Saat mendengar kata "praktik", maka teori yang paling menonjol muncul pada pikiran saya adalah tentang usaha benar yaitu memunculkan hal-hal bermanfaat yang belum muncul, dan mempertahankan yang telah muncul. Dan sebaliknya yaitu menghindari munculnya hal-hal tidak bermanfaat yang belum muncul, dan memadamkan yang telah muncul.
Ya, menurut saya juga begitu. Hanya saja, ini dituangkan dalam seluruh kehidupan kita, bukan hanya salah satu aspek.
Kemarin saya baca di Samyutta Nikaya, kalau tidak salah tentang gagang kapak yang aus? Maaf kalau salah, saya lupa-lupa ingat. Intinya dikatakan bahwa sehari-harinya kita tidak tahu seberapa banyak yang aus. Tapi suatu saat ketika kapak itu menjadi benar-benar aus (tidak dapat digunakan lagi), barulah kita mengetahuinya. Sama halnya seperti tali kapal yang sehari-harinya terendam air laut dan terjemur matahari. Sehari-harinya tidak terlihat ausnya, tapi suatu saat karena telah rapuh akhirnya dia terputus, maka saat itulah baru muncul pengetahuan tentang ausnya tali. Ini seperti berusaha dan tidak melihat hasil yang nyata sehari-harinya, tapi saat terlepasnya suatu noda atau mencapai suatu tahap pencerahan, barulah kita sadari?
Ya, kita berlatih juga belum tentu bisa menyadari manfaatnya secara langsung, tapi suatu saat, melewati satu fase tertentu, hal tersebut terlihat nyata dan kita ketahui. Karena itulah dalam berlatih kita tidak usah terlalu menimbang-nimbang 'maju-mundur', 'berapa banyak yang sudah dilakukan', karena nantinya hanya akan timbul keraguan. Yang terbaik adalah kita memiliki pengertian benar dalam berlatih dan lakukan saja yang terbaik secara terus-menerus.
Tentang masalah saya, mungkin kalau disingkat, jadinya begini:
Ketika menghadapi masalah, maka secara logika, saya bisa menemukan penyebabnya. Tapi untuk mengatasinya, saya merasa bergelimang kilesa. Seperti ada suatu keyakinan dalam diri saya tentang "sisi gelap" saya yang tidak bisa diubah. Saya melekat akan gambaran diri masa lalu saya. Dan ada suatu ketidakpercayaan diri untuk mengatasinya. Walaupun saya menyadari ini semua dan secara teori saya tahu tentang "hidup di masa sekarang", tapi tetap saja pikiran saya terseret ke masa lalu. Mungkin ini yang disebut Kebodohan ya?
Bagaimana caranya berada di jalur yang benar dalam praktik?
Betul, memang seperti itu. Kita bisa secara logika melihatnya, namun ada kalanya logika pun tidak cukup. Bukan berarti tidak logis, tapi karena logika adalah terkondisi oleh kita sendiri. Satu contoh yang nyata adalah kemelekatan, kebencian, dan kebodohan bathin, tidak bisa dilogikakan, namun nyata. Misalnya bro Thres sedang menderita karena patah hati, maka kita bisa logikakan bahwa karena kemelekatan, maka timbul rasa sayang, lalu timbul perasaan gini-gitu dst... dst... Tapi coba logikakan kemelekatan itu, darimana datangnya, bagaimana prosesnya. Tidak akan bisa, yang ada hanya pikiran berputar-putar dan 'menipu' kita sendiri. Demikian juga latihan melepasnya, tidak bisa dilogikakan, namun ada.
Seperti tali kapal tadi, kemelekatan itu tidak muncul dengan tiba-tiba, tapi dipupuk. Hanya saja kita tidak menyadarinya sampai 'terlanjur' melekat. Demikian juga latihan melepasnya, tidak bisa instan. Kita tidak akan mengetahuinya sampai pada masanya 'tali putus' dan kita akan menyadarinya.
Jadi bro thres jangan berpandangan bahwa 'sisi gelap' itu tidak bisa berubah. Berpegang pada pandangan benar, jalani saja, dan dalam latihan, jangan melogikakan. Kalau dari pengalaman saya sendiri, seperti itu.
Wah, ini balik lagi ke diri saya yang saya maksudkan. Kalau saya baca tentang tulisan saya di atas mengenai usaha benar, saya tahu penyebab dari masalah saya, tapi saat saya menemukan kilesa, saya bingung Saya bingung ketika saya menyadari bahwa pikiran saya mengembara dan terjerat begitu jauh, lalu terwujud dalam bentuk pikiran yang gelisah dan "gelap". Saya seringkali terlambat menyadarinya, dan ketika kilesa telah menjadi begitu besar, di saat itulah saya baru menyadarinya dan merasa kewalahan. Apalagi ditambah dengan kemelekatan saya akan "diri" saya di masa lalu, dan ketidakpercayaan diri saya untuk mengatasinya.
Buddha mengatakan:
"Para bhikkhu, saya tidak melihat hal yang demikian mencelakakan sebagaimana pikiran yang tidak jinak, tidak terkuasai, tidak terlindung, dan tidak terkendali, mencelakakan.
Para bhikkhu, saya tidak melihat hal yang demikian tidak membahayakan sebagaimana pikiran jinak, terkuasai, terlindung, terkendali, tidak membahayakan." Memang demikianlah pikiran kita bisa membawa ke mana-mana. Terlambat menyadari berarti lebih baik daripada 'tidak' menyadari. Berikutnya diusahakan 'tidak terlambat'. Saya pikir esensi dari latihan memang untuk menjadikan diri lebih baik, bukan semata-mata harus mencapai tujuan akhir saja (hilangnya kilesa). Jadi jangan kehilangan semangat, walaupun hanya bermanfaat 0.0001, itu sudah lebih baik daripada tidak sama sekali, atau bahkan merosot.