//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 584956 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #855 on: 07 October 2011, 06:18:28 PM »
 _/\_ tanya lagi yah om kainyn.
dalam proses penyelidikan setiap orang pasti berbeda, apakah ada kemungkinan bagi seseorang dalam penyelidikannya salah menilai yang benar sebagai yang tidak benar, yang tidak seharusnya sebagai yang seharusnya, kemudian menjadi memegang dan meyakini apa yang tidak sesuai dengan Dhamma.
jika seperti itu bagaimana om kainyn?
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #856 on: 08 October 2011, 01:28:57 PM »
_/\_ tanya lagi yah om kainyn.
dalam proses penyelidikan setiap orang pasti berbeda, apakah ada kemungkinan bagi seseorang dalam penyelidikannya salah menilai yang benar sebagai yang tidak benar, yang tidak seharusnya sebagai yang seharusnya, kemudian menjadi memegang dan meyakini apa yang tidak sesuai dengan Dhamma.
jika seperti itu bagaimana om kainyn?
Ya, tentu saja selalu ada kemungkinan orang yakin dirinya benar, padahal keliru. Karena itulah kita harus senantiasa menguji dan menyelidiki pandangan kita. Jangan segan-segan mempertanyakan dan 'melibas' pandangan kita sendiri. Kalau kita takut dengan ujian, mencari aman terus, maka kesempatan untuk mendapatkan atau mengembangkan kebijaksanaan juga jadi sempit dan terbatas.

Juga dalam hal apapun yang kita kembangkan, usahakanlah untuk dipahami. Jangan karena suatu hal membawa kita pada kesenangan/kesusahan, lalu kita pukul rata sebagai bermanfaat/tidak bermanfaat. Berusaha pahami mengapa hal itu membawa kesenangan atau kesusahan, pahamilah prosesnya. Kalau kita mengerti fenomena, mengetahui sebab ini menyebabkan akibat itu, mengapa kita harus takut keliru dalam menjalani sesuatu?
Berbeda halnya kalau memang tidak paham, menjalani sesuatu karena 'ikut arus' saja, apakah dia bahagia/menderita, sudah sepatutnya khawatir, karena memang dia tidak berada dalam 'sang jalan'. Mengapa begitu? Sebab 'sang jalan' itu ada dalam pengetahuan, bukan dalam ketidak-tahuan.

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #857 on: 08 October 2011, 05:35:36 PM »
...
Jangan segan-segan mempertanyakan dan 'melibas' pandangan kita sendiri.
...

ya, sepertinya itu adalah kata kunci yang paling tepat untuk saya sekarang.
selama ini saya mungkin terlalu menutup diri dan lebih mencari aman saja.  ;D
 _/\_ terima kasih atas penjelasannya om kainyn..
Quote
Kalau kita takut dengan ujian, mencari aman terus, maka kesempatan untuk mendapatkan atau mengembangkan kebijaksanaan juga jadi sempit dan terbatas.
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #858 on: 08 October 2011, 05:38:00 PM »
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline johan3000

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 11.552
  • Reputasi: 219
  • Gender: Male
  • Crispy Lotus Root
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #859 on: 08 October 2011, 05:53:50 PM »
Beberapa hari yg lalu Steve Jobs RIP, katanya meninggalkan nilai saham sejumlah Triliun Rph...

Menurut Buddhist, apakah cara yg terbaik dilakukan sebelum dia RIP ?
   (pengaturan warisan  utk keluarga dan porsi berdana utk sosial, etc....)

thx!
« Last Edit: 08 October 2011, 06:01:49 PM by johan3000 »
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Offline Rina Hong

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.255
  • Reputasi: -2
  • Gender: Female
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #860 on: 08 October 2011, 08:30:56 PM »
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...


Apa maksudnya ada dhamma lainnya selain yang diajarkan SB?
trus gimana kita membedakan itu dhamma atau bukan sementara kita sendiri belum tercerahkan?
The four Reliances
1st,rely on the spirit and meaning of the teachings, not on the words;
2nd,rely on the teachings, not on the personality of the teacher;
3rd,rely on real wisdom, not superficial interpretation;
And 4th,rely on the essence of your pure Wisdom Mind, not on judgmental perceptions

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #861 on: 09 October 2011, 12:47:04 AM »
Apa maksudnya ada dhamma lainnya selain yang diajarkan SB?
saya gak berbicara ajaran2 di luar buddhisme dulu. mari kita berbicara yang ada dalam buddhisme saja.

imo, dhamma itu dapat diselami para bijaksana dalam batin masing2 (paccatam veditabbo vinuhi). dengan kata lain, apa yang dituliskan di buku2, apa yang didiskusikan / diperdebatkan / dibicarakan itu hanyalah telunjuk2 (pointers) yang mencoba mengarah pada dhamma, namun bukan dhamma itu sendiri. dhamma sejati hanyalah dhamma yang sudah diselami dan ada pada batin orang yg sudah suci.

apabila anda cukup lama mempelajari "telunjuk2" itu anda pasti merasakan betapa lebatnya belantara rimba pendapat, opini dan penafsiran yang seringkali berbeda bahkan berlawanan satu sama lain. satu sutta memiliki berbagai interpretasi, melahirkan berbagai macam metode dan praktik. di tipitaka yang sama bisa melahirkan berbagai macam metode2 meditasi yang berbeda2, yg kadang terlihat berlawanan satu sama lain.

dalam berjalan melewati lebatnya rimba pendapat ini, sudah tentu kita memiliki dan memegang opini sendiri2, memilih salah satu pendapat yang kita rasakan cocok dan sesuai dengan pemikiran dan pengalaman kita. namun sekali lagi, opini ini bukanlah dhamma. sesuai dengan jalannya waktu, kita mencoba praktik, mengalami hidup dan pengalaman2 batin yg baru. karena perubahan itu kita akan menukar satu opini dengan opini yg lain, satu pemahaman dengan pemahaman yang lain, satu pengertian dengan pengertian yang lain. sampai suatu saat kita bisa benar2 menyelami dhamma di batin kita sendiri dan menjadi orang bijak.

dalam hal ini, apabila kita dengan kukuh memegang suatu opini, pengertian, pemikiran ataupun ide yang kita anggap final --padahal kita tahu itu bukanlah dhamma, karena dhamma sejati hanya ada di batin orang suci-- maka kita akan rugi sendiri dan kehilangan kesempatan untuk bertukar ke pemahaman yg lebih tinggi, ke realisasi yang lebih tinggi bahkan kita akan kehilangan kesempatan untuk merealisasi dhamma yang sebenarnya yg diselami oleh orang bijak di batin masing2...


trus gimana kita membedakan itu dhamma atau bukan sementara kita sendiri belum tercerahkan?
alasan kita belajar buddhisme hanya satu: karena dukkha. dalam salah satu sutta sendiri, Buddha mengatakan, “O, Anuradha, dari dahulu sampai sekarang, hanya ini yang Kuajarkan: tentang dukkha dan tentang lenyapnya dukkha.”

gampangnya apapun yang menyebabkan, memperkuat dan melanggengkan dukkha dan sebab2nya, itu bisa dianggap sebagai bukan dhamma.
sebaliknya apapun yg menyebabkan lemahnya dan lenyapnya dukkha dan sebab2nya, itu bisa dianggap sebagai dhamma.

pengertian dan pengkategorian inipun sangat tergantung pada pemahaman kita mengenai dukkha. pemahaman akan dukkha ini juga akan terus berubah sesuai dengan berubahnya pemahaman dan pengalaman kita masing2. apa yang hari ini kita lihat sebagai bukan dukkha, di kemudian hari bisa saja terlihat sebagai dukkha...


===

btw, baru ingat istilah zen untuk sikap mental yg selalu terbuka dan tidak pernah menganggap pemahamannya sebagai final: beginner's mind.
steve jobs sendiri pernah menyinggung hal ini pada satu interview dari majalah wired:
Quote
The Web reminds me of the early days of the PC industry. No one really knows anything. There are no experts. All the experts have been wrong. There's a tremendous open possibility to the whole thing. And it hasn't been confined, or defined, in too many ways. That's wonderful.

There's a phrase in Buddhism,"Beginner's mind." It's wonderful to have a beginner's mind.
« Last Edit: 09 October 2011, 12:59:57 AM by morpheus »
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #862 on: 09 October 2011, 09:04:28 AM »
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...

well spoken mate. couldn't agree more
There is no place like 127.0.0.1

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #863 on: 09 October 2011, 09:18:22 AM »
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...

well spoken mate. couldn't agree more
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #864 on: 10 October 2011, 11:28:50 AM »
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
Setuju. Sampai kapanpun sepertinya pengetahuan dan kebijaksanaan kita tetap akan 'berevolusi', kecuali mungkin kalau kita memang sudah menemukan 'akhir dari segalanya', entah apapun wujudnya.

Dalam 'meragukan segalanya' ini, juga harus benar2 jujur dan mendalam. Kadang karena kecenderungan kita, maka kita meragukan hal yang belum dibuktikan kebenarannya karena label tertentu, dan meloloskan hal lain dari keraguan karena label tertentu. Misalnya hal-hal mistis tertentu kita ragukan karena merknya beda, namun hal-hal mistis tertentu lainnya yang tidak kita ragukan dan terima saja untuk dijalani, karena merknya 'Buddhis'.

Namun dalam kenyataannya juga pasti ada hal-hal yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan sempurna. Hal-hal ini tidak apalah dipegang (sementara) sebagai kepercayaan. Terlampau skeptik menolak segalanya tanpa pertimbangan kecuali ada bukti empiris juga sepertinya ekstrem yang sebaiknya dihindari.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #865 on: 11 October 2011, 04:46:24 PM »
Beberapa hari yg lalu Steve Jobs RIP, katanya meninggalkan nilai saham sejumlah Triliun Rph...

Menurut Buddhist, apakah cara yg terbaik dilakukan sebelum dia RIP ?
   (pengaturan warisan  utk keluarga dan porsi berdana utk sosial, etc....)

thx!
Sepertinya Buddha menganjurkan kita memperhatikan kesejahteraan orang tua, keluarga, teman, dan juga para pekerja/bawahan. Selain itu, juga memperhatikan kesejahteraan 'masa depan' yaitu dengan berdana dan menolong sesama. Soal berapa porsinya, saya pikir ini setiap orang berbeda dan punya penilaiannya sendiri.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
[Fiksi] Sutta Bodhisatta Coklat-Kopi (dari Perpustakaan Raja Ikan Betok)
« Reply #866 on: 14 October 2011, 12:15:39 PM »
Demikianlah yang kudengar.
Suatu ketika, Sang Bhagava sedang menetap di Gijjhakuta, sesaat setelah Devadatta meninggalkan Sangha. Sekitar dua ribu enam ratus tahun kemudian di tempat lain, ada 3 brahmana yang mahir dalam pengaturan menu, mengenal bahan, bumbu, cara pengolahan, penyajian makanan yang dianggap sebagai murni, tidak sepakat mengenai pandangan bodhicitta. Brahmana Godhā berpendapat bahwa makanan bukan daging yang disajikan sesuai aturannya, lepas dari kekotoran bahan lain, membuat bodhicitta berkembang, hanya ini yang benar dan lainnya keliru. Brahmana Karaḷa menganggap pikiran terarah pada makanan murni yang membuat bodhicitta berkembang, hanya ini yang benar dan lainnya keliru. Sementara Brahmana Usabha berpendapat bahwa selain pikiran pada makanan murni, memakan makanan murnilah yang membuat bodhicitta berkembang, hanya ini yang benar dan lainnya keliru. Karena mereka tidak dapat mencapai kesepakatan, seorang dari mereka mengajukan, "terdengar kabar baik mengenai Bhikkhu Accha yang dikenal sebagai Bodhisatta warna Coklat-Kopi1 ... baiklah kita menanyakan kepada beliau perihal masalah ini." Mereka setuju dan pergi mendatanginya.

Setelah mendatangi beliau, bertukar salam, mereka duduk di satu sisi. Brahmana Godhā berkata, "Yang Mulia, bodhicitta dikembangkan dari makanan yang murni dalam bahan, bukan dari makhluk hidup ataupun bangkainya, tidak menggunakan peralatan masak tercemar2, tidak menggunakan bumbu tak murni3, adalah syarat dari pengembangan bodhicitta. Bagaimana pendapat Yang Mulia tentang hal ini?"

Accha menjawab, "Brahmana, dalam pengambilan bahan-bahan murni itu, apakah dapat dipastikan tidak ada makhluk-makhluk yang hidup di tumbuhan, ataukah yang hidup di bawah tanah tumbuhan tersebut, yang celaka akibat tercabutnya tumbuhan atau biji-bijian tersebut, atau apakah tidak ada pengusiran dengan kekerasan pada hama-hama ketika menjelang panen?

"Tidak dapat dipastikan, Yang Mulia."

"Bukankah dengan begitu, bahannya sendiri menjadi tidak murni?"

"Benar, Yang Mulia."

"Namun ada, Brahmana Godhā, mereka yang memakan bahan secara murni, tidak tercampur dalam hal tidak murni lainnya. Mereka adalah ulat-ulat seperti ulat bulu, ulat keket, dan ulat sutra. Dan aku belum melihat atau mendengar satupun ulat menjadi Buddha kendatipun makanannya demikian murni."

Mendengar hal tersebut, maka Brahmana Karaḷa berkata, "Yang Mulia, sesungguhnya adalah pikiran yang mengarah pada makanan murni yang membangkitkan dan memelihara bodhicitta."

"Brahmana, di tempat-tempat makan yang murni dan lezat seperti Chang zou, Triradna, Maitreiawyra, atau Atjeen, terdapat makanan bukan daging yang diolah dan dibentuk seperti daging, terasa seperti daging. Orang-orang datang ke sana memakannya dan merasakan rasa daging, pikirannya mengenal rasa daging, menjadi senang dan terikat pada citarasa tersebut. Walaupun memakan makanan murni, namun pikiran makan daging muncul di sana. Bukankah hal tersebut adalah sia-sia dalam membangkitkan bodhicitta?"

"Benar, Yang Mulia."

"Seandainya seseorang kemudian membuka tempat makan dan mengolah makanan dari hewan yang dibantai, kemudian diolah dan dibentuk seperti makanan murni, terasa seperti makanan bukan daging. Kemudian orang-orang datang ke sana memakannya dan merasakan rasa bukan daging, pikirannya mengenal bukan-rasa-daging, menjadi senang dan terikat pada citarasa tersebut. Walaupun memakan makanan daging, namun pikiran makanan murni muncul di sana. Apakah kemudian bodhicitta berkembang di sana?"

"Tidak, Yang Mulia."

"Berarti bukanlah pikiran makanan murni yang menentukan, namun makanannya, seperti diutarakan Brahmana Godhā."

"Kalau begitu, ada bodhicitta berkembang di sana, Yang Mulia."

"Dengan demikian, apapun yang dimakan tidak berarti apa-apa dan dengan sendirinya praktik menghindari makan daging menjadi tidak bermakna, bukan?"

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Usabha berkata, "pandanganku, Yang Mulia, adalah makanan yang murni dan pikiran terarah pada makanan murni yang mengembangkan dan memelihara bodhicitta. Makan makanan murni namun pikirannya tidak terarah pada makanan murni adalah tidak bermanfaat; sementara pikiran terarah pada makanan murni, namun makanannya tidak murni, adalah juga tidak bermanfaat bagi pembangkitan dan pengembangan bodhicitta."

"Brahmana, seandainya terdapat dua orang brahmana senior, yang satu memiliki pikiran terarah pada makanan murni dan memakan makanan murni sepenuhnya, namun ia sombong, penuh kebencian dan permusuhan, berkata bohong dan fitnah; sementara satunya lagi tidak melekat pada citarasa makanan, tidak memilih-milih menu dan memakan makanan murni dan tidak murni, namun memiliki cinta-kasih, tanpa permusuhan, rendah hati, juga jujur. Manakah yang menurutmu menginspirasi bangkitnya bodhicitta?"

"Tentu saja yang penuh cinta-kasih dan tanpa permusuhan."

"Demikianlah diet seseorang memang tidak ada hubungannya dengan bodhicitta, namun pikiran, ucapan, dan perbuatan tanpa keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin adalah membangkitkan bodhicitta."

"Tetapi daging adalah hasil langsung4 dari makhluk hidup dan berarti menyetujui pembunuhan?"

"Seandainya, Brahmana, seorang pencari kayu pergi ke hutan dan menemukan bangkai binatang yang telah dimangsa dan ia ambil tulang kakinya. Sekembalinya ia ke kota, ia menjual tulang itu ke pembuat suling dan kemudian dibuatkan suling tulang. Lalu seorang pemusik membeli suling tersebut dan memainkan musik. Apakah bisa dibilang bermain musik demikian adalah menyetujui pembunuhan atau pemangsaan hewan?"

"Memang tidak, Yang Mulia. Namun kemudian apakah berarti semua makanan sama saja dan boleh dimakan?"

"Makanan sebagai objek, semua sama. Namun bukan hanya makanan, objek apapun yang ketika diniati untuk diberikan kepada kita, menyebabkan kejahatan apakah pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penipuan, kebohongan, dan perilaku buruk lainnya terjadi, tidak sepantasnya diterima, karena penerimaan kita menjadi bagian dari terjadinya kejahatan tersebut.

Sebaliknya, objek apapun yang ketika diniati untuk diberikan kepada kita, tidak menyebabkan kejahatan atau perilaku buruk lainnya, tidak bermasalah untuk diterima, sebab penerimaan atau penolakan kita tidak menjadi bagian dari terjadinya satu kejahatan.

Maka jika kau mengetahui atau menduga bahwa penerimaan atau penggunaan satu objek menimbulkan kejahatan, janganlah menerima atau menggunakannya. Bodhicitta timbul dari meninggalkan, menjauhi kejahatan dan mengembangkan, menganjurkan kebaikan, bukan dari pemilihan menu makanan."

[...]
---

1RGB 111, 78, 55.

2Tidak bekas digunakan dalam pengolahan masakan yang tidak murni.

3Bawang putih, bawang bombay, bawang merah, lokio, adas besar (asafetida).

4Pembunuhan langsung di sini maksudnya berbeda dengan pembunuhan tidak langsung atau tidak sengaja, yang terjadi ketika memanen sayuran.

« Last Edit: 14 October 2011, 12:23:40 PM by Kainyn_Kutho »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: [Fiksi] Sutta Bodhisatta Coklat-Kopi (dari Perpustakaan Raja Ikan Betok)
« Reply #867 on: 14 October 2011, 01:25:07 PM »
[...]
"Seandainya, Brahmana, seorang pencari kayu pergi ke hutan dan menemukan bangkai binatang yang telah dimangsa dan ia ambil tulang kakinya. Sekembalinya ia ke kota, ia menjual tulang itu ke pembuat suling dan kemudian dibuatkan suling tulang. Lalu seorang pemusik membeli suling tersebut dan memainkan musik. Apakah bisa dibilang bermain musik demikian adalah menyetujui pembunuhan atau pemangsaan hewan?"

"Memang tidak, Yang Mulia. Namun kemudian apakah berarti semua makanan sama saja dan boleh dimakan?"
[...]

Saya setuju tentang bodhicitta.

Tapi antara 'menemukan bangkai', dengan non-vege (katakanlah, membeli daging untuk dimakan), IMHO konteksnya berbeda?

Maksudnya,
[1] Tentang bangkai, bangkai tersebut adalah hewan yang dimangsa oleh hewan lain. Dengan kreativitasnya, dia memanfaatkan tulang sebagai seruling. Memang tidak bisa dikatakan bahwa dia mendukung pembunuhan. Selain itu, tidak ada korelasi antara jumlah hewan yang dimangsa dengan pembuatan tulang sebagai seruling.

[2] Kalau beli daging, daging itu memang ditujukan untuk pembeli. Memang tidak bisa dikatakan juga bahwa si pembeli menyetujui pembunuhan, tapi ada korelasi antara jumlah pembeli dengan jumlah hewan yang dibunuh ???
« Last Edit: 14 October 2011, 01:27:52 PM by Mayvise »

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #868 on: 14 October 2011, 01:38:02 PM »
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
dutiyampi
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: [Fiksi] Sutta Bodhisatta Coklat-Kopi (dari Perpustakaan Raja Ikan Betok)
« Reply #869 on: 14 October 2011, 01:38:47 PM »
Saya setuju tentang bodhicitta.

Tapi antara 'menemukan bangkai', dengan non-vege (katakanlah, membeli daging untuk dimakan), IMHO konteksnya berbeda?

Maksudnya,
[1] Tentang bangkai, bangkai tersebut adalah hewan yang dimangsa oleh hewan lain. Dengan kreativitasnya, dia memanfaatkan tulang sebagai seruling. Memang tidak bisa dikatakan bahwa dia mendukung pembunuhan. Selain itu, tidak ada korelasi antara jumlah hewan yang dimangsa dengan pembuatan tulang sebagai seruling..
1. Jadi jika memang bangkainya ada, dengan kreativitas tertentu dimanfaatkan, dagingnya menjadi murni?

2. Bagaimana jika memang kota itu produsen suling, dan jika memang kekurangan bahan, ada binatang yang dibantai. Apakah kemudian ada korelasinya?


Quote
[2] Kalau beli daging, daging itu memang ditujukan untuk pembeli. Memang tidak bisa dikatakan juga bahwa si pembeli menyetujui pembunuhan, tapi ada korelasi antara jumlah pembeli dengan jumlah hewan yang dibunuh
OK, bagaimanakah korelasinya?

 

anything