Batara Indra dan Bro Luis yg baik,
saya jadikan satu aja ya jawaban kalian....memang kita mungkin berbeda persepsi ttg sutta tsb, sedangkan saya menangkap makna Cakkavatti Sutta disitu jelas2 minimal Dhammanusari, kemudian dlm Sudassana Sutta malahan lebih jelas lagi bhw tdk terlahir lagi utk ke8 kalinya (berarti khan Sotapanna).
mettacittena,
2.17. ‘Enam kali, Ānanda, Aku ingat telah meninggalkan jasmani ini di tempat ini, dan yang ke tujuh kali, Aku meninggalkan jasmani ini sebagai Raja Pemutar-Roda, raja yang adil yang telah menaklukkan empat penjuru dan menegakkan peraturan yang kokoh, dan yang memiliki tujuh pusaka. Tetapi, Ānanda, aku tidak melihat tempat mana pun di dunia ini bersama para dewa [199] dan māra dan Brahmā, atau dalam generasi ini bersama para petapa dan Brahmana, raja-raja dan umat manusia, di mana Sang Tathāgata akan meninggalkan jasmani ini untuk ke delapan kalinya.’
mungkin sutta ini perlu diselidiki lebih jauh sehubungan dengan kata "ke delapan kalinya". ada 2 hal yg meragukan bagi saya, yaitu:
1. Sang Bodhisatta mustahil telah mencapai Sotapanna.
2. Sang Bodhisatta jelas mengalami banyak kelahiran lagi setelah itu, yg jelas sbg Pangeran Vessantara, sebagai Dewa Setaketu, dan Sebagai Pangeran Siddhattha.
mungkin samaneri bisa membantu membuka kitab komentar dan memberitahukan apa kata komentar sehubungan dengan hal ini.
Interpretasi saya terhadap kutipan dari Mahāsudassana Sutta (DN 17) adalah:
1. Sang Buddha mengatakan pernah terlahir 8 kali di Kusinara.
2. Pada kelahirannya yang ke-7 di Kusinara, beliau terlahir sebagai Cakkavati
3. Pada kelahirannya yang ke-8, beliau terlahir sebagai Pangeran Siddharta yang kemudian menjadi Buddha
Oleh karena itu, Sang Buddha mengatakan setelah kelahirannya yang ke-8, beliau tidak akan terlahir lagi di mana2 lagi
8 kelahiran di tempat yang sama
tidak berarti kelahiran tersebut berurutan. Bisa saja, terlahir di tempat lain lagi, setelah itu (mungkin setelah beberapa kali kelahiran) baru terlahir di sana lagi. Dan dari sini
tidak dikatakan kalau waktu Sang Buddha terlahir sebagai cakkavati, beliau telah menjadi sotapanna. Konteks 7 kelahiran di sini
tidak sama dengan konteks seorang sotapanna yang akan terlahir kembali paling banyak 7 kali lagi sebelum mencapai Arahat.
Untuk Cakkavatti = Dhammanusari? Saya rasa tidak juga
Berikut kutipan dari Cakkavati-sihanada Sutta yang Samaneri highlight:
Tetapi, apakah, Baginda, tugas-tugas seorang raja pemutar-roda Ariya?” “Yaitu, anakku: engkau bergantung pada Dhamma, menghormati-Nya, menghargai-Nya, menyayangi-Nya, menyembah-Nya, dan memuja-Nya, menjadikan Dhamma sebagai lencana dan spandukmu, mengakui Dhamma sebagai gurumu, engkau harus menjaga, menangkis, dan melindungi sesuai Dhamma, rumah tanggamu, pasukanmu, penduduk desa dan kota, para petapa dan Brahmana, binatang-binatang liar dan burung-burung.8 Jangan biarkan kejahatan menyerang kerajaanmu, dan bagi mereka yang membutuhkan, berikan barang-barang kebutuhan mereka. Dan petapa dan Brahmana mana pun dalam kerajaanmu yang meninggalkan kehidupan indriawi dan menjalani praktik kesabaran dan kelembutan, masing-masing menjinakkan diri mereka, masing-masing menenangkan diri mereka, dan masing-masing berusaha untuk mengakhiri keserakahan, dari waktu ke waktu engkau harus mengunjungi dan berkonsultasi dengan mereka sehubungan dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, apa yang patut dicela dan apa yang tanpa cela, apa yang harus diikuti dan apa yang tidak boleh diikuti, dan perbuatan apa yang dalam jangka panjang akan mengakibatkan kemalangan dan penderitaan, dan apa yang menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Setelah mendengarkan mereka, engkau harus menghindari kejahatan dan melakukan kebajikan.9 Itu, anakku, adalah tugas seorang raja pemutar-roda Ariya.”’
Kalau tidak salah, Samaneri menginterpretasikan seorang Cakkavati adalah seorang dhammanusari berdasarkan kalimat yang berwarna
biru di atas. Menurut saya, kalimat di atas berarti seorang cakkavati memimpin rakyatnya
berpegang pada nilai2 Dhamma, dengan kata lain raja tersebut bermoral tinggi, adil, dan bijaksana sesuai Dhamma. Tetapi tidak berarti beliau adalah seorang dhammanusari
Menurut saya, seseorang disebut dhammanusari apabila
praktik spiritualnya telah memasuki tahapan realisasi Dhamma dengan
kebijaksanaan dan sudah
dekat sekali untuk memasuki arus sebagai sotapanna. Berikut kutipannya dari Okkanti Samyutta (SN 25)
“Seseorang yang baginya ajaran-ajaran ini diterima demikian setelah direnungkan hingga tingkat yang mencukupi dengan kebijaksanaan disebut seorang Penganut-Dhamma,2 seorang yang memasuki jalan pasti kebenaran, memasuki wilayah orang-orang mulia, melampaui wilayah kaum duniawi. Ia tidak mampu melakukan perbuatan yang karenanya dapat mengakibatkannya terlahir kembali di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan; ia tidak dapat meninggal dunia tanpa menembus buah Memasuki-arus.
Buat saya, tidak semua orang yang hidup sesuai dengan Dhamma sudah menjadi dhammanusari. Analogi nya, bisa saja seorang puttujana yang menjalankan pancasila dengan benar dan sebaik2nya, hidup sesuai dengan nilai2 Buddhis, senantiasa menumbuhkan kebijaksanaan dalam mempelajari Dhamma, tetapi belum menjadi seorang dhammanusari karena pemahaman terhadap anicca, dukkha, dan anatta belum mencapai tahap realisasi, tetapi masih teoretis dengan sedikit praktik. Para praktisi seperti ini, mungkin setelah meninggal terlahir sebagai dewa (atau manusia) tetapi belum merealisasikan sotapanna.
Demikian pendapat saya, semoga semua makhluk berbahagia
Mettacittena,
Luis