Cici Mayvise : terimakasih atas pertanyaan Anda......sebelumnya saya minta maaf utk tidak menjawab pertanyaan Anda. Setelah saya membaca posting sebelumnya dari bro-bro yang diatas, kelihatan mereka tidak begitu happy dengan kehadiran saya di DC dengan segala diskusi yang telah berlangsung sebelumnya....
Ya, saya bisa mengerti. Agama merupakan masalah yang sensitif. Saya baru merasa “sensi” tentang agama, sejak kira-kira 5 tahun yang lalu. Waktu itu pertama kalinya saya bertemu orang yang secara frontal membicarakan tentang betapa sepelenya Buddhism itu. Dan terus-terang, saya jadi emosi setiap kali ada orang yang mendiskreditkan Buddhism.
Mungkin teman-teman Buddhis saya di sini pernah mengalami hal serupa, dan menjadi antipati karenanya. Dan bukan tidak mungkin, anda pun akhirnya menjadi demikian.
Tapi, seperti yang pernah saya tulis, “tidak ada yang lebih benar antara siapa yang menusuk duluan atau siapa yang menusuk balik, karena intinya adalah sama-sama saling menyakiti”.
Saya merasakan kurang nyaman saja, saya yakin apapun yang saya bicarakan tak ada gunanya.... Ada yg komentar sales honda masuk ke dealer yahama dsb......
Dan ada komentar "menjilat ludah kembali" dll...... Ya, saya anggap kehadiran saya tidak diinginkan.........
Ada yang menyebut "Yesus" itu si berewok, kr****n = Canesten=obat kurap.........
Ya, itu adalah ekspresi kebencian. Mengapa benci? Pertama, dipicu oleh sikap umat lain yang mendiskreditkan Buddhism (apalagi dengan kata dan nada yang tidak nyaman). Seperti perumpamaan yang diucapkan Dato “tidak ada api maka tidak ada asap”.
Alasan yang Kedua, adalah mereka belum mampu mengendalikan diri. Karena belum mampu, maka mereka menggunakan cara instan, yaitu yang mirip dengan yang digunakan oleh umat lain.
_________________________
Alasan pertama, berada di luar kendali (kita tidak bisa mengontrol sikap dan ucapan orang lain). Tapi alasan yang kedua, bisa dilatih/dikendalikan.
Apa yang saya katakan ini bersifat universal, bukan hanya untuk teman-teman buddhis saya di sini, tapi juga untuk umat lain. Semoga bisa saling introspeksi diri.
Heran saya, koq ada orang yang berpendidikan dan mempelajari agamanya dan memberi segala teori2 ajaran agamanya, namun tutur kata dan cara berpikirnya bisa jauh dari yang diajarkan agamanya?? ckckckckckck..........
Bukan hanya umat buddhis yang demikian, umat lain pun sama. Ini karena mereka mencintai agama mereka. Tidak ada satu pun orang yang senang bila ada orang yang menghina sesuatu yang dicintainya. Saat itu terjadi, ia menggunakan segala cara untuk membelanya/memperjuangkannya.
Tapi ini adalah "mencintai" dengan cara yang salah. Dalam konteks Buddhism, saat Sang Buddha akan meninggal (istilahnya Parinibbana). Beliau mengatakan kira-kira begini: “Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal, berjuanglah dengan sungguh-sungguh”.
Perjuangan ini adalah perjuangan
untuk dirimu, demi Kebebasan dirimu dari Keserakahan, Kebencian, dan Kebodohan Batin. Sang Buddha membabarkan ajarannya sebagai modal untuk perjuangan ini, dan bukan sebagai modal untuk berdebat atau mempertahankan citra Buddhism.
Memang susah berdiskusi dengan orang-orang yg seperti itu, lebih nyaman berdiskusi dengan orang2 yang benar2 mengerti Buddhisme daripada dengan orang yang merasa "hebat" ternyata kurang memahami ajaran sendiri apalagi ajaran orang lain
Sebenarnya pemahaman orang lain bisa diketahui jika diskusi berjalan baik, tanpa keterlibatan emosi. Emosi di sini adalah perasaan berlebihan seperti marah/benci atau terlalu excited (senang berlebihan).
Emosi yang kuat mempengaruhi:
1. Kejernihan Pikiran. Maksudnya, seseorang paham tentang Buddhism. Tapi saat emosi, dia menjadi kabur dengan Ajaran yang benar, tentang apa yang seharusnya disampaikan. Pikirannya dirumitkan oleh pemikiran lain seperti “Bagaimana membalas orang kasar ini” atau “Bagaimana agar saya tidak dikalahkan oleh orang kasar ini”.
2. Mempengaruhi Objektivitas.
Contohnya:
Misalnya terjadi diskusi antara Sunday dan Caramel yang memiliki pandangan berbeda. Sunday mengatakan (dengan ucapan kasar) bahwa pandangan Caramel salah. Lalu Sunday pun mengutarakan pandangannya.
Caramel yang sudah terlanjur marah karena ucapan kasar, kemudian bersikap apatis. Dia tidak lagi mendengar dengan sungguh-sungguh ucapan Sunday berikutnya. Kalaupun mendengarnya, dia tidak lagi objektif karena dia hanya berpikir “bagaimana cara untuk tidak kalah”.
Kemudian diskusi diisi dengan
penyangkalan, pembenaran, dan “tusuk-tusukan”.
____________________
Ini yang menyebabkan saya mengoreksi ucapan beberapa member di sini. Sebetulnya nasihat saya untuk mengoreksi kata-kata bukan hanya ditujukan untuk umat buddhis di sini, tapi untuk umat lain juga. Tapi karena kebetulan di sini adalah umat buddhis, maka seolah-olah saya hanya fokus ke buddhis, padahal tidak.
Semoga kita bisa sama-sama introspeksi diri. Karena sebenarnya diskusi menjadi tidak berarti kalau orang-orangnya sudah tidak objektif dan sudah keruh pikirannya karena emosi.
Btw, harus telaah juga diri masing-masing. Walaupun kata-katanya halus dan sopan, apakah ada kebencian yang halus yang menyebabkannya menjunjung tinggi Kemenangan, dan terobsesi untuk Mengalahkan.
Sebagai info saja ya, yang ngomong Buddhisme itu ajaran yang pesimisme karena melihat hidup itu melulu dukkha itu berasal dari pendapat para sarjana2 barat yang mempelajari Buddhisme dan menganut Buddhisme. Jadi bukan oleh Ravi atau orang kr****n sendiri.......Jangan diputar balikan seakan-akan orang kr****n suka menghina ajaran Buddha..........
Ya, sebenarnya dari diskusi kita yang baru sebentar, saya masih ingin menjelaskan arti Dukkha. Tapi karena anda merasa tidak nyaman melanjutkan, ya sudah.
Sebetulnya saya juga menyayangkan sikap anda terlalu fokus ke komentar-komentar negatif. Padahal anda boleh memilih untuk tidak menaggapinya. Tapi kalau sudah ada keterlibatan emosi yang kuat, memang agak sulit juga.
[...]
Jika saya mau berdiskusi dengan orang-orang Buddhis, saya bisa saja mengunjungi wihara dan bertemu bikkhunya atau ke Universitas Buddhis dgn dosen2 Buddhis sehingga diskusinya yang lebih mendalam dan intens........seperti yang dilakukan oleh Ravi Zaccharias........ Mengapa itu dilakukan, sebab saya tidak ingin dengar gosip atau hoax tentang suatu ajaran agama tanpa mengkonfirmasikan dengan sumber yang mengetahui dan yang menganut ajaran tsb. Contoh, orang sering menanyakan, tentang membakar uang kertas neraka dan rumah2an yang terbuat dari kertas, apakah itu ritual ajaran Buddha? Karena saya tahu, maka saya menjawab, oh itu tradisi saja, bukan ajaran Buddha yang sesungguhnya....... dan jika ada orang lagi bertanya kepada saya, maka jawaban saya akan sama, walaupun sekarang saya menjadi pengikut Yesus.......
Karena dulu saya pernah menanyakan hal itu pada bikkhu Mahayana, tapi sangat disayangkan bikkhu itu tidak menjawab dengan benar dan seakan membenarkan umatnya melakukan itu.....Saya protes, saya bilang, bhante, bisa tolong berikan referensi, kitab suci mana yang membolehkan kita bakar uang kertas dan rumah kertas bagi orang yg telah meninggal, apakah benar orang yg mati itu akan menerima semua bakaran tsb, jika tidak buat apa membuang uang jadi kertas bakaran?.....beliau cuma diam saja.......dan mengalihkan pembicaraan ke diskusi lainnya........
Ya, bagus kalau begitu. Intinya tidak langsung percaya.
Mempelajari ajaran agama orang lain telah saya lakukan sejak dulu dengan Islam, Buddhisme dan terakhir kr****n.......Yang lain belum dalam bentuk diskusi hanya bacaan saja. Saya suka belajar dengan teman2 kr****n di Orthodox Syria yang berbahasa Arab dan Aram, mungkin asing bagi Anda yg hanya mengetahui tentang Protestan dan Khatolik saja.......
Ya, bahkan saya hanya tau ka****k karena dari SD sampe kuliah ada pelajaran agama ka****knya. Mengenai Buddhism, menurut saya, anda baru paham sedikit. Kalau ingin mempelajari lebih banyak, kita bisa lanjut berdiskusi. Kalau mau lewat PM juga boleh, tapi kalau tidak mau juga tidak apa.