Gak semua langsung kan, ada yang pake kurikulum juga. Jadi Buddha tidak anti tradisi juga bukanlah pembenci inovasi. Maksud saya keduanya OK, tetapi saya liat ada kecenderungan untung mengagungkan inovasi dan mencoba memisahkannya dari tradisi yang dianggap sebagai sesuatu yang non esensial...
Oh, begitu.
Betul, tidak semuanya langsung, ada banyak juga yang bertahap. Misalnya kepada ayahnya, Suddhodana, diajarkan bertahap. Pertama diajarkan bahwa pindapata adalah tradisi dari semua Buddha (karena Suddhodana yang adalah raja, malu melihat anaknya yang dulu pangeran malah 'mengemis'), dan menjadi Sotapanna. Kemudian, diajarkan lagi khotbah lain dan secara bertingkat menembus kesucian lebih tinggi pula, sampai akhirnya ketika akan meninggal, diberi pengarahan lagi dan menjadi Arahat.
Kalau saya pribadi, terserah saja orang mau pakai tradisi+non-tradisi atau mau pakai salah satu saja selama dia merasa itu bermanfaat. Tapi paling baik jangan fanatik pada pandangan sendiri karena diri sendiri juga bisa salah.
Saya lebih cocok pada non-tradisi, tapi saya juga belajar secara tradisi karena ada kalanya orang bertanya mengenai konsep dan kepercayaan. Bayangkan jika terjadi percakapan (lucu) begini:
A: Apa sih Agama Buddha?
B: Intinya vipassana.
A: Buddha siapa?
B: Orang yang vipassananya nomor wahid.
A: Kalau menurut Buddha, boleh punya bini banyak ga?
B: Ga penting, yang penting vipassana.
A: Kenapa orang dilahirkan berbeda?
B: Ga perlu tahu masa lalu, yang penting vipassana.
A: Setelah mati, orang bisa terlahir di mana saja?
B: Ga perlu spekulasi masa depan, yang penting vipassana yang adalah di sini & sekarang.
A: Perlu berbuat baik?
B: Ga perlu, yang penting vipassana.
A: Kalau saya lagi takut/benci/serakah, mesti gimana?
B: Vipassana aja.
Kalau saya belum kenal Buddhisme, dari perbincangan itu saya akan pikir Buddha adalah sebuah robot dengan tape recorder rusak yang setiap hari memutar "Vipassana!" x 84,000.
Tapi juga sebaliknya kalau orang ditanyakan tentang inti Ajaran Buddha dan berputar pada Tiratana, hukum kamma, 31 alam, dan sebagainya, maka itu seperti membahas daun seluruh hutan, namun justru melewatkan sehelai daun simsapa yang dipegang oleh Buddha (padamnya dukkha). Dalam kasus yang sangat-sangat ringan, seperti Sariputta yang ditegur oleh Buddha karena 'hanya' mengajarkan sampai Alam Brahma pada Brahmana Dhananjani tapi tidak mengajarkan sampai terhentinya kelahiran kembali.