//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Perlukah Guru dalam belajar Dharma?  (Read 2534 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Perlukah Guru dalam belajar Dharma?
« on: 31 July 2008, 10:38:17 AM »
http://groups.yahoo.com/group/Mahayana_Indonesia/message/3818

Peran Guru
oleh : Master Sheng Yen
 

Tanya:

Seberapa pentingkah mempunyai seorang guru dalam berlatih Buddhadharma? Apa bisa terjadi masalah jika kita mempraktikkan sila dan prinsip-prinsip buddhist tanpa bimbingan seorang guru?

 

Shifu:

Sulit untuk mempraktikkan Buddhadharma dengan serius kalau tidak disertai bimbingan seorang guru yang piawai. Sekedar mengandalkan buku-buku hanya akan cukup pada level pemula saja, bahkan pada beberapa kasus bisa malah beresiko. Buku-buku, termasuk juga buku yang Anda baca ini, memang bisa bicara tentang prinsip-prinsip namun, pada bukunya sendiri, takkan mampu menjelaskan seluk-beluk liku-liku praktik yang detil dan mendalam. Dan tentu saja, buku itu kan tidak bisa melakukan observasi atau memberikan petunjuk-petunjuk pada situasi serta kondisi yang spesifik.

Setiap praktisi pada dasarnya pasti unik, dan ada perubahan serta fluktuasi terus menerus pada kondisi fisiologi, mental, mood, dan chi atau enerji vitalnya. Beragam orang bereaksi terhadap situasi dengan cara beraneka-ragam pula, sehingga diperlukan pelbagai metode bagi si guru untuk menanggapi setiap situasi dari para murid tersebut. Lebih jauh lagi, situasi-situasi serta tanggapannya, kendatipun nampak mirip atau bahkan mungkin kelihatannya sama  bagi mata awam, musti tetap dipahami setiap waktu sebagai event-event yang unik. Hanya seorang guru yang sungguh berpengalaman yang bisa mengamati dan menginterpretasikan fenomena yang begitu kompleks dan terus berubah itu, serta kemudian mampu memberikan petunjuk-petunjuk yang sesuai.

 

Apa Anda mau percaya kepada seorang dokter atau ahli bedah jika semua pengetahuannya hanya berlandaskan dari membaca buku?

Setiap pasien pasti berbeda; kondisi serta penyakit pun terus berubah. Dokter tidak bisa cuma mengandalkan pengetahuan dari buku, ia juga menimba dari pengalaman praktik-langsungnya, dan dari apa yang mereka pelajari dari orang lain. Para dokter memanfaatkan segala sumber daya yang mereka punya guna menolong pasien-pasien. Demikian pula halnya dalam hal berlatih Buddhadharma.

Begitu kalian mulai menjalankan praktik, kalian bakal menghadapi berbagai situasi serta tantangan – aneka respon pada tubuh, ucapan dan pikiran – hal-hal yang tadinya tidak pernah Anda kenal. Akan sungguh bodoh dan berbahaya kalau hanya mengandalkan seluruhnya pada buku-buku untuk menyelesaikan aneka macam pertanyaan dan persoalan tersebut.

Pertama, buku-buku itu kan tidak mempunyai semua jawaban; kedua, karena jawaban-jawaban pada buku tersebut boleh jadi tidak sesuai dengan kondisi spesifik Anda; dan yang ketiga, bisa saja Anda salah menafsirkan petunjuk dalam buku tersebut. Maka dari itu, adalah penting bagi praktisi buddhis yang serius – apakah jalurnya Tibetan, Zen, Ch’an, ataupun Sukhavati – untuk mempunyai seorang guru yang berkwalitas di sisinya guna memandu, memberi saran serta dorongan. Sementara itu, orang-orang yang sekedar praktik musiman saja memang tidak perlu studi dan berlatih bersama dengan seorang guru, meski seyogianya tetap juga dianjurkan.

 

Murid:

Apa peran seorang guru bagi para murid untuk menjalani tiga jalur praktik – sila, samadhi, dan prajna?

 

Shifu:

Pertama-tama seorang buddhist musti mengambil Lima Sila (Panca Sila atau Five Precepts) sebagai panduan dasar bagi perilakunya, yakni: tidak membunuh, tidak mengambil barang yang bukan miliknya, tidak berbuat asusila, tidak berbohong, dan tidak mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan kesadaran. Di level permukaan – atau mungkin bagi praktisi yang sekedar coba-coba – sila ini nampaknya seperti gampang dan sederhana; namun bagi praktisi yang serius, prinsip serta kedalaman seluk-beluk sila bisa menjadi lumayan rumit, dan aneka pertanyaan pun pasti bakal muncul.

Oleh karena bagi beberapa praktisi, atau bagi orang-orang yang tidak kenal dengan lingkungan budaya dimana Buddhadharma berkembang, karena merasa tidak jelas tentang sila, maka banyak orang yang takut untuk mengambilnya. Mereka bisa salah paham menganggapnya sebagai perintah agama yang kaku; padahal sila seharusnya dipahami sebagai panduan-arah bagi perilaku kita. Orang-orang itu mungkin ragu tentang bagaimana cara menjaga kemurnian sila mereka, atau bingung apakah mereka telah melanggar atau tidak; atau andaikata memang melanggar, bagaimana cara menghadapi kenyataan semacam itu.

Guru-guru yang piawai, apalagi mereka yang secara khusus menekuni praktik sila, akan sangat paham dan berpengalaman tentang detil serta liku-likunya. Mereka tahu jelas beda antara menjaga dengan melanggar sebuah sila di pelbagai situasi yang berbeda. Sebagai misal, ada dua orang yang melakukan atau atau mengucapkan hal yang meski kelihatannya sama, namun yang satu bisa melanggar sila sementara yang lainnya tidak.

 

Demikian pula, kebanyakan orang tidak memahami dengan jelas tentang samadhi – atau konsentrasi meditatif – aspek kedua dari praktik Buddhadharma. Di beberapa kejadian, ada praktisi yang keliru menganggap bahwa keheningan dangkal atau pikiran yang jernih sebagai keadaan mencapai samadhi, atau bahkan pencerahan. Ini karena mereka tidak pernah mempunyai pengalaman-langsung (direct experience) tentang samadhi atau pencerahan. Apa yang diketahui cuma dari yang mereka baca di buku atau bayangan mereka sendiri. Seorang guru yang berkwalitas sangat diperlukan untuk memverifikasi jenis, tingkat, serta ketulenan dari pengalaman-meditasi tersebut.

Guru berkwalitas yang pernah mengalami sendiri samadhi dan pencerahan dapat menentukan keadaan pikiran sang murid dengan lewat mengamati reaksi-reaksi mereka di aktifitas keseharian, ucapan, dan suasana batin mereka. Dari observasi semacam itu seorang guru akan mampu menilai tingkatan praktik serta pencapaian sang murid.

 

Selama bertahun-tahun, banyak murid-murid saya yang mendatangi saya, yakin bahwa mereka telah mengalami samadhi atau pencerahan. Kebanyakan ternyata keliru. Tapi hal tersebut toh tidak berkembang menjadi urusan yang serius karena saya ada di situ untuk membetulkan pemahaman mereka serta memberi panduan ke arah yang tepat. Namun hal seperti itu bisa jadi berbahaya manakala si praktisi terjatuh ke dalam “keadaan sesat” (demonic state). Keadaan-sesat ini bisa bermacam-macam; dalam hal ini yang saya maksud khususnya adalah: keadaan ketika si murid berkhayal (delusively) menyangka bahwa mereka telah mencapai pencerahan, atau telah mengembangkan kesaktian. Apabila mereka melekat-kuat pada delusinya itu, maka kemelekatannya itu bakal menjadi penghalang besar bagi jalan praktiknya. Gangguan sesat tersebut bisa timbul dari respon-respon fisik maupun psikologis terhadap praktik mereka, dan hal demikian kadang urusannya ruwet dan tidak gampang. Di permukaan, mereka yang sesat tersebut mungkin nampak sama saja dengan praktisi yang lain, dan boleh jadi tidak sadar kalau sesat; namun manakala kumat delusinya, mereka bisa merusak atau mencederai, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Pada kasus yang terburuk, ketika orang yakin sekali bahwa mereka telah tercerahkan sempurna, acapkali mustahil bagi seorang guru untuk menolongnya agar kembali ke jalur yang benar.

 

Murid:

Lalu bagaimana orang demikian itu bisa ditolong?

Shifu:

Tergantung karma mereka. Jikalau mereka punya akar karma yang bagus[1], bisa nanti akhirnya menginsyafi bahwa mereka sesungguhnya tidak tercerahkan, atau bahwa sebenarnya mereka tidak punya kesaktian.

Kebijaksanan (wisdom) sejati adalah ketidakmelekatan (non-attachment). Ini bukanlah pengetahuan (knowledge), bukan pandangan seseorang, bukan pula kepintaran ataupun reaksi kesigapan.

Pandangan-benar yang dijelaskan dalam Jalan Mulia Beruas Delapan bukanlah wisdom yang sama dengan yang disebut sebagai wisdom tulen. Wisdom di dalam pandangan-benar mungkin lebih baik kalau disebut sebagai wisdom-kegigihan, maksudnya adalah: kebijaksanaan yang bisa membuat seseorang untuk tetap jernih tinggal dan bertahan pada jalan yang berlandaskan prinsip-prinsip Buddhadharma. Sementara: wisdom tulen itu berasal dari pengalaman-langsung akan shunyata (kekosongan). Orang yang belum mengalami pencerahan maka dari itu musti bersandar pada kebijaksanaan Sang Buddha sebagai panduan dan penunjuk arah. Mendengarkan Buddhadharma adalah langkah awal buat mengembangkan kebijaksanaan.

 

Buddhisme menyebut pengetahuan yang diperoleh dari mendengarkan Buddhadharma sebagai “kebijaksanaan yang diperoleh dari mendengarkan.”[2] Langkah selanjutnya menumbuhkan “kebijaksanaan yang diperoleh dari merenung.” Akhirnya, apabila seseorang bisa menjalankan praktik dengan tekun, maka ia bisa mencapai “kebijaksanaan yang diperoleh dari praktik [meditasi].” Wisdom yang tulen adalah: kebijaksanaan yang terakhir ini, dan datangnya semata-mata yang berasal dari pengalaman shunyata.

 

Murid:

Apakah Shifu bisa menjelaskan lebih lanjut perbedaan antara kebijaksanaan yang diperoleh dari mendengar, dari berpikir atau merenung, dan yang dari praktik?

Shifu:

Seseorang yang sudah mendengarkan dan bisa menerima Ajaran dasar Sang Buddha seperti: Empat Kebenaran Mulia, Duabelas Matarantai Kemunculan Berkondisi, dan Jalan Mulia Beruas Delapan – berarti telah mencapai kebijaksanaan yang berasal dari “mendengarkan.” Kemudian manakala ia meresapi dan merenungkan prinsip-prinsip ini lewat analisa serta kontemplasi, maka ia mulai mengembangkan kebijaksanaan yang berasal dari berpikir atau merenung. Pada awalnya, kebijaksanaan tersebut masih merupakan buah dari pikiran yang memilah-milah (discrimination) serta akal-budi (reasoning); namun suatu waktu nanti ia bakal mengecap kebijaksanaan ini lewat kontemplasi-langsung (direct contemplation). Bagi pemula, apa yang baru saja saya jelaskan mungkin nampak tidak masuk akal; namun pemikiran-intelektual (intellectual thinking) memang beda dengan kontemplasi-langsung. Perbedaan ini hanya bisa dikenali semata-mata lewat praktik-meditasi.

Yang terakhir, adalah kebijaksanaan yang diperoleh langsung dari praktik, kebijaksanaan yang tertinggi, yang tulen, atau pengalaman shunyata (kekosongan). Wisdom-tulen itu memang boleh dibilang asalnya adalah semata-mata dari hasil praktik-meditasi saja, namun penting untuk dipahami bahwa pencapaian tersebut tetap dibangun dari kebijaksanaan yang dikembangkan lewat mendengar serta merenung. Di tiap-tiap level ini diperlukan petunjuk dari seorang guru yang berpengalaman. Awalnya kita bisa belajar dari membaca buku, namun ketika hendak berlatih secara serius, diperlukan bantuan dari seorang guru.

 

Murid:

Bagaimana sebaiknya cara memilih seorang guru? Adakah petunjuk tertentu buat membantu kita memutuskan bahwa orang itu memenuhi syarat untuk mengajar atau tidak?

Shifu:

Guru yang baik musti punya pengetahuan serta pemahaman yang benar, menjaga kemurnian silanya, punya kemampuan membimbing orang lain, dan penuh welas-asih. Dengan kwalifikasi seperti itu, ia paling tidak bisa mengajari praktisi pemula. Akan tetapi, para praktisi serius mesti mencari seorang guru yang “matanya terang” – seseorang yang pernah mengalami-langsung wisdom yang tulen. Hanya guru-guru yang punya pengalaman pencerahanlah yang bisa melihat bahwa seseorang sudah punya pengalaman shunyata atau tidak. Tanpa punya pengalaman-langsung-shunyata sendiri, seorang guru bisa keliru menyangka keadaan pikiran yang jernih atau samadhi sebagai pencerahan.

Guru-guru yang tidak memiliki pengalaman pencerahan takkan bisa membimbing orang ke praktik yang mendalam. Pun, andaikata daya samadhi mereka sangat kuat, mereka hanya akan bisa mengajar sampai tingkatan yang pernah mereka capai; pencapaian tersebut hanya ibarat seperti sebutir batu yang berendam dalam air dingin, atau hantu yang duduk di dalam gua gelap di tengah gunung.[3] Ya, bagaimana bisa seseorang membimbing oranglain untuk mencapai suatu tingkatan yang mereka sendiri belum pernah capai? Dan, kalaupun seandainya si murid kemudian barangkali mengalami pencerahan, si guru itu sendiri toh tidak punya pengalaman pribadi langsung guna mengkwalifikasi pencapaian tersebut.

 

Murid:

Mengapa terkadang orang berganti guru Dharma?

Shifu:

Kalaupun itu terjadi, biasanya oleh karena si murid tidak puas dengan praktik mereka sendiri. Barangkali karena mereka merasa macet pada keadaan tertentu dan tak tahu lagi bagaimana cara melewati celah sempit itu. Buat memecahkan situasi pribadinya, boleh juga mereka pergi ke tempat lain guna mencari pertolongan. Dalam perjalanan itu, bisa saja seorang guru tertentu menolong menjernihkan jalan ataupun mengganti arah mereka. Ini sebuah indikasi, paling tidak sejauh ini, bahwa guru tersebut memang memenuhi syarat buat mengajar si murid.

[1] Tradisi Ch’an atau Buddhisme China umumnya: mengistilahkan seseorang yang punya bakat baik, yang telah banyak melakukan kebajikan, dengan kata lain: yang punya banyak pahala (merit atau parami), sebagai: orang yang mempunyai akar karma mendalam atau tajam (deep and sharp karmic root) – ed.

[2] Istilah “mendengarkan” di sini adalah termasuk pengetahuan yang didapat dari “membaca” – karena jaman dahulu belum ada buku – ed.

[3] Istilah dalam tradisi Ch’an untuk menunjukkan seseorang yang praktiknya hanya mandeg pada level samadhi – ed.
« Last Edit: 31 July 2008, 10:45:46 AM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Perlukah Guru dalam belajar Dharma?
« Reply #1 on: 31 July 2008, 10:44:37 AM »
Tanya:

Apakah praktisi-ahli (adepts) adalah yang telah mengalami pencerahan? Dan apabila mereka sudah mengalami pencerahan, apakah mereka masih perlu berlatih?

Shifu :

Praktisi-ahli bisa pernah atau belum pernah mengalami pencerahan; dan ya, orang yang sudah pernah mengalami pencerahan musti tetap terus berlatih di bawah bimbingan guru yang piawai. Mengalami pencerahan itu bukan berarti bahwa Anda sudah berhasil mematahkan atau meninggalkan semua kekesalan-batin (klisha). Malah sebaliknya, kadang bisa jadi kamu menghadapi gangguan klisha dan tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bergerak maju.

Praktisi berpengalaman mungkin memang belum tercerahkan, akan tetapi ia punya tekad tulus untuk terus bergerak maju di dalam praktik. Boleh jadi ia masih menanggung klisha berat, sehingga banyak mengalami gangguan kekesalan, namun ia bersedia untuk menghadapi klisha ini berikut kepedihan yang ditimbulkan olehnya.

Kecemasan bisa datang dari banyak sebab. Seorang praktisi bisa tegang karena praktiknya macet, sebagai contoh, tak mampu menembus sebuah gong’an (koan), atau bahkan sekedar tak bisa mengendapkan pikirannya sampai level agar bisa mengerjakan metode gong’an. Ada pula beberapa orang yang sudah dapat menyelesaikan banyak segi dari sebuah gong’an tertentu, kemudian ia mulai cemas akan apa yang musti dikerjakan berikutnya. Situasi-situasi demikian sebenarnya wajar saja ketika terjadi di dalam proses berlatih. Sebenarnya orang-orang yang musti merasa cemas adalah mereka yang abai terhadap perkembangan batin, atau ia yang malah merasa bahwa dirinya tidak punya masalah. Orang-orang semacam ini kebodohan batinnya sangatlah parah (deeply deluded), dan yang jenis begini adalah jauh lebih sulit lagi untuk diajak bekerja sama.

Kemudian ada beberapa orang yang mampu mengalami samadhi mendalam, atau duduk dalam hening bebas dari kekesalan selama berjam-jam, akan tetapi ketika ia mulai bangkit dari bantal-meditasinya, segala kekesalan dan keruwetan pikiran datang lagi. Ia hanya bisa menjadi tenang hanya ketika sedang duduk-meditasi. Ada pula mereka yang pernah mengalami pencerahan, namun tidak mengembangkan kekuatan samadhi, dengan demikian ia pun menderita diaduk oleh klisha. Mereka semua itu, entah tua ataupun muda, boleh dipandang sebagai praktisi-ahli, namun mereka tetap perlu berlatih dan bekerja dengan seorang guru yang bagus.

Tanya:

Bagaimanakah cara Anda, sebagai seorang guru, menilai pengalaman-praktik-meditasi dan level-level dari para murid-murid Anda? Apakah yang menjadi panduanmu, dan bagaimana kita bisa tahu pasti bahwa observasi Anda adalah tepat?

Shifu :

Pertanyaan semacam ini sudah menunjukkan suatu sikap yang keliru. Jika murid punya sikap seperti itu ketika hendak mencari guru, maka ia tidak bakal bisa mendapatkannya. Seorang pemula maupun praktisi-ahli musti punya rasa-percaya (trust) kepada guru yang mereka cocoki. Jangan selalu bimbang dengan bersikap mencari-cari atau skeptis. Misal, beberapa guru mungkin bisa melakukan hal-hal ganjil guna menguji si murid. Ketika belajar pada seorang guru, sikap batin Anda musti tulus dan terbuka. Namun juga sebaliknya, apabila guru tersebut ternyata memang berulangkali mempertunjukkan perilaku salah dalam hal hubungan antar pribadi, uang, atau kekuasaan, maka sebaiknya memang kalian tinggal pergi saja.

 

Tanya:

Shifu, Anda membuat saya bingung. Semula Shifu bilang bahwa murid musti punya rasa-percaya kepada gurunya dan jangan gampang menghakimi, namun kemudian Anda berkata bahwa murid-murid harus cermat mengenali tatkala sang guru bertindak tidak pantas. Jadi bagaimana? Bagaimana kita bisa mengenali seorang guru palsu?

Shifu:

Yang  paling utama  dalam mengenali seorang guru  adalah  adanya  kemampuan untuk  menentukan  apakah mereka memiliki  pandangan-benar tentang Buddhadharma (right-view). Kalau pandangan mereka benar, walau mungkin masih ada kelemahan  dalam  perilakunya, jangan langsung dianggap sebagai  seorang  guru yang palsu. Sebaliknya,  kalau  sang  guru tidak  memiliki pandangan-benar, mereka tidak bisa  dianggap sebagai guru yang bijak atau sejati.

 

Tentu saja, di sini dipakai asumsi bahwa orang yang menilai  itu sendiri telah  memahami Dharma dengan benar. Tanpa mengerti Dharma,  seo­rang  praktisi  tak akan mungkin bisa menentukan  apakah  seorang guru itu benar atau salah.

 

Ada  beberapa  kriteria dasar yang dapat  dipakai  dalam  memilih seorang  guru. Pertama, pertimbangkan sebab & kondisinya. Artinya,  tindakan  mereka harus  didasarkan  kepada  kekosongan – tidak ada kemelekatan dalam tindakan mereka. Kedua, per­timbangkan sebab & konsekuensi atau karma mereka. Makna kekosongan yang menyertai  tindakan  para  guru yang bijak  (causes and conditions) haruslah selaras dengan karma mereka (causes and consequences).  Begitu­lah,  tindakan  mereka harus diiringi oleh rasa  tanggung jawab. Mereka harus, pada setiap saat, sadar penuh akan akibat  tindakan mereka. Makanya, ada hubungan yang erat antara sikap bertanggungjawab dan ketidakmelekatan.

Itulah pertanda seorang guru yang sejati: mereka memiliki pandan­gan yang benar tentang Dharma, tindakan mereka tidak menyiratkan kemelekatan, dan mereka punya rasa tanggung jawab yang jernih.

 

Tanya:

Berkait dengan guru dan praktisi yang keliru, saya pernah mendengar istilah “rubah liar Ch’an (wild fox Chan)” – saya ingin tahu apa maksud istilah itu.

Shifu :

“Rubah-liar Ch’an” adalah julukan olok-olok bagi orang yang meski sebenarnya belum pernah mengalami-langsung shunyata akan tetapi ia berani mengaku-aku tidak punya kemelekatan. Ini berarti menganggap yang palsu sebagai riil – berani menyatakan telah mencapai sesuatu padahal belum, berlagak tercerahkan padahal tidak, menyampaikan ajaran yang keliru, serta berbicara dengan gaya seolah ia sudah cerah.

Istilah “rubah-liar” berasal dari kisah perjumpaan Master Baizhang (720-814) dengan seorang bhiksu misterius yang datang menghadap untuk bertanya soal Dharma. Setelah memperoleh penjelasan atas pertanyaannya, sang bhiksu memohon agar kesokan harinya Baizhang berkenan mengadakan upacara bagi mayat seekor rubah yang tergeletak di sebalik bukit di belakang biara. Dikatakan bahwa di 500 kehidupannya yang lalu, bhiksu ini telah memberi ajaran keliru sehubungan dengan pencerahan dan karma, akibat dari pandangansalahnya itu ia jadi berulang-ulang terlahir sebagai seekor rubah-liar. Master Baizhang akhirnya telah mengoreksi pandangansalah si bhiksu, dengan demikian telah membebaskan dari rangkaian tumimballahirnya sebagai seekor rubah-liar.

Orang terpelajar yang pandai bicara acapkali bisa berlagak tercerahkan dengan membual secara meyakinkan perihal shunyata. Ada berjilid buku tentang dialog antara para guru Zen dengan muridnya dalam serial gong’an. Kadang seorang siswa bisa mendandani bualannya dengan gagasan yang dicomot dari buku serial gong’an tersebut. Kata-katanya tidak didukung oleh pengalaman-langsung. Repotnya, biasanya agak sulit bagi orang biasa, atau bahkan bagi beberapa guru tertentu, untuk bisa mendeteksi hal tersebut. Namun kenyataan ini bakal tersingkap apabila orang itu berdialog lebih panjang dengan seorang guru sejati yang sudah tercerahkan. Tanpa pengalaman yang tulen seseorang kendati pintar akhirnya bakal terungkap kepalsuan dan ketidaktulusannya.

 

Tanya:

Apakah yang dimaksud dengan guru-puja, apa hal ini ada di tradisi Ch’an?

Shifu :

Dalam guru-puja, para siswa memandang guru mereka sebagai suatu perwujudan pencerahan, mereka membaktikan praktik mereka untuk memuja serta menghormati sang guru. Ini semacam menggabungkan ketiga aspek Buddha, Dharma, Sangha ke dalam satu pribadi. Praktik demikian tidak ada dalam tradisi Ch’an, namun memang terjadi dalam tradisi Tibetan. Di Buddhisme Tibet, ajaran, atau transmisi, hanya bisa diberikan langsung dari guru ke murid. Dengan kata lain, tanpa adanya guru maka ajaran pun juga tidak ada.

Di tradisi Ch’an, peran seorang guru adalah untuk membantu serta menegaskan praktik kita. Guru tidak mentransmisikan ajaran; mereka lebih berperan guna mengenali dan menentukan apakah sang praktisi sudah merealisasi hakekat kebuddhaan atau belum (buddha-nature). Guru Ch’an hanya dapat membimbingmu untuk merealisasi serta menyingkap hakekat kebijaksanaan-mu sendiri, dan kemudian memverifikasi pengalaman-kebijaksanaan tersebut. Jadi, dalam tradisi Ch’an: relasi antara guru dengan murid itu cenderung lebih bersifat sebagai sahabat-spiritual ketimbang urusan guru dengan siswanya. Di Ch’an ada satu pameo yang mengatakan bahwa: relasi tersebut 30 % bersifat guru dengan murid dan 70 % adalah sebagai sobat sesama praktisi.

http://groups.yahoo.com/group/Mahayana_Indonesia/message/3818
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Perlukah Guru dalam belajar Dharma?
« Reply #2 on: 31 July 2008, 08:50:03 PM »
_/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

 

anything