//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sakkhaya Ditthi  (Read 1861 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Utphala Dhamma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 109
  • Reputasi: 16
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Sakkhaya Ditthi
« on: 02 December 2010, 03:33:27 AM »
Sebelum kemunculan Buddha atau sebelum mendengar Dhamma, kita cenderung menganggap bahwa dalam suatu makhluk ada satu komponen utama yang bersifat personifikasi, atau suatu unsur utama, atau inti diri berupa jiwa, suatu ruh, atta. Persis perumpamaan yang diberikan Sang Buddha mengenai seorang raja yang terpesona oleh suara kecapi lalu menganggap suara tersebut adalah salah satu unsur, atau unsur utama, atau komponen inti, dari kecapi.

Kutipan SN 35.205. VINA SUTTA:

Quote
... Misalkan ada seorang raja atau menteri kerajaan yang belum pernah mendengar suara musik kecapi. Kemudian pada suatu hari ia mendengarkannya dan berkata,"Orang baik beritahukanlah kepadaku , suara apakah itu, yang begitu mempesona, begitu menyenangkan, begitu memabukkan, begitu menggairahkan, dengan kekuatan yang begitu mengikat?"

Lalu mereka berkata kepadanya,"Paduka, itu adalah suara musik kecapi."

Maka ia berkata,"Pergilah, bawakan aku kecapi itu!"

Lalu mereka membawakan kecapi itu kepadanya tetapi ia berkata,"Cukup sudah dengan kecapi ini. Bawakan saja aku musiknya!"

Mereka lalu berujar,"Paduka, kecapi ini terdiri dari berbagai dan banyak bagian: perut, kulit, tangkai, kerangka, senar, kuda-kuda, dan upaya pemain. Dan kecapi itu bersuara karena mereka. Kecapi itu bersuara karena banyak bagian".

Lalu raja tersebut memecahkan kecapi itu menjadi ratusan bagian, memecah dan memecahnya lagi, membakarnya, menaruh abunya dalam sebuah timbunan, dan menampinya dalam sebuah tong atau mencucinya dengan air agar dapat menemukan suara musiknya.

Setelah melakukan hal ini, ia berkata, "Kecapi merupakan benda yang sungguh jelek; apapun gerangan sebuah kecapi itu, dunia telah terbawa sesat oleh benda itu".

Demikian pula, pada seseorang yang menyelidiki badan JASMANI sejauh apapun badan jasmani mengada dan berubah, menyelidiki PERASAAN..., menyelidiki PERSEPSI (pencerapan)..., menyelidiki BENTUK-BENTUK BATIN/PIKIRAN..., menyelidiki KESADARAN sejauh apapun kesadaran mengada dan berubah, tidak akan ditemukan atau muncul gagasan atau pandangan mengenai "Diriku, Milikku, Aku".

<SN 35.205. Vina Sutta, Samyutta Nikaya>
************

Di Vajira Sutta, Bhikkhuni Vajira, seorang Arahat, saat menegur dan memberi penjelasan pada Mara yg berusaha menggodanya, mengatakan bahwa yg kita sebut "diri" ini adalah semata kumpulan dari sankhara/bentukan ("fabrications") seumpama "kereta" hanya ada karena komponen-komponennya berkumpul, berpadu atau terintegrasi. Anattalakkhana, Culasaccaka, Mahapuññama Sutta dll, menjelaskan bhw masing-masing dari pancakhandha bukanlah atta/diri/aku/personifikasi.

Kutipan SN 5.10 VAJIRA SUTTA:

Quote
Mara, dengan tujuan mengganggu dan menteror, mendekat dan bertanya:

"Oleh siapa makhluk itu diciptakan?
Dimana Sang Pencipta berada?
Di mana makhluk diciptakan?
Di mana lenyapnya makhluk?"

Bhikkhuni Vajira, seorang Arahat, menjawab:

"Makhluk, kau bilang? Itukah pemikiranmu?
Yang ada di sini, hanyalah kumpulan/tumpukan bentukan-bentukan (sankhara) semata. Tidak bisa ditemukan makhluk di tumpukan ini."

Lanjut Sang Bhikkhuni:

"Seperti halnya bila komponen-komponennya lengkap berkumpul, ada istilah 'kereta'; begitupula halnya bila khandha-khandha hadir berkumpul, maka sebagai perjanjian umum ada istilah 'makhluk'."

"Hanya penderitaan (dukkha) yang mengada menjelma tercipta;
Penderitaanlah yang tercipta dan lenyap;
Tiada apapun melainkan penderitaan yang tercipta.
Tiada apapun melainkan penderitaan yang lenyap."

Menyadari Sang Bhikkuni mengenalinya, Mara kecewa dan segera menghilang.

<SN 5.10 Vajira Sutta>
« Last Edit: 02 December 2010, 03:42:35 AM by Utphala Dhamma »

Offline Utphala Dhamma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 109
  • Reputasi: 16
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Sakkhaya Ditthi
« Reply #1 on: 02 December 2010, 03:48:07 AM »
SN 22.59. ANATTA-LAKKHANA SUTTA: Khotbah tentang Karakteristik Bukan-Diri

Quote
Demikian yang telah kudengar. Pada suatu waktu Yang Terberkahi sedang tinggal di Varanasi di dalam tempat peristirahatan perburuan di Isipatana. Beliau berbicara pada ...kelompok lima orang bhikkhu:
"Jasmani, para bhikkhu, adalah bukan diri. JIKA JASMANI ADALAH DIRI, JASMANI INI TIDAK AKAN MENYEBABKAN KEKECEWAAN. Akan mungkin [untuk mengatakan] sehubungan dengan jasmani,'Semoga jasmani ini menjadi demikian. Semoga jasmani ini tidak menjadi demikian.'
TETAPI KARENA JASMANI BUKAN DIRI, MAKA JASMANI MENYEBABKAN KEKECEWAAN. Dan tidaklah mungkin [untuk mengatakan] sehubungan dengan jasmani, 'Semoga jasmani ini menjadi demikian. Semoga jasmani ini tidak menjadi demikian'

"Sensasi (Perasaan) bukanlah diri...
"Persepsi bukanlah diri...
"Bentukan [batin] bukanlah diri...

"Kesadaran bukanlah diri. JIKA KESADARAN ADALAH DIRI, KESADARAN INI TIDAK AKAN MENYEBABKAN KEKECEWAAN. Adalah mungkin [untuk mengatakan] sehubungan dengan kesadaran, 'Semoga kesadaranku menjadi demikian. Semoga kesadaranku tidak menjadi demikian.'
TETAPI KARENA KESADARAN BUKAN DIRI, KESADARAN MENYEBABKAN KEKECEWAAN. Dan tidaklah mungkin [untuk mengatakan] sehubungan dengan kesadaran, 'Semoga kesadaranku menjadi demikian. Semoga kesadaranku tidak menjadi demikian'

"Bagaimana menurutmu, para bhikkhu — Apakah jasmani kekal atau tidak kekal?"
"Tidak kekal, Bhante."

"Dan apakah hal yang tidak kekal itu memberikan kenyamanan atau penderitaan?"
"Penderitaan, Bhante."

"Dan apakah tepat sesuatu yang tidak kekal, menyebabkan penderitaan, tunduk pada hukum perubahan sebagai: 'Ini milikku. Ini adalah diriku. Ini adalah aku'?"
Tidak, Bhante."

"Apakah sensasi..., persepsi..., bentukan..., kesadaran kekal atau tidak kekal?"
"Tidak kekal, Bhante."

"Bagaimana menurutmu, para bhikkhu — Apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?"
"Tidak kekal, Bhante."

"Dan apakah hal yang tidak kekal itu memberikan kenyamanan atau penderitaan?"
"Penderitaan, Bhante."

"Dan apakah tepat sesuatu yang tidak kekal, menyebabkan penderitaan, tunduk pada hukum perubahan sebagai: 'Ini milikku. Ini adalah diriku. Ini adalah aku'?"
"Tidak, Bhante."

"Karena itu, para bhikkhu, apapun jasmani di masa lampau, masa depan, atau masa sekarang; di dalam atau di luar; kasar atau halus; rendah atau luhur; jauh atau dekat; apapun jasmani dilihat sebagai apa adanya dengan pemahaman benar sebagai: 'Ini bukan milikku. Ini bukan diriku. Ini bukan aku.'

"Perasaan (sensasi) apapun...Persepsi apapun... Bentukan [batin] apapun... Kesadaran apapun di masa lampau, masa depan, atau masa sekarang; di dalam atau di luar; kasar atau halus; rendah atau luhur; jauh atau dekat: apapun kesadaran dilihat sebagai apa adanya dengan pemahaman benar sebagai: 'Ini bukan milikku. Ini bukan diriku. Ini bukan aku.'

"Melihat demikian, siswa Ariya, yang telah memahaminya dengan baik, menjadi TAK TERPESONA pada jasmani, TAK TERPESONA pada perasaan, TAK TERPESONA pada persepsi, TAK TERPESONA pada bentukan [batin], TAK TERPESONA pada kesadaran. SETELAH tak terpesona dia menjadi tidak tertarik. SETELAH tidak tertarik, dia terbebas sepenuhnya. Dengan terbebas penuh, disana ada pengetahuan, 'Terbebas sepenuhnya.' Dia mengerti bahwa 'Kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah terpenuhi, tugas telah selesai. Tidak ada lagi lebih jauh untuk dunia ini' (lingkaran samsara terpatahkan)."

Demikian yang dikatakan Sang Bhagava. Berterimakasih, kelompok lima bhikkhu tersebut gembira atas kata-kata Beliau. Sewaktu penjelasan ini sedang diberikan, batin kelompok lima bhikkhu, melalui ketidakmelekatan, terbebas sepenuhnya dari kekotoran batin.

(SN 22.59. ANATTA-LAKKHANA SUTTA: Khotbah tentang Karakteristik Bukan-Diri)
[/b]
« Last Edit: 02 December 2010, 03:53:18 AM by Utphala Dhamma »

Offline Utphala Dhamma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 109
  • Reputasi: 16
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Sakkhaya Ditthi
« Reply #2 on: 02 December 2010, 04:00:05 AM »
Versi Lengkap SN 5.10 VAJIRA SUTTA
(Sumbangan dari Romo Cunda JS)


Bertempat di Sāvatthi
Bhikkhunī Vajirā pagi-pagi sekali setelah mengenakan jubahnya, membawa jubah luar dan mangkuknya memasuki kota Sāvatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali mengumpulkan dana makanan dan setelah menyantap makanannya, beliau masuk ke hutan Andhavana , kemudian beliau duduk di salah satu akar pohon untuk berdiam selama siang hari.

Kemudian datang Māra si Jahat yang senang menimbulkan ketakutan yang menggetarkan dan mendirikan bulu roma guna menjatuhkan Sang Bhikkhuni dari samādhi datang menghampiri beliau, setelah mendekat dia berkata padanya dalam bentuk syair (gāthā)

“Makhluk dibuat oleh siapa?,
Dimanakah si pencipta makhluk?
Dimanakah makhluk muncul?,
Dimanakah makhluk lenyap?”

Kemudian Bhikkhunī Vajirā berkata:
“Siapakah kamu sesungguhnya yang mengucapkan syair ini, manusiakah atau bukan?
Inilah Māra si Jahat yang mengucapkan syair yang bertujuan menjatuhkan aku dari samādhi, yang senang menimbulkan ketakutan yang menggetarkan dan mendirikan bulu roma.”

Kemudian setelah mengetahui ‘Inilah Māra si Jahat’ maka Bhikkhunī Vajirā menjawab Māra si Jahat dengan syair :

“Apa “sesosok makhluk’?,
O Māra kamu diliputi pandangan keliru
Ini hanyalah tumpukan perpaduan, disini tidak diketemukan ‘makhluk’

Sebagaimana tersusun dari pelbagai komponen, demikianlah muncul sebutan ‘kereta’
Demikianlah keberadaan ‘kelompok kehidupan’ maka muncullah sebutan ‘makhluk’ secara kesepakatan.

Dukkhalah sesungguhnya yang muncul ,
Dukkha pula yang menjelma
Tiada yang lain kecuali dukkhalah yang muncul,
Tiada yang lain kecuali dukkhalah lenyap.”

Māra si Jahat berpikir:
“Bhikkhunī Vajirā telah mengenali aku”
Kemudian dia menghilang dengan sedih dan kecewa.


Quote
Dalam bahasa Pali:

Sāvatthinidānaṃ.
Atha kho vajirā bhikkhunī pubbaṇhasamayaṃ nivāsetvā pattacīvaramādāya sāvatthiṃ piṇḍāya pāvisi.
Sāvatthiyaṃ piṇḍāya caritvā pacchābhattaṃ piṇḍapātapaṭikkantā yena andhavanaṃ tenupasaṅkami divāvihārāya.
Andhavanaṃ ajjhogāhetvā aññatarasmiṃ rukkhamūle divāvihāraṃ nisīdi.
Atha kho māro pāpimā vajirāya bhikkhuniyā bhayaṃ chambhitattaṃ lomahaṃsaṃ uppādetukāmo samādhimhā cāvetukāmo yena vajirā bhikkhunī tenupasaṅkami; upasaṅkamitvā vajiraṃ bhikkhuniṃ gāthāya ajjhabhāsi –

‘‘Kenāyaṃ pakato satto, kuvaṃ sattassa kārako;
Kuvaṃ satto samuppanno, kuvaṃ satto nirujjhatī’’ti.

Atha kho vajirāya bhikkhuniyā etadahosi –
‘‘ko nu khvāyaṃ manusso vā amanusso vā gāthaṃ bhāsatī’’ti?

Atha kho vajirāya bhikkhuniyā etadahosi –
‘‘māro kho ayaṃ pāpimā mama bhayaṃ chambhitattaṃ lomahaṃsaṃ uppādetukāmo samādhimhā cāvetukāmo gāthaṃ bhāsatī’’ti.

Atha kho vajirā bhikkhunī ‘‘māro ayaṃ pāpimā’’ iti viditvā, māraṃ pāpimantaṃ gāthāhi paccabhāsi –
‘‘Kiṃ nu sattoti paccesi, māra diṭṭhigataṃ nu te;
Suddhasaṅkhārapuñjoyaṃ, nayidha sattupalabbhati.

‘‘Yathā hi aṅgasambhārā, hoti saddo ratho iti;
Evaṃ khandhesu santesu, hoti sattoti sammuti.

‘‘Dukkhameva hi sambhoti,
dukkhaṃ tiṭṭhati veti ca;
Nāññatra dukkhā sambhoti,
nāññaṃ dukkhā nirujjhatī’’ti.

Atha kho māro pāpimā ‘‘jānāti maṃ vajirā bhikkhunī’’ti dukkhī dummano tatthevantaradhāyīti.


(Saṃyuttanikāyo; Sagāthāvaggo; 5. Bhikkhunīsaṃyuttaṃ; 10. Vajirāsuttaṃ; 171)