DISKUSI # 8 : THERAVADA = EKSKLUSIF EKSTREM!
SAGGADHANA:
Jadi kita bisa melihat bahwa pandangan orang yang menyatakan bahwa surga sama dengan ‘nibanna’ adalah tidak benar adanya, maka umat Buddha memandang surga hanya bagian dari 31 alam kehidupan dimana maha pencipta juga merupakan penghuni salah satu alam kehidupan tersebut.
===================
HUDOYO:
Ini adalah salah kaprah khas Theravada. Di sini umat Theravada melihat ‘Tuhan’ dalam agama-agama monoteis dalam pengertian populer, berdasarkan pemahaman harafiah (literal) dari Al-Quran atau Alkitab.
Padahal dalam agama-agama monoteis itu sendiri dikenal beberapa cara memahami kitab suci mereka (hermeneutika). Ada cara literal, ada cara alegoris, ada cara etis, ada cara anagogis (mistikal). Tetapi umat Theravada suka sekali melihat Tuhan dari agama monoteis itu secara literal saja. Jelas hal itu memberikan kepuasan yang besar, karena dikiranya telah berhasil menelanjangi keabsurdan Tuhan.
Ini sama salah kaprah dan tidak etisnya seperti seorang kr****n yang mengritik agama Buddha sebagai agama yang bakar-bakar kertas berdasarkan segelintir sutta/sutra tertentu saja.
Seorang kr****n, kalau mau berdebat kusir, gampang saja menjawab ini: ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta; ke-31 alam yang ada, termasuk para arahat dan buddha di dalamnya, semuanya adalah ciptaan Tuhan.’
Bagi umat kr****n, Tuhan adalah pencipta (khalik) alam semesta; seluruh alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan (makhluk)-nya, tapi Tuhan sendiri bukan ciptaan (makhluk). Jadi kritik umat Buddha terhadap Tuhan dengan menganggapnya sebagai makhluk tidak relevan.
Uraian Rekan Saggadhana berasal dari Brahmajala-sutta (yang sering kali ditampilkan oleh para pengkhotbah Theravada untuk mengritik ajaran Agama kr****n). Saya sendiri tidak percaya bahwa Brahmajala-sutta itu berasal dari mulut Sang Buddha. Secara psikologis terdapat kesan kuat, bahwa sutta itu diciptakan oleh para bhikkhu yang datang belakangan ketika mereka harus berhadapan dengan penganut Agama Hindu yang percaya pada dewa Brahma.
(Dari hasil penelitian para pakar disimpulkan bahwa sutta-sutta panjang seperti yang terdapat dalam Digha-nikaya, adalah merupakan penggabungan beberapa sutta pendek, dan bukan merupakan rekaman dari satu khotbah yang panjang. Di sini tidak tertutup kemungkinan penyisipan atau interpolasi tanpa disadari oleh para bhikkhu yang menurunkan kitab suci secara lisan dari mulut ke mulut selama ratusan tahun.)
Bagi saya, Sang Buddha mengajarkan pembebasan, bukan mengajarkan
kosmologi. Ingatlah akan perumpamaan daun Simsapa. Perumpamaan daun
Simsapa suatu ajaran yang sangat unik, yang tidak pernah kita dengar di agama-agama lain inilah yang menurut saya sungguh-sungguh berasal dari mulut Sang Buddha.
***
DISKUSI # 9 : VIPASANNA (SAMMA SATI) SATU-SATUNYA JALAN?
SAGGADHANA:
Bagaimana mencapai ke ‘nibanna’ an ?
Ada yang beranggapan bahwa nibanna bisa dicapai dengan banyak-banyak berbuat baik dan beramal. Namun bila kita melihat konsep nibanna diatas dimana nibanna suatu keadaan yang dicapai dengan perubahan secara total atas pola pikir kita maka kita bisa membayangkan apakah nibanna bisa dicapai dengan banyak-banyak berbuat baik.
Saya sama sekali tidak membantah bahwa perbuatan baik yang dilakukan kita akan membantu tercapainya nibanna. Saya juga setuju bila dengan berbuat baik semakin banyak maka jalan kita mencapai nibanna semakin lapang. Saya sangat menyadari bahwa semakin sering kita berbuat baik maka semakin cepat dan ‘semakin dekat kita dengan nibanna’ itu sendiri. Namun nibanna tidak akan bisa dicapai dengan hanya berbuat baik saja. Mengapa???
Nibanna hanya bisa tercapai dengan ariya magga dimana samma sati (vipassana) sebagai salah satu pilar utamanya sedangkan dana sendiri tidak termasuk dalam salah satu unsur dari ariya magga. Dana hanyalah menjadi pondasi dasar dari ariya magga dan bukan ariya magga itu sendiri. Untuk membaca ariya magga lebih lanjut silahkan klik alamat berikut ini
<
http://www.samaggi-phala.or.id/naska....php?id=796&am p;amp;cont=dhammasari06\
.html&path=naskahdhamma/dhammasari&multi=T&a mp;amp;hal=0&hmid=235 >
===================
HUDOYO:
Pendapat ini bertumpu pada satu ASUMSI yang saya pertanyakan: yakni bahwa hanya jalan kearifan (wisdom) alias meditasi vipassana-lah SATU-SATUNYA JALAN menuju pembebasan (lenyapnya aku). Sekalipun saya sendiri mengajar meditasi vipassana, namun saya tidak berpendapat seperti itu.
Dari asumsi ini, mau tidak mau harus disimpulkan bahwa semua jalan yang lain tidak akan menghasilkan pembebasan. Termasuk di dalamnya: ‘jalan bhakti’ (di Agama Buddha adalah nianfu dari aliran Sukhavati), ‘jalan karma’, dsb. Bagi saya, hal itu tidak dapat diterima.
Saya berpendapat, jalan apa pun mempunyai potensi untuk lenyapnya aku (nibbana). Seorang yang menghabiskan seluruh hidupnya berbuat untuk orang lain, tanpa memikirkan diri sendiri, mempunyai potensi untuk pembebasan.
Seorang yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam perenungan terhadap apa yang dipujanya (Amitabha, Yesus, Maria dsb), mempunyai potensi untuk pembebasan. Mereka akan mencapai pembebasan (nibbana) begitu akunya padam, bukan karena telah memahami ‘tanpa-aku’ lebih dulu secara teoretis-intelektual, melainkan karena akunya tidak pernah dihiraukannya lagi.
Sebaliknya, sekalipun orang menempuh jalan kearifan (vipassana), selama ia belum bebas dari akunya yang menginginkan nibbana, dari akunya yang masih membeda-bedakan berbagai agama dan jalan spiritual dan menganggap jalannya sendiri paling baik dan benar, selama itu pula ia akan mandek di jalan yang seharusnya memberikan kearifan itu.
***
---------bersambung ------------