//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!  (Read 59582 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« on: 15 December 2009, 12:28:43 PM »
SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
Oleh: Hendrick

Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya,

Bagi kehidupan pasangan suami istri, seks dipandang sebagai suatu ungkapan cinta mereka. Tindakan seks yang benar dapat digunakan dalam mengharmoniskan kehidupan pernikahan seseorang. Namun sayangnya, pada zaman sekarang ini banyak remaja yang tidak sabar menunggu ataupun karena salah pengertian, bahwa seks sebagai ungkapan cinta ini boleh dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Pada malam Valentine, mereka bersedia melepaskan keperawanan mereka. Para gadis cenderung melepas keperawanan mereka disebabkan mereka takut kehilangan pria yang mereka cintai dan ingin mendapatkan cinta yang sepenuhnya dari sang pacar. Sedangkan para pria cenderung ingin memuaskan hasrat cinta seksual mereka pada sang gadis. Kecenderungan hidup yang bertentangan dengan norma susila itu terjadi akibat tidak ada landasan agama yang kuat. Hal ini sungguh amat memprihatinkan, yang memang merupakan kecenderungan pada masa akhir Dharma:

“Pada masa akhir Dharma… umur manusia akan berkurang, kegelapan akan menguasai… para pria akan menjadi penuh dengan nafsu seks dan tidak terkendali, para wanita akan berhubungan seks bebas dan tidak setia.” (Legenda Stupa Maha Buddha oleh Guru Padmasambhava)

Banyak istilah-istilah untuk mendeksripsikan tindakan semacam itu mulai dari pergaulan bebas, seks bebas, seks pranikah, promiskuitas ataupun seks di luar nikah. Bahkan istilah-istilah tersebut sering terdengar bersamaan dengan kata-kata “aborsi” dan “hamil di luar nikah”. Di masa modern ini, kerap kali kita mendengar perbincangan pun membaca wacana mengenai kata-kata di atas.

Mental para remaja tergolong masih labil, pada saat remaja dorongan seksual dan berkembangnya organ seksual mencapai puncak kematangannya. Didorong oleh rasa ingin tahu dan gairah seksual yang tinggi, maka akan besar kemungkinan terjadinya seks pranikah terutama di kalangan remaja. Apalagi mereka telah dipengaruhi budaya seks bebas dari film-film yang mereka tonton. Sebagai faktanya kita bisa melihat bahwa sebagian besar film-film bioskop yang hadir di tanah air kita ini hampir selalu mengandung unsur adegan seks bebas. Baru bertemu beberapa kali, sudah langsung nge-seks. Tayangan film tentu sangat mempengaruhi pola pikir remaja pun juga masyarakat secara keseluruhan. Maka dari itu kita juga sering menjumpai generasi tua yang melakukan seks bebas. Mereka menganggap seks pranikah adalah sangat wajar dan diterima oleh lingkungan. Kesadaran serta mental yang bersih dan sehat adalah poin penting untuk menghindarkan seseorang dari tindakan seks bebas yang tidak bertanggung jawab.

Lantas bagaimanakah tanggapan sang Buddha maupun agama Buddha sendiri terhadap tindakan seks bebas atau seks pranikah (seks sebelum menikah)? Sang Buddha berkata dalam Upasaka Sila Sutra: “Jika seorang pria berhubungan seksual di waktu yang tidak tepat (siang hari) atau di tempat yang tidak sesuai (tempat umum, tempat ibadah), atau melakukannya dengan bukan-perempuan (pria, hewan), atau melakukannya dengan perempuan yang bukan istrinya sendiri, atau melakukan masturbasi, tindakan tersebut termasuk tindakan seksual yang salah.”

Hubungan seks pra nikah merupakan pelanggaran sila. Sang Buddha dengan sangat jelas berkata dalam Sutra Upasaka Sila bahwa hubungan seks dengan seseorang yang bukan istrinya, termasuk pelanggaran sila ke-3. Ini termasuk dengan pacar kita, karena pacar kita bukanlah suami / istri kita.

“Tipe ketiga dari karma negatif adalah tindakan seks yang menyimpang – yaitu berhubungan seksual dengan siapapun yang bukan pasangan yang telah engkau nikahi, dengan siapapun yang engkau sendiri tidak punya konsep yang jelas bahwa “orang ini adalah pasangan nikahku, istriku atau suamiku.” Seseorang yang bukan pasangan nikahmu… tidak dianggap sebagai partner atau ‘objek’ seksual yang tepat. (Tiga Tingkat Persepsi Spiritual oleh Kunga Tenpay Nyima, Deshung Rinpoche)

Dan menurut komentar Gyudzhi (Empat Tantra Pengobatan yang diajarkan oleh Sang Buddha) yang ditulis oleh Sangye Gyamtso, juga dikatakan bahwa tindakan seksual yang salah meliputi hubungan seksual dengan wanita selain istrinya. Ini berarti bahwa berhubungan dengan pacar atau tunangan kita adalah hubungan seksual yang salah, karena mereka belum menjadi istri kita.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran sila ke-3 (kamesumicchaccara):
1. Alat kelamin pria masuk ke dalam tiga lubang yaitu mulut, anus dan alat kelamin wanita yang tidak patut disetubuhi
2. Tangan bersentuhan dengan alat kelamin pria maupun wanita [dengan tujuan membangkitkan gairah seksual atau masturbasi]
3. Terjadi orgasme ketika dilakukan tahap 1 dan 2 di atas

Untuk memperjelas objek yang tidak patut disetubuhi (yang melanggar sila) dapat dilihat pada kitab Anguttara Nikaya dan Majjhima Nikaya: “Dia berperilaku salah di dalam hal seks; dia berhubungan seks dengan mereka yang berada di bawah perlindungan ayah, ibu, saudara laki laki, saudara perempuan, sanak saudara atau suku, atau komunitas agamanya.” [b](Anguttara Nikaya bab Dasaka)[/b]

Dalam naskah Theravada yaitu Saleyyaka Sutta, Majjhima Nikaya dengan sangat jelas juga disebutkan mengenai kriteria orang yang tidak pantas disetubuhi:
Bagaimana halnya mengenai tiga macam perbuatan jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perbuatan yang tidak benar itu? Di sini, seseorang adalah pembunuh makhluk-makhluk hidup……..la pengambil apa yang tidak diberikan …… ia menyerah pada perbuatan keliru dalam keinginan seksual; ia berzinah dengan wanita-wanita, seperti yang dilindungi oleh ibu, ayah (ibu dan ayah), saudara lelaki, saudara perempuan, sanak keluarga … Itulah halnya mengenai tiga macam perbuatan jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perbuatan yang tidak benar.

Ucapan yang mirip ditemukan dalam naskah aliran Sarvastivada: “Siswa awam (upasaka/upasika) Sang Buddha menjauhi tindakan seksual yang menyimpang, mengakhiri perzinahan dan melindungi semua orang – yaitu mereka yang berada di bawah asuhan ayah, ibu, atau ayah ibu mereka, kakak perempuan atau kakak laki-laki mereka, mertua dan saudara ipar mereka,….. anak gadis orang lain,.. anak laki-laki orang lain. Siswa awam (upasaka/upasika) Sang Buddha mencabut niat melakukan penyimpangan seksual dari dalam diri mereka.” (Upasaka Sutra, Madhyama Agama 128)

Uraian yang lebih lengkap mengenai mereka yang tidak patut disetubuhi ada dalam kitab Vinaya. Ada 20 macam wanita-wanita yang tidak patut disetubuhi (Agamaniya-vatthu), kelompok 1-8 di bawah ini adalah mereka yang belum menikah:
1. Dibawah perlindungan ibunya (maturakkhita)
2. Dibawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)
3. Dalam perlindungan ibu dan ayahnya (matapiturakkhita)
4. Dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5. Dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita)
6. Dalam perlindungan sanak keluarganya (natirakkhita)
7. Dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
8. Dalam perlindungan dhamma (dhammarakkhita), mis: bhiksuni [perlindungan Vinaya]

Dari daftar di atas, nomor 1-8 adalah mereka yang masih berada di bawah perlindungan orang lain, dalam hal ini misalnya seorang perempuan berada dalam perlindungan orang tua maupun saudara dan orang sebangsa dan sebagainya. Seseorang yang masih belum menikah otomatis masih berada di bawah perlindungan orang lain, entah itu orang tua, saudara, sanak keluarga atau orang sebangsanya.

Maka dari itu perilaku seks bebas, yang didasari atas mau sama mau antara dua orang pasangan yang belum menikah adalah termasuk melakukan hubungan badan yang tidak pantas. Ini ditegaskan sendiri oleh sabda Guru agung tradisi Vajrayana:
“Di India, tidak pantas untuk berhubungan seks (bebas/pranikah) dengan seseorang yang berada dalam perlindungan orang tuanya, karena pria dan wanita yang belum berumah tangga, [masih] dilindungi oleh orang tua mereka.” (Ajaran Dakini oleh Guru Padmasambhava)

Ketatnya perlindungan orang tua menjaga keperawanan anak gadisnya terlihat dalam kisah Dhammapada Atthakatha dan Saddharmaratnavaliya. Dikisahkan Patacara adalah anak gadis dari pedagang kaya di Savatthi. Ayahnya berharga empat ratus juta dan Patacara sangatlah cantik. “Ketika ia berumur enam belas tahun, kedua orang tuanya memberikan tempat tinggal padanya di sebuah istana bertingkat tujuh dan di sanalah mereka menjaga Patacara, di lantai yang paling atas, dikelilingi oleh para penjaga”. Kedua orang tuanya melakukan hal tersebut demi “menghindarkan terjadinya segala bentuk tindakan seksual yang salah (berzinah)” (Saddharmaratnavaliya). “Namun meskipun dijaga sedemikian rupa, Patacara tetap berzinah dan itu dilakukannya dengan pelayan prianya.” (Dhammapada Atthakatha 53) Patacara jatuh cinta terhadap pelayan pria yang masih muda di rumahnya dan merelakan dirinya berhubungan seks pranikah dengannya. Ketika orang tuanya berniat menikahkannya dengan laki-laki muda lain dari keluarga yang status sosialnya sama, Patacara malah melarikan diri bersama dengan kekasihnya, sang pembantu pria itu. Sebagai akibat dari hubungan seks pranikahnya, maka kehidupan yang dijalaninya bersama pembantu muda tersebut tidaklah bahagia, tetapi malah menderita dan hidup serba susah. “Sang istri (yaitu Patacara) mengambil air dengan pot airnya, dan dengan tangannya sendiri menumbuk beras, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Maka Patacara memetik buah karma buruknya sendiri.” (Dhammapada Atthakatha 53), Selain itu, “Sebagai seseorang yang sebelumnya memakan nasi, namun sekarang harus hidup dengan Amu grain, maka ia mulai mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan oleh karena tindakan ketidakbajikan yang dilakukannya di masa lampau.” (Saddharmaratnavaliya). Disebabkan hubungan terlarang sebelum menikah dengan pelayan pria yang dicintainya itu, Patacara menuai karma buruknya. Tindakan orang tuanya yang menjaganya di istana tingkat ketujuh seharusnya dapat menjaga keperwanan sekaligus menghindarkannya dari karma buruk, namun apa daya nafsu cinta memabukkan dua insan muda yang masih belum dewasa untuk melakukan hal yang tidak senonoh.

Pada prinsipnya memang di India, seseorang yang belum bertunangan / menikah masih dilindungi orang tuanya ataupun dilindungi saudara-saudaranya. Kitab Mahavibhasa aliran Sarvastivada menyebutkan: “Berhubungan seks dengan gadis muda merupakan perzinahan karena sudah ada pria yang dengannya ia bertunangan, dan jika gadis muda itu tidak bertunangan, maka ia berada di bawah perlindungan  pelindungnya.” (Vibhasa TD 27, p585a20) Pelindung yang dimaksud adalah orang tua dan para saudara gadis muda tersebut.

Namun masih timbul pertanyaan, bagaimana kalau seseorang berhubungan seks dengan perempuan yang belum menikah namun tidak di bawah perlindungan orang lain (misalnya perempuan tersebut sudah tidak memiliki orang tua lagi, tidak memiliki saudara dan sanak keluarga) alias benar-benar sendiri? Jawabannya tentu saja: tetap melanggar sila. Di Asia, mereka yang benar-benar mandiri dan sendiri [tidak ada sanak keluarga sama sekali], tetap saja berada di bawah perlindungan norma / hukum dunia – dhammarakkhita*, dengan kata lain dilindungi oleh norma yang berlaku dalam masyarakat Asia. Di mata bangsa Asia, seks bebas adalah suatu bentuk perzinahan. Maka dari itu, di Asia, berhubungan seks dengan perempuan seperti itu juga termasuk melanggar sila. (* Dhamma bisa berarti kebenaran, ajaran, hukum, norma).

“Membahas mengenai sila menghindari perbuatan asusila / seksual yang menyimpang, jika seorang perempuan berada di bawah perlindungan ayah, ibu…., hukum dunia, atau hukum raja, jika seseorang berhubungan seksual dengan mereka, maka ini termasuk tindakan asusila / seksual yang menyimpang.” (Mahaprajnaparamita Upadesha karya Nagarjuna)

Pendiri Dinasti Ming di Tiongkok yaitu raja Zhu Yuanzhang yang seorang Buddhis membuat satu set kode etik kenegaraan (Daming Lu – Kode Dinasti Ming) di mana pelaku seks bebas atau seks yang dilakukan di luar ikatan pernikahan akan dijatuhi hukuman. Pada masa Dinasti Yuan, terdapat sebuah “Tabel Bajik dan Tak Bajik” yang diterima oleh baik umat Buddhis, Taois maupun Konfusianis. Teks Buddhis yang berkenaan dengan itu diberi nama Shih-chieh Kung-kuo-ku dan Chingshih Kungkuo-ko. Di sana disebutkan tindakan seks yang menyimpang termasuk hubungan seksual pra nikah mau sama mau dengan seorang perawan wanita. Bersetubuh dengan seorang gadis perawan akan menjadi perawan tersebut tidak pantas menjadi seorang istri, maka dari itu tindakan seks pranikah dianggap tak bajik.

Di negara-negara Buddhis Asia seperti Kamboja dan Thailand, seks di luar nikah dianggap sebagai hal yang tabu. Sangat jarang terdengar kasus seks di luar nikah di negara Kamboja, namun apabila terjadi demikian, maka ini akan dianggap memalukan keluarga sang perempuan. Sedangkan di Thailand, apabila ada remaja yang melakukan seks di luar nikah, maka ia harus mengakui kesalahannya pada orang tuanya dan pada para leluhurnya. Kritikus sosial Sukanya Hantrakul berkata, “Di Thailand, perempuan dikehendaki untuk tetap perawan sampai akhirnya menikah dan secara monogami.” Seks pranikah antara dua orang yang berpacaran seharusnya dihindari. Di desa-desa Thailand sangat jarang terjadi seks di luar nikah, namun di kota-kota besar jumlahnya cukup banyak disebabkan oleh pengaruh gaya hidup Barat.

Di negara-negara Barat seks bebas atau seks pra-nikah sudah diterima oleh umum, namun sebenarnya di negara Barat juga kalau seseorang terlalu bebas dalam hubungan seks, maka akan dianggap tak pantas. Baik dari segi kesehatan, psikologi (mental health), dan hubungan sosial, seks bebas telah membawa banyak kerugian. Meskipun menurut budaya barat diperbolehkan, namun agama Buddha tetap menganggap seks bebas / pra-nikah membawa pada kemerosotan batin dan merupakan pelanggaran sila. Menghindari potensi terjadinya seks pranikah seharusnya dilakukan oleh umat Buddhis baik yang berasal dari timur (Asia) maupun barat (Amerika/Eropa).

“Jika mereka (para Bodhisattva) memasuki rumah orang lain, ia tidak seharusnya berbicara [privat] dengan gadis-gadis muda, gadis yang belum menikah (perawan) ataupun janda.” (Saddharmapundarika Sutra)

Di sini yang dimaksud “berbicara” adalah berbicara secara privat, sendirian, di mana tidak ada orang yang mendengar ataupun melihat. Seorang Bodhisattva pria hendaknya menghindari berbicara seperti itu dengan gadis yang belum menikah ataupun janda di rumah orang lain, misalnya seorang pria berbicara berduaan dengan pacarnya di kamarnya. Ini dilakukan untuk mencegah agar para Bodhisattva tidak melakukan perzinahan. Secara tidak langsung Saddharmapundarika Sutra juga menyatakan bahwa seks pra-nikah seperti berhubungan seks dengan mereka yang masih belum menikah ataupun janda, adalah suatu bentuk perzinahan atau tindakan seksual yang salah.

YM Asanga dalam karyanya Bodhisattva-bhumi Sastra menggolongkan seks pra nikah (seks dengan perempuan yang belum menikah) sebagai tindakan seksual yang tidak pantas. Tsongkhapa dalam komentarnya Byang-chub sems-dpa'i tshul-khrims-kyi rnam-bshad byang-chub gzhung-lam juga menambahkan dengan mengatakan bahwa apabila sang perempuan perawan yang belum menikah itu jomblo / belum mempunyai pasangan, maka berhubungan seks dengannya juga termasuk tindakan seksual yang tidak pantas. Baik masih jomblo ataupun tidak, berhubungan dengan perempuan / pria secara pranikah adalah pelanggaran sila ketiga. Santaraksita dan Bodhibhadra dalam komentarnya juga mengaitkan tindakan tersebut sebagai tindakan yang tidak bajik.

Seks pra-nikah hanya dapat memancing emosi-emosi negatif lainnya, bahkan dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti aborsi yang kalau kita melakukannya, berarti kita juga melanggar sila jangan membunuh. Gunakanlah hubungan seksual di waktu yang tepat, yaitu pada saat kita telah berkomitmen dengan pasangan kita dalam ikatan pernikahan.

“Kebudayaan Buddhis tradisional dengan stigma sosialnya menentang seks pranikah dan seks di luar nikah yang dihubungkan atas kesadaran akan kemungkinan terjadinya kehamilan dan aborsi sebagai konsekuensinya.” (Bhiksuni Karma Lekshe Tsomo)

Beberapa suku di Himalaya cukup bebas pergaulannya. Seks pranikah di sana sudah menjadi kasus yang eksis dan umum sejak zaman dahulu. Namun beberapa suku Tibet sebaliknya, ada juga yang menentang seks pranikah. Karma Lekshe Tsomo berkata: “Kebiasaan tindakan seks yang liberal di masyarakat Himalaya (Tibet, Bhutan, Ladakh) sangat berbeda dengan mereka yang merupakan Hindu konservatif, yang menganggap insiden poligami dan poliandri sebagai hal yang menjijikkan…. Meskipun ada stigma menentang seks pranikah, terutama karena tindakan tersebut dapat mengakibatkan kehamilan dan menghambat pernikahan formal, kehamilan di luar nikah dianggap sebagai kesalahan daripada suatu tindakan yang amoral. Namun ideal keperawanan untuk para wanita tetap, sebagian karena seks di luar nikah bertentangan dengan sila-sila Buddhis dan sebagian karena hubungan seperti itu membahayakan keharmonisan dan integritas sebuah keluarga.” (Buddhist Women Across Cultures oleh Ven. Karma Lekshe Tsomo)

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #1 on: 15 December 2009, 12:29:07 PM »
Komara-Brahmacariya

“Syair 246 dari Dhammapada mengidentifikasikan pelanggaran sila ketiga sebagai tindakan berzinah atau paradiraca gacchati. Kitab-kitab komentar selalu menjelaskan kehidupan seks macam ini atau methuna-samacara, yaitu seks sebelum menikah ataupun seks di luar pernikahan. Kode etik Pancasila... tidak memberikan ruang bagi seks sebelum menikah dan seks di luar ikatan pernikahan. Kebajikan dari menjauhkan diri dari seks sebelum menikah disebut sebagai komara-brahmacariya…. Patut diketahui bahwa setidaknya ada kelompok-kelompok remaja gadis di Amerika yang telah sampai pada tahap dewasa dan memiliki kebijaksanaan untuk dapat berbicara dengan lantang di muka umum, dan pada pacar laki-laki mereka, mereka menganggap bahwa seks adalah sesuatu yang patut ditunggu. Kesadaran dan pengendalian diri ini muncul dan tumbuh berkembang sekarang, setidaknya di dunia barat. Mungkin seberkas harapan, meskipun hanya sedikit. Konsep ini tumbuh di India 2000 tahun yang lalu, khususnya di ajaran Buddhis, dan disebut sebagai ‘kesucian muda-mudi’ atau komara-brahmacariya. Ini menunjukkan pelarangan atau penolakan terhadap seks pranikah.”
(Bhikkhu Professor Dhammavihari)

Menurut Kamus Pali-Inggris, arti dari komara-brahmacariya adalah “ikrar selibat semenjak lahir” atau “kehidupan mulia seorang muda-mudi”. Seseorang baik dia pria maupun wanita berikrar untuk hidup selibat selama masa mudanya dan menghindari persetubuhan selama mereka belum menikah.

“Para brahmana mempraktekkan kehidupan selibat di masa muda [komara-brahmacariyam] sampai usia 48 tahun… Disatukan oleh kasih sayang untuk saling mencintai, mereka (brahmana dan istrinya) puas satu sama lain.” (Brahmanadhammika Sutta, Sutta Nipata)

Sang Buddha dalam Sutta Nipata dan Anguttara Nikaya memuji praktek brahmana yang hidup selibat di usia muda (komara-brahmacariya) sampai akhirnya menikah. Selama hidup selibat tentu para brahmana tersebut tidak melakukan hubungan seksual sama sekali sehingga sebelum mereka menikah, para brahmana tersebut hidup dalam kesucian. Untuk mendapatkan pasangan hidup, mereka tidak membeli istri pun tidak merebut dengan istri orang lain. Mereka menikah dengan seorang istri yang saling mengasihi satu sama lain. Sang Buddha mengatakan bahwa brahmana yang menjalankan ikrar komara-brahmacariya adalah brahmana yang mirip dengan seorang deva. (Donabrahmana Sutta)

Maka dari itu praktek brahmana tersebut tentu seharusnya ditiru oleh kita. Beberapa orang mungkin akan bingung, bukankah itu peraturan bagi seorang dari kasta brahmana saja? Ya! Tapi ingat Sang Buddha mengatakan bahwa seseorang menjadi seorang brahmana bukan lewat kelahirannya, namun seorang brahmana menjadi brahmana karena apa yang dia lakukan (Vasettha Sutta). Mereka yang berkebajikan dan mampu mengendalikan keinginannya adalah seorang brahmana. Apabila kita ingin menjadi umat Buddhis yang baik, maka jalanilah ikrar kehidupan komara-brahmacariya sehingga apapun strata sosial kita, kita dapat menjadi seorang brahmana yang dipuji oleh Sang Buddha. Bahkan tak dipungkiri lagi, di masyarakat modern ini dan di agama apapun, mereka yang mampu untuk menahan diri dari seks sebelum menikah adalah mereka yang patut mendapat pujian, karena baik dalam norma agama maupun sosial seks di luar nikah adalah tindakan yang tidak pantas.

Namun yang paling memprihatinkan adalah kita sering mendengar ada umat Buddhis yang mengatakan bahwa seks pranikah atas dasar mau sama mau tidak melanggar sila. Bhikkhu Dhammavihari, Saghanayaka dari Amarapura Dhammarakshita Nikaya memberikan tanggapannya terhadap hal tersebut:
“Kegadisan dari wanita, baik sebelum menikah ataupun dalam pernikahan, sungguh-sungguh merupakan kebajikan yang dijaga dalam agama Buddha, baik dalam lingkungan umat awam Buddhis maupun agama Buddha itu sendiri. Namun beberapa murid dari bidang agama dan budaya, yang sangat kurang pengetahuannya dalam bidang akademis, menjadi liar dengan generalisasi mereka dengan menyatakan: ‘Sebagai contoh, keperawanan dan kesucian para perempuan tidak berhubungan dengan etika atau ajaran Buddhis; akibatnya pernikahan dianggap sebagai masalah sekular di masyarakat Buddhis Srilanka, sedangkan pernikahan merupakan sakramen menurut nilai-nilai Brahmanisme.’ Setiap orang Srilanka yang tidak menggunduli warisan budayanya dengan berbagai proses alienasi, harus menyadari fakta bahwa keperawanan dan kemurnian para perempuan, bersama-sama dengan kesetiaan pernikahan semuanya termasuk dalam lima aturan dasar moral atau Pancasila Buddhis. Maka (menjaga) keperawanan sangat banyak berhubungan, atau lebih tepatnya termasuk dalam etika dan ajaran Buddhis.”

Menjaga keperawanan merupakan praktik komara-brahmacariya. Menurut hukum duniawi, menjaga keperawanan sampai akhirnya menikah adalah yang terbaik dalam sebuah pernikahan: Perawan adalah yang terbaik dari para istri (Samyutta Nikaya I.6) Sebagai kaum muda seharusnyalah dapat menjaga tindak tanduknya, dan menjaga ikrar komara-brahmacariya, demikianlah kehendak Guru Agung kita.

Berhubungan seks dengan wanita atau pria yang menjalankan ikrar komara-brahmacariya, berarti ini telah melanggar sila ke-3. Menurut teks-teks Buddhis, bersetubuh dengan mereka yang menjalankankan ikrar adalah pelanggaran sila. Demikian juga bagi para pemegang ikrar juga dikatakan melanggar ikrar komara-brahmacariya apabila mereka berhubungan seks di luar nikah. Melanggar komara-brahmacariya berarti melanggar sila kamesumicchacara.

....to be continued....

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #2 on: 15 December 2009, 12:33:48 PM »
Seks Pra Nikah dan Karma Buruk

Di dalam kitab Asokarajavadana, terdapat kisah tentang karma buruk akibat seks pranikah. Pada suatu waktu, di selatan India, hiduplah seorang pria muda yang jatuh cinta pada seorang gadis dan melakukan hubungan seksual sebelum menikah (premarital sex) dengan gadis itu. Ibu sang pria muda menegurnya, berkata padanya bahwa nafsu dan hubungan seks di luar ikatan pernikahan hanya akan membawa pada akibat ketidakberuntungan. Dengan marah dan frustasi, ia kemudian membunuh ibunya dan pergi ke keluarga sang gadis untuk meminangnya. Pria muda tersebut ditolak. Tertekan, ia memutuskan untuk menjadi seorang bhiksu Buddhis. Karena ia sangat cemerlang, ia dapat dengan cepat menghafalkan seluruh Tripitaka dan mendapatkan banyak murid.

Suatu hari, bersama-sama dengan para pengikutnya, ia pergi menemui (Arahat) Upagupta untuk meminta instruksi meditasi, namun Upagupta, melihat kejahatannya di masa lampau, menolak bahkan untuk berbicara dengannya. “Seseorang yang bersalah karena tindakan-tindakan membunuh ibunya serta berhubungan seks di luar ikatan pernikahan”, jawabnya, “tidak dapat mencapai buah Srotapanna.” (Asokarajavadana, Taisho Tripitaka 2042)

Dari kisah di atas kita dapat mengetahui bahwa tindakan seks pranikah dapat membawa pada perasaan tertekan, rasa takut, menyesal, kecewa dan khawatir serta berbagai efek psikologis negatif lainnya. Efek psikologis tersebut bahkan dapat menimbulkan gangguan biologis. Sehingga tak diragukan lagi gangguan-gangguan itu disebabkan oleh tindakan (karma) negatif yang dilakukan oleh pria dan wanita yang berhubungan badan di luar nikah karena telah melanggar sila ke-3. Tujuan dari sila adalah melatih diri, sehingga pikiran kita akan dengan mudah merealisasikan Dharma. Seks bebas telah banyak mendatangkan keresahan dan kekhawatiran, maka dari itu sepantasnya dihindari.

Dhammapada Atthakatha mengisahkan seorang pemuda (setthiputta) bernama Khemaka, selain kaya, juga sangat tampan dan banyak wanita sangat tertarik kepadanya. Banyak wanita yang belum menikah ataupun yang telah menikah tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan seks pranikah dan perzinaan dengan para wanita itu tanpa penyesalan. Anak buah Raja menangkapnya tiga kali karena perbuatan asusila dan membawanya ke hadapan Raja. Tetapi Raja Pasenadi Kosala tidak dapat berbuat apa-apa karena Khemaka adalah keponakan Anathapindika. Maka Anathapindika sendiri membawa keponakannya menghadap kepada Sang Buddha. Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila. Setelah mendengar syair pembabaran Dhamma, Khemaka kemudian menjadi seorang Sotapanna.

Dalam berpacaran, seseorang diharapkan dapat secara dewasa mengendalikan dirinya: “Jika kamu berkeinginan untuk mendapatkan persahabatan maka jangan berbicara secara privat dengan para wanita… Hindarilah istri yang suka berhubungan seks di luar nikah.” (Pohon Kebijaksanaan oleh Arya Nagarjuna).

Di masa modern ini keburukan dari perbuatan asusila dapat kita lihat dengan jelas melalui penyebaran penyakit AIDS. Seks bebas dicatat sebagai faktor utama penyebab menyebarnya faktor mematikan ini, bahkan alat seperti kondom pun tak dapat menghentikan penyebarannya. Dengan menyadari bahwa penyebaran AIDS terjadi karena adanya perilaku manusia yang menyimpang dari sila, maka adalah hal yang urgent (mendesak) bagi umat manusia untuk kembali dalam kekehidupan yang bermoral dengan menjaga dan melaksanakan sila khususnya sila ke-3 dan ke-5.

Praktik seks bebas tak ubahnya seperti perilaku para binatang atau hewan, manusia yang memiliki cukup karma baik sehingga memiliki intelektualitas tentu harus dapat mengendalikan perilakunya: “Wahai para bhikkhu, dua prinsip yang terang ini melindungi dunia. Apakah dua hal itu? Malu (hiri) dan takut (otappa) berbuat salah. Seandainya saja dua prinsip yang terang ini tidak melindungi dunia maka tidak akan ada penghormatan yang selayaknya terhadap ibu dan saudara wanita ibu atau ipar wanita ibu, atau pada istri guru atau istri orang-orang terhormat lainnya. Maka dunia akan jatuh ke dalam kekacauan praktek seks bebas (promiskuitas), sama halnya seperti kambing, domba, ayam, anjing dan serigala.” (Itivuttaka dan Anguttara Nikaya 2.9)

Kemerosotan seperti ini mulai dirasakan di lingkungan zaman modern ini. Bahkan menurut Cakkavatti Sihanada Sutta, di masa depan di mana umur manusia menjadi merosot hingga 10 tahun saja, maka dunia akan diisi oleh cara bersetubuh dengan siapa saja, bagaikan kambing, domba, burung, babi, anjing dan serigala. Maka dari itu Ven. Hsuan Hua, murid Mahaguru Xu Yun menegaskan:

“Di Amerika, banyak orang sadar pada fakta bahwa emosi cinta berhubungan dengan dibatasinya kebebasan. Namun, mereka tidak mengerti prinsip yang mendasarinya dan malah pergi ke sisi ekstrim yang berlawanan. Dalam misi mereka untuk mendapatkan kebebasan, mereka menjadi pelaku seks bebas. “Kebebasan” yang baru mereka temukan adalah kekeliruan di atas sebuah kekeliruan. Meskipun pernikahan membatasi kebebasan seseorang, namun pernikahan tetap berada dalam posisinya sebagai bentuk hubungan yang paling utama di antara manusia. Menolak untuk mengambil tanggung jawab pernikahan dan malah melakukan hubungan seks bebas, akan menghancurkan tubuh dan mempercepat kematian seseorang. Sebagai contohnya, di masa sekarang ada beberapa laki-laki muda dan wanita muda berambut panjang yang secara bebas melakukan berbagai hubungan seks di luar nikah. Aku tidak mengejek siapapun, namun perilaku semacam itu lebih buruk daripada perilaku babi maupun anjing. Setidaknya babi dan anjing memiliki musim kawin, namun orang-orang ini melakukan hubungan seks siang dan malam di rumah satu sama lainnya, bahkan di depan umum. Dunia menjadi semakin merosot moralnya hari demi hari.” (Komentar Saddharmapundarika Sutra)

Ajaran Sang Buddha selalu mengajak dan menganjurkan kita untuk menjadi manusia manusia, bukan manusia hewan (manusso-tiracchano) yang sama sekali tidak mempertimbangkan moralitas yaitu suka melakukan persetubuhan secara bebas dan tidak bertanggung jawab. Seorang manusia yang benar-benar manusia (manussa-manusso) selalu menjalankan hubungan badan hanya dalam ikatan pernikahan dan tidak pernah melanggar sila ketiga.

“Masa remaja-dewasa adalah periode stress dan ketegangan. Adalah di waktu inilah insting (hormon) seks menjadi aktif, dan orang tua yang peka harus menuntun dan membantu anak-anak mereka untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Energi seksual ini dapat dialihkan tidak hanya pada permainan dan olahraga outdoor, namun juga pada tindakan-tindakan kreatif. Tidak mudah bagi orang dewasa yang belum menikah untuk mempraktekkan pembatasan diri akan seks sampai waktu dia menikah, Tidak diragukan bahwa ia hidup di masyarakat yang penuh dengan komersialisasi seks di mana seks secara sering dilihat, didengar, dirasakan dan dipikirkan, Namun idealnya seks yang hanya dilaksanakan dalam pernikahan adalah sesuatu yang berharga untuk dicapai. Tujuan paling sempurna dari seorang Buddhis, meskipun begitu, adalah untuk menjadi ‘Manusia Sempurna’ – bukan hewan yang sempurna.” (Prinsip Buddhisme Umat Awam oleh R. Bogoda).

Chan Master Zhuhong yang hidup semasa Dinasti Ming bahkan mengatakan: “Berhubungan seks dengan janda yang masih belum kawin lagi dihitung sebagai lima puluh ketidakbajikan. Jika melihat seorang wanita muda dari keluarga baik-baik, seseorang bernafsu untuk bercinta dengannya, dihitung sebagai dua ketidakbajikan.” (Zizhi Lu). Ucapan Zhuhong ini juga selaras dengan apa yang ada dalam Sutra Trapusa dan Bhallika. Seorang pria berhubungan dengan janda termasuk hubungan seks pranikah juga. Bahkan bernafsu saja terhadap wanita muda yang bukan kekasihnya dan belum menikahpun, dihitung sebagai ketidakbajikan, karena dalam pikiran sudah timbul niat (karma) untuk melakukan seks pranikah [walaupun belum dilakukan secara fisik].

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #3 on: 15 December 2009, 12:39:55 PM »
Kalau Masturbasi, Oral atau Anal?

Mengetahui bahwa berhubungan seks pra nikah itu tidak baik, kaum muda mudi selalu mencari celah agar mereka dapat memuaskan nafsu seksual mereka. Berbagai macam cara digunakan agar mereka dapat mencapai kenikmatan seksual dengan pacar mereka tanpa melalui hubungan seks. Sebagai akibatnya, banyak pasangan masih pacaran memuaskan nafsu mereka dengan oral seks, masturbasi mutual (saling memasturbasi pasangan) maupun anal seks, mereka menganggap hal ini tidak apa-apa, namun dalam agama Buddha, tindakan-tindakan seperti ini sudah merupakan tindakan seksual yang menyimpang dan melanggar sila ketiga.

Dalam Lamrim Chenmo (vol I), karya dari Jey Tsongkhapa, pendiri Gelugpa yang juga sering dijuluki sebagai “Buddha kedua”, disebutkan berbagai macam jenis perbuatan seksual yang menyimpang, yang seharusnya tidak dilakukan umat Buddhis, salah satunya disebutkan tentang bagian tubuh yang tidak pantas digunakan untuk aktivitas seksual di antaranya mulut [oral seks], anus [anal seks], tangan [masturbasi], paha, dan betis.

Pernyataan Jey Tsongkhapa tersebut juga bersesuaian dengan Ornamen Permata Kebebasan (Jewel Ornament of Liberation) karya Gampopa (1079-1153 M) – Guru Silsilah awal tradisi Kagyu, yang juga menyebutkan bahwa “Tindakan seksual yang menyimpang mencakup perilaku yang tidak pantas, mereka adalah mulut (oral seks) dan anus (anal seks).”  Pandangan bahwa masturbasi juga melanggar sila juga diamini oleh Longchenpa, guru agung tradisi Nyingma: “Pelanggaran dalam hal seksual adalah [berhubungan seksual] …termasuk hubungan seksual di bagian tubuh yang terlarang seperti kedua tangan.” (The Great Chariot – Kereta Agung oleh Longchenpa)

Pun juga didasarkan atas sabda Sang Buddha sendiri:
Sang Buddha berkata pada Maitreya Bodhisattva: “… Maitreya, ada empat karma yang akan membuat seorang pria menjadi seorang yang hermaprhodit (berkelamin dua), yang lebih rendah daripada orang-orang, Apakah keempat tipe ini? Yang pertama….kedua: …, ketiga: melakukan aktivitas seksual pada dirinya sendiri (masturbasi)” (Sutra Pahala Membuat Buddha Rupang, Taisho 0694)

Guru-guru agung tradisi Mahayana dan Vajrayana seperti Jamgon Kongtrul Lodro Thaye berkata: “Jangan berhubungan seksual dengan cara yang tidak tepat yaitu secara oral atau anal.” (Torch of Certainty) dan “Tindakan seksual yang salah juga mencakup tindakan yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan tertentu: masturbasi, di dalam mulut (oral) ataupun anus (anal).” (Words of My Perfect Teacher oleh Patrul Rinpoche).

Nasehat yang paling tegas ditekankan oleh Master Hsuan Hua, patriarch Chan (Zen) kesembilan tradisi Guiyang: “Mereka yang [sering] melakukan masturbasi, meskipun mereka tidak melakukan bentuk penyimpangan seksual lainnya, akan terjatuh di neraka-neraka besar.” (How Buddhism Changed My Life) dan “jika pria atau wanita melakukan masturbasi, di masa depan mereka akan menerima akibatnya terlahir kembali sebagai bukan pria pun bukan wanita (pandaka).” (Komentar Saddharmapundarika Sutra)

Pada zaman Sang Buddha ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang mempunyai kebiasaan masturbasi. Sebelum memulai kebiasaan masturbasi, wajahnya pucat dan kurus, namun setelah sering melakukan masturbasi ia tampak cerah dan sehat. Ketika mendengar hal tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh magga dan phala. Kisah ini menampik pendapat bahwa masturbasi adalah hal yang normal bagi seorang umat Buddhis awam. Cita-cita umat Buddhis adalah untuk mencapai Nirvana, lantas bukankah seharusnya mereka tidak melakukan masturbasi yang dapat menghalangi tercapainya phala? Memang mungkin masturbasi dapat memuaskan nafsu seks kita sehingga kita sementara merasa segar, namun sebenarnya nafsu seks itu sendiri tidak pernah terpuaskan, seperti sabda Sang Buddha. Tindakan yang tidak bermanfaat seperti ini seharusnyalah dihindari.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #4 on: 15 December 2009, 12:44:12 PM »
Berciuman Saat Pacaran?

Dikisahkan ada empat puluh cara bagaimana seorang wanita dapat berdamai dengan pria, baik antara suami dan istri atau pasangan yang masih dalam tahap berpacaran atau bertunangan, salah satunya adalah:  “Ia mencium dan membuatnya mencium dirinya… Sungguh, dengan … cara ini ia berdamai kembali dengan seorang pria.” (Kunala Jataka)

Berciuman pada saat pacaran adalah hal yang wajar dan tidak ada satupun kitab Buddhis yang melarangnya. Dalam Nalini Jataka [Mahavastu], Bodhisattva Ekasringa yang merupakan kelahiran lampau Siddharta dan Nalini yang adalah kelahiran lampau Yasodhara dikisahkan saling jatuh cinta, mereka beberapa kali saling berangkulan dan berciuman bibir padahal belum menikah. Dan sangat jelas pemuda Ekasringa tertarik oleh ciuman putri Nalini dan berciuman tidak dipandang sebagai tindakan seksual yang salah. Kitab Nalini Jataka dengan jelas membedakan antara berciuman dengan hubungan seksual.

Motivasi kita mencium pasangan kita, harus lebih didasari atas rasa cinta, untuk mengekspresikan rasa kasih lewat ciuman, usahakan agar motivasi kita tidak lebih banyak didasari oleh nafsu. Seperti kutipan Kunala Jataka di atas, ciuman dilakukan oleh wanita dengan tujuan berdamai dengan pria. Kondisi damai dapat kita wujudkan apabila kita mempraktekkan kesabaran dan cinta kasih, oleh karena itulah ciuman di sini dilakukan dengan kasih, bukan nafsu.

Kita harus juga senantiasa waspada jangan sampai tindakan berciuman ini kelewat batas sampai ke hubungan seksual pranikah (pelanggaran sila ketiga). Ciuman memang tidak melanggar sila ketiga, namun tindakan ciuman dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan pelanggaran sila. Contohlah tindakan Bodhisattva Ekasringa dan Nalini yang dapat mengendalikan diri mereka di kala mereka berciuman sehingga tidak sampai pada hubungan seksual yang keliru.

Mengenai metode berciuman, pada saat pacaran hendaknya bukan ciuman french kiss atau wet kiss yang menjurus pada nafsu. Ciuman pada saat pacaran seharusnya lebih diarahkan pada bibir yang hanya menempel pada bibir. Setiap kali ingin berciuman, kita harus mengecek motivasi kita, apakah lebih condong ke arah nafsu atau ke arah kasih sayang. Gaya berciuman seseorang mencerminkan motivasi orang tersebut. Kita juga harus memahami bahwa dalam paham Buddhis, mulut merupakan salah satu dari tiga lubang seksual, sehingga kita harus berhati-hati, jangan sampai menjurus pada pelanggaran sila ketiga. Bibir adalah salah satu dari sembilan tempat di tubuh yang dapat membangkitkan gairah seksual. Di dalam kitab Vinaya, dikisahkan ada seorang bhikkhu di Rajagaha yang ketahuan mencium bibir seorang wanita. Karena tindakannya itu, maka ia dikenakan pelanggaran Sanghadisesa. Apabila seseorang tidak dapat mengendalikan nafsunya saat berciuman, maka sepantasnyalah berciuman bibir dihindari. Bagi pasangan yang sudah menikah, maka gaya berciuman apapun boleh dilakukan.

Seks Hanya Digunakan Untuk Memiliki Anak sekaligus Ekspresi Cinta Suami Istri

Menurut paham etika Buddhis, seks antara pria dan wanita dimaksudkan untuk mengekspresikan rasa cinta dan untuk menghasilkan anak. Dua faktor di atas harus dipenuhi apabila seorang umat perumah tangga Buddhis ingin melakukan persetubuhan yang sesuai dengan Dharma. Dalai Lama ke-14 berkali-kali berkata, “Saya pikir, pada dasarnya, tujuan daripada seks adalah untuk memunculkan kelahiran anak [reproduksi].” (World Tibet News). Pernyataan beliaupun juga diamini oleh Lama Thubten Yeshe: “Saya telah mendengar bahwa anggapan mereka pada seks adalah untuk reproduksi, bukan untuk kenikmatan. Aku pikir itu ide yang bagus.”

Dalam Anguttara Nikaya dikatakan bahwa seorang brahmana yang seperti dewa akan melakukan tindakan “mencari seorang istri dengan cara yang benar”. Apakah cara yang benar itu? “Ia menikah dengan seorang wanita brahmana tidak untuk kenikmatan seksual, tidak untuk main-main dan tidak untuk nafsu, namun demi kemanusiaan. Ia melakukan hubungan seksual dan membangkitkan kelahiran [bayi], mencukur kepala dan janggutnya dan memakai pakaian kuning meninggalkan rumah menjadi petapa.” Demikian juga brahmana yang berada dalam batasan juga mencari seorang istri dengan cara yang benar. “Ia menikah dengan seorang wanita brahmana tidak untuk kenikmatan seksual, tidak untuk main-main dan tidak untuk nafsu, namun demi kemanusiaan. Ia melakukan hubungan seksual dan membangkitkan kelahiran [bayi], berbahagia dengan istrinya dan hidupnya sebagai seorang suami, tidak meninggalkan rumah dan tidak menjadi petapa.” (Donabrahmana Sutta)

Kemanusiaan di sini berarti hubungan seks yang didasari atas cinta kasih untuk membangkitkan kelahiran seorang anak.

Bahkan Sang Bodhisattva sendiri, oleh karena ia mengasihi Yasodhara dan sebagai bukti bahwa ia memperhatikan kondisi istrinya, maka beliau bersetubuh dengannya dan akhirnya Yasodhara menjadi mengandung Rahula.
“Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara…., [oleh karena itu] sekarang aku [Siddharta] akan bersetubuh dengan Yasodhara” Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil.” (Mulasarvastivada Vinaya)

Menyadari bahwa seks ditujukan oleh dua hal tersebut, maka tentu tidak ada alasan untuk melakukan hubungan seks pra nikah / seks bebas. Apa ada hubungan seks bebas yang ditujukan untuk menghasilkan anak? Mungkin ada, Tapi itupun masih bisa dihitung jari. Kebanyakan orang melakukan seks bebas karena mereka dikuasai oleh nafsu birahi mereka dan ketidakmampuan untuk menahan diri mereka, sehingga kehamilan malah dianggap sebagai suatu hal yang sangat tidak diinginkan oleh pelaku seks bebas. Akibat terburuk yang dapat terjadi adalah dihalalkannya praktek aborsi oleh pasangan yang melakukan hubungan seks bebas.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline johan3000

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 11.552
  • Reputasi: 219
  • Gender: Male
  • Crispy Lotus Root
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #5 on: 15 December 2009, 12:50:02 PM »
Quote
wajahnya pucat dan kurus, namun setelah sering melakukan masturbasi ia tampak cerah dan sehat.

kata org sih setelah melakukan, malah cape dan loyo...
bro GandalfTheElder.... apakah ada salah ketik atau gimana ya?
mungkin yg bagian kesehatan bisa beri masukan...!

trims sebelumnya..
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #6 on: 15 December 2009, 12:53:52 PM »
Seks Pranikah menurut Bhante Uttamo Mahathera dan Dalai Lama

Bhante Uttamo, seorang anak bangsa dan pembimbing umat Buddhis yang luar biasa, di mana tulisan-tulisannya menginspirasi penulis untuk pertama kalinya memasuki jalan Buddha Dharma. YM. Uttamo Mahathera selalu mengingatkan akan seks pranikah sebagai pelanggaran sila ketiga. Hal ini seharusnya juga menjadi penekanan bahwa seks parnikah adalah melanggar sila, khususnya di negara-negara Asia.

Beliau berargumen, sila yang ketiga adalah tidak melakukan pelanggaran kesusilaan. Di zaman yang serba canggih dan modern ini, orang seringkali ingin melangsungkan segala sesuatunya dengan serba cepat dan singkat. Bahkan hal tersebut sudah terkenal di kalangan generasi muda. Hubungan seks pranikah dan kehamilan usia remaja bukanlah suatu hal yang asing dan tabu lagi di zaman yang serba cepat ini. Kalau para generasi muda yang mempelajari sila di dalam agama Buddha masih bertingkah-laku demikian maka sesungguhnya sila ketiga ini baru sampai taraf ilmu pengetahuan saja, belum sampai pada pelaksanaan. Tetapi kalau kita mau melaksanakan sila, tentu kita akan berusaha untuk bersabar. Dan sila ini akan menjadi rem otomatis sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap kesusilaan. Ini adalah melatih kesabaran.

Dalam kriteria pelanggaran sila ketiga, permasalahannya bukan mau sama mau, tapi ada kriteria yang diluar hal itu. Kriteria pelanggaran tersebut adalah jika salah satu pelakunya adalah saudara kandung sendiri (kakak atau adik kandung), anak dibawah umur (belum dewasa), anak dibawah perlindungan (masih tergantung pada orangtua atau wali), suami atau istri orang lain, mereka yang sedang menjalankan sila (samanera atau Bhikkhu). Dengan pelaku salah satu dari kriteria di atas, maka dia telah melanggar sila ketiga, walau perbuatan itu dilakukan mau sama mau.


Meskipun dewasa ini kegiatan seksual pranikah hampir menjadi hal yang wajar, bukan berarti perbuatan ini diperbolehkan dan aman dilakukan, apalagi oleh para remaja. Ada beberapa konsekuensi logis yang mungkin diperoleh si pelaku. Konsekuensi pertama yaitu adanya perubahan yang dirasakan si pelaku pada dirinya sendiri. Perubahan ini meliputi perubahan secara fisik maupun mental. Secara fisik, si pelaku mungkin dapat terkena beberapa jenis penyakit yang berhubungan dengan kegiatan seksual. Bahkan ada kemungkinan kejangkitan penyakit AIDS yang hingga saat ini masih belum dapat diketemukan obat penyembuhnya. Atau, untuk remaja putri, resiko kehamilan sering harus ditanggung sendiri karena ditinggal si pacar setelah mengetahui kehamilannya. Sedangkan secara mental, si pelaku akan sering dibayangi dengan rasa bersalah, malu dan juga rendah diri karena merasa dirinya telah ternoda. Perasaan ini akan muncul dalam diri seseorang yang memang memiliki sedikit kemoralan. Bila tidak memiliki kemoralan sama sekali, mungkin mereka malah bangga dengan “prestasi” penyakit kelamin yang dimilikinya ataupun kehamilan semasa usia remaja ini. Sedangkan untuk mereka yang bermoral, jelas perbuatan yang melanggar sila ke tiga dalam Pancasila Buddhis ini tidak akan ada di dalam kamus kehidupannya. 

Selain berpengaruh untuk si pelaku, hubungan seksual pra nikah juga dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan tempat si pelaku berada. Lingkungan pertama adalah orangtua dan keluarga. Mereka, paling tidak, akan malu mempunyai anak yang dipandang kurang bermoral tersebut. Lingkungan yang lain adalah para teman yang mungkin akan mencemoohnya dan bahkan, mengucilkannya. Demikian menurut Bhante Uttamo Mahathera.

Sedangkan menurut Dalai Lama XIV Tenzin Gyatso, seorang Bhiksu yang sudah lama menjadi “wajah” agama Buddha di dunia, mengatakan dalam wawancaranya dengan Vir Sanghvi, editor Hindustan Times ketika ditanya soal seks pranikah: “Di dalam agama Buddha dan banyak agama lainnya, mereka menganggap seks hanya sebagai cara untuk memiliki anak [reproduksi]. Saya tidak mempercayai seks pranikah. Seorang berkebangsaan Amerika bertanya pada saya, “apakah tidak apa-apa apabila melakukannya dengan [pacar saya] menggunakan mulut, dengan tangan, di lubang yang salah….” Saya selalu berkata hal yang sama. Jika hubungan seks tersebut mencakup rasa welas asih, jika aman dan ada persetujuan antar kedua belah pihak, maka tidak ada yang salah.

Apakah rasa welas asih itu? Yaitu berhubungan seks atas dasar cinta dan komitmen, bukan sekadar nafsu dan keintiman saja. Apakah aman itu? Yaitu seseorang harus menjamin bahwa pasangannya tidak tertular penyakit seksual ataupun siksaan-siksaan mental lainnya, oral, anal, dan keseringan masturbasi dapat menyebabkan bahaya kesehatan. Lalu apakah persetujuan itu? Yaitu seks dilakukan tanpa paksaan. Ini semua hanya dapat ditemukan dalam seks yang berada dalam ikatan pernikahan yang sejati.

Dalam bukunya, Power of Compassion, Dalai Lama mengatakan bahwa hanya hubungan seksual bertempat dalam ikatan pernikahan. Bahkan Dalai Lama menunjukkan keprihatinan pada perilaku “kumpul kebo” orang Barat (hidup bersama dan berhubungan seks sebelum nikah): “Terlalu banyak orang di Barat yang telah meninggalkan tradisi pernikahan. Mereka tidak mengerti bahwa pernikahan adalah tentang saling mengembangkan rasa menghargai pada seseorang, respek yang sangat dalam dan kepercayaan serta kesadaran akan kebutuhan sesosok manusia. Suatu jenis hubungan baru yang ‘gampang- datang, gampang pergi’ memberikan kebebasan yang lebih, namun mengurangi contentment.” (Daily Telegraph, 2006),  dan lebih lanjut beliau mengatakan, “Terkadang kehidupan seks menjadi sedikit ekstrim atau melenceng, khususnya di Barat, dengan begitu banyak “kebebasan seksual.” Namun seseorang tidak dapat mengatakan bahwa “kebebasan seksual” membuat kita sangat bebas. Apakah engkau menemukan bahwa beberapa aspek dari gaya hidup barat sebenarnya mempromosikan seks? Di dalam sifatnya sendiri, seks bukanlah sesuatu yang keliru, namun saya pikir hal tersebut seperti minum-minum, hal itu akan menjadi masalah apabila berlebihan.” (Mengimajinasikan Semua Orang oleh Tenzin Gyatso)

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #7 on: 15 December 2009, 12:56:18 PM »
Quote
kata org sih setelah melakukan, malah cape dan loyo...
bro GandalfTheElder.... apakah ada salah ketik atau gimana ya?
mungkin yg bagian kesehatan bisa beri masukan...!

trims sebelumnya..

Itu saya dapat dari Dhammapada Atthakatha. Jujur dulu waktu SMP - SMA pun saya pernah melakukan masturbasi, capek sih capek, tapi pikiran sementara terasa fresh dan segar gt. Ini pengalaman pribadi. Sekarang saya sudah tidak lagi melakukan hal tersebut karena tidak ada faedahnya sama sekali, hanya nambah lobha.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #8 on: 15 December 2009, 01:05:06 PM »
Seks Pra-Nikah itu Tanpa Komitmen

“Sadarilah penderitaan yang diakibatkan oleh tindakan seksual yang salah, aku akan mengambil tanggung jawab dan mempelajari cara-cara untuk melindungi keamanan dan integritas dari para individu, pasangan kekasih, keluarga dan masyarakat. Aku bertekad untuk tidak berkecimpung dalam hubungan seksual [yang] tanpa cinta dan komitmen dalam jangka panjang. Untuk memelihara kebahagiaan diriku sendiri dan orang lain, aku bertekad untuk menghormati komitmenku dan komitmen orang lain. Aku akan melakukan segalanya dengan kekuatanku untuk melindungi anak-anak dari pelecehan seksual dan untuk mencegah pasangan kekasih dan keluarga dari perpecahan akibat tindakan seksual yang menyimpang.” (Thich Nhat Hanh)

Seringkali umat Buddhis memandang pernikahan sebagai masalah duniawi (sekular) saja, sekedar produk dari kebudayaan saja, sehingga apabila ada pasangan yang belum menikah namun dianggap sudah berkomitmen satu sama lain melakukan persetubuhan, maka tindakan mereka itu sah-sah saja. Sikap umat Buddhis yang kurang menghargai hakikat pernikahan ini sungguh memprihatinkan. Bayangkan saja, pernikahan dipandang sebagai masalah sekular saja namun seks di luar nikah diperbolehkan! Seorang umat Buddhis yang sadar akan hati nuraninya tidak akan mungkin berpendapat seperti demikian.

Namun kita seringkali lupa bahwa sebenarnya pernikahan itu, meskipun merupakan masalah duniawi, merupakan wujud dari totalitas komitmen dan tanggung jawab itu sendiri. Seks pranikha kebanyakan hanya mengandalkan emosi atau keintiman saja.

"........Sila ketiga, tidak berbuat asusila, adalah penting. Orang yang tidak memegang sila ini dapat menciptakan kepedihan dan prahara di dalam keluarga dan masyarakat. Saya mendesak semua praktisi awam Buddhis untuk mengambil sila ini. Menurut standar India Kuno, tindakan berikut ini termasuk ke dalam pelanggaran berat: hubungan seks diantara pasangan yang tidak menikah, berzina, dan seks tidak normal. Menurut adat, seks harus dilakukan pada malam hari, dalam kamar pribadi, dan dengan cara yang normal, yakni: seks dengan alat genital (kelamin)-lain dari itu dianggap tidak normal.
Jaman sudah berubah, dan kode moral barat itu berbeda. Banyak pasangan hidup bersama tanpa menikah. Dalam masyarakat dewasa ini, perilaku demikian tak selalu dianggap sebagai tindakan asusila. Walau begitu, saya anjurkan orang-orang ini untuk menikah. Kalau anda tidak menikah dan melahirkan anak-anak, itu akan menciptakan masalah bagi mereka. Bahkan andai kalian belum punya anak sekalipun, lebih baik menikahlah, karena hal itu menunjukkan bahwa kalian bersungguh hati (committed) terhadap pasangan kalian. Pernikahan adalah tanda tanggung jawab dan kedewasaan (dalam hubungan tersebut), dan itu bagus.
(Zen Wisdom oleh Master Sheng-yen, Patriark Chan tradisi Linji dan Caodong)

Beberapa orang berdalih bahwa hubungan yang berkomitmen pun dapat dilakukan bersama dengan pacar. Maka dari itu hubungan seks dengan pacar tidaklah melanggar sila. Namun sesuai dengan perkataan Master Shengyen, hanya pernikahanlah yang dapat menunjukkan bahwa komitmen kita itu memang jelas, sungguh-sungguh dan benar. Kita bisa merasa berkomitmen pada pacar kita, namun apabila putus, kita mencari pacar lain yang dengannya kita juga merasa berkomitmen. Lantas sebenarnya dengan siapakah kita berkomitmen? Pada pacar A, B atau C? Maka dari itu komitmen dalam masa pacaran hendaknya tidak dijadikan pembenaran untuk melakukan hubungan seks karena sifatnya tidak jelas, sangat labil dan mudah berubah disebabkan oleh tanpa adanya ikatan pernikahan.

“Pada hari-hari ini, salah satu dari alasan-alasan utama seorang pria dan wanita menjadi teman (berpacaran) adalah alasan seksual. Mereka bergumul bersama-sama untuk kepentingan kenikmatan seksual. Di zaman yang lebih awal, pernikahan memiliki kualitas agung – sepasang pria dan wanita datang bersama dengan penghormatan, dengan tujuan untuk menciptakan suatu keutuhan (totalitas). Hal tersebut memberikan arti pada pernikahan, dan pernikahan yang dilangsungkan dengan tujuan tersebut akan menjadi pernikahan yang baik.” (Lama Thubten Yeshe).

Melakukan persetubuhan setelah menikah adalah salah satu wujud penghormatan pada pasangan hidup kita. Di negara Asia kebanyakan, seks pranikah yang menimbukan kehamilan tentu akan mempermalukan kedua orang tua para pelakunya. Mereka yang melakukan seks pranikah, khususnya pihak wanita, akan dicela dan dipergunjingkan oleh masyarakat banyak. Integritasnya sebagai wanita telah direnggut apabila ia ketahuan melakukan seks sebelum menikah. Apabila seseorang memang mencintai seseorang, maka tentu ia akan memperlakukan pasangannya dengan hormat sehingga tidak akan dengan sengaja menyebabkan kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang mungkin akan diterima oleh orang yang dicintainya itu.

Cinta antara pria dan wanita, menurut ahli psikologi Robert Sternberg. Memiliki tiga komponen:
1. Keintiman yaitu perasaan kedekatan dan keterikatan satu sama lain
2. Nafsu yang berkiatan dengan seksualitas
3. Komitmen yaitu keputusan untuk bersama dalam jangka yang panjang, segala dilakukan bersama-sama dan saling memenuhi

Dari ketiga komponen di atas, aspek terpenting dalam pertimbangan melakukan persetubuhan adalah komitmen. Banyak para remaja yang berpacaran merasa mereka sudah berkomitmen pada pacar mereka dan akhirnya membenarkan tindakan seks pranikah mereka. Karena bagi mereka yang terpenting adalah esensinya, ketimbang melakukan pernikahan yang hanya merupakan formalitas, lembaran catatan pengesahan saja. Esensi lebih penting daripada bungkus luarnya. Argumen yang sepintas tampak jitu ini tentu saja sangat keliru, mengapa? Ada beberapa alasan untuk itu:

1. Pernikahan tidaklah sulit untuk diadakan, lantas mengapa seseorang harus berhubungan seks di luar nikah? Bukankah apabila disalurkan lewat pernikahan maka semuanya menjadi aman, nyaman,  dan sehat? Mengapa harus menempuh jalan yang berbahaya dan sembunyi-sembunyi karena takut dan malu?

2. Menurut penelitian, kebanyakan komitmen yang dirasakan oleh orang yang berpacaran sebenarnya bukanlah komitmen, namun merupakan perasaan keintiman yang sangat dekat sehingga seolah-olah menjadikannya seperti sebuah komitmen. Totalitas komitmen hanya dapat diwujudkan melalui pernikahan saja. Selain itu komitmen sendiri hanya dapat dimiliki oleh individu yang dewasa, sepenuhnya matang dan sadar.

3. Pernikahan bersifat mengikat, baik dari segi hukum, budaya maupun keluarga serta berbagai norma-norma yang ada di masyarakat. Hal ini adalah hal yang positif. Melakukan persetubuhan di luar nikah akan mengakibatkan orang-orang dengan mudah melanggar ‘komitmen’ mereka (yang katanya esensi!) karena tidak harus mengurus berbagai urusan formalitas seperti surat cerai dan sebagainya ketika mereka berkehendak meninggalkan pasangan yang sudah digaulinya itu. Esensi dan kualitas tmemang lebih utama ketimbang bungkus luarnya. Tapi apakah itu berarti, formalitas tidak bernilai sama sekali? Kenyataan menunjukkan, walaupun formalitas bukanlah segala-galanya, tapi orang-orang membutuhkannya. Sebuah "kontrak kerja", misalnya, memang tidak menjamin adanya komitmen yang tulus dari kedua belah pihak. Tapi paling sedikit ia memberikan sebuah "pegangan". Orang bisa melakukan tindakan hukum bila itu dilanggar. Orang yang mengatakan bahwa "komitmen, bukan formalitas yang penting", sebenarnya bisa saja adalah orang yang menolak komitmen. Orang yang mengatakan bahwa formalitas pernikahan tidak penting -- sebab hanya cinta kasih, relasi dan komitmen-lah yang penting, sering adalah orang yang menolak untuk memberi komitmen "resmi". Mereka masuk dari pintu depan, tapi secara diam-diam menyiapkan "pintu darurat" di belakang. Agar sewaktu-waktu mereka dapat melarikan diri dari komitmen dan relasi, yang selalu mereka katakan paling utama itu.

4. Pernikahan bukanlah sekedar masalah kelembagaan atau surat-surat, namun pernikahan adalah suatu wadah / institusi di mana pria dan wanita datang dengan saling menghormati, saling mengasihi dan setia satu sama lain dengan komitmen yang total, yaitu hidup bersama sepanjang hidup dalam cinta kasih, tanggung jawab, dan perlindungan. Dietrich Bonhoeffer berkata pada para calon pengantin pria dan wanita: “Bukanlah cinta kalian yang akan mempertahankan pernikahan, tetapi mulai sekarang, pernikahan itu sendiri akan mempertahankan cinta kalian.”

5. Budaya barat yang tidak suka diikat-ikat, sehingga banyak melakukan seks pranikah dan seks bebas, tentunya merupakan kegagalan pendidikan di sana. Zaman dulu di Asia meskipun tidak ada lembaga pernikahan, sepasang pria dan wanita yang akan menikah terlebih dahulu akan melakukan ritual-ritual untuk meresmikan pernikahan mereka sebagai wujud dari komitmen mereka untuk tinggal bersama. Ini adalah kesadaran yang patut dicontoh oleh banyak orang, bukannya budaya barat yang dianggap modern tetapi malah bersifat merusak. Aspek seksual kita apabila disalurkan di dalam pernikahan akan menghasilkan tanggung jawab dan kestabilan.

6. Seks pranikah juga dapat memancing kecurigaan. Seseorang mungkin akan berpikir: apabila seks menyimbolkan komitmen, maka dulu ketika pacarku bersetubuh dengan mantan pacarnya bukankah ia tidak sepenuhnya berkomitmen? Buktinya setelah melakukan hubungan seks dia putus sama pacarnya? Mungkin saja bukan ia juga tidak sepenuhnya berkomitmen pada aku yang pacarnya sekarang? Jika ia dapat tidur denganku sebelum menikah, apakah ia juga melakukannya dengan wanita lain?

7. Setiap tindakan seks pranikah akan memberikan pengaruh pada psikologis seseorang sehingga ia akan sulit memegang kesetiaan dan komitmennya secara total dalam pernikahan. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang melakukan seks pranikah akan banyak berujung pada perceraian nantinya.

8. Cinta seharusnya diwujudkan dalam pengendalian diri sebelum menikah, bukan dengan hubungan seks. Seseorang menghindari seks pranikah dengan tujuan untuk menghormati pernikahan yang sejati itu sendiri. Pernikahan (marriage) adalah suatu kondisi di mana laki-laki dan wanita yang saling mencintai bersatu. Namun ini adalah sebuah “persatuan terbuka” di mana hubungan ini terbuka pada hidup, keluarga, teman dan masyarakat. Pernikahan adalah urusan antara dua orang yang saling mencintai pun juga sekaligus merupakan hal yang menjadi perhatian sosial. Keluarga adalah komponen dasar dalam suatu masyarakat. Pernikahan tetap memliki akibat yang sangat dalam dan menawartkan kedamaian dan keseriusan yang tidak dapat ditemukan di bentuk hubungan manusia lainnya. Perniakhan adalah titik di mana hubungan yang intim dan privat disahkan di depan publik. Seseorang mengucapkan ikrar pernikahan di depan umum. Pernikahan mengaitkan dua keluarga dan dengan demikian memperkuat jaringan sosial yang lebih besar. Ini adalah suatu keberanian, karena seseorang secara publik berjanji untuk setia pada pasangannya. Tangisan di acara pernikahan adalah karena harapan untuk itu.

9. Syarat dari hubungan seksual yang tidak melanggar sila adalah kita harus memberikan rasa aman pada pasangan kita. Rasa aman itu hanya dapat dicapai melalui pernikahan saja, karena pernikahan adalah sebuah institusi di aman seseorang dapat jujur satu sama lain, penuh dengan komitmen sehingga seseorang merasa aman dalam hubungan tersebut. Komitmen secara privat saja seperti “kumpul kebo” sangat mudah untuk dilanggar, sehingga tidak aman.

10. Pernikahan (marriage) adalah pengalaman yang sangat kaya, tempat yang aman, tempat di mana komitmen dibangun. Ia adalah benteng di mana suami istri mempertahankan kebahagiaan mereka. Bahkan dalam pernikahan, seseorang dapat tumbuh menjadi lebih dewasa. Sudah umum bagi masyarakat bahwa seseorang yang telah menikah dipandang lebih dewasa dari mereka yang belum. Menyebut seseorang sebagai pacarku atau partnerku tidaklah dapat dibandingkan ketika seseorang menyebutkan bahwa ia adalah suamiku atau istriku. Sebutan “suamiku” atau istriku” memberikan sebuah rasa ikatan komitmen, kepercayaan satu sama lain dan rasa aman dalam pernikahan. Sebutan seperti “pacarku” tidak akan pernah memberikan hal-hal tersebut. Tujuan dari pernikahan (marriage) adalah membangun pernikahan dengan tujuan. Pernikahan dengan tujuan bukanlah seperti pernikahan kecelakaan. Pernikahan dengan tujuan adalah tentang komitmen cinta, yaitu keputusan untuk memberikan waktu, untuk mendengar, berkomunikasi, cinta dan rasa saling memaafkan.

 “The marriage is not about the wedding. Instead, the wedding is about the marriage. It isn’t the piece of paper that matters. It’s how getting married changes how you see yourself, how you see your partner and the way other people see and treat you.”


Christi Rudolph menulis: “Perkawinan (wedding) adalah “selembar kertas” namun pernikahan (marriage) tidak seperti itu. Pernikahan (marriage) adalah komitmen antara dua orang memasuki sebuah kondisi di mana mereka akan menghormati, mencintai dan mengorbankan apapun yang mereka punyai terhadap pasangan mereka.”

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #9 on: 15 December 2009, 01:05:30 PM »
Master Hsuan Hua berkata bahwa seks harus menunggu sampai pernikahan dilangsungkan. (In Memory of The Venerable Master Hsuan Hua, p 251). “Sebelum pernikahan yang sebenarnya dilangsungkan, kalian seharusnya tidak berpacaran dengan cara seperti yang orang-orang duniawi lakukan, semuanya kacau dan menyimpang, sehingga engkau akan lupa tentang Buddhadharma dan hanya berpikir tentang menuruti kenikmatan nafsu-nafsumu.” (Komentar Avatamsaka Sutra bab 39)

Di dunia barat, di mana seks pranikah telah banyak dilakukan, mungkin ajaran Buddhis tentang bagaimana seks hanya diperbolehkan dalam ikatan pernikahan adalah sesuatu yang sangat mengekang pun bisa dianggap ajaran yang ketinggalan zaman. Mereka menyerukan bahwa umat Buddhis tidak harus melakukan seks dalam ikatan pernikahan, dalam masa pacaran pun, apabila keduanya memiliki komitmen yang jelas maka persetubuhan tidaklah dilarang. Menanggapi ini mari kiita lihat tanggapan Ajahn Amaro:
“Untuk menggunakan standar klasik, yaitu berkata bahwa orang-orang tidak seharusnya melakukan hubungan seks sebelum menikah – adalah sepenuhnya menyimpang dengan jalan hidup dunia barat pada masa sekarang, sehingga jika aku mempromosikan standar seperti itu, maka kemungkinan pesat akan sangat banyak bermunculan kelompok orang yang lebih kecil untuk menaruh kepercayaan pada hal-hal yang aku katakan!... Maka seseorang seharusnya memiliki suatu standar objektif, di mana seksualitas tidak hanya digunakan sebagai selingan saja, tidak dengan tujuan untuk suatu hal yang egois, atau tidak hanya untuk memaksimalkan kenikmatan untuk diri sendiri, namun seks seharusnya digunakan lebih banyak dengan kualitas tanggung jawab dan komitmen. Sebuah standar yang mana aku sarankan (dan ini untuk semua orang renungkan…) adalah untuk menghindari hubungan seks dengan siapapun yang mana engkau belum siap untuk menghabiskan sepanjang sisa waktu hidupmu dengannya.” (Ajahn Amaro)

Ya. Memang standar di barat dan timur pada zaman sekarang sudah berbeda. Standar timur adalah pernikahan sekaligus totalitas komitmen sedangkan standar barat hanya mementingkan totalitas komitmen saja. Sebenarnya antara totalitas komitmen dan pernikahan memiliki hubungan yang sangat erat dan bahkan tidak terpisahkan. Namun sekarang zaman sudah berubah dan tidak menutup kemungkinan ada kelompok masyarakat yang sudah dewasa dan matang yang benar-benar sudah bisa berkomitmen secara utuh walau belum menikah.

Lalu lantas apakah semua orang barat yang melakukan seks pranikah semuanya memiliki komitmen yang utuh? Sayangnya, kebanyakan tidak. Komitmen untuk hidup bersama sepanjang hidup adalah syarat utama dalam melakukan hubungan seks, meskipun sepasang manusia belum menikah. Hanya saja yang dapat melakukannya cuma sedikit, karena sifat manusia yang cenderung berperilaku seenaknya tanpa didasari  atas kesadaran. Maka dari itu tidak jarang kita jumpai banyak orang barat yang sering gonta ganti pacar dan berhubungan seks pula dengan semua pacarnya itu. Bahkan menurut penelitian banyak laki-laki dan perempuan di barat sana yang sudah berhubungan seks dengan lebih dari sepuluh orang selama mereka belum menikah. Bila sudah begini, di mana lagi seks yang didasari atas komitmen yang benar-benar total? Maka dari itu, seks dalam ikatan pernikahan tetap merupakan hal yang sangat baik untuk dilakukan.

“Ketika kalian melihat masyarakat Buddhis mereka sangat mencela seks pranikah, namun Sang Buddha sendiri tidak pernah berbicara secara spesifik tentang hal tersebut. Buddha memang pernah berkata bahwa berhubungan seks dengan seseorang yang berada di bawah kontrol orang lain, dengan kata lain seorang anak yang masih berada di bawah perlindungan keluarga, maka anak itu adalah objek (seksual) yang tidak sesuai, orang yang tidak sesuai. Maka aku menyarankan bahwa remaja harus berpikir, “Apakah aku berada di bawah kontrol orang tuaku? Apakah orang yang dengannya aku berhubungan seks berada di bawah perlindungan orang tuanya? Khususnya yang termasuk dalam tindakan seksual yang tidak bijaksana adalah segala kontak seksual yang akan menimbulkan kerusakan / luka, yang akan menyebarkan penyakit. Meskipun Buddha tidak secara spesifik menyebutkannya disebabkan mungkin hal itu bukanlah isu di India kuno, tindakan seksual yang tidak bijak termasuk segala perilaku seks yang tidak bertanggung jawab, yang menyakiti perasaan orang-orang lain.” (Ven. Thubten Chodron)

Meskipun Sang Buddha tidak pernah menyentuh topik seks pranikah secara mendalam, namun sabda-sabda beliau menunjukkan bahwa tindakan seks pranikah adalah tindakan yang kurang bijaksana. Efek negatif dari seks pra nikah seperti kehamilan, penularan AIDS, penyakit kelamin, trauma psikologis semuanya mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang. Agama Buddha adalah agama yang mengusahakan kebahagiaan semua makhluk, lantas akankah Sang Buddha membolehkan praktik seks pranikah / bebas? Tentunya anda sudah tahu sendiri jawabannya.

Seorang petinggi aliran Jodo Shinshu (True Sukhavati), berkata: Seks remaja dengan sangat tegas tidak dianjurkan, disebabkan oleh karena ketidakdewasaan, para remaja tidak mengambil tanggung jawab penuh dan precaution terhadap akibat-akibat yang mungkin terjadi seperti kehamilan dan penyakit (kelamin). Seks pra-nikah dengan sangat tegas tidak dianjurkan karena beberapa alasan yang sama seperti sebelumnya (kehamilan dan penyakit). Para orang dewasa, di lain sisi, dianjurkan untuk sadar atas tiga prinsip dasar [berkesadaran, tidak menyebabkan penderitaan pada pihak lain, tidak menghakimi orang lain karena diri sendiripun belum sempurna] (Rev. Ken Tanaka - Metta)

Lama Gendun Choepel, seorang intelektual Buddhis Tibetan pada awalnya sering melakukan praktek seks di luar nikah dengan wanita-wanita Tibet, India maupun Nepal, namun beberapa waktu kemudian ia menyesali perbuatannya: “Dengan rasa malu akan diriku yang sedikit dan keyakinanku yang kuat pada wanita, aku adalah jenis orang yang memilih kejahatan dan meninggalkan kebaikan. Untuk beberapa waktu aku tidak memiliki ikrar-ikrar sila di kepalaku. Namun sekarang aku memberhentikan kepura-puraan di isi perutku.” Dari kesadarannya akan kesalahan tersebut, ia kemudian membuat nasehat pada banyak orang tentang pentingnya untuk menjaga hubungan seks: “Hidup dengan pekerjaan sendiri yang sesuai dengan Dharma, selalu melakukan hubungan seks hanya dengan istrinya sendiri, mengontrol indra-indranya, dan memiliki cukup waktu dengan teman-teman yang akan datang. Seorang makhluk [manusia] yang luar biasa mendapatkan pembebasan di rumah.”

Melihat kutipan sutra di atas, maka seorang yang bajik, tidak akan berhubungan seks oleh karena semata-mata nafsunya, namun ia berhubungan seks demi cinta dan kemanusiaan [hanya untuk mempunyai anak], yang mana dilakukan oleh suami istri (dalam ikatan dan komitmen pernikahan). Dengan demikian kita melihat bahwa hubungan seks yang disertai kebijaksanaan dan sesuai dengan Dharma dapat menjadi sebuah kendaraan untuk mencapai kehidupan rumah tangga yang berbahagia.

Guru dari Master Cheng-yen (pendiri Tzu Chi) secara tegas menulis: “Jangan melakukan tindakan seksual yang menyimpang,” Jika seorang pria dan seorang wanita setuju menjadi suami dan istri dengan cara upacara yang diakui publik, dengan persetujuan para pelindung [orang tua, keluarga] dan tidak melanggar hukum-hukum sekular, baru hubungan seksual antara suami dan istri dianggap benar dan tidak menghasilkan karma negatif. Meskipun dalam kasus-kasus di mana pasangan kekasihnya setuju [melakukan hubungan seks], tindakan seks dianggap menyimpang bagi umat awam apabila tidak diizinkan oleh Buddha Dharma, tidak diizinkan oleh hukum sekular, atau tidak disetujui oleh relasi-relasinya yang merupakan para pelindungnya.” (Jalan Menuju Ke-Buddhaan oleh Master Yinshun)

Ajaran Buddhis menganjurkan kita untuk berusaha mengurangi nafsu dan kebencian di dalam diri kita serta berusaha mengurangi dan melenyapkan segala penderitaan yang dialami umat manusia. Seks bebas maupun seks pranikah terbukti lebih banyak menimbulkan penderitaan serta cenderung mendorong nafsu untuk muncul. Melihat hal itu seks pranikah tentu sangat bertentangan dengan ajaran Sang Bhagava. Maka kurang pantas bila seseorang mengatakan bahwa agama Buddha memperbolehkan hubungan seks bebas / pranikah, baik itu heteroseksual maupun homoseksual. Sang Buddha mengajarkan pada kita tentang akibat buruk dari persetubuhan yang menyimpang, untuk membimbing kita para makhluk agar dapat mencapai kebahagiaan agung seperti diri-Nya.

Sarva Manggalam,
Upasaka Vimala Dhammo
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Elin

  • DhammaCitta Press
  • KalyanaMitta
  • *
  • Posts: 4.377
  • Reputasi: 222
  • Gender: Female
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #10 on: 15 December 2009, 01:12:05 PM »
panjang bener nih 6 post nya..  :|
Elin baca pelan2 deh, gak bs terburu2..
Biar selalu ingat gituuu..

Thanks GandalfTheElder.. Ini sangat berguna sekali agar kita dapat mengetahui batasan2 nya..
_/\_

GRP sent daaaahh.. :)

Offline GandalfTheElder

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #11 on: 15 December 2009, 01:21:45 PM »
Quote
panjang bener nih 6 post nya..  Straightface
Elin baca pelan2 deh, gak bs terburu2..
Biar selalu ingat gituuu..

Thanks GandalfTheElder.. Ini sangat berguna sekali agar kita dapat mengetahui batasan2 nya..
Namaste

GRP sent daaaahh.. Smiley

Thx ya ce Elin.....  :)  :)

Nggak papa pelan2 aja, soalnya waktu nulis ini saya juga pelan-pelan mengumpulkan materi hingga akhirnya tak terasa menjadi sangat panjang..hehe.....

Motivasi pertama saya menulis ini adalah jangan sampai agama Buddha berkontribusi pada kebobrokan moral para remaja saat ini, dengan mengatakan seks pranikah itu ok2 dan sah2 aja. Ini jelas2 pengaruh Barat yang tidak memikirkan etika lagi.

Dulu saya pernah mendapat pertanyaan dari teman yang beragama Islam yang kurang lebih: "Eh, katanya koko2 A itu agama Buddha memperbolehkan ngeseks sama PSK dan before married juga boleh, kok bisa?" Saya kaget dan malu sekali.

Semoga bermanfaat.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #12 on: 15 December 2009, 01:25:16 PM »
 :jempol:

Mantap. Semoga yang mempelajari tulisan ini tidak lagi melakukan pelanggaran.
Amat disayangkan ada yang demi pemuasan nafsu keinginan berusaha melalukan penafsiran sempit dengan meminimalisasi wilayah pelanggaran hanya berpatokan pd 3 faktor penyebab pelanggaran Sila.


Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #13 on: 15 December 2009, 04:03:46 PM »
Quote
Bahkan Sang Bodhisattva sendiri, oleh karena ia mengasihi Yasodhara dan sebagai bukti bahwa ia memperhatikan kondisi istrinya, maka beliau bersetubuh dengannya dan akhirnya Yasodhara menjadi mengandung Rahula.
“Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara…., [oleh karena itu] sekarang aku [Siddharta] akan bersetubuh dengan Yasodhara” Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil.” (Mulasarvastivada Vinaya)
loh?? katanya yasodhara itu perawan waktu hamil? kenapa kok bersetubuh?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Brado

  • Sebelumnya: Lokkhitacaro
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.645
  • Reputasi: 67
Re: SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« Reply #14 on: 15 December 2009, 04:07:58 PM »
Quote
Bahkan Sang Bodhisattva sendiri, oleh karena ia mengasihi Yasodhara dan sebagai bukti bahwa ia memperhatikan kondisi istrinya, maka beliau bersetubuh dengannya dan akhirnya Yasodhara menjadi mengandung Rahula.
“Orang-orang akan berkata bahwa Pangeran Sakyamuni bukanlah seorang pria dan ia meninggalkan keduniawian tanpa memperhatikan Yasodhara…., [oleh karena itu] sekarang aku [Siddharta] akan bersetubuh dengan Yasodhara” Ia melakukannya dan Yasodhara menjadi hamil.” (Mulasarvastivada Vinaya)
loh?? katanya yasodhara itu perawan waktu hamil? kenapa kok bersetubuh?

Serius ? Setau aku sih perawan Ma**a, dan bukan Yasodara, emang ada sumbernya bro ?

 

anything