Barusan saya lihat status di FB yang menghimbau agar seseorang belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha. Dalam himbauan tersebut, ada semacam kesan seakan-akan seseorang akan memperoleh manfaat yang diharapkan dengan mempelajari ajaran Buddha meskipun ia sendiri berasal dari agama lain. Pertanyaannya, benarkah dengan masih mengakui agama lain sebagai agamanya, seseorang benar-benar akan memperoleh manfaat yang semestinya dengan mempelajari ajaran Buddha?
Kalo agamanya tadinya x, terus ngaku agama Buddha terus boleh dibunuh gimana? Mendingan diem aja. Bebas gak teriket label. Lagian hampir semua bhikkhu di luar negri katepenya gak ada tulisan Budha.
btw, saya mengenal seorang samanera yang beragama islam (di KTPnya) yang kualitas kebuddhisannya tidak diragukan
di luar negeri, agama dianggap hak pribadi seseorang, dan negara tidak berhak ngurusin, makanya kebanyakan KTP LN gak mencantumkan field Agama
Buddha arti nya tersadarkan .
Ajaran Buddha bukan agama , karena Sang Buddha tidak pernah menyatakan bahwa ia adalah anak Tuhan atau pembawa pesan dari Tuhan mana pun .
Ajaran Buddha adalah ajaran tentang kebenaran dan bersifat realitas universal sehingga bisa di terima oleh penganut agama - agama .
Saya kira semua umat agama lain bisa belajar ajaran Buddha tanpa meninggalkan ajaran agama nya .
Kalau dari sudut pandang Ajaran Buddha, sebelum mencapai Sotapatti, kita semua ini sama saja. Masih tidak punya kejelasan arahnya. Ajaran Buddha pada intinya adalah memahami fenomena apa adanya. Kita bisa berlatih dan mendapatkan manfaat dari Ajaran Buddha walaupun kita masih melekat dengan keinginan indera, pandangan salah, kebencian, dan lain-lain. Mengapa lalu kita mengatakan orang lain tidak bisa mendapatkan manfaat dari Ajaran Buddha hanya karena mereka beda agama?
yg saya maksudkan tidak bermanfaat adalah belajar secara tekstual tanpa praktik, dan sebenarnya ini sama saja apakah bagi Buddhis maupun non-Buddhis. seseorang yg mengaku beragama Buddha juga tidak akan memperoleh manfaat jika hanya mempelajari teori-teori tanpa mempraktikkannya. hmmm... baiklah, ada sedikit manfaat deh, yaitu bertambahnya pengetahuan baru.Kalau memang hanya sebatas pengetahuan teoritis dan tidak untuk dipraktekkan, sepertinya memang tidak bermanfaat. Betul, paling sebatas tambahnya pengetahuan.
Barusan saya lihat status di FB yang menghimbau agar seseorang belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha. Dalam himbauan tersebut, ada semacam kesan seakan-akan seseorang akan memperoleh manfaat yang diharapkan dengan mempelajari ajaran Buddha meskipun ia sendiri berasal dari agama lain. Pertanyaannya, benarkah dengan masih mengakui agama lain sebagai agamanya, seseorang benar-benar akan memperoleh manfaat yang semestinya dengan mempelajari ajaran Buddha?
Menurut saya, jika seseorang belajar ajaran buddha seiring berjalannya waktu ia akan meninggalkan ajaran lamanya.
...
Pertanyaannya, benarkah dengan masih mengakui agama lain sebagai agamanya, seseorang benar-benar akan memperoleh manfaat yang semestinya dengan mempelajari ajaran Buddha?
Kalau menurut saya ,Sang Buddha menyuruh menyebarkan Dhamma...bukan menyebarkan agama.....terus ada satu sutta ,dimana Buddha menyatakan pada ananda..bahwa bukan org yg berada didekatnya dapat dikatakan dekat..tapi orang yg melaksanakan sila,samashi dan panna.a..itulab yg dekat dengannya....
Jadi nurut saya..bagus2 aja kalau ada orang belajar buddhism....tapi di status sosialnya..agamanya masih yg lama..
Kualitas lebih baik dari pada jumlahnya....
Kalau belajar dan praktek ajaran Buddha, tentu-nya sudah tidak bisa menganut ajaran agama yang lain. apalagi yang berlawanan. Kalau sekedar status di KTP masih ok. Tetapi setidaknya dalam diri masing-masing, apakah setelah belajar dan praktek ajaran Buddha masih bisa menganut (belajar dan praktek ajaran agama lain) ? Kalau sejalan masih mungkin, kalau yang bertentangan ?
IMOKalau dilihat dari sutta-sutta, yang diajarkan Buddha berkisar dukkha dan lenyapnya dukkha. Hal-hal demikian tidak selalu harus melalui fase 'berkeyakinan pada Tiratana'. Contoh paling gampang, Sariputta melihat perilaku Thera Assaji dan menjadi kagum, lalu ditanya sedikit tentang ajarannya, Assaji mengucapkan dua bait syair yang membuat Sariputta menembus Sotapatti. Dari dua bait syair tersebut, tidak ada disebutkan 'Tiratana'. Kebenaran itu bisa diselidiki dan dimengerti seseorang tanpa perlu mengetahui kredibilitas orang yang bicara. Terlebih lagi, bahkan justru banyak yang mencari Buddha untuk 'ngajak ribut' tapi diberi kebenaran, malah merealisasinya. Ini contoh manfaat yang didapat tanpa perlu berkeyakinan lebih dahulu. Ada juga contoh lain di mana seseorang memang berkeyakinan dulu untuk mendapatkan manfaatnya.
untuk serius menekuni Buddha Dhamma, langkah pertama harus ada keyakinan kepada Sang Tiratana.
tanpa adanya keyakinan terhadap Sang Tiratana, pengetahuan Dhamma utk diri sendiri susah maju.
semoga bermanfaat
_/\_
imo, menurut pengamatan saya, ini perbedaan klasik dalam pengajaran theravada tradisional yg orthodox dengan yg unorthodox atau non-theravada...Oh, justru pandangan saya itu 'un-orthodox' yah? :D Saya pikir justru sebaliknya termasuk 'kolot' karena berdasarkan sutta.
dalam pengajaran theravada yg orthodox, buddha dhamma itu harus dipelajari secara scholastic, dalam artinya dipelajari sebagai sistematika doktrinal yg memiliki struktur dan berjenjang: mulai dari saddha, tiratana, dana, sila, karma, punarbhava, tilakkhana, 4km, jm8, paticca samuppada dan abhidhamma.
dan yg unorthodox, seperti yg dijelaskan om kainyn di atas.
di luar negeri, agama dianggap hak pribadi seseorang, dan negara tidak berhak ngurusin, makanya kebanyakan KTP LN gak mencantumkan field Agama
Barusan saya lihat status di FB yang menghimbau agar seseorang belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha. Dalam himbauan tersebut, ada semacam kesan seakan-akan seseorang akan memperoleh manfaat yang diharapkan dengan mempelajari ajaran Buddha meskipun ia sendiri berasal dari agama lain. Pertanyaannya, benarkah dengan masih mengakui agama lain sebagai agamanya, seseorang benar-benar akan memperoleh manfaat yang semestinya dengan mempelajari ajaran Buddha?
Oh, justru pandangan saya itu 'un-orthodox' yah? :D Saya pikir justru sebaliknya termasuk 'kolot' karena berdasarkan sutta.orthodoxy tidak berarti ketat berdasarkan sutta. kadang menggali sutta2 tua itu justru menjadi "baru".
YOE TJIARAentah apa jadinya seandainya si pecandu musti mengikuti pelajaran berjenjang2 dulu, mulai dari tiratana, sila, karma, punarbhava, tilakkhana, dst.
sekedar sharing....
ada seorang pecandu narkotika berat, menggunakan heroin dengan jarum suntik, setiap hari kerjanya hanya "teler", dan jika tidak ada uang maka dia mencuri, berbohong, merampok demi mendapatkan uang untuk membeli heroin supaya "teler" lagi.
seluruh perbuatan "Bejat" sudah dia lakukan..
jelas sekali orang ini tidak menjalankan sila, bahkan mungkin sudah melupakannya.
dalam kondisi kecanduan berat, sakit fisik dan sakit psikis, orang ini berhasil sampai ke Dhammadipa Arama Malang.
Heroin trakhirnya dia suntikkan sesaat sebelum memasuki halaman Dhammadipa Arama Malang dan menemui Bhante Khantidharo MT.
biasanya, seoarang pecandu heroin (putau) berat, akan merasa sakit yg luar biasa pada sekujur tubuhnya, kedinginan (meng-gigil ) tapi terus berkeringat jika tidak mengkonsumsi heroin lagi dalam waktu antara 3 s/d 6 jam
pada saat proses kecanduan ini muncul, pikiran nya pasti hanya tertuju pada "bagaimana saya mendapatkan heroin lagi"
pada saat seperti itu, tentunya "tidak mungkin" dapat menjalankan sila dengan baik.
tetapi pada saat bertemu bhante Khanti, beliau hanya meminta untuk "memperhatikan" semua kondisi itu, dan beberapa petunjuk Vipassana dengan metode Mahasi Sayadaw.
Ajaib tapi bukan magic, orang ini sembuh dari kecanduannya setelah mengikuti Vipassana selama 11 hari di Dhammadipa.
pada kasus ini, jelas sekali bahwa tidak diperlukan landasan sila untuk dapat melaksanakan Vipassana.
Justru pada saat melaksanakan Vipassana itulah kita sedang dan sudah melaksanakan Sila dan Samadhii yg benar...
diceritakan dengan sebenarnya, dari sumber yg dapat dipercaya
Kenapa rasanya makin lama makin banyak yang anti tradisi ? Sepertinya ada usaha pemisahan antara Buddhisme dengan akar sejarahnya. Sikap seperti ini saya liat sebagai suatu bentuk kekerasan (dalam arti yang berbeda) dan sikap arogan karena berpikir hal itu akan bisa dilakukan.Maksudnya bro rooney, Buddha Gotama adalah seorang yang anti-tradisi 'Buddhis' karena pernah mengajarkan banyak orang secara langsung pada akhir dukkha tanpa pakai kurikulum?
Apakah ada rasa malu dengan aturan moral yang ketat, supranatural dan mitos tentang kosmologi Budhis, pencerahan, metafisikal, dll, oleh karena itu kita perlu membuangnya jauh-jauh ? ataukah lebih baik kita menerima rasa tidak menyenangkan bahwa ajaran Buddha yang sangat mengagumkan yang datang dari tradisi-tradisi Buddhis, juga datang dengan hal-hal yang tidak kita sukai atau tidak kita mengerti ? Jika hal tersebut diterima, maka mungkin setiap dari kita harus berjuang dengan masa lalu, masa sekarang dan masa depan (btw, ada 2 versi ;D) dan hubungannya dengan kehidupan kita.
Saya sangat menghargai tradisi dan inovasi. Tetapi tidaklah tepat jika salah satu ditempatkan nilainya lebih dari yang lain...
orthodoxy tidak berarti ketat berdasarkan sutta. kadang menggali sutta2 tua itu justru menjadi "baru".Saya menemukan sedikit janggal.
nemu dari facebook:QuoteYOE TJIARA
sekedar sharing....
ada seorang pecandu narkotika berat, menggunakan heroin dengan jarum suntik, setiap hari kerjanya hanya "teler", dan jika tidak ada uang maka dia mencuri, berbohong, merampok demi mendapatkan uang untuk membeli heroin supaya "teler" lagi.
seluruh perbuatan "Bejat" sudah dia lakukan..
jelas sekali orang ini tidak menjalankan sila, bahkan mungkin sudah melupakannya.
dalam kondisi kecanduan berat, sakit fisik dan sakit psikis, orang ini berhasil sampai ke Dhammadipa Arama Malang.
Heroin trakhirnya dia suntikkan sesaat sebelum memasuki halaman Dhammadipa Arama Malang dan menemui Bhante Khantidharo MT.
biasanya, seoarang pecandu heroin (putau) berat, akan merasa sakit yg luar biasa pada sekujur tubuhnya, kedinginan (meng-gigil ) tapi terus berkeringat jika tidak mengkonsumsi heroin lagi dalam waktu antara 3 s/d 6 jam
pada saat proses kecanduan ini muncul, pikiran nya pasti hanya tertuju pada "bagaimana saya mendapatkan heroin lagi"
pada saat seperti itu, tentunya "tidak mungkin" dapat menjalankan sila dengan baik.
tetapi pada saat bertemu bhante Khanti, beliau hanya meminta untuk "memperhatikan" semua kondisi itu, dan beberapa petunjuk Vipassana dengan metode Mahasi Sayadaw.
Ajaib tapi bukan magic, orang ini sembuh dari kecanduannya setelah mengikuti Vipassana selama 11 hari di Dhammadipa.
pada kasus ini, jelas sekali bahwa tidak diperlukan landasan sila untuk dapat melaksanakan Vipassana.
Justru pada saat melaksanakan Vipassana itulah kita sedang dan sudah melaksanakan Sila dan Samadhii yg benar...
diceritakan dengan sebenarnya, dari sumber yg dapat dipercaya
entah apa jadinya seandainya si pecandu musti mengikuti pelajaran berjenjang2 dulu, mulai dari tiratana, sila, karma, punarbhava, tilakkhana, dst.Sama saja seperti Bahiya kalau disuruh hafal macam-macam dulu baru diajarkan intinya: keburu diseruduk sapi.
Maksudnya bro rooney, Buddha Gotama adalah seorang yang anti-tradisi 'Buddhis' karena pernah mengajarkan banyak orang secara langsung pada akhir dukkha tanpa pakai kurikulum?
Gak semua langsung kan, ada yang pake kurikulum juga. Jadi Buddha tidak anti tradisi juga bukanlah pembenci inovasi. Maksud saya keduanya OK, tetapi saya liat ada kecenderungan untung mengagungkan inovasi dan mencoba memisahkannya dari tradisi yang dianggap sebagai sesuatu yang non esensial...Oh, begitu.
Oh, begitu.
Betul, tidak semuanya langsung, ada banyak juga yang bertahap. Misalnya kepada ayahnya, Suddhodana, diajarkan bertahap. Pertama diajarkan bahwa pindapata adalah tradisi dari semua Buddha (karena Suddhodana yang adalah raja, malu melihat anaknya yang dulu pangeran malah 'mengemis'), dan menjadi Sotapanna. Kemudian, diajarkan lagi khotbah lain dan secara bertingkat menembus kesucian lebih tinggi pula, sampai akhirnya ketika akan meninggal, diberi pengarahan lagi dan menjadi Arahat.
Kalau saya pribadi, terserah saja orang mau pakai tradisi+non-tradisi atau mau pakai salah satu saja selama dia merasa itu bermanfaat. Tapi paling baik jangan fanatik pada pandangan sendiri karena diri sendiri juga bisa salah.
Saya lebih cocok pada non-tradisi, tapi saya juga belajar secara tradisi karena ada kalanya orang bertanya mengenai konsep dan kepercayaan. Bayangkan jika terjadi percakapan (lucu) begini:
A: Apa sih Agama Buddha?
B: Intinya vipassana.
A: Buddha siapa?
B: Orang yang vipassananya nomor wahid.
A: Kalau menurut Buddha, boleh punya bini banyak ga?
B: Ga penting, yang penting vipassana.
A: Kenapa orang dilahirkan berbeda?
B: Ga perlu tahu masa lalu, yang penting vipassana.
A: Setelah mati, orang bisa terlahir di mana saja?
B: Ga perlu spekulasi masa depan, yang penting vipassana yang adalah di sini & sekarang.
A: Perlu berbuat baik?
B: Ga perlu, yang penting vipassana.
A: Kalau saya lagi takut/benci/serakah, mesti gimana?
B: Vipassana aja.
Kalau saya belum kenal Buddhisme, dari perbincangan itu saya akan pikir Buddha adalah sebuah robot dengan tape recorder rusak yang setiap hari memutar "Vipassana!" x 84,000.
Tapi juga sebaliknya kalau orang ditanyakan tentang inti Ajaran Buddha dan berputar pada Tiratana, hukum kamma, 31 alam, dan sebagainya, maka itu seperti membahas daun seluruh hutan, namun justru melewatkan sehelai daun simsapa yang dipegang oleh Buddha (padamnya dukkha). Dalam kasus yang sangat-sangat ringan, seperti Sariputta yang ditegur oleh Buddha karena 'hanya' mengajarkan sampai Alam Brahma pada Brahmana Dhananjani tapi tidak mengajarkan sampai terhentinya kelahiran kembali.
Kalau dilihat dari sutta-sutta, yang diajarkan Buddha berkisar dukkha dan lenyapnya dukkha. Hal-hal demikian tidak selalu harus melalui fase 'berkeyakinan pada Tiratana'. Contoh paling gampang, Sariputta melihat perilaku Thera Assaji dan menjadi kagum, lalu ditanya sedikit tentang ajarannya, Assaji mengucapkan dua bait syair yang membuat Sariputta menembus Sotapatti. Dari dua bait syair tersebut, tidak ada disebutkan 'Tiratana'. Kebenaran itu bisa diselidiki dan dimengerti seseorang tanpa perlu mengetahui kredibilitas orang yang bicara. Terlebih lagi, bahkan justru banyak yang mencari Buddha untuk 'ngajak ribut' tapi diberi kebenaran, malah merealisasinya. Ini contoh manfaat yang didapat tanpa perlu berkeyakinan lebih dahulu. Ada juga contoh lain di mana seseorang memang berkeyakinan dulu untuk mendapatkan manfaatnya.
Keyakinan pada Tiratana sendiri bisa menghambat kemajuan seseorang, jika hanya yakin tanpa disertai kebijaksanaan. Misalnya begitu yakin pada merk "Buddha", maka langsung percaya buta, seperti kasus 'cult' dengan merk 'Buddha'. Pada kenyataan sebenarnya, kita juga tidak tahu 'Tiratana' sesungguhnya seperti apa, hanya berdasarkan literatur (yang notabene hasil pencatatan ulang juga) dan tradisi. Bahkan tradisinya saja sudah bercabang banyak sekali.
parami milik calon Arahat masa dulu tentulah beda dengan manusia kini.Parami memang berbeda, namun aneka kecenderungan tetap sama.
ditambah faktor batin setiap manusia juga berbeda.
memang kalau dibahas tidaklah segampang dengan teori.
semoga bermanfaat _/\_
berapa banyak umat budis yang telah mencapai kesucian, dan berapa banyak umat non budis yang mencapai kesucaian
berapa banyak umat budis yang telah mencapai kesucian, dan berapa banyak umat non budis yang mencapai kesucaianSama seperti jika ditanyakan: "berapa banyak Savaka-Buddha dan berapa banyak Pacceka-buddha?"
Saya menemukan sedikit janggal.gak tau. berhubung ini cerita orang pertama, bisa ditanyakan langsung ke si penutur.
Seorang pecandu berat berarti tidak konsumsi dalam jumlah dikit. Jika konsumsi dalam jumlah banyak, berarti ia teler. Jika baru suntik langsung masuk vihara, tentu dia masuk sambil teler, entah merangkak atau ngesot, yang pasti sudah sulit untuk berlaku normal karena kesadarannya hilang. Yang paling membingungkan, bagaimana seseorang yang kesadarannya mulai hilang, melakukan Vipassana?
Sama saja seperti Bahiya kalau disuruh hafal macam-macam dulu baru diajarkan intinya: keburu diseruduk sapi.untungnya juga bhante khanti dan si pecandu gak menunggu paraminya cukup...
Kenapa rasanya makin lama makin banyak yang anti tradisi ? Sepertinya ada usaha pemisahan antara Buddhisme dengan akar sejarahnya. Sikap seperti ini saya liat sebagai suatu bentuk kekerasan (dalam arti yang berbeda) dan sikap arogan karena berpikir hal itu akan bisa dilakukan.apa ini tanggapan atas post saya?
Apakah ada rasa malu dengan aturan moral yang ketat, supranatural dan mitos tentang kosmologi Budhis, pencerahan, metafisikal, dll, oleh karena itu kita perlu membuangnya jauh-jauh ? ataukah lebih baik kita menerima rasa tidak menyenangkan bahwa ajaran Buddha yang sangat mengagumkan yang datang dari tradisi-tradisi Buddhis, juga datang dengan hal-hal yang tidak kita sukai atau tidak kita mengerti ? Jika hal tersebut diterima, maka mungkin setiap dari kita harus berjuang dengan masa lalu, masa sekarang dan masa depan (btw, ada 2 versi ;D) dan hubungannya dengan kehidupan kita.
Saya sangat menghargai tradisi dan inovasi. Tetapi tidaklah tepat jika salah satu ditempatkan nilainya lebih dari yang lain...
apa ini tanggapan atas post saya?
kalo iya, berarti salah nangkep maksud saya.
di atas saya menjelaskan perbedaan sudut pandangnya. gak pernah bilang yg ini cool, yg itu bad.
pointnya adalah gak bisa pukul rata harus seperti "ini", ada orang yg cocok dengan yg "itu" seperti si pecandu di atas.
berapa banyak umat budis yang telah mencapai kesucian, dan berapa banyak umat non budis yang mencapai kesucaian
Iya, maksud saya sama dengan bro morph cuma agak saya tambahkan sedikit kecenderungan yang berkembang pada paham sekuler yang anti tradisi...Kalau menurut saya itu adalah karena aksi-reaksi. Mungkin beberapa kelompok terlalu 'mendewakan' paham 1, sehingga semacam mengecilkan paham 2. Lalu paham 2 merasa 'terancam' dan bereaksi mengecilkan paham 1. Lalu terjadi begitu terus -entah siapa yang mulai duluan- dan akhirnya 'terperosok' pada salah satu ekstrem di mana yang utama adalah 'paham'-nya bukan melihat dari segi manfaat bagi orang lain.
Kalau menurut saya itu adalah karena aksi-reaksi. Mungkin beberapa kelompok terlalu 'mendewakan' paham 1, sehingga semacam mengecilkan paham 2. Lalu paham 2 merasa 'terancam' dan bereaksi mengecilkan paham 1. Lalu terjadi begitu terus -entah siapa yang mulai duluan- dan akhirnya 'terperosok' pada salah satu ekstrem di mana yang utama adalah 'paham'-nya bukan melihat dari segi manfaat bagi orang lain.
gak tau. berhubung ini cerita orang pertama, bisa ditanyakan langsung ke si penutur.Mungkin memang ceritanya kurang akurat, tapi yang penting point-nya tersampaikan sih.
setahu saya sih, obat2an itu ada macem2 sifatnya. kalo heroin itu mungkin ngefly dan after effectnya ketagihan kelas berat. jadi gak mungkin abis disuntik langsung duduk sungkem ke bhante dan bersila meditasi. pasti setelah ditenangkan dan mulai hilang "ngefly"nya dan mulai merasakan ketagihan hebat, baru menjalankan vipassana...
untungnya juga bhante khanti dan si pecandu gak menunggu paraminya cukup...Ini juga jadi pertanyaan. Siapa yang tahu seseorang paraminya sudah cukup atau belum? Jika ada penjahat besar tapi parami cukup, seperti Angulimala, memangnya ada yang bisa tahu?
Ya, saya pikir golongan yang belajar dari tradisi cepat atau lambat akan keluar melihat pemikiran-pemikiran di luar tradisi itu begitu pula sebaliknya yang sekuler pasti akan memasuki ranah tradisi untuk dipelajari...Saya setuju. Kalau menurut saya, sebenar2nya tidak ada yang namanya tradisi atau non-tradisi, hanya kebenaran saja apa adanya. Kalau orang sudah belajar tradisi, tentu dia juga tahu pentingnya pengetahuan di luar itu, bukan menjadi naif dan menganggap kehidupan ini sama seperti zaman Buddha Gotama dulu.
Ini juga jadi pertanyaan. Siapa yang tahu seseorang paraminya sudah cukup atau belum? Jika ada penjahat besar tapi parami cukup, seperti Angulimala, memangnya ada yang bisa tahu?sebenernya kata-kata "paramiku belum cukup" menjadi semacam alasan untuk tetap bermain2 dalam comfort zonenya. hati kecil mungkin menyesalinya, sehingga begitu menemukan alasan untuk melegitimasinya, diri menjadi merasa nyaman, "ah aku mengumpulkan parami dulu biar ketemu sama Buddha Metteya. ini juga dipuji para bijaksana kok" walau yg sebenernya adalah "aku nyaman di sini. yg itu sulit".
Sama juga seperti pencapaian kesucian. Seorang bhikkhu seniorpun belum tentu tahu pencapaian bhikkhu-bhikkhu junior lainnya. Bagaimanakah kita bisa mengatakan sejumlah Buddhis sudah mencapai tingkat X, sedangkan non-Buddhis jumlahnya hanya X/1000 atau bahkan tidak ada sama sekali?
Mungkin memang ceritanya kurang akurat, tapi yang penting point-nya tersampaikan sih."kataya" biksu2 zen suka ada yang tau pencapaian si murid2nya
Ini juga jadi pertanyaan. Siapa yang tahu seseorang paraminya sudah cukup atau belum? Jika ada penjahat besar tapi parami cukup, seperti Angulimala, memangnya ada yang bisa tahu?
Sama juga seperti pencapaian kesucian. Seorang bhikkhu seniorpun belum tentu tahu pencapaian bhikkhu-bhikkhu junior lainnya. Bagaimanakah kita bisa mengatakan sejumlah Buddhis sudah mencapai tingkat X, sedangkan non-Buddhis jumlahnya hanya X/1000 atau bahkan tidak ada sama sekali?
sebenernya kata-kata "paramiku belum cukup" menjadi semacam alasan untuk tetap bermain2 dalam comfort zonenya. hati kecil mungkin menyesalinya, sehingga begitu menemukan alasan untuk melegitimasinya, diri menjadi merasa nyaman, "ah aku mengumpulkan parami dulu biar ketemu sama Buddha Metteya. ini juga dipuji para bijaksana kok" walau yg sebenernya adalah "aku nyaman di sini. yg itu sulit".Sepertinya memang ada yang begitu. Yang saya khawatir kalau misalnya perilaku itu dibiasakan, nanti menular dan akan ada orang yang memang tidak mengerti, ikut 'menunggu' dulu.
"kataya" biksu2 zen suka ada yang tau pencapaian si murid2nyaBolehlah bhiksu2 Zen ada yang tahu pencapaian muridnya, lalu apakah kita atau orang lain bisa membuktikannya?
secara garis besar untuk mencapai "tingkat kesucian" aye rasa dibutuhkan satu "Usaha" untuk mencapai hal itu.Yang diajarkan oleh Buddha itu adalah kebenaran saja, bukan kebenaran-yang-hanya-bisa-diketahui-hanya-melalui-agama-Buddha. Beberapa kisah pencapaian Pacceka Buddha juga tidak melalui 'agama-agama' tertentu, namun memahami kebenaran yang terefleksi dalam fenomena sederhana.
nah secara dalam ajaran lain tujuan nya saja sudah berbeda, apakah tingkat kesuciannya itu sama dalam budis?
Mengenai arah dari satu 'usaha', apakah Culapanthaka berusaha mengamalkan 'pelajaran Agama Buddha' tertentu waktu usap-usap mukanya dengan kain bersih?gini, om kainyn. acek ryu itu mungkin pingin "memprotes" ajaran "sesat" bermerk "tanpa-usaha" yg menurut acek tidak akan bisa mencapai tingkat kesucian.
Bolehlah bhiksu2 Zen ada yang tahu pencapaian muridnya, lalu apakah kita atau orang lain bisa membuktikannya?
Yang diajarkan oleh Buddha itu adalah kebenaran saja, bukan kebenaran-yang-hanya-bisa-diketahui-hanya-melalui-agama-Buddha. Beberapa kisah pencapaian Pacceka Buddha juga tidak melalui 'agama-agama' tertentu, namun memahami kebenaran yang terefleksi dalam fenomena sederhana.ya sayang nya jaman sekarang agama Buda itu "ada" mau tidak mau ada bahan perbandingan, atau mungkinkah zaman sekarang seseorang tiba2 menjadi buda tanpa mengetahui ajaran buda? atau seseorang yang mempunyai tujuan bertemu Tuhan mencapai nibbana?
Mengenai arah dari satu 'usaha', apakah Culapanthaka berusaha mengamalkan 'pelajaran Agama Buddha' tertentu waktu usap-usap mukanya dengan kain bersih?
gini, om kainyn. acek ryu itu mungkin pingin "memprotes" ajaran "sesat" bermerk "tanpa-usaha" yg menurut acek tidak akan bisa mencapai tingkat kesucian.soal sesat ga sesat hanya tuhan yang tau =))
sebenernya hal ini udah dijelaskan berulang2 bahwa konteks "tanpa usaha" di sini adalah konteks meditasi yaitu sikap mental yg tidak berusaha mengontrol, tidak berkelahi dengan pikiran jahat, tidak berusaha mencapai ini itu, melainkan mindful dan aware pada apa yg muncul, yg jelek yg baik yg enak yg tidak enak. hal yg senada sebenernya disampaikan dengan berbagai macam bahasa oleh saya, om fabian, om2 lain, dengan merk yg berbeda. namun tampaknya acek merasa merk "tanpa-usaha" itu adalah ajaran sesat dan bertentangan dengan jm8. mungkin begitu maksudnya... cmiiw.
gini, om kainyn. acek ryu itu mungkin pingin "memprotes" ajaran "sesat" bermerk "tanpa-usaha" yg menurut acek tidak akan bisa mencapai tingkat kesucian.
sebenernya hal ini udah dijelaskan berulang2 bahwa konteks "tanpa usaha" di sini adalah konteks meditasi yaitu sikap mental yg tidak berusaha mengontrol, tidak berkelahi dengan pikiran jahat, tidak berusaha mencapai ini itu, melainkan mindful dan aware pada apa yg muncul, yg jelek yg baik yg enak yg tidak enak. hal yg senada sebenernya disampaikan dengan berbagai macam bahasa oleh saya, om fabian, om2 lain, dengan merk yg berbeda. namun tampaknya acek merasa merk "tanpa-usaha" itu adalah ajaran sesat dan bertentangan dengan jm8. mungkin begitu maksudnya... cmiiw.
Umat Buddha ??~ apa makna nya?
Saya sendiri sangat memahami kalau agama Buddha berlindung pada Buddha Dhamma dan Sangha , tapi di altar rumah saya tetap menganut "TriDhamma" [Thi kong , To pek kong, Kwan im , leluhur] , selain itu saya juga sembayang Be lo kong dan Go lo Cai sin [Dewa2 penjaga jalan] .. saya jg banyak berdoa dan banyak meminta , baik itu kesehatan perlindungan dan rejeki . [ teologi ala muslim and kristian ]
Sering kali ketemu umat Buddha yg full hanya belajar Dhamma , "sinisme" dengan triDhamma , "masa loe percaya hal gtan? " , "lu pikir dgn kertas sembayang mereka bisa nerima?" and blablabala..., bahkan org yang belum pernah menginjak Vihara dan baru mengenal ajaran Buddha segede "upil" begitu sinis dengan TriDhamma . Why ?
Saya sendiri ngak pernah berharap atau berfikir kelak gw mati bisa berakhir di NIBANNA , nggak pernah ingin mcapai Jhana .. Saya belajar Dhamma karna itu memang sangat bermanfaat dalam hidup saya , misalnya aja mengenai Maha Manggala Sutta , pemahaman akan hukum kamma , ketidak kekalan , mengenai Dukkha anata anica , pcy pada pancaran sutta "efek" dari sutta yg saya baca (jelek2 gini saya jg fasih melantunkan sutta) .. and hal2 yg sangat Buddhis lainnya ,
Saya menjalani keduanya dengan saling melangkapi ( dlm hati dan kepercayaan saya ) , Dan jujur aja ampe saat inipun saya belum berniat mengeliminasi semua Dewa Dewi di altar saya dan di gantikan dengan Rupang Sang Buddha Gautama ( klo ada yg berfikir saya pny Pandangan yng SAlah ) silahkan aja.. saya jg udah " "terbiasa" :)) anggaplah saya adalah Domba tersesat yang belum tercerahkan =)) , saya jg tidak terllalu mempermasalahkan ., krn mnrt saya semua org memiliki kecerdasan spiritual msg2 yg nggak bisa di ganggu gugat oleh siapapun , hanya bisa bergeser oleh dirinya sendiri .. .. mgkn begini kali ya mksdnya : " Belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha! "
_/\_ _/\_ _/\_
Bro Morpheus yang baik, Saya rasa mungkin yang dimaksudkan bro Ryu adalah untuk mencapai tingkat kesucian seseorang harus "ber-usaha" bermeditasi, entah di kehidupan ini atau di kehidupan sebelumnya.om fabi, kalo yg empunya istilah (dalam hal ini, "tanpa usaha") udah menjelaskan maksudnya untuk konteks meditasi, namun pendengarnya ngotot mau mengartikan lain dengan konteks yg berbeda, ya kesalahan bukan pada siaran televisinya, melainkan pesawat televisinya yg rusak.
Karena tak ada skill yang mendadak menjadi "skillful" bila tidak ber-usaha melatihnya.
seharusnya sih bisa, contoh ada yang "katanya" sudah jadi buda idup, kita bisa tidak membuktikan dia buda idup atau tidak?Nah, kalau di kalangan 'Buddhis", memang terjadilah perbandingan (dari buku) dan dugaan-dugaan. Tapi kalau dari sisi netral, misalnya ilmuwan, maka diagnosa yang sepertinya akan muncul adalah: sindrom schizophrenia.
ya sayang nya jaman sekarang agama Buda itu "ada" mau tidak mau ada bahan perbandingan, atau mungkinkah zaman sekarang seseorang tiba2 menjadi buda tanpa mengetahui ajaran buda? atau seseorang yang mempunyai tujuan bertemu Tuhan mencapai nibbana?Bisa saja. Seperti saya bilang, Culapanthaka juga tidak berpikir mau mencapai nibbana atau apa waktu usap-usap wajah. Seperti juga Kisa Gotami juga tidak berpikir tujuan tertentu atau merefleksikan Ajaran Buddha tertentu, hanya mencari biji lada, kok bisa jadi Sotapanna?
om fabi, kalo yg empunya istilah (dalam hal ini, "tanpa usaha") udah menjelaskan maksudnya untuk konteks meditasi, namun pendengarnya ngotot mau mengartikan lain dengan konteks yg berbeda, ya kesalahan bukan pada siaran televisinya, melainkan pesawat televisinya yg rusak.jadi maksudnya adalah suatu keuntungan belajar "tanpa usaha" ini? keuntungan apakah?
bahasa memang tidak sempurna, namun kalo pendengar sengaja gak mau tau maksud si penyiar, ya rugi sendiri...
acek mengulang ini berkali2 dengan persepsi yg sama (dan biasanya dithread yg ada nama "morpheus") dan udah dijelaskan berkali2 pula.
udah bohwat ama acek, jadi tujuan saya meluruskan hanya untuk pembaca yg lain.
jadi maksudnya adalah suatu keuntungan belajar "tanpa usaha" ini? keuntungan apakah?keuntungannya akan diketahui sendiri saat anda bermeditasi, apapun merknya...
soal kerugian ya mungkin saya rugi tidak bisa menjadi sekha, yah mungkin karena saya tidak punya usaha untuk belajar MMD sih =))
entahlah apa yang terjadi kalau mereka hidup di jaman sekarang apakah mereka bisa mencapai kesucian, merupakan suatu keberuntungan seseorang bisa hidup bersamaan dengan buda, coba sekarang banyak yang hidup dengan badut hidup khan banyak juga yang jadi badut =))
Bisa saja. Seperti saya bilang, Culapanthaka juga tidak berpikir mau mencapai nibbana atau apa waktu usap-usap wajah. Seperti juga Kisa Gotami juga tidak berpikir tujuan tertentu atau merefleksikan Ajaran Buddha tertentu, hanya mencari biji lada, kok bisa jadi Sotapanna?
Kebenaran itu ada pada segala fenomena, dan Ajaran Buddha menuntun kita untuk menyadarinya. Kebenarannya itu sendiri bukan ada di ajarannya. (Seperti menggunakan cermin untuk pencet bisul di hidung dengan tepat. Bisul itu tidak ada di (hidung) dalam cermin, tapi di hidung kita sendiri.)
Umat Buddha ??~ apa makna nya?
Sering kali ketemu umat Buddha yg full hanya belajar Dhamma , "sinisme" dengan triDhamma , "masa loe percaya hal gtan? " , "lu pikir dgn kertas sembayang mereka bisa nerima?" and blablabala..., bahkan org yang belum pernah menginjak Vihara dan baru mengenal ajaran Buddha segede "upil" begitu sinis dengan TriDhamma . Why ?
om fabi, kalo yg empunya istilah (dalam hal ini, "tanpa usaha") udah menjelaskan maksudnya untuk konteks meditasi, namun pendengarnya ngotot mau mengartikan lain dengan konteks yg berbeda, ya kesalahan bukan pada siaran televisinya, melainkan pesawat televisinya yg rusak.
bahasa memang tidak sempurna, namun kalo pendengar sengaja gak mau tau maksud si penyiar, ya rugi sendiri...
acek mengulang ini berkali2 dengan persepsi yg sama (dan biasanya dithread yg ada nama "morpheus") dan udah dijelaskan berkali2 pula.
udah bohwat ama acek, jadi tujuan saya meluruskan hanya untuk pembaca yg lain.
keuntungannya akan diketahui sendiri saat anda bermeditasi, apapun merknya...yeah mudah2an bisa ketemu guru yang benar, bukan guru yang parah.
entahlah apa yang terjadi kalau mereka hidup di jaman sekarang apakah mereka bisa mencapai kesucian, merupakan suatu keberuntungan seseorang bisa hidup bersamaan dengan buda, coba sekarang banyak yang hidup dengan badut hidup khan banyak juga yang jadi badut =))Konon dari dulu juga sudah banyak 'baddhut-baddhut'. Jadi sebetulnya tidak beda jauh-jauh amat dengan sekarang. Lalu kalau bro ryu bilang 'dulu bisa, sekarang ga bisa', maka berarti dhamma adalah lapuk oleh waktu.
Why must be a Buddhist when we can be a BUDDHA ?why must be a buddhist if we can be a buddha mksdnya ya?
Sepertinya yang ini bukan saya deh ;D
Konon dari dulu juga sudah banyak 'baddhut-baddhut'. Jadi sebetulnya tidak beda jauh-jauh amat dengan sekarang. Lalu kalau bro ryu bilang 'dulu bisa, sekarang ga bisa', maka berarti dhamma adalah lapuk oleh waktu.apakah sekarang ada guru yang bisa seperti buda yang mengetahui cara2 untuk mengajar? diajar langsung oleh buda dengan diajar oleh orang biasa pastinya ada perbedaan.
Menurut saya daripada istilah meditasi "tanpa usaha" yang bisa menyebabkan salah mengerti, mungkin lebih baik diubah menjadi meditasi yang berusaha "melihat apa adanya" (see things as they really are).seperti yg saya bilang bahasa itu tidak sempurna.
Bagi seorang pencandu drugs, retret vipassana memang bisa menghentikan 'sementara' kecanduannya tsb. Namun begitu ia kembali ke kehidupan normalnya, jika ia tidak menjaga sila nya, melatih terus meditasinya dan meningkatkan panna nya, pasti ia akan kembali lagi ke kebiasaannya tsb.saya gak sependapat.
Lagipula, selama berada di retret vipassana, ia terkondisi menjaga silanya (menghindari pembunuhan, menghindari bohong, tidak berhubungan seksual, tidak minuman keras, dll) kan? Otomatis ia menjaga sila sehingga ia bisa berkonsentrasi mengamati keinginannya akan drugs...
Coba saja jika dalam retret vipassana tidak dianjurkan menjaga sila, apakah bisa ia memperhatikan keinginannya akan drugs dan menghentikan sementara keinginan tsb?
iye juga ya, coba pas retreat dikasih drug juga sebagai "cobaan" =))
Bagi seorang pencandu drugs, retret vipassana memang bisa menghentikan 'sementara' kecanduannya tsb. Namun begitu ia kembali ke kehidupan normalnya, jika ia tidak menjaga sila nya, melatih terus meditasinya dan meningkatkan panna nya, pasti ia akan kembali lagi ke kebiasaannya tsb.
Lagipula, selama berada di retret vipassana, ia terkondisi menjaga silanya (menghindari pembunuhan, menghindari bohong, tidak berhubungan seksual, tidak minuman keras, dll) kan? Otomatis saat itu ia telah menjaga sila sehingga ia bisa berkonsentrasi mengamati keinginannya akan drugs...
Coba saja jika dalam retret vipassana tidak dianjurkan menjaga sila, apakah bisa ia memperhatikan keinginannya akan drugs dan menghentikan sementara keinginan tsb?
::
Jika seseorang memang terus-menerus dalam kondisi meditatif, maka tanpa perlu latihan sila pun ia tidak akan melanggar sila. Hal ini karena apa pun yang muncul di pikiran tetap disadari, maka pikiran itu tidak menghanyutkannya untuk memunculkan pikiran dan keinginan yang lebih jauh.
Bagi seorang pencandu drugs, retret vipassana memang bisa menghentikan 'sementara' kecanduannya tsb. Namun begitu ia kembali ke kehidupan normalnya, jika ia tidak menjaga sila nya, melatih terus meditasinya dan meningkatkan panna nya, pasti ia akan kembali lagi ke kebiasaannya tsb.
Lagipula, selama berada di retret vipassana, ia terkondisi menjaga silanya (menghindari pembunuhan, menghindari bohong, tidak berhubungan seksual, tidak minuman keras, dll) kan? Otomatis saat itu ia telah menjaga sila sehingga ia bisa berkonsentrasi mengamati keinginannya akan drugs...
Coba saja jika dalam retret vipassana tidak dianjurkan menjaga sila, apakah bisa ia memperhatikan keinginannya akan drugs dan menghentikan sementara keinginan tsb?
::
saya gak sependapat.
lagian si pecandu ini sembuh secara permanen.
iye juga ya, coba pas retreat dikasih drug juga sebagai "cobaan" =))
Ryu benar, coba saja selama retret 'sila' tidak dipaksakan, dalam arti bebaskan ia membawa heroin dan jarum suntiknya. Masih mampukah ia melihat 'apa adanya' sementara jarum suntik dan heroin menunggu disampingnya?Tidak bisa disamakan antara gangguan yang sifatnya subjektif, dengan pengamalan sila.
Mau tidak mau kita mesti mengakui bahwa 'paksaan kondisi' / moralitas tetap teraplikasikan bahkan dalam retret 'hanya memperhatikan' sekalipun...
::
Tidak bisa disamakan antara gangguan yang sifatnya subjektif, dengan pengamalan sila.ya itulah ada suatu tekad, pengkondisian dll, kalau si orang itu misalnya tiba2 dipindahkan ke hutan di mana tidak ada drug sama sekali apakah dia bisa ketagihan?
Keadaan tanpa narkoba bagi si pecandu adalah sebagai kondisi penunjang saja, bukan masalah pengamalan sila. Ini sama saja seperti seandainya ada orang takut anjing lalu pada retret meditasi, dilepas Pitbull 10 ekor. Apakah dia bisa meditasi? Apakah penjauhan anjing dari tempat meditasi adalah pengamalan sila? Saya pikir tidak, itu hanya penunjang meditasi saja.
ya itulah ada suatu tekad, pengkondisian dll, kalau si orang itu misalnya tiba2 dipindahkan ke hutan di mana tidak ada drug sama sekali apakah dia bisa ketagihan?Sama saja. Jika diasingkan di hutan atau diborgol di ranjang, juga tetap tidak akan mengkonsumsi obat walaupun ketagihan luar biasa. Tapi itu tidak dinamakan menjaga sila.
Tidak bisa disamakan antara gangguan yang sifatnya subjektif, dengan pengamalan sila.
Keadaan tanpa narkoba bagi si pecandu adalah sebagai kondisi penunjang saja, bukan masalah pengamalan sila. Ini sama saja seperti seandainya ada orang takut anjing lalu pada retret meditasi, dilepas Pitbull 10 ekor. Apakah dia bisa meditasi? Apakah penjauhan anjing dari tempat meditasi adalah pengamalan sila? Saya pikir tidak, itu hanya penunjang meditasi saja.
Jika seseorang memang terus-menerus dalam kondisi meditatif, maka tanpa perlu latihan sila pun ia tidak akan melanggar sila. Hal ini karena apa pun yang muncul di pikiran tetap disadari, maka pikiran itu tidak menghanyutkannya untuk memunculkan pikiran dan keinginan yang lebih jauh.
Sdr Kai betul, contoh diatas adalah pengkondisian khusus yg bersifat subjektif. Ini karena contoh yg disodorkan kasus khusus pula (berhasil berhenti dari drugs krn vipassana) dan bahasan saya menunjukkan bahwa pencandu tsb berhasil berhenti drugs tidak semata-mata krn 'mengamati' saja, namun ia berhasil karena ditunjang oleh pengondisian khusus pula (tentu saja disamping sila2 umum lainnya). Bagi seorang bukan pencandu dan hanya mempunyai kekotoran batin umum tentu sila2 umum cukup bagi dia untuk menunjang samadhi dan panna nya.Kalau definisi sila, setahu saya masih terbatas pada aturan perilaku, sama seperti vinaya. Kadang arahat juga masih melanggar vinaya (karena tidak tahu) tetapi tidak dianggap apati karena memang bukan berdasarkan noda bathin. Jika sudah bermain di pikiran, maka kebanyakan sudah masuk dalam ranah samadhi. Misalnya dalam samatha menekan nafsu, ketakutan, kegelisahan, dll. Sementara kalau berkisar Satipatthana, ini menyangkut kebijaksanaan, pemahaman tentang kebenaran. Di sini kebenaran hanyalah kebenaran, sifatnya netral, tidak berpihak, tidak ada penilaian. Memahami kebenaran adalah demikian, maka tidak ada penolakan ataupun pengejaran seperti halnya dalam sila atau samadhi (jhana). Dengan tidak adanya lagi penolakan dan pengejaran, maka tidak ada kemelekatan.
Pengkondisian khusus bagi pencandu adalah menghindari jarum suntik dan drugs, bagi saya ini merupakan sila bagi dia, seperti halnya sila2 umum yg merupakan pengkondisian untuk kekotoran batin yg bersifat umum pula.
Demikian juga bagi seorang pencandu seks, menghindari faktor2 yg dpt mengkondisikan kemelekatan seksualitasnya muncul harus dapat ia lakukan, misalnya: menghindari kawan2 genknya, menghindari pergi ke tempat2 dugem, menghindari membuka situs2 porn, menghindari riutal2 (drugs) yg biasanya memicu seksual berlebihannya itu, dsbnya. Usaha menghindari ini adalah sila khusus bagi dia untuk kebiasaan khususnya tsb.
Satu contoh lagi, bagi alcoholic, untuk berhenti ia harus menghindari teman2 tempat ia berkumpul biasanya minum, ia harus menghindari membeli botol2 minuman di duty-free, ia harus menghindari saat2 bermenung sendiri di malam hari, jadi ia harus tau sendiri sila khusus bagi kebiasaan buruk khusus dia.
Bagi saya, SILA berarti Usaha untuk menghindari faktor2 pemicu kebiasaan buruk kita yg telah kita sadari dan ingin kita kikis
Panna= mengetahui bahwa kebiasaannya tsb tidak bermanfaat/merugikan
Sila= berusaha menghindari faktor2 pemicunya kapan perlu mengekangnya
Samadhi= menyadari ketika keinginan itu muncul
::
Justru itu, bagi sebagian besar umat awam, belum terlatih untuk terus menerus dalam kondisi meditatif. Jadi, sebelum ia piawai untuk terus menerus dalam kondisi sadar ini, apa yg harus ia lakukan? Pantaskah jika kita sarankan dia untuk "tidak perlu sila" "sadari sajalah"... menurut saya hal ini tidak akan berhasil.Seperti selalu saya katakan, memang betul orang tidak perlu sila JIKA DAN HANYA JIKA dia bisa terus menerus dalam keadaan meditatif tanpa terputus.
Bagi seorang awam, ia tetap memerlukan Sila. Tentu saja bukan Sila asal Sila, seperti sepuluh perintah allah: melakukan Sila karena perintah Buddha. Melainkan menjalankan sila karena paham untuk tujuan apa ia melakukan itu dan sadar saat ia melakukannya.
Sila sy pahami sebagai Usaha untuk menghindari hal2 yg merugikan/yg dpt memicu/tidak bermanfaat bagi batin (yg sebelumnya telah disadari terlebih dahulu).
::
nemu dari facebook:entah apa jadinya seandainya si pecandu musti mengikuti pelajaran berjenjang2 dulu, mulai dari tiratana, sila, karma, punarbhava, tilakkhana, dst.QuoteYOE TJIARA
sekedar sharing....
ada seorang pecandu narkotika berat, menggunakan heroin dengan jarum suntik, setiap hari kerjanya hanya "teler", dan jika tidak ada uang maka dia mencuri, berbohong, merampok demi mendapatkan uang untuk membeli heroin supaya "teler" lagi.
seluruh perbuatan "Bejat" sudah dia lakukan..
jelas sekali orang ini tidak menjalankan sila, bahkan mungkin sudah melupakannya.
dalam kondisi kecanduan berat, sakit fisik dan sakit psikis, orang ini berhasil sampai ke Dhammadipa Arama Malang.
Heroin trakhirnya dia suntikkan sesaat sebelum memasuki halaman Dhammadipa Arama Malang dan menemui Bhante Khantidharo MT.
biasanya, seoarang pecandu heroin (putau) berat, akan merasa sakit yg luar biasa pada sekujur tubuhnya, kedinginan (meng-gigil ) tapi terus berkeringat jika tidak mengkonsumsi heroin lagi dalam waktu antara 3 s/d 6 jam
pada saat proses kecanduan ini muncul, pikiran nya pasti hanya tertuju pada "bagaimana saya mendapatkan heroin lagi"
pada saat seperti itu, tentunya "tidak mungkin" dapat menjalankan sila dengan baik.
tetapi pada saat bertemu bhante Khanti, beliau hanya meminta untuk "memperhatikan" semua kondisi itu, dan beberapa petunjuk Vipassana dengan metode Mahasi Sayadaw.
Ajaib tapi bukan magic, orang ini sembuh dari kecanduannya setelah mengikuti Vipassana selama 11 hari di Dhammadipa.
pada kasus ini, jelas sekali bahwa tidak diperlukan landasan sila untuk dapat melaksanakan Vipassana.
Justru pada saat melaksanakan Vipassana itulah kita sedang dan sudah melaksanakan Sila dan Samadhii yg benar...
diceritakan dengan sebenarnya, dari sumber yg dapat dipercaya
entah apa jadinya seandainya si pecandu musti mengikuti pelajaran berjenjang2
Sama saja. Jika diasingkan di hutan atau diborgol di ranjang, juga tetap tidak akan mengkonsumsi obat walaupun ketagihan luar biasa. Tapi itu tidak dinamakan menjaga sila.seperti yang dikatakan om wili, sila itu sesuatu yang disadari/usaha untuk menghindari / mengkondisikan seseorang untuk tidak melanggar hal2 yang tidak diperbolehkan.
Kadang jika kita bicara dalam lingkup meditasi, banyak hal yang relevansinya menjadi kabur. Jika kita bicara dalam kehidupan sehari-hari di luar meditasi, baru lebih jelas.
Kisah pecandu yang lepas itu diangkat oleh bro morph dengan maksud seseorang bisa memperoleh manfaat Ajaran Buddha i.e. Satipatthana, tanpa perlu terlebih dahulu mengenal Agama Buddha secara keseluruhan (yang membahas sila, JMB 8, 31 alam, dsb).wah, pembahasannya jadi kemana-mana...
Mau memberi sekedar komentar, saya mengenal orang yang dimaksud dalam postingan bro Morpheus, artikel mengenai dia dulu pernah dimuat di majalah Dhammacakka. Saya bertemu secara langsung dengan dia di Jakarta.sepertinya yg anda kenal itu orang yg berbeda.
Sekarang dia telah menjadi Bhikkhu selama beberapa tahun mungkin sudah Thera sekarang.
...
Ia memang pecandu juga, oleh Bhante Khanti ia diberi obat tradisional untuk detoksifikasi, saya lupa ketika itu ia pecandu putaw atau shabu-shabu, tetapi menurut yang saya dengar bukan heroin.
...
Didalam kehidupan "saya" yang sekarang ini, saya pernah masuk dalam dunia
"bayang-bayang", selama hampir 5 tahun saya kecanduan Heroin ( Putaw )
dengan dosis yang sangat parah, segala cara dan upaya serta obat sudah
pernah dicoba untuk "penyembuhan" saya, tapi yang aneh (kata sebagian
orang) saya justru sembuh "hanya(?)" dengan mengikuti serangkaian kegiatan
Meditasi di sebuah padepokan di kota Malang, yang saya kenal sebagai
meditasi Vippasana Bhavana.
Pada 3 kali pertama saya mengikuti kegiatan ini, saya merasakan suatu
keadaan yang "luar biasa", sehingga sulit untuk saya gambarkan dengan
kata-kata, pada orang-orang yang sedang dalam keadaan kecanduan seperti
kondisi saya pada saat itu, kondisi fisik dan jiwa berada pada tahap "yang
terburuk" yang dapat dimiliki oleh orang normal, rasa sakit pada fisik dan
gelisah pada jiwa sangat sulit dihentikan dan di kontrol pada saat itu.
Tapi pada saat saya bermeditasi tak ada perasaan itu, semua "hilang(?)"
atau bahkan dianggap "biasa(?)" oleh kesadaran saya, menjadikan semua itu
sebagai "bukan apa-apa" atau "bukan suatu hal yang harus dikhawatirkan(?)",
pada saat itu saya melewati 3 bulan pertama saya "tanpa obat apapun" untuk
melewati hari-hari saya. mungkin ini kuncinya, ketika kesadaran kita
mengenal dengan benar "siapa dan bagaimana" keadaan fisik dan jiwa kita
yang sebenarnya, pada saat itulah kesadaran kita menolak untuk "memiliki"
keadaan itu lagi, sehingga kita mendapatkan suatu keadaan "tenang" yang
sulit untuk digambarkan, mungkin ada istilah-istilah lain pada tehnik
meditasi untuk menggambarkan keadaan ini, tapi saya tidak berani untuk
"mengklaim" kalau saya sudah melewati batasan itu, buat saya semua itu
hanyalah suatu proses yang tak perlu diberi nama.
Yang sangat berkesan justru pada saat itu instruktur saya mengatakan kalau
apa yang saya dapatkan belumlah apa-apa, melepaskan diri dari
ketergantungan pada obat-obatan bukanlah hal "besar", mendapatkan
ketenangan yang luar biasa bukanlah tujuan akhir dari tehnik meditasi ini,
masih banyak yang dapat kamu pelajari jika kamu bisa "melewati" dan
"melepaskan" ketenangan itu, begitu menurut instruktur saya, menarik bukan ?
saya merasa tertarik dengan perkataan itu, saya mencoba mengikuti latihan
itu lagi, mungkin sudah lebih dari 6 Kali saya mengikuti pelatihan di
padepokan itu dan ternyata perkataan instruktur saya itu benar, bahwa
sebagian besar dari kita yang pernah melakukan meditasi justru "melekat"
dan "kecanduan" pada "ketenangan" yang kita dapatkan pada saat bermeditasi
(dengan tehnik apaun), justru "kecanduan" pada "ketenangan" lebih
membutakan pikiran dari pada "kecanduan putau(?)". walaupun apa yang saya
dapat pada saat itu (sampai sekarang) menurut saya bukanlah suatu hal
"besar", karena sebenarnya itu sudah ada dan kita miliki sebelumnya, tapi
hal itu menjadi hal yang saya anggap "baik" untuk menghadapi berbagai
dualisme dalam kehidupan kita ini, tentu saja pengalaman saya dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi mereka yang sedang dalam usaha untuk
melepaskan diri dari segala jenis "kecanduan" akan segala hal.
Sekarang ini saya sudah melewati tahun ketiga tanpa "kecanduan" lagi akan
banyak hal, walaupun saya akui masih banyak hal lain yang belum dapat saya
lepaskan dari kehidupan saya. Apapun namanya yang saya dapatkan dari hasil
meditasi itu, saya lebih senang menamakan "Pengetahuan yang benar" tentang
"Hidup" dan "Kehidupan", karena dengan pengetahuan itu kita menjadi lebih
baik dan benar dalam berpikir dan bertindak, tapi terlepas dari apapun
namanya itu, saya yakin Bapak dan teman-teman yang lain mengetahui apa yang
saya maksudkan, untuk yang belum mengetahuinya, mengapa tidak mencoba ?!.
Bro Landy yang baik, Ajaran Sang Buddha sangat dalam, jangankan umat Buddha yang baru mengenal, bahkan umat Buddha yang sudah banyak mengenal Ajaran Sang Buddha sekalipun terkadang masih perlu belajar.
Mettacittena,
Yang dibicarakan sebelumnya di sini adalah konteks seseorang menangguhkan latihan dan pelajaran karena alasan parami belum cukup. Jadi mesti sila dulu dipupuk walaupun entah siapa yang tahu sudah cukup atau belum. Menurut saya, ini adalah hal yang salah. Sila-Samadhi-Panna, ketiganya adalah untuk dipelajari dan dilakukan sekarang juga. Idealnya, ketiga hal ini saling mendukung dan berkembang bersamaan.
Kisah pecandu yang lepas itu diangkat oleh bro morph dengan maksud seseorang bisa memperoleh manfaat Ajaran Buddha i.e. Satipatthana, tanpa perlu terlebih dahulu mengenal Agama Buddha secara keseluruhan (yang membahas sila, JMB 8, 31 alam, dsb).
vipasananya langsung praktek tanpa ajaran buda sama sekali.vipassananya di mana?
Kalau definisi sila, setahu saya masih terbatas pada aturan perilaku, sama seperti vinaya. Kadang arahat juga masih melanggar vinaya (karena tidak tahu) tetapi tidak dianggap apati karena memang bukan berdasarkan noda bathin. Jika sudah bermain di pikiran, maka kebanyakan sudah masuk dalam ranah samadhi. Misalnya dalam samatha menekan nafsu, ketakutan, kegelisahan, dll. Sementara kalau berkisar Satipatthana, ini menyangkut kebijaksanaan, pemahaman tentang kebenaran. Di sini kebenaran hanyalah kebenaran, sifatnya netral, tidak berpihak, tidak ada penilaian. Memahami kebenaran adalah demikian, maka tidak ada penolakan ataupun pengejaran seperti halnya dalam sila atau samadhi (jhana). Dengan tidak adanya lagi penolakan dan pengejaran, maka tidak ada kemelekatan.
seperti yang dikatakan om wili, sila itu sesuatu yang disadari/usaha untuk menghindari / mengkondisikan seseorang untuk tidak melanggar hal2 yang tidak diperbolehkan.Tidak diperbolehkan oleh siapa?
dalam lingkup meditasi seseorang otomatis tidak melakukan pelanggaran sila (entah kalau pikiran nya kemana2 maka dia mungkin saja khan melakukan pelanggaran).Ya, betul. Tidak bisa dipukul rata, maka tidak bisa dikatakan 'tidak bisa tanpa sila'.
ada orang yang mengagungkan tanpa landasan sila seseorang bisa melakukan vipasana (ya memang betul semua bisa saja tapi hasilnya khan berbeda2 tergantung orangnya tidak bisa dipukul rata)
intinya adalah dalam kehidupan sehari2 kalau memang seseorang "bisa" vipasana terus sepanjang hidupnya ya sila khan memang terjaga, sila bisa juga jadi penunjang seseorang maju dalam vipasana."Sila" atau "bukan sila" juga hanyalah kita yang mengkonsepkan. Kalau membahas lingkup tertentu, sila juga sebetulnya antara 'ada' dan 'tidak ada'. Katakanlah seorang sekuler murni+atheis/agnostik yang sama sekali tidak bersentuhan dengan agama, tidak mengembangkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin; dan karenanya, tidak pernah mencuri, membunuh, dll. Kalau ditanyakan ke orang itu apakah ia menjalankan 'sila', mungkin dia bingung luar biasa makhluk apakah "sila" itu. Di sini bisa dilihat bahwa sesuatu perbuatan dinilai 'sila' atau 'bukan sila' tergantung orang yang menilainya. "Keberadaannya" masih sangat kasar.
saya mau tanya, apakah hasil dari vipasana memang selalu baik hasilnya? silanya pasti benar?Jika vipassananya memang benar, saya rasa pasti hasilnya baik. Kalau bertambah buruk, tentu meragukan. Tetapi apakah pasti silanya benar? Kembali lagi seorang Mahasavaka yang terkemuka karena dikasihi para deva, masih 'berkata kasar' dengan memanggil orang "vasala" (=kasta paria, terbuang). Jika tetap berkutat pada 'ini sila, ini bukan', maka akan kesulitan untuk ke jenjang berikutnya.
Mbah Fabian yang baik, BRO harus ganti SIS :))
Kisah pecandu yang lepas itu diangkat oleh bro morph dengan maksud seseorang bisa memperoleh manfaat Ajaran Buddha i.e. Satipatthana, tanpa perlu terlebih dahulu mengenal Agama Buddha secara keseluruhan (yang membahas sila, JMB 8, 31 alam, dsb).
Mengambil contoh seseorang yg berhasil lepas dari jeratan kecanduan untuk menunjukkan bahwa Ajaran Buddha bisa bermanfaat tanpa perlu pemahaman doktrinal, menurut saya tidak relevan. Karena melalui jalan lain-pun bisa, seperti yg dicontohkan Bro Ryu: melalui 'Kasih Tuhan' pun ada yg berhasil lepas dari kecanduan, beberapa melalui pusat rehabilitasi pun bisa.judul topiknya adalah "Belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha". kisah di atas mengenai orang yg belajar vipassana dan mengambil manfaatnya tanpa harus mengambil sistematika doktrinal yg disyaratkan untuk menjadi umat buddha secara formal / skolastik (dari tiratana, pancasila, dst), bisa dikatakan relevan dengan topik. imo, si mantan pecandu itu lebih buddhis daripada umat buddha kebanyakan.
Sepaham Bro. Saya setuju bahwa seseorang akan bisa mendapatkan manfaat Ajaran Buddha tanpa perlu melalui jenjang2 doktrinal.Lucunya, tentang tripod itu, entah bagaimana kemarin terlintas dalam pikiran, tetapi karena memikirkan banyak hal, saya tidak jadi tulis. ;D
Juga sepaham soal Sila-Samadhi-Panna adalah suatu kesatuan yg tidak bisa dibeda2kan mana yg lebih dahulu, dalam hitungan waktu permili detik ketiga2nya saling menunjang dan menguatkan, juga melemahkan salah satunya akan melemahkan dua yg lainnya. S.N. Geonka pernah mengatakan bahwa Sila-Samadhi-Panna ibarat tripod berkaki tiga.
::
IMO,Contoh kasus, misalnya ada seorang yang pikirannya dikuasai kebencian luar biasa, maka dalam meditasinya, ia tidak bisa berkonsentrasi. Tetapi juga ia menahan diri dari menyalurkan kebencian itu, maka ia tidak membunuh orang yang dibencinya, walaupun sangat ingin. Kalau menurut saya, dalam hal itu ada sila, namun tidak ada Samadhi dan Panna. Menurut bro wili bagaimana?
Sila tidak hanya terbatas pada aturan perilaku, melainkan harus diiringi Samadhi dan Panna.
Jadi, terkait pembahasan sebelumnya bahwa Sila-Samadhi-Panna adalah sejalan, termasuk dalam hal ini, bahwa dalam praktik Sila sendiri, terdapat samadhi-panna (tidak terpisah).
Tahapannya, sebelum Sila (ucapan, perbuatan, pencarian benar) dilakukan, dibutuhkan pemahaman dan pikiran yg benar akan manfaat dan kenapa sila tsb mesti dijalankan (panna), juga dibutuhkan perhatian dan konsentrasi saat Sila perlu dijalankan (samadhi).... Jadi, dalam tahapan singkat sebuah 'kelakuan' kita, yg kita sebut Sila, sebenarnya sudah terdapat praktik Sila-Samadhi-Panna atau juga boleh disebut JMB-8.Kalau patokannya dari JMB8, saya masih tidak cocok dengan beberapa hal. Misalnya Pandangan Benar (Samma Ditthi) adalah yang berhubungan dengan paham Buddhisme yang unik. Sementara Ucapan Benar (Samma Vaca) dalam definisinya tidak ada sangkut pautnya dengan samma ditthi. Kita bisa menemukan dengan gampang orang non-Buddhis yang memiliki ucapan benar. Dari sini saya lihat perbuatan benar belum tentu dibarengi dengan pandangan benar.
Bagi praktisi pemula, semua praktik ini akan tersendat-sendat, masih perlu dipikirkan, dilatih... bagi orang lain si praktisi terlihat sebagai 'berusaha untuk berbuat benar/tidak benar2 berbuat benar', namun tentu kita mesti adil untuk membiarkan dia melatih diri sampai piawai, ia melatih Sila, dan juga bermeditasi menguatkan konsentrasinya dan selalu berusaha meningkatkan panna-nya hingga selapis demi selapis ia mengikis kekotoran batinnya dan piawai untuk selalu dalam kondisi meditatif (selalu dalam kondisi melihat segala sesuatu sebagaimana adanya dan otomatis bertindak benar tanpa perlu diusahakan)...Betul. Kalau orang pukul rata 'tidak perlu sila' pada semua orang, itu seperti seorang ayah yang dungu berkata pada dua anaknya, "ga usah belajar IPA, langsung fisika kuantum saja!" Sementara anak yang satu sudah kuliah, satu lagi masih SD.
Bagi sebagian meditator, mereka mengajarkan jalan ringkas untuk itu, namun bagi sebagian lagi akan menerangkan bahwa ada latihan yg harus dijalankan (bisa karena biasa), semuanya kembali ke kondisi mental masing2 saja, mana yg lebih cocok terapannya. Namun saya tetap berprinsip, jalan apapun yg ditempuh: Sila-Samadhi-Panna (JMB-8) tetap terkandung dalam praktiknya tsb.Ya, sepertinya memang semua kembali pada diri masing-masing saja, yang penting berusaha menyadari kekurangan dan potensi diri sendiri agar bisa pilih jalan yang sesuai, bukan cuma ikut2an.
::
judul topiknya adalah "Belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha". kisah di atas mengenai orang yg belajar vipassana dan mengambil manfaatnya tanpa harus mengambil sistematika doktrinal yg disyaratkan untuk menjadi umat buddha secara formal / skolastik (dari tiratana, pancasila, dst), bisa dikatakan relevan dengan topik. imo, si mantan pecandu itu lebih buddhis daripada umat buddha kebanyakan.
bagaimana praktek dan teknik lain juga bisa membebaskan kecanduan heroin tidaklah relevan di topik ini.
saya kasih kasus lain, ini juga tanpa doktrin berjenjang :Ada sebuah perbedaan mendasar dalam 'vipassana'-nya. ;D Ini adalah perbedaan yang paling utama:
Kisah Nyata Billy Glen – Artis Pecandu Narkoba
Saturday, 20 December 2008, 3:33 | Category : Pemulihan, Pertobatan
Tags : artis dan narkoba, Diskotik, kejamnya narkoba, Kesaksian, Kisah Nyata, Minuman Keras, Narkoba, Pertobatan, Seks Bebas
Aku lahir dari sebuah keluarga yang sangat taat pada Kristus. Sejak kecil aku rajin ke gereja dan ibuku selalu menanamkan dasar-dasar iman Kristus kepadaku.
Tahun 1995, pada suatu kesempatan yang luar biasa, aku mengikuti sebuah ajang pemilihan top model di Bandung. Selama proses audisi, aku selalu berdoa pada Tuhan meminta agar aku keluar sebagai pemenangnya. Dan ternyata Tuhan memang baik, Ia menjawab doaku. Aku terpilih menjadi juara pertama. Setelah memenangkan ajang tersebut, kesempatanku untuk masuk ke dunia model semakin besar. Perjalanan karierku sebagai seorang model berjalan dengan sangat lancar. Aku percaya bahwa ini semua berkat pertolongan Tuhan dan aku selalu menyempatkan waktu untuk berdoa kepada Tuhan. Karierku semakin berkembang, banyak job dari Jakarta. Situasi ini membuatku memutuskan untuk tinggal di sana saja.
Meraih Kesuksesan
Ternyata di Jakarta karierku berkembang dengan sangat baik. Bahkan aku mulai memasuki dunia akting sinetron. Dengan berbekal pengalaman di bidang taekwondo yang sejak kecil digeluti, aku berhasil menapaki dunia akting dengan peran pertamaku sebagai peran pembantu utama. Aku pun berhasil mendapatkan peran dalam film layar lebar yang sangat terkenal saat itu, Ca Bau Kan. Disaat teman-temanku harus berjuang keras dalam dunia entertainment ini, jalanku justru sangat mulus. Aku sangat merasakan kemurahan Tuhan yang luar biasa dalam hidupku. Tahun 2002, aku mendapat peran utama dalam sebuah sinetron yang terkenal. Saat itulah aku meraih titik puncak kesuksesanku dan mendapatkan kontrak yang bernilai sangat besar.
Melupakan Tuhan
Namun, kemurahan Tuhan dan kesuksesanku itu justru membuatku semakin menjauh dari Tuhan. Kesibukanku justru membuatku tidak memiliki waktu untuk berdoa dan mendekat padaNya. Aku mulai merasa mampu hidup tanpa Dia. Aku benar-benar membuang Tuhan jauh-jauh dari hidupku. Saat itulah, kuasa kegelapan mulai masuk dalam hidupku. Aku mulai terbawa arus pergaulan yang buruk. Diskotik, minuman keras, bahkan jenis narkoba seperti extacy, ganja, kokain, dan shabu-shabu selalu ada di setiap hari-hariku. Honor dari pekerjaanku itu kuhabiskan untuk berfoya-foya sehingga aku pun terjerumus dalam pergaulan seks bebas.
Tertangkap Polisi
September 2002, aku tertangkap polisi. Ketika baru saja pulang dari syuting sebuah sinetron, aku meminta temanku untuk membelikan sejenis narkoba. Polisi ternyata telah mengincar temanku itu sehingga ia tidak bisa melarikan diri lagi. Setelah ditangkap, atas pengakuannya polisi memintanya untuk menjebakku. Seperti yang telah mereka rencanakan, akhirnya aku pun ditangkap dan harus menjalani masa tahanan selama 8 bulan. Dalam situasi ini kesombongan masih kuat menguasaiku sehingga aku tidak menyadari kesalahan, sebaliknya malah selalu mempersalahkan Tuhan. Sebagai seorang artis yang sudah dikenal, aku sering menerima pujian. Tetapi semuanya berubah menjadi hinaan karena tindakan kriminalku ini. Walaupun aku tahu bahwa narkoba itu tidak baik bagi masa depanku, tetapi keterikatanku dengan obat jahat itu membuatku terus mengkonsumsinya sekalipun berada dalam penjara.
Bebas dan Tertangkap Lagi
Setelah masa 8 bulan tahanan itu selesai, aku kembali mulai merintis karierku di dunia sinetron. Namun kesombongan itu tetap mengendalikan pikiranku. Aku sama sekali tidak tergerak untuk bertobat, justru semakin kecanduan dengan obat-obatan. Akhirnya, aku boleh dikatakan menjadi lebih bodoh dari orang bodoh…karena orang bodoh pun tidak akan masuk ke lubang yang sama. Pukul 12 malam itu, ketika sedang berpesta drugs di sebuah tempat di kota Bekasi, bersama teman-teman pecandu, polisi pun mengetahui aksi kami ini dan kami pun digelandang ke tahanan setempat. Aku harus mendekam lagi selama 7 bulan di penjara Bulak Kapal Bekasi.
Ingat Tuhan?
Dalam penjara, pengalaman memalukan ini membuatku merenungkan kasih Tuhan yang besar dalam hidupku. Di saat aku meninggalkanNya, Ia tidak membiarkanku terjebak terus-menerus dalam jurang dosa, justru berusaha menegurku bahkan sampai 2 kali agar aku berbalik kembali kepada jalanNya. Akupun teringat tulisan dalam Wahyu 3: 9 yang mengatakan “Barangsiapa Kukasihi, ia kuhajar. Sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah.” Aku langsung menangis histeris dan menyadari bahwa Tuhan begitu baik bagiku. Walaupun aku telah menjauh dariNya, bahkan seringkali menyalahkanNya, namun Ia tidak pernah meninggalkanku dan tetap mengakuiku sebagai anakNya. Ia ingin agar aku bertobat sebelum semuanya terlambat. “Tuhan, Engkau sangat baik bagiku. Kau tidak membiarkanku tenggelam dalam lumpur dosa. Kau tidak membiarkan narkoba itu merenggut nyawaku dan membawaku ke dalam kematian. Terima kasih untuk kesempatan ini. Aku ingin menjadi hambaMu yang taat dan setia di dalam Engkau…” Saat itu aku benar-benar bertobat. Yang berbeda dalam masa tahananku kali ini ialah, sebelumnya aku ditahan dengan rasa kekuatiran dan kemarahan, namun kali ini aku lebih banyak mengucap syukur dan berusaha untuk menjalani dengan sukacita hari-hari dalam tahanan itu sampai akhirnya, 31 Desember 2005, aku selesai menjalani masa tahananku.
Titik balik kehidupanku
1 Januari 2006, hari yang paling bersejarah untukku karena hari itu aku memutuskan untuk memulai kehidupan baru dengan Tuhan Yesus yang akan terus menuntunku dalam tiap langkahku. “Tuhan, ajar aku melakukan segala yang Kau inginkan untuk aku jalani dalam hidupku ini…” pintaku kepadaNya.
Sebagai jawaban doaku, Ia menempatkanku dalam sebuah komunitas rohani di daerah Kelapa Gading. Dan aku juga kembali memulai karierku di dunia entertainment dengan cara hidupku yang baru dalam Kristus. Aku juga ambil bagian dalam pelayanan untuk menyaksikan betapa besar kasihNya bagiku karena Ia telah menghajar dan menegurku saat aku hampir tenggelam dalam lembah maut demi menyelamatkan hidupku. Lingkungan pergaulanku yang baru ini juga membuatku merasa sangat damai dan tentram. Ada sukacita yang kurasakan dalam hari-hariku, yang tidak pernah kurasakan sebelumnya ketika aku masih hidup dalam kenikmatan dunia. Hal yang membanggakan bagiku ialah, melalui pertobatan dan pemulihanku ini, ayahku yang dulu belum sungguh-sungguh di dalam Tuhan kini mengambil keputusan untuk menjadi orang kr****n sejati.
vipasananya langsung praktek tanpa ajaran buda sama sekali.
Ini adalah tricky topic, karena sulit menentukan batasan yang bagaimanakah yang dapat disebut sebagai umat Buddha....?wah, sukar dipercaya om fabian tidak tau jawabannya ;D
Bhikkhu di jaman Sang Buddha hanya mengambil perlindungan pada Tiratana, apakah Mereka umat Buddha atau bukan...?
judul topiknya adalah "Belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha". kisah di atas mengenai orang yg belajar vipassana dan mengambil manfaatnya tanpa harus mengambil sistematika doktrinal yg disyaratkan untuk menjadi umat buddha secara formal / skolastik (dari tiratana, pancasila, dst), bisa dikatakan relevan dengan topik. imo, si mantan pecandu itu lebih buddhis daripada umat buddha kebanyakan.
bagaimana praktek dan teknik lain juga bisa membebaskan kecanduan heroin tidaklah relevan di topik ini.
vipassananya di mana?merenungkan kasih Tuhan =))
hubungannya dengan topik thread ini apa?
wah, sukar dipercaya om fabian tidak tau jawabannya ;D
menurut om fabian, apakah yg dianggap sebagai umat buddha secara formal dalam tradisi theravada saat ini?
saya yakin anda bisa menjawabnya dalam 0.0000001 detik.
Ini adalah tricky topic, karena sulit menentukan batasan yang bagaimanakah yang dapat disebut sebagai umat Buddha....?Betul juga. Definisi 'menjadi umat Buddha' di sini juga belum didefinisikan, sementara pendapat orang pasti beda-beda.
Bhikkhu di jaman Sang Buddha ada yang hanya mengambil perlindungan pada Tiratana, apakah Mereka umat Buddha atau bukan...?
Mettacittena
mohon penjelasan lanjut mengenai kalimat Bold di atas, agar pembaca yg bukan pencandu tidak berusaha untuk menjadi mantan pencandusaya yakin pembaca dan bang indra cukup cerdas dan mengerti maksudnya.
merenungkan kasih Tuhan =))oh, ternyata buat acek ryu, merenungkan kasih tuhan itu vipassana...
kalau mau di hubung2kan sih bisa saja. ini selaras ini tidak, ini sila ini bukan, ini ajaran buda ini bukan, ketika seseorang memang dikondisikan seperti kasus diatas (penjara) maka tanpa guru pun dia merenung sendiiri tuh, tanpa "vipasana ajaran buda" tapi vipasana ajaran tuhan, dia berhasil menyembuhkan sendiri lebih hebat khan, tanpa biku atau pendeta, tanpa meditasi, sila dan tetek bengek lainnya.
Tidak diperbolehkan oleh siapa?banyaklah, oleh norma agama, norma sosial, hati nurani ;D
Ya, betul. Tidak bisa dipukul rata, maka tidak bisa dikatakan 'tidak bisa tanpa sila'.ya :)
"Sila" atau "bukan sila" juga hanyalah kita yang mengkonsepkan. Kalau membahas lingkup tertentu, sila juga sebetulnya antara 'ada' dan 'tidak ada'. Katakanlah seorang sekuler murni+atheis/agnostik yang sama sekali tidak bersentuhan dengan agama, tidak mengembangkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin; dan karenanya, tidak pernah mencuri, membunuh, dll. Kalau ditanyakan ke orang itu apakah ia menjalankan 'sila', mungkin dia bingung luar biasa makhluk apakah "sila" itu. Di sini bisa dilihat bahwa sesuatu perbuatan dinilai 'sila' atau 'bukan sila' tergantung orang yang menilainya. "Keberadaannya" masih sangat kasar.itulah diperlukan panna, dimana kalau hanya "membeo" maka guru nya suruh terjun ke jurang diikuti juga lah =))
Jika vipassananya memang benar, saya rasa pasti hasilnya baik. Kalau bertambah buruk, tentu meragukan. Tetapi apakah pasti silanya benar? Kembali lagi seorang Mahasavaka yang terkemuka karena dikasihi para deva, masih 'berkata kasar' dengan memanggil orang "vasala" (=kasta paria, terbuang). Jika tetap berkutat pada 'ini sila, ini bukan', maka akan kesulitan untuk ke jenjang berikutnya.
saya yakin pembaca dan bang indra cukup cerdas dan mengerti maksudnya.
kalo gak, yah saya rasa penjelasan apapun gak bisa membuat mereka mengerti...
oh, ternyata buat acek ryu, merenungkan kasih tuhan itu vipassana...
dan setahu saya konteks dan topiknya adalah "belajar agama buddha tanpa harus menjadi umat buddha".
Kalau saya pribadi beranggapan walau hanya berlindung pada Tiratana sudah dianggap umat Buddha, walaupun ia tak pernah belajar Dhamma.klop. kalo secara formal mulai dari upasaka-upasika sampai pada bhikkhu-bhikkhuni.
Ada sebuah perbedaan mendasar dalam 'vipassana'-nya. ;D Ini adalah perbedaan yang paling utama:sama seperti meditasi perenungan, memusatkan pada satu konsentrasi, yang ini pada tuhan, dlam budis khan ada yang pada nafas, pada budo dll, dia juga merefleksikan apa yang di alaminya khan ;D
- Dalam 'vipassana' yang satu, harus mengenal satu sosok dari satu kitab, agar bisa berhasil.
- Dalam 'vipassana' yang satu lagi, tidak perlu mengenal sosok tertentu, kitab tertentu, aturan tertentu. Hanya perlu merefleksikan apa yang memang dialaminya dalam hidup.
jujur saya mungkin telah salah memahami ketika pertama kali membaca, saya menangkap bahwa seorang mantan pencandu lebih baik daripada umat buddhis kebanyakan. benarkah pemahaman saya?sebenernya bisa saja, umat lain yang kelakuannya lebih baik, dia aladam di banding umat budis yang ngedrug, maka umat lain itu lebih budis daripada umat budis itu sendiri =))
saya yakin pembaca dan bang indra cukup cerdas dan mengerti maksudnya.kalau dalam postingan om kutu, biasanya dia bilang ada orang pedalaman yang tidak mengenal ajaran apapun tapi tindakannya aladam, maka dia lebih budis daripada umat budis kebanyakan ;D
kalo gak, yah saya rasa penjelasan apapun gak bisa membuat mereka mengerti...
oh, ternyata buat acek ryu, merenungkan kasih tuhan itu vipassana...
dan setahu saya konteks dan topiknya adalah "belajar agama buddha tanpa harus menjadi umat buddha".
Barusan saya lihat status di FB yang menghimbau agar seseorang belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha. Dalam himbauan tersebut, ada semacam kesan seakan-akan seseorang akan memperoleh manfaat yang diharapkan dengan mempelajari ajaran Buddha meskipun ia sendiri berasal dari agama lain. Pertanyaannya, benarkah dengan masih mengakui agama lain sebagai agamanya, seseorang benar-benar akan memperoleh manfaat yang semestinya dengan mempelajari ajaran Buddha?
_/\_
Saya berpendapat, tergantung harapan orang tersebut mengenai apa. Jika harapannya agar uang turun dari langit, maka baik menjadi umat buddha sepenuhnya ataupun belajar agama Buddha tapi masih mengakui agama lain, tetap saja ia tidak akan memperoleh manfaatnya, uang tidak akan turun dari langit.
sama seperti meditasi perenungan, memusatkan pada satu konsentrasi, yang ini pada tuhan, dlam budis khan ada yang pada nafas, pada budo dll, dia juga merefleksikan apa yang di alaminya khan ;DKalau meditasi perenungan, belum tentu selalu objeknya adalah apa yang dialami. Misalnya perenungan terhadap deva, itu hanya dari 'denger-denger' dan 'baca-baca' saja. Begitu juga perenungan kematian juga bukan kita yang mengalami. Lagipula perenungan yang seperti itu termasuk dalam Samatha, bukan Satipatthana.
kalau dalam postingan om kutu, biasanya dia bilang ada orang pedalaman yang tidak mengenal ajaran apapun tapi tindakannya aladam, maka dia lebih budis daripada umat budis kebanyakan ;DBetul. "Buddha" sendiri artinya 'tercerahkan', maka orang yang menempuh jalan menuju 'tercerahkan' itu yang dikatakan 'Umat Buddha', bukan orang yang tidak menempuh jalan tersebut, walaupun bisa saja orang itu hafal tipitaka dan sudah di-tisarana.
Menurut saya bila seseorang tidak mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha, maka tentu saja perjalanannya tidak akan secepat dibandingkan bila ia mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha.Menurut saya bisa jadi justru sebaliknya. Yang namanya kebenaran itu adalah netral. Apakah orang percaya atau tidak percaya, selama dia menyelidiki, tetap ia akan melihat kebenarannya. Sama seperti orang mengulurkan tangan untuk merasakan api, apakah dia percaya atau tidak percaya, pasti akan merasakan panas. Begitu juga orang percaya atau tidak omongan Buddha, selama dia benar menyelidiki dan mengikis keserakahan, kebencian & kebodohan bathin, dia pasti lebih bahagia.
Mettacittena,
Kalau meditasi perenungan belum tentu apa yang dialami. Misalnya perenungan terhadap deva, itu hanya dari 'denger-denger' dan 'baca-baca' saja. Begitu juga perenungan kematian juga bukan kita yang mengalami. Lagipula perenungan itu termasuk dalam Samatha, bukan Satipatthana.
Dalam satipatthana, yang dijadikan objek itu tubuh, perasaan, pikiran, dan bentuk pikiran. Semua orang pasti tahu. Beda dengan kalau perenungan pada 'Tuhan', lagi-lagi orang sekuler tidak tahu apa itu Tuhan.
Betul. "Buddha" sendiri artinya 'tercerahkan', maka orang yang menempuh jalan menuju 'tercerahkan' itu yang dikatakan 'Umat Buddha', bukan orang yang tidak menempuh jalan tersebut, walaupun bisa saja orang itu hafal tipitaka dan sudah di-tisarana.
Menurut saya bila seseorang tidak mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha, maka tentu saja perjalanannya tidak akan secepat dibandingkan bila ia mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Sang Buddha.
Mettacittena,
Menurut saya bisa jadi justru sebaliknya. Yang namanya kebenaran itu adalah netral. Apakah orang percaya atau tidak percaya, selama dia menyelidiki, tetap ia akan melihat kebenarannya. Sama seperti orang mengulurkan tangan untuk merasakan api, apakah dia percaya atau tidak percaya, pasti akan merasakan panas. Begitu juga orang percaya atau tidak omongan Buddha, selama dia benar menyelidiki dan mengikis keserakahan, kebencian & kebodohan bathin, dia pasti lebih bahagia.
Maaf bro, bisakah diperjelas maksudnya yang warna biru...?
Mettacittena,
... maka orang yang menempuh jalan menuju 'tercerahkan' itu yang dikatakan 'Umat Buddha', bukan orang yang tidak menempuh jalan tersebut, walaupun bisa saja orang itu hafal tipitaka dan sudah di-tisarana.Saya beri contoh yang simple saja yah.
Bro Kainyn yang baik, coba perhatikan apakah saya mengatakan percaya atau tak percaya...? Rasanya saya mengatakan belajar Ajaran Sang Buddha dan mempraktikkannya, bukan percaya atau tak percaya.Oh, iya. Sorry, salah baca. :D
Apakah yang dimaksud dengan menyelidiki...? Bagaimana caranya menyelidiki...?
Apakah menyelidiki dan mengikis keserakahan, kebencian serta kebodohan batin bukan praktek...?
Mettacittena,
Saya beri contoh yang simple saja yah.
Pada akhir masa dhamma Buddha Kassapa di mana 'Buddhisme' sudah mulai terlupakan, 7 orang memisahkan diri dari sangha, memanjat tebing dan bertekad tidak pergi kecuali telah mencapai pembebasan. Yang tertua menjadi Arahat, yang ke dua 'hanya' menjadi Anagami, dan bersama 5 orang lainnya mati kelaparan. Ketujuh orang ini jelas tidak ber-'tisarana' karena meninggalkan sangha resmi (yang notabene adalah sesuai tradisi). Tapi saya melihat ketujuh orang tersebut adalah Umat Buddha, ketimbang sangha resmi pada saat itu.
Saya beri contoh yang simple saja yah.
Pada akhir masa dhamma Buddha Kassapa di mana 'Buddhisme' sudah mulai terlupakan, 7 orang memisahkan diri dari sangha, memanjat tebing dan bertekad tidak pergi kecuali telah mencapai pembebasan. Yang tertua menjadi Arahat, yang ke dua 'hanya' menjadi Anagami, dan bersama 5 orang lainnya mati kelaparan. Ketujuh orang ini jelas tidak ber-'tisarana' karena meninggalkan sangha resmi (yang notabene adalah sesuai tradisi). Tapi saya melihat ketujuh orang tersebut adalah Umat Buddha, ketimbang sangha resmi pada saat itu.
Mungkin saja sangha pada waktu itu kayak sangha ZFZ...Iya, memang sudah korup.
Coba tolong diperiksa lagi yang bold bro, menurut yang saya baca mereka tetap Bhikkhu anggota Sangha, tidak lepas jubah. Apakah saya yang keliru?Jika memisahkan diri, tentu tidak bisa tetap disebut sebagai anggota Sangha. Contohnya Devadatta yang memisahkan diri dari sangha 'resmi' ataupun seperti 'sangha bhikkhuni' saat ini yang tidak diakui secara tradisi, tidak bisa disebut sebagai sangha, walaupun boleh saja mereka menamakan persamuhan mereka sebagai 'sangha Buddhis'.
Seorang Bhikkhu (seharusnya) berlindung pada Tiratana. Oleh karena itu mereka umat Buddha.
Seseorang yang meninggalkan ke-bhikkhu-an bukan berarti ia lepas Tisarananya.
Mereka ini (5 orang) yang kelak menjadi Arahat Bahiya, Pukkusati dll.
Mettacittena,
Iya, memang sudah korup.
Jika memisahkan diri, tentu tidak bisa tetap disebut sebagai anggota Sangha. Contohnya Devadatta yang memisahkan diri dari sangha 'resmi' ataupun seperti 'sangha bhikkhuni' saat ini yang tidak diakui secara tradisi, tidak bisa disebut sebagai sangha, walaupun boleh saja mereka menamakan persamuhan mereka sebagai 'sangha Buddhis'.
Secara sederhana, saya mengatakan bahwa Tisarana, pemahaman dhamma secara intelektual, penerusan tradisi, dan sebagainya, tidak menyebabkan seseorang menjadi 'Buddhis" (definisi saya), namun adalah orang yang berjuang untuk mencapai pencerahan/pembebasan tersebut.
Kita tidak tahu seperti apa Sangha pada waktu itu. Seseorang yang memisahkan diri dari STI misalnya, bukan berarti ia otomatis menjadi menjadi bukan Bhikkhu.Ini memang sulit untuk dinilai. Ada beberapa pandangan yang mengatakan sangha memang harus 'turun-temurun', maka seperti sangha bhikkhuni Theravada yang sudah terputus, dikatakan sudah punah. Jika ada perkumpulan wanita yang hidup sebagai petapa menjalankan 311 vinaya Theravada juga sepertinya tidak akan diakui sebagai Bhikkhuni Theravada oleh yang berpandangan demikian. Jadi sepertinya ini masalah opini saja.
Ya kita memang berbeda sudut pandang, menurut saya seseorang yang sudah berlindung pada Tiratana sudah umat Buddha. Di Jaman Sang Buddha banyak Bhikkhu yang ditahbiskan dengan "upasampada Tisarana" sesuai petunjuk Sang Buddha sendiri. Apakah mereka belum umat Buddha..?Mungkin kalau dari segi formalitas, ya, mereka boleh dibilang 'Umat Buddha'. Anak dari orangtua yang Buddhis, walaupun tidak tahu Agama Buddha, bahkan percaya agama lain namun KTP tetap Buddha (ikut ortu), juga secara formalitas disebut 'Umat Buddha'.
Mettacittena,
Iya, memang sudah korup.
Jika memisahkan diri, tentu tidak bisa tetap disebut sebagai anggota Sangha. Contohnya Devadatta yang memisahkan diri dari sangha 'resmi' ataupun seperti 'sangha bhikkhuni' saat ini yang tidak diakui secara tradisi, tidak bisa disebut sebagai sangha, walaupun boleh saja mereka menamakan persamuhan mereka sebagai 'sangha Buddhis'.
Secara sederhana, saya mengatakan bahwa Tisarana, pemahaman dhamma secara intelektual, penerusan tradisi, dan sebagainya, tidak menyebabkan seseorang menjadi 'Buddhis" (definisi saya), namun adalah orang yang berjuang untuk mencapai pencerahan/pembebasan tersebut.
Bro Kain, pada kasus 7 bhikkhu itu, apakah mereka memang meninggalkan Sasana? atau hanya pindah tempat? dalam kasus Devadatta, memang Devadatta membentuk komunitasnya sendiri yg terpisah dari Sangha Sang Buddha.Entahlah, yang saya tangkap, ketujuh bhikkhu itu memisahkan diri dari sangha yang sudah korup (karena itu jaman Ajaran Buddha Kassapa berakhir).
Kalau meditasi perenungan, belum tentu selalu objeknya adalah apa yang dialami. Misalnya perenungan terhadap deva, itu hanya dari 'denger-denger' dan 'baca-baca' saja. Begitu juga perenungan kematian juga bukan kita yang mengalami. Lagipula perenungan yang seperti itu termasuk dalam Samatha, bukan Satipatthana.tapi ada master yang menyamakan meditasi budis loh dengan ayat ini ;D
Dalam satipatthana, yang dijadikan objek itu tubuh, perasaan, pikiran, dan bentuk pikiran. Semua orang pasti tahu. Beda dengan kalau perenungan pada 'Tuhan', lagi-lagi orang sekuler tidak tahu apa itu "Tuhan".
Betul. "Buddha" sendiri artinya 'tercerahkan', maka orang yang menempuh jalan menuju 'tercerahkan' itu yang dikatakan 'Umat Buddha', bukan orang yang tidak menempuh jalan tersebut, walaupun bisa saja orang itu hafal tipitaka dan sudah di-tisarana.
tapi ada master yang menyamakan meditasi budis loh dengan ayat ini ;DUntuk itu sih, no comment deh. Silahkan ditanyakan pada master yang bersangkutan apa maksudnya.
Diamlah dan ketahuilah olehmu bahwa Aku ini Allah
;D
Untuk itu sih, no comment deh. Silahkan ditanyakan pada master yang bersangkutan apa maksudnya.itu tuntunan vipasana dalam kr****n ;D
btw, saya mengenal seorang samanera yang beragama islam (di KTPnya) yang kualitas kebuddhisannya tidak diragukan:)) masih inget aja ye :))
1, pertanyaan apa defenisi umat Budha?umat [n] (1) para penganut (pemeluk, pengikut) suatu agama; penganut nabi; (2) makhluk manusia
2, dalam zaman Budha dhamma apa ada umat Budha?ada dong
3, bila kita mengatakan berlindung dalam Budha,dhamma,dan sangha apakah Ia umat Budha?iya dong
4, bila umat Budha adalah sekumpulan orang orang yang belajar dan mengikuti ujaran, saran,dan nasehat Budha dhamma maka hampir seluruh manusia yang ada adalah umat Budha?belum tentu
5, Budha pernah berujar bila itu benar ajarannya maka katakan itu benar bila tidak maka katakan tidak.iya dong
Contoh kasus, misalnya ada seorang yang pikirannya dikuasai kebencian luar biasa, maka dalam meditasinya, ia tidak bisa berkonsentrasi. Tetapi juga ia menahan diri dari menyalurkan kebencian itu, maka ia tidak membunuh orang yang dibencinya, walaupun sangat ingin. Kalau menurut saya, dalam hal itu ada sila, namun tidak ada Samadhi dan Panna. Menurut bro wili bagaimana?
Kalau patokannya dari JMB8, saya masih tidak cocok dengan beberapa hal. Misalnya Pandangan Benar (Samma Ditthi) adalah yang berhubungan dengan paham Buddhisme yang unik. Sementara Ucapan Benar (Samma Vaca) dalam definisinya tidak ada sangkut pautnya dengan samma ditthi. Kita bisa menemukan dengan gampang orang non-Buddhis yang memiliki ucapan benar. Dari sini saya lihat perbuatan benar belum tentu dibarengi dengan pandangan benar.
Ya, sepertinya memang semua kembali pada diri masing-masing saja, yang penting berusaha menyadari kekurangan dan potensi diri sendiri agar bisa pilih jalan yang sesuai, bukan cuma ikut2an.
itu tuntunan vipasana dalam kr****n ;D
Di-tafsirkan sebagai Tuntunan Vipasanna... yang menurut saya seharusnya bukan... Jika memang tuntunan vipasanna, seharusnya ajaran yang sudah belakangan muncul, seharusnya sudah mendapatkan copy-an / "bocor"-an dari ajaran yang sebelumnya sehingga bisa di-copy paste saja...secara itu pada zaman daud, 1000 tahun sebelum yesus, jadi buddha nyontek ajaran allah =))
secara itu pada zaman daud, 1000 tahun sebelum yesus, jadi buddha nyontek ajaran allah =))
Bisa jadi... wwkwkwkwkwk... tapi Buddha lebih pintar dan mempatenkan-nya menjadi istilah VIPASANNA... dan pada jaman sekarang mau di "franchise"-kan menjadi MMDyeah agar pasar lebih luas ;D
istri saya seorang kr****n dan saya juga tadinya ka****k tadinya hanya ingin tau tentang ajaran buddha tapi kami sekeluarga malah semakin tertarik dan akhirnya memeluk agama buddha _/\_
walau pun keiinginan hanya bertujuan Belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha tapi jika sudah mengerti sari ajaran buddha ada kemungkinan malah akan beralih menjadi umat buddha _/\_
Kok bisa tiba-tiba ingin tau tentang ajaran Buddha ? ;D
;D saya dengar di buddha mengajarkan segala hal yg belum saya ketahui pada waktu itu, terutama tentang kamma, Ajaran dasar nya dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia , dan intisari dari cinta kasih katanya ada pada ajaran buddha
setelah mendengar itu semua, saya makin ingin mengetahui lebih banyak lagi, yg sekiranya bisa mengubah kebiasaan hidup saya dalam bertingkah laku, bertutur kata dan berbuat ,yg selama ini bagi saya dan mungkin bagi orang lain tidak benar _/\_
Dengar dari mana ? :-?
Bukannya kalo di tetangga ada juga cinta kasih yak ? ;D
;D saya dengar di buddha mengajarkan segala hal yg belum saya ketahui pada waktu itu, terutama tentang kamma, Ajaran dasar nya dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia , dan intisari dari cinta kasih katanya ada pada ajaran buddha
setelah mendengar itu semua, saya makin ingin mengetahui lebih banyak lagi, yg sekiranya bisa mengubah kebiasaan hidup saya dalam bertingkah laku, bertutur kata dan berbuat ,yg selama ini bagi saya dan mungkin bagi orang lain tidak benar _/\_
dari teman yg beragama buddha broSebetulnya di agama lain juga mengajarkan cinta kasih yang tidak berkondisi kok. Hanya oknum tertentu saja pakai beda-bedakan status dan sebagainya.
kalo soal cinta kasih di tetangga , memang di ajarkan tapi lebih individual, tidak seperti yg saya lihat di buddha lebih universal.
contoh forum ini , tidak peduli saya sebagai warga baru di DC tapi banyak yg mau memberikan bimbingan, petunjuk , bahkan pertolongan tanpa ada perbedaan sama sekali .
jika cinta kasih mengenal perbedaan derajat atau status , apakah masih pantas di sebut ajaran cinta kasih? _/\_
Betul Bro, Ajaran Buddha makin dipelajari memang makin menarik dan kita jadi tau kenapa kita bisa begini, apa penyebabnya dan bagaimana jalan keluarnya...iya emang makin menarik ;D kita jadi tau kenapa kita bisa begini, apa penyebabnya dan bagaimana jalan keluarnya. selain itu dapat merubah sifat dan kebiasaan seseorang yg buruk menjadi baik, bahkan mungkin bisa menjadi lebih baik walau itu semua kembali kepada individual masing2 , jujur sebelum ini saya adalah seorang peminum, suka dugem ;D dan agak kurang memperhatikan keluarga, tapi setelah mengenal ajaran buddha saya seperti di cambuk yang akhirnya dapat sedikit demi sedikit menghilangkan sifat dan tingkah laku buruk saya. _/\_
::
Sebetulnya di agama lain juga mengajarkan cinta kasih yang tidak berkondisi kok. Hanya oknum tertentu saja pakai beda-bedakan status dan sebagainya.memang betul hanya oknum tertentu tapi yang di sayang kan , oknum tersebut kebanyakan dari pembimbing rohaninya (pendeta)
memang betul hanya oknum tertentu tapi yang di sayang kan , oknum tersebut kebanyakan dari pembimbing rohaninya (pendeta)
contoh saja papah saya yg meninggal 1 tahun kemaren, saudara saya yg katholik ingin supaya papah saya di doakan secara katholik oleh seorang romo, tapi apa yg terjadi ? bukan romo yg hadir dan mendoakan tapi seorang flater , andai ada pemberitahuan dan alasan yg jelas tidak mungkin kita kecewa, selang tidak lama ada tetangga saya yg meninggal dia orang kaya juga seorang katholik dan walau harus membatalkan acara di suatu tempat , romo itu mau datang ke tempat persemayaman untuk mendoakan . kejadian seperti ini juga pernah di alami teman saya yg beragama kr****n
Seseorang yg sangat membenci dan tidak dapat menahan diri dan sampai membunuh seseorang dapat dikatakan: orang yg lemah pikiran dan kesadarannya, tidak dapat menahan diri, tidak dapat berpikir panjang.Sepertinya menahan diri itu bukan selalu disebabkan oleh kesadaran dan kebijaksanaan yang lebih baik. Kembali lagi, pandangan salah dan pengejaran pada hal-hal yang salah pun bisa.
Demikian juga sebaliknya, seseorang yg sangat membenci seseorang, tapi masih dapat menahan diri untuk tidak melakukannya dapat dikatakan ia mempunyai kesadaran dan kebijaksanaan (meskipun secuil). Ia masih mempunyai akal sehat untuk mempertimbangkan sesuatu, kesadarananya masih bekerja, ia mengambil pilihan dan tidak menuruti emosinya.
Kebijaksanaan dan kesadaraan, Imo adalah berlapis, mulai dari yg paling kasar sampai yg paling halus. Kebijaksanaan+kesadaran ini senantiasa harus dilatih dan tercermin dalam tindakan (sila).Ya, saya juga berpendapat sama. Ada kalanya kita memang harus kaku dan otoriter dalam mengajarkan orang yang belum mengerti. "Jangan dekat-dekat colokan listrik!" <- Seperti sila bagi si anak. Nanti sudah besar, tahu yang namanya 'kesetrum', tidak perlu ingat sila juga sudah punya kebijaksanaan untuk berhati-hati pada listrik. Setelah belajar elektronik, jadi tukang listrik yang pakar, bongkar-bongkar alat listrik juga tidak masalah.
Pendapat saya ini dipikir2 terkait dengan kalimat: berbuatlah kebaikan meskipun kecil dan hindari perbuatan buruk meskipun kecil juga.
kalimat bijaksana yg sederhana tsb tujuannnya bukanlah untuk mengumpulkan kamma, namun lebih ke melatih diri lapis demi lapis, mulai dari yg kecil sampai kepemadaman sesungguhnya.
Memang betul, seseorg yg non-buddhist dapat mempraktikkan 'Ucapan-Benar' tanpa perlu paham soal 'dukkha-akhir dukkha'. Namun sedikit banyak ia mempunyai kebijaksanaan juga, meski terbatas pada kebijaksanaan baik-buruk saja + kesadaran saat melakukannya."Kalau kamu ngomong kasar, saya jahit mulutmu!"
Bedanya dgn seorg buddhist yg mempraktikkan 'Ucapan-Benar', seyogyanya dimotivasi oleh kebijaksanaan 'dukkha-akhir dukkha' serta diiringi kesadaran saat melakukannya.Betul, ini bagian yang paling penting kalau mau belajar Ajaran Buddha. Kalau kita memutuskan melakukan atau tidak melakukan, kita harus tahu mengapa demikian. Kita menyelidiki apakah benar anjuran/larangan itu bermanfaat atau tidak, maka baru bisa berkembang.
Hal tsb yg membedakannya. Memang Sila, dpt dipraktikkan siapa saja (buddhist dan non-buddhist) namun yg membedakannya adalah Samma-ditthi, yg nantinya akan menghasilkan perkembangan berbeda.
Ini yg mungkin dikatakan Samma-Ditthi sangat penting sekali.
Sila yg saya maksud adalah Sila yg dilakukan praktisi Buddhist, yg telah paham dukkha-akhir dukkha, yg otomatis praktik sila mereka seyogyanya dimotivasi oleh kebijaksanaan benar (plus disertai kesadaran). Praktik Sila ini akan saling menunjang dengan samadhi dan panna, yg seterusnya saling mengasah berbarengan terus menerus.Kalau sila yang dilandasi pandangan benar, sudah tentu ada kebijaksanaan dan kesadaran. Karena pandangan benar sendiri adalah kebijaksanaan + kesadaran. ;D Jadi kalau itu yang dimaksud, menurut saya memang betul sama saja, hanya lihat dari 'arah' berbeda saja.
Betul sekali, saya setuju bahwa pada intinya: pemahaman benar sangat penting sekali, krn ini akan berimbas pada praktik masing2.
Sehingga, seseorg yg KTP nya Buddhis, atau mengaku-ngaku buddhis, bisa saja mempraktikkan Sila yg sama saja dengan non-buddhist dalam arti kata seperti yg dijelaskan Bro Kai: hanya ikut2an (panna yg dangkal, yakni: baik-buruk, atau perintah Buddha).
Jadi, imo, pendapat saya bahwa Sila ada kandungan kebijaksanaan+kesadaran, atau pendapat bbrp rekan yg lain bahwa dengan kesadaran murni, sila otomatis akan terjaga, pada intinya sama. Perbedaan hanya pada sudut pandang dan kecocokan diri masing2 saja.
::
memang betul hanya oknum tertentu tapi yang di sayang kan , oknum tersebut kebanyakan dari pembimbing rohaninya (pendeta)Supaya tidak kecewa, saya bocorkan dulu. Di kalangan Buddhis juga hal seperti itu adalah umum. Bahkan belum lama ini Suhu (Sumedho) cerita mau adakan upacara pemakaman sudah diberi tarifnya dulu, per bhiksu yang hadir x juta.
contoh saja papah saya yg meninggal 1 tahun kemaren, saudara saya yg katholik ingin supaya papah saya di doakan secara katholik oleh seorang romo, tapi apa yg terjadi ? bukan romo yg hadir dan mendoakan tapi seorang flater , andai ada pemberitahuan dan alasan yg jelas tidak mungkin kita kecewa, selang tidak lama ada tetangga saya yg meninggal dia orang kaya juga seorang katholik dan walau harus membatalkan acara di suatu tempat , romo itu mau datang ke tempat persemayaman untuk mendoakan . kejadian seperti ini juga pernah di alami teman saya yg beragama kr****n
Memangnya ada perbedaan didoakan sama romo dengan frater ? ;D
Berarti bisa disimpulkan bro Wang kecewa sama prilaku umat (termasuk pastor, frater, bruder, suster, dll) sepertinya ya... Bagaimana jika bertemu dengan umat Buddha atau bhikku yang tingkah lakunya dipandang buruk ? :-?kalo soal kecewa tentang prilaku umat itu tidak pernah saya ucapkan bro rooney, tapi yg saya sebutkan di atas adalah seorang pemimpin (pendeta/romo)
Supaya tidak kecewa, saya bocorkan dulu. Di kalangan Buddhis juga hal seperti itu adalah umum. Bahkan belum lama ini Suhu (Sumedho) cerita mau adakan upacara pemakaman sudah diberi tarifnya dulu, per bhiksu yang hadir x juta.
Semua manusia sebetulnya sama saja dengan masing-masing keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathinnya. Hanya saja beda komunitas, beda 'warna' ekspresinya. Seperti umat Kr1sten menyanyikan kebodohan dengan pop, umat Buddha pakai jazz. Tapi intinya kebodohan juga. Jadi kalo boleh saya sarankan, jangan cari 'komunitas'-nya, tapi cari ajarannya.
Supaya tidak kecewa, saya bocorkan dulu. Di kalangan Buddhis juga hal seperti itu adalah umum. Bahkan belum lama ini Suhu (Sumedho) cerita mau adakan upacara pemakaman sudah diberi tarifnya dulu, per bhiksu yang hadir x juta.
Semua manusia sebetulnya sama saja dengan masing-masing keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathinnya. Hanya saja beda komunitas, beda 'warna' ekspresinya. Seperti umat Kr1sten menyanyikan kebodohan dengan pop, umat Buddha pakai jazz. Tapi intinya kebodohan juga. Jadi kalo boleh saya sarankan, jangan cari 'komunitas'-nya, tapi cari ajarannya.
grrr... kalau ketemu bhikkhu begini, tak gundulin dia :ngomel:gundulin apanya om =))
::
grrr... kalau ketemu bhikkhu begini, tak gundulin dia :ngomel:Lha, 'kan memang sudah gundul. :D
Saya setuju dengan Bro Kai...Wah, kita senasib, mirip-mirip. Waktu ketemu DC, ngelihat banyak Buddhis yang minimal tahu Tipitaka, baru saya pikir cocok untuk 'bertengger' di sini.
Pertama kali mengenal Buddhisme, saya juga mencari 'komunitas' (ini wajar kali ya? sama seperti pertama kali hobby sepedaan, akan segera mencari rekan2 sesama bikers ;D untuk saling asah-asih -asuh). Akhirnya kecewa juga krn komunitas yg sy temui hanya sibuk dengan kegiatan muda-mudi dan aktivitas2 lainnya -sama sekali ga pernah memahas dhamma- .... yah, jadinya single-fighter aja... dan lonesome cowboy begini ternyata lumayan juga-lah, jadi berangsur2 nggak bandel lagi seperti dulu :P
::
grrr... kalau ketemu bhikkhu begini, tak gundulin dia :ngomel:gimana mo ngengundulinnya yak ... :-? bhikku kan emang gundul.. :)) ^:)^ ^:)^
Yang gundul kan kepalanya aja. Masih banyak rambut di bagian tubuh yang mungkin aja masih lebat.
Yang gundul kan kepalanya aja. Masih banyak rambut di bagian tubuh yang mungkin aja masih lebat.secara namanya gundul khan rambut, kalau bulu yang lain ga tau tuh namanya =))
secara namanya gundul khan rambut, kalau bulu yang lain ga tau tuh namanya =))
Gundul inilah yang menyebabkan Agama keresten bisa berkacak pinggang....Koreksi: JC ga pernah belah laut, itu Moses. Belah gunung juga tidak, cuma dibilang kalo punya iman bisa pindahin gunung. Terbang juga tidak pernah, hanya dikisahkan sekali waktu 'diangkat' ke sorga. Itu pun di kitab yang ditambahkan belakangan. Menghilang juga tidak pernah, yang dikisahkan itu sudah bangkit dan pergi dari kubur sehingga kuburnya kosong.
tau sebabnya ???
Jes*s membelah laut...Bhikku ada yang bisa
Jes*s Membelah gunung...Bhikku juga bisa
jes*s bisa terbang...banyak Bhikku yang bisa...
Soal ngilang kalau jes*s bisa....Bhikku pun bisa....
Apa yang jes*s bisa...Bhikku Pun bisa
Cuma satu hal....Jes*s rambutnya bisa Belah tengah....Bhikku gak bisa....hehhehehhe
Lucu gak....kalau gak lucu..gpp
Dan lagi-lagi, JC tidak pernah dibilang belah tengah. Penggambarannya dengan jubah merah-biru, rambut panjang dan berjenggot pun sebetulnya hanya reka-reka saja. Dulu digambarkan matanya biru (karena artisnya mungkin orang kaukasia), belakangan sudah mulai dikoreksi jadi coklat lagi. Yang pasti, JC tidak punya rumah, tidak bawa kepemilikian/uang, mengajar dan 'terima dana' dari umat. Kalau digambarkan kepalanya plontos + jubahnya kuning, akan mirip dengan 'sesuatu'.
...itu artinya...???Kalau menurut saya, memang sebetulnya cara hidup, cara pandang dari JC ini ada terpengaruh dari pola pikir Hindu-Buddha, maka juga sangat bertentangan sekali dengan masyarakat sana. Tapi apakah sosoknya benar ada atau tidak, kita tidak tahu. Seperti Buddha juga, kita tidak tahu secara pasti keberadaannya.
- JC sesungguhnya tdk pernah benar2 ada, melainkan sosok SB yg 'diplintir' menjadi kaukasian-look?
- JC benar ada, tapi sesungguhnya beliau 'orang india' yg melanglang ke timur tengah? (seperti YM. Bodhidharma melanglang ke China?)
::
-
apa benar js pernah belajar tentang agama buddha? soalnya saya pernah dengar kalau pada waktu itu dia berkelana sampai ke negeri seberang, setelah kembali dia pun mengajarkan tentang cinta kasih. bukankah inti sari buddhis adalah cinta kasih ? dan apa benar ada prasasti di di china ten tang jesu po sat yang menjelaskan bahwa js pernah ke sana untuk mempelajari tentang agama buddha?Kalau JC pergi ke India belajar Buddhism, semua masih spekulasi. Belum ada bukti konkret, hanya cerita dari seorang pengarang saja. Kalau masalah ajarannya, mungkin saja memang terpengaruh. Kalau kita perhatikan, walaupun ada tokoh sebelumnya yang seperti petapa (seperti Johanes Pembabtis yang juga tidak punya kepemilikan), tapi bedanya JC ini berani melawan otoritas 'agama'. Misalnya Tuhan sudah berkata pada Musa bahwa nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, dst, tapi JC berkata bahwa janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, kalo ditampol pipi kanan, kasih pipi kiri. Mau dibilang 'penggenapan firman' atau alasan apapun, sebetulnya saya lihat tetap saja itu sudah berbeda secara intisarinya.
[at] kayninBTT= Back To Topic. :)
Hahaha ia ya teorinya berkebalikan...
BTT tu apa kk?
Sy ber-KTP Hindu dan belajar buddhism. Tidak tertarik merubah KTP dan TIDAK MUNGKIN lagi meninggalkan Tiratna.KTP bukan bukti agama seseorang.
KTP bukan bukti agama seseorang.
Tapi menerima Tiratana dan ikrar utk tidak akan meninggalkan Tiratana adalah indikasi bahwa orang itu adalah Umat/Pengikut Buddha.
Kalau tidak menerima Tiratana, bisa ke arah pembebasan ngak?
Sy ber-KTP Hindu dan belajar buddhism. Tidak tertarik merubah KTP dan TIDAK MUNGKIN lagi meninggalkan Tiratna.
cobalah biasakan berdiskusi sesuai etika, perhatikan topiknya
waduh, anda salah paham nih
belajar pengetahuan
saya pernah belajar ilmu pengetahuan di sekolah
tujuannya adalah menguasi ilmu pengetahuan tsb, manfaatnya dapat diamalkan/dimanfaatkan di dalam kehidupan sehari-hari
belajar agama
saya pernah belajar agama k karena sekolah saya agama k, apa saya harus jadi umat k
tujuan saya mengikuti aturan sekolah, manfaatnya ya jadi sedikit2 tahu (& mungkin sedikit memahami) agama k
saya juga sering mempelajari agama i, apa saya harus jadi umat i
tujuan saya ingin tahu apa sih ajarannya, manfaatnya sama spt di atas
belajar korupsi
yang ini saya belum pernah nih (suer seinget gw)
tujuannya agar tahu trik2 korupsi, manfaatnya mendapatkan banyak uang (bila beli ini itu)
intinya setiap belajar sesuatu pasti ada tujuan dan manfaatnya
sayangnya kita harus menggunakan asumsi kita nih mengenai apa tujuan & manfaat belajar di sini
nah kalau pertanyaan thread ini belajar agama Buddha hanya sekedar tahu,
sedari awal juga sudah selesai, jadi pastinya bukan itu
setahu saya tujuan belajar Buddhis adalah memahami Dhamma/Kebenaran dan mengamalkannya di dalam kehidupan sehari2 sehingga memberikan manfaat:
- kebahagiaan dlm kehidupan saat ini, kalau ilmu pengetahuan mentok sampai di sini
- kebahagiaan dlm kehidupan mendatang, kalau agama lain mentok sampai di sini
- kebahagiaan tertinggi (pembebasan), nah ini yang utama dan cuma ada di Buddhis
jadi saya berasumsi manfaat belajar Buddhis di sini adalah pembebasan
dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang topik ini
saya mencoba mengujinya dengan statement anda
ngak OOT kan, kalau masih kurang jelas, boleh ditanyakan lagi
Sy ber-KTP Hindu dan belajar buddhism. Tidak tertarik merubah KTP dan TIDAK MUNGKIN lagi meninggalkan Tiratna.
sekalian saja sewaktu pengambilan data kembali untuk e-ktp, rubah identitas agama menjadi buddhis ?
agamanya apa? kr****n. ada kelanjutannya, lampirkan akte pembabtisannya....!kenapa??
tanya kenapa? ;D
kenapa??
ya.. kenapa?!!! (aku gak tahu.)loh, ente kan kr****n, kok gak tau?
coba kamu buktikan ktpmu dari buddhist ubah jadi kr****n. 8)
ya.. kenapa?!!! (aku gak tahu.)
coba kamu buktikan ktpmu dari buddhist ubah jadi kr****n. 8)
perasaan aye ktp kr****n ga di minta akte baptis segala ah?
gan ryu.., coba aye tanya, ktp ente buddhist atau kr****n? ayo ngaku?kr****n, emang napa?
buktikan dech....
ya.. kenapa?!!! (aku gak tahu.)
coba kamu buktikan ktpmu dari buddhist ubah jadi kr****n. 8)
kr****n, emang napa?
mau nambah nih
sering2lah bertandang ke sini
maaf ya, jika rumah kami tidak seapik rumah anda
kadang2 saya lebih merasa nyaman di rumah anda
boleh share sedikit nih, gimana menatanya?
tapi kalau anda kesampingkan berantakannya rumah kami
dan masuk semakin jauh ke dalam
anda akan terkesima dengan harta karun yang ada di sini
yang telah diwariskan oleh bapak kami
benar, saya ngak bohong
kalau anda melihat ada adik2 kami cuma sibuk memperebutkan mainan murahan di luar rumah
maklumilah, namanya juga anak2 begitu juga manusia, tidak lepas dari salah & khilaf
buktikanlah, masuk semakin jauh ke dalam
bapak kami sangat murah hati koq
anda boleh mengambilnya sesuka hati anda
anda boleh memintanya buat keluarga anda
hebatnya lagi,
semua harta karun itu tidak pernah dilabeli 'made in bapak kami'
tapi etisnya,
jangan pernah labeli harta karun dari rumah kami pakai merek lain
selamat membuktikan
loh memang kebodhian/kebuddhaan punya sapa?
bahkan para Buddha yang ada sepanjang masa pun tidak sebodoh itu untuk mengklaimnya.
mereka bekerja dibawah DHAMMA (kebenaran mutlak 'THE ABSOLUTE'),
mereka mengakui, digambarkan hanyalah segenggam daun ditengah-tengah belantara daun-daun di hutan luas.
lihat perbandingan perumpamaannya. just a little one in 'the ABSOLUTE'.
_/\_ abgf
sobat DHAMMA
belajar agama Buddha itu bahaya
bisa melunturkan iman kepada YME ;D
loh memang kebodhian/kebuddhaan punya sapa?karena kosong makanya tidak punya siapa2
bahkan para Buddha yang ada sepanjang masa pun tidak sebodoh itu untuk mengklaimnya.yang pasti anda lebih bodoh dari para Buddha
mereka bekerja dibawah DHAMMA (kebenaran mutlak 'THE ABSOLUTE'),pernyataan ini seperti para Buddha bekerja dibawah suatu organisasi ! ???
mereka mengakui, digambarkan hanyalah segenggam daun ditengah-tengah belantara daun-daun di hutan luas.pengakuan segengam daun ditengah belantara untuk apa ya ? ^-^
lihat perbandingan perumpamaannya.
mereka bekerja dibawah DHAMMA (kebenaran mutlak 'THE ABSOLUTE'),salah
mereka mengakui, digambarkan hanyalah segenggam daun ditengah-tengah belantara daun-daun di hutan luas.salah
lihat perbandingan perumpamaannya. just a little one in 'the ABSOLUTE'.
belajar agama Buddha itu bahayabetul memang bahaya
bisa melunturkan iman kepada YME ;D
siapakah yang (sudah) jadi Buddha?tidak ada
hanya sebatas filosofi, logika sendiri.....apa anda sudah jadi buda ?
klo belum jadi Buddha, itu berarti sebatas (kualitas) khayalan (kalian sendiri). 8)
semoga nyadar dalam kesalah jalanan (tersesat).kita sudah tahu bahwa masih jauh ... belum apa2.
_/\_ abgf
sobat DHAMMA
[at] atasmaksudnya ente dah jadi buda kan??
cuma yang harus jadi pertanyaan umat sekalian seluruh dunia, klo gambaran kebenaran kalian memang sudah gambaran kebenaran yang guru Buddha maksud,
siapakah yang (sudah) jadi Buddha?
[at] atasAjaran Buddha mengajarkan orang menuju ke arah Ke-buddha-an, tapi bukan pasti selalu instant langsung jadi Buddha. Beda-beda kemajuannya. Bagaimana buktinya? Yah itu masing2 diri sendiri yang tahu.
renungkan...
cuma yang harus jadi pertanyaan umat sekalian seluruh dunia, klo gambaran kebenaran kalian memang sudah gambaran kebenaran yang guru Buddha maksud,
siapakah yang (sudah) jadi Buddha?
semoga mengerti, menerima kenyataan diri (sendiri)
_/\_ abgf
sobat DHAMMA
cuma yang harus jadi pertanyaan umat sekalian seluruh dunia, klo gambaran kebenaran kalian memang sudah gambaran kebenaran yang guru Buddha maksud,secara 'kebenaran mutlak' kan sudah dijawab oleh adi lim
siapakah yang (sudah) jadi Buddha?
hanya sebatas filosofi, logika sendiri.....manusiawi, kan masih ada 'aku'
klo belum jadi Buddha, itu berarti sebatas (kualitas) khayalan (kalian sendiri). 8)
semoga nyadar dalam kesalah jalanan (tersesat).jangan tergesa2 bilang sesat
secara 'kebenaran mutlak' kan sudah dijawab oleh adi lim
kalau secara 'kebenaran bersyarat', salah satunya Buddha Gotama
manusiawi, kan masih ada 'aku'
jangan tergesa2 bilang sesat
nih bonus dari saya, pahami baik2:
'keyakinan tanpa kebijaksanaan adalah kefanatikan, kebijaksanaan tanpa keyakinan adalah kesia-sian'
Ajaran Buddha mengajarkan orang menuju ke arah Ke-buddha-an, tapi bukan pasti selalu instant langsung jadi Buddha. Beda-beda kemajuannya. Bagaimana buktinya? Yah itu masing2 diri sendiri yang tahu.
Kalau secara yang terlihat, gampangnya siapapun yang tidak berpikir atau bertindak seperti anda, ada kemungkinan telah mengalami kemajuan bathin. Namun kalau hanya koar-koar tanpa makna, tak mampu diskusi dengan baik -kurang lebih seperti yang anda lakukan- itu bisa dipastikan adalah efek mempelajari dhamma secara salah.
he.. he.. he...
nasehatku untukmu, siswahardy
kalau mau berdebat jangan hanya menunjukan sebatas indah dan canggihnya kata-kata untuk menunjukan bahwa kau pintar.... banyak pengetahuan dan bijaksana.
yang dewasa mencari/menggali dan mengomentari kedalaman makna, bukan mempersembahkan indahnya kata-kata.
lihat apa akibatnya jalan diskusimu yang kau bangun di WDC (kebetulan aku lagi jalan-jalan kesana, sepi, tulisannya diisi kurang bermutu, kurang bermakna, sebatas debat kata-kata dan ekspresi diri saja juga)...., kau digencet habis....
tapi seperti ungkapan menuang air kedalam cangkir yang sudah terisi penuh, begitulah keadaan kau.
tetapi memang benar kedewasaan biasanya sejalan dengan bertambahnya umur, atau pengalaman bertambahnya nilai tanggung jawab kehidupan sebagai makhluk yang dewasa dan bertanggung jawab bagi kebaikan semua dan sukarnya menjalani nilai-nilai kebenaran (awas jangan dilibatkan lagi dengan konsep logika khayalan pikiran umat yang merasa sudah mengetahui atau bijaksana, konsep 'kosong' melompong plong.... :P),
disitulah seseorang terbangun, ada pembuktian diri dan memiliki keyakinan dan berkembang lebih lagi nilai-nilai kebenara yang ia genggam.
usiamu berapa bro siswahardy?
gak apa-apa, kita bebas berekspresi,
tetapi tetaplah kita dalam kerendahan hati sambil terus menggali dan belajar, jika masih sedikit pengalaman menjalani nilai-nilai kebenaran.
jika demikian halnya, seperti menuang air kebijaksanaan kedalam cangkir yang sudah terisi penuh air kenaifan.
shalom
_/\_ abgf
sobat DHAMMA
melalui menu setting aku medapatkan menu edit signatureku yang baru.
'INILAH APA YANG TUHANKU TELAH KATAKAN, 'DALAM SATU TAHUN SEJAK HARI INI, KEJAYAAN MEREKA AKAN PUDAR'.
Siapakah mereka?
September 2010
coedabgf-the believer'
september 2010
coedabgf-the believer
sst, mana nih bukti tuhanmu sudah lewat hampir 2 tahun.
terima kasih coeda ucapkan pada admin dan moderator atas kesabaran dan penerimaan selama keberadaan coeda.
terima kasih juga kepada teman-teman forum atas kesempatan kita berdiskusi.
melihat tiada manfaatnya keberadaan coeda selama ini dalam forum WDC. bukan menambah kebijaksanaan pengetahuan jalan pencerahan, malahan mungkin hanya menimbulkan mengganggu/mengacaukan batin dan pengajaran umum dalam forum.
coeda pamit undur diri dari diskusi forum tercinta ini. memberi kesempatan teman-teman forumer berdiskusi ajaran guru Buddha dengan batin tenang, terbuka, saling rendah hati dan terarah dalam kebijaksanaan pengetahuan benar buddhisme teman-teman.
thank you.
selamat berdiskusi menuju pembebasan dari khayal diri dan takhayulisme.
coeda. true believer. sobat DHAMMA. son of the LIVING TRUTH. (THE WAY, THE TRUTH, AND THE LIFE)
ngak laku jualan di sana, ya
ingat
barang bajakan memang bisa dibedakan dari barang orisinil
ini adalah kebenaran, tidak ada bahaya.lah iya kebenaran yang bisa merusak ajaran yang dipandang tidak benar kan? ^-^
yang aneh dan 'rusak' adalah suka di dicampur adukan ^-^
saya bingung
apakah anda tidak mampu menyanggah statement saya?
ataukah statement saya tak terbantahkan?
makanya kalau mau diskusi pakai pemikiran,
jangan pakai khayalan
shalom juga
jika demikian halnya, seperti menuang air kebijaksanaan kedalam cangkir yang sudah terisi penuh air kenaifan.
he.. he.. he...daripada gak komen apa-apa, bisanya cuma mancing orang buat komen... :whistle:
nasehatku untukmu, siswahardy
kalau mau berdebat jangan hanya menunjukan sebatas indah dan canggihnya kata-kata untuk menunjukan bahwa kau pintar.... banyak pengetahuan dan bijaksana.
lah iya kebenaran yang bisa merusak ajaran yang dipandang tidak benar kan? ^-^
yang dewasa mencari/menggali dan mengomentari kedalaman makna, bukan mempersembahkan indahnya kata-kata.
usiamu berapa bro siswahardy?
gak apa-apa, kita bebas berekspresi,
'keyakinan tanpa kebijaksanaan adalah kefanatikan, kebijaksanaan tanpa keyakinan adalah kesia-sian'
sebagai orang yang dewasa dan menggali kedalaman makna
tolong donk jelasin/komentarin yang di bawah ini
menurut saya makna ini juga mendalam
serius nich bro siswahardy mau komentar abgf sobat DHAMMA?!!!
tentu donk
apa lagi mengingat anda merasa saya lebih muda dari anda
tapi tolong suatu pemikiran yg didasarkan atas pemahaman
jangan pemikiran yang berdasar khayalan
saya susah berkhayal
tidak seperti anda yang suka berkhayal
[at] abgf
kalau boleh tanya,
apa motivasi anda rajin berdiskusi di forum ini?
mantep...klo berkhayal memakai logika itu namanya berkhayal atau sedang berlogika?!!! ;Dterserah anda aja dah,
penjelasannya sehubungan dengan rohani atau duniawi?ini nih yg penting, salah 1 boleh, 2-2 nya jg boleh,
GW:
Takut kepada siapa? kalo Malas...nah itu baru tepat.
GW:
emangnya yg ngisi kolom BUDDHA gak bermusavada? Kata agamaBuddha saja baru ada di abad setelah masehi dan sebelum itu tidak pernah sang Buddha mengatakan agamanya adalah Buddha. Tunjukan bukti kalo mau membantah statement sy ini, mampu?
Gw:
Sy justru orang bali..statement mu ini hoax....kalo kamu gak bisa menunjukan bukti ucapanmu..kamu telah bermusavada...silakan perbaiki statementmu dengan bukti. tks
Dilbert dalam http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,19519.0/message,408944.html, berkomentar:
"sekalian saja sewaktu pengambilan data kembali untuk e-ktp, rubah identitas agama menjadi buddhis ?"
gw:
kerepotan cuma di e-ktp, itu kecil..yg mualessss merubah banyak amitrasi...btw, getol amat sih ama ktp buddha? emagnya kalian yg 2 ini kalo beragama buddha lantas terjamin tidak terlahir di alam bawah? kalo masih mikir kuno spt itu..baca gih dhammapada kisah Tissa, yg jadi kutu...dia ini bahkan seorang Bhikkhu..masih aja terlahir di alam bawah..
so, ktp buddhis gunanya apa?
kerepotan cuma di e-ktp, itu kecil..yg mualessss merubah banyak amitrasi...btw, getol amat sih ama ktp buddha? emagnya kalian yg 2 ini kalo beragama buddha lantas terjamin tidak terlahir di alam bawah? kalo masih mikir kuno spt itu..baca gih dhammapada kisah Tissa, yg jadi kutu...dia ini bahkan seorang Bhikkhu..masih aja terlahir di alam bawah..
so, ktp buddhis gunanya apa?
Jumlah buddhis sesungguhnya mungkin 2-3 kali dari data di pemerintah, tapi sayang yang punya agama saja tidak sudi mengaku dan mengisi KTPnya dengan agama lain. Mungkin masih tersisa rasa rendah diri ataupun mana (kesombongan batin) untuk sekedar mengaku beragama Buddha. 8->kalau misalnya menikah dengan yang bukan budis bagaimana? apa harus bersikukuh mengganti ktp?
Malas dalam hal apa? Pas di e-ktp tinggal bilang saja sama petugasnya, agama saya Buddha. Selesai. Berat di mananya? Lebih kepada masalah mental block anda saja.
Perlu dipisahkan antara kebenaran mutlak dan kebenaran umum. Anda di masyarakat juga disebut manusia dan bukan dipanggil pancakhanda kan? Kita hidup di Indonesia ya ikuti hukum dan administrasi di Indonesia. Jawaban di atas nggak nyambung dan cuma ngeles.com
Gw tahu hal ini dari bercakap2 dengan seorang pejabat di depag. Tempat di mana beliau bekerja tidak perlu saya sebutkan. Dia juga orang Bali. Dan dia mengatakan seperti yang gw tulis.
Kembali jawaban ngeles dan ketidakperdulian.
Di Indonesia dan negara2 pada umumnya, you're nothing but statistic.
Anda adalah komponen dari data statistic, dan dengan data statistik pemerintah akan (antara lain): Alokasi anggaran depag (rumah ibadah, sarana prasarana, dll).
Kalau jumlah anda di statistik agama kecil, alokasi anggaran juga kecil. Mungkin di Bali dan daerah tertentu lain anda tidak bisa melihat kenyataan ini. Tapi kalau anda bisa keluar dari sikon tempat anda tinggal, melihat daerah lain di mana umat Buddha secara statistic sangat minor, maka kenyataannya lain.
Bisakah dibayangkan bahwa kalau populasi buddhis cuma 0.5% maka anggaran pemerintah daerah untuk anda juga cuma 0.5% bahkan kenyataan biasanya lebih kecil daripada itu?
Di Bali mungkin pas Waisak kalangan buddhis melihat poster Selamat Waisak di mana2, bahkan dari organisasi dan departemen pemerintah. Tapi sekali lagi, di tempat yang kehadiran buddhisnya sangat minor bahkan hampir tidak eksis, tidak ada hal2 semacam itu. Anda dianggap tidak ada. Dharmasanti Waisak pun kepala daerah yang diundang enggan datang, hanya mengutus seorang kabag di kantornya saja untuk mewakili.
Jumlah buddhis sesungguhnya mungkin 2-3 kali dari data di pemerintah, tapi sayang yang punya agama saja tidak sudi mengaku dan mengisi KTPnya dengan agama lain. Mungkin masih tersisa rasa rendah diri ataupun mana (kesombongan batin) untuk sekedar mengaku beragama Buddha. 8->
sama kegunaannya dengan ktp hindu... mau mantap... kolom agama di ktp di kosong-in... wkwkwkkww
No bukti = hoax...sekarang kamu LIVE dengan orang ber ktp hindu, bali..dan mengatakan sebaliknya..sy adalah living proof..sedangkan anda sedang mendemonstrasikan jadi living hoax ;D...hehehehehe
Nope. Absolutely wrong. :P
Orang bali itu, beragama Buddha, berKTP Buddha, menjadi pejabat di salah satu kantor depag, berasal dari daerah ....... di Bali, keluarga juga di sana. Gw tidak beberkan lebih lanjut karena kita tahu sendiri adat di Bali begitu keras, takut nanti kenapa-napa terutama keluarganya di sana. Dulu dalam kasus yang lain pernah ada yang sampai diusir dari desa adat dan ada juga yang dilarang dikuburkan di desanya kan?
Soal pernyataan anda yang lainnya, EGP. Emang gw pikirin.
Up to you. Hidup bli kumaha bli lah... ;D
Juga nanti putra-putri anda cukup kawin di pura saja, karena kalau kawin di vihara nanti diminta KTPnya..... repot. Vihara / majelis buddha gak mau nanti dituntut orang hindu koq berani2 ngawinkan orang hindu secara buddhis. Musti teken surat pernyataan lagi nanti :whistle:
di forum ini, diskusinya gini semua ya? ada enggak ya, thrit yang berisi diskusi yang sehat?
protes bagus, berarti otaknya bekerja... :))
tentunya ada !
wong anda baru, kemudian baca sedikit !
tapi protes kok seperti penguasa DC. =))
Malas dalam hal apa? Pas di e-ktp tinggal bilang saja sama petugasnya, agama saya Buddha. Selesai. Berat di mananya? Lebih kepada masalah mental block anda saja.Kalau saya soal ini bukan masalah 'mental block', tapi memang tidak merasa ada pengaruh apa2 dalam ganti 'status'.
Di Indonesia dan negara2 pada umumnya, you're nothing but statistic.Buddha's teaching is about what you do, not about 'your position in statistic'. Kecuali jika misalnya perlu dukungan statistik untuk kemudahan birokrasi (contohnya untuk bangun vihara, di area sekitar perlu x warga beragama Buddha, dan pada saat itu masih kurang), maka saya tidak masalah 'merepotkan diri' jadi Buddhis.
Anda adalah komponen dari data statistic, dan dengan data statistik pemerintah akan (antara lain): Alokasi anggaran depag (rumah ibadah, sarana prasarana, dll).Ini seperti sebelumnya, kalau memang bisa berarti, tidak masalah dilakukan. Tapi sejujurnya melihat 'wajah' Buddhisme di Indonesia, kalau bisa saya justru pilih 'bukan Buddhis'.
Kalau jumlah anda di statistik agama kecil, alokasi anggaran juga kecil. Mungkin di Bali dan daerah tertentu lain anda tidak bisa melihat kenyataan ini. Tapi kalau anda bisa keluar dari sikon tempat anda tinggal, melihat daerah lain di mana umat Buddha secara statistic sangat minor, maka kenyataannya lain.
Bisakah dibayangkan bahwa kalau populasi buddhis cuma 0.5% maka anggaran pemerintah daerah untuk anda juga cuma 0.5% bahkan kenyataan biasanya lebih kecil daripada itu?Kembali ke topiknya, anggaran pemerintah daerah, ucapan selamat, pengakuan, dan lain-lain, apakah menjadi faktor penentu dalam kemajuan bathin?
Di Bali mungkin pas Waisak kalangan buddhis melihat poster Selamat Waisak di mana2, bahkan dari organisasi dan departemen pemerintah. Tapi sekali lagi, di tempat yang kehadiran buddhisnya sangat minor bahkan hampir tidak eksis, tidak ada hal2 semacam itu. Anda dianggap tidak ada. Dharmasanti Waisak pun kepala daerah yang diundang enggan datang, hanya mengutus seorang kabag di kantornya saja untuk mewakili.
Jumlah buddhis sesungguhnya mungkin 2-3 kali dari data di pemerintah, tapi sayang yang punya agama saja tidak sudi mengaku dan mengisi KTPnya dengan agama lain. Mungkin masih tersisa rasa rendah diri ataupun mana (kesombongan batin) untuk sekedar mengaku beragama Buddha. 8->Betul, kalau saya memang kadang malu ngaku Buddhis. Selain sering disalah-kaprah aliran2 tertentu (Maitreya, LSY, klenik, dan aneka aliran ajaib lainnya), juga saya belum ketemu sosok bhikkhu yang bisa saya banggakan, terutama dari sisi vinaya.
Juga nanti putra-putri anda cukup kawin di pura saja, karena kalau kawin di vihara nanti diminta KTPnya..... repot. Vihara / majelis buddha gak mau nanti dituntut orang hindu koq berani2 ngawinkan orang hindu secara buddhis. Musti teken surat pernyataan lagi nanti :whistle:Buddha tidak pernah mengajarkan 'kawin cara Buddhis'. Itu adalah perihal budaya dan Buddha tidak pernah mempermasalahkan budaya dan ritual selama seseorang memiliki pandangan benar dan juga tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat (misalnya ritual pengorbanan makhluk hidup). Jadi seseorang kawin dengan adat apapun tidak akan mengubah 'kebuddhisannya' selama dia hidup dalam dhamma.
kalau ada, mana donk link nya?
Ikutan share dikit yah.
Kalau saya soal ini bukan masalah 'mental block', tapi memang tidak merasa ada pengaruh apa2 dalam ganti 'status'.
Buddha's teaching is about what you do, not about 'your position in statistic'. Kecuali jika misalnya perlu dukungan statistik untuk kemudahan birokrasi (contohnya untuk bangun vihara, di area sekitar perlu x warga beragama Buddha, dan pada saat itu masih kurang), maka saya tidak masalah 'merepotkan diri' jadi Buddhis.
Ini seperti sebelumnya, kalau memang bisa berarti, tidak masalah dilakukan. Tapi sejujurnya melihat 'wajah' Buddhisme di Indonesia, kalau bisa saya justru pilih 'bukan Buddhis'.
Kembali ke topiknya, anggaran pemerintah daerah, ucapan selamat, pengakuan, dan lain-lain, apakah menjadi faktor penentu dalam kemajuan bathin?
Betul, kalau saya memang kadang malu ngaku Buddhis. Selain sering disalah-kaprah aliran2 tertentu (Maitreya, LSY, klenik, dan aneka aliran ajaib lainnya), juga saya belum ketemu sosok bhikkhu yang bisa saya banggakan, terutama dari sisi vinaya.
Buddha tidak pernah mengajarkan 'kawin cara Buddhis'. Itu adalah perihal budaya dan Buddha tidak pernah mempermasalahkan budaya dan ritual selama seseorang memiliki pandangan benar dan juga tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat (misalnya ritual pengorbanan makhluk hidup). Jadi seseorang kawin dengan adat apapun tidak akan mengubah 'kebuddhisannya' selama dia hidup dalam dhamma.
Lantas dengan demikian apakah anda mau kawin secara hindu, kr1sten, atau 15lam ?ya memang kenapa? naive?
Kemudian pas upacara kawinnya anda baca doanya secara agama itu, dan minta restu dari mahkluk adikuasanya? [-X
Maaf, IMHO semua yang di atas naive sekali. 8-}
ya memang kenapa? naive?
saya diberkati di gereja, ikut katekisasi, berarti aye kr****n, ga boleh ya bagi budis? haram?
emangnya Ryu Buddhist?
Wah, kalau Global Moderator DC ternyata seorang kat0L1k sampai sekarang, berarti statement Reply #239 gw di atas salah. :-? ^:)^^-^ ^-^
Ternyata memang orangnya non Buddhis, tidak bisa dimasukkan dalam topik pembicaraan yg gw maksudkan ::)
Barusan saya lihat status di FB yang menghimbau agar seseorang belajar agama Buddha tanpa harus menjadi umat Buddha. Dalam himbauan tersebut, ada semacam kesan seakan-akan seseorang akan memperoleh manfaat yang diharapkan dengan mempelajari ajaran Buddha meskipun ia sendiri berasal dari agama lain. Pertanyaannya, benarkah dengan masih mengakui agama lain sebagai agamanya, seseorang benar-benar akan memperoleh manfaat yang semestinya dengan mempelajari ajaran Buddha?
emangnya Ryu Buddhist?:o ;D
emangnya Ryu Buddhist?pikir2 emang bukan ya =)) ke vihara dah ga pernah lagi, baca liam keng dah ga pernah lagi, meditasi ga pernah, tisarana blom, berarti aye emang bukan budis ding, case closed :D
:o ;D
Kawinnya sesudah apa sebelum menganut buddhis?kawin sesudah ga ke vihara lagi ding
Ikut katekisasinya sesudah apa sebelum menganut buddhis?
Kalau sesudah menganut buddhis, apa alasan anda ikut kedua ritual di atas? Untungnya apa buat anda?
Apa itu bukan naive?
kawin sesudah ga ke vihara lagi ding
katekisasi sesudah ga ke vihara lagi ding
berarti emang aye kr****n ding :D
dan untung waktu dulu ke vihara ga di periksa ktp, kalau di periksa takut di bilang naive, ngapain kr****n ke vihara =))
Kawinnya sesudah apa sebelum menganut buddhis?
Ikut katekisasinya sesudah apa sebelum menganut buddhis?
Kalau sesudah menganut buddhis, (1)apa alasan anda ikut kedua ritual di atas? (2) Untungnya apa buat anda?
Apa itu bukan naive?
Open case lagi kah? ::)saya tanya, kalau di indonesia boleh menikah beda agama?
Berarti pertanyaan di bawah masih relevan, belum anda jawab. :-?
saya tanya, kalau di indonesia boleh menikah beda agama?
Oo, demi cinta :)) ^:)^ ^-^karena ktp aye memang kr****n
Kenapa si istri yang nggak ikut suami ? Jadi ingat lagunya Sule :x :whistle:
Jadi bhikkhu2 dan umat pengikut Sang Buddha dulu juga nggak perlu ngaku2 buddhis (buddhis di sini dalam arti mengikuti ajaran seorang buddha atau umat buddha). :whistle:Betul. Mereka boleh saja mengakui secara terbuka, tapi apakah mengaku atau tidak, apalah bedanya? Apakah orang untuk berdana, menjaga sila, mengembangkan samadhi dan panna harus dengan mengaku Buddhis dulu?
Mereka kan tadinya brahmin, kalau ditanya orang bilang aja tetap brahmin, begitu? Gak ngaruh kan. Di bagian mana di RAPB anda baca murid Sang Buddha seperti itu?Bagian mana di RAPB yang dikatakan menyatakan status berpengaruh pada perkembangan bathin?
KTP kan memang untuk itu #-oSaya tidak merasa 'repot', hanya merasa tidak ada manfaatnya. Walau tak merepotkan, untuk apa melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya?
Cuma ngisi kolom agama dengan kata "Buddha" saja anda repot. :o
Anda mencari kambing hitam soal KTP anda agamanya = lainKambing hitam? Memang ada kesalahan yang terjadi yang perlu dilimpahkan? Atau jangan-jangan anda menganggap Buddhis dengan KTP non-Buddhis adalah pembuat kesalahan?
Kalau anda masuk hutan, bertapa dan menyendiri ya gapapa.Baca topiknya, bung. TS bicara manfaat spiritual tanpa perlu mengganti 'merk', bukan masalah administrasi dan kewarganegaraan.
Tapi dalam bermasyarakat dan bernegara, perlu. Bukan yang dipersoalkan "yang penting kemajuan batinnya".
Justru kewajiban anda untuk meluruskan anggapan yang keliru di masyarakat, bukan malah bersembunyi dalam tempurung dengan mengganti agama di KTP. Kura2 dalam perahu.Jadi saya yang punya kewajiban? Sejak kapan ada tanggungjawab seperti itu dibebankan ke umat yah?
Lantas dengan demikian apakah anda mau kawin secara hindu, kr1sten, atau 15lam ?Saya ga masalah dengan tata cara perkawinan, yang penting pasangannya cocok. Anda mungkin menganggap ada sesuatu dalam tata cara, tapi saya bukan penganut silabbataparamasa. Jadi maaf, kita memang berbeda.
Kemudian pas upacara kawinnya anda baca doanya secara agama itu, dan minta restu dari mahkluk adikuasanya?
[-XSaya tunggu anda yang tidak naif untuk mengubah wajah Buddhisme di Indonesia.
Maaf, IMHO semua yang di atas naive sekali. 8-}
Quote from: sanjiva on Yesterday at 10:57:55 PM
Jadi bhikkhu2 dan umat pengikut Sang Buddha dulu juga nggak perlu ngaku2 buddhis (buddhis di sini dalam arti mengikuti ajaran seorang buddha atau umat buddha). :whistle:
-------------------
Betul. Mereka boleh saja mengakui secara terbuka, tapi apakah mengaku atau tidak, apalah bedanya? Apakah orang untuk berdana, menjaga sila, mengembangkan samadhi dan panna harus dengan mengaku Buddhis dulu?
Quote from: sanjiva on Yesterday at 10:57:55 PM
Mereka kan tadinya brahmin, kalau ditanya orang bilang aja tetap brahmin, begitu? Gak ngaruh kan. Di bagian mana di RAPB anda baca murid Sang Buddha seperti itu?
---------------
Bagian mana di RAPB yang dikatakan menyatakan status berpengaruh pada perkembangan bathin?
Quote from: sanjiva on Yesterday at 10:57:55 PM
KTP kan memang untuk itu #-o
Cuma ngisi kolom agama dengan kata "Buddha" saja anda repot. :o
-----------------
Saya tidak merasa 'repot', hanya merasa tidak ada manfaatnya. Walau tak merepotkan, untuk apa melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya?
Saya ga masalah dengan tata cara perkawinan, yang penting pasangannya cocok. Anda mungkin menganggap ada sesuatu dalam tata cara, tapi saya bukan penganut silabbataparamasa. Jadi maaf, kita memang berbeda.
Jadi kalau ada seseorang yang mau belajar agama budha harus merubah ktpnya ya? Apa itu syarat nya?
Kalau pertanyaanya: "Kenapa harus rubah KTP kalau sudah ikut agama Buddha, sudah visudhi, sudah kawin secara buddhis, sudah belajar agama Buddha, sudah ini sudah itu ?Kalau kawinnya secara hindu? Khan ktp nya hindu? Apa harus mengganti jadi budha karena telah visudhi dll?
Jawabnya: Kenapa tidak ?
(khusus Ryu, karena tidak visudhi, tidak kawin buddhis, tidak ke vihara, tidak baca keng, tidak ini tidak itu, ya memang jadi pengecualian, tidak perlu emang). ;D
(http://www.pic4ever.com/images/bl9.gif)
karena ktp aye memang kr****nbukannya ryuyana yak :))
Kalau kawinnya secara hindu? Khan ktp nya hindu? Apa harus mengganti jadi budha karena telah visudhi dll?
Seorang Samanera yang sudah belasan tahun pake jubah pun di KTPnya tertulis ISLAM, bagaimana dengan kasus ini?
Maaf, Samanera!
Samanera selama belasan tahun? ::)
Nggak naik2 jadi bhikkhu ya? ;D
bukannya ryuyana yak :))pengikutnya masih sedikit nih =))
Kalau pertanyaanya: "Kenapa harus rubah KTP kalau sudah ikut agama Buddha, sudah visudhi, sudah kawin secara buddhis, sudah belajar agama Buddha, sudah ini sudah itu ?
Jawabnya: Kenapa tidak ?
Gak usah muter2 sampai ke dana, sila, samadhi.Oh, kalau belajar Buddhisme bukan dana, sila, samadhi, panna, berarti memang definisi 'Buddhis' kita berbeda. Silahkan anda jalani "Buddhis Administrasi, Birokrasi & Statistik" anda. Saya tidak menanggapi lagi.
kenapa disebut "naik", apakah seorang yg lebih suka menjadi samanera disebut "tidak naik"?
Samanera = 10 sila, bhikkhu = 227 sila
Samanera jadi bhikkhu berarti silanya naik dari 10 jadi 227.
Kenapa lebih suka jadi samanera? Kenapa lebih suka di SD terus kalau ada SMP, SMA ?
tapi fakta di lapangan mengatakan, jadi bhikkhu ternyata lebih tidak bermoral daripada samanera? bagaimana menurut anda? Ada Bhikkhu yg mengaku Buddha hidup, ada Bhikkhu bergitar, ada bhikkhu tidak tau vinaya? semua ini belum saya lihat ada pada samanera.oh iya bikhu bergitar ktpnya apa ya? budha?
jumlah sila hanya berguna jika dipraktikkan, bhikkhu yg tidak menjalankan vinaya tidak bisa disebut memiliki 227 sila.
tapi fakta di lapangan mengatakan, jadi bhikkhu ternyata lebih tidak bermoral daripada samanera? bagaimana menurut anda? Ada Bhikkhu yg mengaku Buddha hidup, ada Bhikkhu bergitar, ada bhikkhu tidak tau vinaya? semua ini belum saya lihat ada pada samanera.
jumlah sila hanya berguna jika dipraktikkan, bhikkhu yg tidak menjalankan vinaya tidak bisa disebut memiliki 227 sila.
Baru saja tadi sekitar pukul 10 pagi, seorang teknisi datang ke kantor, kenalan lama. Dia tanya, 'ga ikutan?' (Kebaktian, maksudnya). Saya bilang, 'nggak'. Dia tanya, 'beda yah? emang aliran apa?' Baru mau jawab 'Buddhis', tapi timbul ingatan-ingatan: 'berhala', 'cung-cung-cep', 'black hole patta', 'klenik & gaib', 'vegextremist', dan juga ingat post tertentu di thread ini yang mengindikasikan lahirnya 'fasisme statistika'. Kontan saya "rendah diri" ngaku Buddhis, jadi saya jawab, 'aliran sesat' sambil guyon. Mungkin berikutnya saya akan menjawab "Zeusism" saja.
Kalau berbicara penyimpangan, semua memungkinkan terjadi penyimpangan.
Ada umat cewek bercerita bahwa dia dilecehkan seorang samanera, tangannya ditarik sambil samanera itu menjulurkan pen1snya agar si cewek memegangnya.
Ada bhikkhu yang parajika, menilep dana umat, main cewek dan sebagainya tapi ada pula yang dipercaya mencapai kesucian seperti Acharn Mun, Ajahn Toh, dsb. Kalau di Indonesia ada bhikkhu yang dianggap 'alim' seperti bhante Pannyavaro misalkan. Lantas dengan demikian apakah tidak perlu jadi bhikkhu? Masih ada bhikkhu yang bermoral yang menjalankan patimokkha, demikian pula masih ada samanera yang baik yang menjalankan dasasila.
Ilmu kungfu itu apalagi yang tingkat tinggi mampu membunuh manusia hanya dengan sekali pukulan bahkan sentuhan, lantas apakah dengan demikian tidak perlu belajar kungfu?
Pisau bisa membunuh manusia, bisa pula buat membantu proses memasak, apa pisau perlu ditinggalkan?
Latihan dan sila sudah diwariskan Sang Buddha secara sempurna, apa kita malah takut hanya karena ada yang menjalankannya menyimpang?
Istilah sekarang, itukan cuma oknum :whistle: ;D
benar, maka jumlah sila tidak terbukti tidak menentukan kualitas spiritual seseorang, terutama jumlah sila yg tidak dijalankan. seorang samanera yg menjalankan dasasila plus 75 samanera sikha adalah lebih baik daripada seorang bhikkhu yg tidak menjalankan vinaya.
persoalannya bukan apakah perlu atau tidak perlu menjadi bhikkhu, tapi menjadi bhikkhu adalah pilihan seseorang. banyak orang jadi bhikkhu karena tergiur dengan kemudahan mendapatkan kemewahan tanpa perlu bekerja
siapa saja sebutkan jangan fitnah saja.. kalo tidak menyebutkan siapa saja saya hanya menganggap ini fitnahan... sudah sesat kayaknya anda...
saya menolak utk menyebutkan oknumnya, tapi jika anda bisa mengusahakan suatu persidangan atas diri saya, mungkin saya akan memberikan bukti2 dalam persidangan itu.
Bukankah di thread lain anda mengatakan bahwa saya yg tidak memahami ajaran Buddha tidak layak berdiskusi dengan anda yg memahami ajaran Buddha? kata orang tua ini namanya "menjilat ludah sendiri".
kan fitnah cuma orang fitnah aja yang ga bisa sebut siapa, atau memang ga tau hahaha... kalau tau dan ada pasti berani sebut..
menjilat ludah sendiri...? itu ditread ketuhanan bukan tread ini, yang jelas ditread itu saya tidak akan menjawab lebih lanjut pertanyaan anda.. kalau disini kan topiknya lain...oh anda tidak berkata seperti itu di sana. tapi saya mulai menyukai gaya anda, semoga anda bisa bertahan cukup lama.
logika sd ya?
forum ini rusak karena ada orang2 sesat seperti kamu.. serigala dalam biri2
forum ini rusak krn ga sesuai harapan gue... ga sesuai dg keinginan gue... ga sesuai dg idealis gue... dst...forum ini rusak krn ga sesuai harapan gue... ga sesuai dg keinginan gue... ga sesuai dg idealis gue... dst...
bilang aja gitu >:D
wah3 berat jg ya ....;D Sebenernya saya sih santai-santai aja, sudah tidak tersinggung kalau dibilang gitu. Jika orang ingin diskusi baik2 atau belajar, saya tidak pernah enggan mengakui bahwa saya berpandangan Buddhisme, Theravada khususnya. Tapi di antara orang yang men-generalisir Buddhisme dengan hal-hal lainnya, maka saya lebih cocok menyatakan saya bukan Buddhis (yang seperti itu).
saya sejak kecil/SD sering diejek penyembah berhala oleh anak2 disekitar saya...
entah mengapa saat itu biasa aja..tidak ada perasaan minder..
tp suatu waktu di SMP saya pernah berkelahi karena emosi yang memuncak,,dan akhirnya dia minta maaf...
menjadi minoritas memang membawa beban mental...bahkan sejak kecil...
karena berbagai faktor yang tidak mendukung..
dirasa orang aneh kalo orang pribumi beragama buddha
toleransi umat beragama kadang hanya selogan...
lg pula teman2 saya kebanyakan non buddhis..dan mereka sangat baik..
tentu dsaat mereka berkunjung di tempat saya, saya akan mengingatkan dia jika jam2 sholat tiba..(jika muslim)
"Biri2"? ;D Kalo seorang Indra bisa 'manis' seperti 'biri2' bahkan seperenambelas bagian saja, maka T-Rex bisa makan kangkung.apakah yang manis seperti "biri2" ini seorang yang fanatik?
"Biri2"? ;D Kalo seorang Indra bisa 'manis' seperti 'biri2' bahkan seperenambelas bagian saja, maka T-Rex bisa makan kangkung.;D :))
apakah yang manis seperti "biri2" ini seorang yang fanatik?"Manis" ini bukan masalah fanatik atau tidak, tapi masalah tingkat 'kebrutalan'.
Kira-Kira kalau pada jaman Buddha masih hidup... ada-kah yang belajar dan praktek sesuai dengan ajaran Buddha (bahkan mungkin sering ikut mendengarkan khotbah dhamma), tetapi tidak mau di sebut sebagai pengikut Buddha ?
***
Sayang sekali text dalam ebook RAPBnya DC ga bisa dicopy paste, jadi menyulitkan untuk dikutip dalam diskusi. Gw terpaksa ketik ulang dan cukup memakan waktu, apalagi kalau panjang. #:-S
sedang diusahakan untuk ganti font, tapi entah kapan selesai
Bedanya orang suci dengan orang yang merasa sudah suci ya kayak di atas, yang suci beneran tanpa malu, tanpa takut, tanpa prasangka akan dituduh berhala dsb, dengan tanpa tedeng aling2 akan menjawab "Buddha". :D Titik. Ga mikir yang macem2 atau muter2 dulu.
so, mereka naive donk
Bedanya orang suci dengan orang yang merasa sudah suci ya kayak di atas, yang suci beneran tanpa malu, tanpa takut, tanpa prasangka akan dituduh berhala dsb, dengan tanpa tedeng aling2 akan menjawab "Buddha". :D Titik. Ga mikir yang macem2 atau muter2 dulu.setuju bro. tapi susah menjadi orang suci, kalau masih suka bertengkar haha.
Bedanya orang suci dengan orang yang merasa sudah suci ya kayak di atas, yang suci beneran tanpa malu, tanpa takut, tanpa prasangka akan dituduh berhala dsb, dengan tanpa tedeng aling2 akan menjawab "Buddha". :D Titik. Ga mikir yang macem2 atau muter2 dulu.jadi bedanya seperti ini ya :
Orang Suci : pasti akan memberitahukan secara benar dan pasti kalau di tanya, berguru pada siapa ? menjalankan ajaran siapa ?Kalau begitu lsy termasuk orang suci ya?
Orang yang pura-pura suci : bisa saja mengaku berguru pada orang suci lainnya (baca : Buddha), tetapi prilaku-nya mungkin saja tidak sesuai dengan apa yang dipelajar-i-nya...
Orang yang tidak mengaku belajar buddhisme ? yang pasti tidak akan termasuk di dalam orang suci (sesuai yang ada di konsep buddhisme)
Kalau begitu lsy termasuk orang suci ya?
I see
Yang pasti kalau orang yang tidak mengaku-i sebagai pengikut Buddha (menjalankan dan mempraktekkan ajaran Buddha) tidak akan bisa mencapai kesucian...Kok ada kurungnya? Pernyataannya di rubah lagi =))
Kok ada kurungnya? Pernyataannya di rubah lagi =))
Jadi kalau orang yang di ktpnya budha termasuk orang suci gak? :D
Orang yang ktpnya budha ada jaminan dia orang suci ga?
Orang yang belajar budhis tapi ktpnya bukan bdhis dijamin orang yang pura2 suci?
orang yang ktp-nya buddha --> bisa jadi orang suci atau bisa juga gak jadi orang suci...bukan soal ngaku2 khan, bukan soal ktp juga ;D
orang yang gakngaku pengikut buddha(menjalankan ajaran buddha) --> sudah pasti gak akan bisa jadi orang suci (versi buddhisme).
mungkin mengubah label Agama di KTP yang 'sudah tertera' cukup rumit (dipersulit) ^-^
Jadi kalau ajaran "non-Buddhis" yang saya anut, Sang Guru mengajarkan untuk meninggalkan hal-hal yang kondusif pada kelahiran kembali dan itu tidak ada sangkut pautnya dengan pengakuan guru, pengubahan peraturan, gaya hidup, dan kebiasaan (dari agama sebelumnya yang dianut), apalagi KTP.[/spoiler]
like this one belowBeda terjemahan, Mas Tidar. Dan saya juga sudah menyertakan pointnya bahwa yang jadi tujuan utama Buddha adalah mengajarkan orang meninggalkan hal-hal yang tidak baik, meneruskan lingkaran kelahiran, menyakitkan.
diseputaran internet kalau dicari cuplikan sutta tsb:
Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama.
Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu,
karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.
Cobalah apa yang telah Kutemukan ini,
dan nilailah oleh dirimu sendiri.
Jika itu baik bagimu, terimalah.
Jika tidak, janganlah engkau terima.
kami merasa merasa kurang lengkap dan hanya diambil sepotong saja dan bisa jadi suatu saat cuplikan tersebut digunakan menjadi salah arti.
bukan soal ngaku2 khan, bukan soal ktp juga ;D
ada tambahan juga nih, menjalankan ajaran buddha nya yang mana yang bisa menbuat orang jadi suci ;D
Umat tertentu harus mengucapkan beberapa kalimat pengakuan baru bisa mendapatkan manfaat agamanya. Umat tertentu lainnya harus menyatakan iman pada sosok tertentu baru bisa mendapatkan manfaat agamanya.
Ternyata agama Buddha tidak kalah, harus ngaku guru atau bahkan harus ganti KTP untuk mendapatkan manfaat dari Agama Buddha. Untung saya bukan Buddhis.
Numpang OOT sedikit, saya kutip ajaran 'Non-Buddhis' yang saya anut:
‘Nigrodha, engkau mungkin berpikir:
“Petapa Gotama mengatakan hal ini untuk mendapatkan murid.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah ia yang menjadi gurumu tetap menjadi gurumu.
Atau engkau mungkin berpikir: “Beliau ingin kami meninggalkan peraturan-peraturan kami.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah peraturanmu tetap berlaku seperti apa adanya.
Atau engkau mungkin berpikir: “Beliau ingin kami meninggalkan gaya hidup kami.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah gaya hidupmu tetap seperti apa adanya.
Atau engkau mungkin berpikir: “Beliau ingin kami mengukuhkan kami dalam melakukan hal-hal yang menurut ajaran kami adalah salah, dan yang dianggap demikian oleh kami.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap salah tetap dianggap demikian.
Atau engkau mungkin berpikir: “Beliau ingin menarik kami dari hal-hal yang menurut ajaran kami adalah baik, dan yang dianggap demikian oleh kami.” Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap baik tetap dianggap demikian.
Nigrodha, Aku tidak berbicara karena alasan-alasan ini ....’
‘Ada, Nigrodha, hal-hal tidak baik yang belum ditinggalkan, ternoda, mendukung kelahiran kembali, menakutkan, menghasilkan akibat menyakitkan di masa depan, berhubungan dengan kelahiran, kerusakan, dan kematian, adalah untuk meninggalkan hal-hal ini, maka Aku mengajarkan Dhamma. Jika engkau mempraktikkan dengan benar, hal-hal ternoda ini akan ditinggalkan, dan hal-hal yang memurnikan akan tumbuh dan berkembang, dan engkau akan mencapai dan berdiam, dalam kehidupan ini, dengan pandangan terang dan pencapaianmu sendiri, kesempurnaan kebijaksanaan sepenuhnya.’
Jadi kalau ajaran "non-Buddhis" yang saya anut, Sang Guru mengajarkan untuk meninggalkan hal-hal yang kondusif pada kelahiran kembali dan itu tidak ada sangkut pautnya dengan pengakuan guru, pengubahan peraturan, gaya hidup, dan kebiasaan (dari agama sebelumnya yang dianut), apalagi KTP.
Kalau ada pendataan e-KTP, kolom agama minta di-isi, isi aja agama BUDDHA kalau memang mengikuti ajaran Buddha, kenapa rupa-nya ?
Kalau ada pendataan e-KTP, kolom agama minta di-isi, isi aja agama BUDDHA kalau memang mengikuti ajaran Buddha, kenapa rupa-nya ?Iya, memang tidak masalah kok. Status apapun disematkan di KTP juga jujur saya tidak peduli. ;D
Iya, memang tidak masalah kok. Status apapun disematkan di KTP juga jujur saya tidak peduli. ;D
Tapi ada dua hal di sini, yang pertama adalah bahwa pengakuan dan identitas tidak ada hubungannya dengan kemajuan bathin. Dan yang ke dua, lebih kondisional di masyarakat sini karena "Buddhis" di sini lebih umum mengacu ke hal-hal yang sebetulnya bukan Ajaran Buddha (menurut saya), maka saya enggan mengakuinya. Misalnya ada orang menganggap "Buddhis = umat yang memuja Lao Mu", maka ketika tanya ke saya apakah saya Buddhis, tentu saya tanpa berbohong akan menjawab 'bukan', karena memang saya bukan 'umat Lao Mu'. Tapi kalau dengan orang yang tahu atau mau tahu apa itu "Buddhisme", tentu saya akan katakan bahwa saya Buddhis.
Iya, memang tidak masalah kok. Status apapun disematkan di KTP juga jujur saya tidak peduli. ;D
Tapi ada dua hal di sini, yang pertama adalah bahwa pengakuan dan identitas tidak ada hubungannya dengan kemajuan bathin. Dan yang ke dua, lebih kondisional di masyarakat sini karena "Buddhis" di sini lebih umum mengacu ke hal-hal yang sebetulnya bukan Ajaran Buddha (menurut saya), maka saya enggan mengakuinya. Misalnya ada orang menganggap "Buddhis = umat yang memuja Lao Mu", maka ketika tanya ke saya apakah saya Buddhis, tentu saya tanpa berbohong akan menjawab 'bukan', karena memang saya bukan 'umat Lao Mu'. Tapi kalau dengan orang yang tahu atau mau tahu apa itu "Buddhisme", tentu saya akan katakan bahwa saya Buddhis.
mengingat status agama di ktp dapat berimplikasi thd perkembangan agama Buddha di Indonesia
saya pikir hal ini layak menjadi perhatian kita bersama, dan tentunya dgn paradigma baru yg tidak bertentangan dengan hal tsb di atas
Karena itu, kita perlu mengusulkan sebaiknya kolom Agama di KTP dihilangkan saja.itu gagasan saya sedari awal (lihat di postingan saya terdahulu)
Pembedaan berdasarkan bangsa, suku, ras, adat budaya tidak memberikan kontribusi positif dalam hidup sebagai bangsa.
Inti-nya... bahwa dalam hal yang sebenar-benar-nya... yang belajar ajaran buddha (benar-benar belajar ajaran buddha), apakah di-sebut umat Buddha (siswa buddha) ?IMO, yang benar belajar dan menjalankan Ajaran Buddha, sudah tentu namanya siswa Buddha, dan dia sendiripun PASTI mengakui bahwa ia adalah siswa Buddha. Namun kalau soal pengakuan keluar, itu adalah kondisional dan sifatnya relatif. Juga pengakuan itu tidak pasti berhubungan dengan kemajuan bathin.
Kalau berhubungan dengan sensus penduduk, bagaimana Sdr. Kainyn? Perlulah kita mengatakan sebenarnya atau terserah??Kalau untuk hal pendataan begitu, maka tidak ada efeknya (dalam konteks 'persepsi' si penanya), jadi jawab apapun tidak berpengaruh apa-apa. Namun mempertimbangkan efek sisi lain seperti hal2 yang berkenaan dengan birokrasi, sebaiknya menjawab yang sebenarnya (Buddhis).
mengakui ajaran Buddha itu baik,menerima ajaran buddha itu baik dan menjalankan ajaran Buddha dengan baik juga dalam hidupnya,apa susahnya mengakui/mengisi agama BUDDHA di KTP nya..? saya pernah dengar 1 kasus(tidak menyaksikan sendiri),jenasah sudah rapi di peti mati,akhir di keluarkan dan dikafan kan untuk dimakamkan oleh warga sesuai ktp nya.kalau orang dah mati trus di upacarakan sesuai dengan ktp apa yang terjadi?
IMO, yang benar belajar dan menjalankan Ajaran Buddha, sudah tentu namanya siswa Buddha, dan dia sendiripun PASTI mengakui bahwa ia adalah siswa Buddha. Namun kalau soal pengakuan keluar, itu adalah kondisional dan sifatnya relatif. Juga pengakuan itu tidak pasti berhubungan dengan kemajuan bathin.
yang benar belajar dan menjalankan ajaran Buddha = siswa Buddha = pasti mengakui...Kembali lagi saya mengemukakan 2 konteks:
yang mengaku umat buddha / siswa buddha = belum pasti adalah BENAR-BENAR siswa BUDDHA...
TAPI yang pasti, yang tidak mengaku-i belajar dan menjalankan ajaran BUDDHA = sudah pasti bukan siswa Buddha...
---
Jadi kalau ada yang di-tanya...
A : Kamu belajar / menjalankan ajaran mana ?
B : Saya tidak mementingkan nama ? Buat apa nama ? Buat apa identitas ? Kenapa saya harus merubah status dan identitas "spiritualitas" saya ?
kalau orang dah mati trus di upacarakan sesuai dengan ktp apa yang terjadi?jenasah tidak bisa berbuat apa-apa lagi,apa lagi berteriak..setahu saya jenasah juga tidak bawa KTP. hanya bagi orang yang hidup saja untuk berbuat sesuatu yang layak sesuai dengan keyakinannya yang tercantum di KTP. ini menurut saya secara pribadi. _/\_
contoh :
diupacarakan kr1sten masuk mana?
diupacarakan budha masuk mana?
diupacarakan islam masuk mana?
diupacarakan hindu masuk mana?
saya pernah dengar salah satu syarat mendirikan vihara adalah adanya persetujuan umat Buddhis dan fotokopy ktpnya yg terdapat di wilayah bersangkutan sejumlah quota tertentudi daerah saya vihara keknya banyak, mungkin ada 10 lebih dikit.
selain itu masih ada persyaratan lain2nya yg pastinya lebih panjang dan memakan biaya yg tidak sedikit
nah, kalau banyak umat Buddhis tapi tidak ber-ktp Buddhis apakah di sini saja sudah tersandung?
terlebih lagi alasan individualistik orang tsb tidak beralasan, apakah anggapan orang bahwa Buddhism mengajarkan individualistik benar adanya?
saya pernah dengar salah satu syarat mendirikan vihara adalah adanya persetujuan umat Buddhis dan fotokopy ktpnya yg terdapat di wilayah bersangkutan sejumlah quota tertentuSeperti saya katakan, itu masuk dalam bahasan konteks sosial-budaya, dan setiap orang punya pertimbangan masing-masing. Misalnya mau didirikan vihara yang 'buddha-nya masih tinggal seatap sama istri' di lingkungan saya dan disurvey quota, mungkin dari 'Budha' pun saya akan buru2 ke RT untuk ganti agama.
selain itu masih ada persyaratan lain2nya yg pastinya lebih panjang dan memakan biaya yg tidak sedikit
nah, kalau banyak umat Buddhis tapi tidak ber-ktp Buddhis apakah di sini saja sudah tersandung?Tidak beralasan itu 'kan menurut anda, menurut orang lain. Menurut dia yang menjalani sendiri, mungkin beda. Bukankah justru orang yang memaksakan kehendak orang lain untuk ubah KTP adalah yang egois dan individualistik?
terlebih lagi alasan individualistik orang tsb tidak beralasan, apakah anggapan orang bahwa Buddhism mengajarkan individualistik benar adanya?
di daerah saya vihara keknya banyak, mungkin ada 10 lebih dikit.ini bener nih, satu kelurahan/kecamatan/kabupaten/provinsi?
tapi umatnya keknya itu2 saja, di vihara ini ketemu, di vihara sana ketemu keknya jadi mubajir banyak vihara tapi umatnya itu2 saja dan malah jadinya menarik2 umat dengan cara promo2 tertentu :))bener juga sih, saya pernah ketemu yg spt ini
Seperti saya katakan, itu masuk dalam bahasan konteks sosial-budaya, dan setiap orang punya pertimbangan masing-masing. Misalnya mau didirikan vihara yang 'buddha-nya masih tinggal seatap sama istri' di lingkungan saya dan disurvey quota, mungkin dari 'Budha' pun saya akan buru2 ke RT untuk ganti agama.ngak perlu lah, kan tidak usah ikut tanda-tangan saja sudah cukup
Tidak beralasan itu 'kan menurut anda, menurut orang lain. Menurut dia yang menjalani sendiri, mungkin beda. Bukankah justru orang yang memaksakan kehendak orang lain untuk ubah KTP adalah yang egois dan individualistik?ngak lah saya sih ngak ingin apa2 dlm hal ini, cuma mengemukakan suatu pemikiran
Saya selalu memegang bahwa Buddhisme adalah ajaran 'ke dalam'. Jadi ketika kita menghindari 'individualisme', nomor satu adalah melihat ke diri sendiri dulu apakah kita melakukan sesuatu demi kepentingan, keinginan individu kita atau tidak; bukan menilai orang lain individualistik karena tidak mau ikut keinginan kita.
Jadi apakah pengakuan identitas diperlukan? Tergantung bagaimana dan sejauh mana seseorang dapat melihat kemanfaatannya untuk kebaikan di balik pengakuan identitasnya, bukan untuk dirinya semata tetapi untuk manfaat dan kebaikan pihak lain.:jempol:
Pengakuan identitas Buddhis (melalui KTP atau survey atau sejenisnya) dapat digunakan sebagai data, dan data tersebut dapat digunakan oleh otoritas untuk mengetahui, menentukan berbagai hal seperti jumlah dana, bantuan berkaitan dengan umat Buddha, yang tidak mampu, yang terkena musibah. Penentuan pembangunan infrastruktur, sekolah, perpustakaan, dll.sebenernya ga usah ngaku budha juga pasti ada jalan kok buat bikin data fiktif, dan data tersebut dapat digunakan oleh otoritas untuk mengetahui, menentukan berbagai hal seperti jumlah dana, bantuan berkaitan dengan umat Buddha fiktif agar bisa korupsi ;D
Dengan adanya prasarana yang cukup baik, memadai, maka dapat memberikan, membentuk kondisi-kondisi yang baik untuk menunjang seseorang mengembangkan spiritualnya. Apakah menjamin spiritual seseorang berkembang? Bisa ya, bisa tidak, tergantung bagaimana seseorang memanfaatkan kondisi-kondisi baik tersebut. Hal ini sama dengan penjelasan Sang Buddha mengenai kekayaan yang dapat digunakan untuk membantu mengembangkan kebaikan untuk sesama dan makhluk lain. (Ādiya Sutta, Anguttara Nikaya 5.41).
Jadi apakah pengakuan identitas diperlukan? Tergantung bagaimana dan sejauh mana seseorang dapat melihat kemanfaatannya untuk kebaikan di balik pengakuan identitasnya, bukan untuk dirinya semata tetapi untuk manfaat dan kebaikan pihak lain.
Demikian pendapat saya.
sebenernya ga usah ngaku budha juga pasti ada jalan kok buat bikin data fiktif, dan data tersebut dapat digunakan oleh otoritas untuk mengetahui, menentukan berbagai hal seperti jumlah dana, bantuan berkaitan dengan umat Buddha fiktif agar bisa korupsi ;D
Simpel, Mr. Ryu. Ini berarti menekankan bahwa yang bersangkutan memang bukan Buddhis. Pertama, ia tidak mengaku Buddhis dan kedua, ia menerapkan perbuatan yang bukan berdasarkan dari mempelajari Buddhisme , yaitu menipu, memanipulasi. Dan jelas dampaknya dari korupsi yaitu lebih mengarah pada manfaat pribadi.intinya tanpa ada orang yang berktp budha pun bisa saja jadi banyak orang yang berktp budha dalam pendataan dan survey
ngak perlu lah, kan tidak usah ikut tanda-tangan saja sudah cukupIya, tadi hanya ilustrasi saja. Saya belum pernah kena survey begitu, mungkin karena sekitar rumah sudah ada cukup vihara.
ngak lah saya sih ngak ingin apa2 dlm hal ini, cuma mengemukakan suatu pemikiranEntah yah, kalau saya tidak bersikeras dalam status KTP dan (secara pribadi) menganjurkan orang tidak bersikeras juga. Tulislah apa yang dirasa bermanfaat dan tidak merepotkan.
jgn2 orang tsb dipengaruhi sifat individualistik, makanya ngak bingung kalau dia bersikeras ngak perlu rubah ktp
satu lagi yg lebih parah nih, kalau orang tsb gembar-gembor pemikiran individualistik-nya ke sana-sini, bisa bahaya kan anggapan orang tentang Buddhism?
no offense
intinya tanpa ada orang yang berktp budha pun bisa saja jadi banyak orang yang berktp budha dalam pendataan dan survey
Iya, tadi hanya ilustrasi saja. Saya belum pernah kena survey begitu, mungkin karena sekitar rumah sudah ada cukup vihara.saya rasa sejauh ini saya sependapat dgn apa yg anda sampaikan
Entah yah, kalau saya tidak bersikeras dalam status KTP dan (secara pribadi) menganjurkan orang tidak bersikeras juga. Tulislah apa yang dirasa bermanfaat dan tidak merepotkan.
Di satu pihak, kalau kita memang Buddhis, tidak ada kesulitan, dan dengan pengakuan Buddhis kita bisa berpengaruh pada manfaat tertentu (misalnya quota pembangunan vihara/sekolah Buddhis), tapi kita tidak mau, memang itu sikap yang kurang tepat. Tapi di sisi lain, saya pernah melihat bagaimana di satu keluarga kawin campur (beda agama, beda ras), pengakuan di KTP itu begitu hebohnya sampai bisa menyebabkan keributan; mertua ribut dengan menantu, ayah ribut dengan anak, suami dengan istri, hanya gara-gara status. Buat saya, hal tersebut sangat menyedihkan. Dan kalau Buddhisme memang betul demikian mementingkan status seperti itu, maka tidak ada komentar lain dari saya selain "Buddhisme itu menyedihkan".
Karena menilai dari 2 sudut pandang ini -tidak hanya yang enak atau hanya yang tidak enak saja kondisinya- maka saya mengatakan bahwa semua itu kondisional, tidak harus mengubah juga tidak harus tidak mengubah, semua tergantung kondisi lingkungan kita hidup. Namun terlepas dari itu semua, untuk mendapatkan manfaat Ajaran Buddha adalah dengan melatih mengikis noda bathin. Jadi tidak perlu dikhawatirkan dengan status. Itu saja. :)
Sang Buddha di KTPnya agama apa ya?
ada yang tahu bahasa Pali KTP ?
jika di masa sang Buddha tidak ada KTP, berarti untuk menjadi buddhis itu gak perlu KTP sama sekali donk?
memang tidak, apakah pernah terjadi sebaliknya?
tidak. jadi siapa umat buddhis yang berpendapat bahwa menjadi buddhis perlu pake KTP buddhis?
jika di masa sang Buddha tidak ada KTP, berarti untuk menjadi buddhis itu gak perlu KTP sama sekali donk?
tidak ada, hanya umat non-buddhis yg berpendapat demikian
siapa nama umat non buddhis itu?
si non-buddhis itu tidak melampirkan KTPnya di sini, jadi bagaimana bisa tahu namanya?
dia tidak melampirkan KTP nya di sini, bagaimana anda tau, kalau dia non buddhis?
karena selain KTP, volume otak juga bisa dijadikan petunjuk
tapi volume otak itu ternyata tidak bisa menunjukan, siapa nama orang itu. setuju?
yg bisa mengetahui nama dari orang berotak sedikit tentu saja hanya orang yg berotak lebih banyak.
jadi, yang berotak sedikit itu pasti non buddhis ya?
sedangkan semua buddhis pasti berotak banyak. gitu ya?
saya tidak mengatakan demikian, dan saya juga tidak membantah statement anda. tapi itu itu adalah asumsi anda sendiri.
apa asumsi = pertanyaan?
dalam kasus ini YES, anda sudah berasumsi dan mengharapkan penegasan untuk mendukung asumsi anda. Dan dari kasus ini teori volume otak sudah terbukti
dalam kasus ini YES, anda sudah berasumsi dan mengharapkan penegasan untuk mendukung asumsi anda. Dan dari kasus ini teori volume otak sudah terbukti