Berikut ini update berita dari Jawa Pos.
LAPORAN:
Kardono Setyorakhmadi
Dari Bangkok, Thailand
15 Tewas, Termasuk Wartawan Jepang
YANGON - Aksi brutal semakin merajalela di Yangon, Myanmar, kemarin. Tidak menghiraukan kecaman dari seluruh dunia, rezim militer memperketat cengkeraman ke rakyat dengan melakukan segala cara untuk menghentikan aksi yang merongrong kekuasaan mereka.
Memasuki hari kesepuluh aksi yang dimotori para biksu Buddha kemarin, pasukan rezim militer semakin terang-terangan menembaki dengan senjata otomatis rakyatnya yang menolak perintah menghentikan aksi unjuk rasa. Penggeledahan dan penangkapan terjadi di seluruh negeri, termasuk di biara suci dan asrama para biksu, yang sepuluh hari terakhir memimpin perlawanan.
Sampai berita ini diturunkan, korban tewas sudah mencapai 15 orang. Ribuan lain terluka. Rezim militer Myanmar menyebutkan, jumlah korban tewas sembilan orang dan sebelas terluka. "Selain itu, 31 pasukan pemerintah juga terluka dalam upaya mengendalikan situasi," ujar Ye Htut, juru bicara pemerintah, tadi malam.
Kekacauan kemarin juga menewaskan seorang warga Jepang. Korban pertama warga asing itu ditemukan tergeletak di jalan raya Rangon dengan tubuh penuh darah karena luka tembakan. Kematian warga Jepang itu sudah dikonfirmasi Kementerian Luar Negeri Myanmar ke Kedutaan Jepang di Yangon.
Dalam pernyataan resmi Kedubes Jepang tadi malam, disebutkan bahwa warga Jepang yang tewas adalah Kenji Nagai, 50, kamerawan kantor berita Jepang APF News. Dia baru Selasa (25/9) tiba di Yangon. Kepastian identitas Kenji didapat setelah ayahnya dan perwakilan APF membenarkan foto korban tewas adalah anak dan karyawan mereka.
Kematian Kenji langsung mengundang reaksi keras pemerintah Jepang. Menteri Sekretaris Kabinet Nobutaka Machimura mengecam keras junta militer. "Kami menyampaikan protes keras ke pemerintah Myanmar dan menuntut adanya investigasi tuntas serta jaminan perlindungan penuh atas warga Jepang di Myanmar," tegas Machimura seperti dikutip dari Kantor Berita Kyodo tadi malam.
Keamanan warga asing di Myanmar memang terancam. Kedubes Inggris di Yangon menyebutkan, tentara dengan senjata berat berkeliling ke kompleks diplomat untuk mencari kemungkinan aksi penyusupan untuk meminta suaka ke kedutaan asing. Sebuah hotel yang menjadi penginapan wartawan asing di Yangon selalu dikepung aparat. "Beberapa di antara tentara melakukan provokasi dengan menggedor kamar hotel," ujar koresponden BBC.
Kebiadaban pasukan keamanan junta militer Myanmar terjadi saat matahari belum menyingsing pada Kamis (27/9). Seorang biksu mengungkapkan, pasukan menyerbu biara biksu Buddha pada dini hari saat kelompok yang dianggap rakyat Myanmar sebagai orang suci itu sedang beristirahat. "Mereka datang tiba-tiba. Kaca jendela dipecahkan dan seluruh biksu di dalam biara diangkut dengan truk tentara," ungkap saksi tersebut.
Seorang biksu lain di Biara Ngwe Kya Yan menunjukkan bercak-bercak darah di lantai. Dia mengungkapkan bahwa selama penyerbuan, para biksu dipukuli dan sedikitnya 70 di antara 150 penghuni diseret ke mobil-mobil tentara. Selain itu, beberapa kali terdengar suara letusan senjata api. "Saya melihat selongsong-selongsong peluru berceceran dan sandal berlumuran darah di lapangan biara setelah penyerbuan," ungkapnya. Saksi mata tersebut tidak mau namanya diungkapkan karena takut menjadi sasaran pembalasan.
Seorang perempuan biksu (biksuni) juga mengungkapkan adanya penyerbuan dan penangkapan di Biara Moe Gaung yang saat itu sedang dijaga oleh tentara. "Bahkan, seorang biksu yang sedang sakit pun juga dibawa," ujar saksi tersebut.
Juru bicara kelompok perlawanan National Coalition Government (NCG) of the Union of Burma Zin Linn yang ditemui wartawan koran ini di Bangkok kemarin mengungkapkan, penyerangan yang dilakukan tentara pun sangat sistematis. "Di tiap biara ada sekitar 200 tentara yang tiba-tiba datang, kemudian melempar bom gas air mata ke dalam kuil. Di tengah situasi panik, sepasukan tentara masuk, mencari pemimpinnya, dan menyerang yang lain," ujar Zin yang mengaku selalu mendapatkan pasokan informasi perkembangan di Myanmar dari anggota mereka yang bergerak di Yangon.
Aksi brutal tentara di tempat suci tersebut akhirnya memicu bentrok terbuka antara polisi dan tentara junta militer dengan para biksu serta rakyat Myanmar di pihak lain. Di Kuil Ngwe-kya-yan, tentara yang menyerbu dikepung sekitar 2.000 penduduk Yangoon. Para tentara itu berhasil lolos dari kepungan setelah secara brutal menembakkan senjata ke kerumunan warga.
Zin juga mengatakan bahwa untuk mematahkan aksi perlawanan, junta militer memutus hubungan listrik ke sejumlah tempat yang menjadi basis para demonstran. Selain itu, obat-obatan di sejumlah rumah sakit pemerintah ditarik. "Jadi, korban luka-luka yang ada hanya dirawat ala kadarnya di klinik-klinik kecil atau bahkan rumah-rumah penduduk. Saya tak bisa memastikan jumlahnya, namun yang jelas korban luka-luka mencapai ribuan," jelas Zin yang ditemui di markasnya kemarin (27/9) sore.
Selain itu, rezim militer Myanmar telah menyiapkan plot kotor. "Dari sumber-sumber kami di Yangoon, rezim militer menyiapkan sekitar 500 penjahat. Mereka dipakaikan seragam biksu dan diperintahkan untuk menyerang komunitas muslim di sana," ungkapnya. Harapannya, lanjut Zin, tercipta konflik horizontal antara komunitas Buddha dan muslim di Myanmar.
Bukan hanya tempat basis perlawanan biksu yang diberangus pasukan junta militer. Lewat tengah malam kemarin, pasukan keamanan juga menahan Myint Thein, juru bicara Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan tokoh oposisi prodemokrasi, Aung San Suu Kyi. Pimpinan lain NLD, Hla Pe, dan mantan anggota parlemen dari etnis minoritas Chin, Pu Yin Shin, juga ditangkap.
Seperti diberitakan, gejolak di Myanmar dua hari terakhir dipicu keputusan pemerintah menaikkan harga BBM hingga 500 persen. Kebijakan itu memicu kekecewaan rakyat dan menjadi aksi perlawanan setelah para biksu ikut terlibat karena tentara mengasari mereka dalam unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM di Pakokku pada 5 September. Mereka lalu mengultimatum pemerintah untuk minta maaf atas kekasaran itu, namun tidak diacuhkan. Maka, pecahlah aksi yang lebih besar.
Meskipun junta militer Myanmar semakin biadab dengan korban rakyat terus bertambah, belum ada tindakan konkret dari dunia internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) hingga kemarin hanya mampu menyatakan keprihatinan atas tindakan keras pemerintah terhadap para biksu Buddha di Myanmar itu.
Tindakan lebih jauh adalah segera mengirimkan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon, Ibrahim Gambari, ke Myanmar usai pertemuan darurat. Melempemnya DK PBB itu tak lepas dari sikap Tiongkok dan Rusia yang memiliki kedekatan hubungan dengan Myanmar.
Tiongkok dan Rusia menyatakan bahwa situasi di Myanmar adalah urusan dalam negeri, tidak mengancam perdamaian dan keamanan internasional sehingga tidak memerlukan tindakan DK PBB. Negara lain yang memiliki hak istimewa di DK PBB, Prancis, AS, dan Jerman, sejauh ini hanya mengecam. "Kami tidak akan pernah menyetujui pengekangan terhadap oposisi Myanmar," tegas Presiden Prancis Nicolas Sarkozy setelah bertemu dengan kepala pemerintah Myanmar di pengasingan, Sein Win, di Paris, kemarin. Uni Eropa dan AS juga menahan untuk tak terlibat terlalu jauh dan berkali-kali menegaskan hanya melakukan aksi mereka dalam kerangka PBB.
Di lain pihak, sikap badan regional ASEAN tak lebih baik daripada PBB. Para menteri luar negeri (Menlu) ASEAN baru melakukan pertemuan hari ini untuk mendiskusikan kerusuhan berdarah di Myanmar yang merupakan salah satu anggota ASEAN. Seorang pejabat senior ASEAN yang tak mau disebutkan namanya menyebut krisis Myanmar memberi "noda" bagi ASEAN.
Di bagian lain, rakyat dari berbagai negara terus melakukan aksi keprihatinan. Aksi mengutuk tindakan junta militer terjadi di Sri Lanka, Indonesia, Filipina, London, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand. Hampir seragam, aksi tersebut dimotori kelompok rohaniwan dan pelajar Buddha. Aksi tersebut ditujukan kepada perwakilan Myanmar di negara-negara itu.
Kedutaan Besar Myanmar di Bangkok kemarin didemo sekitar 100 orang gabungan dari kelompok prodemokrasi Thailand dan Myanmar. Demonstran itu mendesak pemerintah Myanmar untuk segera mengembalikan hak demokrasi biksu dan rakyat Myanmar.