Ini tidak bisa dinilai secara mutlak, maka saya mengajak kita semua coba menyelidiki, benarkan kalau kita vegetarian, lalu pembantaian berkurang. Sebaliknya juga cobalah teliti apakah jika seorang vegetarian kemudian makan daging, apakah benar ada penambahan pembantaian. Bisa dicoba dari yang dekat, misalnya pasar atau pedagang penjual ayam/daging. Saya punya beberapa jawaban, tapi lebih 'afdol' kalau orang lain saja yang memberi input.
Hal ini sudah ada contohnya, dalam Negara Islam saya rasa setidaknya tidak ada babi yang diternakan dan dibunuh untuk konsumsi.
note : Walaupun mungkin ada babi yang dibunuh, tentunya misal karena sebagai hama, setidaknya pembunuhan untuk konsumsi lebih banyak daripada dibunuh karena hama.
Nah, misalkan pada suatu saat (walau tidak mungkin, lagipula ini hanya sekedar contoh) nanti di Negara Islam tersebut menghalalkan memakan babi, tentunya akan ada pemakan babi, karena ada pemakan babi, maka kebutuhan akan daging babi meningkat, karena daging babi tidak datang begitu saja, maka perlu ada babi yang dibunuh untuk diambil dagingnya. seiring semakin banyaknya pemakan babi, maka diperlukan banyak babi pula yang dibunuh dan diambil dagingnya, dst sampai ke peternakan.
Jadi kesimpulannya, karena ada yang memakan babi, jadi ada babi yang terbunuh. (walau sekali lagi saya tidak menyimpulkan secara umum, memakan daging harus membunuh makhluk yg punya daging. Tetapi umumnya kita harus membunuh makhluk itu)
Kalau ayam memang sudah dibunuh dan digoreng, maka dibeli atau tidak oleh si umat, tetap ayamnya sudah mati. Sudah tidak relevan lagi, apalagi terhadap si bhikkhu. Apakah si bhikkhu terima atau tidak, ayamnya tetap sudah mati.
Tapi jika si bhikkhu mengetahui atau minimal menduga bahwa si umat memesan ayam untuknya, yang karena hal tersebut, ada ayam yang kemudian dibunuh/disakiti, maka si bhikkhu memang sudah seharusnya menolaknya, sebab penerimaan hal tersebut berarti menyetujui makhluk dibunuh demi dia.
Sebetulnya sederhana saja, sama seperti ada gelandangan meninggal, setelah dikremasi, sisa tubuhnya diberikan ke bhikkhu untuk meditasi asubha. Kalau memang demi si bhikkhu meditasi asubha, maka ada umat membunuh (secara langsung atau tidak) agar mayatnya bisa diberikan ke si bhikkhu, maka sudah sepatutnya si bhikkhu tidak menerima 'pemberian' itu.
Mengenai hal ini, sebelum saya bertanya lebih jauh, ada yg perlu penjelasan lebih dari om KK
Mengenai ayam yang sudah mati dan digoreng, mau dibeli atau tidak memang betul ayam itu yah sudah mati.
pertama, saya menelusuri dahulu, bagaimana ada ayam mati dan digoreng yang tau tau ada di pajang oleh penjual. tentunya sang Pembeli yaitu umat itupun tau, Ayam itu dikhususkan dibunuh oleh penjual untuk dibeli oleh pembeli.
Alasan saya mengatakan Ayam itu dikhususkan di bunuh oleh si Penjual untuk dibeli umat (umat menjadi pembeli) adalah :
Kita tilas balik, maksud si penjual. seperti yg saya katakan sebelumnya Si Penjual membutuhkan Uang, Maka dia akan menjual Daging Ayam (bukan membunuh) , bagaimana daging ayam itu diperoleh, yah tentu saja dengan Membunuh Ayam.
Dalam hal ini terlihat membunuh itu adalah syarat dia menjual daging. (Note : Penjual disini saya contohkan penjual langsung yang beternak ayam)
Lalu ada umat yang ingin membeli daging (tentunya dia bisa memilih untuk tidak harus daging) saat dia melihat daging yang dijajakan oleh penjual, tentu saja itu hanyalah seongok daging, tidak terlihat pertumpahan darah disitu.
lalu kembali ke aturan "Pembunuhan Langsung", bila saya sebagai pembeli yang tertarik dengan daging itu, lalu saya bertanya kepada penjual.
"Bang, abang menjual daging ini ke saya apakah abang dengan khusus menyembelih ayam yang abang ternak demi mendapatkan dagingnya sehingga bisa ditawarkan kepada saya?"
kira2 jawaban apa yang diterima si pembeli?
kalau menurut saya tentu jawaban si penjual adalah "Ya" , karena Penjual tersebut tidak ada maksud lain dalam membunuh ayamnya selain untuk mengambil dagingnya dan ditawarkan kepada pembeli.
(nb : walau mungkin ada jawaban "Ohhh tidak dek, saya membunuh Ayam ternak saya karena mereka selalu mengganggu tidur pagi saya, yah daripada dibuang daginggnya, jadi saya jual saja". tetapi hal ini sepertinya terlalu aneh
)
Bila Cerita diatas adalah ideal, maka tentunya sudah tidak sesuai dengan aturan tersebut.
Lalu kembali kepada Bhikkhu, Sang Bhikkhu hanya menerima persembahan dari Umatnya, yang ternyata adalah daging ayam. Sang Bhikkhu tentu bisa bertanya,
"Apakan anda (sang Umat) mengkhususkan membunuh Ayam yang mempunyai daging dihadapan saya ini, untuk dipersembahkan kepada saya?"
Sang Umat tentu menjawab tidak, karena tidak ada pembunuhan olehnya, Pekerjaan dia hanya Membeli dan mempersembahkan, tentunya sang Bhikkhu "halal" memakan ayam tersebut. tetapi saya ingin tahu, kira2 bagaimana penilaian sang Bhikkhu saat hadir dalam percakapan Penjual dan Pembeli saat Pembeli bertanya bagaimana daging tersebut bisa ditawarkan