SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!Oleh: Hendrick
Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya,
Bagi kehidupan pasangan suami istri, seks dipandang sebagai suatu ungkapan cinta mereka. Tindakan seks yang benar dapat digunakan dalam mengharmoniskan kehidupan pernikahan seseorang. Namun sayangnya, pada zaman sekarang ini banyak remaja yang tidak sabar menunggu ataupun karena salah pengertian, bahwa seks sebagai ungkapan cinta ini boleh dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Pada malam Valentine, mereka bersedia melepaskan keperawanan mereka. Para gadis cenderung melepas keperawanan mereka disebabkan mereka takut kehilangan pria yang mereka cintai dan ingin mendapatkan cinta yang sepenuhnya dari sang pacar. Sedangkan para pria cenderung ingin memuaskan hasrat cinta seksual mereka pada sang gadis. Kecenderungan hidup yang bertentangan dengan norma susila itu terjadi akibat tidak ada landasan agama yang kuat. Hal ini sungguh amat memprihatinkan, yang memang merupakan kecenderungan pada masa akhir Dharma:
“Pada masa akhir Dharma… umur manusia akan berkurang, kegelapan akan menguasai… para pria akan menjadi penuh dengan nafsu seks dan tidak terkendali, para wanita akan berhubungan seks bebas dan tidak setia.” (Legenda Stupa Maha Buddha oleh Guru Padmasambhava)Banyak istilah-istilah untuk mendeksripsikan tindakan semacam itu mulai dari pergaulan bebas, seks bebas, seks pranikah, promiskuitas ataupun seks di luar nikah. Bahkan istilah-istilah tersebut sering terdengar bersamaan dengan kata-kata “aborsi” dan “hamil di luar nikah”. Di masa modern ini, kerap kali kita mendengar perbincangan pun membaca wacana mengenai kata-kata di atas.
Mental para remaja tergolong masih labil, pada saat remaja dorongan seksual dan berkembangnya organ seksual mencapai puncak kematangannya. Didorong oleh rasa ingin tahu dan gairah seksual yang tinggi, maka akan besar kemungkinan terjadinya seks pranikah terutama di kalangan remaja. Apalagi mereka telah dipengaruhi budaya seks bebas dari film-film yang mereka tonton. Sebagai faktanya kita bisa melihat bahwa sebagian besar film-film bioskop yang hadir di tanah air kita ini hampir selalu mengandung unsur adegan seks bebas. Baru bertemu beberapa kali, sudah langsung nge-seks. Tayangan film tentu sangat mempengaruhi pola pikir remaja pun juga masyarakat secara keseluruhan. Maka dari itu kita juga sering menjumpai generasi tua yang melakukan seks bebas. Mereka menganggap seks pranikah adalah sangat wajar dan diterima oleh lingkungan. Kesadaran serta mental yang bersih dan sehat adalah poin penting untuk menghindarkan seseorang dari tindakan seks bebas yang tidak bertanggung jawab.
Lantas bagaimanakah tanggapan sang Buddha maupun agama Buddha sendiri terhadap tindakan seks bebas atau seks pranikah (seks sebelum menikah)? Sang Buddha berkata dalam Upasaka Sila Sutra:
“Jika seorang pria berhubungan seksual di waktu yang tidak tepat (siang hari) atau di tempat yang tidak sesuai (tempat umum, tempat ibadah), atau melakukannya dengan bukan-perempuan (pria, hewan), atau melakukannya dengan perempuan yang bukan istrinya sendiri, atau melakukan masturbasi, tindakan tersebut termasuk tindakan seksual yang salah.”Hubungan seks pra nikah merupakan pelanggaran sila. Sang Buddha dengan sangat jelas berkata dalam Sutra Upasaka Sila bahwa hubungan seks dengan seseorang yang bukan istrinya, termasuk pelanggaran sila ke-3. Ini termasuk dengan pacar kita, karena pacar kita bukanlah suami / istri kita.
“Tipe ketiga dari karma negatif adalah tindakan seks yang menyimpang – yaitu berhubungan seksual dengan siapapun yang bukan pasangan yang telah engkau nikahi, dengan siapapun yang engkau sendiri tidak punya konsep yang jelas bahwa “orang ini adalah pasangan nikahku, istriku atau suamiku.” Seseorang yang bukan pasangan nikahmu… tidak dianggap sebagai partner atau ‘objek’ seksual yang tepat. (Tiga Tingkat Persepsi Spiritual oleh Kunga Tenpay Nyima, Deshung Rinpoche)Dan menurut komentar Gyudzhi (Empat Tantra Pengobatan yang diajarkan oleh Sang Buddha) yang ditulis oleh Sangye Gyamtso, juga dikatakan bahwa tindakan seksual yang salah meliputi hubungan seksual dengan wanita selain istrinya. Ini berarti bahwa berhubungan dengan pacar atau tunangan kita adalah hubungan seksual yang salah, karena mereka belum menjadi istri kita.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran sila ke-3 (kamesumicchaccara):
1. Alat kelamin pria masuk ke dalam tiga lubang yaitu mulut, anus dan alat kelamin wanita yang tidak patut disetubuhi
2. Tangan bersentuhan dengan alat kelamin pria maupun wanita [dengan tujuan membangkitkan gairah seksual atau masturbasi]
3. Terjadi orgasme ketika dilakukan tahap 1 dan 2 di atas
Untuk memperjelas objek yang tidak patut disetubuhi (yang melanggar sila) dapat dilihat pada kitab Anguttara Nikaya dan Majjhima Nikaya:
“Dia berperilaku salah di dalam hal seks; dia berhubungan seks dengan mereka yang berada di bawah perlindungan ayah, ibu, saudara laki laki, saudara perempuan, sanak saudara atau suku, atau komunitas agamanya.” [b](Anguttara Nikaya bab Dasaka)[/b]
Dalam naskah Theravada yaitu Saleyyaka Sutta, Majjhima Nikaya dengan sangat jelas juga disebutkan mengenai kriteria orang yang tidak pantas disetubuhi:
Bagaimana halnya mengenai tiga macam perbuatan jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perbuatan yang tidak benar itu? Di sini, seseorang adalah pembunuh makhluk-makhluk hidup……..la pengambil apa yang tidak diberikan …… ia menyerah pada perbuatan keliru dalam keinginan seksual; ia berzinah dengan wanita-wanita, seperti yang dilindungi oleh ibu, ayah (ibu dan ayah), saudara lelaki, saudara perempuan, sanak keluarga … Itulah halnya mengenai tiga macam perbuatan jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perbuatan yang tidak benar.Ucapan yang mirip ditemukan dalam naskah aliran Sarvastivada:
“Siswa awam (upasaka/upasika) Sang Buddha menjauhi tindakan seksual yang menyimpang, mengakhiri perzinahan dan melindungi semua orang – yaitu mereka yang berada di bawah asuhan ayah, ibu, atau ayah ibu mereka, kakak perempuan atau kakak laki-laki mereka, mertua dan saudara ipar mereka,….. anak gadis orang lain,.. anak laki-laki orang lain. Siswa awam (upasaka/upasika) Sang Buddha mencabut niat melakukan penyimpangan seksual dari dalam diri mereka.” (Upasaka Sutra, Madhyama Agama 128)Uraian yang lebih lengkap mengenai mereka yang tidak patut disetubuhi ada dalam kitab Vinaya. Ada 20 macam wanita-wanita yang tidak patut disetubuhi (Agamaniya-vatthu), kelompok 1-8 di bawah ini adalah mereka yang belum menikah:
1. Dibawah perlindungan ibunya (maturakkhita)
2. Dibawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)
3. Dalam perlindungan ibu dan ayahnya (matapiturakkhita)
4. Dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5. Dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita)
6. Dalam perlindungan sanak keluarganya (natirakkhita)
7. Dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
8. Dalam perlindungan dhamma (dhammarakkhita), mis: bhiksuni [perlindungan Vinaya]
Dari daftar di atas, nomor 1-8 adalah mereka yang masih berada di bawah perlindungan orang lain, dalam hal ini misalnya seorang perempuan berada dalam perlindungan orang tua maupun saudara dan orang sebangsa dan sebagainya. Seseorang yang masih belum menikah otomatis masih berada di bawah perlindungan orang lain, entah itu orang tua, saudara, sanak keluarga atau orang sebangsanya.
Maka dari itu perilaku seks bebas, yang didasari atas mau sama mau antara dua orang pasangan yang belum menikah adalah termasuk melakukan hubungan badan yang tidak pantas. Ini ditegaskan sendiri oleh sabda Guru agung tradisi Vajrayana:
“Di India, tidak pantas untuk berhubungan seks (bebas/pranikah) dengan seseorang yang berada dalam perlindungan orang tuanya, karena pria dan wanita yang belum berumah tangga, [masih] dilindungi oleh orang tua mereka.” (Ajaran Dakini oleh Guru Padmasambhava)Ketatnya perlindungan orang tua menjaga keperawanan anak gadisnya terlihat dalam kisah Dhammapada Atthakatha dan Saddharmaratnavaliya. Dikisahkan Patacara adalah anak gadis dari pedagang kaya di Savatthi. Ayahnya berharga empat ratus juta dan Patacara sangatlah cantik.
“Ketika ia berumur enam belas tahun, kedua orang tuanya memberikan tempat tinggal padanya di sebuah istana bertingkat tujuh dan di sanalah mereka menjaga Patacara, di lantai yang paling atas, dikelilingi oleh para penjaga”. Kedua orang tuanya melakukan hal tersebut demi
“menghindarkan terjadinya segala bentuk tindakan seksual yang salah (berzinah)” (Saddharmaratnavaliya). “Namun meskipun dijaga sedemikian rupa, Patacara tetap berzinah dan itu dilakukannya dengan pelayan prianya.” (Dhammapada Atthakatha 53) Patacara jatuh cinta terhadap pelayan pria yang masih muda di rumahnya dan merelakan dirinya berhubungan seks pranikah dengannya. Ketika orang tuanya berniat menikahkannya dengan laki-laki muda lain dari keluarga yang status sosialnya sama, Patacara malah melarikan diri bersama dengan kekasihnya, sang pembantu pria itu. Sebagai akibat dari hubungan seks pranikahnya, maka kehidupan yang dijalaninya bersama pembantu muda tersebut tidaklah bahagia, tetapi malah menderita dan hidup serba susah.
“Sang istri (yaitu Patacara) mengambil air dengan pot airnya, dan dengan tangannya sendiri menumbuk beras, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Maka Patacara memetik buah karma buruknya sendiri.” (Dhammapada Atthakatha 53), Selain itu,
“Sebagai seseorang yang sebelumnya memakan nasi, namun sekarang harus hidup dengan Amu grain, maka ia mulai mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan oleh karena tindakan ketidakbajikan yang dilakukannya di masa lampau.” (Saddharmaratnavaliya). Disebabkan hubungan terlarang sebelum menikah dengan pelayan pria yang dicintainya itu, Patacara menuai karma buruknya. Tindakan orang tuanya yang menjaganya di istana tingkat ketujuh seharusnya dapat menjaga keperwanan sekaligus menghindarkannya dari karma buruk, namun apa daya nafsu cinta memabukkan dua insan muda yang masih belum dewasa untuk melakukan hal yang tidak senonoh.
Pada prinsipnya memang di India, seseorang yang belum bertunangan / menikah masih dilindungi orang tuanya ataupun dilindungi saudara-saudaranya. Kitab Mahavibhasa aliran Sarvastivada menyebutkan:
“Berhubungan seks dengan gadis muda merupakan perzinahan karena sudah ada pria yang dengannya ia bertunangan, dan jika gadis muda itu tidak bertunangan, maka ia berada di bawah perlindungan pelindungnya.” (Vibhasa TD 27, p585a20) Pelindung yang dimaksud adalah orang tua dan para saudara gadis muda tersebut.
Namun masih timbul pertanyaan, bagaimana kalau seseorang berhubungan seks dengan perempuan yang belum menikah namun tidak di bawah perlindungan orang lain (misalnya perempuan tersebut sudah tidak memiliki orang tua lagi, tidak memiliki saudara dan sanak keluarga) alias benar-benar sendiri? Jawabannya tentu saja: tetap melanggar sila. Di Asia, mereka yang benar-benar mandiri dan sendiri [tidak ada sanak keluarga sama sekali], tetap saja berada di bawah perlindungan norma / hukum dunia – dhammarakkhita*, dengan kata lain dilindungi oleh norma yang berlaku dalam masyarakat Asia. Di mata bangsa Asia, seks bebas adalah suatu bentuk perzinahan. Maka dari itu, di Asia, berhubungan seks dengan perempuan seperti itu juga termasuk melanggar sila. (* Dhamma bisa berarti kebenaran, ajaran, hukum, norma).
“Membahas mengenai sila menghindari perbuatan asusila / seksual yang menyimpang, jika seorang perempuan berada di bawah perlindungan ayah, ibu…., hukum dunia, atau hukum raja, jika seseorang berhubungan seksual dengan mereka, maka ini termasuk tindakan asusila / seksual yang menyimpang.” (Mahaprajnaparamita Upadesha karya Nagarjuna)Pendiri Dinasti Ming di Tiongkok yaitu raja Zhu Yuanzhang yang seorang Buddhis membuat satu set kode etik kenegaraan (Daming Lu – Kode Dinasti Ming) di mana pelaku seks bebas atau seks yang dilakukan di luar ikatan pernikahan akan dijatuhi hukuman. Pada masa Dinasti Yuan, terdapat sebuah “Tabel Bajik dan Tak Bajik” yang diterima oleh baik umat Buddhis, Taois maupun Konfusianis. Teks Buddhis yang berkenaan dengan itu diberi nama Shih-chieh Kung-kuo-ku dan Chingshih Kungkuo-ko. Di sana disebutkan tindakan seks yang menyimpang termasuk hubungan seksual pra nikah mau sama mau dengan seorang perawan wanita. Bersetubuh dengan seorang gadis perawan akan menjadi perawan tersebut tidak pantas menjadi seorang istri, maka dari itu tindakan seks pranikah dianggap tak bajik.
Di negara-negara Buddhis Asia seperti Kamboja dan Thailand, seks di luar nikah dianggap sebagai hal yang tabu. Sangat jarang terdengar kasus seks di luar nikah di negara Kamboja, namun apabila terjadi demikian, maka ini akan dianggap memalukan keluarga sang perempuan. Sedangkan di Thailand, apabila ada remaja yang melakukan seks di luar nikah, maka ia harus mengakui kesalahannya pada orang tuanya dan pada para leluhurnya. Kritikus sosial Sukanya Hantrakul berkata,
“Di Thailand, perempuan dikehendaki untuk tetap perawan sampai akhirnya menikah dan secara monogami.” Seks pranikah antara dua orang yang berpacaran seharusnya dihindari. Di desa-desa Thailand sangat jarang terjadi seks di luar nikah, namun di kota-kota besar jumlahnya cukup banyak disebabkan oleh pengaruh gaya hidup Barat.
Di negara-negara Barat seks bebas atau seks pra-nikah sudah diterima oleh umum, namun sebenarnya di negara Barat juga kalau seseorang terlalu bebas dalam hubungan seks, maka akan dianggap tak pantas. Baik dari segi kesehatan, psikologi (
mental health), dan hubungan sosial, seks bebas telah membawa banyak kerugian. Meskipun menurut budaya barat diperbolehkan, namun agama Buddha tetap menganggap seks bebas / pra-nikah membawa pada kemerosotan batin dan merupakan pelanggaran sila. Menghindari potensi terjadinya seks pranikah seharusnya dilakukan oleh umat Buddhis baik yang berasal dari timur (Asia) maupun barat (Amerika/Eropa).
“Jika mereka (para Bodhisattva) memasuki rumah orang lain, ia tidak seharusnya berbicara [privat] dengan gadis-gadis muda, gadis yang belum menikah (perawan) ataupun janda.” (Saddharmapundarika Sutra)Di sini yang dimaksud “berbicara” adalah berbicara secara privat, sendirian, di mana tidak ada orang yang mendengar ataupun melihat. Seorang Bodhisattva pria hendaknya menghindari berbicara seperti itu dengan gadis yang belum menikah ataupun janda di rumah orang lain, misalnya seorang pria berbicara berduaan dengan pacarnya di kamarnya. Ini dilakukan untuk mencegah agar para Bodhisattva tidak melakukan perzinahan. Secara tidak langsung Saddharmapundarika Sutra juga menyatakan bahwa seks pra-nikah seperti berhubungan seks dengan mereka yang masih belum menikah ataupun janda, adalah suatu bentuk perzinahan atau tindakan seksual yang salah.
YM Asanga dalam karyanya Bodhisattva-bhumi Sastra menggolongkan seks pra nikah (seks dengan perempuan yang belum menikah) sebagai tindakan seksual yang tidak pantas. Tsongkhapa dalam komentarnya
Byang-chub sems-dpa'i tshul-khrims-kyi rnam-bshad byang-chub gzhung-lam juga menambahkan dengan mengatakan bahwa apabila sang perempuan perawan yang belum menikah itu jomblo / belum mempunyai pasangan, maka berhubungan seks dengannya juga termasuk tindakan seksual yang tidak pantas. Baik masih jomblo ataupun tidak, berhubungan dengan perempuan / pria secara pranikah adalah pelanggaran sila ketiga. Santaraksita dan Bodhibhadra dalam komentarnya juga mengaitkan tindakan tersebut sebagai tindakan yang tidak bajik.
Seks pra-nikah hanya dapat memancing emosi-emosi negatif lainnya, bahkan dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti aborsi yang kalau kita melakukannya, berarti kita juga melanggar sila jangan membunuh. Gunakanlah hubungan seksual di waktu yang tepat, yaitu pada saat kita telah berkomitmen dengan pasangan kita dalam ikatan pernikahan.
“Kebudayaan Buddhis tradisional dengan stigma sosialnya menentang seks pranikah dan seks di luar nikah yang dihubungkan atas kesadaran akan kemungkinan terjadinya kehamilan dan aborsi sebagai konsekuensinya.” (Bhiksuni Karma Lekshe Tsomo)Beberapa suku di Himalaya cukup bebas pergaulannya. Seks pranikah di sana sudah menjadi kasus yang eksis dan umum sejak zaman dahulu. Namun beberapa suku Tibet sebaliknya, ada juga yang menentang seks pranikah. Karma Lekshe Tsomo berkata:
“Kebiasaan tindakan seks yang liberal di masyarakat Himalaya (Tibet, Bhutan, Ladakh) sangat berbeda dengan mereka yang merupakan Hindu konservatif, yang menganggap insiden poligami dan poliandri sebagai hal yang menjijikkan…. Meskipun ada stigma menentang seks pranikah, terutama karena tindakan tersebut dapat mengakibatkan kehamilan dan menghambat pernikahan formal, kehamilan di luar nikah dianggap sebagai kesalahan daripada suatu tindakan yang amoral. Namun ideal keperawanan untuk para wanita tetap, sebagian karena seks di luar nikah bertentangan dengan sila-sila Buddhis dan sebagian karena hubungan seperti itu membahayakan keharmonisan dan integritas sebuah keluarga.” (Buddhist Women Across Cultures oleh Ven. Karma Lekshe Tsomo) The Siddha Wanderer