Apabila seseorang berusaha menyamakan 100% kosmologi Buddhis dgn kosmologi modern maka akan terjadi benturan di mana-mana.
Kosmologi Buddhis adalah kosmologi vertikal. Dan sudah barang tentu Gunung Meru bukan Gunung Everest karena baik dari segi jarak, ukuran, maupun letaknya tidak sesuai.
Coba lihat lagi postingan saya yg dulu: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,14366.30.html
Para astronom India kuno minimal menyamakan Gunung Meru sebagai poros Kutub Utara- Selatan.
Kalau tidak salah kehancuran dunia ini tidak mampu menjangkau alam Brahma Dhyana Ketiga (CMIIW).
Galaksi Bimasakti itu ya interpretasi orang2 aja terhadap satu sistem tata dunia dalam kosmologi Buddhis. Maka dari itu ada yang mengatakan bahwa poros Galaksi inilah Gunung Meru yang sesungguhnya. Karena dalam kosmologi Buddhis, matahari dan bulan berkeliling di sekitar Meru.
Apakah benar bahwa lokasi Alam Brahma berada di planet lain atau di benda angkasa lainnya?
Dewa2 planet dan bintang dalam kosmologi Buddhis ada dalam kekuasaan Caturmaharaja deva dan Trayastrimsa. Ini masuk akal kalau seseorang menggunakan kosmologi vertikal, kalau tidak akan terjadi lagi benturan dengan sains.
The Siddha Wanderer
Kosmologi Buddhisme memiliki persamaan dan perbedaan dalam beberapa kasus dengan kosmologi modern. Ketika kita membahas keduanya, kita hanya bisa mengambil satu sikap, yaitu "apa yang sama adalah sama; apa yang beda adalah beda". Bila ada persamaan, maka renungkanlah. Bila ada perbedaan, maka hargailah.
Begitu juga dengan psikologi Buddhisme, geografi Buddhisme, moraliti Buddhisme; masing-masing memiliki nilai persamaan dan perbedaan dalam beberapa kasus dengan aspek modern lainnya. Karena itu, jika ada persamaan di antara pandangan Buddhisme dan pandangan sains modern, itu bisa jadi sebuah kebenaran. Namun bila ada perbedaan di antara pandangan Buddhisme dan pandangan sains modern, itu berarti salah satunya pasti ada yang keliru; jika bukan keduanya memang keliru.
Mengenai Gunung Meru, sepertinya pandangan Buddhisme memang "keliru". Dalam hal ini, pandangan geografi Buddhisme memang sepertinya "salah". Justru hal-hal seperti inilah yang perlu disadari. Ketika ada "kekeliruan" di dalam Kitab Buddhisme, kita tidak perlu melakukan pembenaran atau penafsiran lain untuk membiaskan "kekeliruan" itu. Sang Buddha sendiri sudah menyatakan di Kalama Sutta bahwa jangan langsung percaya pada kabar yang sudah lama beredar ataupun isi kitab yang diyakini benar. Kalau memang jelas dalam hal ini Tipitaka "salah", maka terimalah hal itu sebagai "salah".
Demikian juga dengan hal lainnya. Mungkin saja ada banyak "kesalahan" lain dalam aspek psikologi Buddhisme maupun moraliti Buddhisme dibanding dengan pandangan sains modern. Meski tidak menutup kemungkinan juga bahwa sebenarnya sains modern yang belum bisa menjangkau daya eksplorasi pandangan Buddhisme.
Di Satta Suriya Sutta, kehancuran dunia tidak akan berimbas ke Alam Brahma Jhana Ketiga dan di atasnya. Namun Alam Abhasara yang merupakan salah satu alam yang berada di Alam Brahma Jhana Kedua juga tidak mengalami kehancuran itu.
Seratus milyar tata surya (ref-Vissudhimagga) ataupun satu milyar tata surya (tisahassi hahasahassi lokadhatu; ref-Anguttara Nikaya) ini yang diintepretasikan sebagai galaksi. Lokhadathu sendiri artinya adalah sistem dunia; malah kadang diterjemahkan sebagai "alam semesta". Dalam pandangan astronomi modern, kumpulan banyak sistem dunia seperti itu dikenal sebagai galaksi. Galaksi dimana Bumi kita berada adalah Galaksi Bimasakti.
Masalahnya, apakah kosmolgi Buddhisme seperti ini bisa diterima dengan akal sehat atau "iman"? Sejauh ini pandangan Buddhisme dikagumi dan karena logis dan dapat diterima dengan pembuktian maupun akal sehat. Ketika ada pandangan Buddhisme yang bertentangan dengan sains, kita tidak perlu percaya karena pandangan ini mempunyai label "Buddhisme".