Sīlabbataparāmasa
sīla = nature, character, habit, behaviour; usually
abbata = breaking of the moral obligation; lawless
parāmasa = touching, seizing, taking hold
Memegang kebiasaan yang melanggar ketentuan kemoralan atau hukum. Kemoralan dan hukum yang mana yang dilanggar? Jelas Hukum Dhamma.
Jadi menurut saya, bukan hanya sekedar masalah keterikatan/kemelekatan pada suatu tindakan, tapi juga nilai yang terkandung dari tindakan yang menjadi kebiasaan atau habit.
Jika hanya menitikberatkan pada keterikatan/kemelakatan saja, maka kebiasaan potong ayam untuk dipersembahkan ke langit akan berkesan dapat “dimaafkan”. Orang akan berpikir, “Ah kalau saya lupa potong ayam untuk besok dibawa ke altar pasti tidak apa-apa, kan tidak perlu melekat, jadi asal saya sempat saja kalau begitu.” Jelas hal ini tidak dibenarkan karena kebiasaan potong ayam yang dilakukan oleh orang itu sudah melanggar Hukum Dhamma. Jadi melekat atau tidak melekat pada kebiasaan potong ayam, tetap tindakan itu melanggar Hukum Dhamma dan orang itu masih terbelenggu. Dan melanggar Hukum Dhamma itu banyak ragamnya, saya mempersilahkan para senior untuk memaparkannya.
Kata “upacāra” sendiri berarti habit, practice, conduct, behavior. Menurut saya, kata ini hanya merupakan kata pengganti dari kata “Sīla” di dalam menjelaskan pengertian/definisi dari Sīlabbataparāmasa. Jadi jika ada penjelasan bahwa Sīlabbataparāmasa adalah terikat pada upacara, ini berarti terikat pada habit, praktik, kebiasaan yang melanggar ketentuan kemoralan atau hukum.
CMIIW