Numpang jawab lagi.
yg aku maksudkan d sini, bukan ttg ajarannya, tapi "dogmatis"nya...
di ajaran tetangga kan mempertanyakan apa yg tertulis dlm kitab, kl aku tdk salah, itu merupakan sesuatu yg tabu.
nah, jika benar penafsirannya bahwa sang buddha tidak mau menjelaskan ttg sesuatu di luar hal yg mendukung ajaran pencapaian nibbana, bukankah itu sama dengan sebuah dogma...
Bedanya dogma dengan penolakan jawaban Buddha adalah di sisi 'dogma' itu termasuk dalam ajaran agamanya, sementara hal di luar pencapaian kesucian TIDAK berhubungan dengan Ajaran Buddha. Pendek kata: anda harus percaya dogma untuk belajar agama dogmatis, tapi anda tidak perlu percaya sesuatu yang tidak dipercaya untuk belajar Ajaran Buddha.
Mengenai 4 hal yang tidak terpikirkan, juga masih bukan dogma, karena bisa kita buktikan sendiri (dengan mencapai penerangan sempurna).
maksudnya... umat awam yg tidak mengerti ttg suatu hal dlm ajaran akan mencari tau jawaban atas ketidaktahuannya pada sosok yg dijadikan sebagai guru... kl tidak bertanya pada gurunya, atau jika gurunya dtanya tidak memberi jawaban... harus mencari tau kemana umat awam tersebut...?
Jika seorang murid bertanya tentang ajaran guru dan tidak dijawab, maka guru itu bukan guru yang baik. Tapi jika seorang murid bertanya tentang yang bukan ajaran gurunya dan tidak dijawab, maka itu adalah wajar. Bayangkan saja jika seorang 'biku' datang kepada Buddha dan bertanya, "Guru, kunci A Major 7 di gitar gimana yah?" Bukankah wajar kalau Buddha tidak menjawab karena memang bukan itu yang diajarkan kepada muridnya?
bro kainyn thanks jg buat masukan2nya... tp ada sedikit pertanyaan yg berkembang dari penjelasan di bawah.jika demikian berarti dhamma tidak berlaku sama rata ya? td memang sudah ada di tanggapan bro ronald, tp aku ingin tau pendapat dari bro kainyn.
Sepertinya bukan 'tidak berlaku sama rata', tapi memang di samping objek penderita, hasilnya juga tergantung pada subjektifitas si pelaku. Contoh gampangnya A mau dibunuh B. B adalah orang tua dari C dan sangat sayang pada C. A bunuh B karena bela diri dan C bunuh B karena benci tidak diberi uang jajan, sudah tentu kondisi niat dan pikirannya waktu membunuh si B (objek yang sama) adalah berbeda, maka hasilnya juga berbeda.
bro... apakah berlaku juga jika kita berbuat baik (dgn tujuan tertentu) pada seorang arahat pasti akan membuahkan kebahagiaan yg sangat besar? dlm hal ini aku kaitkan dengan pekerjaan... dimana seorang karyawan (umat awam) yg menjilat (selalu menunjukkan perbuatan baik) di depan bos (arahat) agar dia mendapat peningkatan gaji (kebahagiaan)..
Kembali lagi, ini spekulasi yah. Tapi kalau menurut saya perbuatan baik tidak selalu bisa diarahkan pada hasil tertentu. Misalnya saya berbuat baik mengajarkan matematika lalu mengharap berbuah dapat istri, maka sepertinya kurang mungkin, walaupun mungkin perbuatan baik tersebut bisa saja menunjang kamma baik lain yang akhirnya berbuah pada dapatnya istri tersebut.
Berbuat sesuatu kebaikan, jika disertai niat baik, maka adalah kamma baik. Tapi jika disertai niat jahat, maka perbuatan yang kelihatan baik belum tentu berarti kamma baik. Jika perbuatan baik itu bukan berdasarkan kerelaan/belas kasih, maka bisa jadi tidak ada kamma baik tertanam di sana.
Keinginan mendapatkan sesuatu adalah bentuk keserakahan, walaupun mungkin ada yang sangat halus. Bagaimanapun juga keserakahan menghasilkan ketidakpuasan, terutama kalau yang diinginkan itu tidak terwujud sesuai keinginannya.
baru tau ttg yg 1 ini...
bro, siapa/apa yg meramalkan seorang bodhisatta? apakah bodhisatta bisa memilih dimana dia akan dilahirkan?
jika demikian, mengapa dulu pangeran sidharta larut dalam kemegahan istana, padahal saat dia lahir,dia berkata bahwa ini adalah kelahiranku yg terakhir... dengan kata lain, dia sejak dilahirkan di alam manusia sadar bahwa dia memiliki tekad utk mencapai nibbana....? mengapa kesadaran utk mjadi seorang pertapa baru muncul di usia 27 tahun... tidak sejak kecil?
Seorang bodhisatta mengalami 'perjalanan' sangat panjang sebelum dia bisa disebut 'bodhisatta'. Setelah tekadnya bulat dan punya potensi yang cukup, maka jika ia berkesempatan bertemu dengan seorang Buddha, ia bisa menerima ramalan pasti, seperti Bodhisatta Gotama (pada kelahirannya sebagai Petapa Sumedha) menerima ramalan pasti pada saat pertemuan dengan Buddha Dipankara.
Bodhisatta tetap terlahir sesuai kammanya. Perjalanannya juga seperti wajarnya manusia saja, bisa 'membaik' dan 'merosot' juga (yang menjelaskan kenapa Buddha masih menerima akibat-akibat buruk seperti difitnah dan dilukai, adalah karena dalam kelahiran2 sebelumnya juga masih berbuat salah). Tapi karena kecenderungannya pada kesempurnaan, maka kualitasnya juga selalu cenderung membaik, bukan memburuk.
Pangeran Siddhata sejak kecil sudah punya 'sifat' petapa, bahkan dikatakan pada umur 8 tahun (kalau tidak salah), sewaktu ada upacara pembajakan sawah, ia tidak menyukai keramaian dan duduk di bawah pohon, bermeditasi, dan mencapai jhana pertama. Sebab dari telatnya meninggalkan keduniawian, karena ayahnya menginginkannya menjadi Cakkavati (penguasa dunia), bukan seorang Buddha, maka ia dijauhkan dari hal-hal yang bisa 'mengingatkannya' pada petapaan, dan diberikan hal-hal kenikmatan duniawi.