Ukuran diameter dan jarak di antara dunia (Bumi), bulan dan matahari ini semua disebutkan dalam kitab komentar. Meski kitab komentar yang paling sering memunculkan poin kontroversial, tetapi kita tidak boleh langsung memarginalkan kitab ini sebagai "kitab tidak akurat".
Kitab komentar disusun oleh siswa Sang Buddha; yang notabene bukanlah seorang Sammasambuddha. Meskipun kitab komentar disusun berdasarkan komentar dari seorang Arahanta, mungkin saja isinya mengandung nilai kontroversi dibanding dengan fakta otentik.
Perhitungan diameter dan jarak yang disebutkan dalam kitab komentar tentu didapatkan dari sudut pandang tertentu. Mungkin saja berbeda dengan hasil perhitungan ilmu astronomi barat dewasa ini. Karena mungkin keduanya berangkat dari sudut perhitungan yang berbeda.
Di dalam Tipitaka, banyak istilah numerik "84.000" yang digunakan. Selama ini, angka 84.000 yang tertera dalam Tipitaka merujuk pada suatu numerik digit yang sangat banyak; beberapa cendekiawan mengintepretasikannya sebagai angka yang tak terhitung oleh kemampuan manusia di masa itu. Jadi penggunaan istilah numerik "84.000" oleh Sang Buddha di Anguttara Nikaya itu merujuk pada "angka yang sangat banyak".
Di dalam Kitab Agama Buddha (khususnya dari Tipitaka Pali), tidak dinyatakan bahwa bentuk Bumi adalah bulat seperti bola atau datar seperti karpet. Dalam kitab komentar memang disiratkan karekteristik proporsional dunia ini; dan penjelasannya seolah-olah mengindikasikan bahwa Planet Bumi dinyatakan datar. Tetapi itu sendiri merupakan intepretasi. Karena penjelasan karekteristik proporsional dunia itu juga tidak mutlak menggambarkan datarnya Planet Bumi. Sedangkan dalam Sutta, Sang Buddha memberi perumpamaan usia dunia (Planet Bumi) dengan analogi "sebongkah batu yang diameter dan permukaannya sama besar, yang digosok kain". Jika kita lebih cermat, maka dapat kita pahami bahwa Sang Buddha sedang menganalogikan Planet Bumi dengan sebuah batu bundar sempurna seperti bola.
Dalam Agganna Sutta, Sang Buddha juga menjelaskan bahwa ketika Planet Bumi mulai terbentuk, semuanya hanya terdiri dari zat cair. Namun perlahan, muncullah sari tanah di permukaan Planet Bumi itu; seperti nasi susu masak yang mendingin. Dari konteks ini, kita bisa menangkap maksud Sang Buddha bahwa Planet Bumi ini terbentuk dari zat cair. Juga dikuatkan dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha menyatakan bahwa Planet Bumi yang padat ini terbentuk dari zat cair, dan zat cair terbentuk dari zat gas. Berangkat dari pemahaman ini, bisa kita pahami bahwa sari tanah itu muncul karena zat cair pembentuk Planet Bumi ini mulai mendingin. Ini berarti Planet Bumi terbentuk melalui zat cair yang panas. Dalam bidang astronomi barat, kesimpulan ini bukan tidak mungkin merupakan realitas. Lalu jika dikatakan bahwa Planet Bumi terbentuk dari zat cair di ruang angkasa, maka bagaimana wujud proporsional Planet Bumi itu? Tentu saja bulat sempurna seperti bola! Seperti yang mungkin sudah kita ketahui, semua zat cair yang berada di ruang angkasa pasti akan membentuk wujud seperti bola air. Karena fenomena wujud cair seperti inilah; makanya di dalam pesawat, para astronot minum dengan menggunakan sedotan atau meneguk air sedikit-dikit.