TAHAP-TAHAP DALAM MENEMPUH JALAN
189. Setelah teori agama Buddha diterima dan dimengerti, seseorang melaksanakannya, dan dengan pelaksanaan akan muncul realisasi atau perwujudan/pengejawantahan. Kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain, karena keserakahan dan ketidak-tahuan kita. Dengan menjalani Jalan, keserakahan berubah menjadi kepuasan dan ketidak-tahuan berubah menjadi pengertian. Namun, ini adalah proses yang panjang, bertahap, berlangsung secara berangsur dengan penuh kesabaran sepanjang kehidupan kita, malah mungkin memerlukan beberapa kehidupan.
Ibarat lautan besar melandai secara berangsur, menjadi dalam secara berangsur tanpa kecuraman tiba-tiba, demikian pula, Dhamma dan tata-tertib ini, dilaksanakan bertahap, dilatih bertahap, dipraktekkan bertahap; tidak ada pengetahuan yang dapat ditembus tiba-tiba.1
190. Kadang-kadang kita menjadi tidak sabar menunggu hasil latihan kita, ketidak sabaran pada gilirannya mengacaukan dan menyebabkan kekecewaan, yang malah mempersulit kedamaian batin. Bila kita melaksanakannya tanpa perasaan cemas, karena selalu memandang ke depan - melihat seberapa jauh lagi kita harus berjalan, maka kepercayaan diri yang tumbuh dan merubah kita hari demi hari, secara berangsur akan menyelesaikan perjalanan kita. Sang Buddha sering mengingatkan kebenaran ini.
Tukang kayu atau pembantunya memegang peralatannya yang telah usang disebabkan jari-jari dan ibu-jarinya, tapi dia tidak perlu mengetahui berapa kali peralatannya terpakai hari ini, berapa kali kemarin dan berapa kali lagi di lain waktu. Demikian pula halnya, seseorang dengan tekun melaksanakan meditasi tidak perlu mengetahui, berapa banyak kotoran batin terhapus hari ini, berapa banyak kemarin dan berapa lagi di lain waktu. Cukup, bahwa dia mengetahui bahwa kotoran itu sedang terhapus.2
Juga di dalam Dhammapada, Sang Buddha menasehati kita:
Janganlah memandang remeh kebajikan, dengan berkata:
"Kebajikan kecil ini tidak akan berbuah pada saya."
Setetes demi setetes tempayan air terisi.
Demikian pula, sedikit demi sedikit,
Seorang bijaksana dipenuhi kebajikan.3
Perubahan atau transisi dari keberadaan samsara ke realisasi Nibbana adalah suatu yang bertahap, dan selama masa transisi ini, kita dengan jelas melalui empat tahapan. Kita akan menelusuri empat tahapan itu.
191. Tahap pertama yang kita capai dan lalui dalam perjalanan berangsur ke Nibbana adalah apa yang disebut Pemenang-Arus (sotapatti). Sebelum mencapai tingkat ini, pencapaian Nibbana belumlah sesuatu yang pasti, tetapi begitu seorang menjadi Pemenang-Arus, Nibbana pasti dapat dicapai, tidak ada kejatuhan kembali, seorang hanya akan maju terus - makanya disebut Pemenang-Arus. Seperti halnya orang yang mengikuti aliran sungai yang dahsyat dan terbawa arus walau tanpa usaha. Sang Buddha berkata, sekali mencapai tahap ini, seorang akan mencapai Nibbana dalam tujuh kali kehidupan, dan dengan demikian ini adalah suatu keberhasilan terbesar diantara semua pencapaian duniawi lainnya. Beliau bersabda:
Lebih mulia dibanding menjadi penguasa tunggal dunia
Lebih mulia dibanding terlahir di surga
Lebih mulia dibanding menjadi tuan tanah dunia-dunia
Keberhasilan seorang Pemenang-Arus.4
192. Untuk menjadi seorang Pemenang-Arus, seorang harus mengatasi terlebih dulu tiga dari sepuluh belenggu (dasa samyojana): percaya bahwa badan adalah diri, keraguan dan ketergantungan pada moralitas dan peraturan-peraturan. Belenggu pertama, percaya bahwa badan adalah diri (sakkaya ditthi), menahan kita dari belakang sebab dengan identifikasi badan, kita mengabaikan batin. Badan selalu dimanjakan, sebaliknya tiada usaha untuk mengisi batin. Belenggu ke dua, keraguan (vicikiccha), menyebabkan kita senantiasa bingung dan goyah serta melemahkan energi dan kepercayaan-diri kita untuk menjalani Jalan. Belenggu ke tiga, ketergantungan pada moralitas dan peraturan (silabbata paramasa), memperdaya kita dengan berpikir bahwa moralitas sendiri sudah cukup, atau berpikir bahwa pelaksanaan upacara ritual (diluar) dapat merubah batin kita (didalam). Oleh karenanya, kadang-kadang kita bertindak salah, karena lebih mengutamakan upacara-upacara dari pada sesuatu yang lebih penting, yakni makna dan semangat yang terkandung di dalamnya.
193. Dalam menanggulangi tiga belenggu ini, seseorang hendaknya mengembangkan Empat Lengan dari Pemenang-Arus (sotapatti-yanga): keyakinan teguh (veccapasada) pada Buddha, keyakinan teguh pada Dhamma, keyakinan teguh pada Sangha dan kebajikan yang utuh. Bila dengan mengatasi tiga belenggu, kita telah memurnikan pengertian kita; maka pengembangan Empat Lengan dari Pemenangan-Arus memperkuat rasa kepastian dan memurnikan perilaku kita, menggerakkan energi spiritual yang kemudian menuntun kita ke Nibbana. Sekali lagi dengan mengibaratkan aliran sungai, Sang Buddha berkata:
Ketika dewa langit menuangkan hujan deras, airnya mengalir turun dan mengisi parit, celah dan retakan bumi dan lalu mengisi kolam kecil, lalu kolam besar, lalu danau; terisinya danau mengisi sungai kecil, sungai kecil mengisi sungai besar, sungai besar mengisi lautan. Demikian pula, Siswa yang memiliki keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan memiliki kebajikan Arahat, kesemuanya ini akan mengalir terus dan mencapai pantai yang lebih jauh dan menuntun penghancuran kekotoran batin.5
194. Bila kita memahami nilai keyakinan sejati (saddha), kita akan sangat menghargai nilainya. Mengapa? Sebab bila keyakinan-sejati digabung dengan kebajikan, maka akan dapat menghancurkan Belenggu-belenggu dan menghantar ke pencapaian Nibbana. Dalam tradisi agama lain, seseorang akan diselamatkan oleh keyakinan, sebab keyakinan adalah bukti kesetiaan sepenuhnya pada Tuhan, dan oleh karenanya Tuhan akan menjawabnya dalam bentuk keselamatan padanya. Keyakinan seperti itu adalah bukti kepatuhan dan kesetiaan mutlak pada Tuhan, dan karenanya akan dianugerahi keselamatan. Dalam agama Buddha "keyakinan" dipandang sangat berbeda.
195. Secara nalar, keyakinan adalah penerimaan doktrin-doktrin yang tidaklah dapat dibuktikan kebenarannya dengan segera oleh pengalaman langsung. Dibutuhkan kesungguhan untuk menunggu dengan sabar dan penuh keyakinan, sampai kesenjangan pembuktian terisi. Ketika kita pertama mendengar ajaran Sang Buddha, pengalaman hidup kita akan membenarkan ajaran itu. Kebenaran Mulia yang pertama dan ke dua, misalnya, sangatlah jelas bagi seorang yang dapat menalar. Dengan melaksanakan Jalan Berjalur Delapan, pengalaman kita kemudian akan mengatakan pada kita bahwa Jalan tersebut benar ampuh memperkecil nafsu-keinginan dan meninggikan kebahagiaan dan kepuasan batiniah. Namun, beberapa ajaran, seperti kamma, kelahiran-kembali dan realisasi Nibbana, memang tak dapat langsung dibuktikan, oleh karenanya kita terima sementara sebagai keyakinan. Namun, keyakinan sedemikian adalah keyakinan rasional/masuk-akal, (akaravati saddha)6 sebab pengalaman membuktikan bahwa Sang Buddha memperlihatkan kebenaran dalam banyak hal. Apabila keyakinan kurang, kita menjadi skeptis pada Dhamma, bingung dan tidak berkeinginan untuk membuktikannya. Keyakinan memberi kita kesempatan-kesempatan yang ditawarkan oleh Dhamma kepada siapa saja yang mau melaksanakannya; keyakinan menghendaki agar kita tetap mencoba sampai berhasil, dan mendorong kita untuk melaksanakannya sampai apa yang sebelumnya hanya kepercayaan berubah menjadi pemahaman. Nagajuna dengan indahnya melukiskan hubungan antara keyakinan dan pemahaman. Dengan berkata:
Seseorang bergabung dengan Dhamma tanpa keyakinan,
Tapi dia mengetahui lewat pemahaman;
Pemahaman adalah pemimpin dari keduanya,
Tapi keyakinan mendahuluinya.7
196. Walau keyakinan sangatlah penting, tapi bila tidak disertai keterbukaan dan keingintahuan, maka hanya akan menyebabkan pikiran-sempit, yang malah menjadi ciri tradisi lain. Sebaliknya, orang yang intelektual atau daya-nalarnya berlebih-lebihan dan berkeyakinan tipis, umumnya tidak sepenuh-hati mengadakan pendekatan pada Dhamma. Kebijaksanaan menghindarkan keyakinan berkembang menjadi fanatisme, dan keyakinan menghindarkan kebijaksanaan berkembang menjadi skeptisme. Buddhagosa berkata:
Seseorang yang kuat dalam keyakinan tapi lemah dalam kebijaksanaan memiliki kepercayaan-diri yang genting dan tak terpijak. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tapi lemah dalam keyakinan, keliru diatas kelicikan, dan sulit terobati seperti seorang yang sakit dikarenakan karena obat-obatan. Bila keduanya berimbang, seseorang akan memiliki kepercayaan-diri dimana ada tempat berpijak untuk itu.8
197. Dengan sendirinya, keyakinan adalah kekuatan dan keteguhan hati dalam kemauan yang dapat memusatkan seluruh energi kita demi cita-cita dihadapan kita yang belum tercapai. Keyakinan memberi rasa percaya-diri, kekuatan dan ketak-gentaran yang membuat kita memandang Dhamma sebagai terpenting dibanding segalanya. Bhikkhu Punna adalah lambang keyakinan teguh seperti ini. Setelah belajar Dhamma, dia memutuskan pergi dan menetap diantara orang-orang yang terkenal kasar dan keras, untuk mengajarkan Dhamma pada mereka. Ketika Sang Buddha mendengar rencana Punna, Beliau bertanya:
"Ke dusun mana engkau akan pergi menetap, Punna, setelah belajar Dhamma secara singkat dari Saya?" "Ada dusun yang bernama Sunaparanta. Saya akan tinggal disana."
"Tapi Punna, orang di Sunaparanta sangat keras dan kasar. Apa yang akan engkau perbuat bila mereka menghina dan mengabaikan engkau?"
"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang di Sunaparanta ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tinjunya.'"
"Lalu bila mereka memukul engkau dengan tinjunya?"
"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak melempari saya dengan bongkahan tanah.'"
"Lalu bila mereka melemparimu dengan bongkahan tanah?"
"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tongkat.'"
"Lalu bila mereka memukul engkau dengan tongkat?"
"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak menusuk saya dengan belati.'"
"Lalu bila mereka menusuk engkau dengan belati?"
"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak membunuh saya dengan belati.'"
"Lalu bila mereka membunuh engkau dengan belati?"
"Bila orang-orang di Sunaparanta membunuh saya dengan belati, saya akan berkata: 'Beberapa murid Tuanku, karena jijik dan malu pada tubuh dan hidupnya, mengambil belati bagi dirinya sendiri. Dan saya disini, didatangi belati tanpa harus mencarinya.'"
"Bagus, Punna, bagus. Engkau akan dapat hidup di dusun itu diantara orang-orang Sunaparanta, berkat hatimu yang lembut dan tenang."9
Diceritakan kemudian, sebagai hasil keputusan Punna menetap Punna diantara orang-orang kasar ini, sekitar lima ratus orang diantara mereka kemudian mencapai Pencerahan.
Aspek penguatan dan penanaman rasa percaya diri oleh keyakinan juga dilukiskan oleh Nagasena, yang menggambarkannya pada Raja Milinda sebagai bercirikan ketenangan dan sebagai suatu lompatan ke depan.
Lalu Raja Milinda berkata: "Yang Mulia Nagasena, apa ciri dari keyakinan?"
"Keyakinan, Tuanku, memiliki ketenangan dan lompatan ke depan sebagai cirinya."
"Bagaimana ketenangan merupakan ciri keyakinan?"
"Bila keyakinan timbul, dia akan menghancurkan rintangan-rintangan batin, bila pikiran bebas dari rintangan-rintangan, dia akan jernih, murni dan tenang."
"Berilah perumpamaan."
"Seorang raja, mengadakan perjalanan sepanjang jalan-kota bersama pasukannya yang terdiri dari empat bagian- pasukan gajah, pasukan kuda, kereta-kereta dan pasukan-bersenjata - menyeberangi sungai kecil, olehnya air menjadi keruh, kotor dan berlumpur. Lalu, raja berkata: 'Ambilkan air, orang-orangku yang baik; saya ingin minum.' Mereka menjawab: 'Baik, Yang Mulia.' Dan mengambil permata pembersih-air, meletakkannya di dalam air, dan karenanya semua tumbuhan air menghilang, Lumpur mengendap dan air menjadi jernih kembali, murni dan tenang. Lalu mereka menawarkan air itu pada raja, seraya berkata: 'Minumlah, Yang Mulia.' Pikiran adalah seperti air, pasukan-pasukan bagaikan siswa pemeditasi yang cermat, kotoran-batin adalah bagaikan permata pembersih-air. Begitu tumbuhan-air menghilang, lumpur mengendap, dan air menjadi jernih, murni dan tenang setelah permata pembersih-air diletakkan di dalamnya - demikian pula, timbulnya keyakinan menghancurkan rintangan-rintangan batin, dan pikiran tanpa rintangan-batin adalah jernih, murni dan tenang."
"Bagaimana, Tuan Yang Mulia, lompatan kedepan merupakan ciri dari keyakinan?"
"Bagaikan, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, begitu melihat batin mereka yang lain telah terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."
"Berilah perumpamaan."
"Awan mendung mencurahkan hujan deras diatas gunung, lalu dengan derasnya air mengalir ke bawah, mengisi parit, lembah dan sungai kecil di atas lereng, mengisi sungai dengan derasnya, memecahkan pinggiran sungai, tanpa mengetahui lebar dan dalamnya, mereka akan berdiri kebingungan dan ketakutan di pinggiran sungai. Lalu, bila ada seorang yang percaya pada kekuatan dan kemampuannya sendiri mendekati pinggiran sungai, lalu meringkaskan pakaian sebatas pinggang, berenang dan menyeberangi sungai; dengan melihat ini, kumpulan orang tadi lalu mengikutinya menyeberangi sungai pula. Demikian pula, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, dengan melihat batin mereka yang terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."10