan Tathāgata, dan 10:21, 10:22 untuk sepuluh kekuatan Tathāgata.

981> Ini adalah kelima kekuatan (pañca balāni) yang termasuk dalam tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā). Kelima kekuatan itu, sebagai faktor-faktor, adalah identik dengan kelima indria (panc’indriyāni), tetapi keduanya dibedakan dengan perbedaan dalam aspeknya. Baca SN 48:43, V 219-20, dan komentarnya, Spk III 247,2-7, yang menjelaskan bahwa indria keyakinan berarti keunggulan dalam hal keyakinan, dan kekuatan keyakinan berarti ketidak-goyahan dalam menghadapi ketiadaan keyakinan (adhimokkhalakkhaṇe indaṭṭhena saddhindriyaṃ, assaddhiye akampanena saddhābalaṃ). Dengan cara yang sama, keempat indria lainnya berturut-turut adalah keunggulan dalam hal pengerahan usaha, kehadiran, ketidak-kacauan, dan pemahaman (paggahaupaṭṭhāna-avikkhepa-pajānana) dan keempat kekuatan lainnya adalah ketidak-goyahan dalam menghadapi kemalasan, kekacauan-pikiran, pengalihan, dan ketidak-tahuan (kosajja-muṭṭhasacca-vikkhepa-avijjā).

982> Empat faktor memasuki-arus (cattāri sotāpattiyaṅgāni): keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, and perilaku bermoral yang disukai para mulia. Baca 9:27, 10:92.

983> Mp: “Faktor perilaku selayaknya (ābhisamācārikaṃ dhammaṃ) adalah perilaku tertinggi yang merupakan perilaku bermoral yang ditetapkan melalui tugas-tugas (uttamasamācārabhūtaṃ vattavasena paññattasīlaṃ; baca 4:245 §1, di mana kata yang digunakan adalah ābhisamācārikā sikkhā). Faktor dari seorang yang masih berlatih (sekhaṃ dhammaṃ) adalah perilaku bermoral yang ditetapkan bagi seorang yang masih berlatih. Perilaku Bermoral (sīlāni) adalah ‘empat perilaku bermoral besar’ (cattāri mahāsīlāni; diduga adalah empat jenis perilaku yang dijaga melalui empat aturan pārājika). Pandangan benar adalah pandangan benar dari pandangan terang (vipassanāsammādiṭṭhi); konsentrasi benar adalah konsentrasi sang jalan dan buah.”

984> Dari sini hingga “tidak terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda” juga terdapat pada SN 46:33, V 92.

985> Seperti pada 3:101, I 254,10-12. bukannya muddikāya MN III 243,21 menuliskan pavaṭṭikāya dan AN I 254,10, dan AN I 257,26, menuliskan paṭṭakāya.

986> Kekuatan-kekuatan batin berikut ini juga terdapat pada 3:101. tentang “landasan yang sesuai,” baca p.1669, catatan 562.

987> Mp mengidentifikasikan “pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya” (yathābhūtañāṇadassana) sebagai pandangan terang lembuut; “kekecewaan” (nibbidā) sebagai pandangan terang kuat; “kebosanan” (virāga) sebagai jalan mulia. Mp memecah vimuttiñāṇadassana menjadi vimutti dan ñāṇadassana, dengan yang pertama mewakili buah (phalavimutti) dan yang terakhir adalah pengetahuan peninjauan (paccavekkhaṇañāṇa). Akan tetapi, saya menerjemahkan menurut makna biasa, dan menganggap vimutti hanya sekedar tersirat di sini.

988> Mp: “Pandangan benar di sini adalah pandangan benar dari pandangan terang. Kebebasan pikiran (cetovimutti) adalah konsentrasi sang jalan dan buah, dan kebebasan melalui kebijaksanaan (paññāvimutti) adalah pengetahuan buah.” Ps I 164,29-31, dalam mengomentari tentang cetovimuttiṃ paññāvimuttiṃ pada MN I 35,26-27, mengidentifikasikan kebebasan pikiran sebagai konsentrasi yang berhubungan dengan buah Kearahattaan, dan kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai kebijaksanaan yang berhubungan dengan buah Kearahattaan.

989> Vimuttāyatanāni. Mp: “Penyebab-Penyebab Keterbebasan” (vimuccanakāraṇani).

990> So tasmiṃ dhamme atthapaṭisaṃvedī ca hoti dhammapaṭisaṃvedī ca. Mp menjelaskan atthapaṭisaṃvedi sebagai “seorang yang mengetahui makna dari teks” (pāḷi-atthaṃ jānantassa) dan dhammapaṭisaṃvedī sebagai “seorang yang mengetahui teks” (pāḷiṃ jānantassa), tetapi penjelasan ini tentu saja terlalu sempit dan tidak sesuai zaman. Pada 6:10, kita membaca labhati atthavedaṃ labhati dhammavedaṃ, yang saya terjemahkan “[ia] memperoleh inspirasi dalam makna, inspirasi dalam Dhamma.” Akar kata paṭisaṃvedī adalah vedī, yang jelas berhubungan dengan atthapaṭisaṃvedī dan dhammapaṭisaṃvedī berhubungan dengan atthavedā dan dhammaveda. Akar vid  berhubungan dengan vijjā, pengetahuan, dan juga dengan vedanā, perasaan. Dengan demikian saya menyarankan veda seharusnya dipahami sebagai pengetahuan yang menginspirasi, atau “inspirasi,” yang memunculkan pāmojja dan pīti, kegembiran dan sukacita. Adalah mungkin bahwa atthapaṭisaṃvedī dan dhammapaṭisaṃvedī  adalah berhubungan dengan atthapaṭisambhidā dan dhammapaṭisambhidā, walaupun dalam Pāli kata terakhir berhubungan dengan kata kerja bhindati, “memecah, membagi.” Baca juga pp. 1643-44, catatan 403.

991> Mp menjelaskan hal ini bermakna “ia terkonsentrasi melalui konsentrasi buah Kearahattaan” (arahattaphalasamādhinā samādhiyati). Tampaknya tidak mungkin bagi saya bahwa ini merupakan maksud yang sebenarnya, karena kontek menyiratkan bahwa ini adalah konsentrasi yang berfungsi sebagai landasan bagi pandangan terang, dan setelah itu bagi pencapaian sang jalan dan buah, bukan konsentrasi yang muncul sesudah realisasi.

992> Appamāṇan. Mp: “Hampa dari kualitas-kualitas pembuat batas, melampaui keduniawian” (pamāṇakaradhammarahitaṃ lokuttaraṃ). Biasanya, Nikāya-Nikāya mengidentifikasi konsentrasi tanpa batas sebagai empat alam brahma (brahmavihāra), tetapi beberapa teks juga mengenali konsentrasi tanpa batas yang melampaui keduniawian, yang diperoleh melalui hancurnya tiga kualitas “penghasil-batas”: keserakahan, kebencian, dan delusi. Baca MN 43:35, I 298, 8-9; SN 41:7, IV 297,11-12.

993> Baca p. 1669, catatan 560-61.

994> Be menghilangkan samādhiṁ. Jelas ini bukanlah kesalahan pencetakan, karena menurut satu catatan dalam Ee, penghilangan serupa juga sering terjadi pada naskah-naskah Burma.

995> Karena konsentrasi yang akan dijelaskan di bawah terutama adalah empat jhāna dan, mungkin, konsentrasi pandangan terang, maka Mp tidak menganggap kata ariya di sini merujuk pada jalan dan buah mulia melainkan sebagai bermakna “jauh dari kotoran yang ditinggalkan melalui penekanan (vikkhambhanavasena pahīnakilesehi ārakā ṭhitassa).” Dalam komentar, ariya kadang-kadang diturunkan dari āraka. Walaupun etimologi bermain-main, adalah mungkin bahwa samādhi ini merupakan praktik persiapan untuk mencapai jalan dan buah, bukan jalan dan buah itu sendiri.

996> Paccavekkhaṇanimittaṃ. Mp mengidentifikasikan ini sebagai pengetahuan peninjauan (paccavekkhaṇañāṇameva), jelas merujuk pada pengetahuan yang meninjau kembali pencapaian-pencapaian jalan dan buah. Akan tetapi, karena penggunaan kata paccavekkhaṇa ini tampaknya khas pada komentar, saya pikir lebih mungkin bahwa paccavekkhaṇanimitta di sini bermakna objek yang sedang diperiksa melalui pandangan terang.

997> Baca p. 1669, catatan 562.

998> Cīraṭṭhitiko hoti. Mp: “Jika seseorang telah memperoleh gambaran [konsentrasi] sewaktu berdiri, gambaran itu hilang ketika ia duduk. Jika ia telah memperoleh gambaran itu sewaktu duduk, gambaran itu hilang ketika ia berbaring. Tetapi pada seseorang yang bertekad pada berjalan mondar-mandir dan memperoleh gambaran dalam objek yang bergerak, gambaran itu tidak hilang ketika ia berdiri diam, duduk, dan berbaring.”

999> Mp mengatakan bahwa pandangan terang (vipassanā) dibahas di sini dalam lima cara.

1000> Mp mengidentifikasinya sebagai putri Raja Pasenadi dari Kosala.

1001> baca 4:87 §4

1002> Hanya empat jenis keunggulan yang disebutkan, kecuali jika yang ke lima adalah kekayaan (bhoga) bukan kekuaasan (ādhipateyya), seperti disebutkan dalam kuplet berikutnya.

1003> Ini memasyjjan paralel yang diperluas dari 4:34.

1004> Mp, dalam mengomentari sutta sebelumnya, mangatakan bahwa ia adalah putri Raja Bimbisāra.

1005> Anehnya, baik Ce maupun Ee tidak mencantumkan paragraf ini, yang terdapat dalam Be. Ini tampaknya diperlukan untuk melengkapi kelompok lima hal. Paragraf ini terdapat dalam seluruh tiga edisi kelompok Empat. Paralelnya dalam It §90, 88, tidak mencantumkan paragraf ini, tetapi It §90 memasukkannya dalam kelompok Tiga dan dengan demikian membatasinya pada tiga objek keyakinan.

1006> Virāge dhamme. Pernyataan paralel pada 4:34 hanya menuliskan virāge, tetapi It §90 menuliskan virāge dhamme.

1007> Syair-syair ini juga terdapat pada 4:34.

1008> Attacatuttho. Lit., “[dengan]-diri sendiri-[sebagai]-yang ke empat,’ yang berarti bahwa Sang Buddha diundang bersama dengan tiga bhikkhu menyertainya.

1009> Manāpakāyikānaṃ devānaṃ. Tidak dapat dipastikan apakah mereka disebut demikian dalam makna bahwa tubuh mereka menyenangkan, atau dalam makna bahwa mereka merupakan bagian dari sebuah kelompok yang menyenangkan. Kata kāya dapat berarti tubuh fisik atau pun sekelompok. Mp mengidentifikasikan para dewata ini sebagai “para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan.” Karena mereka menciptakan bentuk apa pun yang mereka sukai dan bersenang-senang di dalamnya, mereka disebut sebagai “bersenang-senang dalam penciptaan” atau “menyenangkan” (manāpā nāma te devā ti nimmānaratī devā; te hi icchiticchitaṃ rūpaṃ māpetvā abhiramaṇato nimmānaratī ti ca manāpā ti ca vuccanti). Baca 8:46, di mana Sang Buddha menguraikan delapan kondisi yang mengarah menuju kelahiran kembali di tengah-tengah para deva dengan tubuh-menyenangkan.

1010> Terdapat berbagai tulisan sehubungan dengan kata majemuk di sini: Ce icchācārena, Be issācārena, Ee issāvādena. Terjemahan saya mengikuti Ee. Yang menarik, pada 8:46, terdapat sebuah syair dengan kuplet identik tetapi dengan tulisan issāvādena dalam seluruh tiga edisi. Suatu pencarian dalam CST 4.0 untuk kata icchācār* menghasilkan banyak temuan atas kata majemuk ini dalam teks komentar tetapi tidak ada dalam teks kanonis. Dengan demikian tampaknya tulisan dalam Ce dipengaruhi oleh kebiasaan penyunting dengan ungkapan komentar.

1011> Ia awalnya adalah seorang pengikut Jain. Kisah pengalihannya diceritakan pada 8:12.

1012> Sandiṭṭhikaṃ dānaphalaṃ. Sebuah manfaat yang dapat dialami dalam kehidupan ini.

1013> Visārado upasaṅkamati amaṅkubhūto. Mp menjelaskan “dengan yakin” (visārado) sebagai berpengetahuan atau gembira (ñāṇasomanassappatto) dan “tenang” (amaṅkubhūto) sebagai tidak segan (na nittejabhūto).

1014> samparāyikaṃ dānaphalaṃ. Dengan manfaat ke lima ini, Sang Buddha telah melampaui pertanyaan awal Sīha dan menjelaskan, bukan buah dari memberi yang terlihat secara langsung, melainkan buah yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.

1015> Nandana: Taman Rekreasi di surga Tāvatimsa.

1016> Āyuṃ, vaṇṇaṃ, sukhaṃ, balaṃ, paṭibhānaṃ. Baca 4:57, 4:58.

1017> Mereka “menunjukkan belas kasihan” (anukampeyyuṃ) kepada mereka dengan memberikan kepada mereka suatu kesempatan untuk memberi dana makanan dan dengan itu memperoleh jasa. Dengan demikian bukan berarti umat-umat awam yang menunjukkan belas kasihan kepada kaum monastik dengan memberikan dana makanan kepada mereka (walaupun hal ini juga benar), melainkan kaum monastik yang menunjukkan belas kasihan kepada umat-umat aawm dengan mendatangi rumah mereka untuk menerima persembahan mereka. Dengan memberi dana umat-umat awam menciptakan benih untuk kelahiran kembali yang berbahagia dan pencapaian nibbāna. Kaum monastik juga dapat mengajarkan Dhamma kepada umat-umat awam dan dengan cara ini memberikan akses pada ajaran-ajaran kepada mereka.

1018> Sebuah paralel dari 3:38 yang diperluas. Seluruh hal yang disebutkan dalam perumpamaan gunung ini identik dalam kedua sutta, tetapi 3:48 digabungkan menjadi tiga dengan cara menggabungkannya beberapa sebagai kata majemuk, sedangkan sutta yang sekarang ini menguraikannya secara terpisah. Sutta yang sekarang ini menambahkan pembelajaran (suta) dan kedermawanan (ga) pada hal-hal yang didalamnya orang-orang tumbuh. Syair-syair ini identik dalam kedua sutta.

1019> Di sini dan di bawah, saya bersama dengan Ce dan Be membaca kulapatiṃ, bukan seperti Be kulaputtaṃ. Be dari 3:48 pada terjemahan saya (3:49 dalam penomoran Be) menuliskan kulapatiṃ pada tempat yang bersesuaian.

1020> Mulai dari bagian ini dan seterusnya, sutta ini paralel dengan 4:61. kelima hal ini diperoleh dengan membagi yang pertama dari  dari bagian terakhir menjadi dua bagian. Syair dalam kedua sutta adalah identik.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #47 on: 12 March 2013, 02:49:59 AM »
1021> Bersama dengan Be dan Ee saya membaca dhammaguttaṃ, bukan seperti Ce devaguttaṃ, yang tampaknya berlebihan di sini.

1022> Bandingkan dengan pembukaan pada 4:61.

1023> Pada tiap-tiap paragraf, saya bersama Ce membaca vā pihetuṃ, bukan seperti Be vāpi hetu, Ee vā pi hetuṃ. Kata kerja piheti (bentuk infinitif dari pihetuṃ) berarti “merindukan.” Gagasan secara pasif merindukan tampaknya disiratkan oleh perlawanan dengan mempraktikkan jalan sebagai cara untuk memenuhi keinginan seseorang.

1024> Teks saling mempertukarkan antara bentuk tunggal dan jamak dari kata saga.

1025> Ayusaṃvattanikā paṭipadā. Mp: “Praktik berjasa seperti memberi, perilaku bermoral, dan sebagainya.” Untuk analisis dari hubungan spesifik antara perbuatan sekarang dan akibatnya, baca MN 135.

1026> Syair ini juga terdapat pada SN 3:17, I 187; SN 3:18, I 89.

1027> Atthābhisamayā. Saya mendasarkan terjemahan ini pada kemasan dalam Mp: Atthassa abhisamāgamena, atthappaṭilābhenā ti vuttaṃ hoti.

1028> Sālapupphakaṃ khādaniyaṃ. Mp: “Sejenis makanan yang menyerupai tepung sal; terbuat dari tepung beras gunung yang dicampur dengan empat jenis manisan (madu, gula, mentega, dan ghee.)”

1029> Bersama dengan Be membaca sampannakolakaṃ sūkaramaṃsaṃ. Mp: “Daging babi berusia satu tahun yang dimasak dengan bumbu-bumbu seperti biji wijen, dan sebagainya, bersama dengan buah jujube manis.”

1030> Ce nibaddhatelakaṃ nāḷiyasākaṃ (Be nibattatelakaṃ nāliyasākaṃ). Mp: “Tangkai sayuran dimasak dalam ghee yang dicampur dengan wijen dan bumbu-bumbu lainnya, yang dilumatkan bersama dengan tepung beras gunung; kemudian dioleskan denagn empat jenis manisan dan dibiarkan hingga menguarkan aroma tertentu.”

1031> Demikianlah menurut Ce. Be dan Ee “lebih dari seratus ribu” (adhikasatasahasssaṃ). Diduga ini merujuk pada kahāpaṇa, mata uang utama masa itu.

1032> Bersama Ce membaca anaggahītaṃ, bukan seperti Be dan Ee anuggahītaṃ.

1033> Aññataraṃ manomayaṃ kāyaṃ upapajjati. Saya mengikuti Mp dalam menganggap ungkapan ini, seperti yang digunakan di sini, bermakna bahwa ia terlahir kembali di antara sekelompok (kāya) dewata, bukan bermakna bahwa ia terlahir kembali dengan tubuh ciptaan-pikiran. Mp: “[Terlahir kembali] dalam kelompok para deva di alam murni yang dihasilkan melalui pikiran jhāna” (suddhāvāsesu ekaṃ jhānamanena nibbataṃ devakāyaṃ). Juga, pada AN III 348,28-349, 1 (= V 139, 5-8 ) kita menemukan tusitaṃ kāyaṃ upapanno, di mana kāyaṃ pasti berarti “kelompok.” Sehubungan dengan kekuatan-kekuatan spiritual, manomaya kāya menyiratkan tubuh halus yang dihasilkan melalui pikiran meditatif, seperti pada AN I 24,2. baca juga 5:166.

1034> Sulit untuk melihat mengapa sutta ini dimasukkan ke dalam Kelompok Lima. Mungkinkah versi awal hanya terdiri dari lima jenis persembahan dan yang ke enam ditambahkan belakangan, setelah sutta ini dimasukkan dalam Kelompok Lima?

1035> Ini adalah paralel yang diperluas dari 4:51. Faktor tambahan diperoleh dengan menggantikan “tempat tinggal” (senāsanaṃ) dengan “tempat kediaman” (vihāraṃ) dan “tempat tidur dan tempat duduk” (mañcapīṭhaṃ).

1036> Seperti pada Be dan Ee. Penghilangan dari Ce pasti adalah kekeliruan editorial, karena ribuan galon terdapat dalam 4:51 versi Ce.

1037> Saya melengkapi definisi ini di sini; seluruh tiga edisi meringkasnya.

1038> Syair ini juga terdapat pada 4:52.

1039> Teks menggunakan bentuk kausatif refleksif: attānaṃyeva parinibbāpeti. Ini juga dapat diterjemahkan: “Ia memadamkan dirinya sendiri.” Apa yang dipadamkan secara literal adalah perasaan pahit dukacita, tetapi kata kerja parinibbāpeti, berhubungan dengan kata benda nibbāna, yang menyiratkan bahwa ia mencapai kebebasan tertinggi.

1040> Bersama dengan Ee saya membaca attho idha labbhā api appako pi (Be pada intinya serupa). Ce attho alabbho api appako pi berarti “bahkan kebaikan terkecil pun tidak dapat diperoleh,” yang merusak maknanya.

1041> Paveniyā. Mp: “Melalui kebiasaan keluarga (kulavaṃsena). Maknanya adalah, ‘Kami telah secara tradisi mempraktikkan ini, dan kami tidak mempraktikkan itu.”

1042> Kalimat ini terdapat dalam teks Ee, tetapi diapit dalam tanda kurung dalam Be dan dalam catatan pada Ce.

1043> Sokasallaharaṇo nāma ayaṃ mahārāja dhammapariyāyo.

1044> Naṅgalamukhāni. Lit. “mulut-mulut bajak.” Mp mengemas sebagai “mulut-mulut kanal” (mātikāmukhāni), dan menjelaskan: “Karena ini serupa dengan bajak dan terpotong oleh bajak, maka disebut ‘mulut-mulut bajak.’”

1045> Juga terdapat pada SN 47:5, V 145,26-146,5, diikuti oleh sebuah pernyataan bahwa keempat penegakan perhatian adalah “sebuah tumpukan yang bermanfaat” (kusalarāsī). Di sini saya mengikuti Be dan Ee, yang tidak memasukkan ime dalam bagian pembukaan. Ce mencantumkan ime baik dalam pembukaan maupun pada bagian akhir; Be tidak mencantumkannya dalam kedua tempat.

1046> Na sukaraṃ uñchena paggahena yāpetun. Saya menganggap uñchena paggahena menyiratkan satu tindakan, bukan dua tindakan. Tidak ada ca atau yang menyiratkan bahwa yang dimaksudkan adalah dua tindakan. Kemasan dalam Mp juga menyiratkan bahwa ungkapan ini merujuk pada satu tindakan: “Adalah tidak mungkin untuk membawa mangkuk seseorang dan bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit” (na sakkā hoti pattaṃ gahetvā uñhācariyāya yāpetuṃ). Baca juga kemasan pada Sp I 175,22-23: paggahena yo uñcho, tena yāpetuṃ na sukarā.

1047> Aññamaññaṃ akkosā ca honti, aññamaññaṃ paribhāsā ca honti, aññamaññaṃ parikhepā ca honti, aññamaññaṃ pariccajā ca honti. Sebuah paragraf serupa dalam It §§18-19, 10-11, menuliskan aññamaññaṃ bhaṇḍanāni ceva honti bukannya aññamaññaṃ akkosā ca honti tetapi sebaliknya serupa. Saya menerjemahkan parikkhepā dan pariccajanā sesuai dengan It-a I 69, 25-27, yang menjelaskan parikkhepā sebagai “penghinaan dan peremehan melalui sepuluh jenis hinaan, menyerang segala penjuru dalam hal kelahiran dan sebagainya” (jati-ādivasena parito khepā, dasahi akkosavatthūhi khuṃsanavambhanā), dan pariccajanā sebagai “pembubaran melalui tindakan disiplin penangguhan dan sebagainya” (ukkhepaniyakammakaraṇādivasena nissāraṇā).

1048> Muncul pertanyaan apakah ungkapan pasannānañca bhiyyobhāvo hoti berarti bahwa jumlah dari mereka yang berkeyakinan bertambah, atau, bahwa mereka yang berkeyakinan bertambah keyakinannya. Sp I 225,18-24, mendukung yang terakhir: “Umat-umat awam yang berkeyakinan pada ajaran, melihat para bhikkhu mengikuti aturan-aturan latihan yang mengokohkan mereka, menjadi lebih berkeyakinan lagi, dengan mengatakan: ‘Para bhikkhu memang melakukan apa yang sulit dilakukan; karena seumur hidup mereka makan sekali dalam sehari, mempertahankan kehidupan selibat, dan menjalankan pengendalian Vinaya;” (yepi sāsane pasannā kulaputtā tepi sikkhāpadapaññattiṃ ñatvā yathāpaññattaṃ paṭipajjamāne bhikkhū vā disvā “aho ayyā dukkarakārino, ye yāvajīvaṃ ekabhattaṃ brahmacariyaṃ vinayasaṃvaraṃ anupālentī” ti bhiyyo bhiyyo pasīdanti).

1049> Tesaṃ abhiṇhaṃ dassanā saṃsaggo ahosi, samsagge sati vissāso ahosi; vissāse sati otāro ahosi. Walaupun saya menerjemahkan vissāso sebagai “keakraban,” kata ini tidak berarti bahwa pada titik ini mereka telah memiliki hubungan fisik yang akrab. Melainkan, vissāso adalah perasaan percaya yang dapat mengarah pada hubungan seksual. Akan tetapi, agar hal ini dapat terjadi, maka keakraban harus memberikan celah bagi nafsu. Ini ditunjukkan melalui ungkapan otāro ahosi.

1050> Sebuah pelanggaran pārājika pertama atau pelanggaran yang mengakibatkan pengusiran.

1051> Saya mengikuti urutan pada Be dan Ee, yang membaca giddhā gathitā mucchitā ajjhopannā, bukan seperti Ce gatthitā giddhā mucchitā ajjhopannā. Urutan –gathita, mucchita, ajjhopanna – adalah umum dalam teks.

1052> Be dan Ee ugghātitā (Ce ugghānitā). Mp mengemas sebagai uddhumātā, “membengkak,” suatu tahapan kerusakan mayat. Lima tahapan demikian disebutkan pada 1:480-84. mungkin hal berikutnya, perempuan mati, merujuk pada perempuan yang telah meninggal dunia yang tersimpan dalam ingatan bukan mayatnya. Brahmāli menyatankan untuk menganggap ugghātitā sebagai “gemuk,” tetapi saya tidak yakin bahwa ini benar. DOP sv ugghāṭeti2 memberikan arti “menggembung, membengkak” di antara arti-artinya.

1053> Di sini Ce hanya menuliskan yampi taṃ bhikkhave sammā vadamāno vadeyya samantapāso mārassā ti, yang tidak lengkap. Karena itu saya mengikuti Be dan Ee: yaṃ hi taṃ bhikkhave sammā vadamāno vadeyya samantapāso mārassā ti mātugamaṃ yeva sammā vadamāno vadeyya samantapāso mārassā ti.

1054> Suvāsīdo: berdasarkan pada kata kerja āsīdati, mendekat, dengan awalan su- dan -v- sebagai konsonan penghubung.

1055> Mp mengemas purakkhatā sebagai “para pelopor, mereka yang berada di depan” (pureccārikā purato gatāyeva). Terjemahan saya “jatuh dengan kepala lebih dulu” adalah terjemahan bebas namun menangkap maknanya. Vanarata menyarankan bahwa kālaṃ, gatiṃ, dan bhavābhavaṃ mungkin adalah bentuk lokatif yang disingkat atau faktor-faktor kata majemuk yang dipisah yang harus digabungkan dengan saṃsārasmiṃ, tetapi saya pikir syair ini menggunakan bentuk akusatif karena alasan irama. Tidak ada paralel China dari sutta ini yang dapat diperbandingkan.

1056> Ungkapan “aku menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas” (anabhirato ca brahmacariyaṃ carāmi) menyiratkan bahaw ia ingin lepas jubah dan kembali kepada kehidupan awam.

1057> Di sini teks berubah menjadi bentuk jamak bhikkhave. Sang Buddha sekarang berkata kepada para bhikkhu secara keseluruhan.

1058> Tiga tema pertama mengulangi 3:39, yang karenanya sutta yang sekarang ini sangat mirip dengan sutta itu.

1059> Sabbehi me piyehi manāpehi. Saya menggunakan “siapa pun dan apa pun” untuk mencakup orang maupun kepemilikan. Pāli menyiratkan keduanya, tetapi dalam Bahasa Inggris kita memerlukan dua kata untuk menjangkau kedua objek.

1060> Mp: “Sang jalan muncul (maggo sañjāyati): jalan melampaui keduniawian dihasilkan. Belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan (saṃyojanāni savvaso pahīyanti): sepuluh belenggu sepenuhnya ditinggalkan (baca 10:13). Kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut (anusayā byantīhonti): ketujuh kecenderungan tersembunyi dilenyapkan, dipotong, dihentikan (baca 7:11). Demikianlah kelima bagian di atas membahas tentang pandangan terang; dalam kelima bagian ini dibahas tentang jalan melampaui keduniawian.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #48 on: 12 March 2013, 02:50:24 AM »
1061> Syair ini juga terdapat pada 3:39. tampak sebagai celaan pada diri sendiri yang diucapkan oleh Sang Bodhisatta sebelum pencerahannya dan dengan demikian cocok dengan baik di sini. Baris di bawahnya – “sewaktu aku berdiam demikian” (mama evaṃ vihārino) – menyiratkan bahwa ini adalah sang bodhisatta yang berbicara tentang perjuangannya untuk mencapai pencerahan. Dalam pāda c saya bersama Ce membaca yathādhammā tathāsantā, bukan seperti Be dan Ee yathā dhammā tathā sattā (walaupun keduanya sesuai dengan Ce dalam tulisan pada sutta sebelumnya).

1062> Ce dan Be membaca nekkhame daṭṭhu khemataṃ. Ee menuliskan nekkhammaṃ daṭṭhu khemato sebagai bacaan utamanya tetapi menyebutkan variasi Ce/Be dalam catatannya. Mp (baik Ce maupun Be) menggunakan bacaan Ce dan Be sebagai lema, yang mengemasnya sebagai nibbāne khemabhāvaṃ disvā, tetapi kemudian mengutip bacaan Ee sebagai variasi, dikemas sebagai nibbānaṃ khemato disvā. Dengan demikian Ee telah memilih variasi ini sebagai bacaan utamanya.

1063> Mp mengemas pacchāliyaṃ khipanti sebagai: “Mereka muncul di belakang dan menendang punggung mereka dengan kaki” (pacchato gantvā piṭṭhiṁ pādena paharanti).

1064> Bersama dengan Ce dan Ee membaca: khettakammantasāmantasaṃvohāre. Mp (Ce): “Pemilik lahan tetangga yang berbatasan dengan lahannya senidri, dan mereka yang berbisnis dengannya, yang mengukur lahan dengan galah pengukur” (ye attano khettakammantānaṃ sāmantā anantarakkhettasāmino, te ca rajjudaṇḍehi bhūmippamāṇaggāhake saṃvohāre ca). saya tidak melihat bahwa saṃvohāra, yang biasanya berarti “transaksi, bisnis,” memiliki hubungan eksplisit dengan pengukuran lahan.

1065> Balipaṭiggāhikā devatā. Mp: “para dewata pelindung yang telah disembah melalui tradisi keluarga.”

1066> Persepsi ketidak-menarikan (asubhasaññā) dijelaskan pada 10:60 §3; persepsi kematian, atau perhatian pada kematian (maraṇasaññā, maraṇassati), pada 6:19-20 dan 8:73-74; persepsi bahaya (ādīnavasaññā), pada 10:64 §4; persepsi kejijikan pada makanan (āhāre paṭikkūlasaññā), pada Vism 341-47, Ppn 11.1-26; dan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia (sabbaloke anabhiratasaññā), pada 10:60 §8.

1067> Persepsi ketidak-kekalan (aniccasañña) terdapat pada 10:60 §1, persepsi bukan-diri (anattasaññā) pada 10:60 §2.

1068> Mp: “Menetap bersama: mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan” (sājivo ti pañhapucchanañceva pañhavissajjanañca).

1069> Untuk analisis atas formula empat landasan, baca SN 51:13, V 268-69.

1070> Kata ussoḷhi, yang diterjemahkan di sini sebagai “semangat,” dikemas oleh Mp sebagai adhimattaviriyaṃ, “kegigihan luar biasa.”

1071> Baca 5:14.

1072> Sutta ini dan yang di bawahnya terdapat pada MN 22.30-35, I 139-40.

1073> Persepsi ditinggalkannya (pahānasaññā) dan persepsi kebosanan (vrāgasaññā) bertururt-tururt terdapat pada 10:60 §5 dan 10:60 §6. Ce, baik edisi cetakan maupun edisi elektronik, juga memasukkan nirodhasaññā, jelas merupakan kekeliruan editorial yang menambah jumlah persepsi menjadi enam.

1074> Dhammavihāri. Kata majemuk ini juga dapat diterjemahkan “seorang yang hidup dalam Dhamma.”

1075> Bersama Ce saya membaca dhammasaññattiya di sini dan saññattibahulo persis di bawah, bukan seperti Be dan Ee dhammapaññattiyā dan paññattibahuloberturut-tururt.

1076> Anuyuñjati ajjhataṃ cetosamathaṃ. Mp: “Ia mengejar dan mengembangkan konsentrasi pikiran dalam dirinya, ia bertekad pada dan menekuni subjek meditasi ketenangan” (niyakajjhatte cittasamādhiṃ āsevati bhāveti, samathakammaṭṭhāne yuttappayutto hoti).

1077> Uttariṃ c’assa paññāya atthaṃ nappajānāti. Mp: “Setelah pembelajarannya, ia tidak memahami makna Dhamma itu melalui jalan kebijaksanaan bersama dengan pandangan terang; ia tidak melihat dan menembus empat kebenaran [mulia]” (tato pariyattito uttariṃ tassa dhammassa sahavipassanāya maggapaññāya atthaṃ nappajānāti, cattāri saccāni na passati nappaṭivijjhati).

1078> Rajaggan. Mp: “Kumpulan debu yang muncul dari tanah, yang telah terinjak-injak oleh kaki gajah, kuda, dan sebagainya.”

1079> Ini adalah metode yang ditetapkan untuk meninggalkan status monastik. Seseorang menyatakan kepada seorang lainnya (biasanya seorang bhikkhu) tentang ketidak-mampuannya untuk menjalankan latihan, mengganti jubahnya menjadi pakaian biasa, menerima lima sila, dan kembali ke kehidupan awam.

1080> Saya mengikuti Be dan Ee, yang tidak memberikan titik-titik penghilangan di sini. Ce secara tidak konsisten mencantumkan titik-titik penghilangan dalam sutta ini (menyiratkan bahwa yang dimaksudkan adalah seluruh tiga vijjā) tetapi tidak dalam bagian paralel pada sutta berikutnya.

1081> Nasihat berikut ini juga terdapat dalam MN 22,3, I 130,23-31. Banyak dari perumpamaan bagi kenikmatan-kenikmatan indria ini dijelaskan dalam MN 54.15-21, I 364-67.

1082> Vāḷā amanussā, lit. “makhluk buas bukan manusia.” Mp mengemas “makhluk-makhluk bukan manusia itu sebagai yakkha yang kejam dan kasar, dan sebagainya” (kakkhaḷā duṭṭhā yakkhādayo amanussā).

1083> Mp tidak mengomentari tentang abhāvitakāyā, tetapi Spk II 395, 16 mengemasnya sebagai abhāvitapañcadvārikakāyā, “tidak terkembang dalam jasmani pada kelima pintu indria,” mungkin merujuk pada pengendalian indria. Saya curiga bahwa kata itu sesungguhnya merujuk pada pemeliharaan pemahaman jernih dalam segala postur dan berbagai aktivitas jasmani, seperti dijelaskan pada AN II 210,21-26, dan V 206,25-30.

1084> Iti kho, bhikkhave, dhammasandosā vinyayasandoso; vinayasandosā dhammasandoso. Mp: “Bagaimanakah bahwa ketika Dhamma menjadi rusak, maka disiplin menjadi rusak? Ketika dhamma-dhamma ketenangan dan pandangan terang tidak lagi dipelihara, maka kelima disiplin juga tidak aad. Tetapi ketika tidak ada displin pengendalian di antara mereka yang tidak bermoral, dalam ketiadaannya maka ketenangan dan pandangan terang tidak dipelihara. Dengan cara inilah, melalui kerusakan displin, maka terjadi kerusakan Dhamma.” Kelima disiplin melalui pengendalian adalah pengendalian melalui perilaku bermoral, perhatian, pengetahuan, kesabaran, dan kegigihan (sīlasaṃvara, satisaṃvara, ñāṇasaṃvara, khantisaṃvara, viriyasaṃvara). Baca Ps I 62,23-25, yang mengomentari Sabbāsava Sutta.

1085> Nissaya. Suatu prosedur yang ditetapkan dalam Vinaya yang mana seorang bhikkhu junior melayani seorang bhikkhu senior yang memenuhi syarat yang memberikan pelajaran kepadanya, biasanya penahbis atau gurunya. Prosedur serupa juga ditetapkan untuk para bhikkhunī. Periode nissaya biasanya lima tahun pertama setelah penahbisan penuh, namun dapat diperpanjang dalam kasus seorang yang memerlukan waktu lebih lama untuk memperoleh kompetensi. Untuk penjelasan terperinci, baca Thanissaro 2007a: 29-40.

1086> abhidhammakathaṃ vedallakathaṃ kathentā. Saya menganggap kata abhidhamma di sini memiliki fungsi rujukan murni, yaitu, bermakna “berhubungan dengan Dhamma.” Kata ini tidak menunjukkan koleksi kanon dengan nama yang sama atau filosofinya. Baca DOP sv abhidhamme. Mp juga, tampaknya menganggap bahwa Abhidhamma Piṭaka tidak relevan di sini, dengan menjelaskan abhidhammakathaṃ dalam paragraf ini sebagai sebuah diskusi tentang “ajaran tertinggi tentang perilaku bermoral, dan sebagainya” (sīlādi -uttamadhammakathaṃ). Mp menganggap vedallakathaṃ sebagai “pembicaraan lainnya tentang pengetahuan yang berhubungan dengan kegembiraan inspiratif” (vedapaṭisaṃyuttaṃ ñāṇamissakakathaṃ). MN 43 dan MN 44 mencantumkan vedalla dalam judulnya dan dilanjutkan dengan berbagai Tanya jawab antara para siswa. “Dhamma gelap” (kaṇhadhammaṃ) dikatakan muncul dengan cara mencari kesalahan dengan pikiran yang bermaksud untuk mengkritik orang lain (randhagavesitāya upārambhapariyesanavasena).

1087> Baca 2:47.

1088> saṃsaṭṭhā viharissanti. Mp: “Mereka akan berhubungan erat melalui lima jenis hubungan (pañcavidhena saṃsaggena).” Mp-ṭ: “Lima hubungan: hubungan melalui mendengar, melihat, percakapan, makan bersama, kontak fisik” (savanasaṃsaggo, dassanasaṃsaggo, samullāpasaṃsaggo, sambhogasaṃsaggo, kāyasaṃsaggo). Mp-ṭ mengidentifikasinya semua sebagai manifestasi nafsu dan memberi contoh yang terakhir dengan nafsu yang muncul karena berpegangan tangan (hatthaggāha, suatu pelanggaran saṅghādisesa jika terjadi antara seorang bhikkhu dan seorang perempuan). Seorang perempuan yang dalam masa percobaan (sikkhamānā) adalah para bhikkhunī yang telah ditahbiskan sebagai samaṇerī yang secara resmi dilatih sebelum penahbisan penuh sebagai bhikkhunī.

1089> Pelanggaran kotor (saṅkilitthaṃ āpattiṁ) di sini dapat berupa pārājika atau saṅghādisesa.

1090> Penggunaan makanan yang disimpan (sannidhikāraparibhoga) dilarang dalam Pācittiya 38, Vin IV 86-87. Sehubungan dengan “memberikan isyarat nyata” (oḷārikaṃ nimittaṃ), Mp mengatakan: “Di sini, menggali tanah ini dan memerintahkan ‘Gali!’ disebut memberikan isyarat nyata sehubungan dengan tanah. Memotong dan memerintahkan ‘Potong!’ disebut memberikan isyarat nyata sehubungan dengan tanaman.” Rujukannya adalah pada Pācittiya 10 dan 11, Vin IV 32-33, 33-35.

1091> Kuhako ca hoti, lapako ca, nemittiko ca, nippesiko ca, lābhena ca lābhaṃ nijigīsitā. Ini adalah bentuk-bentuk penghidupan salah, dibahas secara lengkap dalam Vibh 352-53 (Be §§861-65); dijelaskan dalam Vism 23-30, Ppn 1.61-82.

1092> Tentang empat paṭisambhidā, baca 4:172.

1093> Saya mengikuti Ce sātthā sabyañjanā, bukan seperti Be dan Ee sātthaṃ sabyañjanaṃ. Perbedaan yang sama terlihat di mana pun frasa ini muncul. Perbedaannya  bukan hal sepele; ini menunjukkan bahwa pada Ce, makna dan kata-kata berhubungan dengan dhammā, sedangkan bagi Be dan Ee berhubungan dengan brahmacariyaṃ, praktik kehidupan spiritual. Kata ini lebih cocok dihubungkan dengan dhammā, ajaran-ajaran yang diucapkan secara lisan, daripada dihubungkan dengan brahmacariyaṃ, yang dijalani bukan diucapkan.

1094> Be di sini membaca diṭṭhiyā appaṭividdhā, “tidak ditembus melalui pandangan,” yang tampaknya merupakan suatu “koreksi” terpelajar pada formula umum. Kalau tidak maka kita akan menemukan kata sambung perlawanan, seperti ca atau ca pana, untuk mempersiapkankita pada variasi dari bacaan yang biasanya. Ce dan Ee menuliskan diṭṭhiyā suppaṭividdha yang lebih akrab, yang saya ikuti.

1095> Yathāvimuttaṃ cittaṃ na paccavekkhati. Mp: “Setelah memeriksa kembali pelanggaran-pelanggaran mana yang telah ditinggalkan dan moralitas-moralitas mana yang telah diperoleh, ia tidak berusaha untuk memperoleh moralitas yang lebih tinggi.” Paragraf ini tampaknya mengantisipasi gagasan paccavekkhaṇañāṇa yang tampil menonjol dalam komentar-komentar.

1096> Mp: “Sutta ini telah membahas tentang sebab-sebab kemunduran dan kemajuan pada ketujuh jenis individu yang masih berlatih sehubungan dengan moralitas yang lebih tinggi. Sebab-sebab kemunduran bagi seorang yang masih berlatih pertama-tama muncul pada kaum duniawi.”

1097> Ananulomikena gihisaṃggena. Tentang kelima jenis saṃsagga, baca p. 1733, catatan 1088.

1098> Aññābyākaraṇāni. Mp: “Pernyataan-pernyataan Kearahattaan.”

1099> Akuppaṃ. Mungkin bermakna akuppā cetovimutti, kebebasan pikiran yang tak tergoyahkan. Mp mengidentifikasinya sebagai Kearahattaan.

1100> Sakkaccaññeva deti ho asakkaccaṃ. Mp: “Ia menyerang tanpa memandang rendah, tanpa melanggar batas; ia tidak melakukannya dengan  merendahkan dan melanggar.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #49 on: 12 March 2013, 02:57:51 AM »
1101> Annabhāranesādānaṃ. Mp mengemas annabhārā sebagai paar pengemis (yācakā) dan nesādā sebagai penangkap burung (sākuṇikā).

1102> Kisah pembuka, bersama dengan khotbah tentang kelima jenis guru, terdapat pada Vin II 185-87.

1103> Manomayaṃ kāyaṃ upapanno. Para dewata ciptaan pikiran adalah mereka yang terlahir kembali di alam berbentuk melalui kekuatan pencapaian jhāna masa lampau mereka.

1104> Kata untuk “tubuh” di sini adalah attabhāvapaṭilābha. Saya menganggap paṭulābha hanya sebagai idiom tambahan and tidak menganggap kata itu menambah apa pun dalam maknanya. Mp mengemas sebagai sarīrapaṭilābho, yang mendukung perkiraan saya bahwa yang dimaksudkan di sini adalah tubuh fisik. Ungkapan attabhāvapaṭilābha muncul pada 4:171, di mana kata itu merujuk pada keseluruhan jenis makhluk hidup. Dalam teka itu kata itu tidak dapat ditafsirkan secara sempit sebagai tubuh fisik, karena juga mencakup “para deva di landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi,” yang tanpa tubuh fisik.

Sehubungan dengan ukuran tubuhnya, teks membaca dve vā tīṇi vā māgadhikāni gāmakkhettāni. Tentang gāmakkhetta Brahmāli menulis: “Kata ini juga muncul pada MN III 10,11: ekaṃ gāmakkhettaṃ upanissāya viharāma, dan pada MN II 167,27: amhākaṃ gāmakkhettaṃ āacchanti. Dari kalimat ini tampaknya cukup jelas bagi saya bahwa gāmakkhetta merujuk pada sebuah desa bersama dengan semua lahan-lahannya” (komunikasi pribadi). Ukuran panjang tubuhnya ini menurut Mp menyiratkan bahwa tubuhnya adalah 3-4.5 mil atau 5-7km tingginya.

1105> Teks mengataakn tassā iddhiyā, “kekuatan batin itu,” bukan tassa iddhiyā, “kekuatan batinnya.” Kata ganti tersebut merujuk pada kekuatan batin yang telah disebutkan, namun sutta tidak menjelaskan apa itu. Konteks ini diberikan oleh Vin II 184,33-185,21, di mana devadatta mengerahkan kekuatan batinnya dengan mengubah dirinya menjadi seorang anak muda yang mengenakan sabuk ular. Ia menggunakan kekuatan ini untuk mengesankan Pangeran Ajātasattu dan mendapatkan dukungannya. Selanjutnya Devadatta berpikir untuk menguasai Saṅgha dari Sang Buddha, yang karenanya ia kehilangan kekuatan batin itu.

1106> Yaṃ tumo karissati tumo’va tena paññāyissati. PED menjelaskan akar kata tuma sebagai “kemungkinan besar merupakan bentuk singkat dari ātuma = attā, Skt ātman, diri.” Mp memparafrasekan “Seorang akan dikenali melalui perbuatan yang ia lakukan” (yaṃ esa karissati, eso’va tena kammena pākaṭo bhavissati).

1107> Aparisuddhaveyyākarano. Mp tidak berkomentar. Diduga, hal ini merujuk pada penjelasannya atas suatu hal dalam ajarannya atau jawabannya atas suatu pertanyaan.

1108> Sekhavesārajjakaraṇā dhammā.

1109> Sārajjaṃ. Mp mengemas sebagai domanassaṃ, “kesedihan,” tetapi hal ini tampaknya tidak cukup tepat. Sārajja adalah kondisi seseorang yang takut, enggan, dan tidak aman (sārada) ketika harus muncul di hadapan publik atau mengambil posisi dalam urusan komunitas. Lawannya, vesārajja, adalah kondisi di mana seseorang merasa nyaman dan percaya-diri (visārada) ketika berinteraksi dengan orang lain.

1110> Kuppadhammo pada Ee jelas adalah suatu kesalahan, walaupun dalam catatan pada berbagai tulisan Ee mengenali tulisan yang benar, akuppadhammo. Mp mengemas sebagai khīṇāsavo, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, seorang Arahant. Agar Saṅgha senantiasa dihormati oleh komunitas awam, maka dianggap penting bagi kaum monastik agar tidak hanya bermoral dalam perilaku mereka tetapi juga menghindari perbuatan-perbuatan yang mengundang kecurigaan. Perilaku demikian bukan hanya merugikan individu monastik tertentu tetapi juga mencemarkan Dhamma dan Saṅgha. Demikianlah maksud dari nasihat ini.

1111> Mp mengemas vesiyāgocaro sebagai tāsaṃ gehaṃ abhiṇhagamano, “sering mengunjungi rumah-rumah mereka.” Dengan demikian gocara di sini pasti merujuk pada makna sempit seagai tempat kunjungan untuk menerima dana makanan.

1112> Suatu paralel yang diperluas dari 3:50.

1113> Gahaṇāni, lit. “pengambilan.” Mp: “Pengambilan benda-benda milik orang lain” (parasaṅtakānaṃ bhaṇḍānaṃ gahaṇāni).

1114> Guyhamantā. Di sini mantā pasti bermakna “pertimbangan” atau “konsultasi,” bukan mantra. Mp memberikan kemasan kata kerja, guhitabbamantā.

1115> Antaggāhikāya. Mp: “Ia menggenggam pandangan eternalisme atau nihilisme.”

1116> Sutta ini mengulang 4:87 §4, bagian petapa lembut di antara para petapa, di sini dibagi menjadi lima bagian sekunder.

1117> Phāsuvihārā. Ini adalah lima di antara enam prinsip kerukunan yang lebih terkenal, pada 6:11-12.

1118> No paraṃ adhisīle sampavattā. Saya mengartikan adhisīle di sini dalam makna yang murni brsifat rujukan “sehubungan dengan perilaku bermoral,” dan bukan menyiratkan “perilaku bermoral yang lebih tinggi” (walaupun, tentu saja, karena “perilaku bermoral” diidentifikasikan dengan pengendalian oleh Pātimokkha, maka yang dimaksudkan adalah “perilaku bermoral yang lebih tinggi”). Mp mendukung pengertian adhisīle sebagai rujukan ini dengan kemasannya: “Ia tidak mencela atau mengecam orang lain sehubungan dengan perilaku bermoral” (paraṃ sīlabhāvena na garahati na upavadati).

1119> Cātuddiso. Mp: “Ia bepergian tanpa rintangan di empat penjuru” (catūsu disāsu appaṭihatacāro).

1120> Ce tidak mencantumkan judul di awal vagga, tetapi memberikan judul sebelum syair uddāna di bagian akhir.

1121> Maknanya tidak jelas dan tulisannya bervariasi. Ce viyatthūpasevī, Ee vyatthūpasevī, Be vissaṭṭhupasevī. Mp (Be) menjelaskan: “Ia bergaul dengan keluarga-keluarga yang terpecah untuk menciptakan perselisihan” (vissaṭṭhāni bhinnakulāni ghaṭanatthāya upasevati). Mp (Ce) menuliskan viyatthāni bhinnakakulāni.

1122> Sammādassana. Ini adalah sinonim untuk pandangan benar (sammā diṭṭhi). Mp memparafrasekan: “Memiliki lima jenis pandangan benar: tanggung jawab kamma seseorang, jhāna, pandangan terang, jalan, dan buah.”

1123> Mp: “Ia kikir sehubungan dengan tempat kediamannya (āvāsamaccharinī) dan tidak tahan jika orang lain menetap di sana. Ia kikir sehubungan dengan keluarga-keluarga (kulamaccharinī) yang menyokongnya dan tidak tahan jika orang lain mendatangi mereka [demi sokongan]. Ia kikir sehubungan dengan perolehan (lābhamaccharinī) dan tidak tahan jika orang lain mendapatkannya. Ia kikir sehubungan dengan moralitasnya (gunamaccharinī) dan tidak tahan mendengar tentang moralitas orang lain. Dan ia kikir sehubungan dengan Dhamma (dhammamaccharinī) dan tidak ingin berbagi dengan orang lain.”
1124> Saddhādeyyaṃ vinipāteti. Mp: “Ketika ia diberikn dana makanan oleh orang lain dengan penuh keyakinan, tanpa mengambil bagian atasnya [untuk dirinya sendiri], ia memberikannya kepada orang lain.” Aturan yang melarang menghambur-hamburkan pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan terdapat pada Vin I 298,1-3: “Para bhikkhu, sebuah pemberian yang diberikan dengan penuh keyakinan tidak boleh dihambur-hamburkan. Bagi yang menghambur-hamburkannya, maka ia melakukan pelanggaran perbuatan salah” (na ca bhikkhave saddhādeyyaṃ vinipātetabbaṃ; yo vinipāteyya, āpatti dukkaṭassa). Ini adalah pelanggaran karena memperlihatkan sikap tidak hormat atas kedermawanan orang lai. Akan tetapi, setelah mengambil bagian atas untuk dirinya sendiri, ia boleh membagi sisanya kepada orang-orang lain. Sang Buddha juga memberikan kelonggaran khusus bagi kaum monastik untuk memberikan dana makanan, kain, dan perolehan lainnya kepada orang tuanya jika mereka membutuhkan.

1125> Saya mengikuti tanda baca pada Be dan Ee, yang menghubungkan dhammānaṃ udayatthagāminiyā oaññāya dengan ajjhataṃ yeva sati sūpaṭṭhitā hoti yang mendahuluinya. Ce memberikan tanda koma setelah hoti dan tanpa tanda baca setelah paññāya, dengan demikian menghubungkan dhammānaṃ udayatthagāminiyā paññāya dengan asubhānupassī kāye viharati yang mengikutinya. Akan tetapi, hal ini menghubungkan meditasi pada sifat ketidak-menarikan jasmani dengan kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, sebuah hubungan yang, menurut pendapat saya, tidak disebutkan di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya (selain dari bagian pengulangan dalam Satipaṭṭhāna Sutta).

1126> Sn 386 menyiratkan bahwa akālacārī merujuk pada tindakan berjalan menerima dana makanan pada waktu yang salah.

1127> Mengenai kepuasan, baca p. 1600, catatan 55.

1128> Mp menjelaskan parikuppā sebagai “sesuatu yang bersifat menjengkelkan, serupa dengan luka lama” (parikuppanasabhāvā purāṇavaṇasadisā). Tindakan-tindakan ini lebih sering dikenal sebagai ānantariya kamma, perbuatan berat yang menghasilkan akibat segera kelahiran kembali di neraka, baca 6:93.

1129> Bencana sehubungan dengan perilaku bermoral (sīlavyasana) jelas merujuk pada perilaku yang melanggar lima aturan etis, dan bencana sehubungan dengan pandangan (diṭṭhivyasana) merujuk pada penerimaan pandangan salah, khususnya pandangan yang menyangka; prinsip kamma dan akibatnya.

1130> Dhammen’eva cakkaṃ vatteti. Mp “’Dhamma’ di sini adalah sepuluh [perjalan kamma] bermanfaat.”

1131> Mp: “Yang mengetahui apa yang baik (atthaññū): yang mengetahui lima jenis kebaikan (Mp-ṭ: kebaikan diri sendiri, kebaikan orang lain, kebaikan keduanya, kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang, dan kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan-kehidupan mendatang). Yang mengetahui Dhamma (dhammaññū): yang mengetahui empat jenis Dhamma (Mp-ṭ: Dhamma empat kebenaran, atau empat jenis dhamma yang dibedakan dalam alam indria, alam berbentuk, alam tanpa bentuk, dan yang melampaui dunia). Yang mengetahui ukuran yang tepat (mataññū): yang mengetahui batasan yang tepat dalam menerima dan menggunakan empat barang kebutuhan. Yang mengetahui waktu yang tepat (kālaññū): yang mengetahui waktu sebagai berikut, ‘Ini adalah waktu untuk pengasingan, ini adalah waktu untuk pencapaian meditatif, ini adalah waktu untuk mengajar Dhamma, dan ini adalah waktu untuk melakukan perjalanan.’ Yang mengetahui kumpulan (parisaññū): yang mengetahui, ‘Ini adalah kumpulan para khattiya … ini adalah kumpulan para petapa.’”

1132> Baca 1:187.

1133> Baca 3:14.

1134> Dalam mengomentari tentang saṃsuddhagahaṇiko yāva sattamā pitāmahayugā akkhitto anupakkuṭṭho jātivādena, Mp mengatakan bahwa yāva sattamā pitāmahayugā dapat ditafsirkan sebagai keterangan tambahan baik pada saṃsuddhagahaṇiko atau pun pada akkhitto anupakkuṭṭho jātivādena. Be dan Ee memisahkannya seolah-olah diperlakukan dalam cara pertama, Ce memperlakukan seolah-olah dalam cara ke dua. Saya mengikuti Ce.

1135> Paṭibalo atītānāgatapaccuppanne atthe cintetuṃ. Mp menjelaskan: “Melalui manfaat-manfaat sekarang, ia mempertimbangkan apa yang telah terjadi di masa lalu dan apa yang akan terjadi di masa depan” (so hi paccupannaatthavaseneva “atītepi evaṃ ahesuṃ, anāgatepi evaṃ bhavissantī” ti cinteti).

1136> Salākaggāhī. Mp: “Pada waktu menghitung gajah-gajah, ia mengambil sebuah kupon.” Jelas bahwa mereka menggunakan kupon, atau batang-batang jerami, untuk menghitung gajah-gajah.

1137> Ce pīṭhamaddano; Be mañcapīṭhamaddano, “penggilas tempat-tempat tidur dan kursi-kursi.”

1138> Mp: “Pada waktu menghitung para bhikkhu, ia mengambil sebuah kupon.”

1139> Saya lebih menyukai dhammehi dari Ee di sini daripada aṅgehi dari Ce dan Be. Paragraf penutup pada bagian ini, and paragraf pembuka dan penutup tentang bhikkhu yang berhasil, semuanya mencantumkan dhammehi.

1140> Mp: “Ia melanggar (ārabhati): ia melanggar dengan melakukan pelanggaran [terhadap aturan-aturan monastik], dan kemudian menjadi menyesal (vippaṭisārī ca hoti) karena hal itu. Kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan adalah konsentrasi Kearahattaan dan pengetahuan buah Kearahattaan. Ia tidak memahami hal ini karena ia belum mencapainya.”

1141> Mp: “Ia melakukan suatu pelanggaran, tetapi merehabilitasi dirinya sendiri dan dengan demikian tidak menjadi menyesal.”

1142> Mp: “Setelah melakukan suatu pelanggaran satu kali, ia merehabilitasi dirinya tetapi setelah itu, walaupun ia tidak melakukan suatu pelanggaran, ia tidak dapat menghilangkan penyesalannya.” Ini mungkin merujuk pada kasus, yang sering disebutkan dalam Vinaya, di mana seorang bhikkhu secara keliru meyakini bahwa ia telah melakukan suatu pelanggaran.

1143> Mp: “Tinggalkanlah noda-noda yang muncul dari pelanggaran dengan cara mengakui pelanggaran itu atau dengan merehabilitasi dirimu dari pelanggaran itu. Kemudian kembangkanlah pikiran pandangan terang (vipassanācittaṃ) dan kebijaksanaan yang berpasangan dengannya.

1144> Cara praktik ini dijelaskan pada Paṭis II 212-23, di mana hal ini disebut kekuatan batin para mulia (ariy’iddhi). Penjelasan Mp berikut ini diambil dari sumber itu: (1) “Mempersepsikan kejijikan di dalam apa yang tidak menjijikkan (appaṭikūle paṭikūlasaññī): ia memperhatikan suatu objek yang menyenangkan dengan gagasan ketidak-menarikannya atau ia memperhatikannya sebagai tidak kekal. (2) Mempersepsikan ketidak-jijikan di dalam apa yang menjijikkan (paṭikūle appaṭikūlasaññī): ia memperhatikan suatu objek yang tidak menyenangkan dengan cinta kasih atau memperhatikannya melalui elemen-elemen. (3-4) Dalam bagian ke tiga dan ke empat, ia berturut-turut menerapkan metode pertama dan ke dua paada kedua jenis objek. (5) Berdiam dengan seimbang (upekkhako vihareyya): ini adalah keseimbangan berfaktor enam [yaitu, keseimbangan sehubungan dengan enam objek indria] serupa denagn keseimbangan seorang Arahant. Dalam sutta ini, pandangan terang dijelaskan dalam lima kasus. Adalah mungkin bagi seorang bhikkhu yang telah memulai pandangan terang untuk melakukan hal ini. Pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, dan yang-tidak-kembali pasti dapat melakukan hal ini; apalagi Arahant.

1145> Mā me kvacini katthaci kiñcana rajanīyesu dhammesu rāgo udapādi, mā me kvacini katthaci kiñcana dosanīyesu dhammesu doso udapādi, mā me kvacini katthaci kiñcana mohanīyesu dhammesu moho udapādi. Formulasi di sini tampaknya lebih kuat dan lebih komprehensif daripada kasus-kasus sebelumnya. Mp mengemas: Kvacanī ti [/i]kismiñci ārammaṇe. Katthacī ti kismiñci padese. Kiñcana ti koci appamattakopi.

1146> Anāgamanadiṭṭhiko deti. Mp: “Ia memberi tanpa memunculkan pandangan akibat sebagai berikut: ‘Buah dari apa yang telah dilakukan akan datang.’” Diduga yang dimaksudkan di sini adalah pandangan kamma dan akibatnya.

1147> Āgamanadiṭṭhiko. Mp: “Ia memberi dengan berkeyakinan pada kamma dan akibatnya.”

1148> Samayavimuttassa bhikkhuno. Mp: “Seorang yang terbebaskan dalam pikiran melalui kebebasan lokiya, suatu kebebasan sementara, melalui penekanan kekotoran-kekotoran dalam absorpsi.”

1149> Saya memberi judul sutta ini menurut syari uddāna dari Be, yang menuliskan tayo sammattaniyāma, bukan seperti Ce dan Ee tayo saddhammaniyāmā.

1150> Abhabbo niyāmaṃ okkamituṃ kusalesu dhammesu sammattaṃ. Mp: “Seseorang tidak memenuhi syarat, tidak mampu memasuki jalan pasti sang jalan, yang [terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat” (kusalesu dhammesu sammattabhūtaṃ magganiyāmaṃ okkamituṃ abhabbo abhājanaṃ). Baca juga 3:22 dan p. 1638, catatan 358.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #50 on: 12 March 2013, 02:58:18 AM »
1151> Seperti pada 4:160. baca juga 2:20.

1152> Seperti pada 5:54 §5

1153> Bandingkan dengan 5:101.

1154> Ini adalah Lāḷudāyī, sering digambarkan sebagai seorang bhikkhu yang sombong. Dengan demikian kata-kata Sang Buddha selanjutnya mungkin harus dipahami sebagai teguran padanya karena menempatkan dirinya sebagai seorang guru. Contoh lain dari ketergesa-gesaan Udāyī terdapat pada 3:80 dan 5:166. pada 6:29 dan sekali lagi pada MN 136.6, III 208, 25-31, ia ditegur oleh Sang Buddha. Dalam Vinaya Piṭaka seorang Udāyī tertentu digambarkan sebagai seorang bhikkhu mesum yang berperilaku salah dalam urusan seksual yang bertanggung jawab atas ditetapkannya beberapa aturan saṅghadisesa, tetapi tidak dapat dipastikan apakah ia adalah sama dengan Udāyī ini. Ia juga mungkin adalah karakter fiktif, si “anu” yang digunakan dalam kisah asal-mula aturan-aturan ini.

1155> Ānupubbīkathaṃ kathessāmi. Mp: “Ia harus megajarkan Dhamma kepada orang lain setelah memutuskan: ‘Aku pertama-tama akan membabarkan tentang memberi, selanjutnya tentang perilaku bermoral, dan selanjutnya tentang alam surga; atau aku akan menjelaskan satu paragraf sutta atau syair sesuai dengan urutan kata-katanya.”

1156> Pariyāyadassāvī. Mp: “Menunjukkan alasan (kāraṇa) atas hal ini atau itu.”

1157> Yattha bhikkhuno uppanno āghāto sabbaso paṭivinetabbo. Saya menginterpretasikan Mp berikut ini, yang menjelaskan: “Ketika kekesalan telah muncul pada seorang bhikkhu sehubungan dengan suatu objek (yattha ārammaṇe), maka hal itu harus sepenuhnya dihilangkan di sana dalam lima cara.” Dengan demikian Mp menganggap yattha berarti orang yang kepadanya kekesalan itu muncul, bukan tempat secara fisik di mana kekesalan itu muncul.

1158> Labhaṭi ca kālena kālaṃ cetaso vivaraṃ cetaso pasādaṃ. Mp: “Dari waktu ke waktu ia memperoleh bukaan pikiran, yaitu, suatu kesempatan muncul dalam pikirannya bagi ketenangan dan pandangan terang, dan ia memperoleh ketenangan, yang terdapat dalam pencapaian keyakinan” (kāle kāle samathavipassanācittassa uppannokāsasaṅkhātaṃ vivarañceva saddhāsampannabhāvasaṅkhātaṃ pasādañca labhati).

1159> Samantapāsādikaṃ āvuso puggalaṃ āgamma cittaṃ pasīdati. Ini jelas merujuk pada jenis orang ke lima. Karena perilaku dan pikirannya murni, maka ia dapat dengan mudah menghilangkan kekesalan terhadapnya dan masuk ke dalam kondisi percaya dan tenang.

1160> Mp: “Para deva yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan (kabaḷīkārāhārabhakkhānaṃ devānan): para dewata di alam indria. Kelompok ciptaan-pikiran tertentu (aññataraṃ manomayaṃ kāyan): kelompok brahmā tertentu di alam murni, yang terlahir kembali melalui pikiran-jhāna.”

1161> Ye te, Bhante, devā arūpino saññāmayā. Udāyī bingung antara para deva di alam tanpa bentuk, yang dikatakan sebagai ciptaan-persepsi (saññamaya), dan para deva di alam berbentuk (termasuk alam murni), yang dikatakan sebagai ciptaan-pikiran (manomaya).

1162> Bersama dengan Ce dan Ee saya membaca mayaṃ ten a pucchāma, tidak seperti Be mayaṃ tena na muccāma.

1163> Yathā āyasmantaṃyev’ettha upavāṇaṃ paṭibhāseyya. Mp menjelaskan yathā sebagai suatu kata untuk suatu sebab (kāraṇavacanaṃ). Saya menganggap paṭibhāsati berarti “meminta [seseorang untuk mengatakan sesuatu]” (baca SED sv pratibhāsh). Mp melanjutkan: “Ketika sesuatu telah diucapkan oleh Sang Bhagavā dengan merujuk pada hal ini, maka engkau harus memikirkan suatu jawaban (paṭivacana, pernyataan-balasan).”

1164> Saya mengikuti Ce dan Ee, yang menuliskan na samvijjeyyuṃ, kena naṃ sabrahmacārī sakkareyyuṃ garukareyyuṃ māneyyuṃ pūjeyyuṃ. Be menuliskan na saṃvijjeyyuṃ, taṃ sabrahmacārī na sakkareyyuṃ na garuṃ kareyyuṃ na māneyyuṃ na pūjeyyuṃ.

1165> No kālena kupitaṃ. Tampak aneh bahwa teks menggunakan kata kupita untuk merujuk kepada ditegur pada waktu yang tidak tepat. Kupita biasanya menyiratkan “terganggu, jengkel, marah,” dan pada waktu yang tepat adalah selayaknya untuk menegurnya.

1166> Atthakusalo, dhammakusalo, niruttikusalo, byañjanakusalo, pubbāparakusalo. Saya mengikuti urutan pada Ce. Be dan Ee menempatkan byañjanakusalo sebelum niruttikusalo. Seperti yang disebutkan, ketiga kata pertama jelas merujuk pada tiga pertama dari pengetahuan paṭisambhidā . Mungkin dua yang terakhir tergabung dalam paṭibhānapaṭisambhidā. Mp menjelaskan lima jenis urutan: urutan makna (atthapubbāpara), urutan Dhamma (dhammapubbāpara), urutan suku kata (akkharapubbāpara), urutan frasa (byañjanapubbāpara), dan urutan bagian-bagian dalam sebuah sutta (anusandhipubbāpara).

1167> Saya lebih menyukai Ce te santaññeva sukhitā sukhaṃ paṭisaṃvedenti daripada Be dan Ee te santaṃyeva tusitā sukhaṃ paṭivedenti.

1168> Sameti kho idaṃ āyasmato bhaddajissa, yadidaṃ bahujanena. Saya mengikuti Be dan Ee, yang memisahkan ini dengan tanda Tanya. Walaupun kalimat ini tidak mengandung kata Tanya, dengan menempatkan kata kerja di awal tampanya lebih menyiratkan suatu pertanyaan daripada suatu pernyataan.

1169> Anantarā āsavānaṃ khayo hoti. Tentang “kondisi segera bagi hancurnya noda-noda,” baca p.1705, catatan 851.

1170> Upāsakacaṇḍālo ca hoti upāsakamalañca upāsakapatikuṭṭho ca. Para caṇḍāla adalah yang terendah di antara kelompok terbuang.

1171> Ito ca bahiddhā dakkhineyyaṃ gavessati. Yaitu,  di luar komunitas monastik Buddhis. Tentang nilai relative persembahan dalam hal jasa, baca MN 142.

1172> Upāsakaratanañca ca hoti upāsakapadumañca upāsakapuṇḍarīkañca.

1173> Pavicekaṃ pītiṃ. Mp: “Sukacita yang muncul dengan berdasarkan pada jhāna pertama dan ke dua.”

1174> Bentuk jamak “istri-istri” dalam Pāli adalah, sehi dārehi santuṭṭho.

1175> Be dan Ee membaca ārame, Ce nārame. DOP memberikan arti āramati sebagai “pergi, menjauh (dari)” dan “bersenang dalam, menikmati.” Karenanya tulisan Be dan Ee (yang saya ikuti) cocok untuk makna pertama, dan tulisan Ce untuk makna ke dua.

1176> Puññatthassa jigiṃsato. Mp mengemas kalimat: puññena atthikassa puññaṃ gavesantassa. Igiṃsati  adalah bentuk kata harapan dari jayati, di sini dengan makna, “ingin memperoleh.”

1177> Syair-syair di bawah identik dengan syair pada 3:57.

1178> Di sini dan di bawahnya saya bersama Ce membaca anuttaraṃ vimuttisukhaṃ. Be dan Ee menuliskan anuttaraṃ vimuttiṃ.

1179> Pāpiccho icchāpakato āraññiko hoti. Mp: “Ia berpikir, ‘Sewaktu aku sedang menetap di hutan, mereka akan memberikan penghormatan padaku dengan empat benda kebutuhan, dengan berpikir bahwa aku adalah seorang penghuni hutan. Mereka akan menghargai moralitasku, dengan berpikir bahwa aku puas dan terasing, dan seterusnya,’ demikianlah ia menjadi seorang penghuni hutan berdasakan pada keinginan jahat, karena ia dikuasai oleh keinginan.”

1180> Ce mengikuti ini dari sebuah sutta tentang “kelima ini yang bertahan hidup hanya dari makanan yang dikumpulkan dari berjalanan menerima dana makanan” (pañc’ ime bhikkhave piṇḍapātikā), tidak terdapat dalam Be dan Ee. Di sini saya mengikuti yang terakhir, karena Ce memperluas vagga ini hingga sebelas sutta yang tidak beraturan. Semua praktik pertapaan ini dijelaskan secara terperinci dalam Vism, bab 2. di antaranya yang tidak cukup jelas, “praktik selalu duduk” adalah tidur dalam postur duduk, tanpa berbaring; “praktik menggunakan tempat tidur apa saja” adalah menerima segala jenis tempat tidur yang dipersembahkan, tanpa preferensi; “praktik satu kali” adalah memakan semua makanan untuk hari itu dalam satu postur duduk, tanpa memakan makanan apa pun lagi setelah ia bangkit dari duduknya; dan “praktik menolak makanan tambahan” adalah menolak menerima makanan apa pun yang dipersembahkan dan tersedia setelah ia mulai makan.

1181> Di sini bersama Be membaca sampiyen’eva saṃvāsaṃ saṃbandhāya sampavattenti. Ce dan Ee menuliskan saṃsaggatthāya untuk saṃbandhāya. Mp (Be) tampanya mendukung tulisan Be dengan parafrase: piyo piyaṃ upasaṅkamitvā paveṇiyā bandhanatthaṃ saṃvāsaṃ pavattayanti. Mp (Ce) menuliskan ganthanatthaṃ untuk bandhanatthaṃ. Saṃbandhāya dikemas sebagai paveṇiyā, yang dapat menyiratkan kelangsungan keluarga.

1182> Be membaca: … sampiyenapi saṃvāsaṃ saṃbandhāya saṃpavattenti, yang tampaknya tidak lengkap. Ee sama dalam hal ini. Saya mengikuti Ce dalam menempatkan dua klausa bertentangan di sini: …sampiyenapi saṃvāsaṃ saṃsaggatthāya sampavattenti, asampiyenapi saṃvāsaṃ saṃsaggatthāya sampavattenti, tetapi saya menggantikan saṃsaggatthāya pada Ce dengan saṃbandhāya dari Be.

1183> Ini tampaknya sebuah kritik umum pada Sang Buddha. Baca juga 4:22 dan 8:11.

1184> Komārabrahmacariyaṃ. Diduga hal ini berarti kehidupan selibat dari seorang yang selalu perjaka/perawan.

1185> Paragraf ini menyiratkan, berlawanan dengan anggapan umum, bahwa pada masa Sang Buddha para brahmana tidak diwajibkan untuk menikah dan menjalani kehidupan berumah tangga. Walaupun pernikahan belakangan menjadi norma para brahmana pada masa utama kehidupan, namun tampaknya bahwa pada tahap ini beberapa brahmana setelah menyelesaikan latihan mereka, memilih untuk meinggalkan kehidupan sekuler bahkan selagi masih muda dan mempertahankan status meninggalkan keduniawian seumur hidup mereka. Tentang petapa brahmana selibat, baca Samuel 2008:122-23, 154-65.

1186> Cattāro brahmavihāre bhāvetvā. Ini adalah salah satu dari sedikit tempat dalam Nikāya di mana kata brahmavihāra digunakan untuk menyebutkan keempat meditasi ini secara kolektif. Di mana pun kata ini digunakan dalam Nikāya, ini segera dilanjutkan dengan kelahiran kembali si praktisi di alam brahmā.

1187> Bersama Ce dan Ee saya membaca asucipaṭipīto, bukan seperti Be asucipaṭipīḷito, “akan diserang oleh zat tidak murni.”

1188> Ce dan Ee membaca: Sace doṇa brāhmaṇo anutuniṃ gacchati, tassa sā hoti brāhmaṇī n’eva kāmatthā na davatthā na ratatthā, pajatthāva brāhmaṇassa brāhmaṇī. Tulisan ini, tampaknya menggabungkan alasan-alasan yang bersifat dugaan atas konsekuensi dari alternatifnya (yaitu, ketika si brahana berhubungan dengan istrinya hanya ketika ia berada pada masa subur). Saya mengikuti saran dari Brahmāli untuk menghapus sace doṇa brāhmaṇo anutuniṃ gacchati, yang menjadikan teks itu lebih masuk akal. Be tidak mempertanyakan mengapa brahmana melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan hanya ketika ia berada pada masa subur, tetapi mengikuti pernyataan bahwa ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan menyusui dengan kata-kata: tassa sā hoti brāhmaṇī n’eva kāmatthā na davatthā na ratatthā, pajatthāva brāhmaṇassa brāhmaṇī hoti. Tampaknya bahwa, dalam tulisan ini, sebuah klausa telah hilang.

1189> Bersama Be dan Ee membaca pajatthāpī, bukan seperti Ce na pajatthāva.

1190> Saya menganggao teks ini (dalam seluruh tiga edisi) harus dikoreksi menjadi na kevalaṃ bhikkhācariyāya daripada kevalam pi bhikkhācariyāya.

1191> Juga terdapat pada SN 46:55, V 121-26, tetapi dengan sebuah bagian tentang tujuh faktor pencerahan.

1192> Mp menginterpretasikan jalan membebaskan diri dari rintangan-rintangan melalui tiga jalan membebaskan diri. Sehubungan dengan rintangan keinginan indria, jalan membebaskan diri dengan penekanan (vikkhambhananissaraṇa) yang terjadi melalui jhāna pertama yang berdasarkan sifat ketidak-menarikan jasmani, jalan membebaskan diri dalam aspek tertentu (tadaṅganissaraṇa) melalui pandangan terang; dan jalan membebaskan diri dengan pelenyapan (samucchedanissaraṇa) melalui jalan Kearahattaan (secara luas menginterpretasikan kāmacchanda sebagai ketagihan pada segala objek). (ii) Jalan membebaskan diri dari niat buruk terjadi dengan penekanan melalui jhāna pertama yang berdasarkan pada cinta kasih, dan melalui pelenyapan melalui jalan yang-tidak-kembali. (iii) Jalan membebaskan diri dari ketumpulan dan kantuk terjadi dengan penekanan melalui persepsi cahaya (visualisasi cahaya terang) dan dengan pelenyapan melalui jalan Kearahattaan. (iv) Jalan membebaskan diri dari kegelisahan dan penyesalan terjadi dengan penekanan melalui ketenangan – penyesalan dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali dan kegelisahan melalui jalan Kearahattaan. Dan (v) jalan membebaskan diri dari keragu-raguan terjadi dengan penekanan melalui penetapan fenomena-fenomena (dhammavavatthāna; baca Vism 587-93, Ppn 18.3-24) dan dengan pelenyapan melalui jalan memasuki-arus. Mp tidak mengaplikasikan “jalan membebaskan diri dalam aspek tertentu” pada empat rintangan terakhir, tetap Mp-ṭ mengatakan bahwa ini bisa terjadi karena rintangan-rintangan dapat diusir dengan refleksi (paṭisaṅkhānavasena tassa vinodetabbatāya tadaṅganissaraṇampi labbhat’eva).

1193> Mp menginterpretasikan kata-kata ini dari sudut pandang monasatik. Kebaikan diri sendiri (attattha) adalah Kearahattaan, dan kebaikan orang lain (parattha) adalah kesejahteraan umat-umat awam penyokong yang memberikan sokongan materi (karena persembahan demikian menghasilkan jasa).

1194> Mp menjelaskan bahwa setelah bangun pagi, ia membangun pintu gerbang baru, menara pengawasan, dan benteng dan memperbaiki apa yang rusak.

1195> Mp mengidentifikasikan Piṅgiyānī sebagai seorang brahmana yang adalah seorang siswa mulia yang telah mencapai buah yang-tidak-kembali (anāgāminiphale patiṭṭhitaṃ ariyasāvakaṃ brāhmaṇaṃ). rutinitas hariannya adalah mengunjungi Sang Buddha dan mempersembahkan dupa dan bunga. Pada saat sutta ini dimulai, ia sedang kembali dari kunjungan hariannya.

1196> Untuk alasan tertentu, ia menyebutkan hanya empat dari sembilan kelompok Dhamma. Mungkin hanya itu yang ia ketahui, atau mungkin hal ini menyiratkan bahwa kelompok lainnya adalah tambahan belakangan.

1197> Paṭibhātu taṃ piṅgiyānī. Lit., “Biarlah bersinar padamu, Piṇgiyānī.”

1198> Pada SN 3:12, I 81, syair ini diucapkan oleh seorang umat awam Candanaṅgalika, yang juga mengucapkannya setelah tergerak oleh hentakan inspirasi spontan. Dalam syair ini, Aṅgirasa adalah gelar Sang Buddha.

1199> Yang berikut ini seperti pada 5:143 di atas.

1200> Saya menambahkan “ini adalah sebuah pertanda” menyesuaikan dengan penggunaan kata pubbanimitta oleh Mp untuk mengkarakteristikkan makna penting mimpi itu. Brahmāli menyarankan: “[mimpi itu] … mewakili kebangkitannya pada pencerahan sempurna yang tertinggi,” dengan konstruksi paralel pada bagian yang bersesuaian di bawah.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #51 on: 12 March 2013, 02:58:49 AM »
1201> Tassa abhidambodhāya ayaṃ paṭhamo pahāsupino pāturahosi. Di sini Brahmāli menyarankan: “Ini adalah mimpi agung pertama yang bermanfaat bagi pencerahanNya,” sekali lagi dengan konstruksi paralel pada bagian yang bersesuaian di bawah. Kalimat itu sendiri cukup membingungkan; namun Mp tidak berkomentar dan tidak ada paralel China. Ce dan Be membaca tassā untuk tassa (tulisan pada Ee). Tassā seharusnya mewakili sammā sambodhi pada kalimat sebelumnya, tetapi kemudian akan muncul pertanyaan sehubungan dengan apakah abhisambodhāya pada §§2-4, di mana sammā sambodhi tidak muncul. Saya menemukan kalimat yang lebih dapat dimengerti jika kita membaca sebagai itassa (seperti pada bagian berikutnya), menganggapnya berarti “padaNya,” yaitu, pada masa depan Sang Buddha. Maka kita dapat melihat keseluruhan kalimat sebagai menegaskan bahwa mimpi itu adalah petunjuk bagi pencerahannya yang segera terjadi.

1202> Ce dan Be yattha nemittānaṃ cakkhu na kamati (Ee na kkhamati). Pāli sendiri mencampurkan metafora-metafora.

1203> Pabbajitā. Di tempat lain saya biasanya menerjemahkan pabbajita sebagai “seorang yang telah meninggalkan keduniawian,” dan kadang-kadang sebagai “bhikkhu.” Di sini, untuk menghindari “seorang bermoral yang telah meninggalkan keduniawian,” yang kaku dan untuk mempertahankan terjemahan yang netral secara jenis kelamin, saya menggunakan “kaum monastik.” “Rumah” menerjemahkan kula, lit. “keluarga,” tetapi dalam konteks ini “rumah” lebih manyampaikan maknanya.

1204> Nissāraṇiyā dhātuyo. Mp mengemas nissāraṇiya sebagai visaṃyutta, “terlepas, terputus,” dan dhātuyo sebagai attasuññasabhāvā, “sebuah sifat yang kosong dari diri.”

1205> Mp: “Setelah keluar dari jhāna pada objek yang tidak menarik, ia mengarahkan pikirannya pada kenikmatan indria untuk menyelidikinya, seperti halnya seseorang akan mengambil obat penawar untuk menyelidiki racun.” Mp-ṭ: “Bhikkhu itu tidak memperhatikan kenikmatan indria dalam makna [bahwa ia dikuasai] oleh kekotoran. Melainkan, ia menyelidiki: ‘Pikiranku sekarang kokoh dalam pelepasan keduniawian. Mengapa pikiran indriawi muncul?”

1206> Walaupun dalam seluruh tiga edisi di sini membaca vimuccati, namun Mp mengemas kata ini dengan adhimuccati. Kata ini lebih masuk akal bagi saya. Tradisi naskah, serta edisi cetakan, menunjukkan variasi yang tidak teratur antara kedua tulisan ini di seluruh Nikāya.

1207> Bersama Ce dan Be saya membaca sugataṃ, tidak seperti Ee sukataṃ. Yang pertama didukung oleh Mp, yang mengemas “menjauh dengan baik karena telah pergi menuju objek” (gocare gatattā suṭṭhu gataṃ). Akan tetapi, saya yakin, bahaw makna sugataṃ adalah bahwa pikiran telah pergi menjauh dari kekotoran, yang berhubungan dengan lebih baik dengan gagasan jalan membebaskan diri (nissaraṇa).

1208> Na so taṃ vedanaṃ vediyati. Mp: “Ia tidak merasakan perasaan indriawi atau perasaan menyengsarakan atau demam itu.”

1209> Be dan Ee membaca veḷuvane, Ce niceluvane. Mp (Be) menuliskan niculavane dalam lema, dikemas sebagai mucalindavane. Baik PED maupun SED mengatakan nicula sebagai sejenis pohon, yang diidentifikasikan sebagai Barringtonia acutangula.

1210> Tidak dapat dipastikan dari bahasa teks apakah pertanyaan Kimbila dan jawaban Sang Buddha merujuk pada kondisi-kondisi umum yang menyebabkan ajaran seorang Buddha lenyap, atau pada kondisi-kondisi yang menyebabkan ajaran Buddha Gotama akan menjadi lenyap. Mp tampaknya mendukung interpretasi pertama. Dijelaskan bahwa Kimbila pernah menjadi seorang bhikkhu pada masa Buddha Kassapa di masa lampau, pada masa ajaran Buddha Kassapa sedang mengalami kemunduran. Sekarang ia mengingat kehidupan lampaunya dan ingin bertanya kepada Buddha sekarang tentang penyebab mundurnya Dhamma. Brahmāli tidak sepakat dengan saya dalam hal ini dan menuliskan: “[Terjamahan] ini tampaknya beranggapan bahwa Kimbil sedang berpikir secara kosmis, tentang Tathāgata sebagai sejenis makhluk. Tetapi tampaknya bagi saya bahwa ia secara khusus memikirkan tentang apa yang akan terjadi setelah Buddha Gotama wafat.”

1211> Sebuah paralel yang diperluas dari 4:112.

1212> Seperti pada MN 16.2-7, I 101.

1213> Cetokhila. Dalam MLDB cetokhila diterjemahkan sebagai “belantara pikiran,” yang tidak memuaskan. Menurut DOP, khila berarti “tanah yang tandus, tanah yang gersang,” dan “(sebagai kesalaahn dari pemikiran seseorang) kemandulan, kesterilan, kekakuan, ketidak-lenturan; permusuhan, perlawanan.” Mp mengemas: “Ketidak-lenturan, pembuangan, tunggul pikiran” (cittassa thaddhabhāvā kacavarabhāvā khāṇukabhāvā).

1214> Seperti pada MN 16.8, I 101-2.

1215> Cetaso vinibandhā. Mp: “Kemandulan-kemandulan itu mencengkeram pikiran, setelah membelenggunya terlebih dulu, oleh karena itu disebut ‘belenggu pikiran’” (cittaṃ vinibandhitvā muṭṭhiyaṃ katvā viya gaṇhantī ti cetaso vinibandhā).

1216> Dantakaṭṭhassa akhādane, lit. “dengan tidak mengunyah kayu gigi.” Pada masa Sang Buddha orang-orang membersihkan gigi mereka dengan cara menyikatnya dengan potongan kayu obat-obatan seperti kayu pohon mamba (Azadirachta Indica, penj), yang ditajamkan pada satu ujungnya dan dibuat menyerupai sikat pada bagian bawahnya. Praktik ini masih dilakukan di pedalaman India serta di vihara-vihara di Asia Selatan.

1217> Āyatakena gītassarena dhammaṃ bhaṇantassa. Vin II 108,5-25 menjelaskan kisah latar belakang yang mengarah pada ditetapkannya aturan ini.

1218> Muṭṭhassatissa asampajānassa niddaṃ okkamayato. Juga terdapat pada Vin I 295,14-24.

1219> Chinnaparipantho. Mp menjelaskan bahwa ia telah memotong jalan keluar yang melampaui keduniawian (lokuttaraparipanthassa chinnattā chinnaparipantho), tetapi mungkin yang dimaksudkan adalah bahwa, setelah melakukan pārājika, yang mengharuskan pengusiran dari Saṅgha, ia tidak lagi dapat mempertahankan statusnya sebagai seorang bhikkhu.

1220> Aññataraṃ saṅkiliṭṭhaṃ āpattiṃ āpajjati. Ini kadang-kadang berarti bahwa ia melakukan pelanggaran pārājika atau saṅghādisesa, tetapi karena pārājika telah disebutkan, maka ini pasti merujuk pada saṅghādisesa.

1221> Verabahulo. Mp: “Seseorang memiliki banyak permusuhan, baik dalam bentuk orang-orang yang merupakan musuh-musuh maupun sebagai permusuhan [pikiran] tidak bermanfaat” (puggalaverenapi akusalaverenapi bahuvero).

1222> Makna tepat dari pasīdati tidak dapat dengan mudah ditangkap oleh satu kata Bahasa Inggris. “Yakin” biasanya menyiratkan ketenangan dan percaya-diri, yang bukan apa yang dimaksudkan. SED menjelaskannya sebagai makna daeri Skt pra-sad, pra-sīdati, “santai, menjadi jernih dan cerah, menjadi tenang atau hening; … menjadi puas atau senang atau gembira.” SED menerjemahkan bentuk kausatif pra-sādayati: “menjernihkan, memurnikan; menenangkan, menggembirakan (hati); memberikan ketenangan, kesejukan, ketenteraman.” Di antara arti-arti ini, “menggembirakan, menyenangkan” sebagian menangkap kesan perilaku pāsādika itu pada orang lain; menjadi “gembira” atau “senang”  adalah bagaimana seorang pengamat merespon perilaku tersebut. Tetapi perilaku demikian juga membangkitkan kepercayaan pada orang lain terhadap dirinya sebagai orang yang halus secara spiritual dan menginspirasi keyakinan dalam ajaran yang ia ikuti. Demikianlah perilaku demikian “menginspirasi keyakinan” pada orang lain. Ketika perilaku atau sikap seseorang kembali kepada dirinya sendiri, maka ia “menjadi tenang (atau tenteram),” ini merupakan cara terbaik dalam menerjemahkan kata kerja pasīdati.

1223> Ibukota negeri Surasena, terletak di Sungai Yamunā di India Utara. Kota ini kelak menjadi pusat aliran Mūlasarvastivāda yang penting. Walaupun teks mengatakan bahwa Sang Buddha tidak menyukai tempat itu, namun seseorang akan bertanya-tanya apakah sutta ini mungkin suatu penambahan oleh aliran Vibhajjavāda untuk merendahkan pusat dari aliran Buddhis saingannya.

1224> Dīghanārikaṃ anavatthacārikaṃ. Mp mengemas kata ke dua sebagai avavatthitacārikaṃ, mungkin “pengembaraan yang tidak direncanakan (atau tanpa tujuan).” Berlawanan dengan samavatthacāre persis di bawah, yang dikemas sebagai samavatthitacāre, “pengembaraan yang direncanakan dengan seimbang.”

1225> Empat pertama adalah pelanggaran, berturut-turut, Pācittiya 46, 45, 44, dan 7.

1226> Tentang pelanggaran kotor, baca p. 1733, catatan 1089.

1227> Ussūrabhatte kule. Ussūra berasal dari bentuk Skt utsūra (SED: “waktu ketika matahari terbenam, malam hari”). Mp mengemas “makanan di masak terlambat di siang hari” (atidivāpacanabhatte).

1228> Samayabhatte kule. Menyesuaikan dengan para petapa dan brahmana yang “menghindari makan di luar waktu yang tepat,” makanan tidak harus selesai sebelum tengah hari.

1229> Baca pp. 60-61, untuk pembahasan tentang anti-perempuan dalam AN.

1230> Dua “bahaya” pertama sudah cukup menjelaskan.

1231> Dhammadassane niveseti. Mp: “Ia mengokohkan mereka dalam melihat Dhamma empat kebenaran [mulia].”

1232> Arahaggataṃ āyasmanto satiṃ upaṭṭhāpetha. Mp: “Menegakkan hormat pada ketiga landasan [keyakinan], pergi [berlindung] hanya pada Tiga Permata, yang layak menerima segala penghormatan.” Teks kadang-kadang menggunakan āyasmanto sebagai sapaan oleh para bhikkhu kepada umat-umat awam. Jelas kata ini dapat digunakan kepada siapa saja yang dianggap layak dihargai dan bukan hanya sebagai sapaan hormat kepada para bhikkhu.

1233> Ini adalah salah satu hukuman yang harus dijalankan oleh mereka yang telah melakukan pelanggaran saṅghādisesa.

1234> Titik-titik pengulangan dalam Pāli memberikan kesan bahwa dalam §3 dan §4 orang yang percaya itu kehilangan kepercayaan pada para bhikkhu. Akan tetapi, karena orang yang kepadanya ia memiliki kepercayaan tidak dihukum dalam cara apa pun oleh para bhikkhu lain, maka jelas bahwa pernyataan tentang orang yang percaya yang kehilangan kepercayaan pada para bhikkhu tidak berhubungan dengan kedua bagian ini. Maka, kelanjutan dari §5 harus diaplikasikan pada §3 dan §4 juga. Ia tidak bergaul dengan para bhikkhu lain, bukan karena kekesalan pada mereka, melainkan hanya karena kepercayaan eksklusifnya.

1235> Mulai dari vagga ini dan seterusnya, teks tidak lagi berisikan syair-syair uddāna. Dengan demikian saya menerjemahkan judul sutta pada judul tiap-tiap sutta dalam Ce.

1236> Untuk penjelasan tentang berbagai kelompok lima kualitas yang memperbolehkan seorang bhikkhu memberi penahbisan penuh, memberi kebergantungan, dan dilayani oleh samaṇera, baca Vin I 62-65.

1237> Tentang nissaya, baca pp. 1732-33, catatan 1085.

1238> Ce dan Ee patikiṭṭhaṃ. Be paṭikuṭṭham, bentuk pasif dari paṭikkosati.

1239> Saya mengikuti pengaturan pada Be dan Ee. Ce menempatkan kedua versi tentang jhāna sebelum kedua versi tentang empat buah.

1240> Vaggātirekasuttāni. Ini adalah judul yang diberikan Ce pada keseluruhan bagian penutup ini. Be tidak memberikan judul umum namun mengelompokkan sutta-sutta tambahan ini ke dalam tiga “rangkaian pengulangan” (peyyāla), bernomor 1, 2, dan 3. Yang pertama, merujuk pada sutta pertama dalam tiap-tiap kelompok, disebut sammutipeyyālaṃ, “Rangkaian Pengulangan Ditunjuk.” Saya menggunakan baik judul umum dari Ce dan judul rangkaian terpisaj dari Be. Ee tidak memberikan judul terpisah pada bagian ini, baik secara keseluruhan maupun secara terpisah.

1241> Bhattuddesaka. Baca Vin II 175, 36-76. prosedur penunjukan petugas Saṅgha, dan tugasnya masing-masing, dibahas secara terpercini dalam Thanissaro 2007b: 323-57.

1242> Saya menerjemahkan sesuai dengan Be dan Ee. Terjemahan dari Ce adalah: “Para bhikkhu, seseorang yang memiliki lima kualitas tidak boleh ditunjuk sebagai seorang pembagi makanan. Jika ia ditunjuk, maka ia tidak boleh diutus.”

1243> Senāsanapaññāpaka. Tentang kualifikasi ini, baca Vin II 176,9-14. tugas-tugas Dabba Mallaputta sebagai senāsanapaññāpaka dijelaskan pada Vin III 158-60. kualifikasi petugas-petugas yang berikutnya di sini, kecuali yang persis berikutnya, dijelaskan pada Vin II 176-77.

1244> Senāsanaggāhapaka. Petugas ini tidak terdapat pada Ee. Tidak jelas bagi saya apakah senāsanaggāhāpaka berbeda dengan senāsanapaññāpaka. Thanissaro juga, menuliskan (2007b: 340): “Kanon memperbolehkan kedua petugas yang berhubungan dengan tempat tinggal: pemberi tempat tinggal (senāsanagāhāpaka) dan penentu tempat tinggal (senāsana-paññapanaka). Baik Kanon maupun Komentar tidak dengan jelas membedakan tugas-tugas keduanya.”

1245> Abrahmacārī hoti. Walaupun dibentuk dari kelima aturan bagi umat awam, ṇamun hal ke tiga dalam daftar ini menetapkan tuntutan kehidupan selibat yang lebih keras bagi kaum monastik laki-laki dan perempuan.

1246> Abrahmacariyā paṭivirato hoti.

1247> Kāmesu micchācārinī. Bagi umat awam Buddhis aturan kehidupan selibat yang wajib bagi kaum monastik diganti menjadi menghindari melakukan hubungan seksual yang salah (kāmesu micchācāra).

1248> Sebuah sekte pertapaan yang sezaman dengan Sang Buddha. Makkhali Gosāla dianggap sebagai pendirinya, atau mungkin hanya salah satu di antara guru-guru terkemuka. Walaupun teks menetapkan kondisi-kondisi bagi para petapa non-Buddhis pergi ke neraka, namun tidak disebutkan yang mengarahkan mereka menuju surga.

1249> Sehubungan dengan māgandika dan yang berikutnya, Mp hanya mengatakan bahwa mereka adalah jenis-jenis sectarian (titthiyā). Saya tidak yakin yang mana di antara kata-kata ini yang merupakan aliran religius tertentu dan yang mana yang hanya merupakan cara praktik. Karena itu saya menggunakan huruf besar pada awal kata hanya pada kata-kata yang dikenali merujuk pada aliran rligius yang sezaman dengan Sang Buddha.

1250> Be memberikan nomor akhir 1151, tetapi jumlah total sutta dalam peyyāla ini seharusnya 850: lima bagian besar, yang dihitung melalui sepuluh cara perlakuan (pengetahuan langsung, pemahaman penuh, dan seterusnya) yang dihubungkan dengan tujuh belas kekotoran (nafsu, kebencian, dan seterusnya). Dengan demikian, dimulai dari 303, maka nomor terakhir seharusnya 1152.

 

anything