//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT  (Read 17385 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #30 on: 15 February 2013, 06:00:09 AM »
186 (6) Kecerdasan

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada BEliau:

(1) “Bhante, oleh apakah dunia ini diarahkan? Oleh apakah dunia ini ditarik? Ketika muncul apakh maka [dunia] berada di bawah kendalinya?”<898>

“Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus.<899> Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Bhante, oleh apakah dunia ini diarahkan? Oleh apakah dunia ini ditarik? Ketika muncul apakah maka [dunia] berada di bawah kendalinya?’”

“Benar, Bhante.”

“Dunia, bhikkhu, diarahkan oleh pikiran; ditarik oleh pikiran; ketika pikiran muncul, maka [dunia] berada di bawah kendalinya.” [178]

Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:

(2) “Dikatakan, Bhante, ‘seorang terpelajar yang ahli Dhamma, seorang terpelajar yang ahli Dhamma.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar yang ahli Dhamma?”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “seorang terpelajar yang ahli Dhamma, seorang terpelajar yang ahli Dhamma.” Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar yang ahli Dhamma?’”

“Benar, Bhante.”

“Aku telah mengajarkan banyak ajaran, bhikkhu: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Jika, setelah mempelajari makna dan Dhamma bahkan hanya sebuah syair empat baris, ia berlatih sesuai Dhamma, maka itu cukup baginya untuk disebut ‘seorang terpelajar yang ahli Dhamma.’”
 
Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:

(3) “Dikatakan, Bhante, ‘terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus; terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.’ cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus?”

Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus; terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.” cara bagaimanakah seseorang adalah seorang terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus?’”

“Benar, Bhante.”

“Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Ia telah mendengar: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan,’ dan ia melihat makna dari pernyataan ini, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan. Dengan cara inilah seseorang itu terpelajar, dengan kebijaksanaan menembus.”

Dengan mengatakan, “Baik, Bhante,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia bertanya kepada Sang Bhagavā lebih lanjut:

(4) “Dikatakan, Bhante, ‘seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi?” [179]

Bagus, bagus, bhikkhu! Kecerdasanmu bagus. Kearifanmu bagus. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang bagus. Karena engkau bertanya: ‘Dikatakan, Bhante, “seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.” Dengan cara bagaimanakah seseorang adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi?’”

“Benar, Bhante.”

“Di sini, bhikkhu, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi tidak menghendaki kesusahannya sendiri, atau kesusahan orang lain, atau kesusahan keduanya. Melainkan, ketika ia berpikir, ia hanya memikirkan kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan orang lain, kesejahteraan keduanya, dan kesejahteraan seluruh dunia.<900> Dengan cara inilah seseorang itu adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.”

187 (7) Vassakāra

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

(1) “Guru Gotama, dapatkah seorang yang jahat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?”

“Adalah, brahmana, tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”

(1) “Dapatkah seorang yang jahat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?”

“Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang baik.’”

(3) “Dapatkah seorang yang baik mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?”

“Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik.’”

(4) “Dapatkah seorang yang baik mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?”

“Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”

“Menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa [180] baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik … [seperti di atas] … Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang jahat.”’

“Pada suatu ketika, Guru Gotama, para anggota kelompok Brahmana Todeyya sedang mencari-cari kesalahan satu sama lain, [dengan berkata]: ‘Raja Eleyya ini dungu, karena ia memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.<901> Para bawahan Raja Eleyya ini – Yamaka, Moggalla, Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa – juga dungu, karena mereka juga memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’ Kemudian Brahmana Todeyya menggiring mereka dengan menggunakan metodenya: ‘Bagaimana menurut kalian, Tuan-Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah Raja Eleyya bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’

“[Mereka menjawab:] ‘Benar, Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, Raja Eleyya memang bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’

“’Tetapi, Tuan-Tuan,’ [ia berkata,] ‘adalah karena petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada Raja Eleyya, lebih cerdik daripada [raja yang] cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.

“’Bagaimana menurut kalian, Tuan-tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah para bawahan Raja Eleyya – Yamaka, Moggalla, [181] Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa –adalah bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’

“‘Benar, Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, para bawahan Raja Eleyya – Yamaka … Aggivesa -memang bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’

“’Tetapi, Tuan-Tuan, adalah karena petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada para bawahan Raja Eleyya, lebih cerdik daripada [para bawahan raja] yang cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka para bawahan Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’”<902>

“Menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang jahat.” Juga adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang baik.” Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang yang baik.” Juga adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang jahat.” Dan sekarang, Guru Gotama, kami harus pergi, kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”

“Silakan engkau pergi, Brahmana.”

Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.

188 (8 ) Upaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian Upaka Maṇḍikāputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, aku menganut suatu tesis dan pandangan sebagai berikut: Jika siapa pun mencari-cari kesalahan orang lain dan sama sekali tidak memperkuatnya, maka ia adalah tercela dan bersalah.”

“Jika, Upaka, siapa pun mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak memperkuatnya, [182] maka ia adalah tercela dan bersalah. Tetapi engkau mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak memperkuatnya, maka engkau tercela dan bersalah.”

“Bhante, seperti halnya seseorang dapat menangkap [seekor ikan] yang keluar [dari air] dengan perangkap besar, demikian pula, ketika aku keluar, Sang Bhagavā menangkapku dengan perangkap besar dalam debat.”

(1) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Ini adalah tidak bermanfaat.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Karena alasan ini dan itu, maka ini adalah tidak bermanfaat.’

(2) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Apa yang tidak bermanfaat harus ditinggalkan.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Apa yang tidak bermanfaat harus ditinggalkan.’

(3) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Ini adalah bermanfaat.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Karena alasan ini dan itu, maka ini adalah bermanfaat.’

(4) “Upaka, Aku telah menyatakan: ‘Apa yang bermanfaat harus dikembangkan.’ Sang Tathāgata memiliki ajaran-ajaran Dhamma yang tidak terbatas mengenai hal ini, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang tidak terbatas, [dengan menyatakan]: ‘Apa yang bermanfaat harus dikembangkan.’

Kemudian Upaka Maṇḍikāputta, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, dan mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau. Kemudian ia mendatangi Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha dan melaporkan seluruh percakapannya dengan Sang Bhagavā kepada sang raja.

Ketika ia telah selesai berbicara, Raja Ajātasattu menjadi marah dan tidak senang dan berkata kepada Upaka Maṇḍikāputta: “Betapa beraninya anak pembuat-garam ini! Betapa kasar, betapa lancangnya sehingga berpikir bahwa ia dapat menyerang Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Pergilah, Upaka, pergilah! Pergi dari hadapanku.”

189 (9) Realisasi

“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang harus direalisasikan. Apakah empat ini? [183]

“Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui jasmani; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui ingatan; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui mata; ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang harus direalisasikan melalui jasmani? Delapan kebebasan, para bhikkhu, harus direalisasikan melalui jasmani. (2) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui ingatan? Kehidupan-kehidupan lampau seseorang harus direalisasikan melalui ingatan. (3) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui mata? Kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk harus direalisasikan melalui mata. (4) Dan apakah hal-hal yang harus direalisasikan melalui kebijaksanaan? Hancurnya noda-noda harus direalisasikan melalui kebijaksanaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal itu yang harus direalisasikan.”

190 (10) Uposatha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramāta di Taman Timur. Pada saat itu, pada hari Uposatha, Sang Bhagavā sedang duduk dikelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, setelah mengamati kesenyapan Saṅgha para bhikkhu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, kumpulan ini bebas dari ocehan; kumpulan ini adalah tanpa ocehan, murni, kokoh dalam intinya. Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, adalah jarang terlihat di dunia. Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Bahkan sedikit yang diberikan kepada Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, akan menjadi banyak, sedangkan banyak yang diberikan akan menjadi lebih banyak lagi. Adalah layak untuk menempuh perjalanan sejauh banyak yojana untuk menemui Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, bahkan sambil membawa tas bahu. Demikianlah Saṅgha para bhikkhu ini. [184]

“Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para deva. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para brahmā. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai ketanpa-gangguan. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para mulia.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang deva? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang deva.

(2) “Dan bagaimanakah bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang brahmā? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang brahmā.

(3) Dan bagaimanakah bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai ketanpa-gangguan? Di sini, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai ketanpa-gangguan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang mulia? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang mulia.” [185]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #31 on: 15 February 2013, 06:03:26 AM »
V. BAB BESAR

191 (1) Diikuti oleh Telinga

“Para bhikkhu, ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga,<903> mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan, maka empat manfaat ini menanti. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Ia meninggal dunia dengan pikiran kacau dan terlahir kembali dalam kelompok deva tertentu. Di sana, mereka yang berbahagia itu mengulangi kalimat-kalimat Dhamma kepadanya.<904> Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Ini adalah manfaat pertama yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah … dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Ia meninggal dunia dengan pikiran kacau dan terlahir kembali dalam kelompok deva tertentu. Di sana, mereka yang berbahagia itu tidak mengulangi kalimat-kalimat Dhamma kepadanya, tetapi seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai penguasaan pikiran mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva. Ia berpikir: ‘Ini adalah Dhamma dan disiplin yang dulu pernah kujalani dalam kehidupan spiritual.’ Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Misalkan seseorang yang terampil dalam hal suara genderang. Sambil berjalan di sepanjang jalan raya ia mungkin mendengar suara genderang dan sama sekali tidak ragu atau bimbang sehubungan dengan suara itu; melainkan, ia akan menyimpulkan: ‘Itu adalah suara genderang.’ Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai Dhamma [186] … Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Ini adalah manfaat ke dua yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

(3) “Kemudian, “Kemudian, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah … dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Ia meninggal dunia dengan pikiran kacau dan terlahir kembali dalam kelompok deva tertentu. Di sana, mereka yang berbahagia itu tidak mengulangi kalimat-kalimat Dhamma kepadanya, dan juga seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai penguasaan pikiran tidak mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva. Akan tetapi, seorang deva muda mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva itu. Ia berpikir: ‘Ini adalah Dhamma dan disiplin yang dulu pernah kujalani dalam kehidupan spiritual.’ Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Misalkan seseorang yang terampil dalam hal suara terumpet kulit kerang. Sambil berjalan di sepanjang jalan raya ia mungkin mendengar suara terumpet kulit kerang dan sama sekali tidak ragu atau bimbang sehubungan dengan suara itu; melainkan, ia akan menyimpulkan: ‘Itu adalah suara terumpet kulit kerang.’ Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai Dhamma … Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Ini adalah manfaat ke tiga yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

(4) “Kemudian, “Kemudian, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah … dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Ia meninggal dunia dengan pikiran kacau dan terlahir kembali dalam kelompok deva tertentu. Di sana, mereka yang berbahagia itu tidak mengulangi kalimat-kalimat Dhamma kepadanya, juga seorang bhikkhu yang memiliki kekuatan batin yang telah mencapai penguasaan pikiran tidak mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva, dan juga seorang deva muda tidak mengajarkan Dhamma kepada kumpulan para deva itu. Akan tetapi, seseorang yang telah terlahir kembali secara spontan mengingatkan yang lainnya yang juga telah terlahir secara spontan: ‘Ingatkah engkau, Tuan? Apakah engkau ingat di mana kita menjalani kehidupan spiritual sebelumnya?’ Yang lain berkata: ‘Aku ingat, Tuan. Aku ingat.’ Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Misalkan dua sahabat yang pernah bermain bersama di dalam Lumpur. Kebetulan mereka bertemu kembali di masa depan dalam kehidupan itu. Salah satu sahabat berkata kepada yang lain: ‘Ingatkah engkau, Sahabat? Apakah engkau mengingat hal itu, Sahabat?’ Dan yang lainnya berkata: ‘Aku ingat, Sahabat. Aku ingat.’ Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai Dhamma … Kemunculan ingatannya lambat, tetapi kemudian makhluk itu dengan cepat mencapai keluhuran. Ini adalah manfaat ke empat yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.

“Ini adalah keempat manfaat itu yang menanti ketika seseorang telah mengikuti ajaran-ajaran melalui telinga, mengulangnya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan.”

192 (2) Fakta

“Para bhikkhu, empat fakta [tentang orang-orang] dapat diketahui dari empat fakta [lainnya]. Apakah empat ini?

(1) “Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(2) “Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(3) “Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(4) “Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dikatakan: ‘Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, dengan menetap bersama dengan orang lain, ia akan mengenalinya sebagai berikut: ‘Sejak lama perilaku yang mulia ini telah rusak, cacat, ternoda, dan bebercak, dan ia tidak secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini tidak bermoral, tidak baik.’

“Tetapi pada kasus lainnya, dengan menetap bersama dengan orang lain ia akan mengetahui sebagai berikut: ‘Sejak lama perilaku yang mulia ini telah tidak rusak, tidak cacat, tidak ternoda, dan tanpa bercak, [188] dan ia secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini bermoral, bukan tidak bermoral.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(2) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, dengan berurusan dengan seseorang, ia akan mengenalinya sebagai berikut:  ‘Yang mulia ini berurusan dengan satu orang dengan cara ini, dengan cara lain jika berurusan dengan dua orang, dan dengan cara lain lagi jika ia berurusan dengan tiga orang, dan dengan cara lain lagi jika ia berurusan dengan banyak orang. Caranya berurusan dalam satu kasus berbeda dengan caranya berurusan dalam kasus lain.<905> Yang mulia ini tidak murni dalam caranya berurusan dengan orang lain, tidak murni dalam cara-caranya berurusan.’

“Tetapi dalam kasus lain, ketika berurusan dengan seseorang, ia mengenalinya sebagai berikut: ‘Dengan cara yang sama ia berurusan dengan satu orang, ia berurusan dengan dua orang, tiga orang, atau banyak orang. Caranya berurusan dalam satu kasus sama dengan caranya berurusan dalam kasus lain. Yang mulia ini murni dalam caranya berurusan dengan orang lain, bukan tidak murni dalam cara-caranya berurusan.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(3) “Lebih lanjut lagi dikatakan:  ‘Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, tetapi ia tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan manusia di dunia memang bersifat demikian<906> bahwa delapan kondisi duniawi berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini, yaitu, untung dan rugi, kehilangan reputasi dan kemasyhuran, dicela dan dipuji, dan kesenangan dan kesakitan.’ Demikianlah ketika menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan.

“Tetapi dalam kasus lain, seseorang menderita kehilangan sanak saudara, [189] kekayaan, atau kesehatan, tetapi ia merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan manusia di dunia memang bersifat demikian bahwa delapan kondisi duniawi berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini, yaitu, untung dan rugi, kehilangan reputasi dan kemasyhuran, dicela dan dipuji, dan kesenangan dan kesakitan.’ Demikianlah ketika menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’
   
(4) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana. Karena alasan apakah? Yang mulia ini tidak membicarakan hal-hal yang mendalam, damai, luhur, melampaui bidang penalaran, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana. Ketika yang mulia ini membicarakan Dhamma, ia tidak mampu menjelaskan, mengajarkan, menggambarkan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisa, dan menguraikan maknanya baik secara ringkas maupun secara terperinci. Yang mulia ini adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana.’ seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, dengan berdiri di tepi sebuah kolam, dapat melihat ikan kecil meloncat, ia akan berpikir: ‘dari riak yang ditimbulkan, dari kekuatannya, ini adalah seekor ikan kecil, bukan ikan besar,’ demikian pula, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana. ‘

 “Tetapi dalam kasus lain, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana. Karena alasan apakah? Yang mulia ini membicarakan hal-hal yang mendalam, damai, luhur, melampaui bidang penalaran, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana. Ketika yang mulia ini membicarakan Dhamma, ia mampu menjelaskan, mengajarkan, menggambarkan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisa, dan menguraikan maknanya baik secara ringkas maupun secara terperinci. Yang mulia ini adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana.’ seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, dengan berdiri di tepi sebuah kolam, dapat melihat ikan besar meloncat, [190] ia akan berpikir: ‘dari riak yang ditimbulkan, dari kekuatannya, ini adalah seekor ikan besar, bukan ikan kecil,’ demikian pula, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana. ‘

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: : ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana.’

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat fakta [tentang orang-orang] itu yang dapat diketahui dari empat fakta [lainnya].”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #32 on: 15 February 2013, 06:04:20 AM »
193 (3) Bhaddiya

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Bhaddiya orang Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, aku telah mendengar ini: ‘Petapa Gotama adalah seorang penyihir yang mengetahui sihir pengalih-keyakinan yang dengannya Beliau mengalihkan keyakinan para siswa dari guru-guru sekte lain.’ Apakah mereka yang mengatakan demikian mengatakan apa yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah memahami Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sehingga mereka tidak menimbulkan kritik yang beralasan atau landasan bagi celaan? Karena kami tidak ingin salah memahami Sang Bhagavā.”<907> [191]

“Marilah, Bhaddiya. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka engkau harus meninggalkannya.<908>

(1) “Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Bhaddiya, seseorang yang penuh keserakahan, dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya dikuasai oleh keserakahan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Ketika kebencian … (3) … delusi … (4) … sifat berapi-api muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”<909>

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Bhaddiya, seseorang yang bersifat berapi-api, dikendalikan oleh sifat berapi-api, pikirannya dikuasai oleh sifat berapi-api, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“ Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, Bhaddiya, ketika kami berkata: ‘Marilah, Bhaddiya, jangan menuruti tradisi lisan … [192] … Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka engkau harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, Bhaddiya. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka engkau harus hidup sesuai dengannya.

(1) “Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Bhaddiya, seseorang yang tanpa keserakahan, tidak dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak dikuasai oleh keserakahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Ketika ketidak-bencian … (3) … ketidak-delusian … (4) … sifat tidak berapi-api muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Bhaddiya, seseorang yang tidak bersifat berapi-api, tidak dikendalikan oleh sifat berapi-api, pikirannya tidak dikuasai oleh sifat berapi-api, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Bhaddiya? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.” [193] – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, Bhaddiya, ketika kami berkata: ‘Marilah, Bhaddiya, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka engkau harus hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Bhaddiya, orang-orang baik di dunia ini mendorong para siswa mereka sebagai berikut: ‘Marilah, orang yang baik, engkau harus secara terus-menerus melenyapkan keserakahan.<910> Ketika engkau secara terus-menerus melenyapkan keserakahan, maka engkau tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang ditimbulkan oleh keserakahan, apakah melalui jasmani, ucapan, atau pikiran. Engkau harus secara terus-menerus melenyapkan kebencian. Ketika engkau secara terus-menerus melenyapkan kebencian, maka engkau tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang ditimbulkan oleh kebencian, apakah melalui jasmani, ucapan, atau pikiran. Engkau harus secara terus-menerus melenyapkan delusi. Ketika engkau secara terus-menerus melenyapkan delusi, maka engkau tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang ditimbulkan oleh delusi, apakah melalui jasmani, ucapan, atau pikiran. Engkau harus secara terus-menerus melenyapkan sifat berapi-api. Ketika engkau secara terus-menerus melenyapkan sifat berapi-api, maka engkau tidak akan melakukan perbuatan apa pun yang ditimbulkan oleh sifat berapi-api, apakah melalui jasmani, ucapan, atau pikiran.’”

Ketika hal ini dikatakan, Bhaddiya orang Licchavi berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus sekali, Bhante! … [seperti pada 4:111] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

“Sekarang, Bhaddiya, apakah Aku mengatakan kepadamu: ‘Marilah, Bhaddiya, jadilah siswaku dan Aku menjadi gurumu?’”

“Tentu saja tidak, Bhante.”

“Tetapi, Bhaddiya, walaupun Aku mengatakan demikian dan menyatakan [ajaranKu] dengan cara demikian, beberapa petapa dan brahmana dengan tidak benar, tanpa dasar, secara keliru, dan secara salah memahamiKu ketika mereka mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang penyihir yang mengetahui sihir pengalih-keyakinan yang dengannya Beliau mengalihkan keyakinan para siswa dari guru-guru sekte lain.’” [194]

“Sungguh baik sekali sihir pengalih keyakinan itu, Bhante! Sungguh bagus sihir pengalih keyakinan itu! Jika sanak-saudaraku yang tercinta dan anggota-anggota keluargaku dapat teralihkan dengan pengalihan ini, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika semua khattiya dapat teralihkan dengan pengalihan ini, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika semua brahmana … vessa … sudda dapat teralihkan dengan pengalihan ini, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.”<911>

“Demikianlah, Bhaddiya, demikianlah! Jika semua khattiya dapat teralihkan dengan pengalihan ini ke arah ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan perolehan kualitas-kualitas bermanfaat, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika semua brahmana … vessa … sudda dapat teralihkan dengan pengalihan ini ke arah ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan perolehan kualitas-kualitas bermanfaat, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, dapat teralihkan dengan pengalihan ini ke arah ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan perolehan kualitas-kualitas bermanfaat, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Jika pepohonan sal besar ini dapat teralihkan dengan pengalihan ini ke arah ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan perolehan kualitas-kualitas bermanfaat, maka hal itu bahkan akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan pepohonan sal besar ini untuk waktu yang lama.<912> Apalagi untuk seorang manusia!”

194 (4) Sāpūga

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di antara penduduk Koliya di dekat pemukiman Koliya bernama Sāpūga. Kemudian sejumlah pemuda Koliya dari Sāpūga mendatangi Yang Mulia Ānanda, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sii. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada mereka:

“Para Byagghapajja, ada empat faktor usaha pemurnian<913> ini yang telah dengan benar diajarkan oleh  Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, [195] demi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi terhentinya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, untuk merealisasikan nibbāna. Apakah empat ini? Faktor usaha demi pemurnian perilaku bermoral, faktor usaha demi pemurnian pikiran, faktor usaha demi pemurnian pandangan, dan faktor usaha demi pemurnian kebebasan.<914>

(1) “Dan apakah, Byagghapajja, faktor usaha demi pemurnian perilaku bermoral? Di sini, seorang bhikkhu bermoral … [seperti pada 4:181] … ia berlatih di dalamnya. Ini disebut pemurnian perilaku bermoral. Keinginan, usaha, kemauan, semangat, tidak mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih [yang dikerahkan dengan kehendak]: ‘Hanya dengan cara ini aku akan memenuhi pemurnian perilaku bermoral yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek pemurnian perilaku bermoral yang telah kupenuhi<915> - ini disebut faktor usaha pemurnian perilaku bermoral.

(2) “Dan apakah, para Byagghapajja, faktor usaha pemurnian pikiran? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat. Ini disebut pemurnian pikiran. Keinginan, usaha, kemauan, semangat, tidak mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih [yang dikerahkan dengan kehendak]: ‘Hanya dengan cara ini aku akan memenuhi pemurnian pikiran yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek pemurnian pikiran yang telah kupenuhi - ini disebut faktor usaha pemurnian pikiran.

(3) “Dan apakah, para Byagghapajja, faktor usaha pemurnian pandangan? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini disebut pemurnian pandangan.<916> Keinginan, usaha, kemauan, semangat, tidak mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih [yang dikerahkan dengan kehendak]: ‘Hanya dengan cara ini aku akan memenuhi pemurnian pandangan yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek pemurnian pandangan yang telah kupenuhi - ini disebut faktor usaha pemurnian pandangan.

(4) “Dan apakah, para Byagghapajja, faktor usaha pemurnian kebebasan? Siswa mulia yang sama itu, dengan memiliki faktor usaha pemurnian perilaku bermoral ini, [196] faktor usaha pemurnian pikiran ini, dan faktor usaha pemurnian pandangan ini, melepaskan pikirannya dari hal-hal yang menyebabkan kemelekatan dan membebaskan pikirannya melalui hal-hal yang membawa kebebasan. Dengan demikian ia mencapai kebebasan. Ini disebut pemurnian kebebasan.<917> Keinginan, usaha, kemauan, semangat, tidak mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih [yang dikerahkan dengan kehendak]: ‘Hanya dengan cara ini aku akan memenuhi pemurnian kebebasan yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek pemurnian kebebasan yang telah kupenuhi - ini disebut faktor usaha pemurnian kebebasan.

“Ini, para Byagghapajja, adalah keempat faktor usaha pemurnian itu yang telah dengan benar diajarkan oleh  Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat,  demi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi terhentinya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, untuk merealisasikan nibbāna.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #33 on: 15 February 2013, 06:05:15 AM »
195 (5) Vappa

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Kemudian Vappa orang Sakya, seorang siswa Nigaṇṭha, mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:

“Di sini, Vappa, jika seseorang terkendali melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka, dengan meluruhnya ketidak-tahuan dan munculnya pengetahuan sejati, apakah engkau melihat apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Aku memang melihat kemungkinan demikian, Bhante. Di masa lampau seseorang melakukan perbuatan jahat yang akibatnya belum matang. Karena hal itu, noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang.”<918>

Sewaktu percakapan antara Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Vappa orang Sakya ini sedang berlangsung, pada malam harinya Sang Bhagavā keluar dari keterasingan [197] dan memasuki aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna: “Apakah, Moggallāna, yang engkau diskusikan tadi? Dan percakapan apakah yang sedang berlangsung?”

[Yang Mulia Mahāmoggallāna di sini menceritakan keseluruhan percakapannya dengan Vappa orang Sakya, diakhiri dengan:]

“Ini, Bhante, adalah percakapan yang terjadi antara aku dan Vappa orang Sakya ketika Sang Bhagavā datang.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Vappa orang Sakya: “Jika, Vappa, engkau mengakui apa yang seharusnya diakui dan menolak apa yang seharusnya ditolak; dan jika, ketika engkau tidak memahami makna dari kata-kataKu, maka engkau akan bertanya kepadaKu tentangnya lebih lanjut lagi, dengan mengatakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari ini?’; maka kita dapat mendiskusikan hal ini.”

“Bhante, aku akan mengakui Sang Bhagavā atas apa yang seharusnya diakui dan menolak apa yang seharusnya ditolak; dan ketika aku tidak memahami makna dari kata-kata Beliau, maka aku akan bertanya kepadaNya lebih lanjut lagi, dengan mengatakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari ini?’; jadi mari kita mendiskusikan hal ini.

(1) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui jasmani tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi.<919> [198] Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Tidak, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui ucapan tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Tidak, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui pikiran tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Tidak, Bhante.”

(4) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Dengan peluruhan ketidak-tahuan dan munculnya pengetahuan sejati, noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul dengan ketidak-tahuan sebagai kondisinya tidak lagi terjadi. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”

“Tidak, Bhante.”

“Seorang bhikkhu yang demikian terbebaskan sempurna dalam pikiran, Vappa, mencapai enam kediaman konstan. Setelah melihat bentuk dengan mata, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih.<920> Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih.

“Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berakhir dengan jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan suatu perasaan yang berakhir bersama dengan jasmani.’ Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berakhir bersama dengan kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan suatu perasaan yang berakhir dengan kehidupan.’ Ia memahami: ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’<921>

“Misalkan, Vappa, sebuah bayangan terlihat karena sebuah tunggul pohon. Kemudian [199] seseorang datang membawa sekop dan keranjang. Ia memotong tunggul itu diakarnya, menggalinya, dan menarik akar-akarnya, bahkan akar-akar serabut yang halus dan serat-serat akarnya. Ia memotong-motong tunggul itu hingga menjadi keping-kepingan kecil, memecahkan kepingan-kepingan itu, dan mengiris-irisnya. Kemudian ia menjemur irisan-irisan itu di bawah angin dan terik matahari, membakarnya, dan menghancurkannya menjadi abu. Setelah melakukan itu, ia menebarkan abu itu di angin kencang atau menghanyutkannya di arus kencang sebuah sungai. Demikianlah bayangan yang bergantung pada tunggul itu telah dipotong di akar, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul kembali di masa depan.<922>

“Demikian pula, Vappa, seorang bhikkhu yang demikian terbebaskan sempurna dalam pikiran, Vappa, mencapai enam kediaman konstan. Setelah melihat bentuk dengan mata … … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih. Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berakhir dengan jasmani, ia memahami … : ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’

Ketika hal ini dikatakan, Vappa orang Sakya, siswa Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Bhagavā: “Misalkan, Bhante, ada seseorang yang mencari keuntungan dengan memelihara kuda untuk dijual, tetapi ia tidak memperoleh keuntungan melainkan hanya menuai kelelahan dan kesusahan. Demikian pula, demi mencari keuntungan, aku melayani si dungu Nigaṇṭha, tetapi aku tidak memperoleh keuntungan melainkan hanya menuai kelelahan dan kesusahan. Mulai hari ini, keyakinan apa pun yang kumiliki terhadap si dungu Nigaṇṭha, aku menebarkannya di angin kencang atau menghanyutkannya di arus sungai.

“Bagus sekali, Bhante! … [200] … Sudilah Sang Bhagavā menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

196 (6) Sāḷha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Sāḷha orang Licchavi dan Abhaya orang Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sāḷha orang Licchavi berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada beberapa petapa dan brahmana yang menyatakan penyeberangan banjir melalui dua hal: melalui pemurnian perilaku bermoral dan melalui pertapaan-keras dan kejijikan.<923> Apa yang Sang Bhagavā katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Aku katakan, Sāḷha, bahwa pemurnian perilaku bermoral adalah salah satu faktor pertapaan. Tetapi para petapa dan brahmana itu yang mengajarkan pertapaan keras dan kejijikan, yang menganggap pertapaan keras dan kejijikan sebagai inti, dan yang melekat pada pertapaan keras dan kejijikan tidak akan mampu menyeberangi banjir.<924> Juga, para petapa dan brahmana yang perilaku jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak murni, dan yang penghidupannya tidak murni, adalah tidak mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan, pencerahan yang tidak terlampaui.

“Misalkan, Sāḷha, seseorang yang ingin menyeberangi banjir membawa kapak tajam dan memasuki hutan. Di sana ia melihat sebatang anak pohon sal besar, lurus, segar, tanpa tunas buah. Ia memotong akarnya, memotong pucuknya, sepenuhnya memotong dahan-dahan dan dedaunannya, meratakannya dengan kapak, meratakannya lebih lanjut lagi dengan beliung, mengikisnya dengan alat pengikis, menghaluskannya dengan bola batu, dan pergi menyeberangi sungai. Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Dapatkah orang itu menyeberangi sungai?

“Tidak, Bhante. Karena alasan apakah? Karena walaupun anak pohon sal itu telah secara menyeluruh dipersiapkan secara eksternal, [201] namun pohon itu belum dimurnikan di bagian dalam. Kemungkinan besar anak pohon sal itu akan tenggelam dan orang itu akan menemui kemalangan dan bencana.”

“Demikian pula, Sāḷha, para petapa dan brahmana itu yang mengajarkan pertapaan keras dan kejijikan, yang menganggap pertapaan keras dan kejijikan sebagai inti, dan yang melekat pada pertapaan keras dan kejijikan tidak akan mampu menyeberangi banjir. Juga, para petapa dan brahmana yang perilaku jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak murni, dan yang penghidupannya tidak murni, adalah tidak mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan, pencerahan yang tidak terlampaui.

“Misalkan, Sāḷha, seseorang yang ingin menyeberangi banjir membawa kapak tajam dan memasuki hutan. Di sana ia melihat sebatang anak pohon sal besar, lurus, segar, tanpa tunas buah. Ia memotong akarnya, memotong pucuknya, sepenuhnya memotong dahan-dahan dan dedaunannya, meratakannya dengan kapak, meratakannya lebih lanjut lagi dengan beliung, dengan menggunakan pahat ia membersihkan bagian dalamnya, mengikisnya dengan alat pengikis, menghaluskannya dengan bola batu, dan membuatnya menjadi sebuah perahu. Kemudian ia melengkapinya dengan dayung dan kemudi dan pergi menyeberangi sungai. Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Dapatkah orang itu menyeberangi sungai?

“Dapat, Bhante. Karena alasan apakah? Karena anak pohon sal itu telah secara menyeluruh dipersiapkan secara eksternal, dimurnikan dengan baik di bagian dalam, dibuat menjadi sebuah perahu, dan dilengkapi dengan dayung dan kemudi. Kemungkinan besar anak pohon sal itu tidak akan tenggelam dan orang itu akan selamat sampai di pantai seberang.”

(1) “Demikian pula, Sāḷha, para petapa dan brahmana itu yang tidak mengajarkan pertapaan keras dan kejijikan, yang tidak menganggap pertapaan keras dan kejijikan sebagai inti, dan yang tidak melekat pada pertapaan keras dan kejijikan akan mampu menyeberangi banjir. Juga, para petapa dan brahmana [202] yang perilaku jasmani, ucapan, dan pikirannya murni, dan yang penghidupannya murni, adalah mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan, pencerahan yang tidak terlampaui.

“Walaupun seorang prajurit mengetahui banyak kemahiran berbeda yang dapat dilakukan dengan anak panah, hanya jika ia memiliki tiga kualitas maka ia layak menjadi miliki seorang raja, layak menjadi perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah tiga ini? Ia adalah seorang penembak jarak jauh, seorang penembak tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar.

(2) “Seperti halnya seorang prajurit adalah seorang penembak jarak jauh, demikian pula siswa mulia itu memiliki konsentrasi benar. Bentuk apa pun yang ada di sana – apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang siswa mulia dengan konsentrasi benar melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Perasaan apa pun yang ada di sana … Persepsi apa pun yang ada di sana … Aktivitas-aktivitas berkehendak apa pun yang ada di sana … Kesadaran apa pun yang ada di sana - apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang siswa mulia dengan konsentrasi benar melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

(3) “Seperti halnya seorang prajurit adalah seorang penembak tepat, demikian pula siswa mulia itu memiliki pandangan benar. Seorang siswa mulia dengan pandangan benar memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’

(4) “Seperti halnya seorang prajurit membelah tubuh besar, demikian pula siswa mulia itu memiliki kebebasan benar. Seorang siswa mulia yang memiliki kebebasan benar telah membelah kumpulan besar ketidak-tahuan.”<925>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #34 on: 15 February 2013, 06:06:35 AM »
197 (7) Mallikā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Ratu Mallikā mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:<926> [203]

(1) “Bhante, mengapakah beberapa perempuan di sini (i) buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; (ii) miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh? (2) Dan mengapakah beberapa di antaranya (i) buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh? (3) Dan mengapakah beberapa perempuan di sini (i) cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi (ii) miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh? (4) Dan mengapakah beberapa di antaranya (i) cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh?”

(1) “Di sini, Mallikā, (i) seorang perempuan rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik sedikit ia akan kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. (ii) Ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. (iii) dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali (i) ia akan buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; (ii)  miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh.

(2)  “Perempuan lainnya (i) rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar … (ii) Tetapi ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … (iii) Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun [204] ia terlahir kembali (i) ia akan buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; (ii) tetapi ia akan kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh.

(3) “Perempuan lainnya lagi (1) tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak ia tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. (ii) Tetapi ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … (iii) Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali (i) ia akan cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; (ii) tetapi ia akan miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh.

(4) “Dan perempuan lainnya lagi (1) tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar … (ii) Dan ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … (iii) Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali (i) ia akan cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh.

“Ini, Mallikā, adalah mengapa beberapa perempuan di sini (i) buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; (ii) miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya (i) buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa perempuan di sini (i) cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi (ii) miskin, papa, dan melarat; dan (iii) tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya (i) cantik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; (ii) kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan (iii) berpengaruh.”

Ketika hal ini dikatakan, Ratu Mallikā berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku menduga, Bhante, (i) bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik sedikit aku menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, [205] bersikap bermusuhan, dan keras kepala, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi buruk rupa, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat. (ii) Tetapi aku menduga bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku telah memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana … tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta. (iii) Dan aku menduga bahwa dalam suatu kehidupan sebelumnya aku tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, bukan seorang yang iri, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu aku sekarang memiliki pengaruh. Dalam kerajaan ini terdapat gadis-gadis dari keluarga-keluarga khattiya, brahmana, dan perumah tangga yang tunduk di bawah perintahku.

“Mulai hari ini, Bhante, (i) aku tidak akan rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak aku tidak akan kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; aku tidak akan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. (ii) Dan aku akan memberikan benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. (iii) Dan aku tidak akan menjadi iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain.

“Bagus sekali, Bhante! … [seperti pada 4:111] … Sudilah Sang Bhagavā menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #35 on: 15 February 2013, 06:07:38 AM »
198 (8 ) Penyiksaan-diri <927>

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, sejenis orang tertentu menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri. (2) Tetapi jenis orang lainnya menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya. (3) Orang jenis lainnya lagi menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan juga menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya. (4) Dan orang jenis lainnya lagi tidak menyiksa dirinya sendiri dan tidak menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, [206] dan tidak menyiksa orang lain dan tidak mengejar praktik menyiksa orang lain. Karena ia tidak menyiksa dirinya sendiri serta orang lain, dalam kehidupan ini ia berdiam tanpa lapar, terpuaskan dan sejuk, mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi Brahmā.<928>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri?<929> Di sini, seseorang tertentu bepergian telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangannya, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; ia tidak menerima makanan yang diserahkan dan tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan dan tidak menerima undangan makan; ia tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, melintasi tongkat kayu, melintasi alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang dipelihara oleh seorang laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; ia tidak menerima ikan atau daging, ia tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Ia mendatangi satu rumah [pada perjalanan menerima dana makanan], untuk satu suap; ia mendatangi dua rumah, untuk dua suap; … ia mendatangi tujuh rumah, untuk tujuh suap. Ia makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Ia makan sekali dalam sehari, sekali dalam dua hari … sekali dalam tujuh hari; dan seterusnya hingga sekali dalam dua minggu; ia berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.

“Ia adalah pemakan sayur-sayuran atau milet atau beras hutan atau kulit kupasan atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi.  Ia hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; ia memakan buah-buahan yang jatuh.

“Ia mengenakan jubah yang terbuat dari rami, jubah dari kain campuran-rami, jubah dari kain pembungkus mayat, jubah dari potongan-potongan kain, jubah dari kulit pohon, jubah dari kulit rusa, jubah dari cabikan kulit rusa, jubah dari kain rumput kusa, jubah dari kain kulit kayu, jubah dari kain serutan kayu, mantel dari kain rambut atau dari kain bulu binatang, penutup dari bulu sayap burung hantu.

“Ia adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menekuni praktik mencabut rambut dan janggut. Ia adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Ia adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Ia adalah seorang yang menggunakan alas tidur berduri; ia menjadikan alas tidur berduri sebagai tempat tidurnya. Ia berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. [207] Dengan cara inilah seseorang menyiksa dirinya sendiri dan  menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang yang menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya? Di sini, seseorang tertentu adalah seorang penjagal domba, seorang penjagal babi, seorang penangkap burung, seorang penjebak binatang liar, seorang pemburu, seorang penangkap ikan, seorang pencuri, seorang algojo,<930> seorang sipir penjara, atau seseorang yang menekuni pekerjaan-pekerjaan berdarah lainnya. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang yang menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan juga menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya? Di sini, seseorang adalah seorang raja khattiya yang sah atau seorang brahmana kaya. Setelah membangun sebuah kuil pengorbanan baru di sebelah timur kora, dan setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan pakaian dari kulit kijang yang kasar, dan meminyaki tubuhnya dengan ghee dan minyak, dengan menggaruk punggungnya dengan tanduk rusa, ia memasuki kuil pengorbanan bersama dengan ratunya dan brahmana pendeta tinggi. Di sana ia berbaring di atas tanah yang ditaburi dengan rumput. Raja bertahan hidup dari susu yang berasal dari puting susu pertama dari sapi yang memiliki anak dengan warna yang sama sedangkan ratu bertahan hidup dari susu yang berasal dari puting susu ke dua dan brahmana pendeta tinggi bertahan hidup dari susu yang berasal dari puting susu ke tiga; susu dari puting susu ke empat mereka tuangkan ke api, dan anak sapi hidup dari apa yang tersisa. Ia berkata: ‘Sembelihlah sapi-sapi jantan sebanyak itu untuk pengorbanan, sembelihlah banteng-banteng sebanyak itu untuk pengorbanan, sembelihlah sapi-sapi muda sebanyak itu untuk pengorbanan, sembelihlah kambing-kambing sebanyak itu untuk pengorbanan, sembelihlah domba-domba sebanyak itu untuk pengorbanan; tebanglah pepohonan sebanyak itu sebagai tiang pengorbanan, potonglah rumput sebanyak itu sebagai rumput pengorbanan.’ [208] Dan kemudian budak-budaknya, utusan-utusannya, dan pelayan-pelayannya melakukan persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Dengan cara inilah seseorang adalah seorang yang menyiksa dirinya sendiri dan menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan juga menyiksa orang lain dan menekuni praktik menyiksa orang lainnya.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang yang tidak menyiksa dirinya sendiri dan tidak menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan tidak menyiksa orang lain dan tidak mengejar praktik menyiksa orang lain – seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya sendiri serta orang lain, dalam kehidupan ini ia berdiam tanpa lapar, terpuaskan dan sejuk, mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi Brahmā?

“Di sini, para bhikkhu, Sang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik dari orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah merealisasikan dengan pengetahuan langsungNya sendiri dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Beliau mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.

“Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga atau sesorang yang terlahir dalam suatu suku mendengar Dhamma ini. Ia kemudian memperoleh keyakiann pada Sang Tathāgata dan merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan melepaskan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup di dalam rumah, juga mejalani kehidupan spiritual yang sama sekali sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah jingga, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’ Belakangan, setelah meninggalkan sedikit atau banyak kekayaan, setelah meninggalkan lingkaran sanak saudara yang kecil atau besar, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah jingga, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.

“Setelah meninggalkan keduniawian demikian dan memiliki latihan dan gaya hidup para bhikkhu, setelah meninggalkan pembunuhan, ia menghindari pembunuhan, dengan tongkat pemukul dan senjata di singkirkan, berhati-hati dan bersikap baik, ia berdiam dengan berbelas kasihan terhadap semua makhluk hidup. Setelah meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; [209] mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan berdiam dengan jujur tanpa pikiran mencuri. Setelah meninggalkan aktivitas seksual, ia menjalankan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa.

“Setelah meninggalkan ucapan bohong, ia menghindaari ucapan bohong, melekat pada kebenaran; ia dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Setelah meninggalkan ucapan yang memecah-belah, ia menghindari ucapan yang memecah-belah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang ia dengar di sini untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini; ia juga tidak mengulangi di sini apa yang ia dengar di tempat lain untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang menyatukan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persatuan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersenang dalam kerukunan, seorang penyuara kata-kata yang mendorong kerukunan. Setelah meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, indah, kata-kata yang masuk ke dalam hati, kata-kata yang sopan yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Setelah meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, membicarakan apa yang benar, membicarakan apa yang bermanfaat, membicarakan tentang Dhamma dan disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkankata-kata yang layak diingat, masuk akal, singkat, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia makan sekali sehari,<931> menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang selayaknya. Ia menghindari menari, menyanyi, musik instrumental, dan pertunjukan yang tidak selayaknya. Ia menghindari menghias dan mempercantik dirinya dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wewangian dan salep. Ia menghindari tempat tidur yang tinggi dan lebar. Ia menghindari menerima emas dan perak, beras mentah, daging mentah, perempuan-perempuan dan gadis-gadis, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, ternak, kuda jantan, dan kuda betina, ladang dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan utusan; menghindari membeli dan menjual; menghindari menipu dengan timbangan, logam, dan ukuran; menghindari menerima suap, penipuan, kecurangan, dan muslihat. Ia menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.

“Ia puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan persembahan untuk memelihara perutnya, dan kemanapun ia pergi ia hanya membawa ini bersamanya. Seperti halnya seekor burung, kemanapun ia pergi, ia [210] terbang hanya dengan sayap-sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula, seorang bhikkhu puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan persembahan untuk memelihara perutnya, dan kemanapun ia pergi ia hanya membawa ini bersamanya. Dengan memiliki kelompok perilaku bermoral yang mulia ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa cela.

“Setelah melihat bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan memiliki pengendalian indria-indria yang mulia ini, ia mengalami kebahagiaan tak tercela dalam dirinya.

“Ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan pergi dan kembali; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika melihat ke depan dan ke sekeliling; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika menekuk dan merentangkan anggota-anggota tubuhnya; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika makan, minum, mengunyah, dan mengecap; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika membuang air besar dan membuang air kecil; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh terlelap, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

“Dengan memiliki kelompok perilaku yang mulia ini, dan pengendalian indria-indria yang mulia ini, dan perhatian dan pemahaman jernih yang mulia ini, ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

“Setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kerinduan; ia memurnikan pikirannya dari kerinduan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan terhadap semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Setelah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, [211] ia berdiam terbebas dari ketumpulan dan niat buruk, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih; ia memurnikan pikirannya dari ketumpulan dan kantuk. Setelah meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa gejolak, dengan pikiran damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Setelah meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tidak bingung terhadap kualitas-kualitas bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran, kualitas-kualitas yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Ketika pikirannya telah terkonsentrasi dengan cara ini, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau … [seperti pada 3:58 §1] … pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … [seperti pada 3:58 §2] …  pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Dengan cara inilah seseorang yang tidak menyiksa dirinya sendiri dan tidak menekuni praktik menyiksa dirinya sendiri, dan tidak menyiksa orang lain dan tidak mengejar praktik menyiksa orang lain – seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya sendiri serta orang lain, dalam kehidupan ini ia berdiam tanpa lapar, terpuaskan dan sejuk, mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi Brahmā.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #36 on: 15 February 2013, 06:08:01 AM »
199 (9) Ketagihan

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ketagihan – yang menjerat, yang mengalir, yang menyebar luas, dan lengket<932> yang dengannya dunia ini tercekik dan terbungkus, dan yang dengannya dunia menjadi gelondongan benang kusut, gumpalan benang kusut, sekumpulan tanaman buluh dan belukar, [212] sehingga tidak dapat melampaui alam sengsara, takdir yang buruk, alam rendah, saṃsāra. Dengarkan dan perhatikanlah; Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, ketagihan - yang menjerat, yang mengalir, yang menyebar luas, dan lengket yang dengannya dunia ini tercekik dan terbungkus, dan yang dengannya dunia menjadi gelondongan benang kusut, gumpalan benang kusut, sekumpulan tanaman buluh dan belukar, sehingga tidak dapat melampaui alam sengsara, takdir yang buruk, alam rendah, saṃsāra?

“Ada, para bhikkhu, delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang internal dan delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang eksternal.

“Dan apakah delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang internal? Ketika ada [gagasan] ‘Aku,’ maka ada [gagasan] ‘Aku demikian,’ ‘Aku hanya seperti itu,’ ‘Aku adalah sebaliknya,’ ‘Aku abadi,’ ‘Aku sementara,’ ‘Aku mungkin menjadi,’ ‘Aku mungkin menjadi demikian,’ ‘Aku mungkin hanya seperti itu,’ ‘Aku mungkin adalah sebaliknya,’ ‘Semoga aku menjadi,’ ‘Semoga aku demikian,’ ‘Semoga aku menjadi hanya seperti itu,’ ‘Semoga aku menjadi sebaliknya,’ ‘Aku akan menjadi,’ ‘Aku akan menjadi demikian,’ ‘Aku akan menjadi hanya seperti itu,’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya.’ Ini adalah delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang internal.<933>

“Dan apakah delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang eksternal?<934> Ketika ada [gagasan], ‘Aku ada karena ini,’<935> maka ada [gagasan]: ‘Aku demikian karena ini,’ ‘Aku hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku adalah sebaliknya karena ini,’ ‘Aku abadi karena ini,’ ‘Aku sementara karena ini,’ ‘Aku mungkin menjadi karena ini,’ ‘Aku mungkin menjadi demikian karena ini,’ ‘Aku mungkin hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku mungkin adalah sebaliknya karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi karena ini,’ ‘Semoga aku demikian karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi hanya seperti itu karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi sebaliknya karena ini,’ ‘Aku akan menjadi karena ini,’ ‘Aku akan menjadi demikian karena ini,’ ‘Aku akan menjadi hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya karena ini.’ Ini adalah delapan belas arus ketagihan yang berhubungan apa yang eksternal.

“Demikianlah ada delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang internal, dan delapan belas arus ketagihan yang berhubungan dengan apa yang eksternal. Ini disebut tiga puluh enam arus ketagihan. Ada tiga puluh enam arus ketagihan yang berhubungan dengan masa lampau, tiga puluh enam yang berhubungan dengan masa depan, [213] dan tiga puluh enam yang berhubungan dengan masa sekarang. Maka seluruhnya ada seratus delapan arus ketagihan.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketagihan itu - yang menjerat, yang mengalir, yang menyebar luas, dan lengket yang dengannya dunia ini tercekik dan terbungkus, dan yang dengannya dunia menjadi gelondongan benang kusut, gumpalan benang kusut, sekumpulan tanaman buluh dan belukar, sehingga tidak dapat melampaui alam sengsara, takdir yang buruk, alam rendah, saṃsāra.”<936>

200 (10) Kasih Sayang

“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang dilahirkan. Apakah empat ini? Kasih sayang dilahirkan dari kasih sayang; kebencian dilahirkan dari kasih sayang; kasih sayang dilahirkan dari kebencian; dan kebencian dilahirkan dari kebencian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, kasih sayang yang dilahirkan dari kasih sayang? Di sini, seseorang disukai, disayangi, dan menyenangkan bagi orang lain. Orang-orang lain memperlakukan orang itu dengan cara yang disukai, disayangi, dan menyenangkan. Orang itu berpikir: ‘Orang-orang lain memperlakukan orang yang disukai, disayangi, dan menyenangkan bagiku itu dengan cara yang disukai, disayangi, dan menyenangkan.’ Demikianlah ia merasakan kasih sayang pada mereka. Dengan cara inilah kasih sayang dilahirkan dari kasih sayang.

(2) “Dan bagaimanakah kebencian dilahirkan dari kasih sayang? Di sini, seseorang disukai, disayangi, dan menyenangkan bagi orang lain. Orang-orang lain memperlakukan orang itu dengan cara yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan. Orang itu berpikir: ‘Orang-orang lain memperlakukan orang yang disukai, disayangi, dan menyenangkan bagiku itu dengan cara yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan.’ Demikianlah ia merasakan kebencian pada mereka. Dengan cara inilah kebencian dilahirkan dari kasih sayang.

(3) “Dan bagaimanakah kasih sayang dilahirkan dari kebencian? Di sini, seseorang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan bagi orang lain. Orang-orang lain memperlakukan orang itu dengan cara yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan. Orang itu berpikir: ‘Orang-orang lain memperlakukan orang yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan bagiku itu dengan cara yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan.’ Demikianlah ia merasakan kasih sayang pada mereka. Dengan cara inilah kasih sayang dilahirkan dari kebencian.

(4) “Dan bagaimanakah kebencian dilahirkan dari kebencian? Di sini, seseorang tidak disukai, tidak disayangi, [214] dan tidak menyenangkan bagi orang lain. Orang-orang lain memperlakukan orang itu dengan cara yang disukai, disayangi, dan menyenangkan. Orang itu berpikir: ‘Orang-orang lain memperlakukan orang yang tidak disukai, tidak disayangi, dan tidak menyenangkan bagiku itu dengan cara yang disukai, disayangi, dan menyenangkan.’ Demikianlah ia merasakan kebencian pada mereka. Dengan cara inilah kebencian dilahirkan dari kebencian.

“Ini adalah empat hal yang dilahirkan.

“Ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, pada saat itu kasih sayang yang dilahirkan dari kasih sayang tidak ada padanya, kebencian yang dilahirkan dari kasih sayang tidak ada padanya, kasih sayang yang dilahirkan dari kebencian tidak ada padanya, dan kebencian yang dilahirkan dari kebencian tidak ada padanya.

“Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, pada saat itu kasih sayang yang dilahirkan dari kasih sayang tidak ada padanya, kebencian yang dilahirkan dari kasih sayang tidak ada padanya, kasih sayang yang dilahirkan dari kebencian tidak ada padanya, dan kebencian yang dilahirkan dari kebencian tidak ada padanya.

“Ketika, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, maka ia telah meninggalkan kasih sayang yang dilahirkan dari kasih sayang, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan; ia telah meninggalkan kebencian yang dilahirkan dari kasih sayang, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan; ia telah meninggalkan kasih sayang yang dilahirkan dari kebencian, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan; dan ia telah meninggalkan kebencian yang dilahirkan dari kebencian, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

“Ini disebut seorang bhikkhu yang tidak menarik juga tidak mendorong, yang tidak berasap, tidak menyala, dan tidak merenung.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menarik?<937> Di sini, seorang bhikkhu menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk … [215] persepsi sebagai diri … aktivitas-aktivitas kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menarik.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak menarik? Di sini, seorang bhikkhu tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk … [215] persepsi sebagai diri … aktivitas-aktivitas kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak menarik.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu mendorong? Di sini, seorang bhikkhu menghina orang yang menghinanya, memarahi orang yang memarahinya, dan berdebat dengan orang yang mendebatnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mendorong.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mendorong? Di sini, seorang bhikkhu tidak menghina orang yang menghinanya, tidak memarahi orang yang memarahinya, dan tidak berdebat dengan orang yang mendebatnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak mendorong.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berasap? Ketika ada [gagasan] ‘Aku,’ maka ada [gagasan] ‘Aku demikian,’ ‘Aku hanya seperti itu,’ ‘Aku adalah sebaliknya,’ ‘Aku abadi,’ ‘Aku sementara,’ ‘Aku mungkin menjadi,’ ‘Aku mungkin menjadi demikian,’ ‘Aku mungkin hanya seperti itu,’ ‘Aku mungkin adalah sebaliknya,’ ‘Semoga aku menjadi,’ ‘Semoga aku demikian,’ ‘Semoga aku menjadi hanya seperti itu,’ ‘Semoga aku menjadi sebaliknya,’ ‘Aku akan menjadi,’ ‘Aku akan menjadi demikian,’ ‘Aku akan menjadi hanya seperti itu,’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu berasap.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak berasap? Ketika tidak ada [gagasan] ‘Aku,’ maka tidak ada [gagasan] ‘Aku demikian,’ … [216] … ‘Aku akan menjadi sebaliknya.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak berasap.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menyala? Ketika ada [gagasan], ‘Aku ada karena ini,’ maka ada [gagasan]: ‘Aku demikian karena ini,’ ‘Aku hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku adalah sebaliknya karena ini,’ ‘Aku abadi karena ini,’ ‘Aku sementara karena ini,’ ‘Aku mungkin menjadi karena ini,’ ‘Aku mungkin menjadi demikian karena ini,’ ‘Aku mungkin hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku mungkin adalah sebaliknya karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi karena ini,’ ‘Semoga aku demikian karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi hanya seperti itu karena ini,’ ‘Semoga aku menjadi sebaliknya karena ini,’ ‘Aku akan menjadi karena ini,’ ‘Aku akan menjadi demikian karena ini,’ ‘Aku akan menjadi hanya seperti itu karena ini,’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya karena ini.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu menyala.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak menyala? Ketika tidak ada [gagasan], ‘Aku ada karena ini,’ maka tidak ada [gagasan]: ‘Aku demikian karena ini,’ … ’ ‘Aku akan menjadi sebaliknya karena ini.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak menyala.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu merenung?<938> Di sini, seorang bhikkhu belum meninggalkan keangkuhan ‘aku,’ belum memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu merenung.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu tidak merenung? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan keangkuhan ‘aku,’ telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu tidak merenung.” [217]


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #37 on: 15 February 2013, 06:08:28 AM »
LIMA PULUH KE LIMA

I. ORANG BAIK

201 (1) Aturan-Aturan Latihan

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang orang yang jahat dan orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat; tentang orang yang baik dan orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik. Dengarkan dan perhatikanlah; Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh; ia sendiri mengambil apa yang tidak diberikan dan mendorong orang lain untuk mengambil apa yang tidak diberikan; ia sendiri melakukan hubungan seksual yang salah dan mendorong orang lain untuk melakukan hubungan seksual yang salah; ia sendiri berbohong dan mendorong orang lain untuk berbohong; ia sendiri menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh; ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan dan mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; ia sendiri menghindari melakukan hubungan seksual yang salah dan mendorong orang lain untuk menghindari melakukan hubungan seksual yang salah; ia sendiri menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.” [218]

202 (2) Hampa dari Keyakinan

[Pembukaan seperti pada 4:201.]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, dengan moralitas yang sembrono, kurang dalam pembelajaran, malas, berpikiran kacau, dan tidak bijaksana. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri hampa dari keyakinan dan mendorong orang lain agar hampa dari keyakinan; ia sendiri tidak memiliki rasa malu bermoral dan mendorong orang lain agar tidak memiliki rasa malu bermoral; ia sendiri memiliki moralitas yang sembrono dan mendorong orang lain agar memiliki moralitas yang sembrono; ia sendiri kurang dalam pembelajaran dan mendorong orang lain agar kurang dalam pembelajaran; ia sendiri malas dan mendorong orang lain agar menjadi malas; ia sendiri berpikiran kacau dan mendorong orang lain agar berpikiran kacau; ia sendiri tidak bijaksana dan mendorong orang lain agar menjadi tidak bijaksana. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, dan rasa takut bermoral, dan terpelajar, bersemangat, penuh perhatian dan bijaksana. ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri sempurna dalam keyakinan dan mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan; ia sendiri memiliki rasa malu bermoral dan mendorong orang lain agar memiliki rasa malu bermoral; ia sendiri memiliki rasa takut bermoral dan mendorong orang lain agar memiliki rasa takut bermoral; ia sendiri terpelajar dan mendorong orang lain dalam pembelajaran, ia sendiri bersemangat dan mendorong orang lain agar membangkitkan semangat, ia sendiri penuh perhatian dan mendorong orang lain agar menegakkan perhatian; ia sendiri bijaksana dan mendorong orang lain agar sempurna dalam kebijaksanaan. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

203 (3) Tujuh Perbuatan

[Pembukaan seperti pada 4:201.] [219]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berbicara kasar, dan menikmati gosip. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh … ia sendiri menikmati gosip dan mendorong orang lain untuk menikmati gosip. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh … menghindari gosip. Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … ia sendiri menghindari gosip dan mendorong orang lain untuk menghindari gosip. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

203 (3) Sepuluh Perbuatan

[Pembukaan seperti pada 4:201.] [220]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang membunuh … menikmati gossip; ia penuh kerinduan, memendam niat buruk, dan menganut pandangan salah. Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh … ia sendiri menganut pandangan salah dan mendorong orang lain untuk menganut pandangan salah. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh … menghindari gosip; ia tanpa kerinduan, berniat baik, dan menganut pandangan benar. Ini disebut orang yang baik

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … ia sendiri tanpa kerinduan dan mendorong oang lain agar tanpa kerinduan; ia sendiri berniat baik dan mendorong orang lain agar berniat baik; ia sendiri menganut pandangan benar dan mendorong orang lain agar menganut pandangan benar. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

205 (5) Berunsur Delapan

[Pembukaan seperti pada 4:201.] [220]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? Di sini, seseorang memiliki pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah. [221] Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan salah dan mendorong orang lain agar berpandangan salah … ia sendiri memiliki konsentrasi salah dan mendorong orang lain agar memiliki konsentrasi salah. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? seseorang memiliki pandangan benar, kehendak salah, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.  Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan benar dan mendorong orang lain agar berpandangan benar … ia sendiri memiliki konsentrasi benar dan mendorong orang lain agar memiliki konsentrasi benar. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

206 (6) Berunsur Sepuluh

[Pembukaan seperti pada 4:201.]

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, orang yang jahat? [222] Di sini, seseorang memiliki pandangan salah … konsentrasi salah, pengetahuan salah, dan kebebasan salah.  Ini disebut orang yang jahat.

(2) “Dan siapakah orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan salah dan mendorong orang lain agar berpandangan salah … ia sendiri memiliki kebebasan salah dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan salah. Ini disebut orang yang lebih rendah daripada orang yang jahat.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? seseorang memiliki pandangan benar … konsentrasi benar, pengetahuan benar, dan kebebasan benar.  Ini disebut orang yang baik.

(4) “Dan siapakah orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan benar dan mendorong orang lain agar berpandangan benar … ia sendiri memiliki kebebasan benar dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan benar. Ini disebut orang yang lebih tinggi daripada orang yang baik.”

207 (7) Berkarakter Buruk (1)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang apa yang buruk dan apa yang lebih buruk daripada yang buruk; tentang apa yang baik dan yang lebih baik daripada  yang baik. Dengarkan …

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, yang buruk? Di sini, seseorang membunuh … dan menganut pandangan salah. Ini disebut yang buruk.

(2) “Dan apakah yang lebih buruk daripada yang buruk? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh … ia sendiri menganut pandangan salah dan mendorong orang lain untuk menganut pandangan salah. Ini disebut apa yang lebih buruk daripada yang buruk.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, yang baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh … dan menganut pandangan benar. [223] Ini disebut yang baik.

(4) “Dan apakah yang lebih baik daripada yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … ia sendiri menganut pandangan benar dan mendorong orang lain untuk menganut pandangan benar. Ini disebut apa yang lebih baik daripada yang baik.”

208 (8 ) Berkarakter Buruk (2)

[Pembukaan seperti pada 4:207.]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, yang buruk? Di sini, seseorang berpandangan salah … kebebasan salah. Ini disebut yang buruk.

(2) “Dan apakah yang lebih buruk daripada yang buruk? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan salah dan mendorong orang lain agar berpandangan salah … ia sendiri memiliki kebebasan salah dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan salah. Ini disebut apa yang lebih buruk daripada yang buruk.

(3) “Dan siapakah orang yang baik? Di sini, seseorang memiliki pandangan benar … konsentrasi benar, pengetahuan benar, dan kebebasan benar.  Ini disebut yang baik.

(4) “Dan apakah yang lebih baik daripada yang baik? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan benar dan mendorong orang lain agar berpandangan benar … ia sendiri memiliki kebebasan benar dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan benar. Ini disebut apa yang lebih baik daripada yang baik.”

209 (9) Berkarakter Buruk (3)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang seorang yang berkarakter buruk [224] dan tentang seorang yang berkarakter lebih buruk lagi. Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang seorang yang berkarakter baik dan tentang seorang yang berkarakter lebih baik lagi. Dengarkan …

(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, seorang yang berkarakter buruk? Di sini, seseorang membunuh … dan menganut pandangan salah. Ini disebut orang yang berkarakter buruk.

(2) “Dan siapakah seorang yang berkarakter lebih buruk lagi? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri membunuh dan mendorong orang lain untuk membunuh … ia sendiri menganut pandangan salah dan mendorong orang lain agar bepandangan salah. Ini disebut orang yang berkarakter lebih buruk lagi.

(3) “Dan siapakah, para bhikkhu, seorang yang berkarakter baik? Di sini, seseorang menghindari membunuh … dan menganut pandangan benar. Ini disebut orang yang berkarakter baik.

(2) “Dan siapakah seorang yang berkarakter lebih baik lagi? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … ia sendiri menganut pandangan benar dan mendorong orang lain agar bepandangan benar. Ini disebut orang yang berkarakter lebih baik lagi.”

210 (10) Berkarakter Buruk (4)

[Pembukaan seperti pada 4:209.]
 
(1) “Dan siapakah, para bhikkhu, seorang yang berkarakter buruk? seseorang berpandangan salah … kebebasan salah. Ini disebut orang yang berkarakter buruk.

(2) “Dan siapakah seorang yang berkarakter lebih buruk lagi? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan salah [225] dan mendorong orang lain agar berpandangan salah … ia sendiri memiliki kebebasan salah dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan salah. . Ini disebut orang yang berkarakter lebih buruk lagi.

(3) “Dan siapakah, para bhikkhu, seorang yang berkarakter baik? Di sini, seseorang memiliki pandangan benar … kebebasan benar, pengetahuan benar, dan kebebasan benar. Ini disebut orang yang berkarakter baik.

(2) “Dan siapakah seorang yang berkarakter lebih baik lagi? Di sini, seseorang yang dirinya sendiri memiliki pandangan benar dan mendorong orang lain agar berpandangan benar … ia sendiri memiliki kebebasan benar dan mendorong orang lain agar memiliki kebebasan benar. Ini disebut orang yang berkarakter lebih baik lagi.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #38 on: 15 February 2013, 06:09:36 AM »
II. HIASAN BAGI KUMPULAN

211 (1) Kumpulan

“Para bhikkhu, empat ini adalah noda bagi sebuah kumpulan. Apakah empat ini? Seorang bhikkhu yang tidak bermoral, yang berkarakter buruk; seorang bhikkhunī yang tidak bermoral, yang berkarakter buruk; seorang umat awam laki-laki yang tidak bermoral, yang berkarakter buruk; seorang umat awam perempuan yang tidak bermoral, yang berkarakter buruk. Keempat ini adalah noda-noda bagi sebuah kumpulan.

“Para bhikkhu, empat ini adalah hiasan bagi sebuah kumpulan. Apakah empat ini? Seorang bhikkhu yang bermoral, yang berkarakter baik; [226] seorang bhikkhunī yang bermoral, yang berkarakter baik; seorang umat awam laki-laki yang bermoral, yang berkarakter baik; seorang umat awam perempuan yang bermoral, yang berkarakter baik. Keempat ini adalah hiasan-hiasan bagi sebuah kumpulan.”

212 (2) Pandangan

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perilaku buruk melalui jasmani, perilaku buruk melalui ucapan, perilaku buruk melalui pikiran, dan pandangan salah. Seorang yang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perilaku baik melalui jasmani, perilaku baik melalui ucapan, perilaku baik melalui pikiran, dan pandangan benar. Seorang yang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

213 (3) Tidak Berterima Kasih

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perilaku buruk melalui jasmani, perilaku buruk melalui ucapan, perilaku buruk melalui pikiran, dan tidak bersyukur atau tidak berterima kasih. Seorang yang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perilaku baik melalui jasmani, perilaku baik melalui ucapan, perilaku baik melalui pikiran, dan bersyukur atau berterima kasih. Seorang yang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

214 (4) Pembunuhan

[4:214-19 mengikuti pola yang sama seperti 4:213, dengan kualitas-kualitas berikut ini berturut-turut bertanggung jawab atas kelahiram kembali di neraka dan surga.]

“… Seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, dan berbohong …

“… Seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, dan menghindari berbohong ….” [227]

215 (5) Jalan (1)

“… Seorang yang berpandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, dan perbuatan salah …

“… Seorang yang berpandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, dan perbuatan benar …”

216 (6) Jalan (2)

“… Seorang yang berpenghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah …

“… Seorang yang berpenghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar …”

217 (7) Cara Pengungkapan (1)

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang tidak ia lihat, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang tidak ia dengar; ia mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang tidak ia indera; ia mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang tidak ia kenali …<939>

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang tidak ia lihat, ia mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang tidak ia dengar; ia mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang tidak ia indera; ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang tidak ia kenali …”

218 (7) Cara Pengungkapan (2)

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang telah ia lihat, ia mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang telah ia dengar; ia mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang telah ia indera; ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang telah ia kenali …

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang telah ia lihat, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang telah ia dengar; ia mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang telah ia indera; ia mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang telah ia kenali …”

219 (9) Tanpa Rasa Malu Bermoral

“ … Seorang yang hampa dari keyakinan, tidak bermoral, tanpa rasa malu bermoral, dan memiliki moralitas yang sembrono …

“… Seorang yang memiliki keyakinan, bermoral, dan memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral …”

220 (10) Tidak Bijaksana

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Ia hampa dari keyakinan, tidak bermoral, malas, dan tidak bijaksana. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? [228] Ia memiliki keyakinan, bermoral, bersemangat, dan bijaksana. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

III. PERILAKU BAIK

221 (1) Perilaku Buruk

“Para bhikkhu, ada empat jenis perbuatan buruk melalui ucapan ini. Apakah empat ini? Berbohong, mengucapkan kata-kata memecah-belah, berbicara kasar, dan bergosip. Ini adalah empat jenis perbuatan buruk melalui ucapan itu.

“Para bhikkhu, ada empat jenis perbuatan baik melalui ucapan ini. Apakah empat ini? Mengucapkan yang sebenarnya, mengucapkan kata-kata yang tidak memecah-belah, berbicara lembut, dan berbicara secara bijaksana. Ini adalah empat jenis perbuatan baik melalui ucapan itu.

222 (2) Pandangan

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? Perilaku buruk melalui jasmani, perilaku buruk melalui ucapan, perilaku buruk melalui pikiran, dan pandangan salah. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas [lainnya], orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? Perilaku baik melalui jasmani, perilaku baik melalui ucapan, perilaku baik melalui pikiran, dan pandangan benar. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak jasa.” [229]

223 (3) Tidak Berterima Kasih

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? Perilaku buruk melalui jasmani, perilaku buruk melalui ucapan, perilaku buruk melalui pikiran, dan tidak bersyukur atau tidak berterima kasih. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas [lainnya], orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? Perilaku baik melalui jasmani, perilaku baik melalui ucapan, perilaku baik melalui pikiran, dan bersyukur atau berterima kasih. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak jasa.”

224 (4) Pembunuhan

 “… Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, dan berbohong …

“… Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, dan menghindari berbohong ….”

225 (5) Jalan (1)

“… Ia berpandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, dan perbuatan salah …

“… Ia berpandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, dan perbuatan benar …”

226 (6) Jalan (2)

“… Ia berpenghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah …

“… Ia berpenghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar …”

227 (7) Cara Pengungkapan (1)

“… Ia mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang tidak ia lihat, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang tidak ia dengar; ia mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang tidak ia indera; ia mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang tidak ia kenali …

“… Ia mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang tidak ia lihat, ia mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang tidak ia dengar; ia mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang tidak ia indera; ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang tidak ia kenali …”

218 (7) Cara Pengungkapan (2)

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang telah ia lihat, ia mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang telah ia dengar; ia mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang telah ia indera; ia mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang telah ia kenali …

“… Seseorang yang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang  telah ia lihat, ia mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang telah ia dengar; ia mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang telah ia indera; ia mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang telah ia kenali …”

219 (9) Tanpa Rasa Malu Bermoral

“ … Seorang yang hampa dari keyakinan, tidak bermoral, tanpa rasa malu bermoral, dan memiliki moralitas yang sembrono …

“… Seorang yang memiliki keyakinan, bermoral, dan memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral …” [230]

220 (10) Tidak Bijaksana

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? Ia hampa dari keyakinan, tidak bermoral, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas [lainnya], orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? Ia memiliki keyakinan, bermoral, bersemangat, dan bijaksana. Dengan memiliki empat kualitas ini … ia menghasilkan banyak jasa.”

231 (11) Penyair

“Para bhikkhu, ada empat jenis penyair ini. Apakah empat ini? Penyair reflektif, penyair naratif, penyair didaktik, dan penyair yang menginspirasi.<940> Ini adalah keempat jenis penyair itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #39 on: 15 February 2013, 06:10:04 AM »
IV. KAMMA

232 (1) Secara Ringkas

“Para bhikkhu, ada empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini? Ada kamma gelap dengan akibat gelap; ada kamma terang dengan akibat terang; ada kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang; ada kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma. Ini adalah keempat jenis kamma yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

233 (2) Secara Terperinci <941>

“Para bhikkhu, ada empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini? Ada kamma gelap dengan akibat gelap; ada kamma terang dengan akibat terang; ada kamma [231] gelap dan terang dengan akibat gelap-dan-terang; ada kamma yang tidak gelap juga tidak terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kamma gelap dengan akibat gelap? Di sini, seseorang melakukan aktvitas berkehendak melalui jasmani yang menyakitkan, aktivitas melalui ucapan yang menyakitkan, dan aktivitas melalui pikiran yang menyakitkan.<942> Sebagai konsekuensinya, ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam demikian, kontak yang menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, sangat menyakitkan, seperti pada kasus makhluk-makhluk neraka. Ini disebut kamma gelap dengan akibat gelap.

(2) “Dan apakah kamma terang dengan akibat terang? Di sini, seseorang melakukan aktvitas berkehendak melalui jasmani yang tidak-menyakitkan, aktivitas melalui ucapan yang tidak-menyakitkan, dan aktivitas melalui pikiran yang tidak-menyakitkan.<943> Sebagai konsekuensinya, ia terlahir kembali di alam yang tidak-menyakitkan.<944> Ketika ia terlahir kembali di alam demikian, kontak yang tidak-menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang tidak-menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang tidak-menyakitkan, sangat menyenangkan, seperti pada kasus para deva dengan keagungan gemilang.<945> Ini disebut kamma terang dengan akibat terang.

(3) “Dan apakah kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang? Di sini, seseorang melakukan aktvitas berkehendak melalui jasmani yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, aktivitas melalui ucapan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, dan aktivitas melalui pikiran yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan. Sebagai konsekuensinya, ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan  dan juga tidak menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam demikian, kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan,campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti pada kasus manusia dan beberapa makhluk di alam-alam yang lebih rendah. Ini disebut kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang.

(4) “Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? Kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang gelap dengan akibat gelap, kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang terang dengan akibat terang, dan kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang: ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.<946>

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

234 (3) Soṇakāyana

Brahmana Sikhāmoggallāna mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

“Di masa lalu, Guru Gotama, dulu sekali, murid brahmana Soṇakāyana mendatangiku dan berkata: ‘Petapa Gotama mengajarkan penghentian semua kamma. Tetapi dengan mengajarkan penghentian semua kamma, Beliau mengajarkan pemusnahan dunia. Dunia ini, Tuan, yang memiliki kamma sebagai substansinya, berlanjut melalui dilakukannya kamma.’”

[Sang Bhagavā:] “Aku tidak ingat bahkan pernah bertemu dengan murid brahmana Soṇakāyana, Brahmana. Bagaimana mungkin bisa terjadi diskusi demikian? Ada, Brahmana, empat jenis kamma yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?”

[Bagian Selanjutnya dari sutta ini identik dengan 4:233.] [233]

235 (5) Aturan-Aturan Latihan (1)


[Pembukaan seperti pada 4:233.] [234]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kamma gelap dengan akibat gelap? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut kamma gelap dengan akibat gelap.

(2) “Dan apakah kamma terang dengan akibat terang? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut kamma terang dengan akibat terang.

(3) “Dan apakah kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang? Di sini, seseorang melakukan aktvitas berkehendak melalui jasmani yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, aktivitas melalui ucapan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, dan aktivitas melalui pikiran yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan. Sebagai konsekuensinya, ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan  dan juga tidak menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam demikian, kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan,campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti pada kasus manusia dan beberapa makhluk di alam-alam yang lebih rendah. Ini disebut kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang.

(4) “Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? Kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang gelap dengan akibat gelap, kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang terang dengan akibat terang, dan kehendak untuk meninggalkan jenis kamma yang gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang: ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

236 (5) Aturan-Aturan Latihan (2)

[Pembukaan seperti pada 4:233.]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kamma gelap dengan akibat gelap? Di sini, seseorang membunuh ibunya, membunuh ayahnya, dengan pikiran kebencian ia melukai tubuh Sang Tathāgata hingga berdarah, atau memecah-belah Saṅgha. [235] Ini disebut kamma gelap dengan akibat gelap.

(2) “Dan apakah kamma terang dengan akibat terang? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, menghindari gosip. Ini disebut kamma terang dengan akibat terang.

(3) “Dan apakah kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang? … [seperti pada 4:235] … Ini disebut kamma gelap-dan-terang dengan akibat gelap-dan-terang.

(4) “Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? … [seperti pada 4:235] … ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

237 (6) Jalan Mulia

“Para bhikkhu, ada empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?

[Seluruhnya seperti pada 4:233 hingga:] [236]

“Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? Pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar: ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

238 (7) Faktor-Faktor Pencerahan

“Para bhikkhu, ada empat jenis kamma ini yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?

[Seluruhnya seperti pada 4:233 hingga:] [237]

“Dan apakah kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma? Faktor pencerahan perhatian, faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena, faktor pencerahan kegigihan, faktor pencerahan sukacita, faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, dan faktor pencerahan keseimbangan: ini disebut kamma yang tidak-gelap-juga-tidak-terang dengan akibat yang tidak-gelap-juga-tidak-terang, kamma yang mengarah pada hancurnya kamma.

“Ini, para bhikkhu, adalah  keempat jenis kamma itu yang dinyatakan olehKu setelah Aku merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”

239 (8 ) Tercela

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tercela, perbuatan ucapan yang tercela, perbuatan pikiran yang tercela, dan pandangan yang tercela. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tanpa cela, perbuatan ucapan yang tanpa cela, perbuatan pikiran yang tanpa cela, dan pandangan yang tanpa cela. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

240 (9) Tidak-Menyakitkan

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang menyakitkan, perbuatan ucapan yang menyakitkan, perbuatan pikiran yang menyakitkan, dan pandangan yang menyakitkan. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tidak-menyakitkan, perbuatan ucapan yang tidak-menyakitkan, perbuatan pikiran yang tidak-menyakitkan, dan pandangan yang tidak-menyakitkan. Seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

241 (10) Para Petapa

“Para bhikkhu, ‘hanya di sini terdapat seorang petapa, seorang petapa ke dua, seorang petapa ke tiga, dan seorang petapa ke empat. Sekte-sekte lainnya kosong dari para petapa.’<947> Adalah dengan cara demikian maka kalian dapat dengan benar mengaumkan auman singa kalian.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, petapa pertama? Di sini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga beleggu, seorang bhikkhu adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali di] alam rendah, pasti dalam takdirnya, menuju pencerahan. Ini adalah petapa pertama.

(2) “Dan apakah petapa ke dua? Di sini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga beleggu dan dengan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, seorang bhikkhu adalah yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke alam ini satu kali lagi, akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah petapa ke dua.

(3) “Dan apakah petapa ke tiga? Di sini, dengan kehancuran sepenuhnya lima beleggu, seorang bhikkhu adalah yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu. Ini adalah petapa ke tiga.

(4) “Dan apakah petapa ke empat? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah petapa ke empat.

“Para bhikkhu, ‘hanya di sini terdapat seorang petapa, seorang petapa ke dua, seorang petapa ke tiga, dan seorang petapa ke empat. Sekte-sekte lainnya kosong dari para petapa.’ Adalah dengan cara demikian maka kalian dapat dengan benar mengaumkan auman singa kalian.” [239]

242 (11) Manfaat Orang yang Baik

“Para bhikkhu, dengan mengandalkan orang yang baik, maka empat manfaat dapat diharapkan. Apakah empat ini? Seseorang tumbuh dalam perilaku bermoral yang mulia, ia tumbuh dalam konsentrasi yang mulia; ia tumbuh dalam kebijaksanaan yang mulia; dan ia tumbuh dalam kebebasan yang mulia. Dengan mengandalkan orang yang baik, maka keempat manfaat ini dapat diharapkan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #40 on: 15 February 2013, 06:10:32 AM »
V. BAHAYA-BAHAYA DARI PELANGGARAN

243 (1) Perpecahan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Apakah persoalan disiplin itu telah diselesaikan, Ānanda?”<948>

“Bagaimana mungkin persoalan disiplin itu dapat diselesaikan, Bhante? Bāhiya, murid Yang Mulia Anuruddha masih sangat berniat menciptakan perpecahan di dalam Saṅgha, tetapi Yang Mulia Anuruddha tidak berpikir untuk mengatakan bahkan satu kata pun tentang persoalan ini.”

“Tetapi, Ānanda, kapankah Anuruddha pernah peduli dengan persoalan disiplin di dalam Saṅha? Bukankah engkau, dan Sāriputta dan Moggallāna, yang menyelesaikan persoalan disiplin apa pun yang muncul?

“Melihat empat keuntungan ini, Ānanda, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, Seorang bhikkhu jahat tidak bermoral, berkarakter buruk, tidak murni, berperilaku mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, [240] busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku adalah seorang yang tidak bermoral … rusak, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’ Melihat keuntungan pertama ini, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu jahat berpandangan salah; ia menganut pandangan ekstrim. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku menganut pandangan salah, bahwa aku menganut pandangan ekstrim, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’ Melihat keuntungan ke dua ini, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu jahat berpenghidupan salah; ia mencari penghidupannya melalui penghidupan salah. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku berpenghidupan salah dan mencari penghidupanku melalui penghidupan salah, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’ Melihat keuntungan ke tiga ini, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.

(4) “kemudian, seorang bhikkhu menginginkan perolehan, kehormatan, dan penghargaan. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku menginginkan perolehan, kehormatan, dan penghargaan, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’ Melihat keuntungan ke empat ini, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.

“Melihat keempat keuntungan ini, Ānanda, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha.”

244 (2) Pelanggaran

“Para bhikkhu, ada empat bahaya dari pelanggaran-pelanggaran ini. Apakah empat ini?

(1) “Misalkan, para bhikkhu, mereka menangkap seorang pencuri, seorang kriminal, dan membawanya ke hadapan raja, dengan berkata: ‘Baginda, orang ini adalah seorang pencuri, seorang kriminal. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman padanya.’ Sang raja akan berkata kepada mereka: [241] ‘Pergilah, kalian, dan ikat lengan orang ini erat-erat di punggungnya dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan bawa dia berkeliling dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan, dengan tabuhan genderang yang menakutkan. Kemudian bawa ia melalui gerbang selatan dan penggal kepalanya di selatan kota.’ Orang-orang sang raja melakukan sesuai apa yang diperintahkan dan memenggal kepala orang itu di selatan kota. Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan penggalan kepala, karena orang-orang sang raja mengikat lengannya erat-erat di punggungnya dengan tali yang kuat … dan memenggal kepalanya di selatan kota. Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, yang patut dihukum dengan penggalan kepala.’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pārājika, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran pārājika tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.<949>

(2) “Misalkan, para bhikkhu, seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, membawa sebuah tongkat pemukul di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: ‘Tuan-Tuan,<950> Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, layak dihukum dengan pemukulan. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.’ Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan pemukulan, karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, membawa sebuah tongkat pemukul di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: “Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, layak dihukum dengan pemukulan. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.” [242] Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, yang patut dihukum dengan pemukulan.’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran saṅghādisesa, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran saṅghādisesa tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.<951>

(3) “Misalkan, para bhikkhu, seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, membawa sekarung abu di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: ‘Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, layak dihukum dengan sekarung abu.<952> Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.’ Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, yang patut dihukum dengan sekarung abu, karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, membawa sebuah tongkat sekarung abu di bahunya, dan berkata kepada kerumunan orang: “Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, layak dihukum dengan sekarung abu. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.” Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, yang patut dihukum dengan pemukulan.’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pācittiya, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran pācittiya tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.<953>

(4) “Misalkan, para bhikkhu, seseorang membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, dan berkata kepada kerumunan orang: ‘Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, patut dikecam. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.’ Seseorang yang berdiri di pinggir akan berpikir: ‘Sungguh, orang ini pasti telah melakukan perbuatan jahat, yang tercela, patut dikecam, karena ia membungkus dirinya dengan kain hitam, melepaskan rambutnya, dan berkata kepada kerumunan orang: [243] “Tuan-Tuan, Aku telah melakukan perbuatan jahat yang tercela, patut dikecam. Biarlah aku melakukan apa pun yang akan membuat kalian senang padaku.” Sungguh, aku tidak akan melakukan perbuatan jahat demikian, yang tercela, patut dikecam.’

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhunī telah menegakkan persepsi mendalam pada bahaya sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran pāṭidesanīya, maka dapat diharapkan bahwa seseorang yang belum pernah melakukan suatu pelanggaran pāṭidesanīya tidak akan melakukannya; dan seorang yang telah melakukan pelanggaran demikian akan melakukan perbaikan sesuai Dhamma.<954>

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat bahaya dari pelanggaran-pelanggaran itu.”

245 (3) Latihan

“Para bhikkhu, kehidupan spiritual ini dijalani dengan latihan sebagai manfaatnya, dengan kebijaksanaan sebagai pengawasnya, dengan kebebasan sebagai intinya, dan dengan perhatian sebagai otoritasnya.<955>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, latihan menjadi manfaatnya? Di sini, latihan yang berhubungan dengan perilaku yang selayaknya<956> telah diajarkan olehKu kepada para siswaKu sehingga mereka yang tidak berkeyakinan memperoleh keyakinan dan mereka yang berkeyakinan meningkat [dalam keyakinan mereka]. Seseorang menjalani latihan yang berhubungan dengan perilaku selayaknya persis seperti yang telah Kuajarkan kepada para siswaKu, menjaganya agar tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, dan tanpa bercak, sehingga mereka yang tidak berkeyakinan memperoleh keyakinan dan mereka yang berkeyakinan meningkat [dalam keyakinan mereka]. Setelah menerimanya, ia berlatih dalam aturan-aturan latihan itu.

“Kemudian, latihan yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual<957> telah diajarkan olehKu kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Seseorang menjalani latihan yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual persis seperti yang telah Kuajarkan kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan, menjaganya agar tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, dan tanpa bercak. Setelah menerimanya, ia berlatih dalam aturan-aturan latihan itu. Dengan cara inilah latihan itu menjadi manfaatnya.

(2) “Dan bagaimanakah kebijaksanaan menjadi pengawasnya? Di sini, ajaran-ajaran telah diajarkan olehKu kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Seseorang menyelidiki ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan persis seperti yang telah Kuajarkan kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Dengan cara inilah kebijaksanaan menjadi pengawasnya.<958> [244]

(3) “Dan bagaimanakah kebebasan adalah intinya? Di sini, ajaran-ajaran telah diajarkan olehKu kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Melalui kebebasan seseorang mengalami ajaran-ajaran itu persis seperti yang telah Kuajarkan kepada para siswaKu demi kehancuran sepenuhnya penderitaan. Dengan cara inilah kebebasan menjadi intinya.<959>

(4) “Dan bagaimanakah perhatian menjadi otoritasnya? Perhatian seseorang ditegakkan secara internal sebagai berikut: ‘Dengan cara ini aku akan memenuhi latihan yang berhubungan dengan perilaku baik yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek latihan yang berhubungan dengan perilaku baik yang telah kupenuhi.<960> Dan perhatiannya ditegakkan secara internal sebagai berikut: ‘Dengan cara ini aku akan memenuhi latihan yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek latihan yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual yang telah kupenuhi.’ Dan perhatiannya ditegakkan secara internal sebagai berikut: ‘Dengan cara ini aku akan menyelidiki dengan kebijaksanaan ajaran-ajaran yang belum kuselidiki atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek ajaran yang telah kuselidiki.’ Dan perhatiannya ditegakkan secara internal sebagai berikut: ‘Dengan cara ini aku akan mengalami melalui kebebasan Dhamma yang belum kualami atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek Dhamma yang telah kualami.’ Dengan cara inilah perhatian menjadi otoritasnya.

“Demikianlah ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, kehidupan spiritual ini dijalani dengan latihan sebagai manfaatnya, dengan kebijaksanaan sebagai pengawasnya, dengan kebebasan sebagai intinya, dan dengan perhatian sebagai otoritasnya,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.”

246 (4) Berbaring

“Para bhikkhu, ada empat postur berbaring ini. Apakah empat ini? Postur mayat, postur orang yang penuh nafsu, postur singa, dan postur Sang Tathāgata.

(1) “Dan apakah postur mayat? Mayat biasanya berbaring lurus pada punggungnya. Ini disebut postur mayat.

(2) “Dan apakah postur orang yang penuh nafsu? Orang yang penuh nafsu biasanya berbaring pada sisi kirinya. Ini disebut postur orang yang penuh nafsu.

(3) “Dan apakah postur singa? [245] Singa, raja binatang buas, berbaring pada sisi kanannya. Setelah menindih satu kaki dengan kaki lainnya dan menyelipkan ekornya di antara pahanya. Ketika ia bangun, ia mengangkat bagian depan tubuhnya dan menatap ke belakang pada bagian belakang tubuhnya. Jika ia melihat ada ketidak-teraturan atau pembengkakan pada tubuhnya, maka ia menjadi tidak senang. Jika ia tidak melihat ada ketidak-teraturan atau pembengkakan pada tubuhnya, maka ia menjadi senang. Ini disebut postur singa.

(4) “Dan apakah postur Sang Tathāgata? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Sang Tathāgata masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ini disebut postur Sang Tathāgata.

“Ini adalah keempat postur itu.”

247 (5) Layak Didirikan Stūpa

“Para bhikkhu, empat ini layak didirikan sebuah stupa. Apakah empat ini? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan sempurna; seorang paccekabuddha; seorang siswa Sang Tathāgata; dan seorang raja dunia. Keempat ini layak didirikan sebuah stupa.”<961>

248 (6) Pertumbuhan Kebijaksanaan

“Para bhikkhu, empat hal ini mengarah pada pertumbuhan kebijaksanaan. Apakah empat ini? Pergaulan dengan orang-orang baik, mendengarkan Dhamma sejati, pengamatan waspada, dan praktik sesuai Dhamma. [246] Keempat hal ini mengarah pada pertumbuhan kebijaksanaan.”<962>

249 (7) Membantu <963>

“Para bhikkhu, empat hal ini membantu bagi seorang manusia. Apakah empat ini? Pergaulan dengan orang-orang baik, mendengarkan Dhamma sejati, pengamatan waspada, dan praktik sesuai Dhamma. [246] Keempat hal ini membantu bagi seorang manusia.”

250 (8 ) Pernyataan (1)

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan tidak mulia ini. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang tidak ia lihat, mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang tidak ia dengar, mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang tidak ia indera, mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang tidak ia kenali. Ini adalah keempat pernyataan tidak mulia itu.”

251 (9) Pernyataan (2)

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan mulia ini. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang tidak ia lihat, mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang tidak ia dengar, mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang tidak ia indera, mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang tidak ia kenali. Ini adalah keempat pernyataan mulia itu.”

252 (10) Pernyataan (3)

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan tidak mulia ini. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan bahwa ia tidak melihat apa yang telah ia lihat, mengatakan bahwa ia tidak mendengar apa yang telah ia dengar, mengatakan bahwa ia tidak mengindera apa yang telah ia indera, mengatakan bahwa ia tidak mengenali apa yang telah ia kenali. Ini adalah keempat pernyataan tidak mulia itu.”

253 (11) Pernyataan (4)

“Para bhikkhu, ada empat pernyataan mulia ini. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan bahwa ia telah melihat apa yang telah ia lihat, mengatakan bahwa ia telah mendengar apa yang telah ia dengar, mengatakan bahwa ia telah mengindera apa yang telah ia indera, mengatakan bahwa ia telah mengenali apa yang telah ia kenali. Ini adalah keempat pernyataan mulia itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #41 on: 15 February 2013, 06:10:56 AM »
VI. PENGETAHUAN LANGSUNG

254 (1) Pengetahuan Langsung

“Para bhikkhu, ada empat hal ini. Apakah empat ini? (1) Ada hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung. (2) Ada [247] hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung. (3) Ada hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung. (4) Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui pengetahuan langsung.<964>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung? Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Ini disebut hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya melalui pengetahuan langsung.

(2) “Dan apakah hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung? Ketidak-tahuan dan ketagihan pada penjelmaan. Ini disebut hal-hal yang harus ditinggalkan melalui pengetahuan langsung.

(3) “Dan apakah hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung? Ketenangan dan pandangan terang. Ini disebut hal-hal yang harus dikembangkan melalui pengetahuan langsung.

(4) “Dan apakah Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui pengetahuan langsung? Pengetahuan sejati dan kebebasan. Ini disebut Ada hal-hal yang harus direalisasikan melalui pengetahuan langsung..

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal itu.”

255 (2) Pencarian

“Para bhikkhu, ada empat pencarian tidak mulia ini.<965> Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada penuaan mencari hanya apa yang tunduk pada penuaan; (2) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada penyakit mencari hanya apa yang tunduk pada penyakit; (3) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada kematian mencari hanya apa yang tunduk pada kematian; dan (4) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada kekotoran mencari hanya apa yang tunduk pada kekotoran. Ini adalah keempat pencarian tidak mulia itu.

“Ada, para bhikkhu, empat pencarian mulia ini. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada penuaan, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, mencari apa yang tanpa-penuaan, keamanan tertinggi dari belenggu, nibbāna;  (2) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, mencari apa yang tanpa-penyakit, keamanan tertinggi dari belenggu, nibbāna;  (3) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada kematian, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian, mencari apa yang tanpa-kematian, keamanan tertinggi dari belenggu, nibbāna;  (4) seseorang yang dirinya sendiri tunduk pada kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, [248] mencari apa yang tanpa-kekotoran, keamanan tertinggi dari belenggu, nibbāna. Ini adalah keempat pencarian mulia itu.”

256 (3) Memelihara

“Para bhikkhu, ada empat cara ini untuk memelihara hubungan baik. Apakah empat ini? Memberi, ucapan yang penuh kasih, perilaku yang murah hati, dan tidak membeda-bedakan. Ini adalah keempat cara untuk memelihara hubungan baik itu.”<966>

257 (4) Māluṅkyāputta

Yang Mulia Māluṅkyaputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:<967>

“Bhante, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas, sehingga, setelah mendengar Dhamma dari Sang Bhagavā, aku dapat berdiam sendirian, terasing, penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Sekarang, Māluṅkyāputta, apakah yang harus kami katakan kepada para bhikkhu muda jika seorang tua sepertimu, jompo, dan lanjut usia, meminta masihat ringkas dari Sang Tathāgata?”

“Bhante, sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas! sudilah Yang Berbahagia mengajarkan Dhamma kepadaku secara ringkas! Mungkin aku dapat memahami makna dari pernyataan Sang Bhagavā; mungkin aku dapat menjadi pewaris dari pernyataan Sang Bhagavā.”

“Ada, Mālunkyāputta, empat sumber ketagihan ini bagi seorang bhikkhu. Apakah empat ini? Ketagihan yang muncul dalam diri seorang bhikkhu karena jubah, makanan, tempat tinggal, atau demi kehidupan di sini atau di tempat lain.<968> Ini adalah keempat sumber ketagihan itu bagi seorang bhikkhu. [249] Ketika, Māluṅkyāputta, seorang bhikkhu telah meninggalkan ketagihan, memotonganya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, telah melepaskan belenggu, dan telah sepenuhnya menerobos keangkuhan, telah mengakhiri penderitaan.”

Kemudian Yang Mulia Māluṅkyāputta, setelah dinasihati dengan cara ini oleh Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Māluṅkyāputta merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang demi itu para anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Māluṅkyāputta menjadi salah satu di antara para Arahant.

258 (5) Keluarga

“Para bhikkhu, keluarga apa pun yang tidak bertahan lama setelah memperoleh kekayaan berlimpah, semuanya tidak bertahan karena empat alasan, atau salah satu di antaranya. Apakah empat ini? (1) Mereka tidak mencari apa yang telah hilang; (2) Mereka tidak memperbaiki apa yang telah usang; (3) mereka menikmati makan dan minum secara berlebihan; atau (4) mereka menunjuk seorang perempuan atau laki-laki tidak bermoral sebagai pemimpin mereka. Keluarga apa pun yang tidak bertahan lama setelah memperoleh kekayaan berlimpah, semuanya tidak bertahan karena keempat alasan ini, atau salah satu di antaranya.<969>

“Para bhikkhu, keluarga apa pun yang bertahan lama setelah memperoleh kekayaan berlimpah, semuanya bertahan karena empat alasan, atau salah satu di antaranya. Apakah empat ini? (1) Mereka mencari apa yang telah hilang; (2) Mereka memperbaiki apa yang telah usang; (3) mereka menikmati makan dan minum secukupnya; dan (4) mereka menunjuk seorang perempuan atau laki-laki bermoral sebagai pemimpin mereka. Keluarga apa pun yang bertahan lama setelah memperoleh kekayaan berlimpah, semuanya bertahan karena keempat alasan ini, atau salah satu di antaranya.

259 (6) Berdarah Murni (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.<970> Apakah empat ini? Di sini, seekor kuda kerajaan yang baik memiliki keindahan, kekuatan, kecepatan, dan proporsi yang baik. Dengan memiliki keempat faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah … dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keindahan, kekuatan, kecepatan, dan proporsi yang baik.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki keindahan? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki keindahan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kekuatan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak melalaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki kekuatan.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘ini adalah asal-mula penderitaan,’ [245] dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Dengan cara inilah seorang bhikkhu memiliki proporsi yang benar. [251]

“Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

260 (7) Berdarah Murni (2)

[Seluruhnya sama seperti 4:259, dengan satu-satunya perbedaan berikut ini]<971>

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.”

261 (8 ) Kekuatan

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah keempat kekuatan itu.”

262 (9) Hutan

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas ini seorang bhikkhu tidak layak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara. Apakah empat ini? [Ia memikirkan] (1) Pikiran indriawi, (2) pikiran berniat buruk, (3) pikiran mencelakai; dan (4) ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul. Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu tidak layak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara.

“Dengan memiliki empat kualitas [lainnya] ini seorang bhikkhu layak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara. Apakah empat ini? [Ia memikirkan] (1) Pikiran melepaskan keduniawian, (2) berniat baik, (3) tidak mencelakai; dan (4) ia  bijaksana, tidak bodoh, atau tidak tumpul. Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu layak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara.”

263 (10) Perbuatan

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini? Perbuatan yang tercela melalui jasmani, perbuatan yang tercela melalui ucapan, perbuatan yang tercela melalui pikiran, dan pandangan yang tercela. [253] Dengan memiliki keempat kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini? Perbuatan yang tanpa cela melalui jasmani, perbuatan yang tanpa cela melalui ucapan, perbuatan yang tanpa cela melalui pikiran, dan pandangan yang tanpa cela. Dengan memiliki keempat kualitas ini … ia menghasilkan banyak jasa.”

VII. PERJALANAN KAMMA

264 (1) Pembunuhan

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Ia sendiri membunuh; mendorong orang lain untuk membunuh; ia menyetujui tindakan membunuh; dan ia memuji tindakan membunuh. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.”

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Ia sendiri menghindari membunuh; mendorong orang lain untuk menghindari membunuh; ia menyetujui menghindari membunuh; dan ia memuji menghindari membunuh. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

265 (2) – 273 (10) Mengambil Apa yang Tidak Diberikan, dan seterusnya.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? (1) Ia sendiri mengambil apa yang tidak diberikan  … [254] … melakukan hubungan seksual yang salah … berbohong … mengucapkan kata-kata yang memecah-belah … berbicara kasar … [255] bergosip … penuh kerinduan … memendam niat buruk … menganut pandangan salah; (2) ia mendorong orang lain untuk menganut pandangan salah; (3) ia menyetujui pandangan salah; dan (4) ia memuji pandangan salah. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? (1) Ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan … menganut pandangan benar; (2) ia mendorong orang lain untuk menganut pandangan benar; (3) ia menyetujui pandangan benar; dan (4) ia memuji pandangan benar. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #42 on: 15 February 2013, 06:11:16 AM »
VIII. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<972>

274 (1) Empat Penegakan Perhatian

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka empat hal harus dikembangkan. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. (2) Ia berdiam merenungkan perasaan di dalam perasaan … (3) … pikiran dalam pikiran … (4) fenomena di dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keempat hal ini harus dikembangkan.

275 (2) Empat Usaha Benar

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka empat hal harus dikembangkan. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (2) Ia membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … (3) … untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat … (4) … untuk mempertahankan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keempat hal ini harus dikembangkan.”

276 (3) Empat Landasan Kekuatan Batin

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka empat hal harus dikembangkan. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas berusaha. (2) ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan … (3) … yang memiliki konsentrasi karena pikiran … (4) … yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas berusaha. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keempat hal ini harus dikembangkan.


277 (4) – 303 (30)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka empat hal harus dikembangkan. “<973>

304 (31) – 783 (510)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan, maka empat hal ini harus dikembangkan. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani  … (2) … perasaan di dalam perasaan … (3) … pikiran di dalam pikiran … (4) … fenomena di dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. (1) Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat  yang belum muncul … (2) … untuk meninggakan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … (3) … untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul … (4) … untuk mempertahankan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. (1) Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas berusaha. (2) ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan … (3) … yang memiliki konsentrasi karena pikiran … (4) … yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas berusaha. Demi terlepasnya kelengahan, maka keempat hal ini harus dikembangkan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.



Buku Kelompok Empat selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #43 on: 15 February 2013, 06:12:07 AM »
Catatan Kaki

618 > Bagian selanjutnya termasuk dalam Mahāparinibbāna Sutta, DN 16.4.2-3, II 122-23

619 > Dīghamaddhānaṃ sandhāvitaṃ saṃsaritaṃ. “Waktu yang sangat lama” dalam mengembara adalah saṃsāra, yang diturunkan dari kata kerja saṃsarati, dilihat di sini dalam bentuk pasif saṃsaritaṃ. Mp mengemas dīghamaddhānaṃ sebagai cirakālaṃ (“waktu yang lama”) dan menjelaskan sandhācitaṃ sebagai “berkelana dari satu kondisi penjelmaan ke penjelmaan lainnya” (bhavato bhavaṃ gamanavasena sandhāvitaṃ).

620 > Bhavanetti. Mp: “Tali penjelmaan (bhavarajju) adalah nama bagi ketagihan. Seperti halnya sapi-sapi diikat dengan tali di lehernya, demikian pula hal ini menuntun makhluk-makhluk dari satu penjelmaan ke penjelmaan lainnya. Oleh karena itu disebut saluran penjelmaan.”

621 > Cakkhumā parinibbuto. Mp: “Beliau mencapai nibbāna melalui padamnya kekotoran-kekotoran. Ini adalah nibbāna pertama, yang terjadi padanya di sekitar pohon bodhi. Tetapi setelah itu, antara kedua pohon sal kembar (di Kusinārā) Beliau mencapai nibbāna melalui elemen nibbāna tanpa sisa.”

622 > Appatito. Lit., ‘tidak jatuh,” tetapi Mp mengemasnya secara lebih positif sebagai patiṭṭho, yang berarti “kokoh, tenang,” dan mengatakannya sebagai merujuk pada pemasuk-arus dan para mulia lainnya; Arahant adalah “sepenuhnya tenang” (khīṇāsavo ekantapatiṭṭho).

623 > Syair ini juga terdapat pada Th 63. Th-a I 155: “Tugas telah diselesaikan (kataṃ kiccaṃ): enam belas tugas telah diselesaikan (yaitu, masing-masing dari empat jalan mulia melakukan empat tugas memahami sepenuhnya penderitaan, meninggalkan asal-mulanya, merealisasi lenyapnya, dan mengembangkan sang jalan) dan tidak ada lagi yang harus dilakukan. Kenikmatan telah dinikmati (rataṃ rammaṃ): kenikmatan nibbāna, yang bebas dari segala yang terkondisi, dinikmati oleh para mulia. Kebahagiaan dicapai melalui kebahagiaan (sukhenanvāgataṃ sukhaṃ): kebahagiaan tertinggi, nibbāna, dicapai melalui kebahagiaan pencapaian buah; atau kebahagiaan buah dan nibbana tercapai melalui kebahagiaan pandangan terang dan jalan melalui modus praktik yang menyenangkan (tentang hal ini, baca 4:162 §§3-4 di bawah).”

624 > Ketiga syair ini juga terdapat pada 10:89 sehubungan dengan bhikkhu pemfitnah bernama Kokālika. Kisahnya, termasuk syair-syairnya, juga terdapat pada SN 6:9-10, I 149-53, dan Sn 3:10, pp.123-31.

Vicināti mukhena so kaliṃ, kalinā tena sukhaṃ na vindati
. Ini juga dapat diterjemahkan: “Si dungu mengumpulkan bencana dengan mulutnya.” Kali dapat berarti bencana dan juga lemparan dadu yang kalah.

625 > Mp: “Bencana ini aadlah kecil, yaitu, hilangnya kekayaan pada permainan dadu bersama dengan semua yang dimiliki seseorang, termasuk dirinya sendiri.” Mp mengemas sugatesu, “para suci,” sebagai sammaggatesu puggalesu, “orang-orang yang telah dengan benar mencapai,” dengan demikian merujuk pada semua Arahant, bukan hanya pada Sang Buddha.

626 > Sataṃ sahasānaṃ nirabbudānaṃ / chattiṃsatī pañca ca abbudāni. Saya menerjemahkan dengan mengikuti Mp, yang mengatakan jumlah: “Seratus ribu nirabbuda, ditambah tiga puluh enam nirabbuda lagi, ditambah lima abbuda” (sataṃ sahassānan ti nirabbudagaṇanāya satasahassaṃ[/i]; chattiṃsatī ti aparāni ca chattiṃsati nirabbudāni; pañca cā[/i] ti abbudagaṇanāya ca pañca abbudāni). Akan tetapi, Vanarata, berpendapat bahwa pañca tidak secara langsung mensyaratkan abbudānaṃ dan oleh karena itu ia menggabungkan sahassānaṃ dengan chattiṃsatī serta pañca, menjadikannya tiga puluh enam ribu nirabbuda dan lima abbuda tambahan. Mp, dalam mengomentari 10:89, menjelaskan skema penomoran Buddhis sebagai berikut: satu koṭi = sepuluh juta; satu koṭi kotī = satu pakoṭi; satu koṭi pakoṭi = satu koṭipakoṭi; satu koti koṭipakoṭi = satu nahuta; satu koṭi nahuta = satu ninnahuta; satu koṭi ninnahuta = satu abbuda; dua puluh abbuda = satu nirabbuda.

627 > Syair ini juga terapat pada 3:31 dan 4:63, tetapi di sini dhammacariyāya menggantikan paricariyāya.

628 > Dalam Pāli: anusotagāmī puggalo, paṭisotagāmī puggalo, ṭhitatto puggalo, tiṇṇo pāraṅgato thale tiṭṭhati brāhmaṇo.

629 > Bersama dengan Be dan Ee membaca upagāmino, bukan seperti Ce upagāhino.

630 > Paripuṇnasekho. Mp: “Seorang yang teguh dalam memenuhi latihan” (sikkhāpāripūriyā ṭhito). Seorang yang masih berlatih (sekha) adalah seorang yang telah memasuki jalan yang tidak bisa berbalik menuju kebebasan tetapi masih belum mencapai Kearahattaan. Arahant adalah asekha, “seorang yang melampaui latihan.”

631 > Dalam Pāli: suttaṃ, geyyaṃ, veyyākaranaṃ, gāthā, udānaṃ, itivuttakaṃ, jātakaṃ, abhutadhammaṃ, vedallaṃ. Ini adalah sembilan pengelompokan awal dari Dhamma, yang akhirnya digantikan dengan pengaturan teks-teks ke dalam lima Nikāya. Baca Norman 1983: 15-16; Norman 2006a: 172-73. Mp, selaras dengan komentar-komentar lainnya, memberikan contoh untuk tiap-tiap gaya pengungkapan, yang tidak semuanya diterima oleh para terpelajar masa kini. Telah menjadi perdebatan apakah beberapa koleksi dalam daftar itu merujuk pada koleksi yang telah ada pada masa Sang Buddha atau merujuk pada purwarupa dari koleksi yang ada sekarang. Pendapat para terpelajar masa kini lebih condong pada yang ke dua.

632 > Saya mengikuti Be, yang membaca tassa sampajjate sutaṃ dalam pāda d dari syair ini dan nāssa sampajjate sutaṃ, “pembelajarannya belum berhasil,” dalam pāda d bait berikutnya. Ce membaca nāssa sampajjate sutaṃ di sini dan tassa sampajjate sutaṃ pada bait berikutnya, sedangkan Ee menuliskan tassa sampajjate sutaṃ dalam kedua bait. Mp mendukung Be dengan menjelaskan, sehubungan dengan bait ini: “Pembelajarannya dapat dikatakan telah berhasil karena orang ini telah menggunakan apa yang telah ia pelajari untuk mencapai tujuan pembelajaran.” Dan sehubungan dengan bait berikutnya, Mp menjelaskan: “Pembelajarannya belum berhasil karena ia belum mencpai tujuan pembelajarannya.”syair ini dikutip dalam Vism 48, Ppn 1.136, tetapi dengan beberapa perbedaan dalam tulisan di antara banyak edisi.

633 > Mp mengemas brahma di sini sebagai “yang terbaik, tertinggi, murni” (seṭṭhaṃ uttamaṃ visuddhaṃ) dan mengidentifikasikan brahmacakka sebagai dhammacakka, roda Dhamma.

634 > Baca 3:64 dan p.1652, catatan 451.

635 > Vanarata menuliskan sehubungan dengan pāda c: “Saya pikir bahwa patvā adalah suatu adaptasi keliru dari Pāli awal yang asli pattā, yang dapat berbentuk absolutif juga dapat berbentuk pasif. Ketika Pāli dibentuk ulang, alterntif keliru yang dipilih, Pattā, sebagai bentuk pasif, seharusnya tidak diubah” (komunikasi pribadi). Saya membaca pāda d sesuai Be visāradaṃ vādapatthātivattaṃ, tulisan yang juga terdapat pada naskah-naskah kuno Sinhāla. Ce menuslikan visāradaṃ vādapatthātivattīnaṃ, yang juga masuk akal, tetapi Be visāradaṃ vādapathāti vuttaṃ jelas adalah kekeliruan.

636 > Itthabhāvaññathābhāvaṃ. Mp: “Kehidupan di sini” adalah penjelmaan ini (ayaṃ attabhāvo); “kehidupan di tempat lain” adalah kehidupan mendatang (anāgatattabhāvo).

637 > Bhavānaṃ. Mp membedakan kāmayoga sebagai nafsu yang terhubung dengan kelima objek kenikmatan indria dan bhavayoga sebagai keinginan dan nafsu pada penjelmaan di alam berbentuk dan alam tanpa bentuk.

638 > Bersama dengan Ce dan Be membaca yogātigā munī, bukan seperti Ee yogātigāmino.

639 > Juga terdapat pada It §110, 115-18.

640 > Saya dan Ce membaca thīnamiddhaṃ uddhaccakukkuccaṃ vicikicchā pahīṇā hoti (Ee juga sama, tetapi dengan honti), tidak seperti Be thīnamiddhaṃ vigataṃ hoti uddhaccakukkuccaṃ vigataṃ hoti vicikicchā pahīṇā hoti.

641 > “Namuci”: adalah nama bagi Māra, yang dijelaskan komentar sebagai “ia tidak (na) membebaskan (muci).”

642 > Bhaddakaṃ samādhinimittaṃ. Enam yang disebutkan di sini termasuk di antara sepuluh subjek meditasi asubha dalam Vism bab 6.

643 > Rāhu adalah pemimpin asura yang menangkap matahari dan rembulan, jelas merepresentasikan gerhana matahari dan bulan. Baca SN 2:9-10, I 50-51.

644 > Seorang raja masa awal, keturunan Mahāsammata, putera Uposatha, dan leluhur orang Sakya (baca DPPN). Mp: “Ia dilahirkan di antara manusia ketika umur kehidupan tidak terhingga dan menikmati kenikmatan indria manusiawi untuk waktu yang lama, membuat hujan emas di mana pun ia menginginkan. Di alam deva, selama umur kehidupan tiga puluh enam Indra, ia menikmati kenikmatan indria yang sangat baik.

645 > Mp: “Jenis-jenis keindahan [atau kebagusan, kelembutan, kehalusan]: pengetahuan yang menembus karaktristik-karakteristik halus” (sokhummānī ti sukhumalakkhaṇapativijjhanakāni ñāṇāni[/i]). Kata benda sokhumma, dari kata sifat yang biasa sukhuma, adalah jarang dan dalam Nikāya-nikāya hanya muncul di sini dan dalam kata majemuk pada Th 437. Penjelasan Mp tampak problematik. Saya mengidentifikasikan keindahan bentuk sebagai bentuk yang dirasakan dalam jhāna ke empat, keindahan perasaan sebagai perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan yang muncul pada jhāna ke empat dan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, keindahan persepsi sebagai persepsi landasan kekosongan, dan keindahan aktivitas-aktivitas berkehendak sebagai aktivitas-aktivitas berkehendak yang tersisa dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

646 > Saya bersama dengan Ce dan Be membaca sa ve sammaddaso bhikkhu. Ee yang menuliskan sace untuk sa ve jelas suatu kekeliruan.

647 > Bhattuddesika. Bhikkhu yang bertanggung jawab untuk membagi persembahan makanan dan undangan kepada para bhikkhu lain. Mengenai wewenang dan diskualifikasinya, baca 5:272.

648 > Be menyebutkan seluruh empat motif: chandā dosā mohā ca bhayā gāmino. Dan dalam bait berikutnya: na chandā na dosā na mohā na bhayā ca gāmino.

649 > SN 6:2, I 138-40, mencatat insiden ini dalam modus narasi langsung. Sutta ini memasukkan faktor ke lima: pengetahuan dan penglihatan kebebasan. Karena dibabarkan pada saat pencerahan Sang Buddha, maka Saṅgha tidak disebutkan, karena Saṅgha muncul hanya setelah Sang Buddha mulai mengajar.

650 > Ce membaca atthakāmena; Be dan Ee menuliskan attakāmena, “menginginkan diri.” Dalam pāda d, bentuk jamak Buddha diambil dari Pāli, buddhānasāsanaṃ. Mungkin kata majemuk ini adalah bentuk keliru dari buddhānusāsanaṃ, ” ajaran Buddha,” yang berbentuk tunggal.

651 > Penempatan sutta ini pada periode persis setelah pencerahan Sang Buddha agak aneh. Kata-kata para brahmana yang menyiratkan agar Sang Buddha, dari posisi otoritas, terlibat dalam diskusi rutin dengan para brahmana; namun Beliau pasti tidak melakukannya sebelum Beliau memulai karirnya sebagai seorang guru. Baca 8:11, di mana seorang brahmana melakukan tuduhan yang sama terhadap Sang Buddha belakangan setelah Beliau menjadi seorang guru yang berhasil.

652 > Saya mengikuti Ce dalam menuliskan sajak ini terdiri dari tiga baris untuk tiap-tiap pāda. Be membaginya dalam empat baris, yang pertama dengan enam pāda, dan tiga lainnya dengan empat pāda.

653 > Dalam pāda c, saya bersama Ce membaca saññato thiradhammesu, tidak seperti Be dan Ee saññato dhīro dhammesu, “terkendali oleh diri sendiri dan kokoh di antara fenomena-fenomena.” Dalam hal ini, saya mengikuti saran dari Vanarata (dalam suatu komunikasi pribadi) bahwa tulisan Ce “memiliki keuntungan yaitu lebih sesuai dalam hal irama dan memberikan permainan kata (antara thira dan thera, kokoh dan sesepuh).” Klausa ini bersesuaian dengan jhāna-jhāna, “faktor-faktor kekokohan” merujuk pada samādhi. Mp mengemas “yang dengan jelas melihat makna kebijaksanaan” (paññāyatthaṃ vipassati) sebagai melihat makna keempat kebenaran mulia menjadi  kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang. Mp menjelaskan “telah melampaui segala fenomena” (pāragū sabbadhammānaṃ) sebagai “telah melampaui semua fenomena seperti kelima kelompok unsur kehidupan” dan “mendatangi kesempurnaan dari semua kualitas [baik]” melalui enam melampaui (chabbidhena pāragamena): sehubungan dengan pengetahuan langsung, pemahaman penuh, meninggalkan, mengembangkan, realisasi, dan pencapaian-pencapaian meditative. Mp tidak menjelaskan pengulangan paṭibhānavā (“melihat”) dalam syair, yang tampaknya khas.

654 > Juga terdapat pada It §112, 121-23.

655 > Mp mengidentifikasikan dunia (loka) sebagai kebenaan penderitaan. Keempat tugas yang telah diselesaikan oleh Sang Tathāgata di sini bersesuaian dengan keempat tugas sehubungan dengan empat kebenaran mulia –memahami sepenuhnya kebenaran penderitaan, meninggalkan kebenaran asal-mulanya, merealisasikan lenyapnya, dan mengembangkan sang jalan – tetapi dengan “tercerahkan sepenuhnya” (abhisambuddha) menggantikan “memahami sepenuhnya” (pariññāta) sehubungan dengan kebenaran pertama. Baca SN 56:11, V 422.

656 > Mp, seperti juga komentar lainnya, menjelaskan yang dilihat (diṭṭha) sebagai landasan bentuk terlihat; yang didengar (sutta) sebagai landasan suara; yang diindera (muta) sebagai landasan bau-bauan, rasa kecapan, dan sensasi sentuhan; dan yang dikenali (viññātaṃ) sebagai landasan fenomena pikiran. Ketiga kata “dicapai, dicari, diperiksa oleh pikiran” (pattaṃ pariyesitaṃ anuvicaritaṃ manasā) hanyalah penjelasan dari yang dikenali. Mp juga menjelaskan bahwa akhiran –gata, lit. “pergi,” dalam kata turunan “Tathāgata,” bermakna sama seperti abhisambuddha, “tercerahkan sepenuhnya pada.”

657 > Ce dan Ee hanya menuliskan parinibbāyati, tidak seperti Be anupādisesāya nibbānadhātuyā parinibbāyati, “mencapai nibbāna akhir melalui elemen nibbāna tanpa sisa.” Tulisan terakhir itu mungkin masuk ke dalam Be dari It §112, 121,21-22.

658 > Sabbaṃ taṃ that’eva hoti, no aññathā. Tasmā ‘tathāgato’ ti vuccati.

659 > Yathāvādī tathākārī, yathākārī tathāvādī … Tasmā ‘tathāgato’ ti vuccati.

660 > Ce menuliskan ini dalam tanda kurung. Be dan Ee tidak menuliskan ini sama sekali.
« Last Edit: 15 February 2013, 06:13:48 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #44 on: 15 February 2013, 06:15:56 AM »
661 > Menurut Mp, Kāḷaka adalah seorang ahli keuangan kaya dan ayah mertua Cūḷasubhaddā, puteri Anāthapiṇḍika. Pada saat pernikahannya, Kāḷaka adalah seorang pengikut para petapa telanjang dan tidak mengetahui tentang Sang Buddha atau ajaranNya. Cūḷasubhaddā merencanakan agar ia mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk mempersembahkan makanan. Setelah makan, Sang Buddha membabarkan khotbah yang membuatnya mencapai buah memasuki-arus. Kāḷaka kemudian membangun sebuah vihara di tamannya dan mempersembahkan vihara dan taman itu kepada Sang Buddha. Suatu hari, ketika para bhikkhu yang adalah para penduduk Sāketa sedang duduk di aula pertemuan membahas keberhasilan Sang Buddha dalam mengkonversi Kāḷaka, Sang Buddha membaca pikiran mereka dan mengetahui bahwa mereka telah siap untuk mendengarkan khotbah yang akan mengantarkan mereka menuju Kearahattaan. Hal ini juga menyebabkan bumi berguncang hingga ke batasnya. Karena itulah Beliau memanggil para bhikkhu.

662 > Mp: “Ketiga kata ini (jānāmi, abbhaññāsiṃ, viditaṃ) menunjukkan bidang kemahatahuan (sabbaññutabhūmi).” Dalam sejarah Buddhisme, serta dalam pelajaran moden, pertanyaan apakah Sang Buddha mengaku maha-tahu telah menjadi topik perdebatan. Sang Buddha secara tegas menolak klaim bahwa seseorang dapat mengetahui segala hal sepanjang waktu (baca MN 71.5, I 482,4-18) serta klaim bahwa seseorang dapat mengetahui segala hal pada saat bersamaan (baca MN 90.8, II 127,28-30). Dengan demikian tampaknya bahwa apa yang ditolak oleh Sang Buddha adalah kemungkinan pengetahuan segala hal terus-menerus dan bersamaan, tetapi bukan pengetahuan disktrit yang disengaja atas segala sesuatu yang dapat diketahui (yang tidak termasuk banyak hal di masa depan, karena belum terjadi).

663 > Taṃ tathāgato na upaṭṭhāsi. Mp: “Sang Tathāgata tidak tunduk pada objek apa pun di enam pintu indria, yaitu, ia tidak menerimanya (na upagañchi) melalui ketagihan atau pandangan. Karena dikatakan: “Sang Bhagavā melihat bentuk dengan mata, tetapi Beliau tidak menginginkan dan bernafsu pada bentuk itu; Sang Bhagavā sepenuhnya terbebaskan dalam pikiran … Sang Bhagavā mengenali fenomena dengan pikiran, tetapi Beliau tidak menginginkan dan bernafsu pada pikiran itu’ (baca SN 35:232, IV 164-65). Ini menunjukkan bidang Kearahattaan (khīṇāsavabhūmi).”

664 > Taṃ p’assa tādisameva. Mp: “Itu juga adalah ucapan salah.”

665 > Taṃ mam’assa kali. Mp: “Pernyataan itu adalah pelanggaranKu. Ketika pernyataan di atas menunjukkan bidang kejujuran (saccabhūmi).

666 > Mp: “Beliau tidak salah memahami (na maññati) objek terlihat melalui ketagihan, keangkuhan, atau pandangan; dan demikian pula untuk objek-objek lainnya. Kalimat ini menjelaskan bidang kekosongan (suññatābhūmi).”

667 > Kata tādī, aslinya adalah sebuah kata hormat yang bermakna “orang itu,” mendapat makna khussu ketika digunakan untuk menunjuk Sang Buddha atau seorang Arahant. Nidd I 114-15 menjelaskan bahwa seorang Arahant disebut tādī karena ia telah melampaui preferensi-preferensi, melepaskan (catto) kekotoran-kekotoran, menyeberangi (tiṇṇo) banjir, dan memiliki pikiran yang terbebaskan (mutto).

Mp: “Dengan senantiasa stabil … adalah seorang yang stabil (tādīyeva tādī): ‘Stabil’ bermakna persis sama (ekasadisatāi). Sang Tathāgata adalah sama baik dalam hal keuntungan maupun kerugian, kemasyhuran dan ketidak-masyhuran, celaan dan pujian, dan kenikmatan dan kesakitan … ini menjelaskan bidang seorang yang stabil (tādibhūmi). Ketika Beliau menurup ajaran ini dengan kelima bidang ini, pada tiap-tiap pembabarannya bumi ini berguncang sebagai saksi.”

668 > Saya memparafrasekan penjelasan Mp atas syair ini: “Beliau tidak akan menerima bahkan satu klaim dari para penganut teori spekulatif (diṭṭhigatikā) – yang ‘dibatasi oleh diri sendiri’ (sayasaṃvitesu) dalam makna bahwa mereka terbatasi atau terblokir oleh konsepsi-konsepsi mereka – secara tegas atau tertinggi dan mempercayainya, meyakininya, mundur kembali padanya sebagai benar atau salah (evaṃ saccaṃ musā vāpi paraṃ uttamaṃ katvā na odaheyya, na saddaheyya, na pattiyāyeyya), dengan berpikir: ‘Hanya ini yang benar dan yang lainnya adalah salah.’” Penjelasan ini secara tepat menghubungkan syair ini dengan kalimat dalam prosa. “Sang Tathāgata tidak tunduk padanya.”

669 > Mp mengidentifikasikan “anak panah” sebagai anak panah pandangan-pandangan (diṭṭhisalla). Di tempat lain ketagihan dikatakan sebagai anak panah, misalnya, pada MN II 258,27 dan SN I 40,7; dalam paragraf lain lagi, anak panah adalah kesedihan, seperti pada 5:48, 5:50.

670 > Saṃvaratthaṃ pahānatthaṃ virāgatthaṃ nirodhatthaṃ. Empat tujuan kehidupan spiritual ini, tampaknya adalah alasan untuk memasukkan sutta ini dalam Kelompok Empat.

671 > Mp mengemas nibbānogadhagāminaṃ sebagai nibbānassa antagāminaṃ, “menuntun menuju nibbāna.”

672 > Seluruh tiga edisi yang saya pelajari menuliskan mahantehi, tetapi saya lebih menyukai tulisan pada It §35, 28,17, mahattehi, yang dikemas oleh It-a I 112,25, mahāātumehi uḷārajjhāsayehi, “oleh makhluk-makhluk agung, oleh mereka yang berwatak luhur.”

673 > Sutta ini juga muncul sebagai It §108, 112-13. Pembagian saya atas sutta ini menjadi empat bagian adalah dugaan, tetapi terlepas dari hal ini tidak ada skema empat yang terlihat.

674 > Na me te bhikkhave bhikkhū māmakā. Mp. “Mereka bukanlah bhikkhuKu; mereka bukan bagian dari Aku” (te mayhaṃ bhikkhū mama santakā na honti).

675 > Pūtimuttaṃ. Ada kepercayaan dalam pengobatan tradisional ayurveda bahwa air kencing sapi di mana kacang empedu direndam memiliki kekuatan pengobatan. Tetapi Mp mengatakan bahwa segala jenis air kencing termasuk, “karena seperti halnya tubuh berwarna keemasan disebut tubuh yang kotor, demikian pula bahkan air kencing yang baru disebut air kencing yang busuk.”

676 > Disā na paṭihaññati. Lit. “Daerah [atau wilayah] yang tidak terhalangi.” Tetapi disā mungkin merupakan bentuk instrumental yang terpotong, dengan paṭihaññati merujuk pada bhikkhu. Dengan demikian “ia tidak terhalangi oleh [atau ‘di’] mana pun.”

677 > Saya dengan Ce membaca bhikkhuno, tidak seperti Be dan Ee sikkhato, “seorang yang dalam latihan.”

678 > Ini adalah salah satu khotbah yang paling terkenal dalam tradisi Theravāda. Di Sri Lanka, selama masa Anurādhapura, khotbah ini sering digunakan sebagai topik untuk suatu upacara panjang yang menjadi puncak sebuah festival; baca Rahula 1956: 268-73. Mp menjelaskan “silsilah mulia” (ariyavaṃsā) sebagai silsilah para mulia; semua Buddha, paccekabuddha, dan para siswa Sang Buddha.

679 > Mp menjelaskan kepuasan atas tiap-tiap benda kebutuhan melalui tiga jenis kepuasan. Baca p.1600, catatan 55.

680 > Mp: “Menemukan kesenangan dalam pengembangan (bhāvanārāmo): ia bersenang dalam mengembangkan empat penegakan perhatian, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, dan lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, tujuh perenungan, delapan belas pandangan terang agung, tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan, dan tiga puluh delapan objek meditasi. Menemukan kesenangan dalam meninggalkan (pahānārāmo): Ia bersenang dalam meninggalkan kekotoran-kekotorann kenikmatan indria dan seterusnya.”

681 > Membaca bersama Be dan Ee dhīraṃ. Ce menuliskan vīraṃ dalam pāda a dan b, tetapi dhīro dalam pāda c dan d.

682 > Mp mengatakan bahwa pāda b menjelaskan pāda a. karena ketidak-puasan tidak mampu menaklukkan yang teguh, tidak dapat mengatasinya, oleh karena itu ketidak-puasan tidak menaklukkan yang teguh.

683 > Dhammapadāni. Mp: “Porsi Dhamma” (dhammakoṭṭhāsāi).

684 > Baca p.1646, catatan 416.

685 > Kedua pengembara ini juga disebutkan dalam MN 117.37, III 78,13, dan SN 22:62, III 73,3. Kami tidak memiliki informasi lain tentang mereka selain dari apa yang dikatakan di sini.

686 > Tiga dari empat “roda” (cakkāni) disebutkan dalam Sn 260. roda ke empat, “mengandalkan orang-orang baik” bersesuaian dengan “bergaul dengan para bijaksana” (paṇḍitanañca sevanā) pada Sn 259.

687 > Kata Saṅgaha secara literal berarti “menyertakan, menggabungkan, menyatukan,” dari awalan saṃ + gaha, “menggenggam, mencengkeram.” Kata kerja dari mana kata benda ini diturunkan adalah saṅgaṇhāti, dari saṃ, “bersama,” dan gaṇhāti, “mencengkeram, menggenggam.” Keempat saṅgahavatthu adalah cara-cara yang dengannya seseorang dapat menarik orang lain dan memelihara hubungan dengan mereka yang dikarakteristikkan sebagai persahabatan dan penghormatan.

Keempat itu dalam Pāli adalah dāna, peyyavajja, atthacariyā, samānattatā. Untuk dapat menangkap nuansa ganda dari saṅgaha terpaksa menggunakan dua kata, “menarik dan memelihara.” PED menjelaskan saṅgaha, dalam makna yang relevan, sebagai “keramahan, simpati, persahabatan, bantuan, perlindungan, kebaikan,” dan mengartikan saṅgahavatthu sebagai “(karakteristik-karakteristik) objek simpati.” SED mendefinisikan bentuk Skt saṃgrahavastu sebagai “elemen popularitas,” dan BHSD sebagai “komponen penarikan, yang bermakna yang dengannya seorang Buddha atau (lebih sering dalam BHS) seorang Bodhisatta menarik makhluk-makhluk pada diriNya dan pada kehidupan religius.” Walaupun keempat sosok secara menonjol terdapat dalam sūtra-sūtra Mahāyāna, namun mereka juga ditemukan dalam Nikāya-nikāya kuno.

Mp: “Beberapa orang harus dipelihara dengan pemberian, maka pemberian harus diberikan kepada mereka. Orang lainnya mengharapkan kata-kata yang menyenangkan, maka mereka harus diberikan kata-kata yang menyenangkan. Perilaku murah hati adalah sebuah khotbah tentang meningkatkan kebaikan; orang-orang ini harus diberitahu, ‘Engkau harus melakukan ini, engkau tidak boleh melakukan itu. Engkau harus bergaul dengan orang ini, bukan dengan orang itu.’ Tidak membeda-bedakan adalah kesamaan dalam kebahagiaan maupun penderitaan. Ini berarti duduk bersama mereka, hidup bersama, dan makan bersama.” Dalam versi Skt atas keempat faktor ini faktor ke empat sering kali disebut samānārtha (yang dalam Pāli adalah samānattha), “memiliki tujuan yang sama” atau “memiliki manfaat yang sama.”

688 > “Penjelmaan diri” (sakkāya); kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Baca MN 44.2, I 299,8-14; SN 22:105; III 158,3-4.

689 > Mp: “’Sebagian besar’ (yebhuyyena) dikatakan untuk mengecualikan para deva itu yang adalah para siswa mulia. Walaupun mereka mengalami desakan pengetahuan (ñāṇasaṃvega), namun tidak ada ketakutan sama sekali yang muncul pada para Arahant, karena mereka telah mencapai apa yang harus dicapai melalui usaha seksama. Para deva lain, ketika mereka memperhatikan ketidak-kekalan, mereka mengalami baik ketakutan maupun ketakutan pikiran (cittutrāsabhaya) dan, pada saat pandangan terang yang kuat, mengalami ketakutan kognitif (ñāṇabhaya).” “Ketakutan kognitif” mungkin adalah tingkat pandangan terang yang disebut “pengetahuan penampakan sebagai menakutkan” (bhayat’upaṭṭhānañāṇa; baca Vism 645-47, Ppn 21.29-34).

690 > Mp: “Termasuk dalam penjelmaan diri (sakkāyapariyāpannā): termasuk dalam kelima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah, ketika Sang Buddha mengajarkan kepada mereka Dhamma yang disegel dengan ketiga karakteristik, mengungkapkan cacat-cacat dalam lingkaran penjelmaan, maka ketakutan kognitif merasuki mereka.”

691 > Yāvatā bhikkhave dhammā saṅkhatā vā asaṅkhatā vā. Dalam Nikāya-nikāya, satu-satunya dhamma yang secara eksplisit dikatakan sebagai tidak terkondisi adalah nibbāna. Semua dhamma lainnya, pikiran dan materi, adalah terkondisi. Dengan demikian yang terbaik dari segala dhamma terkondisi adalah jalan mulia berunsur delapan, yang menuntun menuju yang tidak terkondisi.

692 > Aggassa dātā. It-a II 111,5-7, menjelaskan bahwa bentuk datif-negatif aggassa dapat dipahami sebagai menunjuk baik kepada si penerima pemberian atau pun kepada benda yang diberikan: “Seorang pemberi yang memberikan kepada yang terunggul: seorang pemberi kepada Tiga Permata, yang adalah yang terunggul; atau seseorang yang menghasilkan jasa dengan memberikan pemberian tertinggi dari benda yang terunggul” (aggassa ratanattayassa dātā, atha vā aggassa deyyadhammassa dānaṃ uḷāraṃ katvā tattha puññaṃ pavattetā).

693 > Mp mengatakan bahwa metode mulia (ariyañāya) adalah sang jalan bersama dengan pandangan terang, dan “kebaikan Dhamma” (kalyāṇadhammatā) dan “kebermanfaatan Dhamma” (kusaladhammatā) adalah sebutannya.

694 > Baca p.1647, catatan 428

695 > Ini adalah salah satu dari tiga puluh dua tanda manusia luar biasa, dikatakan sebagai konsekuensi karma  karena hidup demi kebahagiaan banyak orang,menghalau ketakutan dan terror, memberikan perlindungan dan naungan selayaknya, dan menyediakan segala kebutuhan. Baca DN 30.1.7, III 147-49.

696 > Mp menginterpretasikan percakapan pada kedua pihak sebagai merujuk pada masa depan: sang brahmana bertanya tentang kelahiran kembali Sang Buddha di masa depan dan Sang Buddha menjawab sehubungan dengan kelahiran kembali di masa depan. Akan tetapi, ketika saya membaca percakapan itu, ada terlihat suatu keterlibatan permainan kata yang halus. Sang brahmana menggunakan bentuk masa depan bhavissati sebagai cara sopan untuk bertanya tentang masa kini, yang saya terjemahkan “Apakah engkau adalah?” (Bhavissanti digunakan di atas dalam cara ini, secara negatif, dalam kalimat, na vat’imāni manussabhūtassa padāni bhavissanti, “Ini tidak mungkin …”) Tetapi Sang Buddha menggunakan bentuk masa depan secara literal and dengan demikian dalam setiap kasus menjawab, “Aku tidak akan menjadi” (na bhavissāmi), merujuk pada takdirNya di masa depan. Dua paralel China, SĀ 101 (pada T II 28a19-28b17) dan EĀ 38.3 (pada T II 717c18-718a12), menerjemahkan keseluruhan percakapan ini sebagai berhubungan dengan masa sekarang. Sang brahnana bertanya kepada Sang Buddha apakah Beliau adalah (MANDARIN) deva, nāga, dan seterusnya, manusia, atau bukan manusia, dan Sang Buddha hanya membantah (MANDARIN) bahwa Beliau adalah salah satu dari itu. Tidak ada referensi pada masa depan.

697 > Gandhabba adalah makhluk surgawi yang kadang-kadang digambarkan sebagai musisi para deva. Yakkha adalah makhluk ganas yang terkenal dengan sifat perusaknya.

698 > Kata kerja abbaje di sini adalah bentuk optatif dari abbajati (Skt āvrajati). Baca DOP sv abbajati.

699 > Mp: “Di akhir khotbah itu, sang brahmana mencapai tiga jalan dan buah dan, dalam 12,000 frasa, mengucapkan pujian yang disebut ‘Gelegar Doṇa.’ ketika kegemparan hebat pecah setelah wafatnya Sang Buddha, ia menenangkannya dan membagikan relic-relik” (pada DN 16.6.25, II 166).

700 > Yaitu, aku akan mengakhiri ketidak-nyamanan lama berupa rasa lapar tanpa menciptakan ketidak-nyamanan baru dengan makan berlebihan.

701 > Saya menganggap dhammaṃ di sini mewakili Skt dhammān, bentuk akusatif jamak. Penggunaan demikian tidak jarang dalam syair Pāli.

702 > Syair ini identik dengan Dhp 32.

703 > Patilīno. MP mengemas sebagai “tersembunyi, masuk ke dalam keterasingan” (nilīno ekībhāvaṃ upagato).

704 > Panuṇṇapaccekasacco. Mp mengemas sebagai “kebenaran-kebenaran pandangan (diṭṭhisaccāni) disebut ‘pribadi’ karena masing-masing memegangnya secara individual, memaksakan ‘Hanya ini yang benar, hanya inilah kebenaran.’”

705 > Bersama Be membaca savvāni nuṇṇāni honti panuṇṇāni honti cattāni vantāni muttāni pahīnāni, paṭinissaṭṭhāni. Ini juga tulisan pada Ce dan Ee pada paragraf yang sama dalam 10:20.

706 > Mp: “Pencarian kehidupan spiritual (brahmacariyesanā) terdapat dalam aspirasi yang muncul sebagai berikut, ‘Aku akan pergi, mencari kehidupan spiritual.’ Ini mereda dan ditenangkan melalui jalan Kearahattaan. Tetapi pencarian kehidupan spiritual dalam bentuk pandangan-pandangan (diṭṭhibrahmacariyesanā) mereda pada jalan memasuki-arus.

707 > Aktivitas jasmani (kāyasaṅkhāra) di tempat lain didentifikasikan dengan nafas masuk-dan-keluar, yang lenyap pada jhāna ke empat. Baca 9:31 §4. Baca juga MN 44.15; I 301,19-21; SN 41:6, IV 293,16-17.

708 > Mp: “Genggaman erat ‘Demikianlah kebenaran’ (iti saccaparāmāso) adalah genggaman konsepsi-konsepsi seperti ‘Demikianlah kebenaran, demikianlah kebenaran.’ Sudut-sudut pandang (diṭṭhiṭṭhāna) adalah hanya pandangan-pandangan, disebut ‘membengkak’ (samussayā) karena membengkak besar (samussitattā), karena tumbuh dan bertahan.”

709 > Niccadānaṃ anukulayaññaṃ. Mp menjelaskan anukulayaññaṃ sebagai pengorbanan yang harus dilakukan untuk mempertahankan kebiasaan keluarga, atas dasar bahwa pengorbanan itu diberikan oleh ayah dan kakek dan seterusnya. Tentang niccadānaṃ anukulayaññaṃ sebagai lebih tinggi daripada pengorbanan binatang, baca khususnya DN 5.22-23, I 144, yang hampir dapat dianggap sebagai penjelasan dari sutta sekarang ini.

710 > Pembagian saya ke dalam empat bagian adalah spekulatif. Terlepas dari hal ini, saya tidak melihat dasar apa pun untuk memasukkan sutta ini ke dalam Kelompok Empat.

 

anything