saya bingung juga mau komen apa ttg hal ini...
karena kalau hanya melihat berita2 dari pihak ketiga
dan second hand information, third hand information
memang susah mendapat gambaran sesungguhnya
apa sih yg terjadi di sana ?
tapi dari pengalaman yg sangat terbatas sekali...
dulu pernah ketemu bhikkhu berpassport myanmar tapi dari suku etnis thailand
dan dari ceritanya, memang ada kejadian kepala bhikkhu2 dipenggal oleh suku separatis beragama Islam. Dan kepala2 itu dipajang di sepanjang tepi jalan. Dan itu menimbulkan trauma untuk para bhikkhu yang tinggal di daerah konflik itu. Saya tidak bertanya apakah itu pengalaman langsung bhikkhu itu atau bukan, apakah ia melihat dengan mata kepala sendiri? Tapi tebakan saya, itu kemungkinan besar hanya didengar dari cerita2 orang lain, mungkin berita di koran, tapi hal yang penting, memang trauma dan ketakutan itu nyata.
Jadi ketegangan SARA ini sudah ada sejak lama. Dan kesalah pahaman, kebencian terpendam, mungkin sudah tertanam pada kedua belah pihak sejak beberapa generasi lalu.
=======================================
Dan dari pengalaman ke Myanmar hanya seminggu lebih. Dan berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat.
Mungkin agak oot sih, tapi ini kesan yang saya dapat dari org2 di myanmar
Hal pertama. Sewaktu makan siang di restoran, di wc nya ada tatakan untuk menaruh uang ke wc. Tapi tatakan itu terbuka dan uang nya hanya ditaruh saja tanpa dikunci dll. Dan di luar restoran ada banyak pedagang kaki lima, dan anak2 kecil berpakaian lusuh yang berkeliaran, tidak tahu apakah mereka pengemis atau hanya bermain di sana. Tapi uang di WC itu tidak ada yang mengambil, dan org restoran juga sangat santai dan yakin kalau uang ditaruh begitu saja tidak akan diambil siapapun. Dari dugaan saya, org2 itu masih sangat menjaga sila tidak mencuri, masih terbilang lebih lugu dan jujur dari kebanyakan org di negara di luar myanmar.
Hal kedua. Ketika mau membeli sabun, tapi karena masalah komunikasi, ibu2 di warung kayu pinggir jalan ngk mengerti. Setelah guide menjelaskan, malah ibu2 itu langsung memberikan sabun itu tapi tidak mau dibayar. Ternyata karena kami ikut rombongan truk untuk ziarah buddhis, ibu itu bilang ia ingin berdana sabun itu ke saya. Dan guide berkata, sebaiknya diterima sabunnya, kalau dibayar ibunya malah akan sakit hati dan merasa "dana" nya terlalu remeh dan ditolak. Walaupun ekonomi termasuk miskin, tebakan saya budaya dana itu sangat mendarah daging di masyarakat.
Hal ketiga. Orang asing tidak boleh menginap di rumah org lokal, karena polisi akan merazia org lokal itu dan mereka akan mendapat banyak masalah. Bahkan di dalam bus tur kami, org lokal akan mengelak ketika diajak berbicara ttg politik. Karena seperti zaman orba, ada zaman2 kelam banyak mata2 dan org yg berbicara salah bisa tiba2 menghilang. Jadi org sana sangat sensitif dan tidak berani berbicara ttg hal ini.
Hal keempat. Supir taksi masih lumayan jujur, dan meminta ongkos wajar atau sesuai argo, tidak separah di airport India atau airport Indonesia. Dan penjual2 tepi jalan juga memberi harga lumayan wajar, tanpa perlu repot dan capek nego panjang2. Jadi it's quite stress-free to buy things. Dan jam 11 malem di ibukota myanmar, masih ada cewe sendirian nunggu di halte bus, dan dia tampaknya santai2 aja. Dan org2 berjalan di jalan juga santai2 aja malam2. Kalau di Indonesia, saya tidak akan berani menunggu bus sendirian jam 11 malem.
Hal kelima. Akhirnya ketemu juga preman ala myanmar. Dia memukul bus kami, dan berteriak2 sambil mabuk dan meminta uang jalan. Dan baru sadar kalau preman di semua negara, mirip banget tipe2nya.
Malah seminggu di myanmar, bingung sendiri. Ini negara kok kesannya aman amat yag, padahal pikiran saya, harusnya kacau dan banyak militer. Tapi ternyata sampai di sana, malah atmosfer nya santai dan tenang banget. Mungkin karena waktu dan tempatnya aja pas yag? Saya sulit banget membayangkan, bagaimana beberapa bulan kemudian, malah rame berita kerusuhan di sana.
================================
Kalau tebakan dan pendapat saya sendiri. Konflik ini lebih cenderung berakar politik, daripada agama dan suku. Ada pihak2 tertentu yang menyulut agar ketegangan semakin parah, dan mengalihkan issue ke arah kerusuhan.
Saya sulit percaya org2 lokal di Myanmar bisa dengan sendirinya brutal dan bunuh membunuh, bakar membakar, tanpa dipicu oleh pihak2 tertentu.
OOT lagi agg...kalau diambil contoh kerusuhan indonesia mei 1998, kebetulan saya dulu tinggal di daerah yg berbatasan dengan perumahan kumuh di atas rel kereta api. Saat kejadian, dari balik jendela rumah, saya melihat banyak abang tukang becak, ibu menggendong bayi, membawa pulang tv, makanan, dll dari hasil menjarah. Memang kalau menurut nalar saya, org2 itu masih lebih mungkin mencuri dan menjarah. Tapi untuk membunuh, membakar, memperkosa, org2 itu masih sulit melakukannya. Lebih besar kemungkinan preman, pemuda2 jalanan, pengangguran yang bisa terpicu untuk melakukan kejahatan yang lebih parah dari mencuri.
Dan kerusuhan2 di myanmar ini juga, saya menebak juga ada unsur politiknya. Seperti militer ingin mengalihkan perhatian ke kerusuhan. Agar kondisi tidak stabil, dalam konflik itu ada pihak2 di belakang layar yang diuntungkan.
============================
anyway, kalau dari harapan saya sih,
agama tidak dibawa2 dalam konflik ini. Dan semoga Sangha di Myanmar juga mencari cara menuju kedamaian. Walaupun ini situasi sulit, tapi ajaran dasar Sang Buddha adalah 5 sila, tidak membunuh,dll. Jika umat Buddhis terpicu untuk membunuh, merusak, apa kata dunia? Sulit sih untuk menilai situasi ini. Karena sulit melihat apa sih hal sebenarnya yang terjadi ? Jadi hanya bisa menebak2 dari luar, dan itu pasti tidak akurat dan sulit melihat kebenaran sesungguhnya, bagaimana situasi di sana?
sorry seribu sorry, oot banget yag?
it is truly a sad situation, for both sides.
May this too will pass
May all being be happy
sadhu sadhu sadhu