Saudara, kita sering mendengar ungkapan HATI-HATI. Kita pun sering memberi nasehat kepada orang lain untuk berhati-hati. Tetapi sesungguhnya, hampir semua dari kita tidak mengerti dengan jelas, apakah sesungguhnya yang disebut dengan ‘hati-hati’ itu. Hati-hati itu memang perlu. Di mana saja kalau berhati-hati itu selalu baik. Tetapi kalau orang yang Saudara beri nasehat itu bertanya, yang disebut hati-hati itu yang bagaimana? Saudara mau jawab bagaimana? Apakah kalau mengendarai mobil 140 km/jam, itu sembrono? Tapi kalau mengendarai mobil 40 km/jam, itu kelewat takut! Apakah yang hati-hati itu kalau 90 km/jam? Apakah begitu? Tidak begitu, Saudara.
Saudara, menurut Dhamma, yang dimaksud dengan hati-hati adalah suatu sikap yang didasari dengan kusala-cetana. Kusala-cetana adalah niat yang baik. Cetana artinya niat, kehendak, dorongan pikiran, motivasi, yang mendasari pemikiran kita. Dan kusala artinya baik, positif, bersih. Bersih artinya bersih dari kehendak yang tidak baik. Menurut pandangan Dhamma, apapun yang menjadi sikap kita, perbuatan kita, yang kita lakukan dengan jasmani atau ucapan, sebelum kita melakukannya, itu akan muncul dalam pikiran kita sebagai “kehendak”.
Menurut pandangan agama Buddha, seperti yang disebutkan dalam Dhammapada, pikiran itu adalah awal, pikiran itu adalah pelopor, pikiran itu adalah pendahulu, pikiran itu adalah pemimpin. Apapun yang akan kita ucapkan, yang kita lakukan, sebelum kita melakukannya, sebelum kita mengucapkan, ia telah muncul lebih dahulu di dalam pikiran kita.
Misalnya pohon yang ada di sana itu. Memang Saudara tidak bisa membuat pohon ini. Dia tumbuh secara alami. Tetapi agar pohon ini bisa ada di sini, sebelumnya ada seseorang yang mempunyai niat, “Saya akan menaruh pohon ini di depan patung Buddha itu.” Setelah niat itu muncul kemudian dia berpikir lebih mendalam, di mana pohon itu harus diambil, pohon jenis apa yang cocok, kemudian dia berpikir yang lebih detil.
Juga, sebelum patung ini muncul, ia muncul terlebih dahulu di dalam ide seseorang. Saya ingin membuat patung Buddha. Dari ide itu kemudian muncul rencana. Patung Buddha yang seperti apa, yang sebesar apa, yang model apa, bahan apa, sikapnya seperti apa, kalau dijual harganya berapa, dan lain-lain. Dan kemudian muncul patung seperti ini. Sebelum bangunan ini muncul, sebelum gedung-gedung itu muncul, muncul lebih dahulu dalam pikiran seseorang. Saya akan membangun gedung 4 lantai, kemudian dibuat detailnya, dibuat rencananya, dipanggil arsitek, dihitung konstruksinya, dihitung biayanya, berapa lama bisa dilakukan, dan sebagainya, lalu dilaksanakan dan kemudian jadi.
Yang memutuskan adalah pikiran kita. Jadi betapa pentingnya peranan kehendak kita. Oleh karena itu, orang yang ingin bersikap hati-hati, minimal dia harus mempunyai kehendak yang baik. Kehendak yang bersih dari kehendak tidak baik, bersih dari unsur-unsur yang tidak baik.
Kehendak yang negatif, yang tidak baik, akan melahirkan atau menghasilkan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan yang tidak baik selain merugikan diri sendiri juga akan merugikan orang lain, tidak mempunyai dukungan kuat. Dengan kalimat yang lain, tidak masuk akal, tidak sah. Mengapa demikian? Karena, bukankah semua makhluk, setidak-tidaknya sesama manusia, setiap orang, semuanya, agama apapun yang dianut, suku bangsa apapun, bagaimanapun profesi sosialnya, apakah orang kaya, orang miskin atau sangat miskin, semuanya menginginkan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah tujuan, obsesi, dan keinginan setiap orang. Bahkan pencuri sekalipun kalau ditangkap dan ditanya, “Kamu mencuri apa sih tujuannya?” Pencuri itu menjawab, “Saya mencuri karena saya ingin berbahagia.” Tidak ada pencuri yang mencuri untuk sengsara, “Saya mencuri supaya nanti saya ditangkap, supaya digebuki.” Tidak ada yang seperti itu. Pencuri pun seperti Saudara, seperti kita, dia mencuri itu sesungguhnya juga ingin bahagia, hanya saja caranya yang salah. Apakah ada alasan kita untuk membencinya? Sesungguhnya tidak. Justru kasihan.
Alangkah lemahnya orang yang mempunyai kehendak yang mengandung unsur untuk mencelakakan, memojokkan, menghancurkan, atau melenyapkan orang lain. Alangkah lemahnya dia, tidak masuk di akal, tidak bernalar. Mengapa harus mempunyai niat yang menghancurkan, memojokkan, atau melenyapkan orang lain? Mengapa? Bukankah semua orang termasuk Saudara, ingin bahagia? Mengapa Saudara berbuat begitu? Oleh karena itu, Saudara, saya ingin memberi garis bawah yang tebal untuk ini. Kalau Saudara ingin berhati-hati, cobalah berusaha untuk mengamat-amati, memeriksa, mengintip, mengecek setiap kehendak Saudara, “Apakah kehendak saya ini mengandung unsur yang negatif ataukah positif?” Itu adalah sikap hati-hati yang minimal. Itulah kriteria hati-hati yang pertama.
Kalau saya boleh mengumpamakan, “kehendak” itu seperti produsen. Kamma, ucapan dan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan—yang baik ataupun yang tidak baik—seperti produk (hasil produksinya). Kalau produsen itu memproduksi barang-barang dengan bahan-bahan yang baik, pasti hasil produksinya itu baik. Jadi Saudara, bagaimana menjaga ucapan dan perbuatan kita agar tidak menghancurkan, merugikan orang lain, melenyapkan, membunuh orang lain atau makhluk lain? Sebetulnya Saudara tidak perlu pusing. Kalau Saudara bisa menjaga kehendak Saudara, pasti ucapan dan tingkah laku yang muncul itu akan baik.
Kadang-kadang walau kita sudah punya niat yang baik, masih saja ada orang yang salah mengerti. Salah mengerti adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Karena kita tidak bisa membuat orang lain mempunyai pandangan seperti yang kita harapkan. Tetapi Saudara minimal sudah punya itikad baik, niat baik, kehendak baik, itu sudah positif.
Saya ingin memberikan satu contoh dengan cerita. Di negara mayoritas Buddhis patung Buddha ada di mana-mana, kadang-kadang di perempatan jalan, di depan kantor, sekolah-sekolah, di tepi jalan. Ada yang kecil, ada yang sedang, ada yang besar. Suatu hari ada umat Buddha yang berjalan di tengah hujan yang lebat, dia melihat patung Buddha kecil yang kehujanan. Dia pikir, “Wah, tidak pantas ini. Air hujan membasahi patung Buddha yang tidak ada tutupnya.” Tapi dia sendiri tidak membawa payung, pakaiannya basah. Mau diangkat dari semen, patung itu melekat dengan alasnya. Dia melihat ke kanan ke kiri, terlihat ada sebuah sepatu yang sudah dibuang, yang sudah jebol, baunya mungkin tidak karu-karuan. Sepatu yang jebol itu diambil, lalu ditaruh di atas kepala patung Buddha, supaya tidak kehujanan. Kemudian dia pergi. Pada waktu hujan sudah berhenti, ada orang lain lewat dan dia juga umat Buddha. “Siapa ini, sepatu jebol ditumpangi di kepalanya patung Buddha. Tidak betul caranya ini, tidak masuk akal, ini penghinaan.” Lalu diambilnya sepatu jebol itu dan dibuang.
Saudara, menurut psikologi Buddhis, menurut jiwa Dhamma, atau menurut Ajaran Dhamma, kedua orang ini sama-sama memiliki cetana yang positif. Kedua orang ini sama-sama mempunyai tindakan yang positif, meskipun caranya yang berbeda. Orang yang pertama mengerudungi kepala patung dengan sepatu yang jebol; orang yang kedua mengatakan; perbuatan ini tidak baik. Orang yang pertama tetap mempunyai nilai yang positif, meskipun orang yang kedua salah paham dan mengira orang yang pertama itu mempunyai niat yang tidak baik. Niat yang positif itu tidak berubah menjadi niat yang negatif, meskipun orang lain menilai itu negatif.
Kalau saya menanam jagung, kemudian tumbuh. Sebelum berbuah, orang melihat apa yang ditanam ini, “Ini bukan jagung, ini jali,” tidak menjadi soal.
Meskipun orang menilai jagung ini jali, pada waktunya dia berbuah nanti, dia tetap akan menjadi jagung. Dan Saudara tidak usah pusing dengan apa yang akan Saudara hasilkan nanti. Benih itu, bibit itu seperti cetana. Kalau Saudara sudah memastikan bahwa kehendak Saudara itu baik, maka tidak usah pusing. Ucapan dan perbuatan Saudara, sekalipun orang lain akan salah paham, nilainya tetap positif. Apakah orang kedua yang melemparkan sandal yang jebol itu menghancurkan niat positif orang yang pertama? Tidak. Dan apa yang dia lakukan itu apakah negatif, karena dia merusak hasil orang yang pertama? Juga tidak. Orang yang kedua juga melakukan hal yang positif, karena dia membuang sepatu yang jebol itu dengan niat yang positif.
Bingkai Kehidupan, Kumpulan Ceramah Dhamma Bhante Pannavaro, Hiduplah dengan Hati-Hati, pp. 97-102
bersambung...