IMO, semua pembahasan oleh Bro Gandalf sehubungan dengan aktivitas seksual adalah interpretasi dari berbagai individu, dan bukan berasal dari ajaran Buddha Gotama (setidaknya tidak ada dalam Pali Kanon).
Menurut saya Sang Buddha Gotama tidak pernah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang benar, apalagi yang salah. apakah Sang Buddha pernah mengajarkan bahwa hubungan seks yang benar adalah melalui pagina sedangkan yg salah adalah melalui anus?
Yang saya masud hubungan seks yang benar adalah berhubungan seks dengan bukan objek yang dilarang menurut sila ketiga. Ini dalah kriteria yang ditetapkan Sang Buddha sendiri dalam Kanon Pali maupun Kanon Sanskrit.
Demikian juga dalam Kanon Sanskrit, selain objek orang yang tidak tepat, ada bagian tubuh yang tidak tepat. Alasannya adalah kesehatan. Jelas oral dan anal itu sangat merugikan kesehatan = merugikan diri sendiri dan makhluk lain, maka dari itu apa salahnya kalau Sang Buddha menetapkan kriteria bagian tubuh yang tidak patut disetubuhi atas dasar alasan kesehatan?
Memang ini tidak ada dalam Kanon Pali, tapi ada di Kanon Sanskrit sabda Sang Buddha. Bukan interpretasi personal guru-guru Buddhis pada masa yang lebih kemudian.
Apalagi Buddha Padmasambhava juga hidup di India, tentunya Dia jauh lebih tahu apa yang dimaksud "masih di bawah perlindungan ortu" itu!
The Siddha Wanderer
Saya tidak ingin membahas terlalu dalam, karena mungkin bisa berujung
clash pandangan antar Aliran Theravada dan Aliran Mahayana lagi...
Satu poin yang menarik bagi saya adalah "tidak melakukan hubungan seks dengan orang yang berada di bawah perlindungan orangtuanya atau saudaranya."
Secara norma masyarakat, kita mengenali bahwa seorang yang masih single adalah orang yang masih berada di bawah perlindungan orangtuanya ataupun saudaranya. Tapi apakah benar kriteria pada poin ini hanya sebatas ini?
Saya setuju bahwa seorang anak yang masih bergantung kepada orangtuanya atau saudaranya adalah anak yang belum dewasa. Oleh karena itu, anak seperti itu belum pantas untuk melakukan hubungan seks. Makanya anak seperti ini adalah objek yang salah dalam aktivitas seks. Menurut saya, Sang Buddha menyatakan golongan seperti ini sebagai objek seks yang salah karena:
- Golongan seperti ini masih belum cukup matang untuk hidup mandiri
- Golongan seperti ini masih bergantung kepada orangtuanya atau saudaranya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
- Tidak ada perlindungan hukum yang menjaga golongan ini dari perilaku seks
Oleh karena itu, berhubungan seks dengan golongan seperti ini adalah tidak layak. Karena bisa merugikan mereka. Tentu tidak benar apabila seorang pangeran di India dulu yang karena memiliki paras rupawan dan kekuasaan sehingga mampu meniduri banyak wanita (Kisah Khemaka). Perbuatan ini tentu melanggar sila, karena perbuatan seks itu dilakukan dengan objek yang memenuhi kriteria di atas; dan dilakukan tanpa komitmen.
Misalnya seseorang yang berusia lebih dari 40 tahun juga bisa saja masih memiliki orangtua atau saudaranya dan masih single. Tetapi dia bukanlah termasuk sebagai golongan "orang yang berada di bawah perlindungan orangtuanya". Kriteria seseorang yang masih di bawah perlindungan orangtuanya adalah kriteria golongan orang yang masih diasuh oleh orang yang sudah mandiri. Sang Buddha menyatakan bahwa seseorang yang masih di bawah perlindungan saudaranya adalah objek seks yang salah. Tetapi saudaranya yang menjadi tempat bernaung bagi orang itu bukanlah objek yang salah. Kenapa? Karena saudara itu (dan juga orangtua) itu adalah orang yang sudah mandiri.
Kenapa orang yang belum mandiri disebut sebagai objek seks yang salah? Karena orang itu masih memiliki "tanggung jawab moril" kepada orang yang mengasuhnya. Contoh lainnya adalah seseorang yatim-piatu yang sudah hidup mandiri dan berkecukupan, bukanlah termasuk objek seks yang salah; karena dia tidak lagi berada dalam perlindungan orangtua maupun saudaranya.
Yang sering dilihat oleh banyak orang adalah secara permukaan, bahwa berhubungan seks tanpa menikah adalah perilaku yang kotor. Karena pernikahan itu sakral dan sangat penting di mata masyarakat. Padahal kalau boleh jujur, pernikahan itu tidak lebih dari sebuah kesepakatan untuk berhubungan seks secara legal; di samping juga komitemen untuk hidup bersama sebagai pasangan, saling membantu dan mendukung dalam melanjutkan hidup, dan memiliki keturunan untuk melanjutkan materi dan non-materi milik keluarga.
Banyak pernikahan yang berujung pada cerai, lalu menikah lagi, lalu cerai lagi... Apa bedanya dengan orang yang berhubungan seks bebas dengan pacarnya, lalu putus dan dapat pacar baru lalu berhubungan seks lagi, lalu putus dan dapat pacar baru lagi... dan seterusnya.
Bedanya antara seks pra-nikah dengan seks pasca-nikah hanyalah sebatas perlindungan hukum. Pasangan yang belum terlindung secara hukum, bila berhungan seks maka rawan akan pengkhianatan dan kerugian (terutama pada pihak wanita). Sedangkan seks di bawah naungan pernikahan adalah terlindung secara hukum, sehingga segalanya terlihat baik. Padahal kalau mau membuka mata pada dunia, banyak sekali orang yang menjadikan pernikahan sebagai "prostitusi terselubung". Tapi sayang tidak banyak orang yang mau mengakuinya...