Pertanyaannya sederhana kok
Apakah Buddha mengajarkan kita menceritakan dan membabarkan keburukanan orang lain dibelakang kita atau membabarkan dharma yah?
Udumbarika-Sīhanadā Sutta
Auman Singa Kepada Kaum Udumbarika
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Maurice O'Connell Walshe
© 2009-2011
Terjemahan alternatif: Pāḷi
[36] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Puncak Nasar. Dan pada saat itu, Pengembara Nigrodha[1] sedang menetap di perkemahan Udumbarikā[2] yang disediakan bagi para pengembara beserta tiga ratus pengembara. Dan suatu pagi, perumah tangga Sandhāna datang ke Rājagaha untuk menemui Sang Bhagavā. Kemudian ia berpikir: ‘Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menemui Sang Bhagavā, Beliau sedang bermeditasi; saat ini bukan waktu yang tepat untuk menemui para bhikkhu yang sedang bermeditasi. Mungkin sebaiknya aku pergi ke perkemahan Udumbarikā untuk para pengembara dan mengunjungi Nigrodha.’ Dan ia melakukan hal itu.
2. Dan saat itu, Nigrodha sedang duduk di tengah-tengah kerumunan para pengembara yang semuanya ribut berteriak membuat kegaduhan, dan terlibat dalam berbagai percakapan yang tidak bertujuan[3] tentang raja-raja, [37] perampok, menteri, tentara, bahaya, perang, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, karangan bunga, pengharum, sanak saudara, kereta, desa, pasar dan kota, negeri, perempuan, kuda, gosip-jalanan dan-sumur, pembicaraan tentang orang yang meninggal dunia, percakapan yang tidak menentu, spekulasi mengenai daratan dan lautan, pembicaraan mengenai ke-ada-an dan ke-tiada-an.
3. Kemudian Nigrodha melihat Sandhāna mendekat dari kejauhan, dan ia berkata kepada para pengikutnya: ‘Tenanglah, Tuan-tuan, jangan bersuara, Tuan-tuan! Perumah tangga Sandhāna, seorang pengikut Petapa Gotama, sedang mendekat. Ia adalah salah satu dari siswa perumah tangga berjubah putih dari Petapa Gotama di Rājagaha. Dan orang-orang baik ini menyukai ketenangan, mereka diajarkan untuk bersikap tenang dan memuji ketenangan. Jika ia melihat kelompok ini tenang, ia hampir pasti ingin datang dan mengunjungi kita.’ Mendengar kata-kata ini, para pengembara terdiam.
4. Kemudian Sandhāna mendekati Nigrodha dan saling bertukar sapa dengannya, dan kemudian duduk di satu sisi. Kemudian ia berkata: ‘Tuan-tuan, cara para pengembara dari kepercayaan lain berperilaku saat mereka berkumpul adalah satu hal: [38] mereka membuat kegaduhan dan terlibat dalam segala jenis percakapan yang tidak bertujuan ... cara Sang Bhagavā berbeda: Beliau mencari tempat tinggal di dalam hutan, jauh di tengah hutan, bebas dari keributan, dengan sedikit suara, jauh dari kerumunan yang membuat gila, tidak terganggu oleh banyak orang, sangat sesuai untuk mengasingkan diri.’
5. Kemudian Nigrodha menjawab: ‘Perumah tangga, apakah engkau tahu dengan siapa Petapa Gotama berbicara? Dengan siapakah Beliau bercakap-cakap? Dari siapakah Beliau mendapatkan penerangan kebijaksanaan? Kebijaksanaan Petapa Gotama dirusak oleh kehidupan-Nya yang menyendiri, Beliau tidak berguna bagi banyak kelompok, Beliau tidak berguna dalam percakapan, Ia tidak tersentuh. Bagaikan bison[4] yang berputar-putar di sekeliling pagar, demikian pula Petapa Gotama. Sesungguhnya, perumah tangga, jika Petapa Gotama datang ke perkumpulan ini, kami akan membuat-Nya bingung dengan satu pertanyaan, kami akan menjatuhkan-Nya seperti kendi kosong.’
6. Sang Bhagavā, dengan indria-telinga-dewa-Nya, yang murni dan melampaui jangkauan manusia, mendengar percakapan antara Sandhāna dan Nigrodha. Dan, menuruni Puncak Nasar, Beliau pergi ke tempat memberi makan merak di sebelah Kolam Sumāgadhā, dan [39] berjalan mondar-mandir di sana di ruang terbuka. Kemudian Nigrodha melihat Beliau, dan ia berkata kepada para pengikutnya: ‘Tenanglah, Tuan-tuan, kurangi suara, Tuan-tuan! Petapa Gotama sedang berjalan mondar-mandir di sebelah Kolam Sumāgadhā. Beliau menyukai ketenangan, Beliau memuji ketenangan. Jika ia melihat kelompok ini tenang, Beliau hampir pasti ingin datang dan mengunjungi kita. Jika Beliau datang, kita akan mengajukan pertanyaan ini kepada-Nya: “Bhagavā, apakah ajaran yang Bhagavā ajarkan kepada para siswa-Nya, dan para siswa itu yang telah begitu terlatih sehubungan dengan manfaat dari ajaran itu menerimanya sebagai pendukung utama, dan kesempurnaan dari hidup suci?”’ Mendengar kata-kata ini, para pengembara terdiam.
7. Kemudian Sang Bhagavā mendatangi Nigrodha, dan Nigrodha berkata: ‘Mari, Bhagavā, selamat datang, Bhagavā! Akhirnya Bhagavā berkunjung ke sini. Silakan duduk, Bhagavā, tempat duduk telah dipersiapkan.’ Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan Nigrodha mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: ‘Nigrodha, apakah topik pembicaraan kalian tadi? Percakapan apakah yang terhenti karena-Ku?’ Nigrodha menjawab: ‘Bhagavā, kami melihat Bhagavā sedang berjalan mondar-mandir di tempat memberi makan merak di sebelah Kolam Sumāgadhā, [40] dan kami berpikir: “Jika Bhagavā datang, kami akan mengajukan pertanyaan ini kepada-Nya: ‘Bhagavā, apakah ajaran yang Bhagavā ajarkan kepada para siswa-Nya, dan para siswa itu yang telah begitu terlatih sehubungan dengan manfaat dari ajaran itu menerimanya sebagai pendukung utama, dan kesempurnaan dari hidup suci?’”’
‘Nigrodha, sulit bagimu, yang menganut pandangan yang berbeda, yang memiliki kecenderungan berbeda dan mengalami pengaruh-pengaruh berbeda, memiliki guru yang berbeda, untuk memahami ajaran yang Kuajarkan kepada para siswa-Ku ... silakan, Nigrodha, tanyakan tentang ajaranmu sendiri, tentang latihan kerasmu. Bagaimanakah kondisi dari latihan keras dan penyiksaan-diri terpenuhi, dan bagaimanakah yang tidak terpenuhi?’ Mendengar kata-kata ini, para pengembara membuat kegaduhan, dan berseru: ‘Sungguh indah, sungguh menakjubkan, betapa besarnya kekuatan Petapa Gotama dalam menahan teori-Nya sendiri dan mengundang pihak lain mendiskusikan teori mereka!’
8. Setelah menenangkan mereka, Nigrodha berkata: ‘Bhagavā, kami mengajarkan latihan keras yang lebih tinggi, kami menganggapnya perlu, kami mengikutinya. Oleh karena itu, apakah yang merupakan pemenuhan atau bukan pemenuhannya?’
‘Misalkan, Nigrodha, seorang penyiksa-diri bertelanjang badan, tidak ada pengendalian kesopanan, menjilat tangannya, tidak mendekat dan hanya berdiri diam saat diminta datang. [41] Ia tidak menerima makanan dari kendi atau panci ... (seperti DN 8, paragraf 4). Ia mengenakan rami kasar, potongan kain dari tumpukan sampah ... ia adalah pencabut rambut dan janggut, mengabdikan diri [42] pada latihannya; ia adalah seorang yang berselimut-duri, membuat alas tidurnya dari duri, tidur sendirian berselimut lumpur basah, menetap di ruang terbuka, menerima tempat duduk apa pun yang diberikan, seorang yang tidak meminum air dan menyukai praktik demikian, atau ia berdiam dengan mencurahkan dirinya pada praktik mandi tiga kali sebelum malam. Bagaimana menurutmu, Nigrodha, apakah dengan cara demikian latihan keras telah terpenuhi, atau tidak?’ ‘Terpenuhi, Bhagavā.’ ‘Tetapi, Nigrodha, Aku mempertahankan pendapat bahwa latihan keras yang lebih tinggi dapat menjadi gagal dalam berbagai cara.’
9. ‘Dalam cara bagaimanakah, Bhagavā, Engkau mempertahankan pendapat bahwa latihan keras yang lebih tinggi dapat menjadi gagal?’ ‘Ambil kasus, Nigrodha, dari seorang penyiksa-diri yang mempraktikkan latihan keras tertentu. Sebagai hasilnya, ia menjadi senang dan puas karena telah mencapai akhir latihannya. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau dalam mempraktikkan latihannya, ia mengangkat dirinya sendiri dan mencela orang lain. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia menjadi mabuk oleh keangkuhan, bersikap bodoh dan oleh karena itu, tidak berhati-hati. Dan ini [43] adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu.’
10. ‘Kemudian, seorang penyiksa-diri mempraktikkan latihan keras tertentu, dan hal itu memberikan perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran baginya. Sebagai akibatnya, ia menjadi senang dan puas karena telah mencapai akhir latihannya .... Atau dalam mempraktikkan latihannya, ia mengangkat dirinya sendiri dan mencela orang lain .... Atau ia menjadi mabuk oleh keangkuhan, bersikap bodoh dan oleh karena itu, tidak berhati-hati. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri mempraktikkan latihan keras tertentu, dan ia membagi makanannya menjadi dua bagian, dan berkata: “Yang ini cocok untukku, yang itu tidak cocok untukku!” Dan apa yang tidak cocok dengannya ia tolak, sedangkan yang cocok untuknya ia makan dengan rakus, tanpa perhatian, dan bernafsu, tidak melihat bahayanya. Tidak memikirkan akibatnya. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. [44] Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri mempraktikkan latihan keras tertentu demi mendapatkan perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, berpikir: “Para raja dan para menteri akan menghormatiku, para Khattiya dan para Brahmana dan para perumah tangga, dan para guru-guru spiritual.” Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu.’
11. ‘Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri mencela beberapa petapa dan Brahmana, dengan mengatakan: “Lihat bagaimana ia hidup berlimpah, memakan segala jenis makanan! Apakah yang dihasilkan dari akar, dari tangkai, dari ruas-ruas, dari irisan, atau ke lima dari biji,[5] ia mengunyahnya semua dengan rahangnya yang kuat, dan mereka menyebutnya seorang petapa!” Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia melihat petapa atau Brahmana lain dibutuhkan, dihormati, dan dihargai dan dipuja, dan ia berpikir: “Mereka membutuhkan orang kaya itu, mereka menghargainya, mereka menghormatinya, dan memujanya, sedangkan aku yang adalah seorang petapa sesungguhnya dan penyiksa-diri tidak mendapatkan perlakuan demikian!” Demikianlah ia iri dan cemburu karena para perumah tangga itu. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu.’
‘Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri menempati posisi menonjol. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia berkeliling dan memamerkan[6] di antara keluarga, seolah-olah mengatakan: “Lihat, ini adalah caraku meninggalkan keduniawian!” Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. [45] Atau ia berperilaku tidak jujur. Ketika ditanya “Apakah engkau menyetujui hal ini?” Walaupun ia tidak menyetujui, ia akan mengatakan: “Ya, aku menyetujui,” atau walaupun ia menyetujui, ia akan mengatakan: “Aku tidak menyetujui.” Demikianlah ia menjadi seorang pembohong yang berbohong dengan sengaja. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu.’
12. ‘Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri, ketika Sang Tathāgata atau seorang siswa Tathāgata membabarkan Dhamma dengan cara yang memerlukan persetujuannya, ia akan menahan persetujuannya. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia marah dan berwatak cepat marah. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Atau ia kikir dan pendendam, berwatak iri dan cemburu, licik dan tidak jujur, keras kepala dan angkuh, dengan keinginan jahat dan terpengaruh olehnya, dengan pandangan salah dan berpendapat ekstrem; ia ternoda oleh keduniawian, memegang teguh, tidak ingin melepaskan. Dan ini adalah kegagalan dalam diri penyiksa-diri itu. Bagaimana menurutmu, Nigrodha? Apakah hal-hal ini menggagalkan latihan keras yang lebih tinggi atau tidak?’ ‘Tentu saja menggagalkan, Bhagavā. Mungkin saja ada seorang penyiksa-diri yang memiliki semua kegagalan ini, apalagi hanya satu kegagalan.’
13.-14. ‘Sekarang, Nigrodha, ambil kasus seorang penyiksa-diri tertentu yang mempraktikkan latihan keras tertentu. Sebagai akibatnya, ia tidak senang dan puas setelah mencapai akhir dari latihannya. Karena itu, [46] dalam hal ini, ia murni. Kemudian lagi, ia tidak mengangkat dirinya dan mencela orang lain ... (serupa dengan semua contoh dalam 10-11). [47] Dengan demikian, ia tidak menjadi pembohong yang berbohong dengan sengaja. Dalam hal ini, ia murni.’
15. ‘Kemudian lagi, seorang penyiksa-diri, ketika Sang Tathāgata atau seorang siswa Tathāgata membabarkan Dhamma dengan cara yang memerlukan persetujuannya, ia memberikan persetujuannya. Dalam hal ini, ia murni. Dan ia tidak marah atau berwatak cepat marah. Dalam hal ini, ia murni. Dan ia tidak kikir dan pendendam, berwatak iri dan cemburu, licik dan tidak jujur, keras kepala dan [48] angkuh, ia tidak memiliki keinginan jahat dan tidak terpengaruh olehnya, tidak berpandangan salah dan tidak berpendapat ekstrem; ia tidak ternoda oleh keduniawian, tidak memegang teguh, ingin melepaskan. Dalam hal ini, ia murni. Bagaimana menurutmu, Nigrodha? Apakah hal-hal ini memurnikan latihan keras yang lebih tinggi atau tidak?’ ‘Tentu saja, Bhagavā. Latihan keras itu mencapai puncaknya di sana, menembus inti.’ ‘Tidak, Nigrodha, latihan keras tidak mencapai puncaknya, hanya mencapai kulit luarnya saja.’[7]
16. ‘Jadi, Bhagavā, bagaimanakah latihan keras mencapai puncaknya, menembus intinya? Baik sekali jika Bhagavā membantu latihan kerasku mencapai puncaknya, menembus intinya.’
‘Nigrodha, ambil kasus seorang penyiksa-diri yang melaksanakan empat pengendalian. Dan apakah ini? Di sini, seorang penyiksa-diri tidak menyakiti makhluk hidup, tidak menyebabkan makhluk hidup terluka, tidak menyetujui tindakan melukai demikian; [49] ia tidak mengambil apa yang tidak diberikan, atau menyebabkan suatu benda diambil atau menyetujui pengambilan demikian; ia tidak mengatakan kebohongan, atau menyebabkan kebohongan diucapkan, atau menyetujui kebohongan demikian; ia tidak menginginkan kenikmatan-indria,[8] atau menyebabkan orang lain demikian, atau menyetujui keinginan demikian. Demikian pula, seorang penyiksa-diri melaksanakan empat pengendalian. Dan melalui pengendalian ini, dengan membuat pengendalian ini sebagai latihan kerasnya, ia mengambil jalan naik dan tidak akan terjatuh ke dalam hal-hal rendah.’
‘Kemudian ia mencari tempat tinggal yang sunyi, di bawah pohon di hutan, di gua di gunung atau jurang, tanah pekuburan, di hutan belantara, atau di ruang terbuka di atas tumpukan jerami. Dan setelah memakan makanan dari hasil mengumpulkan dana makanan, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah mengukuhkan perhatian di depannya.[9] Ia meninggalkan keserakahan terhadap dunia, ia berdiam dengan pikiran bebas dari keserakahan demikian, dan pikirannya dimurnikan darinya. Meninggalkan permusuhan dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran bebas darinya, dan dengan belas kasihan terhadap kesejahteraan semua makhluk hidup, pikirannya dimurnikan dari mereka. Meninggalkan kelambanan-dan-ketumpulan, ... dengan persepsi cahaya,[10] penuh perhatian dan sadar jernih, pikirannya dimurnikan dari kelambanan-dan-ketumpulan. Meninggalkan kekhawatiran-dan-kegelisahan, ... dan dengan menenangkan pikirannya, pikirannya[11] bebas dari kekhawatiran-dan-kegelisahan. Meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam dengan keraguan ditinggalkan, tanpa keraguan sehubungan dengan hal-hal yang baik, pikirannya dimurnikan dari keraguan.’