Singkatnya ya, yang selalu dipermasalahkan Ravi Zacharias dan semua rekan-rekan Kristiani lainnya adalah pengertian Dukkha dalam Buddhisme serta Anatta. Mereka berpandangan kalau kalau Buddhisme itu memandang semua hal di dunia ini membawa pada penderitaan, dan menyangkal sukacita.
Mereka mengagungkan konsep Kristiani yang menyatakan PENDERITAAN ITU PERLU untuk kebahagiaan, KETIDAKPUASAN ITU PERLU, KESENGSARAAN ITU PERLU karena kalau tidak ada yang sengsara bagaimana orang bisa BERBUAT BAJIK dengan MENOLONG? Singkatnya mereka berusaha memberikan argumen mengenai adanya "keburukan" di dunia ini dan berushaa untuk menyatakan ajaran mereka manusiawi. Dengan mempertanyakan dunia yang sepenuhnya baik, berarti orang sudah tidak manusiawi lagi dan tidak logis, karena bagaimanapun baik bisa muncul apabila buruk dikenal, buruk bisa dikenal apabila ada baik.
Tetapi ketika Sang Bodhisattva bertanya dalam kitab Jataka, bagaimana bisa Sang Pencipta tega menciptakan dan membiarkan kesengsaraan merajalela di dunia, sebenarnya memiliki pengertian yang mendalam. Sekilas memang masuk akal kalau penderitaan itu perlu, tetapi problemanya adalah "Sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Penuh Kasih". Sang Maha Kuasa buktinya
tidak memberikan cobaan penderitaan yang sesuai dengan kapasitas dan kesiapan masing-masing orang, sehingga membuat penderitaan bukan sebagai jalan menuju kebahagiaan tetapi malah jadi bencana yang membawa pada NERAKA ABADI. Di sini makna PENDERITAAN ITU PERLU menjadi BERGESER dan HILANG karena bagaimanapun juga ada banyak penderitaan yang sebenarnya
malah membawa bencana.Ajaran Sang Buddha, terutama dalam sutra-sutra Mahayana, uniknya juga mengatakan PENDERITAAN ITU PERLU namun TANPA "Tuhan Maha Kuasa." Ajaran inti Mahayana dan Vajrayana adalah ajaran Tathagatagarbha, yaitu ajaran Pemutaran Roda Dharma (Dharmachakra) yang Terakhir dan Mutakhir. Tathagatagarbha adalah hakekat kesadaran Buddha yang sudah ada dalam batin masing-masing makhluk, merupakan potensi kebajikan yang tidak terbatas. Tathagatagarbha adalah Sunyata, Anatman dan Non-Dualisme. Karena merupakan non-dualisme dan Shunyata, maka Tathagatagarbha memiliki 2 aspek pokok:
1. Kebajikan Pokok (Intrinsic Good) - Buddha Bodhisattva
2. Kesesatan Pokok (Intrinsic Evil) - Mara
Dua aspek ini tercakup dalam 10 Dunia yang saling mencakup satu sama lain:
1. Buddha
2. Bodhisattva
3. Pratyekabuddha
4. Arhat
5. Deva
6. Manusia
7. Hewan
8. Asura
9. Hantu Kelaparan
10. Neraka
Dari mahkluk-makhluk yang ada dalam Dunia Buddha sampai Neraka semuanya memiliki Kebajikan Pokok dan Kesesatan Pokok. Ini artinya seorang Buddha memiliki 10 Dunia dalam dirinya termasuk alam neraka. Makhluk alam neraka juga memiliki 10 Dunia, termasuk Dunia Buddha.
Dengan adanya pemahaman tersebut, maka Buddha dapat menyelamatkan penderitaan makhluk alam neraka dan makhluk alam neraka mempunyai potensi membangkitkan Bodhicitta dan mencapai Dunia Buddha.
Seorang Buddha tetap memiliki Kesesatan Pokok, tetapi Buddha adalah yang Sadar, Ia menggunakan Kesesatan Pokok untuk mencapai Kebajikan Pokok. Kesesatan Pokok menjadi sesuatu yang "diperlukan" untuk mencapai Kebajikan Pokok, PENDERITAAN PERLU demi tercapainya KEBAHAGIAAN. Master Tiantai mengatakan, seorang Buddha menggunakan Kesesatan Pokok sebagai upaya yaitu menyelamatkan (Kebajikan) para makhluk alam samsara (Kesesatan). Ada makhluk samsara baru ada Buddha, kalau tidak ada makhluk samsara siapa yang disebrangkan oleh Buddha?
Demikian Nichiren Shonin sangat getol memplokamirkan ajaran ini, Kesesatan Pokok (racun) diubah menjadi Kebajikan Pokok (obat), bukan menghilangkannya. Banyak umat beliau yang menderita sakit diberikan semangat oleh Nichiren Shonin untuk terus berjuang, berkata bahwa penyakit dapat diubah menjaid Kesadaran Buddha. penyakit dapat menajdi titik tolak berkembangnya keyakinan dan Bodhicitta. Tanpa penyakit sulit sekali untuk dikatakan kita benar-benar percaya, jutsru pada saat sakit keyakinan kita diuji dan saatnya untuk membuktikannya.
Nichiren Shonin juga menderita ancaman eksekusi di Tatsunokuchi dan ancaman" siksaan lainnya, tapi justru dari sanalah beliau dapat membuktikan kebenaran Saddharmapundarika Sutra. Beliau membuktikan bukan hanya lewat ucapan saja, tetapi dari pengalaman hidup beliau sendiri yang berkali-kali lolos dari maut. Beliau dengan hati gembira menerima maut bukan sebagai penderitaan, tetapi mengubahnya menjadi "alat" untuk membuktikan kebenaran Dharma Sang Buddha!
Maka darti itu dalam Mahaparinirvana Sutra, Sang Buddha mengajarkan Sukha (sukacita), Nitya (kekekalan) dan Atman (Diri Sejati), kebalikan dari Dukha, Anitya dan Anatman. Bagi seorang Buddha, hidup ini adalah Sukha, Nitya dan Atman. Buddha mengajarkan bahwa HIDUP INI DUKHA KARENA SEBENARNYA HIDUP INI SUKHA! Tanpa menmgenali hakekat sejati Dukha, bagaimana anda bisa mengenal Sukha? Sukha dikenali dari realisasi anda tentang Dukha. Ketika Dukha berakhir di sanalah Sukha. Dukha berkahir bukan karena Dukha itu lenyap, tetapi Dukha itu ditransformasikan.
Buddha melihat semua makhluk sebagai Buddha, dunia Saha sebagai Tanah Suci. Manusia biasa memandang semua makhluk dengan derajat yang berbeda-beda, dunia Saha penuh dengan kemunafikan. Semuanya karena tidka asadar akan Dukha, bila sadar akan Dukha, maka semua akan menjadi Sukha. Bahkan apa yang dianggap Dukha oleh dunia dapat dianggap Sukha. Di sini BUKAN berarti keburukan itu dimuliakan sehingga dianggap Sukha, tetapi keburukan dianggap Sukha karena dari keburukan seseorang bisa belajar untuk menjadi baik, dan karena keburukan maka seseorang berkesempatan berbuat baik. Dari ketidakpuasan seseorang bisa belajar untuk puas.
Buddha memang juga masih bisa marah karena masih memiliki dunia Asura (kemarahan). Bahkan para Bodhisttva pun menangis sedih melihat penderitaan para makhluk. Namun Buddha Bodhisattva tidak terperangkap, mereka mengubah kesedihan dan kemarahan menjadi sesuatu yang positif. Kesedihan mereka membawa pada tindakan aktif menolong semua makhluk (seperti para insan Tzu Chi yang banyak menangis ketika ritual kebaktian, dan pada praktiknya di lapangan mereka sangat welas asih dan aktif berkontribusi, jadinya ya bukan nangis gak jelas, tetapi ebnar" tangisan yang mentransformasikan diri sendiri) dan kemarahan mereka menyadarkan para makhluk (seperti kemarahan Vajrapani menyadarkan Shiva, kemarahan Marpa Lotsawa)
Ajaran Buddha tidak menyangkal potensi, keunikan dan hakekat masing-masing individu. Kelima unsur yang membentuk tubuh ketika mencapai kesadaran Buddha akan menjadi Nirmanakaya dan Stupa Pusaka yang sangat mulia. Masing-masing makhluk memiliki kesadraan Buddha yang mana masing-masing memiliki potensinya yang unik, menyatu dalam KONSER AGUNG Shunyata dan Anatman, Ketersalingbergantungan.
Ajaran Buddha yang mengajarkan Intirinsic Good dan Evil serta tanpa Prima Causa, menjadikan konsep "PENDERITAAN ITU PERLU" menjadi matang, tidak prematur. Penderitaan, besar atau kecil adalah sebab akibat yang ditimbulkan sang individu sendiri. Tiap individu memiliki Dunia Buddha, memiliki potensi mengatasi semua penderitaan kecil dan besar. Sudah tugas manusia untuk terus melatih dan membangkitkan serta mencapai kesadaran Buddha. Bila ada manusia byang tak kuat menahan penderitaan tertentu, itu adalah karena ia belum bisa memaksimalkan potensi ke-Buddhaannya, namun suatu saat, pasti bisa... just always romancing The Buddha inside us!
The Siddha Wanderer