//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?  (Read 15707 times)

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

Offline wen78

  • Sebelumnya: osin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.014
  • Reputasi: 57
  • Gender: Male
Re: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?
« Reply #30 on: 21 March 2010, 08:27:53 PM »
^

saat seperti patung, kosong kah? jika kosong, tetapi tau apa yg diamati khan?
namun isi kah? isi karena tau apa yg diamati? tau apa yg diamati, tetapi tidak menyelidiki dan tidak berpikir khan?

dan saat merasa seperti patung, pikiran yg mengatakan diri sendiri lagi kaya patung bukan?  ;D

so,..  :D
« Last Edit: 21 March 2010, 08:31:33 PM by wen78 »
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?
« Reply #31 on: 21 March 2010, 08:40:18 PM »
upss maaf ... maksud saya yang masih bersisa (upadisesa nibbāna) ... ;D



Meskipun upadisesanibbāna, sutta2 biasanya menjelaskan nibbāna  ini pun sebagai lenyapnya saṅkhara. Dvayatānupassanasutta dari suttanipāta mendeskripsikan nibbāna / akhir penderitaan sebagai saṅkharānaṃ asesavirāganirodhā - tanpa nafsu dan lenyapnya secara total saṅkhara. Ariyapariyesanasutta dan banyak sutta mengatakan nibbāna sebagai sabbasaṅkharasamatha / the appeasement of all saṅkhara. Jika kita mengacu kepada dvadasaṅgapaticcasamuppāda, lenyapnya penderitaan adalah juga lenyapnya saṅkhara (sankharanirodhā). Dalam Ajitamanavapuccha of Suttanipāta, Sang BUddha menjelaskan bahwa nibbāna adalah lenyapnya nāmarūpa dan viññāṇa. Ini juga menunjukkan lenyapnya saṇkhara. Sebenarnya dalam hal ini, kita harus membedakan antara the fruit of nibbāna dan dalam keadaan normal. Dalam keadaan normal, seorang arahat pun tidak mengalami nibbāna. Hanya ketika ia mau, ia bisa masuk kepada pengalaman nibbāna. Ada sutta yang mengatakan demikian, cuma lupa namanya. Oleh karena itu, Bhikkhu BOdhi berpendapat bahwa the fruit of nibbāna adlah sama apakah seseorang mengalami nibbāna ketika masih hidup atau setelah meninggal. 

Oh begitu ... :)

Jadi semakin jelas (sebelumnya juga pernah diberitahu oleh 'para sesepuh' di sini), memang istlah 'mencicipi' nibbana itu memang bisa 'dikehendaki' oleh ariya pugala ...

Anumodana Samanera ... Senang bisa belajar dari anda dan 'para sesepuh' lainnya ... :)

 _/\_

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?
« Reply #32 on: 21 March 2010, 08:51:49 PM »
               Sering kita mendengar bahwa ketika bermeditasi kita dianjurkan untuk memfokuskan pikiran kita kepada obyek yang dipilih secara total tanpa memberikan peluang bagi pikiran untuk melakukan penyelidikan. Bahkan dalam vipassana pun, meskipun obyek yang diamati tidak difokuskan ke hanya satu obyek saja, kita sering dilarang untuk melakukan penyelidikan. Alasannya, ditakutkan pikiran akan mengembara dan konsentrasi pikiran tidak akan tercapai. Pertanyaannya, jika kita tidak diperbolehkan untuk melakukan penyelidikan, bagaimana kita menerapkan paññā / kebijaksanaan / pengetahuan Dhamma kita dalam bermeditasi? Apakah ketika pikiran kita sedang terobsesi oleh kekotoran batin tertentu (misalkan pada saat duduk bermeditasi), kita tidak boleh melakukan penyelidikan terhadap kekotoran batin tersebut sehingga mampu meredam kekotoran batin tersebut dan menenangkan pikiran? Seperti patungkah kita dalam bermeditasi?

Bagaimana pendapat teman-teman mengenai ini?

mungkin bisa dikatakan seperti "patung".
"patung" tapi bukan patung, bagaikan isi tapi kosong, kosong tapi isi. <-- yg dah tinggi ;D

Sebenarnya kalimat 'isi tapi kosong, kosong tapi isi', maksudnya apa ya?
itu isi dalam sutra mahayana PRAJNA PARAMITA HRDAYA SUTRA :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,656.msg10261.html#msg10261
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?
« Reply #33 on: 28 March 2010, 11:34:39 AM »

Quote
Apakah ketika pikiran kita sedang terobsesi oleh kekotoran batin tertentu (misalkan pada saat duduk bermeditasi), kita tidak boleh melakukan penyelidikan terhadap kekotoran batin tersebut sehingga mampu meredam kekotoran batin tersebut dan menenangkan pikiran?

IMO, saat menyadari kita sedang terobsesi, itu sudah 'awal' dari kesuksesan meditasi walau kalau ditinjau dari jeda waktu, mungkin kondisinya masih sangat cepat (sesaat atau beberapa saat), dengan 'berkehendak' untuk menelusuri (menyelidiki) lebih lanjut tentang hal-hal yang menimbulkan pikiran kita terobsesi, nantinya akan ada 'bentuk' dualisme yang saling bertentangan satu sama lain.

Kalau hal ini terjadi, bukankah secara tidak disengaja kita malah melenceng dari makna perhatian (vipassana)/pemusatan (samatha) pikiran kita dalam bermeditasi ?

salam,

Ada satu sutta bernama Vitakkasaṇṭhānasutta dari Majjimanikāya. Di sana Sang BUddha menjelaskan lima cara untuk membuang kekotoran batin. Salah satu caranya adalah dengan melihat bahaya kekotoran batin tersebut. Pertanyaannya adalah apakah pada saat seseorang berusaha melihat bahaya kekotoran batin tersebut sebagai upaya untuk melenyapkan kekotoran batin tersebut, tidak ada 'kehendak' di sana?

Upaya memang kehendak, dan setiap ada kehendak ada akibat ...

Dan kalau kekotoran batin itu 'diusahakan' untuk dilihat, saya setuju akan ada usaha disana ...  :)

OOT dikit ...
Dalam menggambarkan tentang cara 'berpraktek', telah banyak 'perdebatan' terjadi dikalangan para 'praktisi' (mungkin sampai temurun) ...

Padahal apa yang dicari? Lha wong yang dicita-citakan itu hanya untuk 'berhenti koq' ... (tidak menenun) ... :)

salam,

Ada beberapa yang bilang tujuan dari meditasi adalah berhenti / stopping, ada juga yang bilang 'pelenyapan / cessation'. Mana yang benar ya? Para guru meditasi harus menjelaskan nih.. :)

Samanera yang saya hormati, menurut pengertian saya pada Vipassana stopping dan cessation sebenarnya merujuk pada hal yang sama yaitu nirodha.
Nirodha sendiri ada beberapa pengertian disini, pengertiannya bisa berupa berhentinya faktor-faktor yang saling bergantungan (misalnya: nama-rupa nirodha, vinnana nirodho; vinnana nirodha, sankhara nirodho dstnya)
Tetapi pada praktek penghentian yang mengarah ke Nibbana, ini adalah berhentinya impuls/kecenderungan/kehendak/cetana/sankhara yang timbul dari hadayavatthu.
Dalam keadaan normal pada putthujana impuls/kecenderungan/ kehendak/cetana/sankhara ini tak henti-hentinya bermunculan, cuma tak terlihat karena kita selalu terseret oleh cetana yang halus ini.

Impuls cetana yang halus yang bermunculan dari Hadayavatthu ini hanya terlihat oleh meditator direct Vipassana bila mereka dalam keadaan konsentrasi mendalam. Prakteknya pada praktisi Vipassana setelah ia mampu memperhatikan timbul tenggelamnya impuls ini, pada akhirnya impuls ini akan berhenti dengan sendirinya dan tercapailah penghentian/nirodha/Nibbana.

 _/\_

Memang apa yang dijelaskan oleh saudara Fabian merupakan penjelasan para guru meditasi. Namun saya ada teori demikian. Melalui kesadaran / sati, fenomena batin dan jasmani yang bermunculan akan semakin jelas terlihat dan akan melambat. Namun meskipun terlihat jelas dan melambat, selama fenomena batin dan jasmani  (sankhara) itu masih eksis  meski selembut atau sehalus apapun sankhara itu, selama itu pula, masih ada putaran, kelanjutan atau pun kelangsungan. Hanya ketika sankhara ini lenyap (nirodha), di sana tidak ada kelanjutan sehingga pembebasan (nibbāna) terealisasi. Tapi kalau kita menggunakan kata2 'stop / berhentinya sankhara, di sana seakan-akan  sankhara masih eksis, hanya saat itu sankharanya berhenti.
Samanera yang saya hormati, Ya memang benar pengalaman penghentian hanya dialami saat itu (Nibbana yang dialami oleh Sotapanna) setelah keluar dari pencapaian itu, segala jenis fenomena-fenomena muncul kembali, Bagaimana pada Arahat yang masih hidup? Mengenai Arahat saya kurang jelas. Yang pasti  sankhara berhenti permanen setelah tercapai Anupadisesa Nibbana (Parinibbana).

Quote
Sebagai info. Mengenai fungsi sati yang bisa memperlambat fenomena batin dan jasmani / obyek2 enam indria, telah dicatat dalam Ajitamanavapuccha dari Suttanipāta. Di sutta ini, Sang Buddha juga menjelaskan bahwa sementara sati memperlambat obyek2 enam indria, paññā / kebijaksanaan menutup (dalam arti memotong) obyek2 tersebut.

Wah ternyata praktek sejalan dengan teori, saya belum pernah membaca sutta ini (atau mungkin lupa, karena saya pernah membaca Sutta Nipata). Memang yang terjadi setelah berlatih beberapa waktu fenomena batin dan jasmani pada meditator bertambah lambat kemunculannya (waktu kemunculannya semakin singkat dan intervalnya juga semakin jarang).

Umumnya bila saya mengatakan pencapaian Nibbana dalam meditasi hampir selalu mengacu pada Saupadisesa Nibbana (pencapaian Nibbana pada Sotapanna) karena itulah pengalaman Nibbana yang pertama kali dialami oleh Ariya Puggala.

 _/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?
« Reply #34 on: 07 August 2010, 02:56:16 PM »

Quote
Apakah ketika pikiran kita sedang terobsesi oleh kekotoran batin tertentu (misalkan pada saat duduk bermeditasi), kita tidak boleh melakukan penyelidikan terhadap kekotoran batin tersebut sehingga mampu meredam kekotoran batin tersebut dan menenangkan pikiran?

IMO, saat menyadari kita sedang terobsesi, itu sudah 'awal' dari kesuksesan meditasi walau kalau ditinjau dari jeda waktu, mungkin kondisinya masih sangat cepat (sesaat atau beberapa saat), dengan 'berkehendak' untuk menelusuri (menyelidiki) lebih lanjut tentang hal-hal yang menimbulkan pikiran kita terobsesi, nantinya akan ada 'bentuk' dualisme yang saling bertentangan satu sama lain.

Kalau hal ini terjadi, bukankah secara tidak disengaja kita malah melenceng dari makna perhatian (vipassana)/pemusatan (samatha) pikiran kita dalam bermeditasi ?

salam,

Ada satu sutta bernama Vitakkasaṇṭhānasutta dari Majjimanikāya. Di sana Sang BUddha menjelaskan lima cara untuk membuang kekotoran batin. Salah satu caranya adalah dengan melihat bahaya kekotoran batin tersebut. Pertanyaannya adalah apakah pada saat seseorang berusaha melihat bahaya kekotoran batin tersebut sebagai upaya untuk melenyapkan kekotoran batin tersebut, tidak ada 'kehendak' di sana?



iseng googling, karena cukup bagus, sy copas ke sini.


VITAKKASANTHANA SUTTA

1. Demikianlah saya dengar:

Pada suatu ketika Sang Bhagava menginap di Jetavanārama milik Anathapindika, Savatthi. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu:
"Para bhikkhu."
"Ya, Bhante." jawab mereka.
Selanjutnya, Sang Bhagava berkata:

2. "Para bhikkhu, apabila seorang bhikkhu sedang mengembangkan batin yang lebih tinggi, ada lima tanda yang dapat diperhatikan olehnya dari saat ke saat. Apakah kelima tanda tersebut?

3. '’Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memperhatikan beberapa tanda, dan berdasarkan pada tanda itu, muncul dalam dirinya pikiran-pikiran buruk dan jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memperhatikan beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik. Bilamana ia memperhatikan beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, maka pikiran-pikiran buruk dan jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan akan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu atau pembantunya yang dapat mengeluarkan, memindahkan dan mengganti sebuah pasak kasar dengan pasak halus, begitu pula ketika seorang bhikkhu memperhatikan beberapa tanda, dan berdasarkan pada tanda itu, muncul dalam dirinya pikiran-pikiran buruk dan jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memperhatikan beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik. Bilamana ia memperhatikan beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, maka pikiran-pikiran buruk dan jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan akan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.

4. ’Apabila, ketika ia sedang memperhatikan tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu, sebagai berikut: 'Pikiran-pikiran ini buruk, patut dicela dan menyebabkan penderitaan.' Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang pria atau wanita, muda, remaja, yang menyenangi perhiasan, akan ketakutan, menderita dan muak jika bangkai ular, anjing atau mayat digantungkan dilehernya, begitu pula ... ketika seorang bhikkhu memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi."

5. "Apabila, sementara ia memeriksa bahaya dari pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus berusaha melupakan dan harus tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu.
Ketika ia berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan orang bermata baik yang tidak mau melihat bentuk-bentuk yang terjangkau oleh pandangan akan menutup mata atau memalingkan pandangannya, begitu pula ... ketika seorang bhikkhu berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.

6. "Apabila, sementara ia melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-betuk pikiran dari pikiran-pikiran itu. Ketika ia memberikan perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu, maka pikirain-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang berjalan cepat berpikir: ‘'Mengapa saya berjalan cepat? Bagaimana bila saya berjalan perlahan?' dan ia akan berjalan perlahan; kemudian ia berpikir: 'Mengapa saya berjalan perlahan? Bagaimana bila saya berdiri?' dan ia akan berdiri; kemudian ia berpikir: 'Mengapa saya berdiri? Bagaimana bila saya duduk?' dan ia akan duduk; kemudian ia berpikir: 'Mengapa saya duduk? Bagaimana bila saya berbaring?' dan ia akan berbaring. Dengan melakukan seperti itu, ia akan mengganti setiap posisi yang kasar dengan yang halus; begitu pula ketika ... ketika seorang bhikkhu memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.

7. "Apabila, ketika ia memberikan perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka dengan menggertak gigi dan lidah menekan langit-langit mulutnya, maka ia harus memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran (buruk) dengan pikiran. Ketika, dengan menggertak gigi dan lidah menekan langit-langit mulutnya, ia memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodoban ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang kuat menangkap kepala atau bahu dari orang lemah dan memukulnya, memaksanya, dan menghancurkannya begitu pula ... ketika seorang bhikkhu memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi."

8. "Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memberikan perhatian pada beberapa tanda, dan berdasarkan pada tanda itu dalam dirinya muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, kemudian ketika ia memberikan perhatian pada beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, maka pikiran-pikiran buruk jahat ditinggalkan dan lenyap, dengan meninggalkan pikiran-pikiran itu pikirannya menjadi kokoh tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dari pikiran-pikiran itu .... Ketika ia berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu .... Ketika ia memberikan perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu .... Ketika, dengan menggertak gigi dan menekankan lidah pada langit-langit mulutnya, ia memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran (buruk) dengan pikiran, maka pikiran-pikiran buruk jahat ditinggalkannya ... dan pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bhikkhu ini disebut sebagai ahli pikiran kasar. Ia akan memikirkan pikiran apa pun yang ingin ia pikirkan, dan ia tidak memikirkan apa yang ia tidak ingin pikirkan. Ia telah memutuskan keinginan (tanha), menghempaskan belenggu-belenggu (samyojana), dan dengan sempurna menembus kesombongan (mana), ia melenyapkan penderitaan.
Demikianlah yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Para bhikhu merasa senang dan gembira dengan apa yang diuraikan Sang Bhagava.

sumber

Offline Utphala Dhamma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 109
  • Reputasi: 16
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?
« Reply #35 on: 12 October 2010, 01:59:45 PM »
Kebijaksanaan diperlukan dalam meditasi. Pancabala mengandung unsur kebijaksanaan (pañña), selain saddha, viriya, sati, dan samadhi.

Dalam 4 Pengembangan Perhatian/Kewaspadaan atau 4 SATIPATTHANA, sati disertai sampajanna, kebijaksanaan harus selalu menyertai. Di sini ada 7 faktor yang ditumbuh-kembangkan yakni 7 FAKTOR PENCERAHAN: Sati, Dhammavicayo, Viriya, Piti, Pasaddhi, Samadhi, dan Upekkha.

Sati murni paling penting untuk dikembangkan, namun tidak hanya ada sati dalam meditasi, misalnya perenungan atau penyelidikan, malah perenungan atau penyelidikan itu timbul karena ada sati. Kalau tidak ada sati, perenungan/penyelidikan juga tidak timbul.

Namun, mengingat objek sati bukan hanya sifat fenomena batin dan jasmani yang berdasarkan Dhamma atau pelajaran yang kita dengar, tapi juga dari pengalaman-pengalaman langsung, agar perenungan/penyelidikan menjadi lebih efektif atau tajam, maka fase khusus dalam melatih sati harus benar-benar disediakan. Seperti dalam kasus Sis Mayvise, sehingga pada saat menghadapi masalah dan timbul sati, panna yang kita miliki cepat timbul dengan sedikit saja perenungan Dhamma, karena perenungan tersebut efektif karena telah terbentuk dari pengalaman-pengalaman langsungnya (dari hasil latihan) dalam kaitannya dengan Dhamma.

Misalnya, dalam mengamati timbulnya fenomena sampai dia lenyap, fase SATI murni diterapkan, atau Sati *mode on* tanpa berkedip tapi relax. Setelah itu, dengan Sati dipertahankan, Dhammavicayo berkembang otomatis persis pada saat itu maupun bila menjumpai fenomena-2 lain dalam kehidupan sehari-hari. Karena apa? Karena sudah punya pengalaman dan pengetahuan.

Jadi, melatih sati murni itu adalah fase khusus yang sangat penting, tapi penembusan Dhamma sesungguhnya melibatkan atau bekerjasama dgn faktor-faktor lain seperti perenungan, penyelidikan, faktor-faktor samadhi dan kebijaksanaan.

Dalam Maha Satipatthana Sutta atau Satipatthana Sutta, terutama dalam beberapa objek pada Kayanupassana dan Dhammanupassana, faktor perenungan dan penyelidikan dhamma ikut bermain menemani sati.
« Last Edit: 12 October 2010, 02:10:43 PM by Utphala Dhamma »

Offline coecoed

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 196
  • Reputasi: -6
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?
« Reply #36 on: 12 October 2010, 03:16:04 PM »

Quote
Apakah ketika pikiran kita sedang terobsesi oleh kekotoran batin tertentu (misalkan pada saat duduk bermeditasi), kita tidak boleh melakukan penyelidikan terhadap kekotoran batin tersebut sehingga mampu meredam kekotoran batin tersebut dan menenangkan pikiran?

IMO, saat menyadari kita sedang terobsesi, itu sudah 'awal' dari kesuksesan meditasi walau kalau ditinjau dari jeda waktu, mungkin kondisinya masih sangat cepat (sesaat atau beberapa saat), dengan 'berkehendak' untuk menelusuri (menyelidiki) lebih lanjut tentang hal-hal yang menimbulkan pikiran kita terobsesi, nantinya akan ada 'bentuk' dualisme yang saling bertentangan satu sama lain.

Kalau hal ini terjadi, bukankah secara tidak disengaja kita malah melenceng dari makna perhatian (vipassana)/pemusatan (samatha) pikiran kita dalam bermeditasi ?

salam,

Ada satu sutta bernama Vitakkasaṇṭhānasutta dari Majjimanikāya. Di sana Sang BUddha menjelaskan lima cara untuk membuang kekotoran batin. Salah satu caranya adalah dengan melihat bahaya kekotoran batin tersebut. Pertanyaannya adalah apakah pada saat seseorang berusaha melihat bahaya kekotoran batin tersebut sebagai upaya untuk melenyapkan kekotoran batin tersebut, tidak ada 'kehendak' di sana?

Upaya memang kehendak, dan setiap ada kehendak ada akibat ...

Dan kalau kekotoran batin itu 'diusahakan' untuk dilihat, saya setuju akan ada usaha disana ...  :)

OOT dikit ...
Dalam menggambarkan tentang cara 'berpraktek', telah banyak 'perdebatan' terjadi dikalangan para 'praktisi' (mungkin sampai temurun) ...

Padahal apa yang dicari? Lha wong yang dicita-citakan itu hanya untuk 'berhenti koq' ... (tidak menenun) ... :)

salam,

Ada beberapa yang bilang tujuan dari meditasi adalah berhenti / stopping, ada juga yang bilang 'pelenyapan / cessation'. Mana yang benar ya? Para guru meditasi harus menjelaskan nih.. :)

dalam jalan umum, hanya berputar-putar dalam roda samsara saja. (realitas atau pengetahuan) apapun yang dihasilkan tiada kenyataan kebenaran.
meditasi adalah dengan tujuan untuk (dapat) melihat apa yang seharusnya dilihat (dari apa yang seharusnya terlihat berlanjut kepada apa yang seharusnya dilihat).
karena kesalahan (pengajaran)  konsep jalan umum (karena kebijaksanaan awam, sunyata dikenali masih sebatas dalam konsep kewujudan), sebenarnya semua yang dilakukan dan diamati oleh pembina pengajaran jalan umum, semua hanyalah dalam berputar dalam kebohongan/tipuan/kekhayalan perputaran roda samsara saja.
apa yang diamati dan siapa yang mengamati sama-sama dari keanicca anattaan keakuan (masih bersifat fenomena duniawi) saja.
itulah mengapa sehingga sunyata hanya dapat diterjemahkan atau dimengerti sampai sebatas dari kekosongan dualisme kewujudan saja oleh hampir semua buddhist.
itulah mengapa pada saat-saat akhir kehidupan guru Buddha Sakyamuni, Ia mencoba meluruskan tujuan seluruh pengajaran yang telah Ia berikan (pada sutra mahaparinibanna) dimana bahkan Ananda sendiri (yang terlibat pembicaraan langsung) masih belum menyadari rahasia kebenaran ini (seperti dikisahkan, Ananda baru tercerahkan setelah tiadanya guru Buddha).

semoga menginspirasi umat bukan mencari keributan
sahabat baik umat
coeda, the believer


INILAH APA YANG TUHANKU TELAH KATAKAN, 'DALAM SATU TAHUN SEJAK HARI INI, KEJAYAAN MEREKA AKAN PUDAR'.


September 2010
coedabgf-the believer

Offline Utphala Dhamma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 109
  • Reputasi: 16
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Bagaimana menerapkan kebijaksanaan (pañña) dalam meditasi?
« Reply #37 on: 13 October 2010, 12:34:53 AM »
Re: Kehendak

Kalo tidak salah, YA Sariputta mengatakan bahwa di antara semua pikiran, ucapan, maupun perbuatan, yang terbaik adalah yang mengarah pada lenyapnya kekotoran batin.

Jadi kehendak yang terbaik adalah kehendak yang mengarah pada lenyapnya kekotoran batin. Dengan demikian, kita tak perlu sungkan, malu, atau ragu bila memiliki kehendak seperti itu :). Kehendak tersebut bukan "menenun", karena mengarah pada padamnya Avijja, diikuti dengan padamnya Sankhara (dari membuat kamma; dari membentuk atau menenun lagi/from fabricating fabricated things); pelenyapan Tanha, penghentian tumimbal lahir.

Yang penting kita kembangkan Saddha, Viriya, Sati, Samadhi, dan Panna, 5 KEKUATAN mengembangkan PASANGAN SAMATHA & VIPASSANA di Jalan Mulia Beruas 8.
**********

Re: DUALISME
Umat Buddha tidak mengambil posisi baik terhadap dualisme maupun non-dualisme. Mereka hanya melihat bahwa yang ada hanya fenomena unsur-unsur batin maupun jasmani yang memiliki kondisi-kondisinya sendiri. Melihat dhamma hanya sebagai dhamma dengan kebijaksanaan, tidak disertai pemikiran yg disertai Lobha, Dosa, dan Moha termasuk gagasan "Ini aku/diriku/milikku". Mereka hanya melihat sebab dan akibat, sebagaimana adanya. "Dengan timbulnya ini (kondisi), akibatnya timbulnya itu (suatu fenomena). Dengan lenyapnya ini, akibatnya lenyaplah itu".

Ada kondisi-kondisi menuju alam menderita.
Ada kondisi-kondisi menuju alam bahagia.
Jalan Mulia Beruas 8 menuju Nibbana.
************

"Sedapat mungkin seorang siswa ariya mengerti hal-hal yang tidak bermanfaat (AKUSALA), akar dari hal-hal yang tidak bermanfaat (AKUSALAMULA), hal-hal yang bermanfaat (KUSALA), akar dari hal-hal yang bermanfaat (KUSALAMULA). Melalui cara ini, dia adalah orang yang berpandangan benar, berpandangan lurus dan memiliki keyakinan yang sempurna pada Dhamma. Inilah keyakinan benar yang ia miliki.

Apakah hal-hal yang tidak membawa manfaat, akar dari hal-hal yang tidak membawa manfaat; apakah hal-hal yang membawa manfaat, akar dari hal-hal yang membawa manfaat?

Hal-hal yang tidak membawa manfaat itu adalah:
1. Membunuh makhluk-makhluk (panatipata),
2. Mengambil apa yang tidak diberikan (adinadana),
3. Melakukan pemuasan nafsu seks dengan cara yang salah (kamesumichacara),
4. Berdusta (musavada),
5. Menfitnah (pisunavaca), 6. Mengucapkan kata-kata kasar (pharusavaca),
7. Pergunjingan (samphappalapa),
8. Keserakahan (abhijjha),
9. Kebencian (byapada),
10. Berpandangan salah (Micchaditthi).

Inilah hal-hal yang tidak membawa manfaat (AKUSALA).

Apakah akar dari hal yang tidak membawa manfaat (AKUSALAMULA)?
Keserakahan (LOBHA), kebencian (DOSA) dan kebodohan (MOHA) adalah akar hal-hal yang tidak bermanfaat. Inilah akar dari hal yang tidak membawa manfaat (AKUSALA).

Apakah hal yang membawa manfaat (KUSALA)?
Hal yang membawa manfaat (menguntungkan) adalah:
1. Tidak membunuh makhluk-makhluk hidup,
2. Tidak mengambil apa yang tidak diberikan,
3. Tidak memuaskan nafsu seks dengan cara yang salah,
4. Tidak berdusta,
5. Tidak menfitnah,
6. Tidak berkata kasar,
7. Tidak bergunjing,
8. Tidak serakah.
9. Tidak membenci.
10. Tidak memiliki pandangan salah.

Inilah hal-hal yang membawa manfaat (KUSALA).

Apakah akar dari perbuatan yang membawa manfaat(AKUSALAMULA)?
Tidak serakah (ALOBHA), Tidak membenci (ADOSA), kebijaksanaan (AMOHA) adalah akar dari hal-hal yang bermanfaat (KUSALA).

Setelah siswa ariya telah mengerti sepenuhnya hal-hal yang tidak bermanfaat (AKUSALA) serta akarnya dan hal-hal yang bermanfaat (KUSALA) serta akarnya, dia telah melenyapkan sepenuhnya sebab utama dari kecenderungan nafsu-nafsu, menolak, membasmi pandangan dan konsep tentang diri (ATTA DITTHI). Dengan melenyapkan kegelapan batin (AVIJJA) dan mengembangkan pengetahuan benar (VIJJA), maka dengan ini ia mengakhiri penderitaan (DUKKHA NIRODHA). Melalui cara ini, seorang siswa ariya berpandangan benar, berpandangan lurus            dan memiliki keyakinan yang sempurna pada Dhamma. Inilah keyakinan benar yang ia miliki."

<MN 9. Sammaditthi Sutta: Khotbah Tentang Pandangan Benar>
************