//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?  (Read 6199 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline gurkha

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?
« on: 15 May 2010, 11:00:41 AM »
APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?


?Siapa pun, Ananda, yang mengembangkan, melatih, melaksanakan, memperkuat, mempertahankan, menyelidiki dengan seksama, dan menyempurnakan empat jalan kekuatan batin (iddhipada), bilamana ia kehendaki, dapat hidup sepanjang satu kappa atau sampai dengan akhir kappa tersebut. Dan Sang Tathagata telah melaksanakannya. Karena itu, apabila Sang Tathagata mengkehendaki, Ia dapat hidup sepanjang satu kappa atau sampai akhir dari kappa tersebut.? (Mahaparinibbana Sutta)

Inilah yang dikatakan Sang Buddha menjelang akhir hayat-Nya kepada Ananda tentang kemampuan batin Beliau untuk hidup selama satu kappa jika Beliau menginginkannya. Empat jalan kekuatan batin meliputi kekuatan kemauan (chanda-iddhipada), kekuatan semangat (viriya-iddhipada), kekuatan pikiran (citta-iddhipada), dan kekuatan pengamatan (vimamsa-iddhipada). Kenyataannya, Sang Buddha tidak hidup lama, Beliau wafat pada usia delapan puluh tahun yang merupakan umur yang relatif pendek dibandingkan usia rata-rata manusia pada masa itu (yaitu seratus tahun).

Setelah kematian Sang Buddha, Ananda, siswa-Nya sekaligus pelayan pribadi Beliau dipersalahkan atas kelalaiannya dalam memohon agar Sang Guru hidup selama satu kappa pada konsili Buddhis pertama di Rajagaha. Jika Ananda dapat menangkap pernyataan Sang Buddha yang cukup jelas tersebut (dikatakan dalam Mahaparinibbana Sutta bahwa ia berada dalam kekuasaan Mara) dan dapat memohon agar Sang Buddha melakukannya, mungkin Sang Buddha dapat hidup lebih lama di dunia.

Namun, benarkah Sang Buddha dapat hidup selama satu kappa? Berapa lamakah yang dimaksud dengan satu kappa tersebut? Jika Ananda memang dipengaruhi oleh Mara, mengapa ia dituduh melakukan pelanggaran atas kelalaian tersebut? Apakah konsep memperpanjang kehidupan selama satu kappa sesuai dengan ajaran Sang Buddha sendiri tentang ketidakkekalan (anicca)?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan pertanyaan lain yang senada, di sini saya memposting sebuah kutipan dari buku Ven. Pategama Gnanarama Ph. D, seorang bhikkhu Theravada sekaligus seorang sarjana Buddhis, berjudul Mission Accomplished: A historical analysis of the Mahaparinibbana Sutta of the Digha Nikaya of the Pali Canon. Kutipan ini diambil dari bab 8 buku tersebut, Traces of Docetic Elements, dengan sedikit penyesuaian dalam menerjemahkannya (yaitu menghilangkan beberapa bagian yang tidak perlu dan menerjemahkannya secara bebas tetapi masih dalam konteks makna yang sama).

Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Offline gurkha

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?
« Reply #1 on: 15 May 2010, 11:02:49 AM »
Unsur-unsur di atas manusiawi yang diberikan kepada Buddha Gotama setelah kemangkatan-Nya telah membawa berbagai perubahan dalam aliran-aliran pemikiran Buddhis yang berbeda. Di antara hal ini, konsep Trikaya merupakan perkembangan Buddhologi yang paling penting dengan berbagai bentuk penafsiran yang muncul dengan penambahan unsur pendewaan ke dalam pribadi manusia Sang Buddha. Ini dimulai dengan mengkonseptualisasikan bahwa Sang Buddha memiliki kehidupan manusiawi yang dapat diperpanjang sesuai keinginan Beliau untuk berbagai angka tahun dengan menggunakan kekuatan batin yang telah Beliau kembangkan dalam kehidupan fana saat itu.

Sebagai contoh, salah satu dari Vaipulya Sutra (kumpulan sutra Mahayana), Saddharmapundarika Sutra, yang dikenal sebagai salah satu karya penting dalam kitab Mahayana, mengatakan tentang kehidupan Sang Buddha dengan menyatakan bahwa Sang Buddha belum memberitahukan kemangkatan terakhir-Nya. Karya ini secara umum dianggap disusun sekitar abad pertama Masehi. Di sini Sang Buddha mengatakan:

?Aku belum menyelesaikan perjalanan Bodhisattva-Ku dan panjang masa kehidupanku belum penuh. Bahkan, orang-orang baik, Aku masih memiliki dua kali ratusan ribu tak terhingga koti kalpa sebelum panjang masa hidup-Ku penuh. Aku menyatakan kemangkatan, orang-orang baik, walaupun Aku belum mangkat sepenuhnya.?

Di sini Sang Buddha memberikan gambaran yang sangat deskriptif tentang kekuatan luar biasa-Nya untuk hidup selama tak terhingga koti kalpa sebelum kemangkatan terakhir-Nya. Lebih lanjut lagi sangat banyak kekuatan di luar pemahaman manusia diberikan pada kepribadian Sang Buddha karena secara tegas dinyatakan bahwa Sang Buddha dapat berlanjut selama ratusan ribu tak terhingga koti kalpa menjelaskan bermacam-macam kebaijkan dari Dharmaparyaya melalui prinsip hukum yang berbeda-beda.

Banyak para sarjana Barat yang mempelajari agama Buddha dari kitab-kitab Sanskerta dan Tibet menyimpulkan bahwa Sang Buddha tak lain merupakan tokoh mitologi, atau setidaknya tokoh sejarah yang tidak semua kisah-kisah hidup-Nya merupakan kenyataan sejarah.

Di sisi lain, kitab Nikaya Pali awal tidak menyediakan kita dengan kisah hidup Buddha Gotama yang berkaitan. Walaupun demikian, terdapat banyak kejadian yang menggambarkan sifat manusiawi Sang Guru yang dapat secara bebas digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat manusia dari karakter Beliau (misalnya dalam Pabbajja Sutta, Nalaka Sutta and Padhana Sutta dari Suttanipata serta Ariyapariyesana Sutta dan Mahasahanada Sutta dari Majjhima Nikaya). Ketika Dona bertanya kepada Sang Buddha siapakah Beliau, Sang Buddha menjawab bahwa Ia bukan dewa, gandhabba, yakkha, ataupun manusia biasa, melainkan seorang Buddha yang telah menghancurkan semua kekotoran yang menyebabkan seseorang terlahir sebagai makhluk-makhluk tersebut.

Dalam berbagai cara Sang Buddha tidak menolak sifat manusia-Nya karena Beliau merupakan manusia yang luar biasa: ?Terlahir di dunia, dibesarkan di dunia, namun hidup di atas keduniawian tanpa ternodai oleh kekotoran dunia.? (A.ii, p. 37 ff)

Tetapi, unsur-unsur supernatural telah menyusup ke dalam beberapa sutta dalam kitab Pali bahkan pada tahap awal perkembangan penulisan kitab Pali. Mengutip dari sebuah contoh dalam Mahaparinibbana Sutta dari Digha Nikaya, di mana Buddha menggambarkan diri-Nya sebagai ?kereta usang? pada usia delapan puluh tahun bersisian dengan sebuah referensi pada kehidupan Beliau sepanjang satu kappa (D.ii, p. 100). Ditambah lagi Apadana Pali, sebuah karya dari Khuddaka Nikaya mengatakan tentang para Buddha dan siswa-siswa-Nya hidup di kediaman surgawi melakukan tanya jawab satu sama lainnya yang tidak diragukan lagi sebuah ciri yang mengingatkan pada surga Sukhavatti dari tradisi Mahayana (Thera Apadana syair 33-34). Namun teks ini dianggap berasal dari masa yang belakangan dan para pengulang Digha Nikaya menolak menerima keasliannya.

Kiranya, ajaran itu dimulai dengan memberikan kualitas supernatural kepada Buddha Gotama dan memberi jalan untuk Buddhologi yang berkembang penuh pada masa yang akan datang. Karena fenomena yang menggunakan hal-hal di atas manusia dalam menggambarkan kehidupan Sang Buddha, penulis Buddhis Sanskerta khususnya menyatakan bahwa Buddha historis hanyalah sebuah manifestasi, sebuah Nirmalakaya dari Buddha yang kekal. Konsep ini terlihat tidak berbeda dalam beberapa bentuk atau yang lainnya dalam karya-karya seperti Lalitavistara, Mahavastu, Saddharmapundarika, Divyavadana, dan Suvarnaprabhasa. Bahkan Suvarnaprabhasa Sutra mengatakan: ?Bagaimana mungkin terdapat relik dalam tubuh yang tidak memiliki tulang ataupun darah??

Sekarang kita akan mengkaji bagaimana bibit penggambaran Buddha di atas manusia tersebut telah menyusup ke dalam kitab Pali selama periode seawal konsili pertama dan yang berikutnya, selama waktu konsili ketiga ? bagaimana definisi dan penafsiran tersebut dirumuskan untuk menyanggah gagasan-gagasan di atas manusiawi yang ditemukan di dalam kitab suci itu sendiri, sesuai dengan ajaran khusus Vibhajjavada (Theravada) yang berkembang pada konsili ketiga.

Seperti yang ditemukan dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha mengatakan kepada Ananda bahwa siapa pun yang telah mengembangkan empat jalan kekuatan batin dapat bertahan pada kehidupan yang sama selama satu kappa atau selama bagian dari kappa yang belum ia jalankan (D. ii, p. 117). Sang Buddha lebih jauh mengungkapkan bahwa Ia telah sepenuhnya mengembangkan dan menjalankan kekuatan batin tersebut, jika Ia mau, Ia dapat hidup selama satu kappa atau bagian dari kappa yang belum Ia jalankan. Tetapi dinyatakan bahwa bahkan melalui petunjuk yang sangat jelas yang diberikan Sang Bhagava sendiri, Ananda tidak mampu memahami kata-kata Sang Guru, karena Ananda saat itu telah dikuasai oleh Si Jahat (Mara).

Seperti yang ditemukan dalam catatan konsili pertama dalam Cullavagga Pali, kelalaian yang ditunjukkan Ananda dengan tidak memohon agar Sang Buddha hidup selama satu kappa merupakan salah satu tuduhan pelanggaran yang ditujukan padanya pada konsili pertama. Ananda, walaupun secara pasti menolak tuduhan kelalaian pada dirinya, dengan mengungkapkan ketaatannya kepada para thera yang ikut serta dalam konsili, dengan rendah hati menerima bahwa ia telah melakukan pelanggaran atas perbuatan yang salah, dukkhana apatti, karena kelalaiannya (lihat Vinaya Cullavagga Pali bab XI).

Sekarang seperti yang disebutkan dalam kedua karya tersebut, yaitu Mahaparinibbana Sutta dan Cullavagga Pali, jika Ananda memohon kepada Sang Buddha pada saat yang tepat untuk hidup selama satu kappa, Sang Buddha akan menyetujui untuk hidup selama satu kappa karena Beliau telah mengembangkan empat jalan kekuatan batin. Dengan demikian ini telah diperdebatkan, ditafsirkan, dan dijelaskan bahwa karena kelalaian Ananda sehingga dunia kehilangan Sang Buddha pada usia delapan puluh tahun. Jika tidak, Beliau akan hidup selama satu kappa atau selama bagian dari kappa yang belum Ia jalankan.

Seberapa jauh catatan ini bersesuaian dengan kondisi fisik Sang Buddha seperti yang diungkapkan dalam Mahaparinibbana Sutta itu sendiri? Lebih lanjut, bagaimana kita menjelaskan konsep hidup selama satu kappa dengan tubuh manusia, yang bertentangan dengan ajaran dasar Sang Buddha?

Ketika kejadian ini diambil sebagai satu kesatuan itu sendiri, kelihatannya ia menggambarkan banyak ketidaksesuaian yang layak kita simak.

Pertama, Sang Buddha telah berkata kepada Ananda: ?Aku juga, O Ananda, sekarang sudah tua dan matang usia, perjalanan-Ku telah mendekati akhir. Aku telah tiba pada hari-hari terakhir-Ku, Aku sudah berumur delapan puluh tahun dan sama seperti kereta usang, Ananda, yang dapat berjalan hanya dengan bantuan cambuk, demikian juga Aku berpikir, tubuh Sang Tathagata hanya dapat bertahan dengan balutan perban? (D. ii, p. 100). Inilah kondisi fisik Sang Buddha, sehingga anggapan bahwa Sang Buddha dapat hidup selama satu kappa secara nyata salah dan tidak dapat dibenarkan.

Kedua, seseorang yang lahir dari orang tua manusia, menanggung tubuh manusia tidak dapat hidup dalam periode waktu yang sangat lama.

Ketiga, jika Sang Buddha dapat hidup selama satu kappa, jika Beliau sangat menginginkannya (akaukhamano), permohonan orang lain tentu saja tidak berguna.

Keempat, menurut Mahaparinibbana Sutta, Si Jahat meminta Sang Buddha untuk meninggal dunia, dengan mengingatkan Beliau sebuah janji yang diberikan kepadanya oleh Sang Buddha pada minggu kelima setelah Pencerahan di pohon banyan Ajapala. Namun catatan awal tentang minggu-minggu setelah Pencerahan tidak mengatakan apa pun tentang permintaan ini. Sebagai gantinya, di sini Brahma Sahampati memohon kepada Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma (D. ii, p. 112 dan juga Vinaya Mahavagga Pali p. 3 ff).

Kelima, Si Jahat setelah percakapan yang panjang dengan Sang Buddha, mengatakan: ?dan sekarang Yang Mulia, ajaran-Mu yang murni telah berhasil, jaya, menyebar luas dan dikenal luas sepenuhnya. Meninggal dunialah sekarang. Oleh sebab itu, semoga Yang Dimuliakan sekarang meninggal dunia. Waktunya telah tiba untuk Yang Dimuliakan meninggal dunia.? Lalu Sang Buddha mengatakan pada Si Jahat bahwa Beliau akan meninggal dunia tiga bulan kemudian (D. ii, p. 106).

Jika ini adalah urutan kejadian seperti yang tercatat dalam Mahaparinibbana Sutta, bagaimana mungkin Ananda disalahkan atas meninggalnya Sang Buddha? Seperti yang diberikan dalam teks, hasil dari percakapan antara Sang Buddha dan Si Jahat sangat kelihatan. Sang Buddha telah menerima permintaan Si Jahat untuk meninggal dunia, oleh karenanya jika Ananda telah dianggap bertanggung jawab sebelumnya, ia harus dibebaskan dari tuduhan pada konsili yang diadakan di Rajagaha.

Keenam, kemampuan Sang Buddha memperpanjang rentang kehidupan-Nya selama satu kappa diberitahukan tiga kali kepada Ananda oleh Sang Buddha ketika Beliau berada di cetiya Capala. Kenyataannya, ini satu-satunya tempat dalam Mahaparinibbana Sutta di mana kejadian ini disebutkan, tetapi belakangan ketika Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk hidup selama satu kappa, Beliau menolak permintaan tersebut dengan mengatakan bahwa Beliau telah mengingatkan Ananda tentang hal ini ketika Ia berada di banyak tempat seperti Gijjhakuta, Gotamaka Nirodha, Corappapata, Gua Sattapanni, Batu Kalasika, Sitavana, Tapodarama, Veluvana, Jivakambavana, Maddakucchi di Rajagaha, dan cetiya Udena, Gotamaka, Sattamba, Bahuputtaka, Sarandada dan Chapala di Vesali (D. ii, p. 113 ff).

Offline gurkha

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?
« Reply #2 on: 15 May 2010, 11:03:35 AM »
Daftar tempat-tempat tambahan ini pasti ditambahkan pada kesempatan yang belakangan untuk memberikan jumlah penegasan yang cukup banyak pada kelalaian Ananda yang nyata.

Ketujuh, Ananda telah dituduh dua kali pada pelanggaran yang sama. Sang Buddha telah mengatakan kepada Ananda bahwa ia telah melakukan pelanggaran atas perbuatan salah dengan tidak memohon agar Sang Buddha hidup selama satu kappa. Sekali lagi pada konsili pertama Ananda dilaporkan dipaksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan pelanggaran yang sama (D. ii, p. 118 dan Vinaya Cullavagga Pali bab XI). Kelihatannya kegawatan pelanggaran tersebut telah disoroti untuk kedua kalinya juga.

Kedelapan, Sang Buddha bertanya kepada Ananda mengapa ia mempersulit Beliau bahkan sampai ketiga kalinya, jika ia telah memiliki keyakinan atas kebijaksanaan Sang Buddha.

Pernyataan ini sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang kita temukan dalam kutipan sebelumnya di mana dinyatakan bahwa Sang Buddha telah berjanji kepada Si Jahat dan Ananda yang telah dikuasai Si Jahat tidak mampu memahami apa yang Sang Buddha katakan mengenai hal ini (D. ii, p. 113 dan p. 115).

Kesembilan, seperti yang ditemukan dalam sutta itu sendiri, Ananda telah dikuasai oleh Si Jahat dan oleh sebab itu ia melewatkan kesempatan untuk memohon agar Sang Buddha hidup selama satu kappa. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin Ananda disalahkan atas kejadian ini?

Kesepuluh, konsep memperpanjang rentang kehidupan dalam hal ini sepenuhnya merupakan sebuah over-estimasi atas kemampuan kekuatan batin.

Sekarang, apakah makna dari kejadian ini? Apakah kebenaran yang mendasarinya?

Setelah wafatnya Sang Buddha, para siswa-Nya tidak dapat menerima kenyataan bahwa Beliau mengalami kematian alamiah. Mereka sangat bersedih atas kehilangan guru yang mereka cintai. Maka mereka mulai menolak menerima bahwa Sang Buddha telah meninggal dunia. Perlunya sebuah penjelasan alternatif untuk memuaskan kebutuhan psikologis mereka terasa kuat. Di sini terdapat sosok pribadi yang mengajar dari desa ke desa menentang kepercayaan tahayul dan tirani brahmanisme yang telah ada. Ia mencela paham theism dengan tegas, tetapi para pengikut-Nya yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang theistic melihat Beliau dalam pandangan theistic yang penuh harapan yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam latar budaya India. Oleh karena itu, dalam Mahayana, Sang Buddha dinaikkan pada posisi Dewa yang mewujudkan diri-Nya dari waktu ke waktu dalam bentuk manusia, sebuah konsep yang diuraikan dalam kitab Hindu Bhagavadgita.

Telah secara mentah-mentah dinyatakan dalam Bhagavadgita bahwa Vishnu, sang pelindung dunia, untuk menjaga dunia tetap berada dalam kebenaran, mengambil bentuk-bentuk kelahiran yang berbeda-beda untuk membangun kembali kebenaran ketika kejahatan muncul. Hal ini dapat disimak pada kutipan Bhagavadgita bab IV:8 yang berbunyi: ?Untuk perlindungan orang-orang baik, untuk penghancuran orang-orang jahat dan untuk pembangunan kebenaran, aku mewujudkan diri dari masa ke masa.?

Berkomentar atas pemikiran ini Radhakrishnan berkata: ?Avatara menunjukkan jalan di mana manusia dapat bangkit dari spiritualitas hewani mereka dengan menyediakan kita dengan sebuah teladan kehidupan spiritual. Sifat Ketuhanan tidak dilihat dalam inkarnasi dalam kemuliaan sebenarnya tetapi diperantarai melalui instrumental kemanusiaan.? Tetapi, sesuai dengan kecenderungan atas perpaduan, yang terbukti merupakan karakteristik Hinduisme, Sang Buddha dibuat sebagai avatara, seorang inkarnasi dari Vishnu. Karenanya, dengan pendekatan Hindu yang khas Radhakrishnan berlanjut menegaskan bahwa avatara menolong kita menjadi sosok potensial kita yang sebenarnya. Dengan menarik kesamaan antara sistem pemikiran Buddhis dan Hindu, ia mengatakan bahwa tidak ada ketergantungan pada satu kenyataan historis dan bahwa kita semua mampu membangkitkan status Ketuhanan dan avatara membantu kita mencapai realisasi dari dalam.

Untuk memperkuat hal ini, Radhakrishnan yang menganggap bahwa agama Buddha tak lain adalah cabang dari agama Hindu, mengutip Tevijja Sutta dari Majjhima Nikaya yang berbunyi: ?Ketahuilah, Vasettha, bahwa dari waktu ke waktu seorang Tathagata dilahirkan ke dunia, seorang yang telah mencapai Pencerahan Sempurna, yang dirahmati dan patut dihormati, penuh kebijaksanaan dan kebaikan, memiliki pengetahuan atas dunia-dunia, tidak tertandingi sebagai seorang pemandu bagi makhluk-makhluk yang tersesat, seorang guru para dewa dan manusia, seorang Buddha yang diberkahi. Ia menyatakan kebenaran baik dalam kata-kata maupun dalam semangat, indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, indah pada akhirnya. Kehidupan suci yang Ia nyatakan dalam semua kemurnian dan kesempurnaannya.?

Kutipan Tevijja Sutta di atas tidak menunjuk pada inkarnasi seorang Buddha primordial dari masa ke masa ke dunia, seperti yang dikemukakan Radhakrishnan. Kutipan ini menyatakan kemunculan para Buddha individual dari zaman ke zaman. Di mana pun di dalam kitab suci Pali kita tidak akan menemukan referensi tentang inkarnasi seorang Buddha awal mula yang muncul di dunia pada interval waktu yang berbeda-beda.

Kitab Kathavatthu disebutkan telah disusun pada konsili ketiga oleh Moggaliputta Tissa dan dianggap sebagai otentik sehingga dimasukkan dalam kitab suci Pali dalam Abidhamma Pitaka. Kitab ini menyanggah anggapan bahwa seseorang yang telah mengembangkan empat jalan kekuatan batin dapat hidup selama satu kappa sebagai ajaran yang tidak dapat dipertahankan dalam Theravada (Kathavatthu, 11, 5.).

Telah dibuktikan ketidakbenaran anggapan ini dengan mengutip pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain yang ditemukan dalam Mahaparinibbana Sutta seperti yang dibahas di atas. Namun Theravada secara pasti menolak kesahihan anggapan ini secara kanonik, dengan mengutip Anguttara Nikaya yang menegaskan bahwa tidak ada seorang pertapa, brahmana, dewa, mara, ataupun brahma yang dapat melampaui usia tua, penyakit, kematian, dan sebab akibat perbuatan (A. ii, p. 5).

Komentar Kathavatthu, yang ditulis oleh Buddhaghosa, mengatakan bahwa kemungkinan memperpanjang rentang kehidupan selama satu kappa merupakan gagasan yang diterima oleh golongan Mahasanghika. Lebih jauh, komentar menambahkan bahwa gagasan ini timbul karena ketidaktahuan atas jangkauan kekuatan batin (Kathavatthu Atthakatha (HBE) Part I, p. 167).

Kemungkinan ajaran istimewa ini telah menjadi ajaran dasar dari para Mahasanghika yang memisahkan diri dari Sangha awal mula setelah konsili kedua yang diadakan di Vesali, seratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha.

Menarik untuk dicatat bagaimana Buddhaghosa telah berkomentar terhadap pernyataan yang kontroversial ini dalam komentar Digha Nikaya, di mana ia berkata: ?Di sini kappa berarti rentang kehidupan, penyelesaian atas rentang kehidupan manusia dalam masa waktu kapan pun,? dan mendefinisikan ungkapan ?kappavasena? ia berkata: ?Sedikit atau lebih atau beberapa tahun tambahan selain seratus tahun yang telah dihabiskan? (DA. p. 384).

Jika definisi ini diterima, maka ini akan menimbulkan tiga masalah lainnya, yaitu:
1. Jika rentang kehidupan biasa seseorang adalah maksud dari istilah ?kappa? yang ditemukan dalam teks Mahaparinibbana Sutta, mengapa penyusun Kathavatthu berusaha menyanggah gagasan yang sama sebagai ajaran yang bertentangan dengan ajaran resmi?
2. Mengapa Buddhaghosa yang menerjemahkan ?kappa? dalam Mahaparinibbana Sutta sebagai ?rentang kehidupan seseorang yang wajar? mengatakan, ketika berkomentar atas gagasan yang sama dalam Kathavatthu, bahwa ?siapa pun yang telah mengembangkan empat jalan kekuatan batin dapat bertahan pada kelahiran yang sama selama satu kappa atau selama bagian dari kappa yang belum ia jalankan? adalah ajaran yang diterima oleh para Mahasanghika?
3. Apakah yang mendorong Buddhaghosa untuk menerjemahkan dalam dua cara yang berbeda atas kata ?kappa? secara identik dalam konteks yang sama dalam karya komentarnya atas Digha Nikaya dan Kathavatthu?
Ternyata, Buddhaghosa didorong oleh alasan yang mudah dimengerti untuk memberikan dua terjemahan yang berbeda pada ungkapan yang sama dalam kedua teks ini dalam konteks yang sama. Kata ?kappa? tidak pernah digunakan dalam kitab Pali, dalam konteks apa pun untuk menunjukkan rentang kehidupan seseorang (lihat Pali ? English Dictionary PTS). Kata ini terutama digunakan dalam pengertian:
* Kehidupan alam semesta
* Kelayakan atau kesesuaian
* Sebagai kata awal dari kata majemuk yang memberikan pengertian yang berbeda, misalnya kappabindu, kapparukkha, kappanjaha, dll.
Kehidupan alam semesta dibagi menjadi tiga: mahakappa, asankhyakappa, dan antarakappa. Pengertian kedua terlihat pada sepuluh pokok persoalan yang dikemukakan dalam konsili kedua [yaitu sepuluh hal yang dilakukan para bhikkhu Vajji yang tidak layak dilakukan oleh anggota Sangha, yang menyebabkan diadakannya konsili kedua] dan dalam kata kappati. Ketika dikatakan bahwa Devadatta mengalami siksaan di neraka selama satu kappa pastinya satu masa yang sangat lama yang dimaksud dan bukan satu rentang kehidupan (A. ii, p. 142 dan A iii p. 402).

Namun pada kira-kira abad pertama sebelum Masehi pemikiran Theravada telah mengambil bentuk yang tersendiri, yang terbukti dari penafsiran yang diberikan pada istilah kontroversial ini dalam Milindapanha. Di sini Nagasena menafsirkannya sebagai rentang kehidupan seseorang. Demikianlah dengan berargumen pada dasar yang berbeda, ia menegaskan bahwa maksud Sang Buddha adalah untuk mengungkapkan kemampuan kekuatan batin secara jelas dan bukan kemampuan Beliau sendiri untuk memperpanjang kehidupan selama satu kappa (Iddhibalapanha Milindapanha).

Jelas bahwa baik Kathavatthu dan komentar Digha Nikaya meninjau ungkapan kontroversial tersebut dari pandangan Theravada. Walaupun Kathavatthu berupaya menyanggah gagasan ini secara keseluruhan, tetapi komentar Digha Nikaya, bersesuai dengan Milindapanha, memberikan makna yang objektif dengan mengalihkan penekanan dari Sang Buddha atas kekuatan batin. Pengalihan penekanan ini dilihat sesuai dengan ajaran khusus Theravada yang diklarifikasi dan dikembangkan pada konsili ketiga yang dipimpin oleh Moggaliputta Tissa yang secara tradisi dianggap sebagai penyusun Kathavatthu. Saat semua penafsiran ini dipertimbangkan, kita melihat bahwa terdapat sebuah upaya yang sadar pada pihak para guru Theravada masa lampau untuk memelihara pemikiran Buddhis khusus mereka yang berbeda dengan pandangan aliran Buddhis lainnya. Walaupun demikian, seperti yang terbukti dalam Mahaparinibbana Sutta, unsur-unsur penggambaran Buddha di atas manusia biasa telah menyusup ke dalam kitab para Thera sebelum pemisahan diri dari golongan Mahasanghika dari Sangha awal mula.

Tidak diragukan lagi bahwa konsep hidup selama satu kappa pasti dihasilkan dalam kaitannya dengan Sang Buddha dalam pikiran para siswa awal yang melihat Sang Buddha dengan penuh penghormatan dan penghargaan. Sang Guru yang penuh dengan belas kasih dan kebijaksanaan serta bekerja untuk kesejahteraan dan kebaikan semua makhluk, tidak mempedulikan kasta dan kedudukan sosial, sudah tiada. Tiga bulan sebelum wafatnya, Sang Buddha sendiri telah menyatakan bahwa usia-Nya sudah penuh dan matang dan bahwa perjalanan duniawi-Nya akan berakhir (D. ii, p. 120).

Syair-syair yang diucapkan oleh Brahma Sahampati, Sakka, dan Anuruddha yang menyaksikan kemangkatan Sang Buddha sama sekali tanpa kepiluan dan sangat sesuai. Syair-syair ini mengungkapkan sifat alamiah dari perpaduan benda-benda. Brahma Sahampati menyatakan bahwa semua harus mengesampingkan tubuh mereka yang merupakan perpaduan dari hal-hal material dan mental dan bahkan Sang Guru yang unik harus meninggal dunia (D. ii, p. 157). Sakka juga mengatakan tentang takdir semua hal yang berasal dari perpaduan unsur-unsur. Semuanya timbul dan kemudian melapuk. Segalanya adalah tidak kekal. Menghilangkan mereka semua adalah suatu berkah. Di antara para manusia, Anuruddha berada pada waktu ajal menjelang pada saat terakhir dan memberikan pernyataannya tanpa menjadi terharu, dengan berkata:

?Ketika Ia yang bebas dari semua nafsu keinginan
Yang telah mencapai keadaan damai Nibbana
Ketika Sang Maha Bijaksana menyelesaikan masa kehidupan-Nya
Tidak ada yang dapat mengganggu hati-Nya yang teguh
Semuanya pasti, dan dengan pikiran yang tak tergoyahkan
Ia dengan tenang memenangkan rasa sakit kematian
Bagaikan nyala terang yang padam, demikian juga
Pembebasan terakhir batin-Nya.? (D. ii, p. 157)

Sang Buddha bukan manusia biasa. Kehidupan dan perbuatan-Nya mengungkapkan kualitas diri-Nya yang luar biasa. Beliau luar biasa dan unik. Beliau mengubah haluan sejarah manusia menuju arah yang berbeda, namun Beliau juga mengalami kematian seperti orang-orang lainnya. Perbedaannya terletak pada cara Beliau menghadapi kematian. Beliau menanggung rasa sakit saat kematian dan dengan tenang mencapai pembebasan batin-Nya seperti kedipan nyala api yang padam. Meskipun demikian, banyak para siswa-Nya yang taat yang bertahan setelah kematian Sang Buddha tidak suka melihat kejadian ini dalam cara sederhana yang demikian. Pemikiran bahwa ini adalah akibat dari kelalaian pada pihak siswa-Nya yang selalu bersama dengan Beliau seperti bayangan Beliau, merupakan pelipur lara bagi mereka. Dengan kata lain, jika bukan karena kelambanan Ananda, mereka membayangkan Sang Buddha mungkin akan hidup selama satu kappa [yaitu satu masa kehidupan manusia yang wajar]. Lebih jauh lagi, Sang Buddha tidak menunjuk seseorang melainkan Dhamma sebagai pengganti diri-Nya. Kenyataan ini juga mungkin telah mendorong para siswa-Nya untuk melihat Sang Buddha dari sudut pandang di atas manusia biasa.

Sumber: Mission Accomplished, A historical analysis of the Mahaparinibbana Sutta of the Digha Nikaya of the Pali Canon oleh Ven. Pategama Gnanarama Ph. D.
__________________

Offline gurkha

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?
« Reply #3 on: 15 May 2010, 11:05:08 AM »
Tanggapan dari forum tetangga :

Dalam agama Buddha secara umum terdapat 2 pandangan terhadap sosok Buddha Gotama:

1. Pandangan manusiawi: Buddha adalah manusia biasa yang karena pencapaian Kebuddhaannya menjadi manusia yang luar biasa.

2. Pandangan adi manusiawi: Buddha adalah sosok makhluk adi manusiawi (di atas manusia biasa) yang telah mencapai Kebuddhaan jauh di masa lampau dan memanifestasikan sifat manusiawi Beliau sebagai upaya kausalya untuk menolong banyak makhluk di dunia ini.

Umumnya agama Buddha awal dan aliran Theravada saat ini memandang Buddha sebagai manusia biasa (pandangan manusiawi), sedangkan aliran Mahayana memandang Buddha sebagai makhluk adi manusiawi (lokuttara) seperti dalam Saddharma Pundarika Sutra dan konsep Trikaya.

Namun menurut penelitian bhikkhu yang menulis artikel di atas, Mahaparinibbana Sutta tampaknya mendapatkan pengaruh awal pandangan adi manusiawi atas sosok Sang Buddha. Hal ini terlihat dari penyataan dalam sutta tersebut bahwa Buddha dapat hidup 1 kappa jika Beliau menginginkannya namun tanpa dijelaskan pengertian 1 kappa tersebut. Hal ini memungkinkan karena Beliau telah menguasai empat jalan kekuatan batin (iddhipada).

Namun tampaknya gagasan memperpanjang hidup seseorang melalui kekuatan batin tidak dapat diterima dalam kitab Pali. Anguttara Nikaya menegaskan bahwa tidak ada seorang pertapa, brahmana, dewa, mara, ataupun brahma yang dapat melampaui usia tua, penyakit, kematian, dan sebab akibat perbuatan (A. ii, p. 5). Dalam Katthavathu juga dikatakan konsep bahwa seseorang yang telah mengembangkan empat jalan kekuatan batin dapat hidup selama satu kappa tidak benar/sesuai dengan ajaran Theravada (Kathavatthu, 11, 5.).

Untuk menyesuaikan isi Mahaparinibbana Sutta yang agak janggal dan tidak bisa diterima dalam ajaran Theravada tersebut dengan pandangan manusiawi, Buddhaghosa mendefinisikan kappa di sini sebagai satu masa hidup yang wajar alih-alih satu siklus dunia seperti dalam definisi kappa yang umum. Jika dikatakan Buddha dapat hidup satu masa hidup yang wajar (100 atau 120 tahun pada zaman itu) jika Beliau menginginkannya dengan mengembangkan iddhipada, ini mungkin masih dapat diterima dalam pandangan manusiawi atas Sang Buddha. Lebih lanjut Milinda Panha mengulas hal ini dengan mengatakan bahwa Buddha hanya berusaha menunjukkan kemampuan kekuatan batin secara jelas. Jadi Buddha tidak memiliki kemampuan untuk memperpanjang hidup-Nya.

Jadi menurut pandangan manusiawi, Buddha tidak dapat memperpanjang hidupnya walaupun Beliau memiliki kemampuan tersebut. Hal ini juga ditegaskan dalam Niyama Dipani bahwa siapa pun tidak dapat mencegah akibat dari usia tua dan kematian karena ini merupakan ketetapan hukum Dhamma Niyama.

http://www.w****a.com/forum/theravada/4617-apakah-sang-buddha-dapat-hidup-1-kappa.html

Offline jimmykei

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 168
  • Reputasi: 11
  • Gender: Male
  • Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Sadhu3x
Re: APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?
« Reply #4 on: 15 May 2010, 03:04:09 PM »
thanks ya gurkha, g dah dari lama bingung sama kisah Sang Buddha yang bisa hidup 1 kappa dan Ananda yang disalahin, berguna banget nih buat yang lain

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?
« Reply #5 on: 16 May 2010, 12:44:46 AM »
kalau di bilang bisa hidup 1 kappa, sama saja mempertanyakan apa benar sangBuddha bisa terbang,dsb-nya...
hal seperti itu masih TANDA TANYA bagi yg belum bisa kesaktian....

jadi saya kira daripada membahas teori pakai persepsi manusiawi dan logika...saya rasa useless.
mending latih samadhi dulu, siapa tahu mahir dalam jhana...hahaha
tentu pertanyaan ini sudah tidak di perlukan.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?
« Reply #6 on: 23 May 2010, 06:44:57 AM »
mgkn saya kebnykan baca cerita silat dimana umur para pertapa banyak yang mencapai ratusan tahun....

mgkn rekan2 juga ada yang tahu bahwa semakin jauh jarak dari matahari, maka umur 1 tahunnya akan lebih lama dibanding 1 tahun di bumi
dan juga sebaliknya dimana 1 tahun di merkurius akan lebih cepat dibanding di bumi

jadi umur itu bisa menjadi 1 relativitas tersendiri, bukan suatu yang kepastian sebagaimana sudah digariskan dari awal

demikian menurut saya, semoga bermanfaat dan cmiiw

Offline Sunce™

  • Sebelumnya: Nanda
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.350
  • Reputasi: 66
  • Gender: Male
  • Nibbana adalah yang Tertinggi
Re: APAKAH SANG BUDDHA DAPAT HIDUP SATU KAPPA?
« Reply #7 on: 25 May 2010, 09:10:33 AM »
1 kappa disini mksdnya adalah masa umur manusia pada saat masa buddha muncuk yaitu : 100 thn, walaupun bila menghendaki bisa melebihi itu..