Cerita ini saya masukkan ke bagian Humor saja, kecuali kalau moderator merasa ada tempat yang lebih cocok.
Pengalaman diskors seminggu karena membela teman yang gondrong.
Ketika sekolah di SMU , di institusi pendidikan dari yayasan K******; yang dipimpin kepala sekolah seorang biarawati asli import dari Eropa; beliau mengelola sekolah dengan disiplin ketat; dan saya pikir beliau termasuk yang kategori galak jarang tersenyum, selama menjadi murid selama 3 tahun disitu , belum pernah saya melihat beliau tertawa. (Kasihan sih).
Pada masa itu di awal 70’an adalah jaman Elvis Presley, The Beatles, Bee Gees sedang ngetop, maka busana maupun dandanan rambut remaja juga mengikuti idola saat itu, yaitu celana panjang sempit dan rambut gondrong melewati kerah baju, bahkan ada yg sebahu, sedangkan bagi cewek, adalah rok mini dan rambut sasak.
Banyak teman cowok saya yang memanjangkan rambutnya melewati kerah, istilahnya berambut gondrong, bahkan ada satu yang begitu telaten memelihara rambutnya, sering menyisir dengan rapi dengan cambang dan gondrong melewat kerah.
Saat itu terkenal beberapa gang pemuda yang berambut gondrong /panjang yg sering membuat keributan dikota kami. Dan Kepala Sekolah yang biarawati ini mengeluarkan peraturan melarang berambut gondrong.
Awalnya ditaati, tetapi selang beberapa bulan mulai lagi rambut melewati kerah.
Suatu hari dilakukan razia mendadak, yang ber rok mini dipulangkan, harus ganti dengan gaun minimal selutut. Sedangkan yang berambut gondrong, digunting rambutnya, entah mengapa oleh guru yang bertugas mendisiplinkan , teman saya yang gondrong rapi ini dicukur dengan gunting kodok, gunting cukur barber shop mulai dari pelipis kanan menyilang sampai ke ubun ubun, sisa panjangnya tidak lebih dari 1 cm, artinya kalau mau rapih dia harus mencukur habis menjadi model cepak. Teman saya yang badannya tinggi besar itu menangis meringkuk karena diperlakukan seperti itu.
Sekelas terdiam, tapi mulai jadi ramai karena teriakan “melanggar hak asasi”, “sekolah sewenang wenang”. Sayapun yang menjadi wakil ketua kelas, ikut protes. Guru Wali kelas yang datang mencoba menenangkan mengatakan “ini adalah aturan sekolah”
Tapi dibantah beramai ramai karena : Aturan panjang rambut yang diperbolehkan tidak jelas, hanya disebut tidak boleh gondrong. Dan mengapa langsung dicukur seperti itu bukannya disuruh pulang untuk memotong rambutnya.
Kelas menjadi tambah gaduh karena murid murid mulai memukul mukul meja.
Datanglah guru mata ajaran Budi Pekerti (dulu ada, sekarang sdh ngga ada), yang biasanya dihormati karena pak guru ini sangat santun, tidak pernah marah marah dan kalau memberi peringatan pasti dengan cara dipanggil secara pribadi untuk diajak omong omong.
Beliau berusaha menjelaskan bahwa aturan sekolah harus diikuti.
Saya masih ingat berdebat dengan beliau ; saya mengatakan bahwa :”Rambut tumbuh sesuai dengan hukum alam, kalau alam tidak menghendaki tumbuh, biarpun dipaksa ya tetap tidak mau tumbuh. Karena itu rambut mau dipotong seperti apa, terserah kepada yang punya otak dibawah rambut itu tumbuh”
Beliau bertanya kepada saya : “Eh, kamu kan berambut pendek (saya memang memendekkan rambut saya dengan panjang hanya sekitar 2 cm saja saat itu) mengapa ikut ikutan membela yang berambut gondrong?”
Saya jawab :”Kan terserah saya, saya tidak suka berambut panjang karena panas (kota kami berada di pantura Jawa yg sangat panas dimusim kemarau), tetapi kalau ada yang senang berambut panjang, ya silahkan itu hak masing masing”
Kemudian beliau berusaha menjelaskan bahwa kebanyakan anak anak muda yang berambut panjang, perilakunya kurang baik.
Sayapun mendebat lagi dengan menyebutkan tokoh tokoh yang berambut panjang seperti Voltaire, George Washington, Benyamin Franklin , berambut panjang, Abraham Lincoln berambut gondrong. Mengapa teman teman kita tidak diijinkan sekolah tetap berprestasi walaupun rambutnya gondrong.
Disambut dengan teriakan , suitan dan pukulan di meja yang membuat suasana makin gaduh.
Pada saat itu datanglah kepala sekolah kami yang biarawati dan galak itu.
Dengan marah beliau bertanya : “Mengapa kalian ribut, disini tidak boleh berambut gondrong “
Saya tanya kepada beliau: “Mengapa tidak boleh berambut gondrong? Kan yang penting nilainya bagus dan perilakunya juga baik”
Beliau bertambah marah dan setengah berteriak beliau berkata :”Semua yang berambut gondrong itu jahat dan jelek perilakunya”.
Saya lalu berkata sambil menunjuk ke dinding atas dibelakang beliau : “Kalau yang itu bagaimana?”
Yang langsung disambut gemuruh tertawa teman sekelas.
Setelah menengok kebelakang , beliau dengan murka menunjuk kepada saya : “Keluar kamu!, Kamu saya skors tidak boleh masuk sekolah selama seminggu”
Gambar yang saya tunjuk adalah gambar Mr. Y*****.
Maka keluarlah saya dari kelas sambil masih tertawa terus.
Malamnya , saya ceritakan kejadian itu kepada ayah saya, yang juga langsung tertawa terbahak bahak.
Esok malam, guru Budi Pekerti datang kerumah saya : “Yang kamu katakan memang betul, kita tidak boleh menilai seseorang dari potongan rambutnya, tetapi memang aturan sekolah kita begitu, sudahlah kamu besok minta maaf ke Kep Sek supaya boleh sekolah lagi”
Ayah saya juga membujuk saya untuk meminta maaf kepada Kep Sek.
Tetapi saya berkata kepada pak guru Budi Pekerti itu :”Pak, yang mengatakan semua yang gondrong jahat dan jelek perilakunya adalah suster kepala sekolah, dan saya hanya menunjuk gambar Mr Y sambil bertanya apakah termasuk juga yang itu? Kan saya tidak mengatakan Mr Y itu jahat dan jelek perilakunya, bapak pada saat itu, juga mendengar sendiri”.
Kali ini pak guru juga ikut tertawa : “Memang kita tidak boleh menggebyah uyah (menyama ratakan) perilaku dari penambilan , kamu memang betul, tetapi namanya biarawati kamu begitukan , ya marah.”
Saya hanya berkata : ““Pak, bapak kan mengajarkan kepada kita untuk tetap bertahan pada pendapat yang kita yakini benar, dan dalam hal ini saya tidak merasa bersalah; saya terima skorsing seminggu ini dengan senang hati, lagipula sejak TK sekolah disitu saya belum pernah dihukum, kali ini saya ingin menikmati dihukum, hitung hitung untuk menambah pengalaman”.
Melihat usahanya tidak berhasil, pak Guru berpamitan pada ayah saya sambil berkata : “Pak, anak bapak ini penampilannya lemah lembut tapi atos”.
Kalau mengingat kejadian ini, saya masih senyum senyum sendiri.