Unsur-unsur di atas manusiawi yang diberikan kepada Buddha Gotama setelah kemangkatan-Nya telah membawa berbagai perubahan dalam aliran-aliran pemikiran Buddhis yang berbeda. Di antara hal ini, konsep Trikaya merupakan perkembangan Buddhologi yang paling penting dengan berbagai bentuk penafsiran yang muncul dengan penambahan unsur pendewaan ke dalam pribadi manusia Sang Buddha. Ini dimulai dengan mengkonseptualisasikan bahwa Sang Buddha memiliki kehidupan manusiawi yang dapat diperpanjang sesuai keinginan Beliau untuk berbagai angka tahun dengan menggunakan kekuatan batin yang telah Beliau kembangkan dalam kehidupan fana saat itu.
Sebagai contoh, salah satu dari Vaipulya Sutra (kumpulan sutra Mahayana), Saddharmapundarika Sutra, yang dikenal sebagai salah satu karya penting dalam kitab Mahayana, mengatakan tentang kehidupan Sang Buddha dengan menyatakan bahwa Sang Buddha belum memberitahukan kemangkatan terakhir-Nya. Karya ini secara umum dianggap disusun sekitar abad pertama Masehi. Di sini Sang Buddha mengatakan:
?Aku belum menyelesaikan perjalanan Bodhisattva-Ku dan panjang masa kehidupanku belum penuh. Bahkan, orang-orang baik, Aku masih memiliki dua kali ratusan ribu tak terhingga koti kalpa sebelum panjang masa hidup-Ku penuh. Aku menyatakan kemangkatan, orang-orang baik, walaupun Aku belum mangkat sepenuhnya.?
Di sini Sang Buddha memberikan gambaran yang sangat deskriptif tentang kekuatan luar biasa-Nya untuk hidup selama tak terhingga koti kalpa sebelum kemangkatan terakhir-Nya. Lebih lanjut lagi sangat banyak kekuatan di luar pemahaman manusia diberikan pada kepribadian Sang Buddha karena secara tegas dinyatakan bahwa Sang Buddha dapat berlanjut selama ratusan ribu tak terhingga koti kalpa menjelaskan bermacam-macam kebaijkan dari Dharmaparyaya melalui prinsip hukum yang berbeda-beda.
Banyak para sarjana Barat yang mempelajari agama Buddha dari kitab-kitab Sanskerta dan Tibet menyimpulkan bahwa Sang Buddha tak lain merupakan tokoh mitologi, atau setidaknya tokoh sejarah yang tidak semua kisah-kisah hidup-Nya merupakan kenyataan sejarah.
Di sisi lain, kitab Nikaya Pali awal tidak menyediakan kita dengan kisah hidup Buddha Gotama yang berkaitan. Walaupun demikian, terdapat banyak kejadian yang menggambarkan sifat manusiawi Sang Guru yang dapat secara bebas digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat manusia dari karakter Beliau (misalnya dalam Pabbajja Sutta, Nalaka Sutta and Padhana Sutta dari Suttanipata serta Ariyapariyesana Sutta dan Mahasahanada Sutta dari Majjhima Nikaya). Ketika Dona bertanya kepada Sang Buddha siapakah Beliau, Sang Buddha menjawab bahwa Ia bukan dewa, gandhabba, yakkha, ataupun manusia biasa, melainkan seorang Buddha yang telah menghancurkan semua kekotoran yang menyebabkan seseorang terlahir sebagai makhluk-makhluk tersebut.
Dalam berbagai cara Sang Buddha tidak menolak sifat manusia-Nya karena Beliau merupakan manusia yang luar biasa: ?Terlahir di dunia, dibesarkan di dunia, namun hidup di atas keduniawian tanpa ternodai oleh kekotoran dunia.? (A.ii, p. 37 ff)
Tetapi, unsur-unsur supernatural telah menyusup ke dalam beberapa sutta dalam kitab Pali bahkan pada tahap awal perkembangan penulisan kitab Pali. Mengutip dari sebuah contoh dalam Mahaparinibbana Sutta dari Digha Nikaya, di mana Buddha menggambarkan diri-Nya sebagai ?kereta usang? pada usia delapan puluh tahun bersisian dengan sebuah referensi pada kehidupan Beliau sepanjang satu kappa (D.ii, p. 100). Ditambah lagi Apadana Pali, sebuah karya dari Khuddaka Nikaya mengatakan tentang para Buddha dan siswa-siswa-Nya hidup di kediaman surgawi melakukan tanya jawab satu sama lainnya yang tidak diragukan lagi sebuah ciri yang mengingatkan pada surga Sukhavatti dari tradisi Mahayana (Thera Apadana syair 33-34). Namun teks ini dianggap berasal dari masa yang belakangan dan para pengulang Digha Nikaya menolak menerima keasliannya.
Kiranya, ajaran itu dimulai dengan memberikan kualitas supernatural kepada Buddha Gotama dan memberi jalan untuk Buddhologi yang berkembang penuh pada masa yang akan datang. Karena fenomena yang menggunakan hal-hal di atas manusia dalam menggambarkan kehidupan Sang Buddha, penulis Buddhis Sanskerta khususnya menyatakan bahwa Buddha historis hanyalah sebuah manifestasi, sebuah Nirmalakaya dari Buddha yang kekal. Konsep ini terlihat tidak berbeda dalam beberapa bentuk atau yang lainnya dalam karya-karya seperti Lalitavistara, Mahavastu, Saddharmapundarika, Divyavadana, dan Suvarnaprabhasa. Bahkan Suvarnaprabhasa Sutra mengatakan: ?Bagaimana mungkin terdapat relik dalam tubuh yang tidak memiliki tulang ataupun darah??
Sekarang kita akan mengkaji bagaimana bibit penggambaran Buddha di atas manusia tersebut telah menyusup ke dalam kitab Pali selama periode seawal konsili pertama dan yang berikutnya, selama waktu konsili ketiga ? bagaimana definisi dan penafsiran tersebut dirumuskan untuk menyanggah gagasan-gagasan di atas manusiawi yang ditemukan di dalam kitab suci itu sendiri, sesuai dengan ajaran khusus Vibhajjavada (Theravada) yang berkembang pada konsili ketiga.
Seperti yang ditemukan dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha mengatakan kepada Ananda bahwa siapa pun yang telah mengembangkan empat jalan kekuatan batin dapat bertahan pada kehidupan yang sama selama satu kappa atau selama bagian dari kappa yang belum ia jalankan (D. ii, p. 117). Sang Buddha lebih jauh mengungkapkan bahwa Ia telah sepenuhnya mengembangkan dan menjalankan kekuatan batin tersebut, jika Ia mau, Ia dapat hidup selama satu kappa atau bagian dari kappa yang belum Ia jalankan. Tetapi dinyatakan bahwa bahkan melalui petunjuk yang sangat jelas yang diberikan Sang Bhagava sendiri, Ananda tidak mampu memahami kata-kata Sang Guru, karena Ananda saat itu telah dikuasai oleh Si Jahat (Mara).
Seperti yang ditemukan dalam catatan konsili pertama dalam Cullavagga Pali, kelalaian yang ditunjukkan Ananda dengan tidak memohon agar Sang Buddha hidup selama satu kappa merupakan salah satu tuduhan pelanggaran yang ditujukan padanya pada konsili pertama. Ananda, walaupun secara pasti menolak tuduhan kelalaian pada dirinya, dengan mengungkapkan ketaatannya kepada para thera yang ikut serta dalam konsili, dengan rendah hati menerima bahwa ia telah melakukan pelanggaran atas perbuatan yang salah, dukkhana apatti, karena kelalaiannya (lihat Vinaya Cullavagga Pali bab XI).
Sekarang seperti yang disebutkan dalam kedua karya tersebut, yaitu Mahaparinibbana Sutta dan Cullavagga Pali, jika Ananda memohon kepada Sang Buddha pada saat yang tepat untuk hidup selama satu kappa, Sang Buddha akan menyetujui untuk hidup selama satu kappa karena Beliau telah mengembangkan empat jalan kekuatan batin. Dengan demikian ini telah diperdebatkan, ditafsirkan, dan dijelaskan bahwa karena kelalaian Ananda sehingga dunia kehilangan Sang Buddha pada usia delapan puluh tahun. Jika tidak, Beliau akan hidup selama satu kappa atau selama bagian dari kappa yang belum Ia jalankan.
Seberapa jauh catatan ini bersesuaian dengan kondisi fisik Sang Buddha seperti yang diungkapkan dalam Mahaparinibbana Sutta itu sendiri? Lebih lanjut, bagaimana kita menjelaskan konsep hidup selama satu kappa dengan tubuh manusia, yang bertentangan dengan ajaran dasar Sang Buddha?
Ketika kejadian ini diambil sebagai satu kesatuan itu sendiri, kelihatannya ia menggambarkan banyak ketidaksesuaian yang layak kita simak.
Pertama, Sang Buddha telah berkata kepada Ananda: ?Aku juga, O Ananda, sekarang sudah tua dan matang usia, perjalanan-Ku telah mendekati akhir. Aku telah tiba pada hari-hari terakhir-Ku, Aku sudah berumur delapan puluh tahun dan sama seperti kereta usang, Ananda, yang dapat berjalan hanya dengan bantuan cambuk, demikian juga Aku berpikir, tubuh Sang Tathagata hanya dapat bertahan dengan balutan perban? (D. ii, p. 100). Inilah kondisi fisik Sang Buddha, sehingga anggapan bahwa Sang Buddha dapat hidup selama satu kappa secara nyata salah dan tidak dapat dibenarkan.
Kedua, seseorang yang lahir dari orang tua manusia, menanggung tubuh manusia tidak dapat hidup dalam periode waktu yang sangat lama.
Ketiga, jika Sang Buddha dapat hidup selama satu kappa, jika Beliau sangat menginginkannya (akaukhamano), permohonan orang lain tentu saja tidak berguna.
Keempat, menurut Mahaparinibbana Sutta, Si Jahat meminta Sang Buddha untuk meninggal dunia, dengan mengingatkan Beliau sebuah janji yang diberikan kepadanya oleh Sang Buddha pada minggu kelima setelah Pencerahan di pohon banyan Ajapala. Namun catatan awal tentang minggu-minggu setelah Pencerahan tidak mengatakan apa pun tentang permintaan ini. Sebagai gantinya, di sini Brahma Sahampati memohon kepada Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma (D. ii, p. 112 dan juga Vinaya Mahavagga Pali p. 3 ff).
Kelima, Si Jahat setelah percakapan yang panjang dengan Sang Buddha, mengatakan: ?dan sekarang Yang Mulia, ajaran-Mu yang murni telah berhasil, jaya, menyebar luas dan dikenal luas sepenuhnya. Meninggal dunialah sekarang. Oleh sebab itu, semoga Yang Dimuliakan sekarang meninggal dunia. Waktunya telah tiba untuk Yang Dimuliakan meninggal dunia.? Lalu Sang Buddha mengatakan pada Si Jahat bahwa Beliau akan meninggal dunia tiga bulan kemudian (D. ii, p. 106).
Jika ini adalah urutan kejadian seperti yang tercatat dalam Mahaparinibbana Sutta, bagaimana mungkin Ananda disalahkan atas meninggalnya Sang Buddha? Seperti yang diberikan dalam teks, hasil dari percakapan antara Sang Buddha dan Si Jahat sangat kelihatan. Sang Buddha telah menerima permintaan Si Jahat untuk meninggal dunia, oleh karenanya jika Ananda telah dianggap bertanggung jawab sebelumnya, ia harus dibebaskan dari tuduhan pada konsili yang diadakan di Rajagaha.
Keenam, kemampuan Sang Buddha memperpanjang rentang kehidupan-Nya selama satu kappa diberitahukan tiga kali kepada Ananda oleh Sang Buddha ketika Beliau berada di cetiya Capala. Kenyataannya, ini satu-satunya tempat dalam Mahaparinibbana Sutta di mana kejadian ini disebutkan, tetapi belakangan ketika Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk hidup selama satu kappa, Beliau menolak permintaan tersebut dengan mengatakan bahwa Beliau telah mengingatkan Ananda tentang hal ini ketika Ia berada di banyak tempat seperti Gijjhakuta, Gotamaka Nirodha, Corappapata, Gua Sattapanni, Batu Kalasika, Sitavana, Tapodarama, Veluvana, Jivakambavana, Maddakucchi di Rajagaha, dan cetiya Udena, Gotamaka, Sattamba, Bahuputtaka, Sarandada dan Chapala di Vesali (D. ii, p. 113 ff).