Melihat nibbana bagi seorang sotapanna tidak berarti merealisasi nibbana. Ibarat orang yang melihat puncak gunung, dia masih perlu mendakinya untuk berada di atas puncak. Makanya mengapa sotapanna masih disebut sebagai sekha-->masih perlu berlatih. Orang yang merealisasi nibbana (tujuan akhir) tentu sudah disebut asekha, dan dalam hal ini hanya disematkan pada para Arahat.
Bro Peacemind ...
Oh iya ... mau bertanya juga tentang tak ada DIRI ...
kalau memang tak ada DIRI, lalu apa yang berlatih dan perlu dilatih ?
Tidak ada DIRI itu dilihat dari sudut pandang kebenaran absolut (paramattha sacca),
Entitas yang melakukan tindakan berlatih itu dilihat dari aspek kebenaran umum (sammuti sacca)
Jawaban saudara Chingik merupakan salah satu jawaban tepat apalagi dilihat daru sudut pandang Abhidhamma. Ada beberapa poin yang ingin saya tambahkan di sini. Agama Buddha memandang bahwa segala fenomena muncul bergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Fenomena yang muncul beserta kondisi-kondisi yang menjadi penyebab kemunculan fenomena yang bersangkutan bukanlah sesuatu entitas atau diri. Mereka HANYA SEKEDAR FENOMENA (mere fenomena) yang saling bergantungan. Hukum ini disebut sebagai hukum sebab-musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppāda). Manusia juga demikian. Manusia muncul karena kondisi-kondisi. Dilihat dari pañcakkhandha, manusia muncul karena gabungan 5 kelompok, yakni rūpa, vedanā, saññā, saṅkhara dan viññāna. 5 kelompok ini juga muncul saling bergantungan. Madhūpiṇḍikasutta dari Majjhimanikāya menjelaskan bahwa “Tergantung pada mata (cakkhu) dan obyek2 (rūpa), muncullah kesadaran mata (cakkhuviññāna); dengan bergabungnya ketiganya muncullah kontak (phassa); dikondisikan oleh kontak, muncullah perasaan (vedana); apapun yang seseorang merasakan, itulah yang ia cerap (sañjanati /saññā); apapun yang ia cerap, itulah yang ia pikirkan (vitakka); apapun yang ia pikirkan itulah yang ia terus berpikir berulang-ulang (papañca)…”. Bila dilihat dari kutipan ini bisa disimpulkan bahwa rūpa (mata dan bentuk2) pada akhirnya memunculkan perasaan (vedana); perasaan memunculkan persepsi (saññā); persepsi memunculkan bentuk2 pikiran – saṅkhara (vitakka dan papañca) dan seluruh proses pikiran ini yang disebut sebagai viññāna / kesadaran. Di sini, fenomena2 ini tidak memiliki entitas atau inti tertentu. Mereka hanya sekedar fenomena yang saling bergantungan.
Poin yang mirip di atas pun telah dijelaskan oleh Sang Buddha di dalam Moḷiyaphaggunasutta dari Saṃyuttanikāya ketika beliau membicarakan empat macam makanan yaitu (1) makanan padat, (2) kontak, (3) kehendak mental, (4) kesadaran. Ketika beliau menyebutkan empat macam makanan, bhikkhu Moḷiyaphagunna bertanya, “Bhante, SIAPA yang memakan makanan kesadaran? - ko nu kho, bhante, viññāṇāhāraṃ āhāretī’’ti?
“Pertanyaan tersebut tidak absah”, jawab Sang Buddha. Sang Buddha menambahkan, “Jika saya mengatakan, ‘Seseorang makan’, maka pertanyaan, ‘Bhante, siapa yang memakan makanan kesadaran?’ akan absah; namun karena saya tidak pernah mengatakan demikian pertanyaan tersebut tidak absah. Pertanyaan akan menjadi absah jika pertanyaannya, ‘Bhante, Untuk mengkondisikan apa, makanan kesadaran ini ada? - viññāṇāhāro āyatiṃ punabbhavābhinibbattiyā paccayo’, dan jawabannya, ‘makanan kesadaran adalah sebuah kondisi yang menimbulkan kehidupan berlanjut’.
Pertanyaan2 lain Moḷiyaphagguna yang mengintervensi keberadaan “DIRI” melalui pertanyaan “SIAPA” juga ditolak oleh Sang Buddha:
- Siapa yang membuat kontak? - ‘‘Ko nu kho, bhante, phusatī’’ti?
- Siapa yang merasakan? - ‘‘Ko nu kho, bhante, vedayatī’’ti?
- Siapa yang menginginkan? - ‘‘Ko nu kho, bhante, tasatī’’ti?
- Siapa yang melekat? - ‘‘Ko nu kho, bhante, upādiyatī’’ti?
Penolakan terhadap pertanyaan2 tersebut di atas diperlukan untuk menghindari pandangan bahwa ada semacam “entitas”, “diri” atau “atma” yang bekerja dalam setiap individu. Kenyataanya, fenomena-fenomena tersebut tidak lebih dari “SEKEDAR FENOMENA” yang saling bergantungan.
Mengenai pertanyaan anda, “kalau memang tidak ada “DIRI”, lalu apa yang berlatih dan apa yang dilatih?”, menurut saya, tentu jawabannya terdapat pada pembahasan di atas. Apa yang berlatih juga ‘hanya sekedar fenomena’ yang saling bergantungan, dan apa yang dilatih juga ‘sekedar fenomena’ yang saling bergantungan. Di sana tidak ada inti atau diri yang berlatih dan dilatih. Keduanya hanyalah sekedar fenomena yang masih dalam lingkup hukum sebab-akibat, hukum paticcasamuppāda. Tentu, pengertian tentang ‘tanpa diri’, dalam praktik yang nyata, sangat sulit dipahami karena selama kita hidup di alam samsara yang tidak terhitung jumlahnya ini kita telah dibiasakan dengan pandangan adanya ‘entitas atau diri’ dalam diri kita. Kita merasa seolah-olah ada individu yang bekerja, ada individu yang merasakan buah kamma, ada individu yang mempraktikkan Dhamma, ada individu yang mencapai jhana, dsb. Kenyataanya, kecenderungan laten akan adanya diri atau individu atau entitas atau atma hanya akan hancur secara total pada pencapaian Arahant. Puthujjana dan bahkan sekha pun masih memiliki kecenderungan demikian.
Perlu diingat di sini bahwa kecenderungan laten akan adanya ‘diri’ sesungguhnya hanya ciptaan pikiran (a creation of mind). Kecenderugan ini dibuat oleh pikiran kita. Dalam praktik Dhamma, kita dilatih untuk melenyapkan kecenderungan laten ini. Latihan yang membawa lenyapnya kecenderungan ini telah dijelaskan dalam Bāhiyasutta dari Udana sebagai berikut:
- diṭṭhe diṭṭhamattaṃ bhavissati – ketika melihat ini hanya sekedar melihat.
- sute sutamattaṃ bhavissati – ketika mendengar ini hanya sekedar mendengar.
- mute mutamattaṃ bhavissati – ketika merasa ini hanya sekedar merasa.
- viññāte viññātamattaṃ bhavissatī – ketika mengenal (melalui pikiran) ini hanya sekedar mengenal.
Latihan di atas mengajak seseorang untuk melihat segala sesuatu sebagai mana adanya (yathabhūñānadassanaṃ) bahwa segala fenomena sesungguhnya tidak lebih hanya sekedar fenomena yang bebas dari intervensi diri atau entitas tertentu.
Be happy.