Sila ke 3, “Kamesumicchacara”
Istilah “kamesumicchacara “ terdiri dari 3 kosa kata : “kamesu” yang berarti persetubuhan, “miccha” yang berarti menyimpang (cabul) dan “cara” yang berarti prilaku.
Secara harafiah berarti prilaku (perbuatan) seks yang menyimpang atau cabul
Inti pemahaman dari sila ini adalah :
- Menghargai ikatan suci perkawinan, pengendalian nafsu indriya
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai prilaku seks yang menyimpang atau cabul apabila faktor yang mendasari terpenuhi :
1. Adanya obyek (orang) yang tak patut (tak memenuhi syarat) untuk disetubuhi (agamaniya-vatthu)
2. Mempunyai kehendak (niat) menyetubuhi ( tasmim-sevacittam)
3. Usaha, upaya untuk menyetubuhi (sevanappayogo)
4. Berhasil menyetubuhi ( maggena maggapatipatti adhivasanam)
Ada 3 macam orang yang tak pantas disetubuhi :
1. Telah menikah
2. Masih dalam pengawasan suatu pihak
3. Dilarang karena adat atau agama
3.1 masih dalam garis keturunan keluarga
3.2 rohaniawan yang berdasarkan peraturan agama dilarang menikah
3.3 mereka yang dilarang karena hukum negara
Berdasarkan pengertian agamaniya-vatthu, ada 20 wanita yang tak pantas disetubuhi, yaitu :
1. Wanita dalam perlindungan ibunya (maturakkhita)
2. Wanita dalam perlindungan ayahnya (piturakkhita)
3. Wanita dalam perlindungan ayah dan ibunya (matapiturakkhita)
4. Wanita dalam perlindungan kakak atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5. Wanita dalam perlindungan kakak atau adik lakinya (bhaturakkhita)
6. Wanita dalam perlidungan sanak keluarganya (natirakkhita)
7. Wanita dalam perlidungan marganya /sukunya (gotarakkhita)
8. Wanita dalam perlidungan orang orang yang berpraktek Dhamma (dhammarakkhita)
9. Wanita pesanan raja atau penguasa (saridanda)
10. Wanita yang telah dipertunangkan (sarakkha)
11. Wanita yang telah dibeli oleh seorang laki-laki atau digadaikan (danakkita)
12. Wanita yang tinggal serumah dengan orang yang dicintai (chandavasini)
13. Wanita yang rela dinikahi seorang laki-laki karena mengharapkan memiliki kekayaannya
(bhogavasini)
14. Wanita yang rela dinikahi seorang laki-laki karena mengharapkan barang sandang (patavasini)
15. Wanita yang telah dinikahi secara resmi oleh seorang laki-laki berdasarkan hukum adat (odapattagini)
16. Wanita yang dinikahi secara resmi oleh seorang laki-laki yang telah menolong membebaskannya dari perbudakan (obhatasumbatta)
17. Wanita tawanan yang kemudian secara resmi dinikahi (dhajahata)
18. Wanita pekerja yang secara resmi dinikahi oleh majikannya (kammakaribhariya)
19. Budak wanita yang dinikahi secara resmi oleh majikannya (dasibhariya)
20. Wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam jangka waktu tertentu (muhuttika)
Seorang pria yang telah terikat tali perkawinan mengauli satu atau lebih dari 20 jenis perempuan kategori ini, dapat dikatakan telah melakukan perzinahan (pelanggaran sila).
Kategori wanita no 1 hingga 8, belum mempunyai suami, mereka masih mempunyai hak mutlak atas tubuh ,batin, serta kehidupannya, sehingga bila mereka dengan sadar, rela dan saling suka menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki (yang tidak terikat hukum perkawinan) dan hidup bersama (kumpul kebo) tidaklah dapat dikatakan melakukan perzinahan. Sedangkan wanita kategori 9 – 20 karena mereka telah terikat tali perkawinan, bila mereka menyerahkan tubuhnya kepada seorang laki-laki yang bukan suaminya maka dikatakan telah melakukan perzinahan.,
Persetubuhan antar dua orang lesbian atau homoseksual tidak dapat dikatakan melanggar sila, bila kedua pelakunya tidak terikat tali perkawinan dengan seorang wanita.
Seorang wanita yang disebut sebagai pelacur, berarti ia telah melepaskan diri dari lindungan, perawatan orang tuanya atau pihak-pihak lain, dan secara sadar telah memilih profesinya sebagai pemuas nafsu seks laki-laki, maka apabila seorang bujangan yang mengauli wanita semacam ini, dan telah memberi bayaran yang pantas sesuai yang diminta, mendapat persetujuan dari pengasuhnya (induk semang) tidak dapat dikatakan melakukan perzinahan. Hanya saja perbuatannya itu melanggar norma etika masyarakat dan tak pantas dilakukan, demikian pula sepasang suami-istri , ketika mencari kepuasan seksual dengan cara sodomi atau oral tidak dapat dikatakan melanggar sila, hanya sekali lagi ! Tidak pantas dilakukan dan akan menimbulkan akibat buruk ( mis.: penyakit), dan perlu diingat pemuasan nafsu seks secara berlebih-lebihan dan dengan cara yang kurang pantas berdasarkan etika moral akan menyeret seseorang dalam alam kehidupan yang rendah dan menjauhkan dari kebajikan.
Dalam hal ini, agama Buddha tidak dapat dikatakan lebih rendah nilai moralitasnya dibanding agama-agama yang lain karena seakan-akan menghalalkan prilaku yang melanggar norma etika seks yang berlaku dalam masyarakat umum tetapi ajaran Buddha senantiasa bertindak obyektif, tidak memvonis suatu hal yang buruk secara berlebih-lebihan, melainkan meletakkan suatu persoalan pada proporsi sebenarnya. Karena Sang Buddha telah mengajarkan, salah satu sebab kehancuran nama baik, reputasi, harga diri adalah mengunjungi pelacur.
Perzinahan dapat mengakibatkan :
- Mempunyai banyak musuh, dibenci
- Terlahir kembali sebagai waria
- Mempunyai kelainan jiwa, senantiasa gelisah
- Gagal bercinta atau sukar mendapat jodoh, dipisahkan dari orang yang dicintai
- Tidak mendapat kebahagiaan berberumah tangga