186 (6) Kecerdasan
Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada BEliau:
(1) “Bhante, oleh apakah dunia ini diarahkan? Oleh apakah dunia ini ditarik? Ketika muncul apakh maka [dunia] berada di bawah kendalinya?”<898>
“Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus.<899> Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Bhante, oleh apakah dunia ini diarahkan? Oleh apakah dunia ini ditarik? Ketika muncul apakah maka [dunia] berada di bawah kendalinya?’”
“Benar, Bhante.”
“Dunia, bhikkhu, diarahkan oleh pikiran; ditarik oleh pikiran; ketika pikiran muncul, maka [dunia] berada di bawah kendalinya.” [178]
Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:
(2) “Dikatakan, Bhante, ‘seorang terpelajar yang ahli Dhamma, seorang terpelajar yang ahli Dhamma.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar yang ahli Dhamma?”
“Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “seorang terpelajar yang ahli Dhamma, seorang terpelajar yang ahli Dhamma.” Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar yang ahli Dhamma?’”
“Benar, Bhante.”
“Aku telah mengajarkan banyak ajaran, bhikkhu: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Jika, setelah mempelajari makna dan Dhamma bahkan hanya sebuah syair empat baris, ia berlatih sesuai Dhamma, maka itu cukup baginya untuk disebut ‘seorang terpelajar yang ahli Dhamma.’”
Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:
(3) “Dikatakan, Bhante, ‘terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus; terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.’ cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus?”
Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus; terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.” cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus?’”
“Benar, Bhante.”
“Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Dengan cara inilah seseorang itu terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.”
Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:
(4) “Dikatakan, Bhante, ‘seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi?” [179]
Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.” Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi?’”
“Benar, Bhante.”
“Di sini, bhikkhu, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi tidak menghendaki kesusahannya sendiri, atau kesusahan orang lain, atau kesusahan keduanya. Melainkan, ketika ia berpikir, ia hanya memikirkan kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan orang lain, kesejahteraan keduanya, dan kesejahteraan seluruh dunia.<900> Dengan cara inilah seseorang itu adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.”
187 (7) Vassakāra
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:
(1) “Guru Gotama, dapatkah seorang yang jahat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?”
“Adalah, brahmana, tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”
(1) “Dapatkah seorang yang jahat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?”
“Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang baik.’”
(3) “Dapatkah seorang yang baik mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?”
“Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik.’”
(4) “Dapatkah seorang yang baik mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?”
“Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”
“Menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa [180] baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik … [seperti di atas] … Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang jahat.”’
“Pada suatu ketika, Guru Gotama, para anggota kelompok Brahmana Todeyya sedang mencari-cari kesalahan satu sama lain, [dengan berkata]: ‘Raja Eleyya ini dungu, karena ia memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.<901> Para bawahan Raja Eleyya ini – Yamaka, Moggalla, Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa – juga dungu, karena mereka juga memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’ Kemudian Brahmana Todeyya menggiring mereka dengan menggunakan metodenya: ‘Bagaimana menurut kalian, Tuan-Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah Raja Eleyya bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’
“[Mereka menjawab:] ‘Benar, Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, Raja Eleyya memang bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’
“’Tetapi, Tuan-Tuan,’ [ia berkata,] ‘adalah karena petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada Raja Eleyya, lebih cerdik daripada [raja yang] cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.
“’Bagaimana menurut kalian, Tuan-tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah para bawahan Raja Eleyya – Yamaka, Moggalla, [181] Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa –adalah bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’
“‘Benar, Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, para bawahan Raja Eleyya – Yamaka … Aggivesa -memang bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’
“’Tetapi, Tuan-Tuan, adalah karena petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada para bawahan Raja Eleyya, lebih cerdik daripada [para bawahan raja] yang cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka para bawahan Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’”<902>
“Menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang jahat.” Juga adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang baik.” Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang yang baik.” Juga adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang jahat.” Dan sekarang, Guru Gotama, kami harus pergi, kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”
“Silakan engkau pergi, Brahmana.”
Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.
188 (8 ) Upaka
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian Upaka Maṇḍikāputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:
“Bhante, aku menganut suatu tesis dan pandangan sebagai berikut: Jika siapa pun mencari-cari kesalahan orang lain dan sama sekali tidak memperkuatnya, maka ia adalah tercela dan bersalah.”
“Jika, Upaka, siapa pun mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak memperkuatnya, [182] maka ia adalah tercela dan bersalah. Tetapi engkau mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak memperkuatnya, maka engkau tercela dan bersalah.”
“Bhante, seperti halnya seseorang dapat menangkap [seekor ikan] yang keluar [dari air] dengan perangkap besar, demikian pula, ketika aku keluar, Sang Bhagavā menangkapku dengan perangkap besar dalam debat.”
(1) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Ini adalah tidak bermanfaat.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Karena alasan ini dan itu, maka ini adalah tidak bermanfaat.’
(2) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Apa yang tidak bermanfaat harus ditinggalkan.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Apa yang tidak bermanfaat harus ditinggalkan.’
(3) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Ini adalah bermanfaat.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Karena alasan ini dan itu, maka ini adalah bermanfaat.’
(4) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Apa yang bermanfaat harus dikembangkan.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Apa yang bermanfaat harus dikembangkan.’
Kemudian Upaka Maṇḍikāputta, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, dan mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau. Kemudian ia mendatangi Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha dan melaporkan seluruh percakapannya dengan Sang Bhagavā kepada sang raja.
Ketika ia telah selesai berbicara, Raja Ajātasattu menjadi marah dan tidak senang dan berkata kepada Upaka Maṇḍikāputta: “Betapa beraninya anak pembuat-garam ini! Betapa kasar, betapa lancangnya sehingga berpikir bahwa ia dapat menyerang Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Pergilah, Upaka, pergilah! Pergi dari hadapanku.”
189 (9) Realisasi
“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang harus direalisasikan. Apakah empat ini? [183]
“Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui jasmani; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui ingatan; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui mata; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui kebijaksanaan.
(1) “Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang harus direalisasikan melalui jasmani? Delapan kebebasan, para bhikkhu, harus direalisasikan melalui jasmani. (2) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui ingatan? Kehidupan-kehidupan lampau seseorang harus direalisasikan melalui ingatan. (3) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui mata? Kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk harus direalisasikan melalui mata. (4) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui kebijaksanaan? Hancurnya noda-noda harus direalisasikan melalui kebijaksanaan.
“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal itu yang harus direalisasikan.”
190 (10) Uposatha
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramāta di Taman Timur. Pada saat itu, pada hari Uposatha, Sang Bhagavā sedang duduk dikelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, setelah mengamati kesenyapan Saṅgha para bhikkhu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:
“Para bhikkhu, kumpulan ini bebas dari ocehan; kumpulan ini adalah tanpa ocehan, murni, kokoh dalam intinya. Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, adalah jarang terlihat di dunia. Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Bahkan sedikit yang diberikan kepada Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, akan menjadi banyak, sedangkan banyak yang diberikan akan menjadi lebih banyak lagi. Adalah layak untuk menempuh perjalanan sejauh banyak yojana untuk menemui Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, bahkan sambil membawa tas bahu. Demikianlah Saṅgha para bhikkhu ini. [184]
“Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para deva. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para brahmā. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai ketanpa-gangguan. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para mulia.
(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang deva? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang deva.
(2) “Dan bagaimanakah bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang brahmā? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang brahmā.
(3) Dan bagaimanakah bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai ketanpa-gangguan? Di sini, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai ketanpa-gangguan.
(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang mulia? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang mulia.” [185]