Wah... jadi ngga enak nih sampe ditungggu oleh senior bro markosprawira
Maaf ya kalo respon dari saya suka lambat.
Ok, balik ke masalah tabrak. Dari semula persepsi saya soal tabrak dari bro markosprawira dalam konteks kita mengemudi kendaraan. Dan kejadiannya udah lumayan lama. Waktu itu respon kaget diteruskan dengan perasaan tidak senang, siapa sih yang nabrak-nabrak gua! Saya turun dari mobil, cek bagian yang kira-kira kena tabrak dan melihat ke si-penabrak. Minta dia menepi di depan sana. Emosi udah diubun-ubun, pembicaraan hanya saya yg benar, kamu yang nabrak dan minta ganti rugi.
Pas pulang rumah, ketika terduduk diam, merenung kejadian tadi. Kenapa ya tadi saya marah-marah ngga keruan? Apa hasilnya? Boro-boro ganti rugi yang didapat. Untung ada yang melerai dan men-dingin-kan saya sehingga tidak berlarut adu argumennya. Diputar ulang kejadian tadi, Ketika saya kaget, saya langsung bereaksi, apa tuh? Siapa ya? Dia. Siapa dia? Apa dia kenal saya? Apa dia sengaja tabrak saya. Kata dia dan saya muncul terus. Siapa sih dia? Siapa sih saya? Kalo dia ngga kenal saya kenapa dia tabrak saya? Apakah ada unsur kesengajaan? Kenapa pula harus marah-marah seperti tadi? Kalo ngga marah-marah, mungkin juga ngga dapat ganti rugi tapi paling tidak persoalan bisa diselesaikan dengan lebih baik.
Perenungan lebih mendalam, saya ingat dulu sewaktu pertama kali bawa mobil. Mobil yang saya bawa ditabrak orang. Kerusakan mobil orang ini tidak separah mobil saya dan saya ditabrak karena dia ngga kasih jalan saat saya mo berbelok. Orang itu galaknya minta ampun dan saya ketakutan ngga tahu mesti gimana. Orang itu berkeras minta ganti rugi sampai saya membawa orang tersebut ke bengkel untuk menaksir besar kerugian dan saya harus merogoh kocek di atm terdekat. Rupanya kejadian ini demikian membekas hingga saya berperilaku se-demikian rupa. Ada unsur ingin membalas yang tidak rasional.
Kayaknya bener tuh kaget itu moha mula citta. Tadinya saya anggap suatu respon yang netral. Setelah berusaha terus melatih sati setiap saat, bisa dibilang hampir tidak muncul lagi respon kaget. Saya merasa bila saya dalam berkesadaran (sati), saya menyatu dengan lingkungan sekitar. Ketika sesuatu terjadi seperti gempa Tasikmalaya lalu, guncangan cukup hebat dapat dirasakan. Teman-teman seruangan udah pada panik. Mereka tanya ada gempa ya? Iya. Tidak merasa kaget dan ikutan panik, walau lihat aqua galon yang isinya udah berguncang-guncang. Yang ada mengikuti ritme gempa itu, wah... tambah keras nih... eh... udah mulai reda.
Untuk respon marah, hehe... jelas bukan tindakan yang tepat.