//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Food for the Heart : oleh Ajahn Chah  (Read 8944 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Food for the Heart : oleh Ajahn Chah
« Reply #15 on: 24 July 2009, 09:12:26 PM »
        Kita harus mengerti: penderitaan tidak lain adalah Kesunyataan Mulia Pertama, bukankah begitu? Apakah kalian akan memandangnya sebagai sesuatu yang buruk? Dukkha sacca, samudaya sacca, nirodha sacca, magga sacca (Kesunyataan tentang Penderitaan, Kesunyataan tentang Sebabnya, Kesunyataan tentang Berhentinya, dan Kesunyataan tentang Sang Jalan (menuju berhentinya penderitaan): Empat Kesunyataan Mulia)..

        Melarikan diri dari hal-hal ini tidaklah berlatih sesuai dengan Dhamma yang sejati. Kapankah kalian akan melihat Kesunyataan tentang Penderitaan? Jika kita tetap melarikan diri dari penderitaan kita tak akan pernah mengenalinya. Penderitaan adalah sesuatu yang seharusnya kita kenali —jika kalian tidak mengamatinya, kapan kalian bisa mengenalinya? Tidak puas di sini, kalian lari ke sana; tidak puas di sana kalian melarikan diri lagi. Kalian selalu berlarian. Jika begitu cara kalian berlatih, kalian akan berpacu dengan Kemalangan di seluruh negeri ini!

        Sang Buddha mengajar kita agar "lari" dengan menggunakan kebijaksanaan. Sebagai contoh: seandainya kalian menginjak duri atau serpihan kaca dan ia menancap di kaki kalian. Ketika kalian berjalan itu kadang-kadang terasa sakit, kadangkala tidak. Suatu kali kalian menginjak batu atau tunggul pohon dan hal ini sungguh menyakitkan, maka kalian mengamati kaki kalian. Tetapi tidak menemukan apapun dan kalian mengabaikannya serta berjalan lagi. Akhirnya kalian menginjak sesuatu yang lain, dan rasa sakit timbul lagi.

        Selanjutnya hal ini terjadi berulang kali. Apakah sebab rasa nyeri itu? Sebabnya yaitu serpihan kaca atau duri yang menancap di kaki kalian. Rasa nyeri itu selalu mengikuti. Setiap kali arasa sakit muncul, kalian melihat dan mengamati sejenak, tetapi tidak melihat serpihan itu, kalian biarkan saja. Sesaat kemudian ia melukai lagi sehingga kalian kembali mengamati.

        Ketika penderitaan muncul kalian harus memperhatikannya, janganlah mengabaikannya. Kapan saja kepedihan timbul... "Hmm... serpihan itu masih di sana". Setiap kali muncul rasa sakit, di sana timbul pula pikiran bahwa serpihan itu harus diambil. Jika tidak kalian ambil kelak akan menimbulkan lebih banyak rasa sakit. Rasa sakit itu akan muncul berulangkali, sampai keinginan untuk mencabut duri itu selalu muncul di dalam diri kalian. Akhirnya sampailah pada satu titik di mana kalian memutuskan untuk mencabut duri tadi —karena ia menyakitkan!

        Sekarang usaha kita dalam berlatih harus seperti itu. Bilamana ia menyakitkan, bilamana ada gesekan, kita harus menyelidikinya. Hadapilah persoalan itu dengan berani. Cabut duri itu dari kaki kalian, keluarkanlah. Bilamana batin kalian melekat, kalian harus memperhatikannya. Bilamana kalian mengamatinya maka kalian akan mengerti; lihat dan rasakanlah sebagaimana adanya.

        Praktek kita haruslah tetap dan gigih. Mereka menyebutnya viriyarambha —mengusahakan usaha yang terus-menerus. Ketika muncul perasaan tak menyenangkan pada kaki kalian, misalnya, kalian harus mengingatkan diri sendiri untuk mencabut duri itu, janganlah melepaskan ketetapan hati kalian. Begitu juga ketika penderitaan muncul di batin, kita harus mempunyai ketetapan hati untuk mencabut berbagai kekotoran-batin, untuk membuang mereka. Ketetapan hati ini harus selalu ada, jangan pernah padam. Akhirnya berbagai kekotoran itu bisa kita tangani dan bisa kita akhiri.

        Jadi mengenai kebahagiaan dan penderitaan, apakah yang harus kita lakukan? Jika kita tidak mengalami kejadian-kejadian itu apakah yang bisa kita pakai sebagai sumber untuk menimbulkan kebijaksanaan? Jika tidak terdapat sebab, bagaimana akibat bisa muncul? Semua dhamma timbul karena sebab. Jika akibat/hasilnya lenyap/berakhir itu karena sebabnya telah berhenti. Begitulah sebenarnya, tetapi banyak di antara kita yang tidak memahaminya. Orang hanya ingin lari dari penderitaan. Pengetahuan semacam ini kuranglah memadai. Sebetulnya kita perlu mengenali dunia di mana kita hidup ini, kita tidak perlu lari ke manapun. Kalian seharusnya mempunyai sikap bahwa bertahan itu baik... dan pergi juga baik. Pikirkanlah hal ini dengan cermat.

        Di manakah letak kebahagiaan dan penderitaan? Apapun yang tidak kita genggam, lekati atau tetapkan, seolah-olah ia tidak ada di sana. Penderitaan tidak muncul. Penderitaan muncul dari perwujudan (bhava). Jika terdapat perwujudan maka ada kelahiran. Upadana —penggenggaman atau kemelekatan —inilah prasyarat yang menciptakan penderitaan. Kapan saja penderitaan muncul, perhatikanlah. Jangan melihat terlalu jauh, lihatlah tepat pada saat ini. Lihatlah pada batin dan jasmani kalian sendiri. Ketika penderitaan muncul... "Mengapa ada penderitaan?" Lihatlah saat ini juga. Ketika muncul kebahagiaan, apakah sumber kebahagiaan itu? Lihatlah tepat di situ. Kapan saja hal-hal ini muncul, sadarilah. Baik kebahagiaan maupun penderitaan timbul dari kemelekatan.

        Para pelaksana Dhamma zaman dahulu melihat batin mereka dengan cara ini. Hanya ada muncul dan lenyap. Tidak ada yang kekal. Mereka merenungkan dari semua sudut dan melihat tidak ada yang lebih pada batin ini, tidak ada yang tetap. Hanya ada timbul dan tenggelam, tenggelam dan timbul, tidak ada yang terbuat dari substansi yang kekal. Ketika sedang berjalan atau duduk mereka melihat berbagai keadaan dengan cara ini. Kapan saja mereka mengamati di sana hanya ada penderitaan, hanya itu. Bagaikan sebuah bola besi besar yang baru saja dibakar di dalam tungku. Semuanya panas. Jika kalian pegang di bagian atas terasa panas, pegang di bagian sisi juga panas —semua bagian panas. Tidak ada bagian yang dingin.

        Sekarang apabila kita tidak mempertimbangkan keadaan ini, kita tak mengetahui apapun tentang mereka. Kita harus melihat dengan jelas. Jangan "terlahir" menjadi sesuatu, jangan masuk ke dalam kelahiran. Ketahuilah proses kalahiran. Bentuk pikiran seperti, "Oh, saya tak tahan pada orang itu, ia mengerjakan apapun dengan salah", tak akan muncul lagi. Atau, "Saya menyukai si anu...", keadaan-keadaan seperti ini juga tidak timbul. Yang tersisa hanyalah standar kelaziman duniawi dari suka dan tidak suka, tetapi pengucapan dan pemikiran adalah dua hal yang berbeda. Kita harus menggunakan kelaziman dunia untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya, tetapi di dalam (batin) kita harus kosong. Batin harus berada di atas semua itu. Kita harus menempatkan batin melebihi hal ini. Inilah kediaman Para Suci. Kita semua harus mengarah ke sini dan berlatih sesuai dengan itu. Jangan terperangkap di dalam keragu-raguan.

        Sebelum saya mulai berlatih, saya berpikir sendiri, "Agama Buddha ada di sini, tersedia bagi semua orang tetapi mengapa hanya beberapa orang yang berlatih sedangkan yang lain tidak? Atau jika mereka berlatih, mereka hanya melakukannya sesaat lalu menyerah. Atau bagi mereka yang tidak menyerah tetapi tetap tidak bekerja keras dan mengerjakan latihan? Mengapa begini?" Jadi saya memutuskan sendiri, "Baiklah... saya akan melepaskan jasmani atau batin ini pada rentang-kehidupan ini dan berusaha untuk mengikuti ajaran Sang Buddha sampai bagian yang terkecil. Saya akan mencapai pemahaman dalam rentang-kehidupan ini juga... karena jika tidak, saya tetap akan tenggelam dalam penderitaan. Saya akan melepaskan segalanya dan tekun berusaha, tidak masalah berapa banyak kesulitan atau penderitaan yang harus saya tanggung, saya akan gigih. Jika saya tidak melakukannya saya akan tetap bimbang".

        Dengan pikiran itu saya menjalankan latihan. Tidak masalah berapa banyak kebahagiaan, penderitaan atau kesulitan yang harus saya pikul, akan saya lakukan. Saya amati seluruh kehidupan saya bagaikan ia hanya berlangsung sehari semalam. Saya melepaskannya. "Saya akan mengikuti ajaran Sang Buddha, saya akan mengikuti Dhamma sampai memahami —mengapa dunia yang maya ini begitu malang?" Saya ingin mengetahuinya, saya ingin menguasai Sang Ajaran, jadi saya mulai menjalankan praktek Dhamma.

        Seberapa banyakkah kehidupan duniawi yang kita sebagai bhikkhu tinggalkan? Jika kita pergi demi kebaikan, berarti kita melepaskan semuanya, tidak ada yang tidak kita lepaskan. Semua keadaan duniawi yang orang lain nikmati, dibuang: pemandangan, suara, bau, rasa, kecapan dan perasaan... kita buang mereka semua. Tetapi kita mengalaminya. Jadi para pelaksana Dhamma harus merasa puas dengan yang sedikit dan tetap obyektif (tidak memihak). Baik mengenai ucapan, makanan, atau apapun, kita harus mudah merasa puas: makan seadanya, tidur seadanya, hidup sederhana. Seperti yang mereka katakan, "orang biasa" adalah ia yang hidup sederhana. Lebih banyak kalian berlatih, lebih banyak kalian bisa mendapatkan kepuasan di dalam praktek kalian. Kalian akan melihat ke dalam hati/batin kalian sendiri.

        Dhamma adalah paccattam, kalian harus memahaminya untuk diri sendiri. Memahami untuk diri sendiri berarti berlatih untuk diri kalian sendiri. Kalian dapat bergantung pada seorang guru hanya 50% dari Sang Jalan. Bahkan ajaran yang sudah saya berikan hari ini pada dasarnya tidak berguna, walaupun ia berharga untuk didengarkan. Tetapi jika kalian mempercayainya semuanya karena saya mengatakan begitu maka kalian tak akan menggunakan ajaran itu sebagaimana mestinya. Jika kalian percaya sepenuhnya pada saya maka kalian tampak bodoh. Dengarkan ajaran, lihat manfaatnya, praktekkan untuk diri sendiri, lihat ke dalam diri kalian sendiri, kerjakan untuk diri kalian sendiri... ini jauh lebih bermanfaat. Kalian akan memahami cita rasa Dhamma untuk diri kalian sendiri.

        Inilah sebabnya Sang Buddha tidak membahas hasil dari praktek secara terperinci, karena itu merupakan sesuatu yang tidak dapat disampaikan hanya dengan kata-kata. Bagaikan berusaha menjelaskan berbagai warna pada seseorang yang buta sejak lahir, "Oh, ini begitu putih", atau "ini kuning cerah", misalnya. Kalian tak dapat menyampaikan warna-warna tersebut pada mereka. Kalian bisa mencoba tetapi itu tak akan memberikan banyak manfaat.

        Sang Buddha mengembalikannya pada masing-masing individu —melihat dengan jelas untuk dirimu sendiri. Jika kalian jelas melihat untuk diri sendiri maka kalian akan mendapatkan bukti yang jelas dalam diri kalian. Apakah sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, kalian akan bebas dari keragu-raguan. Meskipun seseorang mungkin berkata, "praktek kalian tidak betul, semuanya salah", kalian tetap tak akan goyah, karena kalian mempunyai bukti sendiri.

        Seseorang pelaksana Dhamma haruslah seperti ini ke manapun ia pergi. Orang lain tidak bisa menjelaskan kepada kalian, kalian harus memahaminya untuk diri sendiri. Sammaditthi, Pengertian Benar, harus ada di sana. Praktek kita masing-masing haruslah seperti itu. Mengerjakan praktek sejati seperti ini selama sebulan dari lima atau sepuluh kali Masa Vassa sangatlah langka.

        Alat-alat indera kita harus selalu bekerja. mengetahui rasa puas dan tidak puas, sadar terhadap suka dan tidak suka. mengetahui yang tampak dan mengetahui yang lebih dari itu. Yang Tertampak dan Yang Melebihinya haruslah disadari secara serentak. Baik dan buruk harus dilihat sebagai sesuatu yang berdampingan, muncul bersama-sama. Inilah buah dari praktek Dhamma.

        Jadi apapun yang berguna bagi kalian dan orang lain, apapun yang bermanfaat bagi kalian dan orang lain, disebut "mengikuti Sang Buddha". Saya sudah berulang kali membicarakan hal ini. Hal-hal yang seharusnya dikerjakan, tampaknya diabaikan oleh orang-orang. Misalnya pekerjaan di vihara, norma-norma praktek, dan sebagainya. Saya sudah berulang kali membicarakan hal itu tetapi orang-orang tampaknya tetap tidak mau memperhatikan. Ada yang tidak tahu, ada yang malas dan tak dapat diganggu, dan ada yang benar-benar bimbang dan ragu.

bersambung...
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Food for the Heart : oleh Ajahn Chah
« Reply #16 on: 24 July 2009, 09:13:04 PM »
        Suatu kali saya pergi untuk hidup di utara. Saat itu saya hidup bersama dengan banyak bhikkhu, mereka semua sudah berumur tetapi yang baru-baru ditahbiskan, yang memiliki dua atau tiga vassa. Saat itu saya memiliki sepuluh vassa. Tinggal bersama dengan para bhikkhu berumur tersebut, saya memutuskan untuk melaksanakan berbagai kewajiban —menerima mangkuk-mangkuk mereka, mencuci jubah-jubah mereka, membersihkan tempolong mereka, dan sebagainya. Saya tidak berpikir bahwasanya saya mengerjakannya untuk orang-orang tertentu, tetapi saya hanya mempertahankan praktek saya. Jika orang lain tidak menjalankan kewajiban, saya akan melakukannya sendiri. Saya melihatnya sebagai kesempatan baik bagi saya untuk memperoleh manfaat. Hal itu membuat saya merasa enak dan memberikan satu rasa kepuasan.

        Pada hari-hari uposatha (Hari-hari khusus, yang diselenggarakan setiap dua minggu, di mana para bhikkhu mengakui palanggaran mereka serta menguncarkan tata disiplin Patimokkha.) saya mengetahui berbagai tugas wajib. Saya akan pergi dan membersihkan ruang uposatha dan menyiapkan air untuk mencuci dan minum. Yang lain sama sekali tidak mengetahui tentang kewajiban ini, mereka hanya memandangi. Saya tidak mengkritik mereka, karena mereka tidak tahu. Saya mengerjakan kewajiban itu sendiri, dan setelah melakukannya saya merasa puas terhadap diri saya, saya mendapat inspirasi dan banyak kekuatan di dalam praktek saya.

        Kapan saja saya bisa mengerjakan sesuatu di vihara, apakah di dalam kuti saya sendiri atau kuti orang lain, jika tampak kotor, akan saya bersihkan. Saya tidak melakukannya terhadap orang-orang tertentu, saya tidak melakukannya untuk menarik perhatian seseorang, tetapi saya mengerjakannya hanya untuk mempertahankan suatu praktek yang baik. Membersihkan kuti atau tempat tinggal itu seperti membersihkan sampah dalam batin kalian sendiri.

        Inilah sesuatu yang harus kalian ingat. Kalian tidak perlu mencemaskan keselarasan, ia otomatis akan ada di sana. Hiduplah bersama dengan Dhamma, dengan kedamaian dan pengendalian diri, latihlah batin kalian agar seperti itu dan tidak ada persoalan yang akan timbul. Jika ada pekerjaan berat yang harus dilakukan, semua orang akan membantu dan dalam waktu tidak lama pekerjaan itu sudah selesai, ia bisa diselesaikan dengan mudah. Itulah cara yang terbaik.

        Saya pernah menjumpai beberapa contoh lain... tetapi meskipun demikian saya menggunakannya sebagai suatu kesempatan untuk berkembang. Misalkan, hidup di suatu vihara besar, mungkin para bhikkhu dan samanera bersepakat di antara mereka untuk mencuci jubah pada hari tertentu. Saya akan pergi memasak kayu nangka (Kayu-hati dari pohon nangka direbus dan warna yang dihasilkan dipakai untuk mewarnai dan mencuci jubah para bhikkhu yang hidup di hutan.) Sekarang ada beberapa bhikkhu yang menunggu orang lain untuk merebus kayu nangka lalu ikut bergabung dan mencuci jubah mereka, membawanya kembali ke kuti mereka, menjemur dan beristirahat. Mereka tidak perlu menyalakan api, tidak perlu membersihkannya setelah selesai... mereka pikir mereka melakukan hal yang baik bahwa mereka itu pandai. Inilah puncak kebodohan. Orang semacam ini hanya menambah kebodohan mereka karena mereka tidak mengerjakan apapun, mereka menyerahkan semua pekerjaan pada orang lain. Mereka menunggu sampai semuanya siap lalu datang bergabung dan memanfaatkannya, ini sangat mudah bagi mereka. Ini hanyalah menambah kebodohan saja. Tindakan itu tidak memberikan manfaat apapun bagi mereka.

        Ada orang berpikiran bodoh seperti ini. Mereka bergelak dari kewajiban dan berpikir bahwa itu cerdik, tetapi sesungguhnya hal itu sangatlah bodoh. Jika kita mempunyai sikap seperti itu kita tak akan bisa bertahan.

        Oleh karena itu, apakah ketika berbicara, makan, atau melakukan apapun, renungkanlah pada diri sendiri. Kalian boleh saja ingin hidup senang, makan enak, tidur nyenyak dan sebagainya, tetapi kalian tidak bisa. Untuk apa kita datang kemari? Jika secara teratur merenungkan hal ini, kita akan selalu siap siaga. Dengan siaga seperti ini kalian akan mengedepankan usaha dalam segala sikap-badan. Jika kalian tidak mengedepankan usaha, kejadiannya akan berbeda... Duduk, kalian duduk bagaikan kalian ada di kota; berjalan, kalian berjalan bagaikan kalian ada di kota... kalian hanya ingin pergi dan bermain di kota bersama umat awam.

        Jika tak ada usaha di dalam praktek, batin akan cenderung ke arah itu. Kalian tidak menentang dan melawan batin kalian sendiri, kalian membiarkannya berhembus sesuai dengan angin suasana-hati kalian. Inilah yang disebut mengikuti suasana-hati sendiri. Seperti seorang anak, jika kita menuruti semua keinginannya akankah ia menjadi seorang anak yang baik? Jika orang tua menuruti semua keinginan anak mereka, apakah itu baik? Walaupun pada awalnya mereka menuruti, pada saat ia bisa berbicara mereka kadangkala boleh memukul pantatnya karena mereka takut di kemudian hari ia menjadi bodoh. Latihan batin kita harus seperti ini. Kalian harus mengetahui diri kalian sendiri dan mengetahui bagaimana melatih diri kalian sendiri. Jika kalian tidak mengetahui bagaimana cara melatih batin kalian, menunggu dan berharap seseorang untuk melatihnya bagi kalian, maka kalian akan menemui kesulitan.

        Jadi janganlah berpikir bahwa kalian tidak bisa berlatih di tempat ini. Praktek tidak mempunyai batasan. Apakah ketika berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, kalian selalu bisa praktek. Bahkan ketika menyapu halaman vihara atau melihat cahaya matahari, kalian bisa menyadari Dhamma. Tetapi sebelumnya kalian harus memiliki sati. Mengapa demikian? Karena kalian bisa menyadari Dhamma kapan saja, di mana saja, jika kalian rajin bermeditasi.

        Janganlah lengah. Waspadalah, bersiap siagalah. Ketika berjalan saat berpindapata, di sana muncul berbagai jenis perasaan, dan semua itu adalah Dhamma yang baik. Ketika kalian kembali ke vihara dan memakan makanan kalian, di sana ada banyak Dhamma yang baik bagi kalian untuk amati. Jika kalian mempunyai usaha yang terus-menerus, semua hal itu bisa dijadikan obyek perenungan, di sana akan timbul kebijaksanaan, kalian akan melihat Dhamma. Inilah yang disebut dhamma-vicaya (Bojjhanga —Tujuh Faktor Pencerahan: sati —kesadaran; dhamma-vicaya —penyelidikan terhadap berbagai dhamma; viriya —usaha; piti —kegiuran/kegairahan; passaddhi —ketenangan; samadhi —konsentrasi; dan upekkha —keseimbangan.). Jika terdapat sati, kesadaran, di sana akan ada dhamma-vicaya sebagai hasilnya. Ini merupakan faktor-faktor pencerahan. Jika kita mempunyai kesadaran maka kita tak akan menyepelekan sesuatu, di sini akan ada penyelidikan terhadap dhamma. Hal-hal ini menjadi faktor untuk memahami Dhamma.

        Jika kita sudah mencapai tingkatan ini maka praktek kita tidak mempedulikan siang atau malam lagi, ia terus berlangsung tanpa memandang waktu. Tidak akan ada yang menodai praktek, atau jika ada kita akan segera mengetahuinya. Hendaklah selalu ada dhamma-vicaya di dalam batin kita, melihat ke dalam Dhamma. Jika praktek kita sudah memasuki arus, maka batin akan cenderung seperti ini. Ia tak akan menyeleweng pada hal lain... "Saya pikir saya akan pergi berkeliling ke sana atau mungkin ke tempat yang lain... di sana, di propinsi itu, pastilah sangat menarik..." Itu adalah cara duniawi. Maka tidak lama kemudian prakteknya akan berakhir.

        Jadi tetapkanlah hati kalian. Bukan hanya dengan duduk dan mata terpejam kalian bisa mengembangkan kebijaksanaan. Mata, telinga, hidung, lidah, jasmani, dan batin selalu bersama kita, maka bersiagalah selalu. Belajarlah terus. Saat melihat pohon atau hewan, semuanya bisa menjadi kesempatan untuk belajar. Bawalah semua ke dalam. Lihatlah dengan jelas di dalam batin kalian. Jika sensasi/perasaan tertentu memberi pengaruh kuat dalam hati, saksikanlah itu untuk diri sendiri, janganlah mengabaikannya.

        Ambil perbandingan sederhana: membakar batu-bata. Pernahkah kalian melihat tungku pembakaran batu-bata? Mereka menyalakan api kira-kira dua atau tiga kaki di depan tungku, selanjutnya semua asap terarah ke sana. Melihat ilustrasi ini kalian bisa memahami praktek dengan lebih jelas. Untuk membuat alat pembakaran batu-bata yang benar, kalian harus membuat api sedemikian rupa agar semua asap masuk ke dalam, tidak ada yang tersisa. Semua panas masuk ke dalam tungku, dan pekerjaan bisa cepat diselesaikan.

        Kita, para pelaksana Dhamma, harus mengalami hal-hal dalam cara ini. Semua perasaan kita akan diarahkan ke dalam untuk diubah menjadi Pandangan Benar. Melihat pemandangan, mendengar suara, mencium bau, mencicipi rasa, dan sebagainya, batin membawa semuanya ke dalam untuk diubah menjadi Pandangan Benar. Dengan demikian perasaan-perasaan itu akan menjadi pengalaman-pengalaman yang membangkitkan kebijaksanaan.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Food for the Heart : oleh Ajahn Chah
« Reply #17 on: 24 July 2009, 09:13:59 PM »
Not Sure - The Standard Of The Noble Ones

        Pada suatu ketika ada seorang bhikkhu Barat, seorang murid saya. Setiap kali ia melihat para bhikkhu dan samanera Thai lepas jubah ia akan berkata, "Oh, betapa memalukan! Mengapa mereka melakukan itu? Mengapa begitu banyak bhikkhu dan samanera Thai lepas jubah?" Ia terkejut. Ia bersedih atas lepas jubahnya para bhikkhu dan samanera Thai, karena ia baru saja mengenal agama Buddha. Ia tergugah, ia merasa mantap. Menjadi bhikkhu merupakan satu-satunya hal yang harus dilakukan, ia berpikir ia tak akan pernah lepas jubah. Siapa pun yang lepas jubah adalah orang bodoh. Ia akan melihat masyarakat Thai mengenakan jubah sebagai bhikkhu dan samanera pada awal Masa Vassa dan lepas jubah pada akhir masa itu… "Oh, betapa menyedihkan! Saya merasa amat prihatin kepada para bhikkhu dan samanera Thai itu. Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu?"

        Nah, dengan berjalannya sang waktu beberapa di antara bhikkhu Barat mulai lepas jubah, akhirnya ia melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak begitu penting. Pada awalnya, ketika ia mulai berlatih, ia gelisah karenanya. Ia pikir menjadi seorang bhikkhu merupakan sesuatu yang sangat penting. Ia pikir akan mudah menjalaninya.

        Ketika orang tergugah, semua tampak begitu tepat dan baik. Tidak ada yang bisa mengukur perasaan mereka, jadi mereka terus melangkah dan memutuskannya untuk diri mereka sendiri. Tetapi mereka sebenarnya tidak mengerti bagaimana sesungguhnya praktek itu. Mereka yang mengerti akan mempunyai landasan yang benar-benar kuat di dalam hati mereka —meskipun begitu mereka tidak perlu memamerkannya.

        Untuk saya sendiri, ketika pertama kali saya ditahbiskan, sesungguhnya saya tidak melakukan banyak praktek, tetapi keyakinan saya begitu besar. Saya tak tahu mengapa, mungkin ia sudah ada sejak lahir. Para bhikkhu dan samanera yang ditahbiskan bersama saya, pada akhir Masa Vassa, semuanya lepas jubah. Saya berpikir sendiri, "Eh? Ada apakah gerangan dengan orang-orang ini?" Akan tetapi, saya tidak berani mengatakan apapun kepada mereka karena saya sendiri belum yakin terhadap perasaan saya, saya sangat bingung. Tetapi di dalam hati saya merasa bahwa mereka semua bodoh. "Adalah sulit untuk bisa ditahbiskan, tapi mudah untuk lepas jubah. Orang-orang ini tidak banyak memiliki kebajikan, mereka pikir jalan duniawi lebih bermanfaat daripada jalan Dhamma". Saya berpikir seperti itu tetapi saya tidak mengatakan apapun, saya hanya mengamati batin saya sendiri.

        Saya akan melihat para bhikkhu yang ditahbiskan bersama saya silih berganti lepas jubah. Kadangkala mereka berdandan serta kembali ke vihara untuk pamer. Saya akan melihat mereka dan berpikir bahwa mereka gila, tetapi mereka berpikir mereka tampak rapi. Saya katakan pada diri sendiri bahwa cara berpikir seperti itu salah. Meskipun begitu saya tidak mengatakannya, karena saya sendiri masih ragu-ragu. Saya masih tak yakin berapa lama keyakinan saya ini akan bertahan.

        Ketika semua teman saya sudah lepas jubah saya singkirkan semua keprihatinan, tak ada lagi yang tersisa untuk saya perhatikan. Saya mengambil Patimokkha (Pokok aturan keviharaan, yang dibaca dalam bahasa Pali setiap dua minggu sekali.) dan tekun mempelajarinya. Tidak ada lagi yang mengganggu dan membuang waktu saya, saya curahkan perhatian pada praktek. Saya tetap tidak mengatakan apapun karena saya merasa bahwa untuk berlatih sepanjang hidup, mungkin tujuh puluh, delapan puluh atau bahkan sembilan puluh tahun serta mempertahankan usaha yang gigih tanpa menjadi lamban atau kehilangan ketetapan hati, tampaknya sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan.

        Mereka yang telah pernah ditahbiskan akan ditahbiskan lagi, mereka yang telah pernah lepas jubah akan lepas jubah lagi. Saya hanya mengamati mereka semua. Saya tidak peduli apakah mereka tinggal atau pergi. Saya akan melihat teman-teman saya pergi, tetapi perasaan di dalam diri saya mengatakan bahwa orang-orang tersebut tidak melihat dengan jelas. Bhikkhu Barat itu mungkin berpikir begitu. Ia akan melihat orang menjadi bhikkhu hanya untuk satu Masa Vassa, dan ia menjadi sedih.

        Selanjutnya ia mencapai tingkatan yang kita sebut… jemu; jemu dengan Kehidupan Suci. Ia meninggalkan praktek dan akhirnya lepas jubah.

        "Mengapa kamu lepas jubah? Sebelumnya, ketika kamu melihat para bhikkhu Thai lepas jubah kamu akan berkata, "Oh, memalukan! Betapa menyedihkan, betapa memilukan! Sekarang, ketika kamu sendiri ingin lepas jubah, mengapa kamu tidak merasa menyesal?"

        Ia tidak menjawab. Ia hanya berjalan tersipu-sipu.

        Ketika sampai pada latihan batin, sangatlah sulit untuk menemukan ukuran yang baik jika kalian belum mengembangkan "kesaksian" di dalam diri kalian. Dalam banyak persoalan luar kita bisa mengandalkan umpan balik pihak lain, ada ukuran dan contohnya. Tetapi ketika semua menggunakan Dhamma sebagai patokan… Apakah kita telah memiliki Dhamma? Apakah kita berpikir dengan benar atau tidak? Dan seandainya itu benar, apakah kita tahu bagaimana melepaskan kebenaran atau apakah kita tetap melekat padanya?

        Kalian harus merenungkan sampai kalian mencapai titik di mana kalian melepaskan, inilah hal yang penting… sampai kalian mencapai titik di mana tak ada apapun yang tersisa, di mana di sana bukanlah baik bukan pula buruk. Kalian tinggalkan. Ini berarti kalian melepaskan segalanya. Jika semua sudah lenyap maka tak ada yang tersisa; jika masih ada yang tersisa maka itu belum lenyap semuanya.

        Jadi mengenai latihan batin ini, kadangkala kita mungkin mengatakan mudah. Memang mudah untuk mengatakan, tetapi sulit untuk melakukannya. Ia sulit karena ia tidak memuaskan keinginan-keinginan kita. Kadang-kadang tampaknya seolah-olah ada bidadari-bidadari (Devaputta mara —si Mara, atau Penggoda, yang muncul dalam bentuk yang tampaknya penuh kebaikan.) yang membantu kita. Semua berjalan baik, apapun yang kita pikirkan atau ucapkan tampaknya selalu benar. Selanjutnya kita pergi dan melekat pada kebenaran itu dan tak lama kemudian kita salah melangkah dan semua jadi buruk. Inilah kesulitannya. Kita tidak memiliki norma/standar untuk mengukurnya.

        Orang-orang yang memiliki keyakinan besar, diberkahi dengan keyakinan dan perasaan tetapi kurang di dalam kebijaksanaan, mereka bisa jadi sangat baik di dalam samadhi tetapi mereka kurang memiliki pengertian. Mereka hanya melihat satu sisi saja, serta sungguh-sungguh mengikutinya. Mereka tidak merenungkannya. Ini merupakan keyakinan yang membuta. Di dalam agama Buddha itu kita sebut Saddha adhimokkha, keyakinan yang membuta. Mereka sudah mempunyai keyakinan tetapi tidak timbul dari kebijaksanaan. Tetapi mereka tidak melihatnya pada saat itu, mereka percaya bahwa mereka mempunyai kebijaksanaan, sehingga mereka tidak melihat di mana kesalahan mereka.

        Oleh karena itu, mereka mengajar tentang Lima Kekuatan (Bala): Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña. Saddha berarti keyakinan; viriya berarti usaha yang gigih; sati berarti kesadaran; samadhi berarti terpusatnya pikiran; pañña berarti pengetahuan yang mencakup semuanya. Jangan katakan pañña sebagai pengetahuan saja, tetapi pañña mencakup semuanya, pengetahuan yang sempurna.

        Sang Bijaksana telah memberi kita lima langkah ini sehingga kita bisa mempergunakannya, pertama sebagai bahan untuk dipelajari, selanjutnya sebagai norma pembanding pada keadaan praktek kita sendiri. Misalnya, saddha —keyakinan. Apakah kita memiliki keyakinan, apakah kita sudah mengembangkannya? Viriya: apakah kita memiliki usaha yang gigih atau tidak? Apakah usaha kita betul atau salah? Kita harus memperhatikan ini. Setiap orang mempunyai semacam usaha, tetapi apakah usaha kita mengandung kebijaksanaan atau tidak?

        Sati juga sama. Bahkan seekor kucing pun mempunyai sati. Ketika ia melihat seekor tikus, ada sati di sana. Mata si kucing menatap pasti pada si tikus. Inilah sati seekor kucing. Setiap orang memiliki sati, hewan mempunyainya, para penjahat mempunyainya, para bijaksana memilikinya.

        Samadhi, terpusatnya pikiran —setiap orang juga mempunyai ini. Seekor kucing mempunyainya ketika pikirannya terpusat untuk menangkap tikus dan memakannya. Ia mempunyai perhatian yang satu. Sati si kucing adalah sati yang semacam ini; samadhi, perhatian yang satu pada apa yang dikerjakan, juga ada di sana. Pañña, pengetahuan: seekor kucing juga mempunyainya, tetapi bukan suatu pengetahuan yang luas, seperti yang dimiliki oleh manusia. Ia tahu sebagaimana seekor hewan tahu, ia mempunyai cukup pengetahuan untuk menangkap tikus sebagai makanan.

        Kelima hal ini disebut "Kekuatan". Sudahkah kelima Kekuatan ini muncul dari Pandangan Benar, sammaditthi, atau tidak? Saddha, viriya, sati, samadhi, pañña —sudahkah mereka timbul dari Pandangan Benar? Apakah Pandangan Benar itu? Apakah norma kita untuk mengukur Pandangan Benar? Kita harus memahaminya secara jelas.

        Pandangan Benar adalah pengertian bahwa segala sesuatu tidaklah pasti. Oleh karena itu Sang Buddha dan semua Para Ariya tidak melekat kuat padanya. Mereka menggenggam, tetapi tidak melekat. Mereka tidak membiarkan penggenggaman itu menjadi sebagai diri/suatu identitas. Penggenggaman yang tidak membawa pada suatu perwujudan adalah keadaan yang tidak dicemari oleh hawa nafsu. Tanpa mencari untuk menjadi ini atau itu, yang ada hanyalah praktek itu sendiri. Ketika kalian melekat pada suatu keadaan tertentu adakah kalian melekat pada kesenangan itu? Jika ada ketidaksenangan, apakah kalian melekat pada ketidaksenangan itu?

        Sebagian pandangan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur praktek kita secara lebih tepat. Misalnya mengetahui bahwa pandangan-pandangan seperti demikian: pandangan yang ini lebih baik daripada yang lainnya, atau sama dengan yang lainnya, atau lebih bodoh daripada yang lainnya; semua itu adalah pandangan yang salah. Kita bisa merasakan hal ini tetapi kita juga mengetahuinya dengan kebijaksanaa, bahwa mereka hanya timbul dan tenggelam. Mengira bahwa kita lebih baik daripada yang lain tidaklah benar; mengira bahwa kita sama dengan yang lain adalah tidak benar; mengira bahwa kita lebih rendah daripada yang lain adalah tidak benar.

        Pandangan yang benar adalah pandangan yang menembus semua ini. Jadi ke mana kita akan pergi? Jika kita berpikir bahwa kita lebih baik daripada yang lain, timbul kesombongan. Ia ada di sana tetapi kita tidak melihatnya. Jika kita pikir bahwa kita sama dengan yang lain, maka kita akan lalai mengungkapkan rasa hormat dan kerendahan hati pada saat-saat yang tepat. Jika kita berpikir bahwa kita lebih rendah daripada yang lain, kita akan merasa tertekan, dengan berpikir bahwa kita rendah, terlahir dengan kehidupan buruk dan sebagainya. Kita masih melekat pada Lima Khandha (Lima Khandha: Bentuk (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sañña), gagasan atau bentuk-bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran-indera (vññana). Ia membentuk pengalaman batin-jasmani yang dikenal sebagai "diri".), yang semuanya hanyalah proses perwujudan/dumadi dan kelahiran.

        Inilah satu patokan/standar untuk mengukur diri kita sendiri. Yang lainnya adalah: jika kita menemui pengalaman yang menyenangkan, kita merasa bahagia; jika kita menemui pengalaman buruk, kita tidak senang. Apakah kita mampu melihat pada hal-hal yang kita sukai dan yang tidak kita sukai sebagai memiliki nilai yang sama? Ukurlah diri kalian dengan patokan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai pengalaman yang kita jumpai, jika kita mendengar sesuatu yang kita sukai, apakah suasana hati kita berubah? Jika kita menjumpai suatu pengalaman yang tidak kita sukai, apakah suasana hati kita berubah? Ataukah batin kita tidak goyah? Melihat tepat di sini, kita mempunyai satu ukuran.

        Pahamilah diri kalian sendiri, inilah saksi kalian. Janganlah membuat keputusan ketika dipengaruhi oleh nafsu kalian. Nafsu bisa melambungkan kita ke dalam pemikiran bahwa kita adalah sesuatu, yang sebenarnya bukan. Kita harus sangat berhati-hati.

        Ada begitu banyak sudut dan aspek yang harus dipertimbangkan, tetapi jalan yang benar adalah tidak mengikuti nafsu kalian, melainkan Kebenaran. Kita harus mengetahui yang baik dan yang buruk, dan ketika kita mengetahuinya, lepaskanlah mereka. Jika kita tidak melepaskan, kita tetap berada di situ, kita tetap "ada" kita tetap "punya". Jika kita tetap "ada" maka di sana terdapat sisa, ada timbunan proses dumadi dan kelahiran.

        Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan agar hanya menilai diri sendiri, jangan menilai orang lain, tidak peduli betapa baik atau jahatnya mereka. Sang Buddha hanya menunjukkan sang Jalan, dengan mengatakan "Seperti inilah Kesunyataan". Sekarang, apakah batin kita seperti itu atau tidak?

        Misalnya, seandainya seorang bhikkhu mengambil sesuatu milik bhikkhu lain, lalu bhikkhu yang lain itu menuduhnya, "Kamu mencuri barang-barang saya". "Saya tidak mencurinya saya hanya mengambilnya". Lalu kita meminta bhikkhu ketiga untuk memutuskan. Bagaimana ia harus memutuskannya? Beliau mungkin harus meminta bhikkhu yang bersalah untuk menghadap sidang Sangha. "Ya, saya mengambilnya, tapi saya tidak mencurinya". Atau berdasarkan aturan lain, seperti pelanggaran-pelanggaran parajika atau sanghadisesa: "Ya, saya melakukannya, tapi saya tidak mempunyai kehendak". Bagaimana kalian bisa mempercayai itu? Ini rumit. Jika kalian tidak bisa mempercayai, yang bisa kalian lakukan adalah menyerahkan tanggung-jawab kepada si pelaku, itu terserah padanya.

        Tetapi kalian harus mengetahui bahwa kita tidak dapat menyembunyikan hal-hal yang muncul di dalam batin kita. Kalian tidak bisa menutupinya, baik itu perbuatan salah maupun benar. Apakah perbuatan itu baik atau buruk, kalian tidak bisa meniadakannya hanya dengan mengabaikannya, karena hal-hal ini cenderung untuk mengungkapkan dirinya sendiri. Mereka menyembunyikan dirinya sendiri, mereka mengungkapkan dirinya sendiri, mereka muncul dan lenyap sendiri. Mereka semua otomatis. Beginilah cara kerja mereka.

        Janganlah mencoba untuk menebak atau berspekulasi terhadap hal-hal ini. Selama masih ada avija (ketidaktahuan), mereka belumlah tuntas. Pada suatu ketika seorang Kepala Dewan Kebersihan bertanya kepada saya, "Luang Por, apakah batin seorang anagami (Anagami (yang tidak kembali lagi): "Tingkat" kesucian yang ketiga, yang dicapai dengan membebaskan diri dari lima "belenggu yang lebih rendah" (semuanya berjumlah sepuluh), yang mengikat batin pada keberadaan duniawi. Dua "tingkat" yang pertama adalah sotapanna ("pemasuk arus") dan sakadagami (yang kembali satu kali lagi), dan yang terakhir adalah arahat ("Yang telah selesai atau yang sempurna").) sudah bersih?"

        "Ia sebagian bersih".

        "Eh? Seorang anagami sudah membuang keinginan-keinginan inderawinya, bagaimana bisa batinnya belum bersih?"

        "Ia mungkin telah melepaskan keinginan-keinginan inderawinya, tetapi di sana masih ada sesuatu yang tersisa, bukan? Masih ada avijja. Jika masih ada sesuatu yang tersisa maka tetap ada sesuatu yang tersisa. Itu bagaikan mangkuk makan para bhikkhu. Terdapat mangkuk-besar ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang, mangkuk-besar ukuran kecil; lalu mangkuk-sedang ukuran besar, mangkuk-besar ukuran sedang, mangkuk-sedang ukuran kecil; selanjutnya ada mangkuk-kecil ukuran besar, mangkuk-kecil ukuran sedang, mangkuk-kecil ukuran kecil… Tidak peduli betapa kecilnya itu tetap ada mangkuk di sana, bukan? Demikianlah halnya dengan sotapanna, sakadagami, anagami. Mereka memang sudah melenyapkan kekotoran tertentu, tetapi hanya sebatas tingkatan mereka. Apapun yang tetap tertinggal, para suci itu tidak melihatnya. Jika mereka mampu, mereka semuanya telah menjadi Arahat. Mereka masih belum bisa melihat semuanya. Avijja merupakan yang tidak terlihat. Jika batin sang anagami sepenuhnya diluruskan maka ia bukan lagi seorang anagami, tetapi ia sudah sepenuhnya sempurna (Arahat). Jadi di sana masih ada sesuatu yang tersisa.

        "Apakah batin dia suci?" "Benar, agak suci, tetapi tidak 100%".

        Apalagi yang bisa saya jawab? Ia berkata kelak ia akan datang lagi dengan bertanya lebih lanjut tentang hal itu. Ia bisa memeriksa hal itu, standarnya ada di sana.

        Janganlah lengah, waspadalah. Sang Buddha menasihati agar kita waspada. Berkenaan dengan latihan batin ini, saya juga mengalami saat-saat tergoda, kalian tahu. Saya kerapkali tergoda untuk mencoba banyak hal. Tetapi mereka selalu seperti tidak sampai pada sang Jalan. Ini sungguh bagaikan berlaga di dalam batin seseorang, semacam keangkuhan. Ditthi —pandangan-pandangan, dan mana —kesombongan, ada di sana. Cukup sulit untuk hanya menyadari keberadaan kedua hal ini.

        Suatu ketika ada seseorang yang ingin menjadi bhikkhu di sini. Ia membawa jubahnya, memutuskan untuk menjadi seorang bhikkhu untuk mengenang almarhumah ibunya. Ia memasuki vihara, meletakkan jubahnya, dan, tanpa memberi hormat kepada bhikkhu-bhikkhu lainnya, ia memulai dengan meditasi jalan tepat di depan ruang utama… bolak-balik, bolak-balik, ia seperti akan menunjukkan kesanggupannya.

        Saya pikir, "Oh, jadi ada juga orang seperti ini!" Ini disebut saddha adhimokkha —keyakinan yang membuta. Ia pasti sudah memutuskan untuk mencapai pencerahan sebelum senja atau semacam itu, ia pikir hal itu sangat mudah. Ia tidak melihat siapapun, hanya menundukkan kepala dan berjalan bagaikan kehidupannya bergantung pada hal itu. Saya biarkan ia meneruskannya, tetapi saya pikir, "Oh, teman, kamu pikir sesederhana itukah?" Pada akhirnya saya tidak tahu untuk berapa lama ia bertahan, saya bahkan tidak berpikir ia telah ditahbiskan.

        Begitu batin memikirkan sesuatu kita mengeluarkannya, mengeluarkannya setiap saat. Kita tidak menyadari bahwa itu hanyalah kebiasaan perkembangbiakan batin. Ia menyamarkan dirinya sebagai kebijaksanaan dan tercetak keluar dalam bagian yang sangat rinci. Perkembangbiakan batin ini tampak sangat cerdik, jika kita tidak mengetahuinya kita akan mengartikannya sebagai kebijaksanaan. Tetapi jika ia tiba pada saat yang genting, ia bukanlah hal yang sebenarnya. Ketika muncul penderitaan, di manakah yang disebut kebijaksanaan itu? Apakah ia bermanfaat? Akhirnya ia hanyalah perkembangbiakan saja.

        Jadi tetaplah bersama Sang Buddha. Seperti yang sudah saya katakan berkali-kali, dalam praktek kita harus melihat ke dalam dan menemukan Sang Buddha. Di manakah Sang Buddha? Sang Buddha masih tetap hidup sampai dengan hari ini, periksalah dan temukan beliau. Di manakah beliau? Di anicca, periksa dan temukanlah beliau di sana, pergilah dan sembahlah beliau: anicca, ketidakpastiaan. Bagi para pemula, kalian bisa berhenti tepat di sana.

        Jika batin berusaha mengatakan padamu, "Saya seorang sotapanna sekarang", pergi dan menyembahlah pada sang Sotapanna. Ia akan mengatakan padamu, "Semuanya tidak pasti". Jika kalian bertemu seorang sakadagami, pergi dan hormatilah dia. Jika ia melihatmu ia hanya akan mengatakan, "Bukan satu hal yang pasti!" Jika ada seorang anagami, pergi dan sembahlah dia. Ia hanya akan mengatakan satu hal… "Tidak pasti". Bahkan jika kalian bertemu seorang arahat, pergi dan sembahlah dia, dia bahkan akan lebih tegas mengatakan, "Semuanya bahkan lebih tidak pasti!" Kalian akan mendengar kata-kata Para Suci… "Segala sesuatu tidak pasti, jangan melekat pada apapun".

        Jangan hanya memandangi Sang Buddha seperti seorang yang tolol. Jangan melekat pada segala sesuatu, mencengkeram kuat tanpa melepaskan. Lihatlah segala sesuatu sebagai fungsinya Yang Tertampak kini, kemudian alihkan mereka pada Yang Melebihinya. Itulah yang harus kalian lakukan. Harus ada Yang Tertampak dan harus ada Yang Melebihinya.

bersambung...
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Food for the Heart : oleh Ajahn Chah
« Reply #18 on: 24 July 2009, 09:14:14 PM »
        Jadi saya katakan, "Pergilah kepada Sang Buddha". Di manakah Sang Buddha? Sang Buddha adalah Sang Dhamma. Semua Ajaran di dunia ini dapat dimuat dalam satu ajaran ini: anicca. Pikirkanlah itu. Sebagai bhikkhu saya sudah mencarinya lebih dari empat puluh tahun dan inilah semua yang saya temukan. Anicca dan ketahanan kesabaran. Inilah cara mendekati ajaran Sang Buddha… anicca: semuanya tidak pasti.

        Tidak peduli betapa yakinnya sang batin, katakan padanya: "Tidak pasti!" Bilamana si batin ingin menangkap sesuatu sebagai hal yang pasti, katakanlah, "Ia tidak pasti, ia bersifat sementara". Hadapkanlah dengan hal ini. Dengan menggunakan Dhamma Sang Buddha semua sampai pada hal ini. Ia bukanlah itu, ia hanyalah perwujudan/fenomena yang bersifat sementara. Apakah ketika berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, kalian melihat segala sesuatu seperti itu. Apakah timbul rasa suka atau tidak suka, kalian lihat semuanya dalam cara ini. Inilah yang mendekatkan pada Sang Buddha, dekat pada Sang Dhamma.

        Sekarang saya merasa bahwa inilah cara berlatih yang lebih berharga. Semua praktek saya sejak awal sampai sekarang adalah seperti ini. Saya sesungguhnya tidak bersandar pada kitab suci, tetapi saya juga tidak mengabaikan mereka. Saya tidak bersandar pada seorang guru tetapi saya juga tidak sepenuhnya "melakukannya sendiri". Praktek saya semuanya "bukanlah ini maupun itu."

        Sesungguhnya ia merupakan persoalan "menyelesaikan", yaitu, berlatih sampai selesai, dengan mulai melaksanakan praktek dan selanjutnya mengamatinya sampai selesai, melihat Yang Tertampak dan juga Yang Melebihinya.

        Saya sudah membicarakan hal ini, tetapi beberapa di antara kalian mungkin tertarik untuk mendengarkannya lagi: jika kalian berlatih terus-menerus dan mempertimbangkan semuanya dengan cermat, akhirnya kalian akan mencapai titik ini. Pada awalnya kalian bergegas maju, bergegas kembali, dan bergegas berhenti. Kalian meneruskan latihan seperti ini sampai kalian mencapai titik di mana tampaknya maju bukanlah seperti itu, kembali bukanlah seperti itu, dan berhenti pun bukanlah seperti itu! Selesai. Inilah akhirnya, jangan mengharapkan sesuatu yang lebih dari ini, ia selesai tepat di sini. Khinasavo —mereka yang sudah menyelesaikan. Ia tidak maju, tidak mundur, dan tidak berhenti. Tidak ada berhenti, tidak ada maju, dan tidak ada kembali. Ia sudah selesai. Pertimbangkan ini, sadarilah dengan benar dalam batin kalian. Di sana kalian akan menemukan bahwa sesungguhnya tidak ada apapun juga.

        Apakah ini sesuatu yang lama atau baru bagi kalian, itu tergantung pada kalian, pada kebijaksanaan dan ketajaman kalian. Orang yang tidak mempunyai kebijaksanaan atau ketajaman tak akan dapat memahaminya. Lihatlah pada pohon, seperti pohon mangga atau nangka. Jika mereka tumbuh di dalam satu rumpun, pohon yang satu pada awalnya bisa lebih besar dan selanjutnya yang lain akan melengkung, tumbuh keluar dari yang besar tadi. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang menyuruh mereka untuk melakukan itu? Inilah Alam. Alam mengandung baik dan buruk, benar dan salah. Ia dapat cenderung menjadi benar ataupun menjadi salah. Jika kita menanam suatu jenis pepohonan secara berdekatan, maka pohon tersebut akan besar dengan batangnya melengkung menjauh dari pohon yang lebih besar. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang menyuruhnya begitu? Inilah Alam, atau Dhamma.

        Demikian juga tanha, nafsu-keinginan, membawa kita pada penderitaan. Sekarang, jika kita merenungkannya, hal itu akan mengeluarkan kita dari keinginan, kita akan menguasai tanha. Dengan menyelidiki tanha kita akan menggoyahkannya, menjadikannya lebih ringan secara bertahap sampai semuanya lenyap. Sama halnya dengan pohon: adakah seseorang yang memerintahkan agar mereka tumbuh seperti itu? Mereka tak bisa bicara atau pindah tetapi mereka tahu bagaimana caranya untuk tumbuh menghindari rintangan. Bilamana terkekang dan berjejal serta sulit tumbuh, mereka akan membelok keluar.

        Tepat di sinilah Dhamma, kita tidak harus mencarinya ke mana pun. Orang yang cerdik akan melihat Dhamma seperti ini. Secara alam pohon tidak mengetahui apapun, mereka bergerak sesuai dengan hukum alam, tetapi mereka cukup mengerti untuk tumbuh menghindari bahaya, untuk condong ke tempat yang cocok.

        Seperti itulah orang yang waspada. Kita pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga karena kita ingin mengatasi penderitaan. Apakah yang membuat kita menderita? Jika kita mengikuti jejaknya di dalam batin, kita akan menemukannya. Apa yang kita sukai dan apa yang tidak kita sukai adalah penderitaan. Jika mereka merupakan penderitaan maka janganlah terlalu dekat pada mereka. Apakah kalian ingin jatuh cinta dengan berbagai kondisi atau membenci mereka? …mereka semuanya tidak pasti. Jika kita dekat kepada Sang Buddha, semua ini akan berakhir. Jangan lupakan ini. Dan bersabarlah. Hanya dua saja sudah cukup. Jika kalian memiliki pemahaman seperti ini, sangatlah baik.

        Sesungguhnya di dalam praktek saya sendiri saya tidak mempunyai guru yang memberikan ajaran sebanyak yang kalian peroleh dari saya. Saya tidak mempunyai banyak guru. Saya ditahbiskan di sebuah vihara desa yang sederhana dan hidup di berbagai vihara desa selama beberapa tahun. Di dalam batin saya menaruh keinginan untuk praktek, saya ingin menjadi cakap/pandai, saya ingin terlatih. Tak ada seorang pun yang memberikan ajaran di vihara-vihara itu tetapi timbul inspirasi untuk berlatih. Saya pergi dan saya mencari. Saya mempunyai telinga jadi saya bisa mendengar, saya mempunyai mata jadi saya bisa melihat. Apa saja perkataan orang, akan saya katakan pada diri sendiri, "Tidak Pasti". Bahkan ketika saya mencium bau saya akan katakan pada diri sendiri, rasa yang menyenangkan, atau tidak menyenangkan, atau timbul perasaan senang atau sakit dalam badan, akan saya katakan pada diri sendiri, "Ini bukanlah hal yang pasti!" Dan dengan begitu saya hidup bersama Dhamma.

        Di dalam kesunyataan, semuanya tidaklah pasti, tetapi keinginan kita menghendaki segala sesuatu menjadi pasti. Apa yan bisa kita lakukan? Kita harus bersabar. Hal yang sangat penting adalah khanti —ketahanan kesabaran. Jangan lepaskan Sang Buddha, yaitu apa yang saya sebut "ketidak-pastian" —janganlah membuangnya.

        Suatu saat saya ingin mengunjungi tempat keagamaan kuno dengan berbagai bangunan biara kuno, yang dirancang oleh para arsitek, yang dibangun oleh para seniman. Di beberapa tempat ada yang retak. Mungkin satu di antara teman saya akan berujar, "Betapa memalukan, bukan? Ada yang retak". Saya akan menjawab, "Jika tidak ada kasus seperti itu maka tidak akan ada Sang Buddha, tidak akan ada Sang Dhamma. Ia retak seperti itu karena selaras dengan ajaran Sang Buddha". Walau dari hati yang paling dalam saya juga sedih melihat bangunan-bangunan itu retak tetapi saya akan menghilangkan keharuan saya dan berusaha mengatakan sesuatu yang akan bermanfaat bagi teman-teman dan saya sendiri. Meskipun begitu saya juga merasa prihatin, saya tetap condong pada Dhamma.

        "Jika tidak retak seperti itu tidak akan ada Sang Buddha!"

        Saya menilai perkataan saya ini cukup sulit untuk dimengerti oleh teman-teman saya… atau mungkin mereka tidak mendengarkan, tetapi saya tetap mendengarkan.

        Ini merupakan satu cara mempertimbangkan berbagai hal yang sangat bermanfaat. Misalnya, seseorang bergegas masuk dan berkata, "Luang Por! Apakah Anda mengetahui apa yang baru dikatakan si anu tentang Anda?" Atau "Ia mengatakan demikian-demikian tentang Anda…" Mungkin kalian akan marah. Begitu kalian mendengar kritikan, kalian segera siap untuk bertikai! Inilah timbulnya suasana-hati. Kita harus mengetahui setiap tahapan suasana-hati ini. Begitu kita mendengar perkataan semacam ini, kita mungkin segera siap membahas, tetapi ketika memeriksa kebenaran persoalan itu kita mungkin menemukan bahwa… "Ya ampun, mereka telah mengatakan tentang hal-hal yang lain setelah itu".

        Jadi ini merupakan kasus lain dari "ketidak-pastian". Oleh karena itu mengapa kita harus menyerbu dan mempercayainya? Mengapa kita begitu mempercayai apa yang dikatakan orang lain? Apapun yang kita dengar harus kita perhatikan, bersikap sabar, memeriksa persoalan dengan cermat… tetap tegak. Bukannya apapun yang singgah di dalam benak kita semuanya kita tuliskan sebagai semacam kebenaran. Pernyataan manapun yang mengabaikan ketidak-pastian, bukanlah pernyataan seorang bijaksana. Ingatlah hal ini. Untuk kita sendiri, bilamana kita menolak ketidak-pastian maka kita tidak lagi bijaksana, kita tidak lagi berlatih. Apapun yang kita lihat atau dengar, apakah menyenangkan ataupun menyedihkan, katakan saja "Ini tidak pasti!" Tekankan ini pada dirimu sendiri, letakkanlah semuanya seperti ini. Janganlah membangunnya menjadi persoalan pokok, letakkanlah hanya pada itu saja. Inilah titik yang penting. Inilah titik di mana kekotoran-kekotoran batin padam. Para praktisi Dhamma tidak boleh mengabaikannya.

        Jika kalian mengabaikan hal ini, kalian hanya akan mendapatkan penderitaan, hanya mendapatkan kesalahan. Jika kalian tidak jadikan hal ini sebagai landasan dalam praktek kalian, kalian akan salah jalan… tetapi kemudian kalian akan kembali pada jalur yang benar, karena dasar ini sangat baik.

        Sesungguhnya Dhamma sejati, intisari yang telah saya bicarakan pada hari ini, tidaklah begitu pelik. Apapun yang kalian alami hanyalah bentuk, hanyalah perasaan, hanyalah pencerapan, hanyalah kehendak, dan hanyalah kesadaran. Hanya ada sifat-sifat dasar ini, di manakah ada kepastian di dalam mereka?

        Jika kita memahami sifat sejati dari berbagai benda seperti ini, nafsu keinginan, kegilaan, dan kemelekatan akan berangsur hilang. Mengapa mereka berangsur hilang? Karena kita memahami, kita tahu. Kita beralih dari ketidak-tahuan menjadi pengertian. Pengertian lahir dari ketidak-tahuan, kepastian lahir dari ketidak-pastian, kesucian lahir dari kekotoran. Begitulah cara kerjanya.

        Tidak menyingkirkan anicca, Sang Buddha —Inilah yang dimaksudkan bahwa Sang Buddha tetap hidup. Untuk mengatakan bahwa Sang Buddha telah masuk Nibbana tidaklah perlu benar. Dalam pengertian yang lebih mendalam Sang Buddha tetaplah hidup. Itu mirip sekali bagaimana kita mendefinisikan kata "bhikkhu". Jika kita mengartikannya sebagai "orang yang meminta" (Yaitu orang yang hidup dengan bergantung pada kemurahan hati orang lain.), artinya sangat luas. Kita bisa mengartikannya seperti ini, tetapi terlalu banyak menggunakan arti ini tidaklah begitu baik —kita tidak tahu kapan harus berhenti meminta! Seandainya kita harus mendefinisikan kata ini secara lebih mendalam, kita akan mengatakan: "Bhikkhu —orang yang melihat bahayanya samsara". Bukankah hal ini lebih mendalam. Ia tidak berjalan searah dengan pengertian yang terdahulu, ia berjalan lebih dalam. Seperti itulah praktek Dhamma. Jika kalian tidak sepenuhnya memahami Dhamma ia tampak sebagai satu cara, tetapi ketika kalian sepenuhnya memahaminya, ia menjadi sesuatu yang lain lagi. Ia menjadi tak ternilai, ia menjadi sumber kedamaian.

        Ketika kita mempunya sati kita dekat dengan Dhamma. Jika kita mempunyai sati kita akan melihat anicca, ketidak-kekalan dari semua hal/benda. Kita akan melihat Sang Buddha dan mengatasi penderitaan samsara, jika tidak sekarang maka pada saat lain di masa yang akan datang.

        Jika kita membuang sifat-sifat dari Para Ariya, Sang Buddha atau Sang Dhamma, praktek kita akan mandul dan tak berbuah. Kita harus merawat praktek kita terus-menerus, apakah kita sedang bekerja, duduk, atau hanya berbaring. Ketika mata melihat bentuk, telinga mendengar suara, hidung mencium bau, lidah merasakan cita-rasa, atau badan mengalami sentuhan… dalam semua itu, jangan buang Sang Buddha, jangan menyimpang dari Sang Buddha.

        Ini adalah seorang yang sudah dekat pada Sang Buddha, yang setiap saat memuja Sang Buddha. Kita mengenal berbagai cara untuk memuja Sang Buddha, seperti di pagi hari mengalunkan "Araham Samma Sambuddho Bhagava" …Ini merupakan satu cara untuk memuja Sang Buddha tetapi bukan memuja Sang Buddha dalam cara yang mendalam seperti yang telah saya jelaskan di sini. Begitu pula denga kata "bhikkhu". Jika kita mendefinisikannya sebagai "orang yang meminta" maka mereka akan tetap meminta… karena ia diartikan seperti itu. Untuk mengartikannya dengan cara yang terbaik, kita seharusnya mengatakan "Bhikkhu adalah orang yang melihat bahayanya samsara".

        Begitu pula dengan memuja Sang Buddha. Memuja Sang Buddha hanya dengan mengucapkan ungkapan-ungkapan berbahasa Pali sebagai suatu upacara di pagi dan sore hari, dapat dibandingkan dengan mendefinisikan kata "Bhikkhu" sebagai "orang yang meminta". Jika kita condong pada anicca, dukkha, dan anatta (Ketidak-kekalan, Ketidak-sempurnaan, dan ketanpa-pemilikan.) maka kapan saja mata melihat bentuk, telinga mendengar suara, hidung mencium bau, lidah mengecap rasa, badan mengalami sentuhan, atau batin mengenali kesan-kesan mental, pada setiap saat, ini bisa dibandingkan dengan mendefinisikan kata "Bhikkhu" sebagai "orang yang melihat bahayanya samsara". Ini jauh lebih mendalam, menembus begitu banyak hal. Jika kita memahami ajaran ini kita akan tumbuh dalam kebijaksanaan dan pemahaman.

        Ini disebut patipada. Kembangkan sikap ini di dalam praktek, dan kalian akan berada di jalan yang benar. Jika kalian berpikir dan merenungkan dalam cara ini, meskipun kalian mungkin berada jauh dari guru kalian, kalian akan tetap dekat dengannya. Jika kalian hidup dekat dengan sang guru secara fisik tetapi batin kalian belum selaras dengan beliau maka kalian hanya akan menghabiskan waktu untuk mencari-cari kesalahannya atau memuji-muji beliau. Jika ia melakukan sesuatu yang kalian sukai, kalian akan mengatakan bahwa beliau baik, dan jika ia melakukan sesuatu yang tidak kalian sukai, kalian akan mengatakan ia tidak baik —dan sejauh itulah praktek kalian. Kalian tidak akan mencapai apapun dengan membuang-buang waktu mengamati orang lain. Tetapi jika kalian memahami ajaran ini kalian bisa menjadi seorang Ariya pada saat ini.

        Itulah mengapa pada tahun ini (tahun Buddhis 2522, atau tahun 1979 Masehi.) saya mengambil jarak dengan murid-murid saya, baik yang lama maupun yang baru, dan tidak memberikan banyak ajaran: sehingga kalian semua bisa sebanyak mungkin melihat berbagai hal untuk diri kalian sendiri. Untuk para bhikkhu baru, saya telah menetapkan jadwal dan aturan-aturan vihara, seperti: "jangan terlalu banyak bicara". Jangan melanggar aturan-aturan yang sudah ada, aturan-aturan yang membawa pada jalan kepada pemahaman, kepada hasil/pahala, dan Nibbana. Siapa pun yang melanggar aturan-aturan ini bukanlah seorang pelaksana sejati, bukanlah seseorang yang datang dengan tujuan murni untuk berlatih. Apakah yang bisa diharapkan oleh orang semacam itu untuk dilihat? Biarpun setiap hari ia tidur di dekat saya, ia tidak melihat saya. Biarpun ia tidur di dekat Sang Buddha, ia tak akan melihat Sang Buddha, jika ia tidak berlatih.

        Jadi mengenali Dhamma atau melihat Dhamma bergantung pada praktek. Punyailah keyakinan, murnikan batin kalian. Jika semua bhikkhu di vihara ini menempatkan kesadaran di dalam batin masing-masing, kita tidak perlu menegur atau memuji siapa pun. Jika kemarahan atau ketidaksukaan muncul, biarlah hal-hal itu pada batin saja, tetapi amatilah dengan cermat!

        Teruslah mengamati hal-hal itu. Selama masih ada sesuatu di sana berarti kita masih tetap harus bekerja keras dan menggerinda tepat di situ. Beberapa orang berkata, "Saya tak dapat memotongnya, saya tidak mampu melakukannya", jika kita mulai berkata seperti itu, di sini hanya akan ada segerombolan orang yang tidak berarti, karena tidak ada seorang pun yang berusaha memotong kekotorannya sendiri.

        Kalian harus berusaha. Jika kalian belum bisa memotongnya, galilah lebih dalam. Galilah kekotoran-kekotoran itu, ambillah mereka. Galilah mereka keluar walaupun mereka tampak keras dan bertahan. Dhamma bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan mengikuti keinginan kalian. Batin kalian mungkin merupakan satu cara, sedangkan kebenaran adalah yang lainnya. Kalian harus melihatnya dari bagian muka dan meninjaunya dari bagian belakang. Itulah sebabnya saya katakan, "semua itu tidak pasti, semuanya berubah".

        Kebenaran dari ketidak-pastian ini, kebenaran yang singkat dan sederhana, yang secara bersamaan juga sangat mendalam dan tanpa cacat, cenderung diabaikan oleh orang-orang. Mereka cenderung melihat segala sesuatu secara berbeda. Janganlah melekat pada kebaikan, janganlah melekat pada keburukan. Mereka merupakan sifat dunia ini. Kita berlatih untuk bebas dari dunia ini, jadi bawalah keadaan-keadaan itu pada suatu akhir. Sang Buddha mengajarkan untuk meletakkan mereka, membuang mereka, karena mereka hanyalah menimbulkan penderitaan.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Food for the Heart : oleh Ajahn Chah
« Reply #19 on: 24 July 2009, 09:15:09 PM »
Transcendence

        Ketika kelompok lima pertapa ( Pancavaggiya Bhikkhu, atau "kelompok lima pertapa", yang mengikuti Sang Calon Buddha (Bodhisatta) ketika Beliau mengembangkan berbagai praktek pertapaan, serta yang meninggalkan Beliau ketika Beliau meninggalkan praktek tersebut menuju praktek Jalan Tengah, dan segera setelah itu Sang Bodhisatta mencapai Pencerahan Sempurna.) meninggalkan Sang Buddha, Beliau memandang hal itu sebagai pukulan yang menguntungkan, karena Beliau bisa melanjutkan praktek Beliau tanpa rintangan. Dengan lima orang pertapa yang hidup bersama Beliau, suasana mejadi tidak begitu tenang, Beliau menanggung berbagai tanggung-jawab. Kini kelima pertapa telah meninggalkan Beliau karena mereka merasa bahwa Beliau telah mengendurkan latihan dan kembali pada kesenangan. Sebelumnya Beliau sangat tekun pada praktek pertapaan dan penyiksaan diri. Dalam hal makan, tidur, dan sebagainya, Beliau telah menyiksa dirinya secara hebat, tetapi hal itu sampai pada satu titik di mana setelah diperiksa secara jujur, Beliau menyadari bahwa praktek-praktek seperti itu tidaklah bermanfaat. Ia hanyalah suatu pandangan, yang diptaktekkan atas dasar kesombongan dan kemelekatan. Beliau telah salah memandang nilai-nilai duniawi dan menduganya sebagai kebenaran.

        Misalnya, jika seseorang memutuskan untuk menerjunkan dirinya dalam praktek pertapaan dengan tujuan untuk memperoleh pujian —praktek semacam ini semuanya merupakan "semangat duniawi", praktek untuk mendapatkan pujian dan kemasyhuran. Praktek dengan tujuan semacam ini disebut "menilai jalan duniawi sebagai kebenaran".

        Cara lain yang salah dalam praktek adalah "menilai pandangan sendiri sebagai kebenaran". Kalian hanya mempercayai diri sendiri, mempercayai praktek kalian sendiri. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, kalian melekat pada pilihan sendiri. Kalian tidak mempertimbangkan praktek dengan cermat. Ini disebut "menilai diri sendiri sebagai kebenaran".

        Apakah kalian memandang dunia atau diri sendiri sebagai kebenaran, —semuanya hanyalah kemelekatan membuta. Sang Buddha melihat hal ini, dan melihat bahwa tidak ada "menyatu dalam Dhamma", praktek demi kebenaran. Sehingga prakteknya tidak memberikan hasil, ia tetap belum melepaskan kekotoran-kekotoran.

        Selanjutnya Beliau berbalik dan mempertimbangkan kembali semua hal yang sudah Beliau praktekkan sejak awal ditinjau dari segi hasilnya. Apakah hasil dari semua praktek itu? Setelah memeriksa dengan seksama, Beliau menyadari bahwa hal itu salah. Hal itu penuh kesombongan, dan penuh dengan hal-hal duniawi. Di sana tak ada Dhamma, tak ada pandangan-terang tentang anatta (tanpa-pribadi), tak ada kekosongan atau pelepasan. Mungkin di sana ada sejenis pelepasan, tetapi ia adalah dari jenis yang masih belum melepas.

        Setelah mempertimbangkan keadaan dengan berhati-hati, Sang Buddha melihat bahwa seandainya pun Beliau menjelaskan hal-hal ini pada kelima pertapa, mereka tak akan mampu untuk mengerti. Hal itu bukanlah sesuatu yang bisa secara mudah Beliau sampaikan kepada mereka, karena para pertapa itu masih sangat berakar pada cara lama dalam prakteknya dan dalam melihat segala sesuatunya.

        Setelah mempertimbangkan dengan dalam, Beliau melihat praktek yang benar, samma patipada: batin adalah batin, jasmani adalah jasmani. Jasmani bukanlah nafsu-keinginan atau kekotoran-batin. Meskipun seandainya kalian melenyapkan si jasmani, kalian tidak akan melenyapkan kekotoran-kekotoran batin. Ia bukanlah sembernya. Bahkan berpuasa dan tidak tidur sama sekali sampai jasmani memjadi layu mengerikan, tak akan melenyapkan kekotoran-kekotoran batin. Tetapi kepercayaan bahwa kekotoran bisa disingkirkan dengan cara itu, ajaran penyiksaan diri, sudah sangat mendarah daging pada kelima pertapa itu.

        Sang Buddha selanjutnya mulai makan lebih banyak, makan seperti biasa, praktek secara lebih wajar. Ketika kelima petapa melihat perubahan cara praktek Sang Buddha, mereka mengira bahwa Beliau sudah menyerah dan kembali pada kesenangan inderawi. Pemahaman seseorang telah bergeser ke arah yang lebih tinggi, yang melampaui penampilan, sedangkan orang lain melihat bahwa pandangan orang itu tergelincir ke bawah, kembali pada kenikmatan. Penyiksaan diri sangat melekat dalam batin kelima pertapa itu karena pada awalnya Sang Buddha telah mengajarkan dan berlatih seperti itu. Sekarang Beliau melihat kesalahan itu. Dengan melihat kesalahan tersebut secara jelas, Beliau mampu melepaskan hal itu.

        Ketika kelima pertapa melihat Sang Buddha melakukan ini mereka meninggalkan Beliau, karena merasa bahwa Beliau berlatih dengan salah dan mereka tak ingin mengikuti Beliau lagi. Tepat seperti burung yang meninggalkan pohon yang tidak bisa menyediakan tempat berteduh lagi, atau ikan yang meninggalkan kolam yang terlalu kecil, kotor atau dingin, demikianlah kelima pertapa meninggalkan Sang Buddha.

        Jadi sekarang Sang Buddha memusatkan pada perenungan terhadap Dhamma. Beliau makan lebih baik dan hidup secara lebih wajar. Beliau membiarkan batin sebagai batin, jasmani sebagai jasmani. Beliau tidak memaksakan praktek secara berlebihan, hanya sepantasnya untuk melepaskan cengkraman keserakahan, keengganan dan khayalan. Selanjutnya Beliau telah menjalani dua ekstrim: kamasukhallikanuyogo —jika timbul kebahagiaan atau cinta beliau akan terpikat dan melekat padanya. Beliau akan memihak padanya dan tak akan membiarkannya pergi. Jika Beliau menjumpai penderitaan Beliau akan melekat padanya juga. Kedua ekstrim ini Beliau sebut "kamasukhallikanuyogo" dan "attakilamathanuyogo".

        Sang Buddha telah memahami berbagai keadaan. Dengan jelas Beliau melihat bahwa kedua jalan ini bukanlah jalan bagi seorang samana. Melekat pada kebahagiaan, melekat pada penderitaan: seorang samana tidalah seperti itu. Melekat pada hal-hal itu bukanlah Sang Jalan. Karena melekat pada hal-hal itu Beliau terikat pada pandangan tentang pribadi dan dunia. Seandainya Beliau terus menggeluti kedua jalan ini, Beliau tak akan pernah menjadi seorang yang memahami dunia dengan terang dan jelas. Beliau akan tetap berlari dari satu kelahiran ke kelahiran yang lain. Sekarang Sang Buddha memutuskan perhatian pada batin itu sendiri dan mencermati latihan itu.

        Semua segi dari alam berjalan sesuai dengan berbagai kondisi pendukungnya, mereka bukanlah merupakan persoalan di dalam dirinya sendiri. Misalnya penyakit dalam tubuh. Jasmani merasakan nyeri, sakit, demam, selesma dan sebagainya. Mereka semua muncul begitu saja. Sesungguhnya orang terlalu mencemaskan jasmaninya. Mereka begitu cemas dan melekat pada jasmaninya karena pandangan salah, mereka tak bisa melepaskannya.

        Lihatlah ruangan ini. Kita membangun ruangan ini dan mengatakan ini milik kita, tetapi cicak datang dan hidup di sini, tikus dan tokek datang dan hidup di sini, dan kita selalu mengusir mereka, karena kita menganggap bahwa ruangan ini milik kita, bukan milik tikus dan cicak.

        Begitu pula dengan penyakit di dalam tubuh. Kita menganggap tubuh ini sebagai rumah kita, sesuatu yang benar-benar milik kita. Jika kita terkena sakit kepala atau perut, kita terganggu, kita tidak menginginkan rasa nyeri dan penderitaan. Kaki ini "kaki kita", kita tidak menginginkan mereka terluka, tangan ini "tangan kita", kita tidak menginginkan mereka terluka. Kita melihat kepala sebagai "kepala kita",  kita tak menginginkan ada yang salah padanya. Kita membelanjakan berapa pun untuk menyembuhkan semua rasa nyeri dan penyakit.

        Di sinilah kita dikelabui dan menyimpang dari kebenaran. Kita hanyalah pengunjung pada jasmani ini. Tepat seperti ruangan ini, sesungguhnya ia bukan milik kita. Kita hanyalah penyewa sementara, seperti para tikus, cicak, dan tokek... tetapi kita tidak mengetahuinya. Begitulah jasmani ini. Sang Buddha mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada tempat pribadi di dalam jasmani ini, tetapi kita mengejar dan menangkapnya sebagai diri kita. Sebagai betul-betul "kita" dan "mereka". Ketika jasmani berubah, kita tidak menginginkannya seperti itu. Tak peduli sudah berapa kali kita diberitahu, kita tetap tidak memahaminya. Jika saya katakan secara langsung kalian bahkan akan lebih bingung. "Ini bukanlah dirimu sendiri", saya katakan demikian, dan kalian akan lebih tersesat, kalian akan lebih keliru dan praktek kalian hanya akan memperkuat sang diri/pribadi.

        Jadi pada umumnya orang-orang tidak benar-benar melihat sang diri ini. Ia yang melihat sang diri adalah ia yang melihat bahwa "ini bukanlah sang diri maupun menjadi milik pribadi". Ia melihat diri/pribadi sebagai apa adanya di semesta. Melihat pribadi melalui kekuatan kemelekatan bukanlah melihat yang sesungguhnya. Kemelekatan mengganggu seluruh pekerjaan. Tidaklah mudah untuk menyadari jasmani ini sebagai apa adanya karena upadana melekat kuat pada semuanya.

        Oleh karena itu dikatakan bahwa kita harus menyelidiki untuk mengetahui secara jelas dengan kebijaksanaan. Ini berarti menyelidiki sankhara (Sankhara: fenomena yang terkondisi. Penggunaan istilah ini dalam bahasa Thai biasanya secara khusus menunjuk pada jasmani, walaupun sankhara juga menunjuk pada perwujudan mental.) sesuai dengan sifat alamiah mereka. Gunakan kebijaksanaan. Mengetahui sifat alamiah sankhara adalah kebijaksanaan. Jika kalian tidak mengetahui sifat alamiah sankhara kalian selalu berselisih dengan mereka, selalu menolak mereka. Jadi, apakah lebih baik melepaskan sankhara ataukah berusaha menentang atau menolak mereka? Sekalipun demikian kita minta mereka dengan sangat untuk menuruti pengharapan-pengharapan kita. Kita mencari berbagai cara untuk mengatur mereka atau "membuat janji" dengan mereka. Jika jasmani sakit dan sedang merasa nyeri, kita tidak menginginkannya begitu, maka kita mencari berbagai Sutta untuk dialunkan, seperti Bojjhango, Dhammacakkap pavattanasutta, Anattalakkhanasutta, dan sebagainya. Kita tidak menginginkan jasmani dalam keadaan sakit, kita ingin melindunginya, mengendalikannya. Sutta-sutta ini menjadi suatu bentuk upacara mistik, yang menjadikan kita lebih terjerat di dalam kemelekatan. Ini karena mereka mengalunkan sutta/paritta untuk menangkal penyakit, untuk memperpanjang kehidupan dan sebagainya. Sesungguhnya Sang Buddha memberi kita ajaran-ajaran ini untuk melihat secara jelas tetapi kita akhirnya mengalunkan mereka untuk menambah khayalan kita.

        Rupam aniccam, vedana aniccam, sañña aniccam, sankhara aniccam, viññanam aniccam (Bentuk/jasmani adalah tidak kekal,perasaan tidaklah kekal, pencerapan tidaklah kekal, kehendak tidaklah kekal, kesadaran tidaklah kekal.)... Seharusnya kita tidak mengalunkan kata-kata ini untuk menambah khayalan kita. mereka merupakan renungan untuk membantu kita mengetahui kebenaran dari jasmani ini, sehingga kita bisa melepaskannya dan membuang kerinduan/keinginan kita.

        Ini disebut mengalunkan sesuatu untuk memotong, tetapi kita cenderung mengalunkan sesuatu untuk memperluasnya, atau bila kita merasa mereka terlalu panjang kita berusaha menyingkatnya, untuk memaksa semesta memenuhi pengharapan kita. Ini semua merupakan khayalan. Semua orang yang duduk di ruangan itu diperdaya, setiap orang dari mereka. Mereka yang mengalunkan diperdaya, mereka yang mendengarkan diperdaya, mereka semua diperdaya! Semua yang bisa mereka pikirkan adalah "Bagaimana kita bisa menghindari penderitaan?" Lalu di manakah mereka pernah berlatih?

        Ketika penyakit datang, mereka yang telah mengetahui tidak melihat adanya keanehan di sana. Dengan terlahirkan di dunia ini tentulah membawa pengalaman diserang peyakit. Bagaimanapun, bahkan Sang Buddha dan para Siswa Mulia, dalam perjalanan hidupnya terkena penyakit, dan juga, dalam perjalanan hidupnya mereka merawatnya dengan obat. Bagi mereka, hal itu hanyalah persoalan memperbaiki unsur-unsur. Mereka tidak melekat pada jasmani secara membuta atau terikat pada upacara-upacara mistik dan semacamnya. Mereka memperlakukan penyakit dengan Pandangan Benar, mereka tidak memperlakukannya dengan khayalan. "Jika ia sembuh, ya sembuh, jika tidak, ya tidak" —begitulah mereka melihatnya.

        Mereka mengatakan bahwa sekarang ini agama Buddha di Thailand sedang berkembang, tetapi bagi saya tampaknya agama Buddha merosot sangat jauh. Ruangan Dhamma penuh dengan telinga yang memperhatikan, tetapi mereka memperhatikan secara salah. Bahkan anggota masyarakat yang senior pun seperti itu, jadi setiap orang hanya menuntun yang lainnya ke dalam khayalan yang lebih besar.

        Orang yang memahami hal ini akan mengetahui bahwa praktek yang sejati hampir berlawanan dengan yang dikerjakan orang pada umumnya, kedua kelompok ini hampir tidak bisa saling memahami. Bagaimana orang-orang seperti itu akan mengatasi penderitaan? Mereka memiliki sutta/paritta untuk dapat menyadari kebenaran tetapi mereka berputar dan menggunakannya untuk memperbesar khayalan mereka. Mereka membelakangi jalan yang benar. Yang satu ke Timur, yang lainnya ke Barat —bagaimana mereka bisa bertemu? Mereka bahkan tidak menjadi lebih dekat satu dengan yang lainnya.

bersambung...
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Food for the Heart : oleh Ajahn Chah
« Reply #20 on: 24 July 2009, 09:15:42 PM »
        Jika kalian telah memeriksanya kalian akan mengetahui begitulah persoalannya. Kebanyakan orang tersesat. Tetapi bagaimana kalian bisa memberitahu mereka? Segala sesuatu telah menjadi tatacara, upacara, dan upacara mistik. Mereka ber-chanting (mengalunkan sutta/paritta) tetapi mereka mengalunkan dengan kebodohan, mereka tidak mengalunkan dengan kebijaksanaan. Mereka belajar, tetapi mereka belajar dengan kebodohan, tidak dengan kebijaksanaan. Mereka mengetahui, tetapi mereka mengetahui dengan kebodohan, tidak dengan kebijaksanaan. Jadi mereka berakhir dengan kebodohan, hidup dengan kebodohan, mengetahui dengan kebodohan. Begitulah adanya. Dan mengajar... semua yang mereka kerjakan sekarang ini adalah mengajar orang-orang agar pandai, memberi mereka pengetahuan, tetapi jika kalian meninjau dari segi kebenaran, kalian melihat bahwa mereka benar-benar mengajar orang-orang untuk tersesat dan terikat pada muslihat.

        Dasar dari ajaran yang sebenarnya adalah untuk melihat atta sang diri/pribadi, sebagai kosong, tidak mempunyai identitas yang pasti. Ia tidak berisi sesuatu yang hakiki. Tetapi orang belajar Dhamma untuk memperkuat pandangan pribadi mereka, jadi mereka tidak ingin merasakan penderitaan atau kesulitan. Mereka ingin agar semuanya menyenangkan. Mereka mungkin ingin mengatasi penderitaan, tetapi jika masih tetap ada pribadi bagaimana mereka bisa melakukannya?

        Coba pikirkan... seandainya kita mempunyai satu benda yang sangat mahal. Tepat pada saat benda itu telah kita miliki pikiran kita berubah... "Sekarang, di mana saya bisa menyimpannya? Jika saya biarkan di sana seseorang mungkin mencurinya" ...Kita menyusahkan diri sendiri dalam suatu keadaan, berusaha menemukan tempat untuk menyimpannya. Dan kapankah pikiran itu berubah? Ia berubah pada saat kita mempunyai benda tadi —penderitaan segera timbul. Tidak peduli di mana kita meninggalkan benda tadi kita tidak bisa santai, jadi kita mewarisi persoalan. Apakah ketika sedang duduk, berjalan, atau berbaring, kita tenggelam di dalam kecemasan.

        Inilah penderitaan. Dan kapankah ia timbul? Ia timbul segera setelah kita mengerti bahwa kita telah mendapatkan sesuatu, di sanalah letak penderitaan. Sebelum kita memiliki benda itu tidak ada penderitaan. Ia belum muncul karena belum ada benda baginya untuk dilekati.

        Atta, sang diri, juga begitu. Jika kita berpikir dengan pola "diriku", maka segala sesuatu di sekeliling kita menjadi "milikku". Kebingungan mengikutinya. Mengapa demikian? Penyebab semua itu adalah adanya sang diri, kita tidak melepaskan apa Yang Tertampak untuk melihat Yang Transenden (yang melampauinya). Kalian tahu, sang diri ini hanyalah yang tertampak. Kalian harus mengelupas yang tertampak ini untuk melihat intinya, yaitu Yang Transenden. Balikkan Yang Tertampak untuk menemukan Yang Transenden.

    Kalian bisa membandingkannya dengan padi yang belum diirik. Dapatkah padi yang belum diirik itu dimakan? Tentunya bisa, tetapi kalian harus mengiriknya dahulu. Pisahkan dari sekamnya dan kalian akan mendapatkan beras di dalamnya.

        Sekarang jika kita tidak mengirik sekamnya, kita tak mendapatkan berasnya. Bagaikan seekor anjing tidur di atas tumpukan padi yang belum diirik. Perutnya keroncongan "grok-grok-grok", tetapi yang bisa dilakukannya hanya berbaring di sana, dengan pikiran "Di manakah dapat kuperoleh sesuatu untuk dimakan?" Ketika dia lapar, dia meloncat meninggalkan tumpukan padi dan berlari mencari sisa-sisa makanan. Walaupun dia tidur tepat di atas timbunan makanan tetapi dia tidak menyadarinya. Mengapa? Dia tidak bisa melihat beras. Anjing tidak bisa memakan butiran padi yang belum diirik. Makanan ada di sana tetapi si anjing tidak bisa memakannya.

        Kita mungkin sudah belajar tetapi jika kita tidak praktek sesuai dengan itu kita tetap tidak memahaminya, terlena seperti si anjing yang tidur di atas tumpukan padi. Dia tidur pada setumpuk makanan tetapi dia tidak mengetahuinya. Ketika dia lapar dia meloncat dan pergi mencari makanan di tempat lain. Memalukan, bukan?

        Sekarang ini juga sama: ada butir padi tetapi apa yang menghalanginya? Sekam yang menyembunyikan butir padi, sehingga si anjing tidak bisa memakannya. Dan ada Yang Transenden. Apa yang menyembunyikannya? Yang Tertampak menyembunyikan Yang Transenden, membuat orang hanya "duduk di atas tumpukan padi, tak bisa memakannya", tidak bisa berlatih, tidak bisa melihat Yang Transenden. Dengan demikian mereka hanya melekat pada penampilan dari waktu ke waktu. Jika kalian melekat pada penampilan/yang tertampak maka penderitaan yang akan terjadi, kalian akan dikepung oleh proses dumadi, kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.

        Janganlah berpikir bahwa dengan belajar dan tahu banyak, kalian akan mengerti Buddha Dhamma. Hal itu bagaikan mengatakan kalian telah melihat segala sesuatu yang bisa dilihat hanya karena kalian memiliki mata, atau bahwa kalian telah mendengar segala sesuatu yang bisa didengar hanya karena kalian memiliki telinga. Kalian mungkin melihat tetapi kalian tidak melihat sepenuhnya. Kalian hanya melihat dengan "mata luar", tidak dengan "mata dalam"; kalian mendengar dengan "telinga luar", tidak dengan "telinga dalam".

        Jika kalian membalik Yang Tertampak dan membuka Yang Transenden, kalian akan menggapai kebenaran dan melihat dengan jelas. Kalian akan merobohkan Yang Tertampak dan merobohkan kemelekatan.

        Ini seperti buah yang manis: biarpun buahnya manis tetapi kita harus mencobanya dulu sebelum kita bisa mengetahui bagaimana rasanya. Sekarang buah itu, walaupun tidak seorangpun mencobanya, tetaplah selalu manis. Tetapi tidak seorangpun mengetahuinya. Begitulah Dhamma Sang Buddha. meskipun merupakan kebenaran, tetapi ia tidaklah benar bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh mengetahuinya. Tidak peduli betapa unggul dan bagus keadaannya, ia tetap tidak berharga untuk mereka.

        Sekarang mengapa orang merebut penderitaan? Siapakah di dunia ini yang ingin memberi penderitaan pada dirinya? Tidak seorangpun tentunya. Tidak seorangpun menginginkan penderitaan tetapi orangtetap membuat sebab-sebab penderitaan, tepat bagaikan mereka berkelana untuk mencari penderitaan. Di dalam batinnya orang mencari kebahagiaan, mereka tidak menginginkan penderitaan. Lalu mengapa batin kita menciptakan begitu banyak penderitaan? Kita tidak menyukai penderitaan tetapi mengapa kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri? Sangatlah mudah... itu semua karena kita tidak mengetahui penderitaan. Kita tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui sebab penderitaan, tidak mengetahui akhir penderitaan, dan tidak mengetahui jalan yang membawa pada akhir penderitaan. Itulah sebabnya orang berkelakuan seperti yang mereka lakukan. Bagaimana mereka tidak menderita jika mereka tetap berkelakuan seperti itu?

        Orang-orang ini mempunyai micchaditthi ( Micchaditthi —Pandangan salah.) tetapi mereka tidak menyadari bahwa itulah micchaditthi. Apapun yang kita ucapkan, percayai, atau kerjakan, yang mengakibatkan penderitaan itu semuanya merupakan pendangan salah. Jika ia bukan pandangan salah ia tak akan mengakibatkan penderitaan. Kita tidak mau melekat pada penderitaan, tidak pula pada kebahagiaan atau pada keadaan apapun. Kita akan membiarkan segala sesuatu pada keadaan alamiahnya, seperti aliran arus air. Kita tidak perlu membendungnya, biarlah ia mengalir terus secara alamiah.

        Seperti itulah aliran Dhamma, tetapi aliran pikiran yang bodoh berusaha untuk melawan Dhamma dalam bentuk pandangan salah. Sekarang ia melayang ke mana-mana, melihat pandangan salah di sana, pada orang lain. Tetapi, kita sendiri mempunyai pandangan salah, yaitu penderitaan masih ada di sana karena pandangan salah —ini orang-orang tidak melihatnya. Ini berharga untuk diamati. Apabila kita mempunyai pandangan salah kita akan mengalami penderitaan. Jika tidak mengalaminya sekarang, ia akan muncul kelak.

        Orang akan tersesat di sini. Apakah yang menutupi mereka? Yang Tertampak menutupi Yang Transenden, menghalangi orang-orang untuk melihat segala sesuatu dengan jelas. Orang-orang memikirkan, mereka belajar, mereka berlatih, tetapi mereka berlatih dengan kebodohan, seperti orang yang telah kehilangan jati dirinya. Ia berjalan ke barat tetapi berpikir bahwa ia berjalan ke timur, atau berjalan ke utara tapi berpikir bahwa ia berjalan ke selatan. Sejauh itulah orang telah tersesat. Praktek semacam ini hanyalah ampas dari suatu praktek yang benar, kenyataannya ini merupakan malapetaka. Ini merupakan malapetaka karena mereka berbalik dan pergi ke arah yang berlawanan, mereka terjatuh dari sasaran praktek Dhamma yang benar/sejati.

        Keadaan ini menyebabkan penderitaan dan orang berpikir bahwa melakukan ini, mengingat itu, memikirkan ini, akan menjadi sebab berhentinya penderitaan. Sama seperti seorang menginginkan banyak hal. Ia berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin, dengan berpikir jika ia memperoleh cukup maka penderitaannya akan berkurang. Beginilah cara orang-orang berpikir, tetapi pemikiran mereka menyimpang dari jalan yang benar, seperti orang pergi ke utara, yang lain pergi ke selatan, dan percaya bahwa mereka pergi dalam jalan yang sama.

        Berlatih untuk menyadari Dhamma adalah sesuatu yang paling baik dari semuanya. Mengapa Sang Buddha mengembangkan semua Kesempurnaan (Sepuluh paramita (kesempurnaan): kemurahan hati, kemoralan/sila, pelepasan agung, kebijaksanaan, usaha, kesabaran, kejujuran, ketetapan hati, kemauan baik, dan keseimbangan.)? Sehingga Beliau bisa menyadari hal ini dan memungkinkan orang lain untuk melihat Dhamma, mengerti Dhamma, berlatih Dhamma dan menjadi Dhamma —sehingga mereka bisa melepaskan dan tidak dibebani.

        "Jangan melekat pada sesuatu". Atau dengan cara lain: "Pegang, tetapi jangan melekat". Ini juga benar. Jika kita melihat sesuatu yang lain, ambillah... peganglah, tetapi jangan terlalu kuat. Peganglah cukup lama untuk memikirkannya, untuk mengetahuinya, lalu lepaskanlah. Jika kalian memegang tanpa membiarkannya berlalu, membawa tanpa meletakkan beban, maka kalian akan berat. Jika kalian memungut sesuatu dan membawanya sesaat, maka ketika ia menjadi berat kalian harus meletakkannya, membuangnya. Janganlah membuat penderitaan untuk dirimu sendiri.

        Ini haruslah kita ketahui sebagai penyebab penderitaan. Jika kita mengetahui penyebab penderitaan, penderitaan tidak bisa muncul. Karena baik kebahagiaan ataupun penderitaan bisa muncul jika ada atta, sang diri. Pasti ada "aku" dan "milikku", pasti ada penampilan ini. Jika semua hal ini muncul, batin langsung menuju ke keadaan Yang Melampaui/Transenden, ia menyingkirkan penampilan. Ia menyingkirkan kesenangan, kebencian, dan kemelekatan terhadap hal-hal itu. Seperti ketika suatu benda yang kita hargai hilang... ketika kita menemukannya lagi, kecemasan kita lenyap.

        Bahkan sebelum kita melihat benda/obyeknya, kecemasan kita bisa berkurang. Mulanya kita berpikir ia hilang dan menderita karenanya, tetapi ketika tiba-tiba kita ingat, "Oh, ya! Aku menaruhnya di sana, sekarang aku ingat!" Segera setelah kita ingat ini, segera setelah kita melihat kebenaran, bahkan sebelum kita melihat obyeknya, kita telah merasa bahagia. Ini disebut "melihat di dalam", melihat dengan mata batin, bukan melihat dengan mata luar. Jika kita melihat dengan mata batin, meskipun kita belum melihat obyeknya kita sudah merasa ringan.

        Begitu pula sama halnya dengan ini. Ketika kita mengembangkan praktek Dhamma dan mencapai Dhamma, melihat Dhamma, maka bilamana kita menemui persoalan kita segera memecahkan persoalan itu tepat di sana dan pada saat itu. Ia sepenuhnya lenyap, diletakkan dan dilepas.

        Sang Buddha menghendaki kita untuk kontak/berhubungan dengan Dhamma, tetapi orang hanya berhubungan dengan kata-kata, buku, dan kitab suci. Ini berhubungan dengan sesuatu tentang Dhamma, tetapi tidak berhubungan dengan Dhamma yang sebenarnya seperti yang diajarkan oleh Guru Agung kita. Bagaimana orang bisa berkata bahwa mereka berlatih dengan baik dan benar? Mereka telah menyimpang jauh.

        Sang Buddha dikenal sebagai Lokavidu, telah memahami dunia dengan jelas. Saat ini kita melihat dunia secara baik, tetapi tidak dengan jelas. Semakin banyak yang kita tahu, semakin gelap jadinya dunia ini, karena pengetahuan kita suram, itu bukan pengetahuan yang jelas. Itu cacad. Ini disebut "mengetahui melalui kegelapan", kurang cahaya dan sinar.

bersambung...
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Food for the Heart : oleh Ajahn Chah
« Reply #21 on: 24 July 2009, 09:16:07 PM »
        Orang-orang hanya melekat di sini dan ini bukan persoalan sepele. Ini persoalan penting. Orang kebanyakan menginginkan kebaikan dan kebahagiaan tetapi mereka tidak mengetahui apakah sebab-sebab bagi kebaikan dan kebahagiaan. Apapun dia, jika kita belum melihat kerugiannya, kita tidak bisa melepaskannya. Tidak peduli betapa buruknya dia, kita tetap tidak bisa melepaskannya jika kita belum sungguh-sungguh melihat kerugiannya. Akan tetapi, bila kita benar-benar melihat kerugian dari sesuatu dengan tanpa ragu lagi maka kita bisa melepaskannya.

        Ketika telinga kalian mendengar suara, maka biarkan mereka melakukan pekerjaannya. Ketika mata kalian melihat bentuk-bentuk, maka biarkan mereka melakukan fungsinya itu. Ketika hidung kalian mencium bau, biarlah ia melakukan pekerjaannya itu. Ketika jasmani kalian merasakan sentuhan, maka biarkan ia melakukan fungsi alamiahnya. Jika kita membiarkan indera kita melakukan fungsi alamiah mereka, di mana lagi persoalan akan muncul? Tak ada persoalan.

        Begitu pula dengan semua hal yang termasuk di dalam Yang Tertampak, biarlah mereka sebagai Yang Tertampak. Dan kenalilah apa Yang Transenden. Jadilah "Orang Yang Mengetahui", mengetahui tanpa menjadi melekat, mengetahui dan membiarkan segala sesuatu berjalan pada jalan alamiah mereka. Mereka hanyalah sebagaimana apa adanya.

        Semua dari milik kita, adakah seseorang yang benar-benar memiliki mereka? Apakah ayah kita memilikinya, atau ibu kita, atau kerabat kita? Tidak ada seorangpun yang benar-benar mendapatkan sesuatu. Itulah sebabnya Sang Buddha mengatakan agar membiarkan mereka, melepaskan mereka. Ketahui mereka secara jelas. Ketahui mereka dengan memegangnya, tetapi tidak melekat. Gunakan sesuatu dalam cara yang bermanfaat, tidak dengan cara merugikan dengan memegangnya erat-erat sampai timbul penderitaan.

        Untuk memahami Dhamma kalian harus memahaminya dengan cara ini. Yaitu memahami dalam suatu cara untuk mengatasi penderitaan. Pengetahuan semacam ini sangatlah penting. Mengetahui bagaimana caranya membuat suatu barang, menggunakan peralatan, mengetahui berbagai macam ilmu di dunia dan sebagainya, semua itu mempunyai caranya sendiri, tetapi mereka bukanlah pengetahuan yang tertinggi. Dhamma harus dipahami seperti apa yang telah saya terangkan di sini. Kalian tidak harus mengetahui semuanya, hanya sebegini cukuplah untuk pelaksana Dhamma —mengetahui lalu melepaskan.

        Tahukah kalian, tidaklah benar bahwa kalian harus mati dulu sebelum kalian bisa mengatasi penderitaan. Kalian dapat mengatasi penderitaan dalam kehidupan ini juga karena kalian tahu bagaimana caranya memecahkan persoalan. Kalian mengetahui Yang Tertampak, kalian tahu Yang Transenden. Kerjakanlah pada kehidupan ini, ketika kalian berada di sini untuk berlatih. Kalian tak akan menemukannya di tempat lain. Jangan melekat pada segala sesuatu. Boleh memegangnya, tetapi janganlah melekat.

        Kalian mungkin heran, "Mengapa Achan selalu mengatakan hal ini?" Bagaimana mungkin saya mengajarkan yang lain, bagaimana mungkin saya mengatakan yang lain, bila kebenaran memang seperti apa yang telah saya katakan ini? Meskipun ini adalah kebenaran, janganlah melekat padanya! Jika melekat padanya secara membuta ia menjadi suatu kebohongan. Seperti seekor anjing... berusaha untuk menangkap kakinya. Jika kalian tidak membiarkannya, si anjing akan berputar dan menggigit kalian. Coba sajalah. Semua hewan bertingkah seperti itu. Jika kalian tidak membiarkannya maka dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menggigit. Begitu pula dengan Yang tertampak. Kita hidup sesuai dengan kebiasaan, mereka ada untuk kemudahan kita dalam kehidupan ini, tetapi mereka bukanlah sesuatu untuk dilekati sedemikian keras sehingga mereka menyebabkan penderitaan. Biarkan segala sesuatunya berlalu.

        Jika kita merasa kita pasti benar, sehingga kita menolak untuk membuka diri pada sesuatu atau orang lain, di sanalah kita salah. Ia menjadi pandangan salah. Ketika penderitaan muncul, dari manakah ia muncul? Penyebabnya adalah pandangan salah, buahnya adalah penderitaan. Jika ia merupakan pandangan benar, ia tak akan menyebabkan penderitaan.

        Jadi saya katakan, "Beri ruang, jangan melekat pada segala sesuatu". "Benar" adalah merupakan suatu anggapan orang lain, biarkan ia berlalu. "Salah" juga merupakan suatu keadaan lain yang nyata, dan biarlah ia di sana. Jika kalian merasa kalian benar dan yang lain menentang persoalan itu, janganlah berdebat, biarkanlah ia berlalu. Segera setelah kalian tahu, lepaskan. Inilah cara yang langsung.

        Pada umumnya orang tidak seperti ini. Orang jarang mengalah satu sama lain. Itulah sebabnya sebagian orang, bahkan pelaksana Dhamma, yang tetap tidak mengenali diri mereka sendiri, bisa mengatakan sesuatu yang sangat bodoh dan berpikir bahwa mereka bijaksana. Mereka bisa mengatakan sesuatu yang begitu bodoh yang menyebabkan orang lain tidak tahan untuk mendengarnya, tapi sekalipun demikian mereka berpikir bahwa mereka lebih pandai daripada yang lain. Orang lain bahkan tidak bisa mendengarkan itu tapi sekalipun demikian mereka berpikir bahwa mereka bijak, bahwa mereka benar. Mereka hanya mempertontonkan kebodohan mereka sendiri.

        Itulah sebabnya orang bijaksana berkata, "Ucapan apapun yang mengabaikan anicca, bukanlah ucapan seorang bijaksana, itu merupakan ucapan si dungu. Itu merupakan ucapan yang menipu. Itu merupakan ucapan seorang yang tidak mengetahui bahwa penderitaan akan muncul tepat di sana". Misalnya, seandainya kalian telah memutuskan untuk pergi ke Bangkok besok dan seseorang bertanya, "Apakah kalian akan ke Bangkok besok?"

        "Saya berharap untuk pergi ke Bangkok. Jika tidak ada rintangan saya mungkin akan pergi". Ini disebut berkata dengan Dhamma di dalam batin, berkata dengan anicca di dalam batin, mempertimbangkan kebenaran, kesementaraan sifat dunia. Kalian tidak hanya berkata, "Ya, saya pasti pergi besok". Jika ternyata kalian tidak pergi apa yang akan kalian lakukan, memberitahu semua orang yang telah kalian beritahu bahwa kalian akan pergi? Kalian hanya omong-kosong.

        Masih ada yang lebih daripada itu, praktek Dhamma menjadi semakin halus. Tetapi jika kalian tidak melihatnya kalian mungkin akan berpikir bahwa kalian berbicara benar pada saat kalian berbicara salah dan menyimpang dari sifat alamiah dari segala sesuatunya di dalam setiap perkataan kalian. Sekalipun demikian kalian berpikir bahwa kalian berbicara kebenaran. Dengan sederhana: apapun yang kita katakan atau lakukan yang menyebabkan timbulnya penderitaan, haruslah dipahami sebagai micchaditthi. Ia merupakan khayalan dan kebodohan.

        Kebanyakan para pelaksana tidak merenung dalam cara ini. Apapun yang mereka sukai, mereka pikir itu benar dan mereka terus percaya pada diri sendiri. Misalnya, mereka mungkin menerima hadiah atau gelar, apakah dalam bentuk barang, pangkat, atau kata-kata pujian, mereka pikir itu baik. Mereka menjadikannya sebagai semacam keadaan yang tetap. Jadi mereka membengkak dengan kesombongan dan kecongkakan. Mereka tidak mempertimbangkan, "Siapakah aku? Di manakah apa yang disebut dengan "kebaikan" itu? Dari manakah ia datang? Apakah pihak lain juga memilikinya?"

        Sang Buddha mengajarkan agar kita berprilaku yang wajar. Jika kita tidak menggali di dalam, menganalisanya, dan mengamati pokok ini, berarti ia masih terbenam di dalam diri kita. Berarti berbagai keadaan ini masih terkubur di dalam batin kita —kita masih terbenam dalam kekayaan, pangkat dan pujian. Karena mereka, kita menjadi seseorang yang lain. Kita pikir kita lebih baik daripada sebelumnya, bahwa kita ini sesuatu yang istimewa, dan berbagai kebingungan lalu muncul.

        Sesungguhnya, dalam kebenaran tidak ada apapun dalam diri manusia. Jadi apapun kita ini, ia hanyalah dalam penampilan luarnya. Jika kita singkirkan Yang Tertampak dan melihat Yang Transenden, kita melihat tak ada apapun di sana. Hanya ada sifat-sifat universal —kelahiran di awalnya, perubahan di tengahnya, dan penghentian di akhirnya. Inilah semua yang ada di sana. Jika kita melihat bahwa segala sesuatu adalah seperti ini maka tidak timbul persoalan. Jika kita memahami ini, kita akan mempunyai kepuasan dan kedamaian.

        Jadi saya mengatakan untuk praktek dan juga melihat pada hasil praktek kalian. Terutama di mana kalian menolak untuk mengikuti, di mana ada pergesekan. Jika tak ada gesekan, tidak ada persoalan, semuanya mengalir. Jika ada gesekan, mereka tidak mengalir, kalian membangun suatu pribadi dan semua menjadi kokoh, seperti kumpulan kemelekatan. Tidak ada proses memberi dan menerima.

        Kebanyakan para bhikkhu dan pelaksana lainnya cenderung seperti ini. Apa yang sudah mereka pikirkan di masa lalu, itu mereka lanjutkan. Mereka menolak untuk mengubah, mereka tidak merenungkan. Mereka pikir mereka benar sehingga mereka tidak mungkin salah; tetapi sesungguhnya "kesalahan" terpendam di dalam "kebenaran", meskipun kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Mengapa demikian? "Ini benar" ...tetapi jika seseorang berkata "itu tidak benar" kalian tidak akan menyerah, kalian akan berdebat. Apakah ini? Ditthi mana... Ditthi berarti pandangan, mana berarti kemelekatan pada pandangan itu. Jika kita melekat, bahkan pada apa yang benar, menolak untuk mengakui siapapun juga, maka ia menjadi salah. Melekat kuat pada kebenaran hanyalah merupakan kemunculan dari sang diri, tidak ada melepaskan di sana.

        Ini merupakan hal yang memberikan banyak persoalan bagi manusia, kecuali untuk para pelaksana Dhamma yang mengetahui bahwa persoalan/pokok ini sangatlah penting. Mereka akan memperhatikannya. Jika hal itu muncul ketika mereka berbicara, kemelekatan berpacu datang dalam pandangan. Mungkin ia bertahan untuk beberapa saat, mungkin satu atau dua hari, tiga atau empat bulan, satu atau dua tahun, ini untuk mereka yag lamban. Bagi yang cepat, terjadi tanggapan langsung... mereka hanya melepaskan, mereka memaksa batin untuk melepaskan tepat di sana dan pada saat itu.

        Kalian harus melihat kedua fungsi ini beroperasi. Di sini ada kemelekatan. Sekarang siapakah yang menahan kemelekatan itu? Kapan saja kalian merasakan suatu kesan mental, kalian harus mengamati kedua fungsi ini beroperasi. Ada kemelekatan, dan ada orang yang menghalangi kemelekatan tersebut. Sekarang perhatikan kedua hal ini. Mungkin kalian akan melekat untuk waktu lama sebelum kalian melepaskannya.

        Renungkan dan tetaplah berlatih seperti ini, kemelekatan menjadi lebih ringan, menjadi semakin kurang dan makin berkurang. Pandangan benar bertambah karena pandangan salah menyusut. Kemelekatan berkurang, ketidakmelekatan muncul. Inilah jalannya, ini untuk setiap orang. Itulah sebabnya saya katakan agar mempertimbangkan pokok ini. Belajarlah untuk memecahkan persoalan pada saat ini juga.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

 

anything