Kemudian, Tathàgata merenungkan, “Anak muda suka berbohong, dengan berkata, ‘Aku telah melihat hal itu” (yang sebenarnya tidak mereka lihat), dan “Aku tidak melihat hal itu” (yang sebenarnya mereka lihat). “Ràhula harus dinasihati agar tidak berbohong.” Dengan menggunakan ilustrasi yang dapat dilihat dengan mata biasa, berupa, empat contoh cangkir air, dua contoh gajah pasukan, dan satu contoh permukaan cermin, Ia membabarkan khotbah Ambalatthika Ràhulovàda Sutta (Ma, 2, 77).
Setelah menahbiskan Ràhula sebagai seorang sàmanera, Tathàgata mempertimbangkan, “Anak muda cenderung untuk berbicara tanpa memperhitungkan kesopanan kata-kata dan apakah kata-katanya dapat dipercaya; oleh karena itu, Ràhula yang masih sangat muda sebaiknya diberi nasihat dan petunjuk.” Oleh karena itu Ia memanggilnya dan berkata, “Putra-Ku Ràhula, sàmanera harus menghindari diri dari membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan Jalan dan Buah Ariya; Putra-Ku Ràhula, engkau harus berbicara hanya hal-hal yang sesuai dengan Jalan dan Buahnya.”
….
“Oleh karena itu Ràhula, engkau harus bertekad, ‘Aku tidak akan berbohong, bahkan sekadar bergurau atau untuk bersenang-senang’ dan berusaha untuk mematuhi 3 aturan latihan (sikkhà).”
Demikianlah Tathàgata menekankan pentingnya menjauhkan diri dari perbuatan berbohong.
Tathàgata melanjutkan, “Putra-Ku Ràhula, apa yang engkau pikirkan mengenai apa yang akan Kunasihatkan kepadamu ini? (engkau boleh menjawab apa saja). Apa manfaat dari sebuah cermin?” Ràhula menjawab, “Agar orang dapat memperbaiki penampilan fisiknya ketika ia melihat noda atau cacat dalam bayangan di dalam cermin.”
“Demikian pula Putra-Ku Ràhula, aktivitas perbuatan, ucapan, dan pikiran seseorang harus dilakukan setelah melewati pengamatan dan pertimbangan sesuai kebijaksanaan orang tersebut.” Dengan kata-kata pengantar ini, Tathàgata menyampaikan khotbah yang menjelaskan secara terperinci mengenai bagaimana seseorang seharusnya melakukan perbuatan secara fisik, bagaimana seseorang seharusnya
berbicara, dan bagaimana seseorang seharusnya melatih pikiran dengan penuh kehati-hatian dan hanya setelah mempertimbangkan dengan hati-hati sesuai kecerdasannya.
Berikut ini adalah penjelasan singkatnya.
Saat kehendak muncul untuk melakukan tindakan fisik, ucapan atau pikiran, sebelum melakukannya, seseorang harus mempertimbangkan,
“Apakah perbuatan fisik, ucapan atau pikiran yang kukehendaki dapat membahayakan diriku, orang lain atau keduanya? Apakah perbuatan tersebut dapat menjadi perbuatan buruk yang dapat menyebabkan bertambahnya penderitaan?”
Jika, setelah mempertimbangkan, perbuatan yang dikehendaki itu terbukti dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya; atau dapat menjadi perbuatan buruk yang akan menambah penderitaan, seseorang harus berusaha untuk menghindari perbuatan fisik, ucapan, dan pikiran tersebut.
Sebaliknya, jika setelah mempertimbangkan, perbuatan yang dikehendaki itu terbukti tidak membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya; atau dapat menjadi perbuatan baik yang akan menambah kebahagiaan (sukha), maka perbuatan fisik, ucapan, dan pikiran tersebut seharusnya dilakukan.
Demikian pula, dalam proses melakukan perbuatan fisik, ucapan atau pikiran, seseorang harus mempertimbangkan,
“Apakah yang sedang kulakukan, kuucapkan, kupikirkan ini berbahaya bagi diriku, orang lain atau keduanya? Apakah yang sedang kulakukan ini adalah perbuatan buruk yang dapat menambah penderitaan?”
Jika, setelah mempertimbangkan, perbuatan itu ternyata benar demikian, seseorang harus segera berhenti melakukan perbuatan tersebut (tidak meneruskan perbuatan itu).
Sebaliknya, jika, setelah dipertimbangkan, ternyata perbuatan itu tidak berbahaya bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya, namun adalah perbuatan baik yang dapat menambah kebahagiaan dan keseja kesejahteraan, perbuatan itu seharusnya diteruskan dengan giat dan berulang-ulang.
Setelah melakukan perbuatan fisik, ucapan dan pikiran telah dilakukan, seseorang harus mempertimbangkan (seperti sebelumnya),
“Apakah perbuatan fisik, ucapan, dan pikiran yang telah kulakukan berbahaya bagi diriku, orang lain atau keduanya? Apakah perbuatan itu adalah perbuatan buruk yang dapat menambah penderitaan?”
Jika terbukti demikian, jika perbuatan buruk itu dilakukan secara fisik dan ucapan, pengakuan harus dilakukan di depan Buddha atau seorang siswa yang bijaksana, secara jujur, jelas dan tanpa syarat bahwa perbuatan buruk jasmani dan ucapan tersebut telah dilakukan. Kemudian orang itu harus bertekad agar perbuatan tersebut tidak terulang lagi pada masa mendatang.
Sehubungan dengan perbuatan buruk yang dilakukan melalui pikiran, seseorang harus merasa letih dengan perbuatan pikiran tersebut, ia harus merasa malu dan jijik terhadap pikirannya itu. Orang itu juga harus melatih dan bertekad agar perbuatan ini tidak terulang kembali pada masa mendatang.
Jika setelah mempertimbangkan, seseorang menemukan bahwa perbuatan jasmani, ucapan atau pikiran tidak membahayakan diri sendiri, orang lain atau keduanya namun berperan dalam memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan, maka siang dan malam ia akan bergembira dan puas sehubungan dengan kebajikan tersebut dan ia harus berusaha lebih keras lagi dalam mematuhi 3 aturan latihan (sikkhà).
Semua Buddha, Pacceka Buddha, dan Ariya Sàvaka pada masa lampau, masa depan, dan masa sekarang telah menjalani kehidupan, akan menjalani kehidupan, dan sedang menjalani kehidupan dengan cara seperti ini, mempertimbangkan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran mereka dan telah menyucikan, akan menyucikan, dan sedang dalam proses menyucikan perbuatan mereka, secara jasmani, ucapan, dan pikiran.
Tathàgata mengakhiri khotbah-Nya dengan kata-kata nasihat berikut ini, “Putra-Ku Ràhula, engkau harus ingat agar selalu berusaha untuk menyucikan perbuatan fisik, ucapan, dan pikiranmu dengan mempertimbangkan dan meninjau kembali dan mengembangkan tekad untuk mematuhi 3 aturan latihan.
(Di sini sebuah pertanyaan akan muncul mengenai kapan dan di mana perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran tersebut muncul dan bagaimana perbuatan itu dapat disucikan dan dibebaskan).
Jawabannya adalah: Jangan membuang-buang waktu; perbuatan jasmani dan ucapan yang dilakukan pada pagi hari harus disucikan dan dibebaskan segera setelah makan di mana ia duduk di tempat ia akan melewatkan hari itu.
~RAPB 1, pp. 957-966~