Nah... ini sebuah pandangan yang saya tahu pasti akan muncul.
Kalau ujung2nya nanti ada pernikahan yang tidak bahagia, saling menyiksa, terus cerai, menikah, cerai lagi dan sebagainya itu apakah menurut anda itu adalah sebuah pernikahan yang merupakan "pernikahan"? Bagi saya tidak. Hal itu menurut saya, pernikahan hanya sebagai bungkus saja sekaligus ketidakmampuan pribadi menyelesaikan masalah dan menentukan pilihan. Luarnya saja yang menikah, tapi tidak hatinya. Kalau pernikahan semacam ini jelas-jelas bukan pernikahan dan hubungan seks yang dilakukan dalam pernikahan semacam ini tentu adalah pelanggaran sila ketiga karena ada unsur paksaan dalam seks, dengan kata lain "pemerkosaan terselubung".
Kriteria pelanggaran sila ketiga juga adalah tidak menyakiti yang diajak berhubungan seksual, maka kalau hati tidak menikah, tentu hubungan seksual itu menjadi sesuatu yang bisa menyakitkan bukan? Padahal landasan berhubungan seks juga harus karena cinta kasih dan komitmen. mau sama mau antar objek yang memang tidak dilarang.
Menikah yang saya bicarakan di sini adalah menikah yangs esungguhnya, bukan terselubung sana sini. Setidaknya kalau misalnya seseorang cerai, mau menikah cerai berapa kali memang? Nah kalau gonta ganti pasangan seks sebelum menikah itu bisa berapa? Sebanyak yang seseorang mau kan? Mau one-night stand berapa kali pun ya ok2 aja. Maka dari itu jelas2 sex before married itu selain melanggar sila, juga dapat lebih memancing lobha untuk muncul.
Nah masalahnya kriteria / batasan2 mandiri dan masih dilindungi itu apa? Kalau cuma secara subjektif ya konyol.... bisa saja anak umur 12 tahun merasa dirinya mandiri....
Bagi bangsa India pada masa Sang Buddha, sangat jelas batasan antara mandiri dan tidak. Bagi mereka yang belum menikah dan berumah tangga, maka dikatakan masih belum mandiri dan di bawah perlindungan ortu, bagi yang telah menikah, ia mandiri dari ortu, tapi menjadi milik suaminya. Ini yang diambil oleh Sang Buddha. Ini dibenarkan pula oleh Guru Padmasambhava yang telah mencapai Anuttara Samyasambodhi dan emanasi dari Guru Sakyamuni sendiri.
Apalagi cinta kasih ortu pada anak itu begitu besar, maka kalau anak belum menikah, pasti ada rasa tanggung jawab untuk melindungi. Setua apapun anaknya, perasaan ortu pada anak takkan berubah. Kalau sudah benar-benar menikah, baru dianggap dewasa. Maka dari itu Ven. Shengyen mengatakan bahwa pernikahan / menikah adalah wujud kedewasaan seseorang dalam membina hubungan.
The Siddha Wanderer
Saya sudah tahu pasti komentar ini yang akan diberikan kepada saya...
Saya hanya menyajikan fakta bahwa pernikahan pun ternyata bisa menjadi sarana prostitusi terselubung. Dan perlu diketahui bahwa seks di luar nikah pun sebenarnya bisa saja penuh dengan komitmen.
Secara garis besar saya setuju dengan pendapat Anda bahwa menikah adalah lebih baik. Tetapi saya tidak melihat bahwa seks di luar nikah pasti merupakan pelanggaran sila ketiga dalam Pancasila Buddhis. Karena saya tidak menyatakan pasti melanggar, maka artinya memang ada beberapa case yang sebenarnya melanggar.
Dalam tradisi India, asas hubungan sosial yang berlaku adalah asas kepemilikan. PSK (wanita penghibur) adalah seorang yang "tanpa pemilik". Istilah tanpa pemilik ini bermakna bahwa seorang PSK adalah seorang yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bahkan dalam metafora yang lebih halus, PSK adalah milik semua orang. Seperti yang mungkin kita semua tahu, gelar ini disematkan ke Ambapali; seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Karena sejak terlahir dia tidak memiliki orangtua, dan semua pangeran menginginkannya; maka Ambapali ditetapkan sebagai milik bersama (wanita penghibur).
Seseorang dikatakan sebagai mandiri (tanpa pemilik) apabila ia sudah dewasa dan mampu menjalani hidup secara mandiri. Batasan jelasnya adalah seorang yang sudah menginjak usia dewasa dan mampu mencari nafkah untuk menyambung hidup sendiri. Di titik ini, dia sudah orang dewasa tetapi bukan berarti dia sederajat dengan orangtua atau saudara yang mengasuhnya. Sebagai bahan tinjauan, dahulu Sang Buddha langsung menahbiskan banyak orang menjadi bhikkhu tanpa meminta izin dari keluarganya terlebih dahulu. Barulah ketika Pangeran Rahula sudah ditahbiskan, Raja Suddhodana meminta Sang Buddha agar kelak meminta izin terlebih dahulu kepada keluarga dari orang itu sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dan permintaan ini pun akhirnya diterima Sang Buddha. Melihat dari contoh samping ini, secara tersirat menunjukkan bahwa ketika seseorang sudah cukup matang (seperti yang kita tahu, syarat untuk menjadi bhikkhu adalah usia sudah matang), maka orang itu sudah dikatakan mandiri. Dan Sang Buddha sendiri bahkan awalnya tidak merasa perlu meminta izin dari keluarganya. Namun karena permintaan Raja Suddhodana ini, maka Sang Buddha pun akhirnya meluluskannya.
Dalam tradisi India dahulu, PSK dikenal sebagai istri bayaran. Dalam Tipitaka (Pali), Sang Buddha menyebutkan 20 tipe orang yang tergolong sebagai objek seks yang tidak baik. PSK (wanita penghibur) tidak termasuk dalam 20 jenis ini. Dalam Aliran Theravada memang dinyatakan bahwa sebenarnya berhubungan seks dengan PSK tidak selalu merupakan pelanggaran sila ketiga. Jika hal ini berbeda dari Aliran Mahayana, itu wajar saja. Karena karakter Sang Buddha di Tipitaka dan Tripitaka saja memang cukup berbeda.
Dalam perkembangan peradaban manusia, pernikahan adalah suatu lembaga formalitas yang sangat penting dan dijunjung tinggi oleh masyarakat luas. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilandasai dengan cinta-kasih. Dan saya setuju dengan hal ini. Tetapi saya tidak menutup mata bahwa tanpa menikah, tanpa di bawah naungan pernikahan pun sebenarnya cinta-kasih antar sepasang kekasih bisa ada. Oleh karena itu saya menolak pernyataan yang berbunyi: "di luar pernikahan, maka semua aktivitas seks adalah pelanggaran sila ketiga". Inilah bedanya pandangan saya (mungkin Theravada) dengan pandangan Anda (mungkin Mahayana, dan atau universalis).
Di zaman dahulu banyak sepasang kekasih yang melarikan diri dari kedua orangtuanya. Mereka kemudian menikah dengan "mengundang" langit dan bumi sebagai saksi pernikahannya. Saya melihat bahwa hubungan seks yang mereka lakukan setelah atau sebelum pernikahan ini tidaklah melanggar sila ketiga. Demikian pula pada kasus sepasang kekasih yang melakukan hubungan seks dalam masa pacaran, jika memang mereka melakukannya dengan pemahaman bersedia mengambil konsekuensi, tidak ada paksaan, dilandasi cinta-kasih. Jika kelak mereka ternyata tidak bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan, maka itu hanya tidak ada kesempatan bersama sebagai suami-istri.
Meski menurut saya hubungan seks di luar nikah tidak selalu merupakan pelanggaran sila, namun saya tidak mendukung hal ini menjadi tren di seluruh penjuru dunia. Di sini bedanya lagi pemikiran saya (mungkin Theravada) dengan pemikiran Anda (mungkin Mahayana, dan atau universalis). Saya melihat bahwa hal ini adalah belum tentu melanggar sila, tidak bisa dipukul rata sebagai perbuatan buruk. Tetapi meskipun bukan keduanya, perbuatan ini tetap mengumbar lobha. Dan sebagai umat Buddha, kita sebaiknya mengendalikan nafsu; jika belum bisa melenyapkan nafsu. Pernikahan menjadi sarana yang baik di dalam norma masyarakat. Karena itu sekali lagi saya melihat bahwa berhubungan seks setelah menikah adalah lebih baik. Karena kita mencegah hal-hal tidak baik yang bisa datang akibat reaksi masyarakat yang mayoritas kusut di dalam konsep "pesta formalitas dan selembar sertifikat bertanda-tangan".