Dari hasil diskusi dengan umat Buddhis di forum dhammacitta.org, saya mengetahui bahwa umumnya umat Buddhis tidak mengenal atau kurang mengenal apa itu Logika. Pengertian mereka tentang Logika, berbeda dari yang seharusnya. Dan setelah saya perkenalkan, apa dan bagaimana itu logika kemudian mereka menganggap Logika hanyalah sintaksisme, ilmu menyusun kalimat yang gak penting. Maka tidak henti-hentinya mereka melecehkan Logika itu sendiri, di mana logika merupakan karya besar seorang filsuf ternama, yaitu Aristoteles. Padahal Logika, kendatipun hanya merupakan bagian dari ilmu bahasa, ia sangat penting untuk menguji dan memahami suatu kebenaran. Tapi umat Buddhis ini tidak percaya, kalo logika bisa digunakan untuk menguji dan memahami suatu kebenaran secara pasti, kebenaran yang sah, valid, tanpa keraguan, tepat, serta tidak terbantahkan. Logika bisa bermanfaat untuk menguji dan memahami kebenaran ajaran-ajaran di dalam sutta-sutta dan di dalam Budhisme. Oleh karena itu, saya akan memberikan contoh mengenai bagaimana memahami sutta dengan menggunakan logika.
Dalam buku Petikan Angutara Nikaya, Kelompok Tiga No. 29 Hal 119 :
Para Bhikkhu, ada tiga tanda yang terkondisi dari yang terkondisi. Apakah yang tiga itu? Asal mulanya difahami, lenyapnya difahami, perubahannya ketika masih berlangsung difahami.
Mari kita telaah satu persatu kalimat dari sabda sang Buddha tersebut sehingga kita memiliki pengertian yang jelas.
Tiga Tanda Yang Terkondisi
ada tiga tanda yang terkondisi dari yang terkondisi dari yang terkondisi
Kalau dikonversi ke dalam bahasa logika yang baku, sebagai berikut :
Yang terkondisi itu memiliki tiga tanda yang terkondisi
Dan apa ketiga tanda tersebut ?
- Kemunculannya dapat difahami
- Perubahannya dapat difahami
- Kelenyapannya dapat difahami
Jadi, kalau ditanyakan “Apa itu yang terkondisi?”, maka jawaban yang tepat adalah “Yang terkondisi adalah yang munculnya, perubahannya serta lenyapnya dapat difahami”.
Muncul, berubah dan lenyap, apakah itu cocok dengan sifat ketidak kekalan? Ya cocok. Bahkan muncul, berubah dan lenyap adalah makna dari ketidak kekalan itu sendiri. Dengan demikian berarti, segala yang terkondisi adalah tidak kekal.
Sabda sang Buddha, dalam Petikan Angutara Nikaya No. 48 hal 166 :
Semua bentukan tidak kekal.
Bila kalimat tersebut digabung dengan kalimat tentang yang terkondisi, maka sebagai berikut :
Semua bentukan tidak kekal.
Semua yang terkondisi adalah tidak kekal
Lalu bagaimana kesimpulannya?
Sayangnya, kedua kalimat tersebut tidak dapat dan tidak boleh melahirkan kesimpulan apapun, karena melanggar hukum dasar logika No. 6, yaitu premis tidak boleh sama-sama menidak.
Tetapi, bila kita mengkonversi nya ke dalam kata benda, maka apakah kita dapat membuat suatu kesimpulan?
Semua bentukan adalah yang tidak kekal
Semua yang terkondisi adalah yang tidak kekal
Penambahan kata “yang” tersebut tidak mengubah essensi dari kalimatnya, jadi penambahan kata “yang” diperbolehkan sepanjang tidak melanggar hukum logika. Tapi sayang, kedua kalimat itupun melanggar hukum dasar logika untuk disimpulkan, yaitu hukum dasar yang ke-3 yang menyatakan bahwa midle term harus bersifat “meniap”. Sedangkan dalam kedua kalimat tersebut kedua midle term tidak meniap. Jadi tidak bisa dan tidak boleh melahirkan kesimpulan apapun. Masalahnya, apakah kita boleh mengubah posisi term agar bisa disimpulkan dengan benar?
Misalnya, “Setiap yang tidak kekal adalah yang terkondisi.”
Apakah itu kalimat yang benar berdasarkan sabda sang Budda dalam sutta? Jika benar, maka kalimat tersebut merupakan definisi, bukan sebagai proposisi. Apakah kita boleh menyimpulkan suatu definisi? Boleh saja, selama tidak melanggar 6 hukum dasar logika dan 19 modusnya. Lalu bagaimana kesimpulannya? Sebagai berikut :
“Setiap bentukan adalah yang terkondisi”
Bagaimana dengan isi kesimpulan tersebut, apakah itu sebuah proposisi ataukah sebuah definisi? Itu adalah sebuah definisi, dan bukan proposisi bentuk A. Bagaimana cara kita mengetahuinya? Mudah saja, karena kedua term bersifat meniap (universal), sedangkan kalimat tersebut tidak berbentuk E. Oleh karena itu, secara otomatis itu merupakan sebuah definisi. Dan kita boleh menyebut definisi tersebut diberikan oleh sang Buddha, adapun kita hanyalah menyimpulkannya saja, serta tidak menambahkan sedikitpun opini kita terhadap sabda sang Buddha yang tertulis di dalam Sutta tersebut.
Apakah sampai di sini berarti kajiannya selesai? Belum karena kita harus menanyakan kebenaran kalimat ini ?
“Setiap yang tidak kekal adalah yang terkondisi.”
Di situ ada penambahan kata “Setiap” pada term awal. Dari mana asal usul kata “Setiap” tersebut, mengapa tidak menggunakan kata “sebagian” ? Apakah tertulis dalam sutta sang Buddha secara langsung mengatakan demikian? Bila “ya” berarti sempurnalah kesimpulan tadi. Tapi bila dalam sutta sang Buddha tidak menyatakan demikian secara langsung, maka kita harus menyelidiki terlebih dahulu dari mana asal-usul kata “Setiap” tersebut?
Bila atas dasar pengalaman dan pengamatan kita sendiri kita tidak menemukan bentuk apapun yang kekal, dan selalu semuanya yang kita lihat muncul, berubah dan lenyap, lalu kita menyimpulkan “Setiap yang tidak kekal adalah yang terkondisi”. Berarti kita telah melihat Dhamma. Bila kalimat itu memang tidak tertulis di dalam sutta, berarti kita melihat Dhamma yang nyata yang tidak tertulis di dalam sutta. Ini adalah kebenaran ilmiah yang tidak dapat dibantah lagi. Sang Buddha dan umat buddha, umat non buddha dan seluruh umat manusia, tidak akan dapat menemukan “yang tidak kekal” selain “yang terkondisi”, maka pernyataan “setiap yang tidak kekal adalah yang terkondisi” merupakan Dhamma, hukum kebenaran yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Dan segala dhamma adalah sesuai dengan ajaran sang Buddha. Dengan demikian kesimpulan “Setiap bentukan adalah yang terkondisi” merupakan definisi yang diberikan oleh sang Buddha itu sendiri mengenai “Bentukan” atau “yang terkondisi” serta merupakan kesimpulan yang sah, valid, benar, tepat, tidak diragukan, tidak dapat dan tidak boleh dibantah oleh siapapun.