//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?  (Read 106399 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #105 on: 07 November 2009, 10:10:53 AM »
g pribadi memilih jawaban sama seperti g jawab pertanyaan navis, sama seperti jawaban romo cunda,

 bagi pandangan pribadi g sendiri, kita lahir dialam surga nibana pun belom tahu, jika ditanya seperti itu, saya pasti jawab yang terpenting pada kondisi sekarang, anda bisa ke nibana, karena kondisi sekarang, karma anda sendiri, membicarakan alam akhir itu kita tidak pernah tau,

 untuk pencapaian kesana pun masih butuh proses, lebih baik mengurusi kondisi sekarang saja, daripada membahas alam yang kita belum ketahui secara valid.

Lebih baik dalam kondisi sekarang tuh dipenuhi belajar dharma dan mempraktekan ajaran dharma daripada menunggu alam nibana.

Offline 7 Tails

  • Sebelumnya RAIN
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 864
  • Reputasi: 24
  • Gender: Male
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #106 on: 07 November 2009, 10:21:19 AM »
kalau gw tergantung situasi diri gw pada hari ini, besok , tahun depan, seterusnya..
karena selalu berganti-ganti
wkkkkkkkkkk
korban keganasan

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #107 on: 07 November 2009, 10:29:24 AM »
Kalau menurut saya Nibbana bukan lenyapnya pancakhandha, tetapi pada Nibbana (Anupadisesa Nibbana) pancakhandha berhenti berproses.... oleh karena itu Nibbana tidak dikatakan nihilisme tetapi Nibbana adalah penghentian... jadi agak sedikit berbeda pengertiannya.


Mungkin ada dua hal yang perlu dianalisa di sini:

1. Orang yang telah merealisasi nibbāna.
2. Orang yang berada pada perealisasian nibbāna.

Dalam keadaan normal, seorang arahant yang telah mencapai nibbāna pun masih mengenali pañcakkhandhanya dan orang2 lain yang melihat arahant pun masih setidaknya melihat rūpakkhandha arahant tersebut. Namun, ketika seseorang merealisasi nibbāna ( khususnya pada tahap phala), apakah pada saat itu ia  mengenali pañcakkhandhanya? Menurut saya, pada saat itu, ia tidak mengenali pañcakkhandha. Karena selama nibbāna masih berada dalam lingkup pañcakkhandha, perealisasian ini bukanlah sebagai asaṇkhata (tidak berkondisi) karena selama masih ada pañcakkhandha selama itu pula ada "yang berkondisi". Ini juga merupakan alasan mengapa dalam dvadasangapaticcasamuppāda (12 links of dependent origination), lenyapnya total penderitaan meliputi sankhara, viññāna, nāmarūpa, sālayatana, phassa dan vedana yang mana jika dianalisa merupakan pañcakkhandha. Juga dalam Dvayatānupassanasutta dari Suttanipāta dikatakan bahwa lenyapnya penderitaan adalah detasemen dan pelenyapan secara total viññaṇa. Melihat fakta2 seperti ini, menurut saya, pañcakkhandha harus lenyap terutama PADA SAAT perealisasian nibbāna. Jika kita menerima fakta2 di atas, bahkan seorang sotapanna yang berada pada pencapaian nibbāna pertama kalinya yaitu pada pencapaian sotapattiphala atau pada tahap gotrabhuñāna, ia pun tidak mengenali pañcakkhandhanya. Namun setelah kembali kepada keadaan normal, ia harus kembali menikmati pañcakkhandhanya. Hanya perbedaanya saat ini dari umat awam adalah bahwa ia telah terbebas dari tiga belenggu yang salah satunya adalh keragu-raguan. Ia tidak ragu2 lagi tentang Dhamma dalam hal ini nibbāna karena ia telah 'mengalaminya'.

Perlu dicatat di sini bahwa untuk benar2 mengetahui dvadasangapaticcasamuppāda yang mana berhubungan dengan pelenyapan khandha, paling tidak seseorang harus mencapai sotapanna karena dimulai dari pencapaian ini seseorang merealisasi nibbāna. Jika demikian halnya, maka sangat mungkin bahwa pada saat perealisasian nibbāna, bagi orang yang merealisasi nibbāna, pañcakkhandha tidak akan dikenali lagi. Ini seperti orang yang mencapai arūpajjhana. Meskipun ia masih memiliki rūpakkhandha, bagi dirinya, pada saat ia mencapai arūpajjhana ia tidak akan mengenali adanya rūpa. Segala unsur rūpa lenyap dari batinnya. Namun orang lain, tentu, masih melihat orang tersebut duduk lengkap dengan seluruh bagian tubuh.  :)

Di sini, kesimpulannya, orang yang telah merealisasi nibbāna berbeda dari PADA SAAT orang tersebut merealisasi nibbāna.

Di atas, hanya sekedar opini logika sehingga masih memungkinkan untuk salah.  Supaya mengetahui benar2, mari kita semua berjuang untuk mencapainya - apamadena sampadetha..!

Sebagai tambahan, saya pernah membaca di salah satu buku yang mana buku tersebut telah mengutip dari salah satu buku ditulis oleh Bhikkhu Bodhi (saya lupa judul bukunya), bahwa menurut Bhikkhu Bodhi, nibbāna sebagai phala (buah) tidak akan berbeda apakah seseorang masih hidup (upadisesa) ataukah setelah mati (anupadisesa). Yang membedakan bukan nibbānanya, melainkan pañcakkhandhanya. Nibbāna adalah tidak berkondisi sehingga harus dibedakan dari pañcakkhandha yang mana merupakan sesuatu yang berkondisi.

May you all be happy.


Apakah yg dimaksud  dikatakan SAAT perealisasian nibbana pancakhanda lenyap sama sekali adalah tidak berfungsi sama sekali?--dalam kasus saupadisesa nibbana.

 _/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #108 on: 07 November 2009, 10:43:44 AM »
Quote
Apakah yg dimaksud  dikatakan SAAT perealisasian nibbana pancakhanda lenyap sama sekali adalah tidak berfungsi sama sekali?--dalam kasus saupadisesa nibbana.

Sekalian juga nanya:
Pancakhanda lenyap sama sekali, apakah pengertian dari kata lenyap di sini?
 Karena orang yang merealisasi nibbana masih terlihat tubuh fisiknya-> rupa-khanda. Jadi apakah maksud kata lenyap di sini?

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #109 on: 07 November 2009, 10:56:50 AM »
Melihat nibbana bagi seorang sotapanna tidak berarti merealisasi nibbana. Ibarat orang yang melihat puncak gunung, dia masih perlu mendakinya untuk berada di atas puncak. Makanya mengapa sotapanna masih disebut sebagai sekha-->masih perlu berlatih. Orang yang merealisasi nibbana (tujuan akhir) tentu sudah disebut asekha, dan dalam hal ini hanya disematkan pada para Arahat.

Bro Peacemind ... :)
Oh iya ... mau bertanya juga tentang tak ada DIRI ...
kalau memang tak ada DIRI, lalu apa yang berlatih dan perlu dilatih ?
Tidak ada DIRI itu dilihat dari sudut pandang kebenaran absolut (paramattha sacca),
Entitas yang melakukan tindakan berlatih itu dilihat dari aspek kebenaran umum (sammuti sacca)

          Jawaban saudara Chingik merupakan salah satu jawaban tepat apalagi dilihat daru sudut pandang Abhidhamma. Ada beberapa poin yang ingin saya tambahkan di sini. Agama Buddha memandang bahwa segala fenomena muncul bergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Fenomena yang muncul beserta kondisi-kondisi yang menjadi penyebab kemunculan fenomena yang bersangkutan bukanlah sesuatu entitas atau diri. Mereka HANYA SEKEDAR FENOMENA (mere fenomena) yang saling bergantungan. Hukum ini disebut sebagai hukum sebab-musabab yang saling  bergantungan (paticcasamuppāda). Manusia juga demikian. Manusia muncul karena kondisi-kondisi. Dilihat dari pañcakkhandha, manusia muncul karena gabungan 5 kelompok, yakni rūpa, vedanā, saññā, saṅkhara dan viññāna. 5 kelompok ini juga muncul saling bergantungan. Madhūpiṇḍikasutta dari Majjhimanikāya menjelaskan bahwa “Tergantung pada mata (cakkhu) dan obyek2 (rūpa), muncullah kesadaran mata (cakkhuviññāna); dengan bergabungnya ketiganya muncullah kontak (phassa); dikondisikan oleh kontak, muncullah perasaan (vedana); apapun yang seseorang merasakan, itulah yang ia cerap (sañjanati /saññā); apapun yang ia cerap, itulah yang ia pikirkan (vitakka); apapun yang ia pikirkan itulah yang ia terus berpikir berulang-ulang (papañca)…”. Bila dilihat dari kutipan ini bisa disimpulkan bahwa rūpa (mata dan bentuk2) pada akhirnya memunculkan perasaan (vedana); perasaan memunculkan persepsi (saññā); persepsi memunculkan bentuk2 pikiran – saṅkhara (vitakka dan papañca) dan seluruh proses pikiran ini yang disebut sebagai viññāna / kesadaran. Di sini,  fenomena2 ini tidak memiliki entitas atau inti tertentu. Mereka hanya sekedar fenomena yang saling bergantungan.

           Poin yang mirip di atas pun telah dijelaskan oleh Sang Buddha di dalam Moḷiyaphaggunasutta dari Saṃyuttanikāya ketika beliau membicarakan empat macam makanan yaitu (1) makanan padat, (2) kontak, (3) kehendak mental, (4) kesadaran. Ketika beliau menyebutkan empat macam makanan, bhikkhu Moḷiyaphagunna bertanya, “Bhante, SIAPA yang memakan makanan kesadaran? - ko nu kho, bhante, viññāṇāhāraṃ āhāretī’’ti?

          “Pertanyaan tersebut tidak absah”, jawab Sang Buddha. Sang Buddha menambahkan, “Jika saya mengatakan, ‘Seseorang makan’, maka pertanyaan, ‘Bhante, siapa yang memakan makanan kesadaran?’ akan absah; namun karena saya tidak pernah mengatakan demikian pertanyaan tersebut tidak absah. Pertanyaan akan menjadi absah jika pertanyaannya, ‘Bhante, Untuk mengkondisikan apa, makanan kesadaran ini ada? - viññāṇāhāro āyatiṃ punabbhavābhinibbattiyā paccayo’, dan jawabannya, ‘makanan kesadaran adalah sebuah kondisi yang menimbulkan kehidupan berlanjut’.

          Pertanyaan2 lain Moḷiyaphagguna yang mengintervensi keberadaan “DIRI” melalui pertanyaan “SIAPA” juga ditolak oleh Sang Buddha:
-   Siapa yang membuat kontak? - ‘‘Ko nu kho, bhante, phusatī’’ti?
-   Siapa yang merasakan? - ‘‘Ko nu kho, bhante, vedayatī’’ti?
-   Siapa yang menginginkan? - ‘‘Ko nu kho, bhante, tasatī’’ti?
-   Siapa yang melekat? - ‘‘Ko nu kho, bhante, upādiyatī’’ti?
Penolakan terhadap pertanyaan2 tersebut di atas diperlukan untuk menghindari pandangan bahwa ada semacam “entitas”,  “diri”  atau “atma” yang bekerja dalam setiap individu. Kenyataanya, fenomena-fenomena tersebut tidak lebih dari  “SEKEDAR FENOMENA” yang saling bergantungan.
   
           Mengenai pertanyaan anda, “kalau memang tidak ada  “DIRI”, lalu apa yang berlatih dan apa yang dilatih?”, menurut saya, tentu jawabannya terdapat pada pembahasan di atas. Apa yang berlatih juga ‘hanya sekedar fenomena’ yang saling bergantungan, dan apa yang dilatih juga ‘sekedar fenomena’ yang saling bergantungan. Di sana tidak ada inti atau diri yang berlatih dan dilatih. Keduanya hanyalah sekedar fenomena yang masih dalam lingkup hukum sebab-akibat, hukum paticcasamuppāda. Tentu, pengertian tentang ‘tanpa diri’, dalam praktik yang nyata,  sangat sulit dipahami karena selama kita hidup di alam samsara yang tidak terhitung jumlahnya ini kita telah dibiasakan dengan pandangan adanya ‘entitas atau diri’ dalam diri kita. Kita merasa seolah-olah ada individu yang bekerja, ada individu yang merasakan buah kamma, ada individu yang mempraktikkan Dhamma, ada individu yang mencapai jhana, dsb. Kenyataanya, kecenderungan laten akan adanya diri atau individu atau entitas atau atma hanya akan hancur secara total pada pencapaian Arahant. Puthujjana dan bahkan sekha pun masih memiliki kecenderungan demikian.
   
          Perlu diingat di sini bahwa kecenderungan laten akan adanya ‘diri’ sesungguhnya hanya ciptaan pikiran (a creation of mind). Kecenderugan ini dibuat oleh pikiran kita. Dalam praktik Dhamma, kita dilatih untuk melenyapkan kecenderungan laten ini. Latihan yang membawa lenyapnya kecenderungan ini telah dijelaskan dalam Bāhiyasutta dari Udana sebagai berikut:
-   diṭṭhe diṭṭhamattaṃ bhavissati – ketika melihat ini hanya sekedar melihat.
-   sute sutamattaṃ bhavissati – ketika mendengar ini hanya sekedar mendengar.
-   mute mutamattaṃ bhavissati – ketika merasa ini hanya sekedar merasa.
-   viññāte viññātamattaṃ bhavissatī – ketika mengenal (melalui pikiran) ini hanya sekedar mengenal.
Latihan di atas mengajak seseorang untuk melihat segala sesuatu sebagai mana adanya (yathabhūñānadassanaṃ) bahwa segala fenomena sesungguhnya tidak lebih hanya sekedar fenomena yang bebas dari intervensi diri atau entitas tertentu.


Be happy.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #110 on: 07 November 2009, 11:16:48 AM »
"Ada penderitaan, namun tidak ada DIRI yang menderita;
Ada perbuatan, namun tidak ada DIRI yang berbuat.
Ada nibbāna, namun tidak ada DIRI yang mengalami nibbāna;
Ada Jalan, namun tidak ada DIRI yang melewatinya".

Karena tiada DIRI yang menderita, maka tiada penderitaan.
Karena tiada DIRI yang berbuat, maka tiada perbuatan.
Karena tiada DIRI yang mengalami nibbana, maka tiada pengalaman akan nibbana
Karena tiada DIRI yang melewati Jalan, maka tiada Jalan yang dilewati
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #111 on: 07 November 2009, 11:56:41 AM »
Quote
Apakah yg dimaksud  dikatakan SAAT perealisasian nibbana pancakhanda lenyap sama sekali adalah tidak berfungsi sama sekali?--dalam kasus saupadisesa nibbana.

Sekalian juga nanya:
Pancakhanda lenyap sama sekali, apakah pengertian dari kata lenyap di sini?
 Karena orang yang merealisasi nibbana masih terlihat tubuh fisiknya-> rupa-khanda. Jadi apakah maksud kata lenyap di sini?


       Ini hanya sekedar opini saya. Seperti yang saya jelaskan di atas bahwa nibbāna merupakan 'sesuatu' yang "tidak berkondisi" sedangkan pañcakkhandha adalah sesuatu yang "berkondisi". Jika dalam perealisasian nibbāna seseorang masih mengenal satu atau lebih khandha, maka nibbāna tidak bisa dikatakan sebagai "tak berkondisi". Jadi PADA SAAT seseorang merealisasi nibbāna, pañcakkhandha harus lenyap dalam arti 'tidak dikenali' oleh orang yang merealisasinya. Tentu, orang lain masih melihat rūpakkhandha dari orang yang sedang merealisasi nibbāna tersebut. Di atas saya mengibaratkan hal ini dengan seseorang yang mencapai arūpajjhana. Seseorang yang sedang berada dalam arūpajjhana sudah tidak mengenali rūpadhātu (unsur2 bentuk) karena memang ia dikatakan bebas dari persepsi rūpa, namun tentu orang lain yang melihat orang tersebut masih melihat tubuhnya. Jadi kata lenyap di sini bukan "lenyap" dalam arti sirna atau moksha yang mana orang lain pun sudah tidak bisa melihat tubuhnya, tetapi lebih mengacu kepada 'pengalaman' diri.

         Argumen saya yang lain adalah bahwa dalam sutta2 seringkali dikatakan bahwa nibbāna adalah total pelepasan dan pelenyapan ketidak-tahuan (Avijjāya tveva asesavirāganirodhā) dan total pelepasan dan pelenyapan saṇkharā (Saṅkhārānaṃ   tveva   asesavirāganirodhā). Dan seperti yang  kita semua ketahui bahwa dalam dvadasaṇgapaṭiccasamuppāda, diterangkan bahwa dengan lenyapnya saṇkharā, di sana akan lenyap pula viññāna; dengan lenyapnya viññāna, di sana akan lenyap pula nāmarūpa, dan seterusnya. Bagi saya, doktrin ini bukan sekedar teori, namun bisa dipraktikkan dan bahkan bisa dialami di sini dan sekarang khususnya mereka yang telah merealisasi nibbāna. Seseorang yang merealisasi nibbāna 'melihat' pelenyapan saṇkhara, viññana, nāmarūpa, dst.

         Hal ini juga bisa dilihat dalam sutta yang lain bernama Kaccānagottasutta dari Saṃyuttanikāya (SN, vol.II, hal. 16 versi P. T.S). Dalam sutta ini, dikatakn bahwa dunia tergantung pada dua pandangan ekstrim, yakni exsis (atthi) dan tidak exsis (natthi). Terlepas dari kedua pandangan ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa seseorang yang melihat kemunculan dunia (lokasamudayaṃ) melalui kebijaksanaan tidak akan memegang pandangan bahwa dunia tidak exsis. Demikian pula, seseorang yang melihat melalui kebijaksanaan pelenyapan dunia (lokanirodha) tidak akan memegang pandangan bahwa dunia exsis. Menghindari kedua pandangan ekstrim tersebut di atas, dalam sutta yang sama, Sang BUddha kemudian mengajarkan  dvadasaṇgapaticcasamuppāda, bagaimana dunia muncul (penderitaan), dan bagaimana dunia lenyap (lenyapnya penderitaan). Dunia muncul adalah munculnya avijja, saṇkhara, viññāna, nāmarūpa, dst, sedangkan lenyapnya dunia adalah lenyapnya avijja, saṇkhara, viññāna, nāmarūpa, dst. Sangat jelas bahwa menurut sutta ini, lenyapnya dunia bisa dialami seseorang dalam kehidupan ini. Namun sekali lagi, "lenyap" di sini bukan apa yang umumnya seseorang bayangkan di mana orang lain pun tidak bisa melihat khandha orang tersebut. Di sini lebih mengacu pada 'pengalaman' diri.

Terlepas apakah anda setuju atau tidak setuju dengan pendapat saya, bagi saya, yang terpenting anda mengerti apa yang saya maksud.  :) :) :) :)

                                                              May you all be happy

Offline Ivanzius

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 8
  • Reputasi: 5
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #112 on: 07 November 2009, 12:05:38 PM »
Namo Buddhaya,

Lebih lanjut bro ... :) ...
Lalu, yang disebut "diri" itu apa ?
Lalu, saya, kamu itu apa ?
Lalu, khanda-khanda itu apa ?
Lalu, yang berdiskusi disini juga apa ?
Diri = Nama & Rupa   ;D

Mohon dikoreksi KK, bila ada yang salah.

Salam Metta,

 _/\_

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #113 on: 07 November 2009, 12:07:47 PM »
Quote
Apakah yg dimaksud  dikatakan SAAT perealisasian nibbana pancakhanda lenyap sama sekali adalah tidak berfungsi sama sekali?--dalam kasus saupadisesa nibbana.

Sekalian juga nanya:
Pancakhanda lenyap sama sekali, apakah pengertian dari kata lenyap di sini?
 Karena orang yang merealisasi nibbana masih terlihat tubuh fisiknya-> rupa-khanda. Jadi apakah maksud kata lenyap di sini?


       Ini hanya sekedar opini saya. Seperti yang saya jelaskan di atas bahwa nibbāna merupakan 'sesuatu' yang "tidak berkondisi" sedangkan pañcakkhandha adalah sesuatu yang "berkondisi". Jika dalam perealisasian nibbāna seseorang masih mengenal satu atau lebih khandha, maka nibbāna tidak bisa dikatakan sebagai "tak berkondisi". Jadi PADA SAAT seseorang merealisasi nibbāna, pañcakkhandha harus lenyap dalam arti 'tidak dikenali' oleh orang yang merealisasinya. Tentu, orang lain masih melihat rūpakkhandha dari orang yang sedang merealisasi nibbāna tersebut. Di atas saya mengibaratkan hal ini dengan seseorang yang mencapai arūpajjhana. Seseorang yang sedang berada dalam arūpajjhana sudah tidak mengenali rūpadhātu (unsur2 bentuk) karena memang ia dikatakan bebas dari persepsi rūpa, namun tentu orang lain yang melihat orang tersebut masih melihat tubuhnya. Jadi kata lenyap di sini bukan "lenyap" dalam arti sirna atau moksha yang mana orang lain pun sudah tidak bisa melihat tubuhnya, tetapi lebih mengacu kepada 'pengalaman' diri.

         Argumen saya yang lain adalah bahwa dalam sutta2 seringkali dikatakan bahwa nibbāna adalah total pelepasan dan pelenyapan ketidak-tahuan (Avijjāya tveva asesavirāganirodhā) dan total pelepasan dan pelenyapan saṇkharā (Saṅkhārānaṃ   tveva   asesavirāganirodhā). Dan seperti yang  kita semua ketahui bahwa dalam dvadasaṇgapaṭiccasamuppāda, diterangkan bahwa dengan lenyapnya saṇkharā, di sana akan lenyap pula viññāna; dengan lenyapnya viññāna, di sana akan lenyap pula nāmarūpa, dan seterusnya. Bagi saya, doktrin ini bukan sekedar teori, namun bisa dipraktikkan dan bahkan bisa dialami di sini dan sekarang khususnya mereka yang telah merealisasi nibbāna. Seseorang yang merealisasi nibbāna 'melihat' pelenyapan saṇkhara, viññana, nāmarūpa, dst.

         Hal ini juga bisa dilihat dalam sutta yang lain bernama Kaccānagottasutta dari Saṃyuttanikāya (SN, vol.II, hal. 16 versi P. T.S). Dalam sutta ini, dikatakn bahwa dunia tergantung pada dua pandangan ekstrim, yakni exsis (atthi) dan tidak exsis (natthi). Terlepas dari kedua pandangan ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa seseorang yang melihat kemunculan dunia (lokasamudayaṃ) melalui kebijaksanaan tidak akan memegang pandangan bahwa dunia tidak exsis. Demikian pula, seseorang yang melihat melalui kebijaksanaan pelenyapan dunia (lokanirodha) tidak akan memegang pandangan bahwa dunia exsis. Menghindari kedua pandangan ekstrim tersebut di atas, dalam sutta yang sama, Sang BUddha kemudian mengajarkan  dvadasaṇgapaticcasamuppāda, bagaimana dunia muncul (penderitaan), dan bagaimana dunia lenyap (lenyapnya penderitaan). Dunia muncul adalah munculnya avijja, saṇkhara, viññāna, nāmarūpa, dst, sedangkan lenyapnya dunia adalah lenyapnya avijja, saṇkhara, viññāna, nāmarūpa, dst. Sangat jelas bahwa menurut sutta ini, lenyapnya dunia bisa dialami seseorang dalam kehidupan ini. Namun sekali lagi, "lenyap" di sini bukan apa yang umumnya seseorang bayangkan di mana orang lain pun tidak bisa melihat khandha orang tersebut. Di sini lebih mengacu pada 'pengalaman' diri.

Terlepas apakah anda setuju atau tidak setuju dengan pendapat saya, bagi saya, yang terpenting anda mengerti apa yang saya maksud.  :) :) :) :)

                                                              May you all be happy

Setuju,cocok dan demikianlah adanya tentang perealisasian Nibbana(saya nyontek pengalaman  praktisi juga ...selain yg tertulis di sutta....).  ^:)^ _/\
« Last Edit: 07 November 2009, 12:09:41 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #114 on: 07 November 2009, 12:33:45 PM »
"Ada penderitaan, namun tidak ada DIRI yang menderita;
Ada perbuatan, namun tidak ada DIRI yang berbuat.
Ada nibbāna, namun tidak ada DIRI yang mengalami nibbāna;
Ada Jalan, namun tidak ada DIRI yang melewatinya".

Karena tiada DIRI yang menderita, maka tiada penderitaan.
Karena tiada DIRI yang berbuat, maka tiada perbuatan.
Karena tiada DIRI yang mengalami nibbana, maka tiada pengalaman akan nibbana
Karena tiada DIRI yang melewati Jalan, maka tiada Jalan yang dilewati

Logikanya memang demikian. Akan tetapi, logika terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Seseorang bisa mengatakan bahwa karena tiada DIRI yang menderita maka tiada penderitaan, tapi toh nyatanya ia masih merasa bahwa "IA" menderita. Kenapa? Karena ia masih memiliki kecenderungan akan adanya 'DIRI'.

Sesungguhnya, konsep anatta di atas diambil mengingat bahwa segala fenomena yang muncul hanya merupakan gejala sebab dan akibat. Sebuah fenomena muncul karena kondisi2 tertentu. Di sana tidak ada entitas atau diri tertentu yang mengatur fenomena bersangkutan untuk muncul dan lenyap. Pikiran yang seringkali dianggap sebagai entiti, diri atau atma bagi kebanyakan orang juga hanya sekedar fenomena. Pikiran muncul karena kondisi2 lain. Melihat bekerjanya hukum ini (Paticcasamuppāda), meskipun ada perbuatan dan hasil perbuatan, nibbāna dan Jalan untuk mencapainya, seseorang tidak bisa mengatakan akan adanya "DIRI' yang berbuat, merasa, mengalami dan menjalankan. Segalanya hanya merupakan fenomena2 yang saling bergantungan.

Suatu kali ada seorang pertapa bertanya kepada Sang BUddha, "Apakah yang menjadi penyebab munculnya kebahagiaan dan penderitaan? Apakah mereka disebabkan oleh diri sendiri (sayaṃkataṃ), atau pihak lain (paraṃkataṃ) atau disebabkan oleh diri sendiri dan pihak lain (sayaṃkatañca paraṃkatañca) ataukah mereka muncul karena tanpa sebab (ahetuka)? Sang Buddha menolak empat argumentasi  di atas. Alasannya, jika beliau menerima tiga argumentasi  pertama, sama halnya beliau menerima keberadaan "DIRI" yang menjadi penyeban penderitaan dan kebahagiaan. Kemudian jika beliau menerima argumentasi yang terakhir, beliau akan dianggap sebagai guru nihilis yang mengajarkan segala sesuatu tanpa sebab. Untuk menghindari keduanya, beliau mengatakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan muncul, secara sederhana, karena kontak (phassa). Jawaban ini sangat penting karena selain menghindari konsep nihilisme, juga menghindari konsep akan adanya "DIRI".

                                                       May you be happy.

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #115 on: 07 November 2009, 12:59:11 PM »
bagus, bagus, penjelasan yg sangat detil.
anumodana, bro peacemind.  _/\_

Btw, Kaccanagotta Sutta yang bro tuliskan itu , kebetulan saya pernah membaca di versi mandarin yg terjemahan dari sanskrit- Samyuktagama bab 12. Isinya sepadan dgn Kaccanagotta Sutta.  Info yang berharga.  ^:)^

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #116 on: 07 November 2009, 02:39:07 PM »
bagus, bagus, penjelasan yg sangat detil.
anumodana, bro peacemind.  _/\_

Btw, Kaccanagotta Sutta yang bro tuliskan itu , kebetulan saya pernah membaca di versi mandarin yg terjemahan dari sanskrit- Samyuktagama bab 12. Isinya sepadan dgn Kaccanagotta Sutta.  Info yang berharga.  ^:)^

Dan sutta ini juga telah menjadi bahasan yang sangat penting dalam Mūlamadyamikakārikā milik Bhikśu Nagarjuna, pendiri sekte Madhyamika.

Be happy.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #117 on: 07 November 2009, 03:10:18 PM »
_/\_ Sdr Peacemind

Sadhu Sadhu :)
appamadena sampadetha

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #118 on: 07 November 2009, 04:37:50 PM »
Jika kita menerima fakta2 di atas, bahkan seorang sotapanna yang berada pada pencapaian nibbāna pertama kalinya yaitu pada pencapaian sotapattiphala atau pada tahap gotrabhuñāna, ia pun tidak mengenali pañcakkhandhanya.
pencapaian nibbāna pertama kali itu pada sotapatti phala? so confusing...

Teman-teman sekedar sharing nih...

Seringkali pendapat para ahli meditasi kurang memberikan batasan jelas antara Nibbana yang dicapai pada waktu duduk bermeditasi (yang terjadi pada seorang Ariya Puggala : Sotapanna atau lebih tinggi) dan Arahat yang wafat. Nibbana selain yang dicapai oleh Ariya Puggala yang wafat disebut saupadisesa Nibbana.

Pada seorang Ariya Puggala yang untuk pertama kalinya mengalami Nibbana, semua kesan dan perasaan yang berhubungan dengan jasmani berhenti berproses. Oleh karena keadaan itu terbebas dari perasaan yang berkaitan dengan jasmani maka batin menjadi murni dan timbullah rasa damai yang luar biasa. Itulah kebahagiaan Nibbana dari Saupadisesa Nibbana.

Pada keadaan Saupadisesa Nibbana Ariya Puggala masih memiliki tubuh, tetapi tak melihat/ tak menyadari tubuh, masih memiliki perasaan tapi tak merasakan, kesadaran masih berproses oleh karena itu bisa melihat cahaya yang muncul (aloko - baca Dhammacakkappavattana Sutta), Vijja dan Panna juga muncul dan mengikis tiga kilesa paling kasar Pada Magga Nana. Semua ini terjadi sangat cepat bagai simultan.

Jadi pada seseorang yang mengalami Nibbana untuk pertama kalinya, muncullah vijja (pengetahuan), panna(kebijaksanaan), nana (pandangan terang) dan aloko (cahaya).

Hampir bersamaan lenyaplah Sakkayaditthi (pandangan keliru mengenai diri / aku), silabataparamasa (kepercayaan bahwa upacara dan ritual bisa membawa ke Nibbana) dan Vicikiccha (keragu-raguan terhadap Tiratana).

Pada saat itu Ia telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna dan disebut mahluk Ariya (Ariya Puggala)

Apakah pada Saupadisesa Nibbana Khandha masih berproses? tentu... jika tidak, apakah yang merasakan kedamaian dsbnya ?

Sedangkan Anupadisesa Nibbana hanya bisa dialami oleh Arahat yang wafat . Pada Anupadisesa Nibbana semua Pancakhandha berhenti/padam.

Begitulah kamsudnya eh maksudnya Suhu...


 _/\_
« Last Edit: 07 November 2009, 04:40:22 PM by fabian c »
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Tertarikkah anda untuk mencapai nibb?na?
« Reply #119 on: 07 November 2009, 09:06:35 PM »
mbah sdr ko fab :),

saya cuma membingungkan penggunaan istilah nibbana. Padam aka lenyapnya lobha dosa moha aka patahnya 10 belenggu itu jika loose dalam penggunaannya dengan berbagai interpretasi maka akan tambah jauh dari maka sesungguhnya yg bahkan sudah sulit tuh dijabarkan dengna kata2x.

pencapaian nibbāna pertama kali = pencapaian sotapattiphala.   ???

questionnya, apakah ada pencapaian nibbāna bertahap? sotapattiphala itu adalah pencapaian arahattaphala pertama? :hammer:
There is no place like 127.0.0.1

 

anything