//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Syair & Kisah Dhamma yang sangat berkesan pada awal saya belajar Dhamma  (Read 13427 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Berikut ini adalah sedikit kisah dan syair-syair dhamma baik yang berasal dari Dhammapada maupun sumber lainnya yang sangat berkesan bagi diri saya pada saat awal mula saya bertemu dan mulai mempelajari Buddha Dhamma.. semoga bermanfaat bagi semuanya  _/\_

Ayat-ayat Dhammapada :

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan ajaran, menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidak-tahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana; maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum; demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

"Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya." Selama seseorang masih menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan pernah berakhir.

Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.

Daripada seribu syair yang tak berguna, adalah lebih baik sebait syair yang berguna, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.



Syair Dhamma

Baik sepatutnya dibalas baik, jahat jangan dibalas jahat bukan tiada pembalasan, hanya belum saatnya. Hukum Karma berlaku abadi.

Menaklukkan ribuan orang belum bisa disebut sebagai pemenang, tetapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah yang disebut penakluk gemilang.

Jangan khawatir orang lain tidak mengerti dirimu, khawatirlah kalau kamu tidak mengerti orang lain.

Apa yang tidak ingin diperlakukan kepada anda jangan diperlakukan kepada orang lain.

Tubuh adalah pohon Bodhi, hati laksana cermin yang berbingkai, setiap saat rajin membersihkannya, jangan sampai dikotori debu

Bila melakukan kesalahan janganlah takut untuk memperbaikinya

Harta utama manusia adalah kesehatannya.

Hutang terbesar manusia adalah hutang budi.



Kisah Zen

Ada 4 pelajar Zen sedang berlatih meditasi bersama2 didalam sebuah gua dengan sebuah lilin saja. mereka berkomitmen untuk tidak berbicara dan bermeditasi selama beberapa minggu.

Pada suatu malam, angin bertiup dan api lilin mulai padam..

Pelajar pertama berkata "Astaga, lilinnya padam!"

Pelajar kedua berkata "Eh, kamu tak seharusnya berbicara."

Pelajar ketiga menyahuti "Bodoh kalian berdua !! kenapa kalian bicara !."

Tak lama kemudian pelajar terakhir sambil tetap menutup matanya berkata "Hanya aku saja yang tidak bicara"


Yang Putih Atau Yang Hitam?

Seorang gembala sedang menggembalakan dombanya.
Seorang yang lewat berkata, "Engkau mempunyai kawanan domba yang bagus.

Bolehkan saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang domba-domba itu?"
"Tentu," kata gembala itu. Orang itu berkata, "Berapa jauh domba-dombamu berjalan setiap hari?"

"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih." "Ah,yang putih berjalan sekitar enam kilometer setiap hari."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

"Dan berapa banyak rumput mereka makan setiap hari?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?" "Yang putih."
"Ah, yang putih makan sekitar empat pon rumput setiap hari."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

"Dan berapa banyak bulu yang mereka hasilkan setiap tahun?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?" "Yang putih."
"Ah menurut perkiraan saya, yang putih menghasilkan sekitar enam pon bulu setiap tahun kalau
mereka dicukur."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

Orang yang bertanya menjadi penasaran. "Bolehkah saya bertanya, mengapa engkau mempunyai kebiasaan yang aneh,membedakan dombamu menjadi domba putih dan hitam setiap kali engkau menjawab pertanyaanku?"

Gembala itu menjawab, "Tentu saja. Yang putih adalah milik saya."

"Ooo, dan yang hitam?"
"Yang hitam juga," kata gembala itu.

Pikiran manusia membuat pemisahan-pemisahan yang bodoh, yang oleh Telah Sadar dilihat sebagai satu.


Jangan berbuat jahat, tambahkanlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran, itulah ajaran para Buddha

Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya.....  _/\_


Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Mengapa seseorang lahir di suatu keluarga miskin atau kaya..

Mengapa bertemu dengan seseorang, berteman, berjodoh dan bahkan menikah..

Mengapa kondisi fisik seseorang sempurna atau bahkan ada pula yg cacat..

Mengapa ada yg hidup bahagia sejahtera, namun ada juga yang menderita, tertimpa musibah dan bencana..

"Ada sebab ada akibat..Semuanya terjadi bukanlah kebetulan saja"

Sesuai benih yg ditabur demikianlah para penabur akan menuai benihnya

Setiap perbuatan kita di kehidupan ini entah baik atau jahat, diri kita sendirilah yg akan menerimanya kembali..

Bila tidak dalam kehidupan kali ini maka di kehidupan yg akan datang..

Seseorang yg telah mengetahui kebenaran ini tidak akan ada niat untuk menyakiti mahkluk hidup apapun di sekitarnya, karena dia tahu bahwa segala perbuatan yg dilakukan olehnya akan kembali juga kepada dirinya sendiri..

Sesuai hukum kekekalan energi, energi hanyalah berubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk lainnya, seperti itulah energi perbuatan kembali lagi pada bentuk lainnya di suatu masa.

"Semua mahkluk mewarisi karmanya sendiri"

Bila ingin melihat kehidupan masa lalu sebelum kelahiran ini, lihatlah kehidupanmu saat ini..

Bila ingin mengetahui kehidupanmu di kehidupan yang akan datang, lihatlah apa yg telah dilakukan oleh dirimu pada kehidupan kali ini..

"Jangan berbuat jahat, tambahkan kebaikan, sucikan hati dan pikiran..itulah inti ajaran para Buddha"

Note:
Apabila anda tidak sepaham, ambillah nilai kebaikannya saja apabila ada nilai baik yg anda rasakan dalam renungan ini..apabila tidak ada maka abaikan saja :)

Semoga semua mahkluk terbebas dari penderitaan dan marabahaya..

Semoga semua mahkluk terbebas dari dendam dan bencana

Semoga semua mahkluk berbahagia

Sadhu...sadhu..sadhu  _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Attana hi katam pipam
attana samkilissati
attana akatam papam
attanava visujjhati
suddhi asuddhi paccattam
nanno annanam visodhaye."

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

 _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Aku akan menderita usia tua,
Aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit,
Aku belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian,
Aku belum mengatasi kematian.
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi
akan berubah, akan terpisah dariku.

Aku adalah pemilik karmaku sendiri
Pewaris karmaku sendiri
Lahir dan karmaku sendiri
Berhubungan dengan karmaku sendiri

Terlindung oleh karmaku sendiri
Apa pun karma yang kuperbuat
Baik atau buruk
Itulah yang akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali direnungkan.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
BRAHMAVIHARAPHARANA

Aham sukhito homi
Semoga aku berbahagia   

Niddukho homi
Bebas dari penderitaan   

Avero homi
Bebas dari penyakit 

Anigho homi
Bebas dari kesukaran   

Sukhi attanam pariharami
Semoga aku dapat mempertahankan kebahagianku sendiri   

Sabbe satta sukhita hontu
Semoga semua makhluk berbahagia 

Niddukha hontu
Bebas dari penderitaan 

Avera hontu
Bebas dari kebencian   

Abyapajjha hontu
Bebas dari kesakitan 

Anigha hontu
Bebas dari kesukaran   

Sukhi attanam pariharantu
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaanku sendiri   

Sabbe satta dukkha pamuccantu
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan   

Sabbe satta ma laddhasampattito vigacchantu
Semoga semua makhluk tidak kehilangan  Kesejahteraan yang telah mereka peroleh   

Sabbe satta
Semoga semua makhluk   

Kammassaka
Memiliki karmanya sendiri   

Kammadayada
Mewarisi karmanya sendiri   

Kammayoni
Lahir dari karmanya sendiri   

Kammabandhu
Berhubungan dengan karmanya sendiri   

Kammapatisarana
Terlindung oleh karmanya sendiri   

Yam kammam karissanti kalyanam va
papakam va tassa dayada bhavissanti
Apapun karma yang diperbuatnya baik atau buruk itulah yang akan diwarisinya
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Kisah Tentang Dewa Mara

bagian 1

Vasavattimaradhiraja yang sekarang menjadi maharaja dari para dewa Mara yang bertinggal di Sorga Paranimmitavasavatti adalah seorang Bodhisatta yang sedang menyempurnakan paramathaparami untuk mencapai Kebuddhaan di masa mendatang. Usaha itu telah dimulainya dalam hitungan asankheyya.

Semasa Sammasambuddha Kassapa muncul di dunia, Maradhiraja terlahir sebagai seorang manusia yang bernama Bodhi. Dia bekerja sebagai Senapati utama dan terpercaya dari Maharaja King-kissa. Karenanya, dia juga dipanggil Bodhisenapati.

Pada suatu hari, Maharaja Kingkissa - yang mempunyai saddha terhadap Buddhasasana - mendengar bahwa Sang Buddha Kassapa sedang masuk ke dalam Nirodhasamapatti yang penuh kebahagiaan selama tujuh hari, di bawah naungan pohon beringin yang amat besar. Mendekati saat keluarnya Sang Buddha dari Nirodhasamapatti, Maharaja berpikir : 'Sang Buddha akan segera mengakhiri samadhi-Nya. Barang siapa mempersembahkan dana pada saat itu, akan mendapat berkah yang besarnya tak terhingga, apapun keinginannya akan tercapai. Saya tak akan menyia-nyiakan saat yang baik ini.' Lalu mengeluarkan perintah dan pengumuman pada rakyatnya.

'Barang siapa mendahului Maharaja mempersembahkan dana pada Sang Buddha sesaat beliau mengakhiri samadhi-Nya, saya akan menghukum pancung orang itu.'

Untuk itu Maharaja memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjaga sekeliling pohon beringin dimana Sang Buddha sedang melakukan samadhi.

Bila ada orang yang datang hendak mempersembahkan dana, diperintahkannya untuk ditangkap. Bodhisenapati tahu akan pengumuman itu. Namun, dia - yang mempunyai saddha yang amat kuat dan bijaksana -tetap mempunyai keinginan untuk mempersembahkan dana kepada Sang Buddha sesaat Beliau mengakhiri samadhi-Nya. Dia berpikir bahwa berkah yang didapat amatlah besar. Dia tak akan menyesal walau harus mati karenanya.

Pada keesokan harinya, di saat Sang Buddha akan mengakhiri samadhi, Bodhisenapati bersama istrinya, menyiapkan makanan persembahan dan pergi menemui Sang Buddha.

Demi melihat Bodhisenapati beserta istrinya, para prajurit penjaga bertanya : 'Wahai Tuan Senapati, kenapa Tuan melanggar perintah Maharaja. Bukankah Tuan tahu bahwa Maharaja melarang siapapun mempersembahkan dana kepada Sang Buddha? Maharaja sendirilah yang akan mempersembahkan. Atau mungkin Tuan akan pergi ke tempat lain?'

Mendengar itu Bodhisenapati berpikir : 'Kalau seandainya saya berbohong kepada mereka, atau menasehati Maharaja untuk mengundang Sang Buddha ke istana, tentu mereka akan percaya dan mengikuti nasehat saya. Tapi, saya tak ingin melakukannya. Sebab, dengan berbohong, berkah yang saya dapat tak akan sesuai dengan harapan. Jadi, sebaiknya saya berkata dengan sesungguhnya, walau harus mati karenanya.'

Maka, iapun menjawab : 'Ya, kami akan mempersembahkan dana makanan pada Sang Buddha.'

Para prajurit itu pun segera menangkap Bodhisenapati dan istrinya. Dan dibawa menghadap Maharaja untuk diadili. Maharaja amat Marah karena dikhianati panglima perangnya dan menjatuhi hukuman pancung terhadap Bodhisenapati dan istrinya.

Kassapa Sammasambuddha tahu semua apa yang terjadi. Dengan mata Kebuddhaan-Nya, Beliau tahu siapa Bodhisenapati. Beliau menaruh metta padanya.

Beliau segera menciptakan bayangan sendiri untuk tetap tinggal di tempat semula, dan beliau sendiri pergi menemui Bodhisenapati yang sedang menanti dilaksanakannya hukuman pancung terhadapnya. Karena kesaktian-Nya, tak seorang pun bisa melihat kedatangan Beliau selain Bodhisenapati dan istri. Lalu berkata : 'Wahai Bodhisenapati, tetaplah tenang. Tetap pertahankan saddhamu. Jangan menyesali kehidupan ini. Segera persembahkan dana makanan yang telah kau persiapkan dengan keyakinan yang penuh terhadap Tathagata.'

Demi mendengar itu, keyakinan Bodhisenapati semakin mantap. Dengan saddha dan piti yang telah memenuhi batinnya, dipersembahkannya dana mereka pada Sang Buddha serta mengucapkan panidhana :

'Sang Buddha sebagai guru dan pelindung bagi semua makhluk. Saya telah rela menerima kematian demi mempersembahkan dana makanan ini pada Sang Buddha. Semoga dana persembahan ini menjadi penyebab bagi keinginan saya untuk mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha di masa yang akan datang.'

Sambil mengelus kepala Bodhisenapati, Sang Buddha Kassapa berkata :

'Apa yang kau harapkan akan tercapai. Wahai Bodhisenapati, yakinlah, dimasa yang akan datang kau akan mencapai pencerahan sebagai seorang Sammasambuddha.'

***********

Setelah dalam waktu yang amat lama mengikuti daur kehidupan dan kematian dalam vattasamsara ini, Bodhisenapati terlahir sebagai dewa Mara, menguasai Sorga Paranimitavasavatti. Dan sempat bertemu dengan Sang Buddha Gotama, yang sebenarnya merupakan kesempatan yang amat baik untuk berbuat kebajikan dan belajar Dhamma pada Buddha Gotama.

Namun, kesempatan yang amat baik itu sama sekali tidak dimanfaatkannya. Bahkan, sebaliknya, ia selalu menghambat, menghalang dan mengganggu Sang Buddha; sejak awal usaha untuk mencapai Kebuddhaan, hingga menjelang akhir dari kehidupan Sang Buddha. Sebagai dewa puthujana yang amat sakti namun dikuasai oleh kilesa, dengan sombongnya ia menguji dan menghalangi kegiatan Sang Buddha Gotama yang penuh metta. Namun, segala perbuatan jeleknya itu tak (sampai) bisa digolongkan sebagai garuka kamma yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam neraka Avici, seperti Bhikkhu Devadatta yang telah melukai Sang Buddha dan memecah belah Sangha.

Kiranya, perbuatannya itu bisa diibaratkan sebagai seorang anak nakal atau durhaka yang selalu tak menyetujui dan melawan orang tuanya. Dan ternyata, Sang Buddha pun tak pernah meramalkan sesuatu yang jelek pada dewa Mara seperti kepada bhikkhu Devadatta.

Rupanya, kenakalan dewa Mara muncul kembali manakala ia tahu ada seseorang yang berusaha melestarikan dan mengembangkan Dhamma secara murni.

Itu terbukti saat Asoka Maharaja akan mengadakan peresmian dan perayaan atas terselesaikannya pemugaran candi-candi Buddha di India, kurang lebih 200 tahun setelah Sang Buddha parinibbana. Ia berusaha mengganggu dan menggagalkan perhelatan besar itu. Namun, kenakalannya itu bisa diredam oleh Upagupta Thera, yang membuat dewa Mara jera dan menyesal. Kembali mengucapkan adhitthana untuk menjadi Sammasambuddha.

Menjelang diadakannya perhelatan peresmian dan perayaan atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan pelestarian Buddhasasana yang diprakarsai oleh Asoka Maharaja, para bhikkhu Arahat dan menguasai Abhinna, berkumpul diketuai oleh Moggalliputta Tissa Thera. Mereka membicarakan tentang maksud dewa Mara yang akan datang mengganggu dan menghalangi terlaksananya perhelatan tersebut. Walaupun para bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan dan menguasai Abhinna, namun mereka merasa tak seorang pun mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara. Mereka mengetahui dengan mata dewa mereka, hanya seorang bhikkhu yang mampu mengatasi dewa Mara. Dia adalah Kisanaga Upaguta Thera juga disebut Upagupta Thera ) yang saat itu berdiam di dasar samudera Hindia.

Sang Buddha pernah meramalkan bahwa di masa yang akan datang akan muncul seorang bhikkhu bernama Upagupta yang akan meredam kejahatan dewa Mara dengan kesaktiannya yang membuat Mara sadar akan kesalahannya.

Upagupta Thera adalah seorang bhikkhu yang amat sederhana dan lebih suka tinggal sendiri di tempat-tempat yang hening. Tak suka berkumpul beramai-ramai. Dia suka mengembara di hutan-hutan, juga di samudera. Bila tinggal di dasar laut, ia akan menciptakan kuti dari kaca, dan tinggal sendiri dengan tenang dalam jhana samapatti berlama-lama. Tanpa makan dan minum. Hingga badannya amat kurus. Karenanya, ia dinamakan bhikkhu Kisanaga Upagupta.

Pasamuan Sangha memutuskan mengirim dua orang bhikkhu mengundang bhikkhu Upagupta untuk mengatasi gangguan dewa Mara.

Maka dalam sekejap, dua bhikkhu sakti itu telah tiba dihadapan bhikkhu Upagupta. Setelah saling tegur dengan Dhamma patisanthara, bhikkhu utusan itu berkata:

'Avuso Upagupta, kami diutus oleh Pasamuan bhikkhu mengundang Anda untuk ikut membantu terlaksananya perhelatan kita. Kami dengar Mara akan datang menggagalkan maksud kami. Sangha menugaskan Anda untuk mengatasi Mara. Kami harap Anda tak menolak tugas ini.'

Bhikkhu Upagupta pun menjawab :

'Baiklah Avuso, saya menyanggupi tugas ini. Sekarang silakan Avuso pergi lebih dulu. Saya segera akan menyusul.'

Maka, menghilanglah kedua bhikkhu itu dari hadapan Upagupta Thera dan muncul kembali di tengah-tengah Pesamuan para bhikkhu. Tapi, apa yang mereka lihat? Ternyata bhikkhu Upagupta telah tiba lebih dulu. Duduk dengan tenangnya di hadapan Moggalliputta Tissa Thera.

Keesokan harinya, bhikkhu Upagupta pergi pindapata, menerima dana makanan dari para upasaka-upasika. Kala itu Asoka Maharaja melihat bhikkhu Upagupta yang bertubuh amat kurus, merasa ragu-ragu : 'Dewa Mara terkenal amat sakti. Mungkinkah orang sekurus bhikkhu Upagupta itu mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara?' Untuk meyakinkan dirinya, ia ingin menguji kemampuan bhikkhu kurus itu. Maka, dengan segera ia memanggil pengawalnya dan memerintahkan membuat mabuk seekor gajah istana yang besar dan dilepas menghadang perjalanan bhikkhu Upagupta.

Sang gajah dengan liar dan ganasnya segera menyerang bhikkhu Upagupta.

Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk ke dalam metta jhana dan mengirimkan getaran metta ( cinta kasih ) pada gajah yang sedang mabuk itu, membuat sang gajah tersadar dari keadaan mabuknya. Kembali menjadi gajah istana yang perkasa tapi jinak dan manis. Dengan lembutnya, ia menekuk kaki depannya dan bernamakkara di hadapan Upagupta Thera. Upagupta Thera mengelus kepala si gajah lalu dengan tenang meneruskan perjalanan.

Perhelatan yang konon dilaksanakan selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari itu dibuka langsung oleh Maharaja Asoka dengan hati yang tenang karena ia yakin pada kemampuan bhikkhu Upagupta.

Perayaan itu dibuat amat meriah dan mewah. Lampu-lampu hias dan penerangan amatlah indah dan cemerlang. Terutama lilin-lilin, bunga-bunga serta dupa pemujaan di altar Sang Buddha ditata begitu indahnya. Sabda-sabda Sang Buddha dilantunkan kembali oleh para bhikkhu dengan suara yang teratur dan merdu. Suasana benar-benar sakral dan menyejukkan hati. Rakyatpun amat bersuka hati dengan diadakan keramaian itu. Raja yang dermawan dan bijaksana itu berhasil merebut hati rakyatnya dengan penerapan Dhamma yang benar.

----------
(Pengabdian Asoka Maharaja terhadap Buddhasasana bukan hanya pemugaran candi-candi Buddha di India. Namun, juga mendukung diadakannya Sangayana yang ketiga. Mendukung pengiriman para Dhammaduta ke luar negeri. Yang terkenal diantaranya yaitu, putra-putrinya sendiri, Mahinda Thera dan Sanghamitta Theri yang dikirim ke Sri Langka. Mahinda Thera mengadakan Sangayana disana. Sementara Sanghamitta Theri mendirikan Sangha Bhikkhuni. Dan, Dhammaduta yang diketuai oleh Sona Thera dan Uttara Thera yang menyebarkan Dhamma ke Burma, Thailand dan sekitarnya, sempat mampir ke pulau Jawa sejenak. Namun, karena perjalanan ke tenggara itu amat berat, tak seorang bhikkhuni pun menyertai sebagai Dhammaduta sehingga tidak terdapat Sangha Bhikkhuni di tempat yang dikunjungi Sona Thera dan Uttara Thera).
--------------

Namun, perhelatan yang memang telah direncanakan amat meriah dan menarik itu, ternyata masih ditambah dengan suatu pertunjukan seru dan mengerikan yang tak diduga sebelumnya. Membuat suasana semakin meriah. Itu disebabkan oleh ulah dewa Mara yang merasa tak senang atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan kini sedang dirayakan. Hatinya merasa gatal melihat kejayaan Buddhasasana.

Dengan segera ia turun dari Sorga Paranimitavasavatti dan menciptakan badai, angin puyuh yang dahsyat menyapu segala perlengkapan perhelatan yang telah diatur sedemikian indah. Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk jhana dan ber-adhitthana menghentikan badai dahsyat itu dan mengembalikan segala sesuatu yang telah porak poranda ke tempatnya semula. Dewa Mara terkejut dan merasa terhina demi melihat lawannya hanyalah seorang bhikkhu yang bertubuh amat kurus dan jangkung. Dia merubah diri menjadi seekor kerbau hutan yang amat besar dan ganas. Mengamuk dan merusak barang-barang di sekitarnya. Lalu berlari menubruk hendak melumat tubuh bhikkhu Upagupta.

Sang Thera mengubah diri menjadi seekor harimau yang jauh lebih besar dari kerbau hutan itu. Langsung menerkam dan menangkap si kerbau, membuat si kerbau menguak dan meraung kesakitan. Harimau besar tidak juga melepaskan kerbau yang telah tak berdaya itu, membuat Mara semakin marah dan mengubah diri menjadi seekor naga. Meronta, membebaskan diri dan menyemburkan api beracun menyerang harimau besar. Dengan cepat harimau itu mengubah diri menjadi seekor garuda yang amat besar. Menyambut serangan nagaraja dengan paruhnya yang menganga lebar.

Maka, berlagalah kedua makhluk dahsyat itu dengan serunya. Segala jurus dan usaha dari nagaraja untuk membelit dan menundukkan raja garuda selalu gagal. Dengan lincah dan ligatnya garuda menghindar dan membalas serangan sang naga. Api berbisa yang berkobar-kobar pun seolah-olah bagaikan angin sepoi-sepoi dirasakan garuda.

Akhirnya, sang garuda berhasil menangkap leher naga dengan paruhnya. Diterkamnya tubuh sang naga dengan cakarnya yang besar dan tajam serta dibawa terbang ke udara. Dalam keadaan yang tak berdaya, badan sang naga terombang-ambing di udara lalu dihempaskan kembali ke bumi. Mara semakin gusar dengan kekalahan yang membawa siksa ini.

Ia segera mengubah diri menjadi raksasa yang amat besar dengan taring yang mengerikan. Tangan kanannya menggenggam gada pemukul sebesar pohon kelapa. Meraung-raung menyerang garuda. Namun, garuda pun segera berubah menjadi raksasa pula. Badannya lebih besar dan kedua tangannya memegang gada pemukul pula. Menyambut serangan raksasa Mara. Saling serang, saling mengelak. Bumi pun berdentam-dentam akibat hempasan kaki kedua raksasa. Pukulan-pukulan raksasa Mara sering tidak mengenai sasaran bahkan kalau mengena pun seolah tak dirasa oleh raksasa ciptaan Sang Thera. Namun, pukulan raksasa ciptaan Sang Thera terasa amat menyakitkan di tubuh maupun hati raksasa Mara. Tubuhnya terasa remuk redam dan hatinya pun merasa amat sakit dan pilu menerima setiappukulan yang mengena.

Dewa Mara teringat saat bersama pasukannya menyerang Sang Buddha. Semua senjata yang dilontarkan menyerang tubuh Buddha Gotama berubah menjadi rangkaian besar bunga yang indah memayungi Sang Buddha. Pasukannya mundur tersapu badai. Sang Buddha membalas serangan-serangan dahsyat Mara dengan metta. Beliau sama sekali tidak membalas serangan dengan siksaan seperti yang diterimanya sekarang.
Bhikkhu Upagupta - murid Sang Buddha itu - telah membuatnya benar-benar tak berdaya dan tersiksa. Tubuhnya kembali menjadi dewa Mara, terpuruk lemas di hadapan Sang Thera yang berdiri dengan tenangnya.

Sebenarnya, ia ingin mengerang dan merintih karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun, perasaan angkuh yang masih menguasai dirinya membuatnya bungkam seribu basa. Rupanya, penderitaan yang dialaminya itu belum mampu menghancurkan kesombongan dan keangkuhan yang selama ini menjadi kebanggaannya. Dengan pasrah ia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya, karena memang tak mampu berbuat selain dari itu.

Dengan kesaktiannya, Upagupta Thera menciptakan bangkai anjing yang telah berbau sangat busuk dan berulat. Lalu dikalung-kan pada leher dewa Mara serta beradhitthana :
'Tak seorang pun, dewa bahkan brahma yang mampu melepas bangkai anjing ini dari lehermu.'

bersambung ke bagian 2..
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
bagian 2 (end)

Dewa Mara pun amat terkejut mendengarnya. Kesombongan dan keangkuhan kembali mengendalikan batinnya. Dengan marahnya ia terbang mencari pertolongan pada dewa Catumaharajika. Namun, dewa-dewa Catumaharajika hanya bisa menjawab :

'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'

Begitupun ketika minta pertolongan pada dewa-dewa yang lebih tinggi dari dewa-dewa Catumaharajika, seperti Yamadhiraja dan lain-lain.


Mereka menjawab :

'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'

Mendengar jawaban itu, ia tak segera putus asa. Ia terbang menemui dewa Brahma bahkan Maha Brahma untuk minta pertolongan melepas bangkai anjing yang menjijikkan itu dari lehernya.

'Wahai Maha Brahma yang sakti dan baik hati, tolong lepaskan bangkai anjing ini dari leher saya. Bangkai anjing ini semakin lama semakin busuk saja.'

'Sayang sekali, dewa Mara. Bukannya kami tak mau menolong Anda. Tapi, sebenarnyalah, tak seorang pun dewa atau Brahma di tiga alam ini yang mampu melepas bangkai yang menghiasi leher Anda itu. Hanya ada satu orang yang mampu melakukannya.'

'Katakanlah Tuan, siapa yang mampu melakukannya?' tanya dewa Mara penuh harap. Tapi, jawaban Maha Brahma membuatnya berkecil hati kembali.

'Dia adalah Upagupta Thera, Buddhasavaka yang telah mencapai Kearahatan dan mempunyai Chalabhinna.'

'Murid Gotama itu telah menyiksaku. Tolong nasehatkan padaku, apakah aku harus merengek-rengek padanya? Maha Brahma, saya merasa keberatan berhadapan muka dengannya. Hendak ditaruh dimanakah muka saya ini?'

'Wahai dewa Mara. Kami nasehatkan, kembalilah padanya. Sang Thera adalah seorang yang penuh metta seperti Buddha Gotama gurunya. Atau Anda menunggu hingga Sang Thera Parinibbana? Lalu, siapa pula yang mampu melepas bangkai itu dari leher Anda? Apakah Anda menghendaki perhiasan itu selama hidup Anda?'

Maka, dewa Mara pun berpikir : 'Baiklah! Kalau memang hanya bhikkhu itu yang mampu melepaskannya, aku akan pergi padanya. Bila telah terbebas dari bangkai menjijikkan ini, aku akan pergi dan tak ingin melihat mukanya lagi.'

Setelah berpamitan, maka ia kembali ke dunia menemui bhikkhu Upagupta.

Bhikkhu Upagupta duduk samadhi di kaki gunung Himalaya, seolah sedang menunggu kedatangan dewa Mara. Dewa Mara duduk di hadapan Sang Thera, menunggu dengan tertibnya.

'Dewa yang baik, kau telah kembali rupanya. Kemana saja selama ini?' tegur Sang Thera. Mendengar pertanyaan ini, makin guguplah ia, seperti seorang anak nakal yang ditegur ayahnya.

'Bhante, lepaskanlah bangkai ini dari leher saya.' Hanya itu yang diucapkannya. Sang Thera pun tahu bahwa dewa sakti itu masih tetap dikuasai kesombongan dan keangkuhan.

Bhikkhu Upagupta berdiri. Melolos ikat pinggangnya serta melemparkannya pada dewa Mara. Ikat pinggang itu memanjang di udara, jatuh tepat di tubuh dewa Màra, membelit, mengikat tubuh dewa Mara.
Tubuh yang telah terikat erat dan tak bisa berkutik itu dijinjing oleh
Sang Thera, dibawa terbang menuju puncak gunung Himalaya.

'Lebih baik kau beristirahat di sini selama perhelatan yang diadakan Asoka Maharaja berlangsung. Dengan begini, kau tak bisa mengganggunya,' kata bhikkhu Upagupta sambil mengikat tubuh dewa Mara pada puncak Himalaya. Dan Sang Thera pun beradhitthana :

'Tak seorang pun, dewa bahkan Brahma yang akan mampu melepaskanmu.' Dan ditinggalnya Mara terikat sendirian di atas sana selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari. Alangkah menderitanya dewa malang itu. Ia hanya bisa mengerang, mengeluh dan meronta tanpa bisa melepaskan diri.

*******

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Akhirnya, tiba pula saatnya perayaan meriah itu paripurna. Bhikkhu Upagupta pergi ke tempat dewa Mara terikat sedang merenungi dan meratapi nasibnya tanpa bisa dilihat oleh dewa Mara. Sang Thera sengaja tak menampakkan diri agar bisa tahu apakah dewa Mara telah jera atau belum.

Mara yang tahu bahwa hari itu adalah hari berakhirnya perhelatan besar, yang berarti akan terbebaskannya dirinya dari derita setelah tujuh tahun lebih harus berkalungkan bangkai anjing busuk dan badan terikat erat tak bisa beranjak kemana pun.

Baru kali ini dia punya kesempatan merenungkan semua tindakan dan tingkah laku yang salah di masa lalu. Dalam keadaan tak berdaya, batinnya bisa berpikir dengan jernih. Bukan dia yang terhebat di dunia ini!

Dia teringat, karena pikiran usilnya, mengganggu Buddha Gotama yang tak pernah berbuat salah padanya, dengan segala macam cara. Sammasambuddha Gotama yang telah mencapai kesucian tertinggi, terbebas dari nafsu, dia umpan dengan anak-anak gadisnya yang cantik menggairahkan.

Sammasambuddha Gotama yang menguasai segala kesaktian, dia serang dengan kekuatan penuh, dengan pasukan dan senjata lengkap. Sang Buddha mengalahkannya tanpa menyakitinya, tanpa menyiksanya. Keusilannya belum cukup sampai di situ. Kemudian, ia meminta Buddha Gotama untuk segera memasuki Parinibbana.
Begitupun ketika Buddhasasana, karya Sang Buddha berjaya, iapun merasa tak senang. Sang Buddha tak pernah mempunyai urusan dengannya. Buddhasasana pun tak pernah menyusahkannya. Tapi, kenapa pula ia mencari perkara terhadap orang yang tak bersalah. Kenapa pula ia usil terhadap orang yang tak pernah mengusilinya.

Dan kini, karena ulahnya itu, ia terkena batunya. Ia harus tersiksa karenanya. Murid Buddha Gotama yang muncul dua ratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbana itu telah memberinya pelajaran yang amat berharga, walau terasa amat pahit. Membuat mata hatinya terbuka lebar. Membuatnya sadar, betapa jahatnya dirinya, betapa usilnya dirinya, betapa bodohnya dirinya.

Mengingat itu semua, dia merasa amat malu pada dunia. Dia merasa amat malu pada Buddha Gotama. Dia merasa amat malu pada bhikkhu Upagupta. Dan lebih dari itu semua, ia merasa amat malu pada diri sendiri. Dia menyesali diri sendiri yang telah buta terhadap kebaikan. Mengabaikan kesempatan yang amat langka.

Akhirnya, ia merasa amat marah terhadap dirinya sendiri. Giginya mengatup, menggeretak. Dengan geram ia meronta. Dihentakkannya kakinya beberapa kali ke tanah. Bumi pun berguncang. Salju pun pecah bertebaran, berserakan menggelinding ke bawah mengikuti aliran sungai Gangga.

Setelah melampiaskan kemarahan yang mengganjal di dada, Dewa Mara merasa lilih, tenang. Pikirannya menjadi semakin jernih.

'Alangkah beruntungnya aku bertemu dengan bhikkhu Upagupta yang mampu menyadarkan diriku. Apa yang terjadi bila tak seorang pun mampu mengajarku. Tentu aku akan tetap tersesat pada kejahatan. Tapi, akan lebih baik lagi bila aku mampu mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha yang penuh welas asih, sebagai pelindung dan guru dari semua makhluk' pikirnya.

Maka, di kesunyian puncak Himalaya yang amat dingin dan penuh salju, dengan lantangnya dewa Mara, penguasa sorga Paranimmitavasavatti itu, beradhitthana : 'Wahai alam semesta dan seisinya, saksikanlah, aku, Maradhiraja penguasa sorga Paranimmittavasavatti, sejak saat ini, menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, bertekad akan berusaha menyempurnakan parami untuk mencapai penerangan sempurna sebagai Sammasambuddha, pelindung dan guru bagi semua makhluk.
' Sesudah menguncarkan adhitthana itu, batinnya dipenuhi oleh ketenangan dan kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Tiba-tiba, muncullah Upagupta Thera di hadapannya. Dengan malu-malu dewa Mara menegur Sang Thera : 'Bhante, berarti sejak tadi Bhante telah berada di sekitar tempat ini.'

'Benar, dewa yang baik. Saya tahu apa yang Anda perbuat dan mendengar apa yang Anda katakan. Maka dari itu, ijinkan saya menyampaikan hormat saya pada Anda, seorang Bodhisatta.'

'Tapi, Bhante dengan begitu kejamnya telah menyiksa saya. Saya tak ingin menjadi seorang Arahat seperti Bhante, karena saya tak ingin ada orang tersiksa seperti saya. Saya ingin menjadi Sammasambuddha yang penuh welas asih.'

Dengan tersenyum geli, Upagupta Thera berkata :

'Dewa yang baik, janganlah Anda mendendam pada saya. Karena kamma kita di masa lampau, kita berdua harus sering bertemu dan saling menyakiti. Tapi, dalam kehidupan ini, sayalah yang menang dan berhasil mengingatkan Anda kembali ke jalan yang benar.
Itu tugas akhir saya terhadap Anda. Bukankah kita tak akan bertemu lagi pada kehidupan yang akan datang? Karenanya, harap Anda memaafkan saya bila Anda merasa tersiksa karenanya. Jadi, bukan karena saya tak mempunyai welas asih. Tapi, semata-mata karena kewajiban yang harus saya lakukan.'

'Bhante benar. Tak ada lagi hutang piutang diantara kita. Saya merasa amat berterima kasih pada Bhante yang telah menolong saya untuk kembali ke jalan yang benar. Dan Bhante ..., telah terlalu lama saya menderita begini. Tolong bebaskanlah saya sekarang. Saya telah rindu pada kebahagiaan sorgawi di istana saya' pintanya.

Bhikkhu Upagupta memejamkam mata sejenak, sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Maka, terurailah ikat pinggang yang membelit tubuh dewa Mara, melayang di udara, menjadi pendek seperti semula dan jatuh tepat di tangan Sang Thera. Bangkai anjing di leher Mara pun lenyap seketika.

Dewa Mara menarik napas dengan lega. Dia merasa amat kagum pada kesaktian Sang Thera, murid Sang Buddha. Kalau muridnya saja begitu sakti, bagaimana pula dengan Sang Buddha. 'Sebelum Anda kembali ke tempat Anda, bolehkah saya meminta sesuatu pada Anda?' tanya Upagupta Thera setelah membebaskan dewa Mara.

'Tentu, Bhante. Apakah yang harus saya perbuat untuk Bhante?'

'Wahai dewa Mara. Dalam satu hal, saya merasa kurang beruntung. Saya dilahirkan jauh sesudah Sang Tathagata parinibbana. Karenanya, saya tak pernah bertemu dan melihat langsung bagaimanakah rupa dari Guru saya tersebut. Dalam hal ini Anda lebih beruntung dari pada saya. Anda pernah bertemu dan melihat langsung Sang Buddha. Saya harap Anda mau mengubah diri Anda menjadi Sang Buddha agar saya dapat melihat bagaimanakah Guru saya itu. Itulah permintaan saya.'

'Baiklah, Bhante. Tapi, dengan satu syarat yang harus Bhante penuhi. Bila saya telah mengubah diri menjadi Sang Buddha, janganlah Bhante namakkara pada saya. Saya tak sanggup lagi menerima buah kamma buruk karenanya,' kata Mara penuh kekhawatiran.

'Baiklah,' jawab Sang Thera.

Maka, Mara mengubah diri menjadi Buddha Gotama, lengkap dengan Mahapurisalakkhana (tiga puluh dua ciri-ciri Kebuddhaan). Berjalan dengan anggunnya diiringi oleh Asitimahasavaka (delapan puluh murid-murid utama).

Setelah cukup lama memperhatikan dengan seksama, dengan penuh hormat, Upagupta Thera melakukan namakkara di hadapan Sang Buddha.

Dengan segera lenyaplah pemandangan Sang Buddha beserta murid-muridnya, berganti dengan dewa Mara yang sedang berdiri dengan muka cemberut memandang Sang Thera.

'Mengapa Bhante mengingkari janji? Mengapa Bhante namakkara pada saya? Lalu, buah kamma apa lagi yang akan saya terima karenanya? Dulu saya telah banyak berbuat jahat pada Sang Buddha. Dan saya harus tersiksa dengan badan terikat di puncak Himalaya ini,' kata Mara dengan penuh kecemasan.

'Janganlah anda cemas. Saya tak mengingkari janji. Bhikkhu Upagupta tidak melakukan namakkara pada dewa Mara. Saya melakukan namakkara pada Sang Buddha, guru saya. Hal itu sama sekali tak berpengaruh pada anda. Anda tidak akan menerima akibat buruk karenanya. Terima kasih atas kebaikan anda. Kini, silakan kembali ke tempat Anda di sorga Paranimmitavasavatti. Sayapun akan kembali ke senasana saya di laut selatan. Selamat tinggal, dewa Mara.' Maka lenyaplah Sang Thera dari pandangan dewa Mara.

Dewa Mara pun segera kembali ke sorga Paranimmitavasavatti, tingkatan sorga yang tertinggi di antara sorga para dewa.

Kini, Maradhiraja yang biasa dikenal sebagai dewa Mara, masih bertinggal di sorga Paranimmitavasavatti sebagai seorang Bodhisatta yang sedang menghimpun Dasaparami.

 _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
K A M M A

"Sesuai dengan benih yang di tabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Taburlah biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya".


Pemuda Subha menghadap Sang Buddha untuk menanyakan perbedaan nyata di antara umat manusia, "Apakah alasannya dan sebabnya, o Guru, kita jumpai di antara umat manusia ada yang berumur pendek dan berumur panjang, berpenyakit dan sehat, jelek dan rupawan , tak berpengaruh dan berpengaruh, miskin dan kaya, hina dan mulia, dungu dan bijaksana."

Sang Buddha bersabda : "Semua mahluk hidup mempunyai karma sebagai milik mereka, warisan mereka, sebab awal mereka, kerabat mereka, pelindung mereka. Karma itulah yang membedakan makhluk hidup dalam keadaan rendah atau tinggi." (Majjhima Nikaya, Cullakammavibhanga Sutta, 135)


Sebagai Buddhis yang mempercayai hukum karma maka kita tidak perlu mencela orang lain yang melakukan perbuatan paling jahat sekalipun, karena selain mereka juga akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, juga mereka tidak akan dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya sendiri.

Sang Buddha bersabda : " Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun, juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya. " (Dhammapada, 127)
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Orang-Orang Buta dan Seekor Gajah
 
Suatu ketika Sang Budha menceritakan kepada para muridnya sebuah kisah tentang “Orang-Orang Buta dan Seekor Gajah”. Buddha menceritakan hal itu, karena pada waktu itu, ia melihat banyak guru yang berselisih paham tentang “kebenaran”. Mereka tidak mengerti apa itu kebenaran? Baginya sangatlah aneh, mengapa setiap guru mengatakan bahwa apa yang dikatakannya adalah yang paling benar dan apa yang dikatakan guru lain tidak benar. Setelah Sang Budha meninggal dunia, kisah ini berkembang tidak hanya di India, dimana sampai saat ini kisah ini dapat kita temukan pada buku-buku pelajaran di sekolah, tetapi juga di bangsa dan kebudayaan lain kisah ini diceritakan karena darinya kita dapat memetik pelajaran berharga. Kisahnya sebagai berikut:

Pada suatu hari, Seorang Raja di India Utara memerintahkan pelayan-pelayannya untuk memanggil semua orang yang buta sejak lahir ke istana. Kepada pelayan yang lain, ia memerintahkan supaya menghadapkan kepadanya seekor gajah. Orang-orang buta ini tentu saja belum mengerti ‘seperti apa itu gajah’ dalam hidupnya. Mereka tidak tahu. Lalu, mereka meraba-raba gajah tersebut, tetapi hanya diberi kesempatan untuk memegang bagian-bagian tertentu saja. Selanjutnya, Sang Raja meminta masing-masing dari mereka menggambarkan apa dan bagaimana gajah itu.

Si Buta yang telah meraba-raba kaki gajah mengatakan bahwa gajah itu seperti batang pohon. Si Buta yang meraba perut gajah mengatakan bahwa gajah itu seperti balon. Si buta yang meraba bagian taringnya mengatakan bahwa gajah itu seperti batang kayu yang bulat dan licin. Si Buta yang kebagian kepalanya mengatakan bahwa gajah itu seperti periuk. Tidak ketinggalan juga Si buta yang harus meraba bagian belalainya mengatakan bahwa gajah itu seperti selang air. Akhirnya Si Buta yang telah meraba bagian buntutnya mengatakan bahwa gajah itu seperti tali tambang yang rusak. Apa yang terjadi kemudian?


Selanjutnya, mereka saling bertengkar dan tidak mau kalah satu dari yang lainnya. Masing-masing yakin dengan apa yang telah mereka rasakan dan alami dan menganggap apa yang dikatakan temannya salah. Mereka tidak mau mengalah dan akhirnya mereka berkelahi. Dengan kejadian itu Sang Raja merasa terhibur.

Tetapi sebenarnya siapa di antara mereka yang benar? Dan siapa yang salah ? Tentu saja, Sang Raja yang salah karena karena telah memperdaya si buta agar dirinya terhibur dan tentu saja karena sebenarnya Sang Raja sendiri telah mengetahui apa itu gajah. Tetapi, bagi Si Buta, itu merupakan hal yang sangatlah sulit. Masing-masing dari mereka telah menceritakan dengan tepat apa yang telah mereka rasakan ketika meraba. Mereka telah melakukannya dengan baik. Masing-masing mengatakan kebenaran. Tak seorang pun dari mereka berbohong, meskipun sesungguhnya mereka belum menceritakan apa itu gajah secara keseluruhan. Masing-masing dari mereka hanya menceritakan bagian per bagian dari gajah dari apa yang telah mereka raba.

Kesalahan mereka terletak bukan dalam soal kualitas, melainkan keyakinan dan pernyataan mereka yang salah. Tak seorangpun menyadari bahwa masing-masing dari mereka hanya mengatahui sebagian dari gajah saja. Tiba-tiba datang seorang ilmuwan (peneliti) yang juga buta sejak lahir di arena pertengkaran dan harus memecahkan persoalan tersebut. Kira-kira apa yang akan dilakukannya? Tentu saja ia akan mengkalkulasi apa yang dikatakan dari masing-masing Si Buta. Lalu ia membuat prosentase berapa persen dari mereka yang membandingkan seekor gajah dengan batang kayu, balon, batang kayu yang bulat dan licin, selang air, periuk dan tali tambang.

Akhirnya, ia menemukan bahwa 40% dari mereka telah membandingkan seekor gajah dengan batang pohon, 20 % dari mereka membandingkannya dengan batang kayu yang bulat dan halus dan 10% masing-masing dari yang lainnya membandingkannya dengan periuk besar, balon, selang dan tali tambang yang rusak. Sayang sekali bahwa akhirnya ilmuwan tersebut menyimpulkan bahwa gajah itu seperti batang pohon. Dalam kasus ini ia begitu yakin bahwa kebenarannya ialah bahwa gajah itu seperti batang kayu karena hampir setengah dari mereka telah mengatakannya. Padahal, yang mayoritas itu tidak secara otomatis lalu berarti benar, bukan?

Sebenarnya, tidak terlalu sulit bagi si buta tersebut untuk memecahkan persoalan itu yang akhirnya mereka mengerti dengan tepat apa itu gajah yang sesungguhnya, kata Sang Budha. Masing-masing dari mereka harus mengerti bahwa ia sesungguhnya hanya mengerti sebagian dari gajah saja. Oleh sebab itu pertama-tama mereka harus saling mendengarkan apa yang dikatakan lawan bicara, bukan berusaha keras melawan apa yang dikatakan si lawan bicara, mencari dalih-dalih untuk memperkuat pernyataan sendiri.

Selanjutnya mereka harus saling bekerjasama. Mereka secara bersama-sama harus membentuk satu pengertian yang terdiri atas banyak sudut pandang. Dengan kata lain, yang kedua harus saling belajar dari yang lainnya. Berusaha mengerti dan memahami apa yang dikatakan orang lain. Mereka perlu mengerti dan menerima pandangan yang telah ditangkap lawan bicara. Barangsiapa membagi pengetahuannya kepada orang lain, ia tidak akan kehilangan sedikit pun daripadanya. Dan ketika pengetahuan dibagi, bukan berarti berkurang melainkan bertambah. Tetapi sering kita manusia meskipun tidak buta telah menjadi seperti seorang yang buta sejak lahir sebagaimana ceritera di atas ataupun juga tidak menyadari masih buta, terutama ketika menyikapi setiap persoalan hidup. Pertengkaran dan percekcokan menjadi makanan keseharian.

Mengapa demikian? Pertama, karena sesungguhnya kita hanya memegang sebagian kenyataan. Kedua, kita hanya mengerti satu sudut pandang dari kekomplekan kenyataan. Ketiga, kita terlalu memegang teguh sudut pandang kita sendiri dan karenanya kita setiap kali hanya ingin melawan apa yang berbeda dari kita. Kita berusaha keras menunjukkkan bahwa sudut pandang kita yang paling benar. Kita ingin dilihat pintar, bukan mau belajar. Oleh sebab itu mendengarkan dan belajar dari orang lain itu perlu, jika kita ingin lebih mengerti kebenaran.

Dan apa itu kebenaran? Kebenaran adalah rangkaian potongan-potongan gambar seekor gajah yang terdiri atas : 4 batang pohon sebagai kakinya, 1 buah balon sebagai perutnya, 1 periuk besar sebagai kepalanya, 2 buah batang kayu yang bulat dan halus sebagai gadingnya, sebuah selang air sebagai belalainya, dan tali tambang rusak sebagai buntutnya. Cobalah gambar!

sumber: Diterjemahakan dari oleh J. S. de Britto dari : Walter Krahe, Die Blinden
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
The Chant of Metta

Aham avero homi
May I be free from enmity and danger

abyapajjho homi
May I be free from mental suffering

anigha homi
May I be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharami
May I take care of myself happily

Mama matapitu
May my parents

acariya ca natimitta ca
teacher relatives and friends

sabrahma - carino ca
fellow Dhamma farers

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
may they take care of themselves happily

Imasmim arame sabbe yogino
May all meditators in this compound

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
May they take care of themselves happily

Imasmim arame sabbe bhikkhu
May all monks in this compound

samanera ca
novice monks

upasaka - upasikaya ca
laymen and laywomen disciples

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
May they take care of themselves happily

Amhakam catupaccaya - dayaka
May our donors of the four supports: clothing, food, medicine and lodging

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
May they take care of themselves happily

Amhakam arakkha devata
May our guardian devas

Ismasmim vihare
in this monastery

Ismasmim avase
in this dwelling

Ismasmim arame
in this compound

arakkha devata
May the guardian devas

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
may they take care of themselves happily

Sabbe satta
May all beings

sabbe pana
all breathing things

sabbe bhutta
all creatures

sabbe puggala
all individuals (all beings)

sabbe attabhava - pariyapanna
all personalities (all beings with mind and body)

sabbe itthoyo
may all females


sabbe purisa
all males

sabbe ariya
all noble ones (saints)

sabbe anariya
all worldlings (those yet to attain sainthood)

sabbe deva
all devas (deities)

sabbe manussa
all humans

sabbe vinipatika
all those in the four woeful planes

avera hontu
be free from enmity and dangers

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering
sukhi - attanam pariharantu
may they take care of themselves happily

Dukkha muccantu
May all being be free from suffering

Yattha-laddha-sampattito mavigacchantu
May whatever they have gained not be lost

Kammassaka
All beings are owners of their own Kamma

Purathimaya disaya
in the eastern direction

pacchimaya disaya
in the western direction

uttara disaya
in the northern direction

dakkhinaya disaya
in the southern direction

purathimaya anudisaya
in the southeast direction

pacchimaya anudisaya
in the northwest direction

uttara anudisaya
in the northeast direction

dakkhinaya anudisaya
in the southwest direction

hetthimaya disaya
in the direction below

uparimaya disaya
in the direction above

Sabbe satta
May all beings

sabbe pana
all breathing things

sabbe bhutta
all creatures

sabbe puggala
all individuals (all beings)

sabbe attabhava - pariyapanna
all personalities (all beings with mind and body)

sabbe itthoyo
may all females

sabbe purisa
all males

sabbe ariya
all noble ones (saints)

sabbe anariya
(those yet to attain sainthood)

sabbe deva
all devas (deities)

sabbe manussa
all humans

sabbe vinipatika
all those in the 4 woeful planes

avera hontu
be free from enmity and dangers

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
may they take care of themselves happily

Dukkha muccantu
May all beings be free from suffering

Yattha-laddha-sampattito mavigacchantu
May whatever they have gained not be lost

Kammassaka
All beings are owners of their own kamma

Uddham yava bhavagga ca
As far as the highest plane of existence

adho yava aviccito
to as far down as the lowest plane

samanta cakkavalesu
in the entire universe

ye satta pathavicara
whatever beings that move on earth

abyapajjha nivera ca
may they are free of mental suffering and enmity

nidukkha ca nupaddava
and from physical suffering and danger

Uddham yava bhavagga ca
As far as the highest plane of existence

adho yava aviccito
to as far down as the lowest plane

samanta cakkavalesu
in the entire universe

ye satta udakecara
whatever beings that move on water

abyapajjha nivera ca
may they are free of mental suffering and enmity

nidukkha ca nupaddava
and from physical suffering and danger

Uddham yava bhavagga ca
As far as the highest plane of existence

adho yava aviccito
to as far down as the lowest plane

samanta cakkavalesu
in the entire universe

ye satta akasecara
whatever beings that move in air

abyapajjha nivera ca
may they are free of mental suffering and enmity

nidukkha ca nupaddava
and from physical suffering and danger.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
The Chant of Metta ( Terjemahan Bahasa Indonesia)

Semoga aku bebas dari kebencian dan marabahaya
Semoga aku bebas dari penderitaan batin

Semoga aku bebas dari penderitaan jasmani
Semoga aku dapat mempertahankan kebahagiaanku



Semoga ayah dan ibu- ku

Para guru, kerabat dan teman-teman

Sahabat pelaksana Dhamma 

Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani

Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan masing masing


Semoga semua yang bermeditasi dalam lingkungan ini
,
Bebas dari benci dan bahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani

Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing

.
Semoga semua bhikkhu yang berada dilingkungan ini

Para samanera
 para upasaka dan upasika

Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing




Semoga para pendukung kami yang memberikan 4 hal ( : pakaian, makanan, obat dan tempat bernaung)

Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing


Semoga para deva pelindung di vihara ini di rumah ini di lingkungan ini

Semoga para deva pelindung
 bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing


Semoga semua mahluk yang berwujud

Semua yang bernafas

Semoga semua mahluk yang tidak berwujud

Semua manusia
 semua yang berkesadaran

Semua wanita semua pria
.
Semua yang telah suci
 semua yang belum suci

Semua deva
 semua manusia

Semua yang berada dalam empat alam yang menyedihkan


Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing

Bebas dari Dukkha

Semoga apa yang telah mereka peroleh tidak hilang



Pewaris karma masing-masing
Di sebelah timur disebelah barat

Di sebelah utara di sebelah selatan

Disebelah tenggara
 di sebelah baratlaut
Di sebelah timur laut
di sebelah barat daya

Di sebelah bawah
disebelah atas


Semoga semua mahluk yang berwujud

semua yang bernafas

Semoga semua mahluk yang tidak berwujud
Semua manusia 
semua mahluk yang berkesadaran

Semua wanita semua pria

semua yang telah Suci

semua yang belum Suci

semua deva semua manusia
semua yang berada dalam empat alam yang menyedihkan


Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani

Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing
Bebas dari Dukkha

Semoga apa yang telah mereka peroleh tidak hilang



Pewaris karma masing-masing

Sejauh alam kehidupan tertinggi

sampai sejauh alam kehidupan terendah

diseluruh alam semesta

mahluk apapun yang bergerak diatas bumi


Semoga mereka bebas dari penderitaan batin dan kebencian

Bebas dari bahaya dan penderitaan jasmani



Sejauh alam kehidupan tertinggi

sampai sejauh alam kehidupan terendah diseluruh alam semesta
mahluk apapun yang bergerak dalam air
Semoga mereka bebas dari penderitaan batin dan kebencian

Bebas dari bahaya dan derita jasmani



Sejauh alam kehidupan tertinggi

sampai sejauh alam kehidupan terendah

diseluruh alam semesta
 mahluk apapun juga yang bergerak di udara
Semoga mereka bebas dari penderitaan batin dan kebencian
Bebas 
dari bahaya dan derita jasmani

 _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Kisah dari ajaran Ajahn Chah

Seseorang pernah bertanya pada Ajahn Chah untuk membicarakan tentang Penerangan; dapatkah ia menjelaskan Penerangannya?

Saat semua orang dengan antusias mendengar jawabannya, Ajahn Chah menjawab , “Penerangan tidak sulit untuk dimengerti.Ambillah pisang dan letakkan di mulut Anda, lalu Anda akan mengetahui seperti apa rasanya. Anda harus berlatih untuk merealisasi, dan Anda harus tekun.

Bila sangat mudah untuk mengalami Penerangan, setiap orang telah melakukannya. Saya mulai mendatangi vihara ketika saya berumur delapan tahun, dan saya telah menjadi bhikkhu selama lebih dari empat puluh tahun. Tetapi Anda mau bermeditasi dalam semalam atau dua malam dan langsung mencapai Nibbana. Anda tidak hanya duduk dan –sim salabim- jadilah Anda. Anda tahu, Anda tidak dapat meminta seseorang untuk meniup kepala Anda dan juga membuat Anda mencapai Penerangan.

Janganlah berpikir bahwa dengan banyak belajar dan banyak mengetahui, Anda akan mengetahui Dhamma. Ini seperti mengatakan Anda telah melihat segala sesuatu yang dapat dilihat hanya karena Anda punya mata. Atau Anda telah mendengar segala sesuatu yang dapat didengar karena Anda punya telinga. Anda mungkin melihat namun Anda tidak benar-benar melihat. Anda hanya melihat dengan ‘mata luar’, tidak dengan ‘mata dalam’. Anda mendengar dengan ‘telinga luar’, tidak dengan ‘telinga dalam’.


Seorang wanita tua yang beriman dari propinsi terdekat datang berziarah ke Wat Pah Pong. Dia berkata pada Ajahn Chah bahwa ia hanya singgah sebentar, lalu ia harus segera kembali untuk menjaga cucunya, dan karena dia seorang wanita tua, ia meminta apakah ia dapat mendengarkan pesan Dhamma. Ajahn Chah menjawab , “ Hai, dengarkan! Tak ada seorang pun di sini, hanya ini! Tidak ada pemilik,tidak ada yang tua, muda, baik atau buruk, kuat atau lemah. Hanya itu, itu saja --hanya berbagai unsur alami yang berjalan semestinya. Semua kosong. Tidak ada yang lahir dan tidak ada yang meninggal! Mereka yang membicarakan kelahiran dan kematian adalah berbicara dengan bahasa anak yang bodoh. Dalam bahasa hati, dari Dhamma,tidak ada suatu seperti kelahiran dan kematian”.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
BUDDHA MENJAWAB PERTANYAAN DEWA

Demikian apa yang telah Aku (Y.M. Ananda Thera) dengar, ketika Bhagawa menetap di Sawatthi di hutan Jeta, Taman milik Ananthapindhika. Begitu menjelang pagi Dewa berkunjung dengan raut wajah ceria dan sumringah, lalu menghampiri dan bersujud menghormat Bhagawa, sambil bercerita dengan penuh pertanyaan sbb:

Pertanyaan Dewa: “Pedang apakah yang paling tajam? Racun apakah yang sangat menjijikan? Api apakah yang berkobar? Kegelapan apakah yang sangat kelam?”.

Jawaban Buddha: “Ucapan yang sangat kasar adalah pedang yang sangat tajam. Keserakahan dan nafsu keinginan adalah racun yang sangat menjijikan. Kebencian adalah Api yang berkobar-kobar. Kebodohan adalah Kegelapan yang sangat kelam”.

Pertanyaan Dewa: “Bagaimanakah yang disebut Manusia yang menerima manfaat? Bagaimanakah yang disebut Manusia yang kehilangan manfaat? Cinta apakah yang sangat kuat? Senjata apakah yang sangat tajam?”.

Buddha menjawab: “ Siapapun yang memberi, sebenarnya dialah yang menerima manfaat (buah karma baiknya). Sebaliknya siapapun yang menerima dialah sebenarnya yang kehilangan manfaat (karma baiknya habis). Kesabaran adalah Cinta yang sangat kuat. Kebijaksanaan adalah senjata yang sangat tajam”.

Pertanyaan Dewa: “Apakah yang disebut Perampok? Apakah harta dari Kebijaksanaan? Siapakah yang punya kekuatan untuk merampok baik di surga atau di dunia ini?

Buddha menjawab: “ Pikiran yang salah adalah Perampok yang sangat lihai. Sila atau Moralitas adalah harta Kebijaksanaan. Orang yang suka melanggar Sila adalah yang punya kemampuan sebagai Perampok ulung baik di dunia maupun di surga”.

Pertanyaan Dewa: “Siapakah yang paling berbahagia? Siapakah yang paling kaya dan dihormati? Siapakah yang patut dihormati? Siapak yang paling buruk?”.

Buddha menjawab: “Orang yang sedikit keinginan adalah yang paling bahagia. Orang yang merasa puas adalah yang paling kaya dan dihormati. Orang yang suka melanggar Sila adalah yang sangat buruk”.

Pertanyaan Dewa: “Siapakah kerabat yang paling baik? Siapak musuh dari pikiran jahat? Apakah penderitaan yang paling berat? Apakah kebahagiaan yang tertinggi?”.

Buddha menjawab: “Jasa kebajikan merupakan kerabat yang terbaik. Metta (cinta-kasih) merupakan musuh dari pikiran jahat. Neraka adalah adalah penderitaan yang paling berat. Tak terlahir kembali di alam manapun adalah kebahagiaan yang tertinggi”.

Pertanyaa Dewa: “Apakah yang tak pantas dan bernafsu keinginan? Apa pantas dan tak bernafsu keinginan? Demam apa yang terhebat? Siapa yang merupakan tabib ahli dan terlatih?”

Buddha menjawab: “Kesenangan dalam kepuasan hawa nafsu adalah tidak pantas dan bernafsu keinginan. Terbebas dari nafsu keinginan adalah pantas dan tak bernafsu keinginan. Kesrakahan adalah Demam yang terhebat. Buddha adalah tabib yang ahli dan terlatih”.

Pertanyaan Dewa: “Apa yang mampu menutupi dunia? Oleh siapakah dunia dibutakan? Apa penyebab seseorang ditinggalkan keluarga dan teman-temanya? Apa yang merintangi orang untuk terlahir di alam surga (Dewa)?”

Buddha menjawab: “Ketidakmengertian mampu menutupi dunia. Kebodohan dan kegelapan batin menyebabkan dunia dibutakan. Kekikiran dan keserakahan adalah penyebab orang ditinggalkannya oleh keluarga dan teman-temannya. Kemelekatan akan kekotoran batin penghalang orang untuk terlahir di alam Dewa”.

Pertanyaan Dewa: “Benda apa yang tidak dapat terbakar oleh api, juga tidak dapat dihancurkan oleh angin, tidak lapuk oleh air, tapi mampu menhan dunia?” Siapakah yang berani menghadapi Raja mapupun Pencuri dan bisa ditangkap oleh manusia dan bukan manusia?”

Buddha menjawab: “Jasa kebajikan tidak dapat terbakar oleh api, juga tidak dapat dihancurkan oleh angin, tidak lapuk oleh air, namun mampu menahan dunia. Jasa kebajikan yang mampu menghadapi Raja dan Pencuri, juga tidak bisa dibawa pergi oleh manusia maupun bukan manusia.”

Pertanyaan Dewa: ”Kami masih punya keraguan, mohon Buddha untuk mengatasinya, dalam dunia ini maupun dunia mendatang, siapakah yang membodohi dirinya sendiri?”

Buddha menjawab: “Orang yang punya harta kekayaan, tapi tidak mau menanam jasa kebajikan, dalam dunia ini maupun dunia mendatang, dialah orang yang paling membodohi dirinya sendiri”.

Setelah mendengarkan Dhammadesana dari Buddha, maka Dewa itu dipenuhi rasa bahagia, hingga merasa kagum dan memujinya, lalu Dewa itupun beranjali dan bersujud menghormat kepada Buddha yang maha tahu, kemudian pergi tanpa bekas.”


Sumber: Dhamma Bagi Pemula oleh Y.M. Phra Rajavaracariya (Bhnate Vin Vijjano)
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Kisah Cakkhupala Thera (Dhammapada 1:1)

Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan paginya, sekelompok bhikkhu yang mengunjungi sang thera menemukan banyak serangga yang mati terinjak itu. Mereka berpikir buruk terhadap sang thera dan melaporkan kejadian ini kepada Sang Buddha.

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, "Para bhikkhu, apakah kalian melihat sendiri pembunuhan itu?"
"Tidak, Bhante," jawab mereka serempak.

Sang Buddha kemudian menjawab, "Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian Arahat. Seorang Arahat tidak lagi mempunyai kehendak untuk membunuh."

"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?" tanya beberapa bhikkhu.

Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini:

Pada kehidupan lampau
, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. "Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan", pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.

Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Karenanya wanita itu berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.

Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya karena tidak tidak ingin memenuhi janji pembayaran pengobatan itu. Sang tabib berniat membutakan mata wanita itu sebagai balasan. Lalu ia membuat obat lain dan memberikannya kepada wanita itu untuk dioleskan. Ketika obat itu dioleskan, wanita itupun menjadi buta. Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.

Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:

"Manopubbangamā dhammā manosețțhā manomayā
manasā ce paduțțhena bhāsati vī karoti vā
tato nam dukkham anveti cakkam va vahato padam."

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.


Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis "Pandangan Terang" (pati-sambhida).

Notes :
Ada 4 macam tingkat kesucian :
1. Sotapatti (pemasuk arus - hanya akan ada 7 kelahiran lagi baginya, orangnya disebut sotapanna, seorang sotapanna tidak akan jatuh ke alam rendah),
2. Sakadagami (hanya akan ada 1 kelahiran lagi baginya sebagai manusia),
3. Anagami (tidak akan lahir kembali menjadi manusia, tetapi di alam Suddhavasa)
4. Arahat (tiada kelahiran lagi baginya di manapun juga).

Sumber : Dhammapada Atthakattha
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Kisah Hidup Raja Shibi
       
Bagian 1
                  
Kebajikan Raja Shibi   
                  
Suatu ketika saat Sang Buddha masih hidup sebagai Bodhisattva, timbunan kebajikan besar yang dikumpulkan dalam berbagai kehidupan masa lalunya menyebabkan beliau terlahir sebagai Raja Shibi. Hormat pada semua yang tua sejak masa kanak-kanaknya dan santun dalam tingkah lakunya, ia benar-benar sangat dicintai oleh seluruh rakyatnya.

Diberkati dengan semangat yang tak terbatas, bijaksana, mulia dan kuat, paham akan berbagai pengetahuan, juga diberkati dengan keberuntungan, ia memerintah rakyatnya seolah mereka anak-anaknya sendiri. Pada Bodhisattva, segala hal yang baik, baik duniawi maupun Dharma, dipadukan dengan sangat baik menyingkirkan segala perbedaannya. Keagungan, yang ditiru oleh mereka yang mendapatkan kedudukan tinggi melalui cara-cara yang tidak benar, keagungan yang menyebabkan bencana bagi orang-orang bodoh dan memabukkan bagi yang batinnya kasar, telah menemukan tempat untuk berdiam dalam dirinya.

Mengalirkan belas kasihnya bahkan lebih deras dari pada kekayaannya, raja mulia ini merasa bahagia apabila memenuhi permintaan dari para pengemis dan ketika melihat wajah gembira mereka. Di seluruh kerajaannya, ia mempunyai balai rumah amal yang didirikan dan diisi dengan segala rupa barang-barang, kebutuhan dan biji-bijian, yang dapat memenuhi setiap harapan. Dengan kerendahan dan kesukacitaan besar, ia terus-menerus menumpahkan pemberian bagai curahan air hujan.

Setiap orang yang kekurangan mendapatkan apa yang dibutuhkannya, dengan keramahan dan tegur sapa. Makanan dibagikan kepada yang lapar, minuman diberikan kepada yang haus. Dengan sikap seperti ini, busana, tempat tinggal, pakaian, wewangian, untaian bunga, perak dan emas diberikan kepada siapapun yang menginginkannya, apapun yang diminta akan diberikan. Kabar tentang kemurahan hati sang raja tersebar luas hingga jauh, sehingga menyebabkan orang-orang dari tempat-tempat jauh berdatangan kesitu dengan hati yang diliputi kesukacitaan, mereka takjub serta senang akan kebenarannya. Dengan niat yang bulat seperti seekor gajah yang menuju telaga luas, mereka tidak ingin lagi mendapatkan dana dari yang lain.

Raja terus menerima para pengemis, menganggap penampilan luar mereka tiada lain adalah permintaan dan pikiran mereka hanya tentang memperoleh. Beliau menerima mereka seolah seperti seorang sahabat lama yang telah lama hilang, yang telah kembali dari jauh; matanya terbelalak berseri gembira, beliau mendengarkan permohonan mereka seolah mendengar kabar gembira. Kebahagiaan para pengemis bahkan melampaui sang raja, mereka menyebarkan kabar menyenangkan kemurahan hatinya tersebut ke seluruh negri di sekelilingnya, sehingga memudarkan keangkuhan para raja tetangga.   
   
                     
Penyamaran Dewa Sakra   
   
Pada suatu hari sang raja saat mengunjungi balai dananya, mendapati hanya ada sedikit pengemis di sana dan menimbulkan kecemasan hatinya. Kehausan para pengemis atas pemberian mudah sekali dipuaskan, namun tidak demikian dengan kehausan sang raja pada keinginan untuk memberi. "Secepatnya juga akan semakin sedikit yang tersisa untuk didanakan." Pikirnya. "Alangkah menyenangkannya jika ada yang meminta lebih! Terberkatilah mereka yang darinya keinginan meminta apa saja, meskipun anggota tubuhku! Dariku mereka hanya meminta hartaku, seolah takut jikalau aku akan menolak permintaan yang tidak lazim."

Saat ia membuat pernyataan tersebut, bumi, yang mengetahui tiadanya keterikatan pada dirinya bahkan pada tubuhnya sendiri, bergetar oleh perasaan cinta bagaikan seorang istri terhadap suaminya. Begitu kuatnya gempa yang terjadi sehingga bahkan raja gunung sekalipun, yang bertaburkan permata, mulai bergelombang, dan Dewa Sakra, Raja dari para dewa, telah keluar untuk mengetahui penyebabnya. Mendapatkan kabar bahwa Raja Shibi telah meninggalkan segala keterikatannya pada dagingnya sendiri, ia merasa kagum: "Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah batin sang raja begitu mulianya, apakah ia begitu besar kegembiraannya dalam berdana, sehingga rela bahkan melepaskan anggota tubuhnya sendiri? Aku akan mengujinya."

Saat itu raja sedang duduk di singasana, di tengah-tengah pertemuan, seperti biasa mendengarkan mereka-mereka yang membutuhkan. Menimbun harta, perak, emas serta permata, membuka peti yang berisi busana, demikian pula yang diusung oleh binatang-binatang terlatih, yang berbaris mengangkut harta. Dari segala penjuru datang rombongan para pengemis, diantara mereka terdapat Dewa Sakra, Raja dari para dewa, dalam penyamaran sebagai seorang brahmana tua yang buta
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Bagian 2 (end)

Permohonan Sang Brahmana 

Brahmana cacat tersebut dengan segera menggapai mata sang raja; raja dengan belas kasih yang tenang hendak merangkul sang brahmana cacat tersebut. Para punggawa kerajaan meminta sang brahmana untuk menyampaikan permohonannya, tetapi mengabaikan mereka ia terus mendekati raja.

"Aku, brahmana yang buta, telah datang dari tempat yang sangat jauh, Oh sang raja agung, dengan sangat memohon pemberian salah satu mata anda. Kiranya satu mata cukup untuk mengatur dunia, Oh baginda yang bermata bagai bunga padma, penguasa dunia."
Sang bodhisattva merasa sangat bahagia: keinginan hatinya telah terpenuhi. Apakah karena keinginannya begitu kuat untuk memberi sehingga ia bahkan telah membayangkannya? Ia ingin kembali mendengarkan permintaan tersebut, ia bertanya; "Siapa yang menyuruhmu, wahai brahmana mulia, untuk meminta satu mataku? Bagaimana engkau dapat mengira bahwa akan ada orang yang dapat melepaskan benda itu? Siapakah yang percaya bahwa aku akan melakukannya?"

Mengetahui kepedulian raja, penyamaran Dewa Sakra menjawab; "Dewa Sakra yang memberi tahu kami. Sebuah arca dewa berbicara kepada kami, bilang kepada kami agar datang kemari dan memohon kepadamu. Percaya mereka benar dan mengabulkan permohonan kami yang terdalam; mohon berilah kami salah satu mata anda."

Mendengar nama Sakra, raja berpikir; "Pastilah kekuatan para dewa akan membantu memulihkan penglihatan brahmana ini." Karenanya dengan suara yang jelas dan penuh kegembiraan ia berkata: "Brahmana aku pasti mengabulkan permohonanmu. Meski engkau hanya meminta satu mataku, aku akan memberimu keduanya! Setelah wajahmu dihiasi dengan kedua padma yang cemerlang ini, engkau pergilah jauh; biarlah keajaiban ini membuat kagum setiap orang yang engkau temui!"

Penasehat raja tidak setuju serta diliputi kecemasan jikalau raja benar-benar memberikan matanya. "Baginda Raja," ucapnya, "kemurahan hati anda telah sampai pada ketidak adilan hingga menjadi sebuah keanehan! Anda hendak memberikan mata Anda! Hanya demi kebajikan orang yang lahir dua kali ini, janganlah abaikan kami semua! Anda menyalakan api penderitaan pada kami semua setelah sebelumnya anda merupakan sumber dari ketentraman dan kemakmuran.

“Uang, permata cemerlang, kereta, tandu, gajah besar yang sangat mengagumkan, sesuai dengan segala musim dan bergema bersama suara penari, pemberian yang demikian memang pantas. Berikanlah itu semua, tetapi mohon jangan berikan mata anda, andalah mata satu-satunya bagi dunia!

“Dan pahamilah ini, Hanya karena pengaruh kekuatan para dewa yang memungkinkan mata seseorang dapat dipindahkan ke muka orang lain. Namun demikian bila hal itu terjadi, mengapa harus mata anda? Juga apa manfaatnya mata itu bagi orang miskin ini, baginya hanya akan menjadi saksi kemakmuran orang lain? Beri saja dia uang, bagaimanapun mohon jangan lakukan tindakan yang keliru ini!”
Sebagai jawaban, raja memandang mentrinya dengan kelembutan dan keramahan, ”Ia yang telah berjanji untuk memberi, lalu memegangi yang diberikan, hanya akan mendapatkan tulang keterikatan yang telah dibuangnya. Ia yang telah berjanji untuk memberi lalu karena terdorong oleh kekikiran, mengingkari janjinya, harus dipandang sebagai sangat tercela. Ia yang menimbulkan pengharapan bagi yang membutuhkan, lalu memberi mereka penolakan yang kasar, tak patut dipandang kecuali ditinggalkan."

“Sebagaimana terhadap kekuatan para dewa untuk menimbulkan penglihatan pada mata cangkokan, mengetahui hal ini: Bahkan para dewa bergantung pada suatu keadaan untuk mendapatkan pengaruh tertentu. Dimana diantara kita dapat berkata bagaimana caranya adalah tergantung pada bagaimana akhirnya? Tidak, jangan coba halangi maksud hatiku. Aku tetap akan memberikan mataku kepadanya.”
Sang mentri menjawab: “Kami tidak berusaha menghalangi Sri Baginda melakukan apapun yang terpuji! Kami telah sekedar menganalisa bahwa suatu pemberian barang-barang atau biji-bijian ataupun emas akan lebih sesuai dari pada memberikan penglihatan anda.”

“Apa yang diminta itulah yang akan diberikan,” jawab sang raja. “Memberikan sesuatu yang tidak diinginkan tak akan membuat gembira. Apa gunanya memberi air bagi orang yang sedang hanyut? Aku akan memberi orang ini seperti apa yang diinginkannya.”
Sebagai reaksi, mentri pertama, yang sangat akrab dengan raja, lalu diikuti yang lain melampaui batas kepantasan disebabkan oleh kasih sayangnya pada sang raja, mereka berkata: “Jangan lakukan itu! Dibutuhkan pertapaan yang berat serta meditasi yang lama untuk mendapatkan kerajaan seperti ini; kemurahan hati anda telah memberi anda keagungan dan tempat diantara para dewa. Kerajaan anda sebanding dengan kekayaan yang dinikmati oleh Indra, akankah anda mengabaikannya? Kini anda ingin memberikan kedua mata anda, untuk tujuan apa? Di bumi ini hal seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya! Mahkota para raja menghiasi kakimu; pengorbanan anda menempatkan baginda pada kedewataan; kemashyuran anda bercahaya menjangkau hingga tempat yang sangat jauh. Apakah tujuan yang hendak anda raih dengan memberikan mata anda?”

Sang raja menjawab dengan sangat menyentuh: “Aku tidak mendambakan kekuasaan di atas bumi ataupun keagungan; aku tidak menginginkan pembebasan ataupun surga. Aku melakukan perbuatan ini semata-mata untuk membuat permohonan seorang pengemis terpenuhi, dengan maksud untuk menjadi pelindung bagi dunia.”

Sambil mengucapkan kata-kata ini, raja memerintahkan agar satu matanya dikeluarkan oleh seorang tabib, secara perlahan dan berhasil. Dengan ketakjuban yang tiada terlukiskan ia memegang sebutir bola ini, berseri bagaikan kuntum bunga utpala dan memberikannya kepada sang pengemis. Sakra, raja dari para dewa, secara ajaib memasukkan mata tersebut ke dalam kelopak mata sang brahmana, sehingga raja bersama semua yang hadir menyaksikan sebuah mata yang membuka. Perasaan hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan murni, raja kemudian kembali memberikan matanya yang lain.

Wajah sang raja kini bagaikan kolam teratai yang kehilangan bunga, dengan raut muka yang memancarkan kegembiraan, perasaan gembira yang tak pernah dirasakan oleh orang lain, yang hanya melihat sang raja telah menjadi buta dan brahmana telah mendapatkan penglihatannya dari raja. Dari dalam ruang istana hingga wilayah kota yang jauh, air mata kesedihan telah tumpah, sebaliknya Dewa Sakra diliputi perasaan sesal, mengetahui sang raja tidak bergeming dari keinginannya untuk mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna.
“Betapa teguhnya!” pikirnya. “Betapa baiknya ingin menolong makhluk lain! Betapa berbelas kasihnya! Meskipun aku mengetahuinya, sulit bagiku untuk mempercayainya! Sangatlah tidak tepat kebajikan yang demikian harus menyebabkan kesulitan panjang! Aku akan segera menunjukkan kepadanya cara memulihkan penglihatannnya.”   


Kata-Kata Kebenaran Sang Raja
 
Ketika waktu telah menyembuhkan lukanya, dan telah menimbulkan kesedihan semua orang di istana dan penduduk negri, raja ingin pergi menyepi, suatu hari ke taman kerajaan, duduk bersila di dekat kolam teratai. Seluruh pohon di sekelilingnya merunduk kepadanya sarat oleh bunganya, riuh-riuh oleh suara lebah. Angin kencang bertiup, sejuk dan berbau harum.

Tiba-tiba, raja merasakan ada yang datang. “Siapa itu?” ia bertanya. “Sakra, raja dari para dewa,” jawabnya. Setelah menyampaikan rasa hormatnya kepada Sakra, raja bertanya apakah yang dapat dilakukan baginya. Dewa Sakra menjawab: “Aku datang untuk mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu. Sekarang apa yang kau inginkan, wahai bangsawan suci? Katakan kepadaku, aku akan mengabulkannya.”
Raja terperanjat, karena biasanya ia yang memberi, bukan menerima. “Aku telah memiliki harta yang berlimpah, Oh Sakra, balatentaraku juga sangat besar dan kuat. Akan tetapi kebutaanku, membuatku tak dapat menyaksikan wajah gembira para pengemis setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Untuk itu hanya kematianlah yang patut bagiku kini. Kematianlah kini yang kuinginkan.”

“Jangan sampai berpikir seperti itu!” ucap Sakra. “Lebih baik sampaikan kepadaku apa yang sebenarnya kau rasakan, Oh raja, apa yang kau pikirkan tentang para pengemis, hingga mereka membuatmu merasa begitu sedih. Katakanlah! Katakan kepadaku apa yang ada dalam hatimu, mungkin engkau akan segera menemukan jalan keluarnya.”

Sang Raja menjawab: “Mengapa anda menyangka dengan sekedar memulihkan penglihatanku akan membuatku senang? Dengarlah ini, bagaimanapun, jika engkau bisa: Sebagaimana kegembiraan seorang pengemis adalah bagaikan berkah bagi pendengaranku, karena itu aku menginginkan mendapatkan kembali salah satu mataku!”

Tak lama setelah raja mengucapkan kata-kata tersebut, seketika berkat kekuatan kebenaran kata-kata serta kebajikannya, salah satu matanya pulih kembali, yang bagaikan kuntum bunga padma yang dilingkari oleh permata indranila. Dengan gembira raja selanjutnya berkata; “Dan sebagaimana kenyataan aku merasakan betapa bahagianya memberikan kedua mataku kepada orang yang hanya meminta salah satu, karenanya tentu aku dapat mendapatkan kembali mataku yang satunya.”

Sekali lagi, setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut matanya yang satu lagi muncul, keindahannya sebanding dengan yang pertama. Gunung berguncang; samudra bergolak, suara damaru surgawi terdengar jelas dan berirama. Angkasa menjadi terang benderang seolah disinari oleh cahaya matahari di musim gugur, berbarengan dengan itu, tiada terhingga bunga dan serbuk cendana terhambur dari angkasa. Para dewa serta makhluk-makhluk lain dengan segera menuju ke tempat itu, mata mereka terbelalak menyaksikan apa yang tampak, hati semua makhluk diliputi oleh perasaan sukacita yang luar biasa.

Dari sepuluh penjuru, nyanyian serta puji-pujian dilantunkan oleh makhluk-makhluk yang memiliki kekuatan gaib. Dalam kegembiraan serta kesukacitaan mereka berkata; “Betapa mulianya belas kasihnya! Betapa lembut serta murni batinnya! Betapa kecil kepeduliannya pada kebahagiaan pribadi! Hormat padanya, sang pahlawan yang senantiasa jaga! Sebagaimana mata padmamu telah pulih,demikianlah dunia kini mendapatkan kembali pelindungnya! Setelah begitu lama, kebajikan akhirnya menjadi pemenangnya!”
“Benar, benar,” Sakra memuji. “Disebabkan oleh perasaanmu yang memahamiku dengan baik, Oh raja yang berhati murni, aku mengembalikan kedua matamu. Dan dengan kedua mata itu engkau kini akan dapat melihat jauh ke segala penjuru, tak akan terhalang bahkan oleh gunung sekalipun.” Setelah itu Dewa Sakra menghilang.

Sang Bodhisattva, dikelilingi oleh para punggawanya yang diliputi perasaan takjub hingga tak dapat berbicara, kembali ke istana dalam sebuah prosesi. Di sana rakyat menegakkan bendera serta panji-panji seolah sedang berlangsung sebuah perayaan. Para Brahmana memberkati kerajaannya dengan beribu-ribu kebajikan. Duduk di dalam balai pertemuan di hadapan sejumlah besar para mentri, brahmana, para tetua serta rakyat dari kota maupun desa, sang Bodhisattva mengajarkan Dharma berdasarkan pengalaman pribadinya:
“Siapakah diantara kalian yang kini lemah dalam melakukan dana? Setelah kalian melihat mataku, mata yang memiliki kekuatan kedewataan, yang diperoleh dari kebajikan berdana. Dengan mata ini aku dapat melihat segala sesuatu yang berada sejauh beribu-ribu yojana; aku dapat melihat melintasi gunung tinggi, sejelas aku melihat ruang balai ini. Apakah yang lebih membawa kebajikan kebahagiaan kecuali kemurahan hati, belas kasih dan pengendalian diri? Dengan melepaskan mata manusiaku, aku mendapatkan penglihatan dewata.”

“Mengetahui hal ini, Shibi-ku, melipatgandakan kekayaanmu dengan menggunakannnya dengan benar. Demikianlah jalan menuju keagungan dan kebahagiaan baik di dunia ini maupun sesudahnya. Harta sesungguhnya tidak berarti baginya, karena harta adalah kebajikan seseorang; ia dapat diberikan bagi kebajikan yang lain. Hanya dengan cara ini ia akan menjadi harta karun; dengan kepelitan, ia tiada guna.”

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana Sang Buddha mendapatkan Dharma dengan menjalankan berbagai pertapaan, dan betapa pentingnya mendengarkan Dharma dengan penuh hormat. Mengetahui keagungan Sang Tathagata serta berkat kebajikan sepanjang kehidupannya, manusia memuji kualitas belas kasihnya serta bangkit rasa hormatnya. Sehingga manusia menimbun kebajikan, dan dalam hidupnya saat ini dapat menemukan sesuatu dari berkembangnya kekuatan yang agung dan mengalirnya keagungan.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Menaklukkan Angulimala

Istri kepala penasehat (Purohita Brahmana) Raja Pasenadi Kosala yang bernama Mantani, melahirkan seorang anak laki-laki. Pada saat kelahirannya, semua senjata di dalam kota berkilau mengeluarkan cahaya yang terang benderang. Kejadian ini menyebabkan ayahnya bertanya kepada ahli perbintangan, mereka meramalkan bahwa anak tersebut di kemudian hari akan menjadi perampok. Keesokan harinya, ketika ia mengunjungi istana, sang ayah bertanya kepada Raja Pasenadi, apakah tadi malam Raja dapat tidur nyenyak. Raja menjawab, tadi malam ia tidak dapat tidur dengan nyenyak karena melihat semua senjata di dalam gudang berkilauan. Hal ini menandakan adanya bahaya yang akan menimpa Raja sendiri atau kerajaannya. Brahmana tersebut lalu menyampaikan kepada Raja, bahwa semalam istrinya telah melahirkan seorang anak laki-laki. Pada saat kelahirannya, tidak hanya pedang kerajaan, semua senjata yang ada di seluruh kota berkilauan, yang menandakan bahwa anaknya kelak akan menjadi perampok.

Brahmana tersebut bertanya kepada Raja, apakah Raja menghendaki agar ia membunuh anaknya yang baru lahir itu. Raja lalu bertanya, apakah anak tersebut kelak akan menjadi kepala perampok ataukah menjadi perampok tunggal. Ia menjawab bahwa anak tersebut akan menjadi perampok tunggal.

Raja tidak terlalu khawatir, karena beliau beranggapan bahwa kerajaannya tidak akan dapat dikacaukan hanya oleh seorang perampok. Jadi beliau membiarkan anak tersebut hidup dan tumbuh menjadi dewasa.

Anak itu diberi nama Ahimsaka, yang berarti tidak melukai siapapun (tanpa kekerasan). Anak itu diberi nama demikian karena ia berasal dari keluarga yang tidak pernah dinodai dengan kejahatan dan juga karena sifat anak itu sendiri.

Ketika Ahimsaka dewasa, ia disekolahkan di Taxila, suatu pusat pendidikan yang terkenal pada masa lampau. Ahimsaka amat pandai, dapat melampaui murid-murid yang lain dan menjadi murid yang paling menonjol, dan ia amat disayang oleh gurunya.

Teman-temannya menjadi iri kepadanya. Mereka berusaha mencari kesalahan agar Ahimsaka dapat dihukum. Mereka tidak dapat mencela kemampuan maupun reputasi baik keluarga Ahimsaka.

Mereka lalu memfitnah bahwa Ahimsaka telah melakukan hal yang tidak pantas dengan istri gurunya. Mereka lalu membagi kelompoknya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama memberitahukan kepada guru mereka tentang kesalahan Ahimsaka, kelompok kedua dan ketiga membenarkan apa yang dikatakan oleh kelompok yang pertama. Ketika guru mereka tidak mempercayai apa yang mereka katakan, mereka mengusulkan supaya guru mereka membuktikannya sendiri.

Guru Ahimsaka kemudian melihat istrinya berbicara dengan ramah kepada Ahimsaka, hal ini menambah kecurigaannya, sehingga ia merencanakan untuk melenyapkan Ahimsaka. Sebagai orang terpelajar, di dalam usahanya untuk melenyapkan Ahimsaka, ia tidak melakukannya secara terbuka, karena ia takut tidak ada lagi murid yang mau berguru kepadanya.

Oleh karena itu ia berkata kepada Ahimsaka :
"Muridku, saya tidak sanggup lagi mengajarmu lebih lanjut, kecuali kamu dapat mengumpulkan seribu buah jari tangan kanan manusia sebagai biaya pendidikanmu."

Guru Ahimsaka mengira bahwa Ahimsaka tidak akan pernah berhasil melaksanakan keinginannya. Dan di dalam usahanya untuk mengumpulkan jari manusia, ia pasti akan tertangkap oleh pengawal raja.

Ahimsaka menjawab, bahwa di dalam keluarga mereka tidak mempunyai kebiasaan untuk melakukan kejahatan kepada orang lain. Berulang-ulang Ahimsaka memohon kepada gurunya, agar ia dapat membayar biaya pendidikannya dengan cara yang lain, tetapi gurunya tetap pada pendiriannya. Apabila ia menolak melaksanakannya, ia akan mendapat kutukan. Karena ia mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar dan tidak ada jalan lain lagi untuk melanjutkan pendidikannya, ia lalu mempersenjatai dirinya dan masuk ke hutan Jalini di Kosala, yang merupakan pertemuan dari delapan jalan dan mulai membunuh siapapun yang lewat di situ untuk mengumpulkan jari tangan manusia sesuai dengan permintaan gurunya.

Jari yang terkumpul digantungnya pada sebuah pohon. Namun karena jari-jari tersebut selalu dihancurkan oleh burung gagak dan burung pemakan bangkai, ia lalu membuat untaian jari untuk memastikan jumlah jari yang telah dikumpulkannya. Sejak itu ia dikenal dengan nama Angulimala (=Untaian Jari).

Rakyat lalu pergi ke Savatthi, menghadap Raja untuk memberitahukan bahwa jumlah penduduk semakin berkurang, karena kekejaman seorang perampok yang selalu membunuh penduduk yang lewat di hutan itu. Mereka memohon supaya Raja mengirim pasukan untuk menangkapnya. Raja mengabulkan permohonan rakyat dan segera memerintahkan pasukan kerajaan untuk menyelidiki perampok tersebut.

Brahmana yang merupakan ayah Ahimsaka, berkata kepada istrinya bahwa ia amat khawatir kalau-kalau perampok yang kejam itu adalah anak mereka sendiri, dan bertanya apa yang harus mereka lakukan. Istrinya lalu berkata, sebaiknya ia cepat-cepat pergi ke hutan, sebelum pasukan kerajaan tiba, untuk menyadarkan anaknya. Namun brahmana itu menolak untuk pergi. Istri brahmana itu lalu memutuskan untuk masuk ke hutan seorang diri. Dengan kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang amat besar, ia meratap dan berseru agar anaknya mau mengikuti tradisi keluarga, berhenti melakukan pembunuhan dan berkata bahwa pasukan raja sedang dalam perjalanan untuk menangkapnya.

Pada waktu yang sama, Sang Buddha yang sedang bersemayam di Vihara Jetavana melihat dengan Mata Buddha (melalui Maha Karuna Samapatti), bahwa dari kumpulan karma baik yang dimiliki pada kehidupannya yang lampau, Angulimala memiliki cukup banyak kebajikan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkhu dan mempunyai kemampuan untuk mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi yaitu menjadi Arahat pada kehidupan ini juga. Sang Buddha juga melihat bahwa ibu Angulimala dapat terbunuh apabila Angulimala melihatnya, karena ia sudah amat ingin melengkapi untaian jari yang diminta oleh gurunya.

Untuk mencegah hal ini, Sang Buddha lalu mengubah wujudNya menjadi seorang bhikkhu dan segera memasuki hutan. Para pengembala dan petani berusaha mencegah Sang Buddha untuk masuk ke hutan seorang diri, karena empat puluh orang yang pergi bersama-sama pun dapat dibunuh oleh Angulimala. Meskipun mendapat peringatan, Sang Buddha tetap melanjutkan perjalanNya dengan berdiam diri. Untuk kedua dan ketiga kalinya mereka berusaha mencegah Sang Guru masuk ke hutan tersebut, namun Sang Buddha dengan berdiam diri tetap meneruskan perjalananNya masuk ke dalam hutan.

Pada pagi hari itu, Angulimala telah mengumpulkan sembilan ratus sembilan puluh sembilan buah jari dan telah merencanakan bahwa siapapun yang ditemuinya pada hari itu harus dibunuhnya. Tetapi ia mendapat kesulitan untuk menemukan orang yang dapat dibunuhnya, karena orang-orang selalu berjalan dalam rombongan yang besar dan bersenjata lengkap.

Akhirnya ia melihat seorang bhikkhu seeang berjalan seorang diri, tanpa membawa senjata. Ia berpikir tentu amat mudah untuk membunuhnya. Angulimala lalu membawa pedang, tameng, anak panah beserta busurnya mengikuti Sang Buddha dari jarak yang dekat.

Sang Buddha menunjukkan kesaktianNya, sehingga bagaimanapun Angulimala berusaha berlari sekuat tenaga, sedangkan Sang Buddha berjalan dengan kecepatan biasa, ia tetap tidak dapat menyusul Sang Buddha.

Angulimala lalu berpikir, "Saya telah mengejar gajah, kuda, kijang dan dapat mengalahkan mereka, sekarang meskipun saya sudah berlari sekuat tenaga, dan Bhikkhu ini berjalan dengan kecepatan biasa saja, saya tetap tidak dapat mendekatiNya."

Dengan terengah-engah dan berkeringat, ia berteriak meminta Sang Buddha untuk berhenti : "Tittha (Berhentilah) Samana!"

Sang Buddha menjawab : "Saya sudah berhenti! Hentikan dirimu sendiri!"

Angulimala keheranan akan jawaban Sang Buddha dan bertanya : "Apa maksudMu?"

Sang Buddha menjawab :
"Saya telah bertekad untuk melimpahkan kasih sayang kepada semua mahluk, sedangkan kamu tidak mempunyai belas kasih terhadap mahluk lain. Oleh karena itu Saya sudah berhenti, sedangkan kamu belum berhenti melakukan pembunuhan."


Karena tumpukan karma baik Angulimala yang amat besar pada kehidupannya yang lampau, bahwa ia diberi tahu oleh Buddha Padumuttara, bahwa ia akan menjadi seorang Arahat. Sebagai seorang yang mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang Arahat, setalah mendengar apa yang dikatakan oleh Sang Buddha, ia mengetahui bahwa pertapa mulia ini adalah Buddha Gotama yang karena cinta kasihNya yang amat besar datang untuk menolongnya.

Angulimala segera melemparkan untaian jari dan senjatanya, lalu bernamaskara di kaki Sang Buddha dan memohon untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sambil mengangkat tanganNya, Sang Buddha berkata :
"Ehi Bhikkhu (Mari, O Bhikkhu)."

Dengan demikian Angulimala dapat menerima delapan kebutuhan pokok seorang bhikkhu pada saat yang bersamaan dan langsung menerima Upasampada, tanpa terlebih dahulu menjadi seorang samanera. Dengan disertai oleh Angulimala, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.

Sementara itu Raja Pasenadi Kosala didesak untuk menangkap perampok Angulimala. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menemui Sang Buddha apabila ada kejadian genting. Setalah Raja Pasenadi Kosala bernamaskara, lalu duduk di salah satu sisi, Sang Buddha bertanya :
"O, Raja, ada hal apakah yang membuat anda risau?
Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menantang anda?
Apakah para Pangeran Licchavi dari Vesali?
Atau para bangsawan sainganmu?"

Raja lalu menjelaskan masalah yang sedang dihadapinya, ia mengakui tidak dapat menangkap Angulimala si perampok yang haus darah itu. Sang Buddha lalu bertanya :
"Apa yang akan anda lakukan kalau perampok itu memakai jubah seorang bhikkhu?"

Raja menjawab :
"Yang Mulia, saya akan menghormatinya seperti saya menghormat kepada seorang bhikkhu."

Pada saat itu Bhikkhu Angulimala sedang duduk di dekat Sang Buddha. Beliau lalu berkata kepada raja :
"O, Raja, inilah Angulimala."

Raja Pasenadi Kosala menjadi ketakutan, badannya gemetar, rambutnya berdiri. Sang Buddha lalu menenangkannya dan berkata bahwa ia tidak perlu takut lagi, karena Angulimala telah menjadi seorang bhikkhu. Raja lalu mendekati Bhikkhu Angulimala dan menanyakan tentang orang tuanya, dan menawarkan untuk memenuhi semua kebutuhannya. Pada saat itu Bhikkhu Angulimala telah menjalani latihan hidup di hutan, berpindapatta, memakai jubah dari kain perca yang terdiri dari tiga bagian. Oleh karena itu ia menolak tawaran raja, karena ia sudah tidak memerlukannya lagi. Kemudian Raja Pasenadi Kosala memberi hormat kepada Bhikkhu Angulimala dan menyatakan keheranannya kepada Sang Buddha akan perubahan yang dialami oleh Bhikkhu Angulimala. Ia lalu pulang ke istana dengan hati yang bahagia.

Pada suatu hari, ketika Bhikkhu Angulima sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau melihat seorang wanita yang sangat kesakitan karena akan melahirkan. Beliau melihat penderitaan wanita itu, tergerak hatinya, lalu berpikir :
"Betapa menderitanya mahluk hidup, betapa menderitanya mahluk hidup!"

Beliau yang pernah membunuh sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang, sekarang merasa amat kasihan melihat seorang wanita menderita kesakitan karena akan melahirkan. Ketika Beliau selesai berpindapatta dan makan pagi, Beliau pergi ke vihara menemui Sang Buddha dan menyampaikan apa yang dilihatnya. Sang Buddha lalu meminta Bhikkhu Angulimala pergi menemui wanita itu dan berkata :
"Saudari, sejak saat saya dilahirkan dalam Keluarga Ariya, saya tidak sadar, dengan sengaja telah membunuh mahluk hidup. Berdasarkan kebenaran ini, semoga anda selamat dan semoga anak anda selamat."

Beliau lalu pergi menemui wanita yang akan melahirkan bayinya. Layar penyekat diletakkan melingkari sang ibu, Bhikkhu Angulimala duduk dan mengulang Paritta yang diajarkan Sang Buddha. Segera saja bayi tersebut lahir dengan mudah dan selamat. (Kemanjuran Paritta Angulimala Sutta ini masih terbukti hingga saat ini).

Tidak lama kemudian, Bhikkhu Angulimala mencapai Tingkat Kesucian Arahat.

Pada suatu hari, ketika Yang Mulia Angulimala sedang berpindapatta di Savatthi, Beliau dilempari bongkahan tanah, tongkat dan batu. Kepalanya terluka, bercucuran darah dan mangkokNya pecah. Beliau pulang kembali ke vihara dan mendekati Sang Buddha yang sedang duduk. Sang Buddha yang melihat keadaanNya lalu menjelaskan, bahwa semua kejadian ini adalah akibat dari perbuatan burukNya, yang sesungguhnya dapat membuatNya menderita di Alam Neraka selama ribuan tahun.

Sekarang Yang Mulia Angulimala hidup menyendiri, menikmati Kebahagiaan dari Kebebasan, mengucapkan pernyataan-pernyataan Kebijaksanaan, meninggal dunia dan mencapai Nibbana.

Para bhikkhu membicarakan tempat kelahiran kembali dari Yang Mulia Angulimala, Sang Buddha memberitahu mereka, bahwa Beliau telah mencapai Nibbana. Para bhikkhu keheranan, bagaimana mungkin seseorang yang telah melakukan begitu banyak pembunuhan dapat mencapai Nibbana. Sang Buddha menjawab bahwa pada masa yang lampau, karena bimbingan yang kurang baik, Angulimala telah melakukan perbuatan-perbuatan buruk namun kemudian ketika Beliau mendapat bimbingan yang baik, Beliau menjalani kehidupan suci. Dengan demikian Beliau dapat mengatasi perbuatan buruk dengan perbuatan baiknya. Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan syair :

"Mereka yang dapat mengatasi perbuatan buruk mereka dengan perbuatan baik, menyinari dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan." (Dhammapada 173).


Paritta Angulimala

Yatoham bhagini ariyaya
Jatiya jato
Nibhijanami sancicca
Panam jivita voropeta
Tena saccena sotthi te
Hotu sotthi gabbhassa.

Saudari, sejak dilahirkan sebagai seorang Ariya
Aku tidak ingin dengan sengaja pernah membunuh suatu makhluk hidup apa pun
Dengan pernyataan yang benar ini, semoga anda selamat
Semoga bayi dalam kandungan anda selamat.

Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Wanita Pengemis yang Memberikan Pakaian

Pada suatu ketika Sang Bhagawan berdiam di Sravasti di biara Jetavana Taman Anathapindika, membabarkan Dhamma kepada kumpulan besar bhikkhu. Pada saat itu lahirlah seorang anak perempuan dari istri perumah tangga yang menarik dan cantik. Karena pada saat lahir, anak tersebut dibungkus dengan kain putih halus, orangtuanya, terkejut, membawa dia ke peramal.

Peramal itu mengamati anak kecil dan berkata, "Anak perempuan ini diberkahi dengan kebajikan yang besar."

Dan memberinya nama Suci. Seiring dengan pertumbuhannya,pakaiannya juga ikut membesar mengikuti ukuran tubuhnya.

Setelah anak perempuan ini dewasa, banyak yang meminangnya,dan orang tuanya mencari emas dan perak untuk hiasan perkawinannya.

Melihat ini, anak perempuan itu berkata, "Ayah dan ibu, apa yang akan kalian lakukan dengan semua emas dan perak ini?"

Ketika diberitahu bahwa itu akan dibawa ke tukang emas untuk membuat hiasan pernikahannya, dia berkata, "Saya tidak memiliki keinginan untuk menikah, saya tidak berharap untuk berumah tangga."

Orang tuanya menyetujui keinginan anak perempuan ini dan mengemas pakaiannya yang dipersiapkan untuk jubah biara.

Ketika anak perempuan bertanya apa tujuan pakaian itu dan mereka memberitahunya bahwa itu untuk jubah, dia berkata,"Saya memiliki sebuah jubah. Tidak perlu lagi jubah yang lain. Bawalah aku sekarang kepada Buddha, saya mohon kepada kalian."

Ketika orang tuanya mengantarkan dia ke Buddha, dia bersujud di kakiNya dan memohon untuk mendekat. Ketika Bhagava berkata, "Selamat Datang."
Rambutnya rontok semua dan jubah putih yang dia kenakan menjadi jubah dengan 5 bagian. Anak perempuan itu menjadi seorang pemula dan ditempatkan di bawah bimbingan Mahaprajapati. Karena ia sangat rajin, dalam waktu singkat dia menjadi seorang Arahat.

Ananda berkata kepada Buddha,"Bhagava, perbuatan bajik apa yang telah dilakukan Bhikkhuni ini sehingga ia dilahirkan dengan sebuah pakaian putih dalam rumah seorang perumah tangga, begitu cepat menjadi seorang Arahat?"

Buddha berkata, "Ananda, dimasa lampau, ketika Buddha yang bernama Pelindung Kebajikan dan murid-muridnya datang ke bumi untuk memberikan berkah kepada semua makhluk, semua orang membuat persembahan yang besar.

Pada saat itu, demi kepentingan banyak makhluk dan memperdengarkan Dharma, seorang bhikkhu berusaha mendorong orang lain untuk memberikan persembahan.

Pada saat itu ada seorang pengemis wanita yang bernama Daniska yang bersama suaminya hanya memiliki sepotong baju untuk pakaian mereka. Ketika sang suami pergi untuk mengemis, dia menggunakan pakaian itu dan sang istri berbaring, kemudian menutupi tubuhnya dengan rumput.

Ketika sang istri pergi keluar untuk mengemis, dia yang menggunakan baju itu sedangkan suaminya berbaring, kemudian menutupi tubuhnya dengan rumput.
Di suatu kejadian, seorang bhikkhu menghampiri rumah pasangan itu dan, melihat wanita itu, berkata, “Oh wanita,pergilah untuk memberi hormat kepada Buddha! Dapatkanlah kebajikan!”

Dia kemudian memuji kebajikan dari memuji, menolak ketamakan, dan melanjutkan, “Oh wanita, untuk bertemu dengan seorang Buddha di bumi adalah tidak mudah. Untuk memperoleh tubuh manusia adalah tidak mudah.

Mengapa kamu tidak memberikan penghormatan kepada Buddha?”
Wanita itu berkata, “Bhante muda, tunggulah disini sebentar,
saya akan masuk sebentar dan kembali lagi.”

Memasuki rumah, ia berkata kepada suaminya, “Seorang bhikkhu ada di depan pintu kita. Dia berkata bahwa seseorang seharusnya pergi menghormati Buddha mendengar Dhamma, dan memberikan persembahan.

Di kehidupan sebelumnya, kita tidak murah hati, dan ini adalah alasan mengapa kita sekarang menjadi pengemis. Kita harus membuat persediaan untuk kehidupan selanjutnya.”Sang suami menjawab, “Kita harus, benar-benar,memberikan persembahan, tapi karena kita adalah pengemis dan tidak memiliki apapun, apa yang dapat kita berikan?”

Wanita itu menjawab, “Jika benar bahwa kita tidak pernah memberikan apapun pada kehidupan sebelumnya sehingga kita menjadi pengemis, jika kita tidak memberikan apapun sekarang, apa yang akan menjadi takdir kita di kehidupan selanjutnya? Saya harus memberikan sesuatu dan engkau harus bahagia.”

Pria itu mengetahui bahwa hanya ada satu barang yang bisa diberikan, tetapi berkata, “Jika kamu memiliki sesuatu untuk diberikan, berikanlah. Tetapi kita tidak memiliki apapun untuk dipakai ketika kita pergi mengemis, dan mengemis adalah jalan kita satu-satunya untuk hidup.”

Wanita itu berkata, “Jika kita memberikan pakaian itu dan kemudian meninggal, apa ruginya? Pada kehidupan sekarang, kita tidak memiliki apapun, dan akan ada buah baik pada kehidupan selanjutnya. Saya berpikir jika kita memberikan persembahan ini dan meninggal, kita akan beruntung.”

Sang suami ragu-ragu untuk melakukan hal ini, tetapi berkata, “Baik, lakukanlah apa yang kau inginkan.”Wanita itu segera pergi menghadap bhikkhu dan berkata kepadanya, “Bhante, jangan melihat kearah saya. Saya akan memberikan sebuah persembahan.” Bhante itu menjawab, “Ketika seseorang memberikan persembahan, itu harus diberikan secara terbuka dengan tangannya. Jika kamu melakukan hal ini saya akan memberkati kamu dengan sebuah syair.”Wanita itu berkata, “Saya hanya memiliki pakaian ini yang menutupi tubuhku dan ini akan menjadi persembahanku.

Bagaimana engkau seorang bhikkhu yang mulia, melihat tubuh kotorku ini? Saya akan memberikan kepadamu dari dalam rumah.”

Ia masuk kedalam rumah, melepaskan pakaiannya dan memberikannya kepada bhikkhu yang mengambil pakaian itu, memberikan wanita itu berkah, dan pergi kepada Buddha.

Buddha berkata, “Pakaian ini diberikan oleh seorang wanita.”Ketika bhikkhu telah mempersembahkan pakaian itu kepada Buddha dan dia mengambil di tangannya, kumpulan orang-orang itu berpikir, “Seorang Raja seharusnya tidak pernah memegang kain yang tua dan kotor dengan tangannya.”

Mengetahui pikiran mereka, Buddha berkata, “Tidak pernah ada sebelumnya persembahan kepada Sangha yang lebih murni daripada ini.”

Oleh karena itu, orang-orang terkejut. Istri raja, kemudian,melepaskan jubahnya dan permata dan memberikannya kepada wanita pengemis itu. Sang raja juga mengirimkan permata kepada pengemis itu dan memerintahkan dia dan istrinya untuk bergabung dalam perkumpulan tersebut.

Ketika Buddha Sang Pelindung, Sang Penolong, telah mengajarkan Dharma Sempurna, banyak diantara mereka yang hadir terbebaskan.”

Kemudian Buddha berkata kepada Ananda, "Ananda,bhikkhuni suci ini pada saat itu adalah wanita pengemis. Karena ia memberikan, sepotong pakaian, dalam keyakinan yang besar, dia terlahir dengan menggunakan pakaian dan diberkahi harta benda selama 61 kalpa. Karena dia meminta Dharma Sempurna dan Kebahagiaan dari Kebebasan, dia sekarang bertemu saya dan mencapai tingkat kesucian Arahat. Kalian semua, oleh karena itu, mendengarkan Dharma dan berusaha untuk memberikan persembahan."

Ketika perkumpulan orang itu telah mendengar kata-kataBuddha, mereka percaya dan bersuka cita.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline gryn tea

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.203
  • Reputasi: 34
  • Gender: Female
  • SABBE SANKHARA ANICCA
Yg perdebatan ama org skeptik dunk
Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tdk b'manfaat kata-kata mutiara yg diucapkan oleh org yg tdk melaksanakannya

Offline gryn tea

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.203
  • Reputasi: 34
  • Gender: Female
  • SABBE SANKHARA ANICCA
Izin copas
Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tdk b'manfaat kata-kata mutiara yg diucapkan oleh org yg tdk melaksanakannya

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Yg perdebatan ama org skeptik dunk

kisah apa ya itu? saya malah belum punya dan baca kisahnya, silahkan diposting di thread ini saja kalau anda punya :)
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya

 _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
PAYASI SUTTA

Sumber: Aneka Sutta - Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda 1992


bagian 1

Pada suatu Ketika, Ayasma Kumara Kassapa Sedang mengembara dari kota ke kota di negara Kosala, dengan diiringi lima ratus orang bhikkhu, dan tibalah mereka di sebuah hutan dekat kota Setavya. Di kota Setavya juga bertempat tinggal seorang raja muda, panglima perang, yang bernama Payasi. Payasi ini menganut pandangan (keliru) sebagai berikut :

"Tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir secara spontan (opapatiko), tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk."

Ketika mendengar bahwa Ayasma Kassapa berdiam di hutan dekat kota Setavya, Payasi memutuskan untuk pergi menjumpainya. Setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, Payasi lalu memberitahukan Ayasma Kassapa tentang pandangannya yang sudah dikenal oleh khalayak ramai.

Ayasma Kassapa menjawab : "Akupun sudah mendengar tentang hal itu. Tetapi bagaimanakah orang dapat mempunyai pandangan seperti itu? Apakah anda mungkin mempunyai alasan-alasan tertentu?"

"Memang demikian halnya," jawab Payasi, dan kemudian melanjutkan : "Kawan-kawanku, keluargaku dan saudara-saudaraku yang biasa membunuh, mengambil barang-barang yang tidak diberikan (mencuri), pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, pada suatu hari sakit payah dan sangat menderita. Ketika aku mendengar ajalnya akan segera tiba, aku memerlukan menjenguknya untuk menitipkan pesan : 'Saudaraku yang tercinta. Para pertapa dan bhikkhu percaya bahwa siapa yang suka membunuh, mencuri, melakukan perbuatan asusila, berdusta, memfitnah, suka bertengkar dan berbicara hal-hal yang tidak berguna, pikirannya penuh keserakahan, kebencian dan kegelapan batin; kalau kelak mereka meninggal dunia dan badan jasmaninya hancur, roh mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Dan begitu pulalah kehidupan saudaraku. Kalau sekiranya ucapan para pertapa dan bhikkhu itu benar dan saudaraku betul-betul masuk ke dalam neraka, aku mohon dengan sangat agar saudaraku mau kembali lagi ke dunia untuk memberi kabar kepadaku : 'Memang benar ada dunia lain,...'

Saudaraku yang tercinta. Aku percaya penuh kepada Anda; apa yang Anda lihat sama juga seperti aku melihatnya sendiri. Mohon dengan sangat agar harapanku tidak sia-sia hendaknya. Dengan kata-kata : 'Tentu saja tidak', ia dengan khikmat berjanji kepadaku. Tetapi kenyataannya tidak seorangpun pernah kembali untuk memberi kabar kepadaku. Inilah salah satu sebab yang memperkuat pandanganku."
Setelah mendengar uraian tersebut, Ayasma Kassapa lalu menceritakan satu perumpamaan tentang penjahat dan algojonya.

"O, Payasi, andaikata pada suatu hari seorang penjahat dibawa kehadapan Anda dan Anda diminta untuk mengadilinya; dan Anda memerintahkan agar penjahat itu dipenggal lehernya sekarang juga. Andaikata penjahat itu memohon kepada algojo agar pelaksanaan hukuman ditunda dulu hingga ia sempat memberi kabar kepada kawan-kawannya dan keluarganya. Apakah menurut pendapat Anda, algojo itu mau menunda pelaksanaan hukuman orang itu ataukah ia segera melaksanakan hukuman mati tersebut?"

Payasi harus mengakui bahwa algojo pasti tidak mau meluluskan permohonan penjahat itu.
"Nah, Payasi yang terhormat. Kalau seorang penjahat tidak diberi ampun oleh algojo di dunia ini, apakah Anda mengira bahwa kawan-kawan Anda yang terdiri dari pembunuh, pencuri, orang cabul, pendusta, pemfitnah dan yang suka omong kosong, pikirannya penuh dengan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin dapat diberi ampun?

Setelah meninggal dunia,  mereka akan melalui sebuah lorong gelap masuk ke dalam neraka. Di neraka mereka memohon kepada para algojo dengan kata : 'Mohon dengan hormat kepada Bapak Algojo agar sudi menunda dulu pelaksanaan hukuman kami hingga kami dapat memberi kabar kepada raja muda Payasi di dunia, bahwa setelah mati memang ada dunia lain (halus).' Apakah Anda berpendapat bahwa para algojo mau meluluskan permintaan mereka?"

Karena Payasi rupa-rupanya masih belum dapat diyakinkan, maka Ayasma Kassapa lalu menanyakan tentang kemungkinan masih ada sebab-sebab lain.Atas pertanyaan ini Payasi menceritakan, bahwa iapun mempunyai kawan dan sanak-keluarga yang belum pernah membunuh makhluk-makhluk hidup dan selalu melaksanakan tata hidup yang saleh dan terpuji.Kepada merekapun diminta untuk memberi kabar setelah mereka mati dan kelak masuk sorga. Tetapi mereka tidak pernah kembali atau kirim berita.

"Baiklah, Panglima yang terhormat. Sekarang aku ingin menceritakan sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dapat menangkap arti yang sesungguhnya dari suatu kotbah.

Andaikata ada orang yang terjatuh ke dalam jamban dan Anda memerintahkan budak Anda untuk menariknya keluar dari jamban tersebut. Lalu orang itu disikat dan dicuci bersih, kemudian disiram tiga kali dengan minyak wangi, rambut serta janggutnya disisir rapi, diberi pakaian bagus dan dibawa ke sebuah istana di mana ia dapat menikmati kesenangan dari kelima indriyanya.
Sekarang aku ingin bertanya : Apakah orang itu ingin kembali ke dalam jamban? Mengapa tidak? Jamban adalah kotor dan berbau busuk, memualkan, mengerikan dan memperlihatkan perbedaan seorang manusia biasa dari seorang dewa.

O, Payasi yang baik. Dari jarak seratus mil bau seorang manusia dapat mengusir para dewa. Bagaimana mungkin sahabat-sahabat Anda yang menyukai kehidupan saleh dan sekarang masuk ke sorga, ingin kembali ke dunia untuk memberi kabar kepada Anda : 'Memang benar terdapat suatu dunia lain (halus), memang benar terdapat tumimbal lahir spontan ...."

"Selain dari itu", Ayasma Kassapa melanjutkan : "kalau kita di dunia ini satu abad, di alam sorga dari Tigapuluh Tiga Dewa berarti satu hari satu malam. Tiga puluh malam demikian itu merupakan satu bulan, dua belas bulan merupakan satu tahun; dan kehidupan di alam Tigapuluh Tiga Dewa tersebut berlangsung selama seribu tahun yang demikian itu.

Nah, kawan-kawan serta sanak keluarga Anda yang tidak pernah membunuh makhluk hidup, tidak pernah berdusta, ... setelah badan jasmani mereka hancur pasti masuk ke alam sorga.

Andaikata mereka berpikir : 'Setelah kami berdiam di alam sorga ini untuk dua atau tiga hari dan menikmati dulu kesenangan kelima indriya kami, maka kami baru kembali ke dunia untuk memberitahukan Payasi bahwa memang benar terdapat sebuah dunia lain (halus), bahwa tumimbal lahir spontan memang benar adanya dan menanam bibit serta memetik buahnya (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruknya merupakan kenyataan.' Apakah mereka dapat melaksanakan apa yang mereka pikir?"

"Tentu saja tidak", jawab Payasi, "sebab kami semua pasti sudah meninggal dunia. Tetapi, Ayasma Kassapa, siapakah yang memberitahukan Anda tentang adanya alam dari Tigapuluh Tiga Dewa dan bahwa mereka dapat hidup sampai sekian lama? Aku menyesal harus tidak percaya apa yang Anda katakan."

Ayasma Kassapa lalu menjawab ; "O, Payasi, Anda mirip dengan seorang yang sejak lahir buta matanya, seorang yang tidak dapat melihat benda-benda yang berwarna hitam, putih, biru, kuning, merah atau hijau; tidak dapat melihat apa yang sama dan apa yang tidak sama; tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Orang itu kemudian berkata :'Aku tidak tahu tentang hal itu; aku tidak melihat apa-apa, karena itu benda-benda tersebut tidak mungkin ada.'

Cobalah Anda pikir, apakah orang buta yang mengucapkan kata-kata tersebut di atas, mengatakan sesuatu yang benar?"
"Tentu saja tidak", jawab Payasi.

"Nah, demikianlah sebenarnya keadaan Anda, Payasi yang terhormat. Anda mirip dengan seorang yang sejak dilahirkan buta matanya. Ketahuilah bahwa alam halus tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

Para pertapa dan bhikkhu yang hidup menyepi dan melakukan meditasi untuk waktu yang lama, telah melatih mata batin mereka sehingga dapat melihat hal-hal yang tidak terlihat dengan mata biasa. Dengan mata batin mereka dapat melihat dunia ini dan juga alam halus dan mereka yang bertumimbal lahir secara spontan.

Payasi masih saja belum dapat diyakinkan dan memberi bantahan baru, bahwa melihat para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan selalu mempunyai itikad baik; tetapi mereka memilih untuk tetap hidup dan tidak ingin cepat-cepat mati. Mereka tetap ingin menikmati hidup dan membenci kematian. Karena itu aku berkata kepada diriku : "Kalau saja para pertapa dan para bhikkhu yang terhormat itu benar-benar tahu bahwa keadaan mereka setelah mati akan menjadi lebih baik, maka pastilah sekarang juga mereka akan minum racun atau membunuh diri dengan menggunakan senjata tajam atau menggantung diri atau menjatuhkan diri mereka dari atas batu karang yang tinggi. Tetapi justru karena sangsi, apakah mereka kelak setelah mati dapat masuk sorga, maka mereka memilih untuk hidup lebih lama dalam dunia ini dan tidak ingin cepat mati; mereka memilih hidup senang dan mengelakkan penderitaan."

Inilah sebab lain lagi, sehingga aku percaya bahwa dunia halus tidak ada dan tumimbal lahir secara spontan tidak ada,..."
Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah perumpamaan dari seorang yang mempunyai dua orang istri. Istri pertama mempunyai anak laki-laki berumur duabelas tahun, sedang istri kedua sedang hamil ketika suaminya meninggal dunia.

Setelah ayahnya meninggal dunia, anak laki-laki itu menagih warisan kepada istri kedua dari mendiang ayahnya. Atas tagihan ini istri kedua mohon ditunda dulu sampai bayi yang sedang dikandungnya itu lahir. Kalau bayi itu seorang anak laki-laki, maka bayi laki-laki itu berhak atas sebagian warisan ayahnya. Kalau bayi itu perempuan, maka warisan itu seluruhnya akan menjadi milik si anak laki-laki dari istri pertama. Tetapi si anak laki-laki itu tak sabar menanti dan terus-menerus mendesak. Karena kesal, istri kedua itu lalu masuk ke kamarnya dan membedah perutnya sendiri untuk melihat apakah bayi yang sedang dikandungnya itu laki-laki atau perempuan. Dengan demikian tentu saja ia kehilangan nyawa bayinya, kehilangan nyawanya sendiri dan kehilangan bagian dari warisan mendiang suaminya.

Dengan cara yang sama, Payasi yang terhormat, Anda akan mengalami malapetaka hanya karena keingintahuan Anda tentang alam halus. Para pertapa dan bhikkhu yang saleh dan mempunyai itikad baik tidak akan memetik buah yang belum matang. Lagi pula, lebih lama mereka hidup di dunia ini, lebih banyak dapat mereka manfaatkan hidup mereka untuk kepentingan para manusia dan para dewa. Ini merupakan bukti pula, Payasi, bahwa memang terdapat dunia lain..."
Namun Payasi masih mempunyai alasan lain untuk membela pendiriannya. Ia mengatakan bahwa ia pernah menyuruh membakar seorang penjahat sampai mati dalam sebuah tempayan besar yang ditutup rapat dan disegel. Sesudah itu dengan hati-hati ia menyuruh buka tempayan itu, tetapi tidak ada roh yang tampak keluar dari tempayan tersebut.

bersambung ke bagian 2..
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
bagian 2..

Ayasma Kassapa lalu bertanya kepada Payasi apakah ia pernah mimpi waktu tidur.
"Sering", jawab Payasi. "Siang hari ini aku mimpi tentang sebuah taman yang indah, juga sebuah hutan dengan pemandangan alam yang menarik dan laut yang tenang."

"Akan tetapi", Ayasma Kassapa bertanya : "Apakah Anda ketika itu dijaga oleh badut-badut istana, orang-orang kerdil istana, dayang-dayang yang ditugaskan untuk mengipas dan gadis-gadis lain? Apakah mereka tidak melihat roh Anda keluar dari badan Anda? Demikian pula, mana mungkin Anda dapat melihat roh yang masuk dan keluar dari orang yang sudah mati?"

Tetapi Payasi masih memiliki alasan lain untuk membenarkan pandangannya. Ia pernah menyuruh untuk menimbang seorang penjahat ketika masih hidup dan kemudian memerintahkan para algojo untuk menjirat leher penjahat itu sampai mati. Setelah mati mayatnya kembali ditimbang. Dan ternyata bahwa ketika masih hidup timbangannya lebih ringan dibandingkan dengan ketika sudah menjadi mayat. Karena itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa tidak ada sesuatu yang hilang, bahkan rohpun tidak.

Ayasma Kassapa lalu membuktikan, bahwa jalan pikiran yang demikian itu salah dengan menuturkan cerita tentang sebuah bola besi.
"Bila sebuah bola besi dibakar sampai membara, maka timbangannya akan berkurang dibandingkan ketika masih belum dibakar. Begitu pula bila seorang manusia masih hidup, masih berhawa panas dan memiliki kesadaran, ia akan lemas dan lebih ringan daripada sesosok tubuh manusia yang mati, dingin dan tidak memiliki kesadaran lagi. Tubuh ini akan menjadi kaku dan berat."

Payasi lalu bercerita tentang suatu percobaan lain.
Seorang penjahat dihukum mati tanpa merusak kulit, daging dan tulang atau sumsum. Setelah orang itu mati, Payasi memerintahkan orang-orangnya untuk membaringkan mayat itu terlentang lalu menelungkup, miring, dan ditaruh dengan kepala di bawah. Setelah itu digosok-gosok, dipukul dengan batu, disikat dengan kayu lalu dengan pisau. Namun yang hadir tak dapat melihat ada roh yang keluar dari mayat itu.

Ayasma Kassapa lalu menceritakan sebuah kisah dari seorang peniup suling keong yang mengembara ke suatu negara asing, di mana para penduduknya belum pernah melihat orang meniup suling keong. Ia meniup tiga kali lalu meletakkan keong itu disampingnya. Penduduk setempat berduyun-duyun datang untuk melihat keong tersebut. Mereka miringkan keong itu ke kiri, kemudian ke kanan; mereka menggosok-gosok, menekan-nekan dan mengocok-ngocok, tetapi tidak ada suara yang keluar dari keong tersebut.
Akhirnya dengan tertawa peniup suling itu mengambil keong tersebut dan meniup tiga kali. Para penduduk setempat sekarang tahu bahwa hanya dengan ditiup keong itu dapat mengeluarkan suara.

Demikian pula halnya dengan tubuh manusia. Digabung dengan kehidupan, digabung dengan hawa panas, digabung dengan kesadaran, tubuh seorang manusia dapat berjalan, berdiri, duduk, berbaring, melihat bentuk-bentuk dengan mata, mendengar suara dengan telinga, mencium wewangian dengan hidung, menyentuh dengan jari tangan serta merasakan benda-benda dengan badan dan dapat mengerti paham dengan pikiran. Tetapi kalau tubuh kosong dari kehidupan, hawanya tidak lagi panas dan tidak lagi bergabung dengan kesadaran, maka tubuh itu tidak lagi dapat berjalan, berdiri.... Ini merupakan bukti pula untuk Anda, bahwa seyogyanya Anda harus percaya bahwa ada dunia lain...

Sekali lagi Payasi menceritakan Ayasma Kassapa tentang percobaan lain yang ia lakukan untuk menemukan roh manusia.
Ia memerintahkan membedah seorang penjahat dengan cara memotong kulitnya, dagingnya, tulangnya dan sumsumnya, tetapi lagi-lagi tidak dapat ditemukan roh yang dicari.

Dalam hubungan ini Ayasma Kassapa menceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang pemuja api yang telah memungut seorang anak yatim piatu yang ditinggal dari sebuah kafilah. Ketika anak itu berumur duabelas tahun, pemuja api itu (yang juga seorang pertapa) ingin berkelana untuk beberapa waktu lamanya. Ia memesan kepada anak itu untuk menjaga api baik-baik dan jangan sampai padam. Tetapi kalau padam ia harus menyalakan kembali dengan menggosok-gosok dua batang kayu terus-menerus hingga keluar api.

Ketika pertapa itu sudah pergi, anak itu sepanjang hari terus-menerus bermain, sehingga api pujaan benar-benar padam. Anak itu ingat apa yang dikatakan ayah angkatnya, tetapi lupa cara menggunakan alat pembangkit api tersebut. Batang kayu itu dipotong-potong menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian ditumbuk dalam sebuah lumpang. Tentu saja dengan cara itu ia tidak dapat menyalakan api. Ketika ayah angkatnya pulang dan melihat api pemujaan padam, ia lalu mengambil dua batang kayu dan digosok-gosok terus-menerus hingga panas dan akhirnya keluar api.

"O, Payasi, dalam hal yang sama adalah bodoh untuk mencari dunia halus dengan memakai cara yang salah seperti yang Anda lakukan hingga kini. O, Payasi, lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda tidak tertimpa malapetaka dan penderitaan."
"Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan tersebut. Raja Pasenadi dari Kosala dan semua raja tahu, bahwa Payasi memiliki pandangan tersebut. Yaitu, bahwa tidak ada dunia lain (halus), tidak ada tumimbal lahir dengan spontan dan tidak ada penanaman bibit dan pemetikan buah (hasil) dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk. Kalau sekarang aku melepaskan pandangan tersebut, tentu saja mereka akan berkata : 'Sungguh bodoh Payasi itu dan ia sangat bebal untuk diberi pengertian. Untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaan (gengsi) dan sebagai tipu daya aku akan terus menerus menganut pandanganku tersebut."

"Kalau demikian halnya", berkata Ayasma Kassapa, "aku akan menceritakan lagi sebuah perumpamaan, yang dari padanya banyak orang pintar dengan jelas dapat melihat arti dari suatu persoalan.

Pada suatu ketika sebuah kafilah yang terdiri dari seribu kereta melakukan perjalanan dari negara Timur ke negara Barat. Dimanapun mereka tiba, biasanya rumput, air, rumput kering dan makanan habis terkuras. Karena itu mereka memutuskan untuk memecah kafilah mereka menjadi dua rombongan dari lima ratus buah kereta yang masing-masing dikepalai seorang kepala rombongan.

Kafilah pertama berangkat lebih dulu dengan membawa cukup bekal rumput, air, rumput kering dan makanan. Baru saja berjalan beberapa hari lamanya mereka bertemu dengan hantu jahat yang menyamar sebagai manusia. Kulitnya hitam, matanya merah, rambutnya awut-awutan dan dihias dengan bunga lotus. Pakaiannya basah dan ia mengendarai sebuah kereta bagus yang roda-rodanya basah dan penuh lumpur. Ketika ditanya dari mana ia datang, ia menjawab dalam perjalanan dilanda hujan lebat. Jalanan menjadi berlumpur dan rumput, kayu serta air dapat dijumpai dalam jumlah yang berlimpah-limpah. Pemimpin kafilah itu lalu memerintahkan untuk membuang semua persediaan rumput, kayu dan air, agar dapat berjalan lebih cepat karena lebih ringan. Mereka melanjutkan perjalanan satu hari, dua hari ... hingga enam hari. Tetapi mereka gagal menemui rumput, kayu atau air, sehingga pada hari ketujuh semuanya mati karena kehausan.

Hantu jahat lalu datang makan daging mereka, sehingga dari mayat-mayat orang dan binatang yang tertinggal hanya tulang-belulang saja.
Beberapa hari kemudian, kafilah kedua berangkat dengan membawa bekal rumput, kayu dan rumput kering dengan cukup. Baru berjalan beberapa hari, hantu jahat yang sama, dengan menyamar sebagai manusia, kembali mencegat perjalanan kafilah yang kedua dan menuturkan kisah yang sama. Kemudian ia membujuk agar semua persediaan rumput, kayu dan air dibuang saja. Tetapi pemimpin rombongan kafilah kedua ini adalah seorang cerdas dan berpengetahuan luas yang tidak begitu saja mau percaya omongan orang yang tidak dikenal. Ia memerintahkan melanjutkan perjalanan dan jangan membuang persediaan kayu, rumput dan air. Pada hari ketujuh mereka menjumpai reruntuk serta tulang-belulang dari kafilah yang pertama. Pemimpin rombongan lalu berkata : 'Kafilah ini telah musnah, karena kebodohan dari pemimpinnya. Sekarang tukarlah barang-barang yang kurang berharga dari keretamu dengan barang-barang yang lebih berharga yang dapat diketemukan dari kafilah pertama dan kemudian marilah kita lanjutkan perjalanan kita.'

Akhirnya tibalah mereka dengan selamat di tempat tujuan berkat pemimpin mereka yang pintar dan berpengetahuan luas. Begitu pulalah, Payasi, sebagaimana juga pemimpin rombongan kafilah pertama Anda akan hancur dengan mencari dunia lain (halus) dengan memakai cara yang salah. Lepaskanlah pandangan keliru Anda agar Anda kelak tidak mengalami celaka."
"Meskipun Ayasma Kassapa berkata demikian, namun aku tetap tidak mau melepaskan pandanganku tersebut untuk menjaga kewibawaan dan mencegah cemooh orang dan sebagai tipu daya", jawab Payasi.

Lalu Ayasma Kassapa menceritakan lagi sebuah perumpamaan dari seorang peternak babi yang dalam perjalanan pulang ke rumah dari sebuah kampung lain melihat timbunan besar kotoran yang sudah kering. Ia berpikir : "Kotoran ini merupakan makanan yang baik untuk babi-babiku." Kemudian ia membuat bungkusan besar dari kotoran kering tersebut dan dipikul di pundak untuk dibawa pulang. Tetapi dalam perjalanan pulang ia ditimpa hujan lebat, sehingga ketika tiba di rumah pakaian dan badannya basah kuyup dan berlumuran kotoran. Orang kampung yang melihat kejadian tersebut mentertawakan peternak itu atas ketololannya.
Peternak babi itu dengan marah menjawab : "Kamu sendiri yang tolol. Kotoran itu merupakan makanan baik untuk babiku!"

"Dalam hal yang sama Anda mirip dengan orang yang memikul kotoran itu, Payasi."
Tetapi Payasi tetap tidak mau melepaskan pandangannya yang keliru untuk mencegah cemoohan orang, untuk menjaga kewibawaannya dan sebagai tipu daya.

Ayasma Kassapa kemudian menceritakan sebuah kisah tentang dua orang pemain dadu. Salah seorang pemain setiap kali sebelum bermain memasukkan biji dadu ke dalam mulutnya dan ia selalu menang. Karena itu pemain kedua berkata kepadanya : "Kamu selalu menang. Marilah sekarang kita saling tukar biji dadu dulu."
Biji-biji dadu mereka ditukar. Pemain kedua lalu mengoleskan racun pada biji dadu tersebut. Kemudian mengajak mengajak pemain pertama untuk bermain dadu lagi. Biji-biji dadu mereka kembali ditukar. Seperti biasa ia memasukkan biji dadu itu sebelum bermain ke dalam mulutnya; dan tentu saja ia mati keracunan.

"Nah, Anda mirip dengan pemain dadu tersebut. Lepaskanlah pandangan keliru Anda, sehingga Anda kelak tidak mengalami celaka."
Tetapi Payasi tetap kukuh pada pendiriannya, sehingga Ayasma Kassapa terpaksa menuturkan sebuah perumpamaan lagi.

Karena sesuatu sebab, pada suatu hari seluruh penduduk dari sebuah kampung pergi mengungsi. Seorang penduduk kampung lain berkata kepada kawannya : "Hai kawan, mari kita mengunjungi kampung tersebut. Barangkali saja kita akan menemukan sesuatu yang berharga tertinggal di sana." Berangkatlah kedua kawan tersebut ke kampung yang telah kosong itu. Di sana mereka menemukan setumpuk rami. Mereka masing-masing lalu membuat dua ikatan besar, masing-masing memikul sebuah ikatan dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Tidak lama kemudian mereka menemukan tumpukan kulit kayu. Orang yang pertama mengatakan kepada kawannya : "Hai, kawan, lebih baik kita buang saja ikatan rami yang kita bawa sekarang dan menukarnya dengan kulit kayu ini yang lebih berharga." Tetapi kawannya menjawab, bahwa ia sudah puas dengan ikatan rami dan tidak ingin menukarnya dengan kulit kayu. Setelah itu mereka menemukan kemeja-kemeja berbulu, kemudia kain linnen. Seterusnya mereka menemukan timah putih, tembaga, perak dan akhirnya emas. Setiap kali orang yang pertama menukar bawaannya dengan yang lebih berharga, hanya kawannya dengan kukuh tetap saja memikul ikatan rami.

Akhirnya mereka tiba kembali di kampung tempat tinggal mereka. Orang yang memikul rami tidak disambut oleh istri, anak-anak dan kawan-kawan sekampung. Sebaliknya kawannya yang membawa pulang emas disambut dengan meriah oleh istrinya, anak-anaknya dan kawan-kawan sekampung, sehingga ia merasa bahagia sekali.

"O, Payasi, Anda mirip dengan si keras kepala yang memikul terus ikatan rami. Lepaskanlah pandangan Anda yang keliru dan janganlah menunggu ia kelak mengakibatkan Anda celaka!"

Akhirnya Payasi mengaku, bahwa sejak mendengar perumpamaan pertama ia sudah merasa gembira dan mengerti, namun ia ingin mendengar lebih banyak penjelasan dan keterangan. Karena itulah ia bersikeras dan tetap ingin berdebat dengan Ayasma Kassapa.

"Mengagumkan, Bhante, mengagumkan sekali! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata : 'Siapa yang punya mata, silakan melihat.' Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Bhante. Karena itu aku ingin mencari perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Mohon Bhante berkenan menerima diriku sebagai siswa mulai hari ini hingga meninggal dunia. Mohon dengan hormat Bhante memberikan petunjuk kepadaku yang dapat digunakan untuk kesejahteraan dan keselamatanku."
Ayasma Kassapa lalu meberikan petunjuknya.

"Apabila persembahan (dana) diberikan dengan jalan membunuh sapi, kambing, babi dan mahkluk-mahkluk lain, dan para pemberi dana masih dihinggapi pandangan salah dan pikiran salah, mengucapkan kata-kata salah, melakukan perbuatan dan mempunyai mata pencaharian salah, maka dana itu tidak bernilai tinggi, tak dapat membawa kemajuan apa-apa, tidak cemerlang dan tidak bercahaya. Seperti juga halnya seorang petani, dengan membawa bibit dan luku, ingin menanam sesuatu di tanah buruk yang belum dibersihkan dari belukar berduri dan akar-akar. Kalau bibit itu kelak menjadi kering oleh hembusan angin dan teriknya sinar matahari, sedang hujan tidak kunjung turun untuk menyiram tanah yang kering itu. Apakah mungkin bibit itu dapat bersemi dan menjadi besar?"

"Tidak mungkin, Bhante."

"Sebaliknya, Payasi. Apabila persembahan (dana) diberikan dengan tidak membunuh binatang-binatang dan para pemberi dana memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar; persembahan (dana) demikian itu membawa pahala besar sekali, bercahaya, cemerlang dan bersinar hingga jauh. Kalau seorang petani menanam bibit di tanah subur dan hujan sewaktu-waktu turun, apakah bibit itu akan bersemi dan dapat menjadi besar kelak? Dan apakah Pak Tani itu tidak akan mendapat panen yang baik?"

Payasi, setelah pandangan kelirunya diluruskan oleh Ayasma Kassapa, setelah wafat masuk dalam alam sorga dari Empat Raja Dewa.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.

[Dhammapada IV : 50] - Puppha Vagga
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.

[Dhammapada IX : 127] - Papa Vagga


Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

[Dhammapada XII : 165] - Atta Vagga


Ada yang lebih baik daripada kekuasaan mutlak atas bumi, daripada pergi ke surga, atau daripada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang suci yang telah memenangkan arus (sotapatti-phala).

[Dhammapada XIII : 178] - Loka Vagga
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

 

anything