//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Ke Mana Citta Pergi Setelah Pencerahan?  (Read 2475 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Ke Mana Citta Pergi Setelah Pencerahan?
« on: 06 April 2008, 11:09:52 AM »
Ke Mana Citta Pergi Setelah Pencerahan?

Api menyala tergantung pada bahan bakarnya. Kata untuk " bahan bakar" dalam bahsa Pali adalah upadana. Nyala lilin bergantunng pada panas, lilin, dan sumbu. Jika salah satu darik ketiga "bahan bakara" tersebut lenyap, maka nyalanya pun berakhir. Jika angin meniup pergi panas,api pun padam. Jika sumbu telah terbakar habis, api pun padam. Dan jika lilin telah terpakai habis, api pun padam. Begitu api padam, api tidak pergi ke mana-mana. Tidak ada surga ke mana api yg baik pergi, dengan bahagianya menyala abadi. Tidak juga api menyatu dengan Api kosmik yg transenden. Itu hanyalah padam, itu saja. Dalam bahasa Pali, kata untuk "perginya" nyala api adalah Nibbana.

Citta pun tergantung dari bahan bakarnya. Sutta-sutta menyatakan bahwa citta bergantung pada nama-rupa dan ketika nama-rupa padam, citta pun sepenuhnya padam(SN 47,42). Citta tersebut pergi. Citta tersebut "nibbana". Citta tidak pergi kemana-mana; citta hanya berhenti eksis. Yang menarik , dua bhikkhuni terkenal, Kisagotami dan Patacara, menjadi tercerahkan penuh tatkala mereka melihat nyala sebuah lampu padam(Dhp275, Thig 116).

Sifat Citta

Ketika Anda mempertahankan kesadaran adidaya(kesadaran setelah pengalaman jhana/keluar dari jhana,kesadaran yg sangat kuat sekali) pada citta yg murni, hakikat dari semua jenis kesadaran menyingkapkan dirinya. anda melihat kesadaran bukan sebagai sebuah proses yg mengalir lancar, namun sebagai serangkaian peristiwa yg terpisah, berdiri sendiri-sendiri. Kesadaran dapat dibandingkan degn hamparan pasir di pantai. Secara sepintas, pasir tampak bersambungan sampai ratusan meter. Namun setelah Anda menyelidik lebih dekat, Anda temukan bahwa pasir tersusun dari partikel2 yg terpisah dan berlainan. Ada ruang kosong diantara setiap partikel pasir, tanpa sifat pasir hakiki yg mengalir di kesenjangan antara dua partikel mana pun. Demikian pula, apa yg kita anggap sebagai arus kesadaran jelas tampak sebagai serangkaian peristiwa yg terpisah, tanpa sesuatu pun yg mengalir diantaranya.

Analogi lainnya adalah analog tentang salad buah. Misal saja diatas piring terdapat sebuah apel. Dengan jelas Anda melihat apel ini menghilang dan sekarang dia atas piring muncul sebutir kelapa. Lalu kelapa itu pun lenyap dan di tempatnya semula muncul apel yg lain. Lantas apel kedua itupun lenyap dan kelapa yg lain muncul. Kelapa tsb lenyap dan sebuah pisang muncul, lalu lenyap tatkala kelapa yg lain menampakkan diri diatas piring, lalu pisang lainnya, kelapa, apel, kelapa, mangga, kelapa,jeruk dst. Begitu satu buah lenyap, sejenak berikutnya muncul buah yg baru. Semuanya buah, tetapi berbeda total satu dengan lainnya, tanpa satupun buah yg sama. Lebih lanjut tidak ada arus esensi buah yg menyambungkan dari satu buah ke buah berikutnya. Dalam analogi ini, apel mewakili sebuah peristiwa dari kesadaran mata, pisang untuk kesadaran tubuh, dan kelapa utk kesadaran pikiran. Setipa momen kesadaran terpisah satu sama lain, tanpa ada sesuatu pun mengalir dari satu moment ke momen berikutnya.

Kesadaran pikiran, si "kelapa", muncul setelah setiap jenis kesadaran lainnya dan oleh karena itu memberikan ilusi kesamaan pada setiap pengalaman kesadaran. Bagi orang kebanyakan, terdapat sebuah kualitas dalam aktivitas melihat yg juga ditemukan saat mendengar, membaui, mengecap, dan menyentuh. Kita dapat menyebut kualitas tersebut sebagai "mengetahui". Akan tetapi dengan kesadaran adidaya Anda akan melihat bahwa " mengetahui" tersebut bukanlah bagian dari melihat, mendengar, dst, tetapi muncul sesaat setalah setiap jenis kesadaran indra. Lebih lanjut, proses mengetahui ini lenyap ketika, misalnya, kesadaran mata terjadi. Dan kesdaran mata lenyap tatkala mengetahui(kesadaran pikiran) terjadi. Dalam kiasan tentang salad buah-buahan tsb, tidak dapat terjadi sebuah apel dan sebutir kelapa di atas piring secara bersamaan.

Si Pengetahu Bukanlah Diri

Dengan merenungkan kesadaran dengan cara ini - melihatnya sebagai serangkaian peristiwa yg berlainan dan terpisah, tanpa sesuatu pun yg sinambung dari satu momen ke momen berikutnya - akan melemahkan ilusi akan adanya sosok pengetahu, yg terus ada, yg selalu ada untuk menerima pengalaman dunia. Anda merubuhkan pernaungan terakhir dari ilusi tentang diri. Sebelumnya sangatlah jelas nampak bagi Anda bahwa "akulah yg mengetahui". Tetapi, apa yg nampak jelas seringkali keliru. Sekarang Anda melihatnya hanya sebagai "mengetahui, sebagai kesadaran pikiran, seperti kelapa yg kadang ada kadang tiada. Citta hanyalah fenomena lazim,pasti akan berakhir. Citta tidak dapat menjadi aku, milikku, atau suatu diri. Yang mengetahui, citta, akhirnya dipahami sebagai anatta.

Satipatthana, dipraktikkan demi tujuan merealisasi anatta, tiada inti diri. Dua peristirahatan terakhir bagi ilusi tentang diri atau jiwa adalah si pengetahu dan si pelaku. Jika Anda mengindentifikasi apa saja sebagai "Anda" yang hakiki, itu adalah yg melakukan atau yg mengetahui. Kedua khayalan yg kuat bercokol dan lama dicengkram ini berdiri di antara Anda dan pencerahan. Tembusilah ilusi2 ini, dan Anda adalah seorang pemenang arus. Tembusilah ilusi2 ini setiap saat, dan Anda adalah seorang Arahat.

Sumber: Mindfulness, Bliss, and beyond
Penulis : Ajahn Brahm
 _/\_
« Last Edit: 06 April 2008, 11:11:25 AM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Ke Mana Citta Pergi Setelah Pencerahan?
« Reply #1 on: 06 April 2008, 12:02:08 PM »
still trying...

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Ke Mana Citta Pergi Setelah Pencerahan?
« Reply #2 on: 07 April 2008, 08:51:08 AM »
sama seperti perahu..... pada awalnya diperlukan untuk mencapai pantai seberang

tetapi setelah sampai di pantai seberang, secara otomatis perahu tidak diperlukan lagi......

Offline ika_polim

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 323
  • Reputasi: -16
Re: Ke Mana Citta Pergi Setelah Pencerahan?
« Reply #3 on: 31 March 2009, 01:19:46 PM »
Ke Mana Citta Pergi Setelah Pencerahan?

Api menyala tergantung pada bahan bakarnya. Kata untuk " bahan bakar" dalam bahsa Pali adalah upadana. Nyala lilin bergantunng pada panas, lilin, dan sumbu. Jika salah satu darik ketiga "bahan bakara" tersebut lenyap, maka nyalanya pun berakhir. Jika angin meniup pergi panas,api pun padam. Jika sumbu telah terbakar habis, api pun padam. Dan jika lilin telah terpakai habis, api pun padam. Begitu api padam, api tidak pergi ke mana-mana. Tidak ada surga ke mana api yg baik pergi, dengan bahagianya menyala abadi. Tidak juga api menyatu dengan Api kosmik yg transenden. Itu hanyalah padam, itu saja. Dalam bahasa Pali, kata untuk "perginya" nyala api adalah Nibbana.

Citta pun tergantung dari bahan bakarnya. Sutta-sutta menyatakan bahwa citta bergantung pada nama-rupa dan ketika nama-rupa padam, citta pun sepenuhnya padam(SN 47,42). Citta tersebut pergi. Citta tersebut "nibbana". Citta tidak pergi kemana-mana; citta hanya berhenti eksis. Yang menarik , dua bhikkhuni terkenal, Kisagotami dan Patacara, menjadi tercerahkan penuh tatkala mereka melihat nyala sebuah lampu padam(Dhp275, Thig 116).

Sifat Citta

Ketika Anda mempertahankan kesadaran adidaya(kesadaran setelah pengalaman jhana/keluar dari jhana,kesadaran yg sangat kuat sekali) pada citta yg murni, hakikat dari semua jenis kesadaran menyingkapkan dirinya. anda melihat kesadaran bukan sebagai sebuah proses yg mengalir lancar, namun sebagai serangkaian peristiwa yg terpisah, berdiri sendiri-sendiri. Kesadaran dapat dibandingkan degn hamparan pasir di pantai. Secara sepintas, pasir tampak bersambungan sampai ratusan meter. Namun setelah Anda menyelidik lebih dekat, Anda temukan bahwa pasir tersusun dari partikel2 yg terpisah dan berlainan. Ada ruang kosong diantara setiap partikel pasir, tanpa sifat pasir hakiki yg mengalir di kesenjangan antara dua partikel mana pun. Demikian pula, apa yg kita anggap sebagai arus kesadaran jelas tampak sebagai serangkaian peristiwa yg terpisah, tanpa sesuatu pun yg mengalir diantaranya.

Analogi lainnya adalah analog tentang salad buah. Misal saja diatas piring terdapat sebuah apel. Dengan jelas Anda melihat apel ini menghilang dan sekarang dia atas piring muncul sebutir kelapa. Lalu kelapa itu pun lenyap dan di tempatnya semula muncul apel yg lain. Lantas apel kedua itupun lenyap dan kelapa yg lain muncul. Kelapa tsb lenyap dan sebuah pisang muncul, lalu lenyap tatkala kelapa yg lain menampakkan diri diatas piring, lalu pisang lainnya, kelapa, apel, kelapa, mangga, kelapa,jeruk dst. Begitu satu buah lenyap, sejenak berikutnya muncul buah yg baru. Semuanya buah, tetapi berbeda total satu dengan lainnya, tanpa satupun buah yg sama. Lebih lanjut tidak ada arus esensi buah yg menyambungkan dari satu buah ke buah berikutnya. Dalam analogi ini, apel mewakili sebuah peristiwa dari kesadaran mata, pisang untuk kesadaran tubuh, dan kelapa utk kesadaran pikiran. Setipa momen kesadaran terpisah satu sama lain, tanpa ada sesuatu pun mengalir dari satu moment ke momen berikutnya.

Kesadaran pikiran, si "kelapa", muncul setelah setiap jenis kesadaran lainnya dan oleh karena itu memberikan ilusi kesamaan pada setiap pengalaman kesadaran. Bagi orang kebanyakan, terdapat sebuah kualitas dalam aktivitas melihat yg juga ditemukan saat mendengar, membaui, mengecap, dan menyentuh. Kita dapat menyebut kualitas tersebut sebagai "mengetahui". Akan tetapi dengan kesadaran adidaya Anda akan melihat bahwa " mengetahui" tersebut bukanlah bagian dari melihat, mendengar, dst, tetapi muncul sesaat setalah setiap jenis kesadaran indra. Lebih lanjut, proses mengetahui ini lenyap ketika, misalnya, kesadaran mata terjadi. Dan kesdaran mata lenyap tatkala mengetahui(kesadaran pikiran) terjadi. Dalam kiasan tentang salad buah-buahan tsb, tidak dapat terjadi sebuah apel dan sebutir kelapa di atas piring secara bersamaan.

Si Pengetahu Bukanlah Diri

Dengan merenungkan kesadaran dengan cara ini - melihatnya sebagai serangkaian peristiwa yg berlainan dan terpisah, tanpa sesuatu pun yg sinambung dari satu momen ke momen berikutnya - akan melemahkan ilusi akan adanya sosok pengetahu, yg terus ada, yg selalu ada untuk menerima pengalaman dunia. Anda merubuhkan pernaungan terakhir dari ilusi tentang diri. Sebelumnya sangatlah jelas nampak bagi Anda bahwa "akulah yg mengetahui". Tetapi, apa yg nampak jelas seringkali keliru. Sekarang Anda melihatnya hanya sebagai "mengetahui, sebagai kesadaran pikiran, seperti kelapa yg kadang ada kadang tiada. Citta hanyalah fenomena lazim,pasti akan berakhir. Citta tidak dapat menjadi aku, milikku, atau suatu diri. Yang mengetahui, citta, akhirnya dipahami sebagai anatta.

Satipatthana, dipraktikkan demi tujuan merealisasi anatta, tiada inti diri. Dua peristirahatan terakhir bagi ilusi tentang diri atau jiwa adalah si pengetahu dan si pelaku. Jika Anda mengindentifikasi apa saja sebagai "Anda" yang hakiki, itu adalah yg melakukan atau yg mengetahui. Kedua khayalan yg kuat bercokol dan lama dicengkram ini berdiri di antara Anda dan pencerahan. Tembusilah ilusi2 ini, dan Anda adalah seorang pemenang arus. Tembusilah ilusi2 ini setiap saat, dan Anda adalah seorang Arahat.

Sumber: Mindfulness, Bliss, and beyond
Penulis : Ajahn Brahm
 _/\_



Kemana ??? memangnya ada yang pergi ???

Dari mana ??? memangnya ada yang datang ???

ika.

 

anything