//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pernyataan Bodoh  (Read 12826 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Pernyataan Bodoh
« on: 04 January 2008, 10:26:03 PM »
Sebenarnya berita ini sudah sangat basi, tapi kebetulan tadi lagi "berkelana" di dunia maya dan menemukan berita berikut:

---------
Meski Ditentang, Biksu Tertinggi Abe Niken Tetap Didatangkan
Rabu, 19 Januari 2005 | 22:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengurus Yayasan Pandita Sabda Budha Dharma Indonesia tetap akan mendatangkan biksu tertinggi agama Budha aliran Niciren Syosyu, Abe Niken meski sebelumnya mendapat protes dari sekelompok orang.

"Semua kelengkapan dan ijin dari pemerintah sudah diperoleh," kata Ketua Badan Pengurus Yayasan Pandita Sabda Budha Dharma Indonesia Aiko Seno Soenoto, Rabu (19/1).

Kehadiran biksu tertinggi sekte Niciren Syousu, kata Aiko dalam rangka acara ruwatan kemanusiaan dan doa untuk korban tsunami Aceh yang diselenggarakan oleh Yayasan Pandita Sabda Budha, 27 Januari mendatang. Sebelumnya menurut Aiko, rencana kedatangan biksu tertinggi itu untuk acara peresmian kuil Hosei-Ji, kuil khusus aliran Niciren Syousu di Jalan Padang Manggarai Jakarta Pusat.

"Namun karena kondisi bangsa Indonesia sedang terkena musibah semacam ini, permintaan biksu tertinggi sendiri akhirnya acara peresmian ditunda, dan diganti dengan ruwatan," ujar Aiko. Menanggapi kemungkinan aksi teror oleh sekelompok orang yang tidak menginginkan kehadiran biksu tertinggi, Aiko mengaku telah mempersiapkan pengamanan dan meminta bantuan pengamanan dari aparat.

Dijadwalkan Abe Niken akan berada di Indonesia selama tiga hari, mulai 26 Januari dan mengikuti acara ruwatan kemanusiaan dan pemberian bantuan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk korban Aceh. Aiko sendiri menjelaskan penolakan kedatangan biksu tertinggi Abe Niken, didalangi sekelompok umat Budha aliran Soka Gakkai. Aliran ini, kata Aiko, sebelumnya merupakan bagian umat aliran Niciren Syousu. Namun karena dinilai keluar dari akidah Budha Niciren Syousu, kelompok ini dikeluarkan.

Saat ini, kata Aiko, kelompok ini terus menghalangi kegiatan biksu tertinggi. "Setiap kegiatan biksu tertinggi ke luar negeri selalu dihalang-halangi," katanya. Menurutnya, motif aksi seperti ini juga tidak diketahui. Untuk menghalangi kehadiran biksu tertinggi ke Indonesia, kelompok Soka Gakkai juga menggulirkan isu cabul dan pertentangan dengan agama Islam.

Isu itu sendiri menurut Aiko tidak diketahui dasarnya. Isu itu dikembangkan gara-gara biksu aliran ini menghalalkan untuk menikah. "Kami sendiri beralasan, biksu memang harus menikah. Kalau tidak menikah bagaimana memahami umatnya yang menikah," katanya.

Sedangkan isu yang berkaitan dengan pertentangan dengan agama Islam, menurut Aiko, digulirkan kelompok Soka Gakkai dengan mengutip pidato atau ceramah kelas pendeta tertinggi tentang sejarah umat Budha, dimana biksu tertinggi pernah menceritakan riwayat tentang pembantaian umat Budha saat Islam masuk. "Tapi ini kan, cerita sejarah," katanya.

----------
Pernyataan dan alasan dari  Ketua Badan Pengurus Yayasan Pandita Sabda Budha Dharma Indonesia Aiko Seno Soenoto ini (yang dibold) merupakan benar-benar jawaban yang bodoh, maaf sekali lagi benar-benar bodoh. Dan jika memang alasan ini digunakan untuk memperbolehkan bhiksu untuk menikah, maka aliran ini benar jika disebut sebagai aliran sesat.

Alasan mengapa pernyataan: “….biksu memang harus menikah. Kalau tidak menikah bagaimana memahami umatnya yang menikah.”,  merupakan  pernyataan yang benar-benar bodoh:
1.   Tidak ada vinaya manapun yang menyebutkan bahwa bhiksu harus menikah. Ya kecuali vinaya akal-akalan.
2.   Jika dikatakan harus menikah untuk bisa memahami umat yang menikah, maka bagaimana untuk memahami umat yang melakukan pembunuhan? Apa mengharuskan para bhiksu untuk membunuh sehingga mereka bisa memahami umat tersebut? Apa mengharuskan para bhiksu ikutan untuk minum sabu-sabu untuk memahami umat yang sakau karena sabu-sabu? [-X

Nah, inilah salah satu bukti mengapa kita harus menggunakan istilah Ehipassiko with Wisdom, dengan kebijaksanaan.

GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #1 on: 04 January 2008, 10:53:51 PM »
Sebenarnya berita ini sudah sangat basi, tapi kebetulan tadi lagi "berkelana" di dunia maya dan menemukan berita berikut:

---------
Meski Ditentang, Biksu Tertinggi Abe Niken Tetap Didatangkan
Rabu, 19 Januari 2005 | 22:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengurus Yayasan Pandita Sabda Budha Dharma Indonesia tetap akan mendatangkan biksu tertinggi agama Budha aliran Niciren Syosyu, Abe Niken meski sebelumnya mendapat protes dari sekelompok orang.

"Semua kelengkapan dan ijin dari pemerintah sudah diperoleh," kata Ketua Badan Pengurus Yayasan Pandita Sabda Budha Dharma Indonesia Aiko Seno Soenoto, Rabu (19/1).

Kehadiran biksu tertinggi sekte Niciren Syousu, kata Aiko dalam rangka acara ruwatan kemanusiaan dan doa untuk korban tsunami Aceh yang diselenggarakan oleh Yayasan Pandita Sabda Budha, 27 Januari mendatang. Sebelumnya menurut Aiko, rencana kedatangan biksu tertinggi itu untuk acara peresmian kuil Hosei-Ji, kuil khusus aliran Niciren Syousu di Jalan Padang Manggarai Jakarta Pusat.

"Namun karena kondisi bangsa Indonesia sedang terkena musibah semacam ini, permintaan biksu tertinggi sendiri akhirnya acara peresmian ditunda, dan diganti dengan ruwatan," ujar Aiko. Menanggapi kemungkinan aksi teror oleh sekelompok orang yang tidak menginginkan kehadiran biksu tertinggi, Aiko mengaku telah mempersiapkan pengamanan dan meminta bantuan pengamanan dari aparat.

Dijadwalkan Abe Niken akan berada di Indonesia selama tiga hari, mulai 26 Januari dan mengikuti acara ruwatan kemanusiaan dan pemberian bantuan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk korban Aceh. Aiko sendiri menjelaskan penolakan kedatangan biksu tertinggi Abe Niken, didalangi sekelompok umat Budha aliran Soka Gakkai. Aliran ini, kata Aiko, sebelumnya merupakan bagian umat aliran Niciren Syousu. Namun karena dinilai keluar dari akidah Budha Niciren Syousu, kelompok ini dikeluarkan.

Saat ini, kata Aiko, kelompok ini terus menghalangi kegiatan biksu tertinggi. "Setiap kegiatan biksu tertinggi ke luar negeri selalu dihalang-halangi," katanya. Menurutnya, motif aksi seperti ini juga tidak diketahui. Untuk menghalangi kehadiran biksu tertinggi ke Indonesia, kelompok Soka Gakkai juga menggulirkan isu cabul dan pertentangan dengan agama Islam.

Isu itu sendiri menurut Aiko tidak diketahui dasarnya. Isu itu dikembangkan gara-gara biksu aliran ini menghalalkan untuk menikah. "Kami sendiri beralasan, biksu memang harus menikah. Kalau tidak menikah bagaimana memahami umatnya yang menikah," katanya.

Sedangkan isu yang berkaitan dengan pertentangan dengan agama Islam, menurut Aiko, digulirkan kelompok Soka Gakkai dengan mengutip pidato atau ceramah kelas pendeta tertinggi tentang sejarah umat Budha, dimana biksu tertinggi pernah menceritakan riwayat tentang pembantaian umat Budha saat Islam masuk. "Tapi ini kan, cerita sejarah," katanya.

----------
Pernyataan dan alasan dari  Ketua Badan Pengurus Yayasan Pandita Sabda Budha Dharma Indonesia Aiko Seno Soenoto ini (yang dibold) merupakan benar-benar jawaban yang bodoh, maaf sekali lagi benar-benar bodoh. Dan jika memang alasan ini digunakan untuk memperbolehkan bhiksu untuk menikah, maka aliran ini benar jika disebut sebagai aliran sesat.

Alasan mengapa pernyataan: “….biksu memang harus menikah. Kalau tidak menikah bagaimana memahami umatnya yang menikah.”,  merupakan  pernyataan yang benar-benar bodoh:
1.   Tidak ada vinaya manapun yang menyebutkan bahwa bhiksu harus menikah. Ya kecuali vinaya akal-akalan.
2.   Jika dikatakan harus menikah untuk bisa memahami umat yang menikah, maka bagaimana untuk memahami umat yang melakukan pembunuhan? Apa mengharuskan para bhiksu untuk membunuh sehingga mereka bisa memahami umat tersebut? Apa mengharuskan para bhiksu ikutan untuk minum sabu-sabu untuk memahami umat yang sakau karena sabu-sabu? [-X

Nah, inilah salah satu bukti mengapa kita harus menggunakan istilah Ehipassiko with Wisdom, dengan kebijaksanaan.



Tidak setuju ok saja. Saya juga tidak setuju bikkhu menikah.
Tapi tolong deh sebelum membuat komentar, pelajari dulu sejarah nichiren dalam kaitannya dengan sejarah Jepang. Kalau yang menyatakan soal bikkhu menikah itu adalah bikkhu nichiren, tentu saja dia memiliki alasannya sendiri dan sama sekali bukan bodoh.
Tradition always relative.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Huiono

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 492
  • Reputasi: 32
  • Gender: Male
  • Hmm...
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #2 on: 04 January 2008, 11:05:19 PM »
 [at] Kelana
Nice post, Bro...

Emang benar2 pernyataan yang bodoh...
Sampah...
Absurd...
Gak bisa dipertanggung jawabkan...

 [at] Suchamda
Nichiren atau apa pun namanya, tapi mereka menyebut diri sebagai bhikkhu dan menggunakan nama Buddhism..
Dalam Vinaya tidak disebutkan seorang bhikkhu harus menikah... Jadi kalau mereka menyebut diri sebagai salah satu aliran dalam agama Buddha, dan menyebut diri sebagai bhikkhu maka jelas2 itu pernyataan yang bodoh...
Sejarah bhikkhu Nichiren Jepang saya juga kurang jelas.. tapi itu karena titah kaisar saat itu yang tidak suka melihat bhikkhu hidup selibat...
"During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act"
                                                                                                   -George Orwell

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #3 on: 05 January 2008, 09:56:38 AM »

Tidak setuju ok saja. Saya juga tidak setuju bikkhu menikah.
Tapi tolong deh sebelum membuat komentar, pelajari dulu sejarah nichiren dalam kaitannya dengan sejarah Jepang. Kalau yang menyatakan soal bikkhu menikah itu adalah bikkhu nichiren, tentu saja dia memiliki alasannya sendiri dan sama sekali bukan bodoh.
Tradition always relative.


Sdr. Suchamda, seperti judul topik ini yaitu ”Pernyataan bodoh”, saya hanya mengomentari pernyataan dari Ketua Badan Pengurus Yayasan Pandita Sabda Budha Dharma Indonesia Aiko Seno Soenoto, yang di dalam pernyataannya memberikan alasan, sekali lagi saya tegaskan memberikan alasan yang absurd, terlepas dari apakah alasan Aiko Seno tersebut berdasarkan ajaran Nichiren sesungguhnya atau bukan. Nichiren sendiri setidaknya terpecah menjadi 2, yaitu Nichiren Shoshu / Syoshu dan Nichiren Shu. Jadi yang kita bahas adalah pernyataan Aiko Seno Soenoto dari Nichiren Syoshu.

Jadi Sdr. Suchamada, apakah alasan  " biksu memang harus menikah. Kalau tidak menikah bagaimana memahami umatnya yang menikah," adalah alasan yang tepat ?

Jika kita ingin mengaitkan dengan sejarah, saya tidak menemukan literatur yang menyatakan Bhiksu Nichiren Shonin sebagai pendiri pernah menikah. So, apalagi alasannya untuk mengharuskan bhiksu menikah?
Apakah karena kemungkinan dalam sejarah ada pemaksaan dari Kaisar Jepang agar para bhiksu menikah? Sekarang bukan jaman Kekaisaran lagi, so jika memang ada peristiwa seperti itu, maka semua bisa dikembalikan seperti sedia kala. Lalu apa alasannya lagi?

Tradisi, Sdr. Suchamda. Kita semua tahu bahwa ada 2 jenis tradisi, tradisi yang baik dan tradisi yang buruk. Jika tradisi itu tidak bermanfaat (khususnya untuk kemajuan batin), tanpa alasan yang jelas dan kuat, layakkah dipertahankan? Jadi alasan karena tradisi pun tidak bisa dijadikan alasan untuk permasalahan ini.

Btw, saya selalu research dulu sebelum saya mengomentari sesuatu pelik dengan dengan keras. So, Dun worry. :)
« Last Edit: 05 January 2008, 09:58:25 AM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #4 on: 05 January 2008, 10:07:06 AM »
Bhikkhu harus menikah, kapan mencapai nibbananya?? Ajaran Sang Tathagata bisa habis bis..bis :) _/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #5 on: 05 January 2008, 10:18:10 AM »
Quote
Jadi Sdr. Suchamada, apakah alasan  " biksu memang harus menikah. Kalau tidak menikah bagaimana memahami umatnya yang menikah," adalah alasan yang tepat ?

Saya tidak mengatakan hal itu sebagai alasan yang tepat. Tapi tentu dia memiliki alasannya sendiri. Pemaknaan yang berbedalah yang menimbulkan kesan "bodoh". Apa yang 'bodoh' dalam diri anda dan dalam diri dia adalah berbeda.
Saya cuma mau mengatakan bahwa segala sesuatu itu nisbi. Meskipun nisbi, dan kita hidup dalam kenisbian, tetapi sudah menjadi tugas kita untuk hidup yang bertanggung jawab menurut pencerapan masing-masing. Saya tidak membenarkan ucapan dia, tapi saya mengkritik sikap anda yang arogan dan sektarian.
Quote
Tradisi, Sdr. Suchamda. Kita semua tahu bahwa ada 2 jenis tradisi, tradisi yang baik dan tradisi yang buruk.


Baik dan buruk itu pun relatif. Belajar Dhamma harus bisa melampaui itu. Bukan berarti saya menisbikan tatanan tradisi dan dogmatika. Tapi saya melihat anda parsial.

Quote
Jika tradisi itu tidak bermanfaat (khususnya untuk kemajuan batin), tanpa alasan yang jelas dan kuat, layakkah dipertahankan? Jadi alasan karena tradisi pun tidak bisa dijadikan alasan untuk permasalahan ini.

Menurut saya, orang yang beraspirasi mencapai kesucian memiliki jalannya masing-masing. Dan kehidupan rumah tangga bukan penghalang untuk mencapai itu.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Lex Chan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.437
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
  • Love everybody, not every body...
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #6 on: 05 January 2008, 03:59:48 PM »
Barangkali masalahnya terletak pada kata "harus"..
Kalau ada seseorang yang mau jadi biksu Nichiren tapi ngga mau menikah bagaimana dong? :hammer:
“Give the world the best you have and you may get hurt. Give the world your best anyway”
-Mother Teresa-

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #7 on: 05 January 2008, 06:41:33 PM »
Barangkali masalahnya terletak pada kata "harus"..
Kalau ada seseorang yang mau jadi biksu Nichiren tapi ngga mau menikah bagaimana dong? :hammer:

Dipaksa nikah kali ye, jadi seperti siti nurbaya deh :( :-?
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #8 on: 05 January 2008, 09:15:08 PM »
Ada yg rancu disini...
emang jadi biksu untuk ngeladeni umat ?

---

Bagi gua ngeliad nya cuma bagaikan seorang "Kemenyan"
yg mencari "PEMBENARAN PRIBADI" atas EGO seorang "Kemenyan"

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #9 on: 06 January 2008, 09:30:02 AM »
yg dikomentari bang kelana adalah logikanya pernyataan tersebut. memang pernyataan tersebut logikanya jungkir balik kok...

perdebatan mengenai kehidupan selibat dan berumah tangga, itu urusan lain lagi...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #10 on: 06 January 2008, 10:26:40 AM »
Quote
yg dikomentari bang kelana adalah logikanya pernyataan tersebut. memang pernyataan tersebut logikanya jungkir balik kok...

Tentu. Bila melihatnya makna "bikkhu" dari sudut pandang tradisi buddhist yang lain pada umumnya.
Tetapi apakah makna dari dari status kebhikkuan itu sama di dalam nichiren?
Saya bukan nichiren dan tidak tahu soal itu, semestinya diselidiki dahulu. Akan tetapi, seperti halnya dalam Western Buddhist Order dimana bhikkhunya juga menikah, disitu pemaknaan kebhikkhuan sudah berbeda.
Btw, yg saya kritik adalah sikap sektarianisme dan frictional yang implisit dalam pernyataan Kelana.

Hati-hati with Derrida's le' differance.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #11 on: 06 January 2008, 01:00:26 PM »
Saya tidak mengatakan hal itu sebagai alasan yang tepat. Tapi tentu dia memiliki alasannya sendiri. Pemaknaan yang berbedalah yang menimbulkan kesan "bodoh". Apa yang 'bodoh' dalam diri anda dan dalam diri dia adalah berbeda.
Saya cuma mau mengatakan bahwa segala sesuatu itu nisbi. Meskipun nisbi, dan kita hidup dalam kenisbian, tetapi sudah menjadi tugas kita untuk hidup yang bertanggung jawab menurut pencerapan masing-masing.

Anda ini berbicara mengenai apa Sdr. Suchamada?
Alasan anda yang berkesan bahwa kita tidak boleh menyatakan bodoh untuk sebuah pernyataan dengan alasan kenisbian, hanyalah alasan yang mengada-ada, dan merupakan penghindaran masalah, sikap pasrah karena tidak adanya alasan/jawaban lain. Saya rasa anda tidak memiliki jawaban real dari masalah ini.

Kita boleh mengetahui, memahami pencerapan orang lain tetapi bukan berarti diam seribu bahasa jika pencerapannya itu salah, tidak beralasan pada pengetahuan, pemahaman Dhamma (makanya disebut bodoh). Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa jika ada ajaran yang tidak sesuai dengan Dhamma (Dharma, jika anda tidak suka karena bersifat sektarian), maka nyatakanlah bahwa hal itu tidak sesuai Dharma. Sang Buddha pun pernah menyatakan seseorang itu bodoh, tapi akhirnya setelah menyadari kebodohannya ia menjadi Arahat. Jika tidak, orang tersebut tidak tahu dimana kebodohannya. Saya tidak berusaha menerapkan kasus kedua dimana Sang Buddha mencerahkan seseorang, tapi saya lebih menerapkan ajaranNya untuk menyatakan sesuatu itu sesuai Dharma atau tidak dengan alasan-alasan yang telah saya sampaikan.

Quote
Saya tidak membenarkan ucapan dia, tapi saya mengkritik sikap anda yang arogan dan sektarian.

Ketika saya membaca tulisan anda mengenai kenisbian, saya pikir anda tahu mengenai kenisbian. Tapi ketika anda mengkritik saya dengan mengatakan sikap saya arogan dan sektarian, muncul pertanyaan, pahamkah anda mengenai kenisbian? Dan dikaitkan dengan kenisbian, siapakah yang arogan dan sektarian di sini? Anda atau saya? :)

Sdr. Suchamada, saya sendiri tidak melihat alasan anda mengapa anda tidak menerima bahwa bhiksu harus menikah, anda hanya menyatakan tidak sependapat, tidak membenarkan, tetapi tidak menyatakan alasannya. Secara halus anda beranggapan bahwa andalah yang Benar dan pernyataan tersebut Salah. Jadi apa bedanya dengan menyatakan sebagai “pernyataan yang bodoh”?  Bedanya adalah anda tidak beralasan, sedangkan saya beralasan. Dan disini pulalah perbedaan antara arogan dengan tidak arogan, yaitu tanpa alasan, dengan beralasan yang tepat, benar dan berdasarkan pada pengetahuan. Inilah perbedaan antara anda dan saya.

Nah, Sdr. Suchamada, daripada anda berbicara mengenai kenisbian, mengatakan saya arogan dan sektarian, menurut anda apakah pernyataan tersebut adalah hal yang bodoh atau tidak? Apa alasan anda jika pernyataan itu tidak bodoh atau bodoh? Tidak benar atau benar?
Btw. Saya harap anda tidak tertular suspicious syndrome sektarian.  ^-^

Quote
Baik dan buruk itu pun relatif. Belajar Dhamma harus bisa melampaui itu. Bukan berarti saya menisbikan tatanan tradisi dan dogmatika.

Sdr. Suchamada, belajar Dhamma memang diharapkan bisa melampaui diskriminasi pikiran, tetapi bukan berarti mengalami syndrome anti-baik & buruk dan berbicara di awang-awang. Belajar membedakan baik dan buruk dalam perspektif Dhamma adalah awal dari melampaui diskriminasi pikiran. Jika kita tidak tahu benar dan salah bagaimana kita bisa belajar melampaui sesuatu yang kita tidak tahu?
Ini sudah OOT dari permasalahan tradisi yang baik dan yang buruk, saya tidak berkomentar lagi mengenai pembahasan baik-buruk yang dibahas dalam konteks diawang-awang. Maaf.

Quote
Tapi saya melihat anda parsial.
Itu menurut anda dan ini sifatnya nisbi. Anda tidak memiliki alasan tepat untuk itu, Sdr. Suchamada. :)

Quote
Menurut saya, orang yang beraspirasi mencapai kesucian memiliki jalannya masing-masing. Dan kehidupan rumah tangga bukan penghalang untuk mencapai itu.

Jika demikian Sdr. Suchamada, maka akan muncul seruan:
“teman-teman jika anda beraspirasi mencapai kesucian lalui dengan cara anda masing-masing, silahkan teruskan membunuh jika anda suka membunuh, silahkan teruskan korupsi jika anda suka korupsi, silahkan anda mabuk-mabukan bagi yang suka mabuk, karena ini adalah jalan anda, karena  orang yang beraspirasi mencapai kesucian memiliki jalan masing-masing untuk mencapai.”
(semoga tidak ada yang mengiyakan seruan ini - don try this at home!)

Sdr. Suchamada, orang yang beraspirasi mencapai kesucian belumlah tentu seorang yang benar-benar suci, oleh karena itu ia masih bisa melakukan kesalahan, kebodohan yang merugikan. Jadi perlu adanya kalyanamitta yang memberitahukan apa yang salah dan benar, apakah yang ia nyatakan adalah kebodohan atau tidak. Bukankah dengan menjadi kalyanamitta dengan memberitahukan benar-salah, baik-buruk, bodoh-bijak (tentu saja dengan alasan yang benar dan tepat) juga termasuk dalam semangat bodhisattva? Jika tidak memberitahukan hal-hal itu, bisakah seseorang disebut kalyanamitta dan bisakah disebut memiliki semangat bodhisattva?

Dengan segala alasan ini Sdr. Suchamada, semoga anda memahami mengapa saya bersikap tegas yang bagi anda sikap saya ini adalah arogan.
« Last Edit: 06 January 2008, 01:02:15 PM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #12 on: 06 January 2008, 01:01:06 PM »
Quote
Tentu. Bila melihatnya makna "bikkhu" dari sudut pandang tradisi buddhist yang lain pada umumnya.
Tetapi apakah makna dari dari status kebhikkuan itu sama di dalam nichiren?
Saya bukan nichiren dan tidak tahu soal itu, semestinya diselidiki dahulu. Akan tetapi, seperti halnya dalam Western Buddhist Order dimana bhikkhunya juga menikah, disitu pemaknaan kebhikkhuan sudah berbeda.
Btw, yg saya kritik adalah sikap sektarianisme dan frictional yang implisit dalam pernyataan Kelana.

Sudah saya sampaikan dun not worry mengenai penyelidikan, Sdr. Suchamada. Oleh karena itu saya berani membuat topik ini. Alasan kebhikuan juga sudah jelas di awal munculnya Nichiren. Saya rasa anda yang justru harus menyelidiki, sehingga anda tidak perlu menyatakan saya bersikap sektarianisme dan frictional yang implisit. Bagaimana anda tahu kebenarannya bahkan anda belum menyelidikinya?

 :o Ah, ternyata  anda nampaknya juga terkena suspicious syndrome sektarian.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #13 on: 06 January 2008, 01:07:09 PM »
Quote
Anda ini berbicara mengenai apa Sdr. Suchamada?
Alasan anda yang berkesan bahwa kita tidak boleh menyatakan bodoh untuk sebuah pernyataan dengan alasan kenisbian, hanyalah alasan yang mengada-ada, dan merupakan penghindaran masalah, sikap pasrah karena tidak adanya alasan/jawaban lain. Saya rasa anda tidak memiliki jawaban real dari masalah ini.

Ada.
Biarkan saja. Bagi saya bukan masalah.

Quote
Kita boleh mengetahui, memahami pencerapan orang lain tetapi bukan berarti diam seribu bahasa jika pencerapannya itu salah, tidak beralasan pada pengetahuan, pemahaman Dhamma (makanya disebut bodoh). Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa jika ada ajaran yang tidak sesuai dengan Dhamma (Dharma, jika anda tidak suka karena bersifat sektarian), maka nyatakanlah bahwa hal itu tidak sesuai Dharma. Sang Buddha pun pernah menyatakan seseorang itu bodoh, tapi akhirnya setelah menyadari kebodohannya ia menjadi Arahat. Jika tidak, orang tersebut tidak tahu dimana kebodohannya. Saya tidak berusaha menerapkan kasus kedua dimana Sang Buddha mencerahkan seseorang, tapi saya lebih menerapkan ajaranNya untuk menyatakan sesuatu itu sesuai Dharma atau tidak dengan alasan-alasan yang telah saya sampaikan.

Jangan bawa-bawa Buddha deh. Kamu kan kelana, bukan Buddha. Lagian, non sequitur.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline EVO

  • Sebelumnya Metta
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.369
  • Reputasi: 60
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #14 on: 06 January 2008, 01:07:47 PM »
  :)) :)) :))

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #15 on: 06 January 2008, 01:09:46 PM »
Quote
Sdr. Suchamada, belajar Dhamma memang diharapkan bisa melampaui diskriminasi pikiran, tetapi bukan berarti mengalami syndrome anti-baik & buruk dan berbicara di awang-awang. Belajar membedakan baik dan buruk dalam perspektif Dhamma adalah awal dari melampaui diskriminasi pikiran. Jika kita tidak tahu benar dan salah bagaimana kita bisa belajar melampaui sesuatu yang kita tidak tahu?
Ini sudah OOT dari permasalahan tradisi yang baik dan yang buruk, saya tidak berkomentar lagi mengenai pembahasan baik-buruk yang dibahas dalam konteks diawang-awang. Maaf.

Masalahnya, anda sedang mengomentari tradisi orang lain.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #16 on: 06 January 2008, 01:11:28 PM »
Quote
Jika demikian Sdr. Suchamada, maka akan muncul seruan:
“teman-teman jika anda beraspirasi mencapai kesucian lalui dengan cara anda masing-masing, silahkan teruskan membunuh jika anda suka membunuh, silahkan teruskan korupsi jika anda suka korupsi, silahkan anda mabuk-mabukan bagi yang suka mabuk, karena ini adalah jalan anda, karena  orang yang beraspirasi mencapai kesucian memiliki jalan masing-masing untuk mencapai.”
(semoga tidak ada yang mengiyakan seruan ini - don try this at home!)

Anda ekstrim. Oleh karena itu bias.
Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa renunsiasi ke jalan kebikkhuan tidak ada manfaatnya.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #17 on: 06 January 2008, 01:14:01 PM »
Quote
Sdr. Suchamada, orang yang beraspirasi mencapai kesucian belumlah tentu seorang yang benar-benar suci, oleh karena itu ia masih bisa melakukan kesalahan, kebodohan yang merugikan. Jadi perlu adanya kalyanamitta yang memberitahukan apa yang salah dan benar, apakah yang ia nyatakan adalah kebodohan atau tidak. Bukankah dengan menjadi kalyanamitta dengan memberitahukan benar-salah, baik-buruk, bodoh-bijak (tentu saja dengan alasan yang benar dan tepat) juga termasuk dalam semangat bodhisattva? Jika tidak memberitahukan hal-hal itu, bisakah seseorang disebut kalyanamitta dan bisakah disebut memiliki semangat bodhisattva?

Kalyanamitta memberitahukan seorang teman mana yang baik dan buruk, mana yang bermanfaat dan yang tidak. Tapi tidak akan pernah menganjurkan untuk mencaci orang lain dengan kata "bodoh".
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #18 on: 06 January 2008, 01:17:55 PM »
Quote
Sudah saya sampaikan dun not worry mengenai penyelidikan, Sdr. Suchamada. Oleh karena itu saya berani membuat topik ini. Alasan kebhikuan juga sudah jelas di awal munculnya Nichiren. Saya rasa anda yang justru harus menyelidiki, sehingga anda tidak perlu menyatakan saya bersikap sektarianisme dan frictional yang implisit. Bagaimana anda tahu kebenarannya bahkan anda belum menyelidikinya?

Saya tidak perlu menyelidiki karena itu bukan masalah bagi saya. Andalah yang perlu. Terutama menyelidiki batin anda sendiri saatmelontarkan pernyataan itu .
« Last Edit: 06 January 2008, 01:22:27 PM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #19 on: 06 January 2008, 02:12:19 PM »
Hihihi
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Kembara

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 426
  • Reputasi: 13
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #20 on: 06 January 2008, 02:24:36 PM »
Ketika terjadi perbedaan, disitulah kita belajar (Wejangan yang bijaksana dari Bro Sumedho)  ^:)^ ^:)^ :)
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA
SADHU, SADHU, SADHU.

_/\_


Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #21 on: 08 January 2008, 06:24:56 PM »
Siip kembara _/\_
Menilai dengan dasar kebaikan dan kerendahan hati adalah baik
Kalau serba menilai adalah arogansi
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #22 on: 08 January 2008, 06:29:28 PM »
Kasaha eta teh maksadna? hehehe
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #23 on: 08 January 2008, 07:19:54 PM »
Quote
Anda ini berbicara mengenai apa Sdr. Suchamada?
Alasan anda yang berkesan bahwa kita tidak boleh menyatakan bodoh untuk sebuah pernyataan dengan alasan kenisbian, hanyalah alasan yang mengada-ada, dan merupakan penghindaran masalah, sikap pasrah karena tidak adanya alasan/jawaban lain. Saya rasa anda tidak memiliki jawaban real dari masalah ini.

Ada.
Biarkan saja. Bagi saya bukan masalah.

Jika bagi anda bukan masalah mengapa anda berkomentar, Sdr. Suchamda? Di sinilah kesalahan anda. Anda berkomentar tanpa dasar meskipun anda berdalih memiliki dasar atau jawaban. Saya tahu anda mengkritik saya, tapi kritikan anda tidak berdasar, bahkan anda sendiri belum tahu duduk perkaranya, belum melakukan penyelidikan seperti yang telah saya lakukan, bagaimana anda bisa membandingkan bahkan menilai?

Quote
Jangan bawa-bawa Buddha deh. Kamu kan kelana, bukan Buddha. Lagian, non sequitur.

 :))Apa hak anda untuk melarang saya agar tidak membawa-bawa Buddha, Sdr. Suchamda? Tentu saja saya bukan Buddha, jika saya Buddha maka saya akan segera berada ditempat anda dan mengajarkan anda mengenai bagaimana memahami pencerapan orang lain tetapi tidak diam seribu bahasa jika pencerapannya salah, dan bagaimana untuk tidak bersikap arogan. Karena saya bukan Sang Buddha maka saya tetap di sini dan memberikan rekomendasi perbandingan kepada anda mengenai bagaimana apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sebagai inspirasi kita. Inilah alasan mengapa saya menyampaikan apa yang dilakukan Sang Buddha.

Darimana anda tahu bahwa saya adalah kelana? Bagi mereka yang tahu saya, maka akan tersenyum membaca pernyataan anda ini. Non sequitur? Alasan yang mengada-ada, dan merupakan penghindaran masalah. Seharusnya anda menanggapi tanggapan saya mengenai: “Kita boleh mengetahui, memahami pencerapan orang lain tetapi bukan berarti diam seribu bahasa jika pencerapannya itu salah, tidak beralasan pada pengetahuan, pemahaman Dhamma (makanya disebut bodoh)”

Well, it’s ok jika anda tidak bisa menanggapinya, saya maklum kok anda juga manusia. ^-^

Quote
Masalahnya, anda sedang mengomentari tradisi orang lain.

Sdr. Suchamada…. Sdr. Suchamada….  ^-^
Anda ini ada-ada saja. Saya tidak akan menjelaskan kepada anda panjang lebar mengenai tradisi, mana yang perlu dijaga mana yang perlu ditinggalkan berkaitan dengan Dharma. Dan ini menjernihkan segalanya bahwa anda belum tahu apa-apa mengenai Nichiren. C’mon anda belum menyelidiki apapun tentang Nichiren tapi anda sudah menyimpulkan bahwa apa yang sedang saya sampaikan adalah bentuk tradisi?
Sdr. Suchamada…. Sdr. Suchamada….  Aya aya naon. :))

Quote
Anda ekstrim. Oleh karena itu bias.
Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa renunsiasi ke jalan kebikkhuan tidak ada manfaatnya.

Sdr. Suchamada, sebenarnya saya tidak ingin memberikan contoh seruan yang anda katakan ekstrem, tapi pernyataan anda sendiri yang menimbulkan seruan ekstrem seperti itu. Jika saat ini bukan saya yang menyerukan seperti itu mungkin kelak ada orang lain yang akan menyerukannya seperti itu yang dilandasi oleh pernyataan anda. Apalagi nanti, mudah-mudahan anda menjadi seorang pemimpin spiritual yang dikagumi oleh orang lain (atau mungkin anda sudah jadi salah seorang pemimpin), ketika anda mengatakan hal itu tanpa penjelasan yang jelas dan utuh, maka keestreman akan muncul.

Quote
Kalyanamitta memberitahukan seorang teman mana yang baik dan buruk, mana yang bermanfaat dan yang tidak. Tapi tidak akan pernah menganjurkan untuk mencaci orang lain dengan kata "bodoh".

Sekali lagi saya merasa heran, anda yang berbicara sepertinya fasih mengenai kenisbian tapi anda terusik dengan istilah “bodoh”.  :)
Anda bisa membaca ulang mengapa saya katakan bodoh. Jika anda malas saya copy paste-kan:
“Kita boleh mengetahui, memahami pencerapan orang lain tetapi bukan berarti diam seribu bahasa jika pencerapannya itu salah, tidak beralasan pada pengetahuan, pemahaman Dhamma (makanya disebut bodoh)”

Adalah suatu kebodohan bagi saya jika saya menyatakan “bodoh” pada sebuah pernyataan tanpa mengetahui yang sesungguhnya. Jadi, Sdr. Suchamada adalah berbeda antara mencaci dengan menyatakan kebenaran. Bukan bermaksud menggurui anda yang sudah ahli, saran saya sebaiknya anda pelajari dulu hal ini, dan jangan apriori terlebih dulu.

Dan saya sudah menyampaikan mengenai meninggalkan mana yang tidak bermanfaat dan tidak bermanfaat, tapi anda potong dengan mempermasalahkan benar-tidak benar mengenai tradisi yang bahkan anda sendiri tidak tahu apakah itu tradisi atau bukan.

Quote
Saya tidak perlu menyelidiki karena itu bukan masalah bagi saya. Andalah yang perlu. Terutama menyelidiki batin anda sendiri saatmelontarkan pernyataan itu .

Seperti yang telah saya sampaikan Sdr. Suchamada, perbedaan antara anda dengan saya. Saya menyatakan “bodoh” pada sebuah pernyataan dengan alasan dan didasarkan pada penyelidikan, sedangkan anda mengatakan “arogan” kepada diri saya tanpa alasan, penyelidikan akan apa yang sedang dipermasalahkan. Anda tidak menyelidiki Nichiren jadi anda tidak tahu duduk perkaranya, inilah masalahnya, inilah masalah anda.

Saya terima jika anda menyarankan saya untuk menyelidiki batin saya, tapi sudahkah anda menyelidiki batin anda sendiri ketika mengatakan saya “arogan” dan sektarian tanpa alasan yang jelas, tanpa penyelidikan duduk perkara ?

Saya rasa saya cukup menanggapi tanggapan yang tidak beralasan dari anda karena kalau diteruskan tidak akan ada manfaat bagi saya atau orang lain. Untuk apa menanggapi pernyataan yang tidak beralasan.

Jadi saya tidak akan berkomentar lagi, dan tetap bagi saya dengan alasan yang saya saimpaikan bahwa pernyataan tesebut adalah “pernyataan yang bodoh” atau jika ingin dilembutkan maka pernyatakan itu adalah “pernyataan yang tidak bijak” 

Thanks
« Last Edit: 08 January 2008, 07:23:25 PM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline last.shinjin_mc

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 1
  • Reputasi: 0
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #24 on: 01 August 2008, 11:52:09 PM »
nimbrung ah....
sekadar sharing aja ya.

Nichiren Daishonin tidak pernah menyetujui Bikhu yang menikah.
Sampai kapan pun tak akan pernah  ;)

Nichiren Daishonin, Nikko Shonin, dan Nichimoku Shonin semuanya adalah bhiku suci.
Para bikhu yang menikah dan berkeluarga sepenuhnya mengkhianati ketiga guru ini baik dalam semangat maupun tindakan.

Dalam Gosho "Perihal Empat Hutang Budi", Daishonin menulis:
Mungkin karena dunia telah memasuki Masa Akhir Dharma, bahkan bhiku yang mempunyai istri dan anak memiliki pengikut, begitu pula dengan bikhu yang makan ikan dan daging. Saya, Nichiren, tidak memiliki istri maupun anak, tidak juga makan ikan maupun daging. Saya telah difitnah hanya karena mencoba menyebarkan Sutra Bunga Teratai. Meski saya tidak mempunyai istri maupun anak, saya dikenal di seluruh negeri sebagai bhiku yang melanggar sila, dan meski saya tidak pernah membunuh bahkan seekor semut maupun jangkrik sekalipun, reputasi buruk saya telah tersebar hingga seluruh penjuru.

So, para bikhu yang seperti itu hanyalah orang awam yang mengenakan jubah bikhu.
Kata-kata tidak bisa menggambarkan beratnya pelanggaran yang mereka lakukan dalam mengkhianati ajaran dari Nichiren Daishonin.

Ntar, kalau semua bikhu menikah,
apa jadinya ya??  :o  :o  :o
mereka pasti sibuk menimbun kekayaan sebagai warisan kepada keturunannya  ^:)^
hahahaha, ada-ada saja :D
>> Tak peduli kita lahir sabagai apa, yang penting adalah apa yang akan kita lakukan sesudahnya <<

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #25 on: 02 August 2008, 12:16:39 AM »
nichiren memang tidak menikah. perihal tentang pernikahan Bhiksu di jepang itu dikarenakan oleh kaisar jepang yang memperbolehkan wanita masuk sebagai pekerja di vihara. lambat-laun pekerja wanita tadi memiliki affair dengan para bhiksu. menurut saya di jepang, tidak hanya aliran nichiren yang bhiksunya boleh menikah. membicarakan budhisme di jepang memang sangat erat kaitannya dengan politik.

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Pernyataan Bodoh
« Reply #26 on: 02 August 2008, 12:25:18 AM »
http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cclergy/documents/rc_con_cclergy_doc_01011993_zen_en.html

Celibacy: the view of a Zen monk

from Japan

 

Soko Morinaga

Buddist monk. Rector of Hanazono University

 

Examples of the marriage of monks in Japan can be found as early as the Heian period (794-1185). Moreover, beginning from the time of Shinran (1173-1262) and Ippen (1239-1289), who were known as hijiri, or wandering mendicants, there are many examples of the marriage of monks during the Kamakura (1185-1333), Muromachi (1336-1570), and Edo periods (1600-1867). So from the point of view of ordinary Japanese people, the marriage of monks was not regarded as something out of the ordinary.

 

An edict, number 133, issued by the new Meiji government in 1872 ordered that monks should be free to «eat meat, take wives, and shave their heads» as they chose. From that time, the secularization of monks proceeded rapidly. In Taisho in 1920 the Jodo (Pure Land) School of Buddhism issued a set of Regulations for Temple Families. From this time, the treatment of temple families became an important issue. In this way, the marriage of monks, instead of being viewed as a question of doctrine or the precepts of monastic life, came to be taken up as a problem of personal attraction of temple management, or as a matter affecting the lives of temple families. The problem, then, became less a strictly religious one, and more a matter of how to deal with the inheritance of temple headships and the social status, rights, and property of temple families.

 

The issue of monastic celibacy differs for each sect of Japanese Buddhism and for each individual monk. We cannot say that the social issues I have outlined above reflect the definitive state of contemporary Japanese Buddhism but it is true that where these various problems do exist, they arise from the marriage of monks. Moreover, in thinking about this question, we should not overlook the fact that nuns are usually neglected and that an exclusively male-centred point of view is argued.

 

In this brief essay, however, I would like to discuss the issue of monastic celibacy not from this social angle, but from the personal point of view of my own religious experiences as a Zen monk, and on the basis of ‘faith’, in terms of Zen teaching and the monastic precepts.

 

What is essential for the Buddhist is the self-awakening of and to the ‘three treasures’: the Buddha, the Dharma, and the Sangha community. Rather than being an object of faith in the context of a lord-servant relationship such as that of a creator and the ones that are saved, Buddha designates that which lets exist everything that is. In Zen, this is also called ‘One Mind’ or ‘Buddha-nature’. Dharma signifies the matrix of impermanence and cause-effect in which Buddha as a phenomenon ceaselessly undergoes creation, change, birth and death. Finally, sangha denotes the subtle order and harmony among the phenomena. Thus, with the self-awakening of and to reality as it truly is — which is expressed by the term ‘three treasures’ — it becomes clear that all existence is originally without any subjective ‘I’ and without any object an ‘I’ could possess. However, in terms of public life, sangha also designates a group of Buddhists whose members attempt to transmit by their own self-awakening the very Buddha-nature which the Buddha awakened to.

 

A person who wants to become a monk or nun must go through a specific process. In the initial ordination ceremony, the precepts are accepted. As a condition for this acceptance of the precepts, one must first express one’s resolve to leave one’s home which forms a root of attachment. Furthermore, one must be more than 20 years of age, and it is absolutely required that one’s parents approve one’s leaving home. Thus a monk or nun is, as a member of the sangha, a person who has left his or her home’ and is either celibate from the outset or becomes celibate upon entering monastic life. This is also a practical expression of one’s faith in the three treasures (no ‘I’, and no object).

 

While the establishment of religious faith is, needless to say, a very personal and internal event, the social status of ‘monk’ or ‘nun’ presupposes a monastic community called sangha. Both from the point of view of the establishment of one’s own faith and from that of a harmonious effort in the sangha community to help each other towards self-awakening, the monks’ and nuns’ lack of possessions is an essential condition.

 

Although the inner effort to deepen the ‘faith’ in one’s heart and the altruistic effort to help others to attain religious peace of mind are in essence just two sides of one coin, one must recognize that historically, in the monastic community (sang/ia), the former endeavour did not necessarily form a unity with the altruistic effort that aims at saving members of the secular society.

 

In Southeast Asian Buddhism, the monastic community is still central; in contrast, the various forms of Mahayana Buddhism in China and Japan tend towards secularism. In the trend of historical secularization of modern civilisation throughout the world, one may in Japan sometimes have trouble speaking to communities of home-leavers. Nevertheless, and in spite of the limited number of such vocations, I can say as one member of the Japanese Buddhist sangha that in this day and age there are in fact still Zen monks and nuns who consciously choose to remain celibate for life.

 

With regard to the corpus of scriptures on monastic precepts, one finds that the history of the institutionalization of monastic precepts can also be called a history of the breaking of these rules. The repeated addition of more detailed rules was necessary precisely because the precepts were broken, and it served to prevent just that. Paradoxically, the attempt to kill off desires and attachments inside the monastic community by way of precepts, produced more evil ways of breaking these precepts; and while sight was lost of the gist of the teaching, superficial hypocrisy and self-righteous interpretations became rampant.

 

The Buddhist monk Saichô (767-822) dared to abrogate the multitude of traditional small precepts in favour of the sole precept to «awaken to the fundamental one-mind of Mahayana». He established a ceremony for the taking of this precept and built a Mahayana ordination platform for the purpose on Mount Hiei near Kyoto. Since then, various branches of Japanese Buddhism have adhered to this. But Zen, following in the steps of its Chinese tradition, upheld an original structure of mutual complementarity of the monastic and secular communities and thus did not completely give way to lay Buddhism. Although this was a contradictory compromise of a kind that is again different from that of Southeast Asian Buddhism, one can say that the realization of this kind of contradiction bears potential for the future. However, it also proved to be a cause for confusion in monastic Japanese Buddhism.

 

At any rate, the specific character of Japanese Buddhism, formed through the abolition of the small precepts in favour of the Precept of Mahayana One-Mind and the view that both personal and altruistic practice appear naturally, is an active response to the problems of secular society. Wanting to contribute to world peace and wellbeing, Japanese Buddhism shows an increasingly strong tendency to this worldly benefit. At the same time, it acquires more and more the character of a lay community rather than that of a monastic one. In particular, the a-religious tendency of modern civilization — and along with it the loss of family ethics, the contempt for life, and the anthropocentric resources and world-wide destruction of the environment — has led to an extreme situation which ultimately can not be dealt with in terms of superficial this-worldly profit thinking. It is true that the home-leavers, too, tend to strive more for secular fortune than for the faith arising from the self-awakening of the three treasures. They view the monastic community that ought to be their basis lightly and disregard its rules, and they are drawn into the secular world with a household and private property before having finished their own spiritual quest.

 

If I may relate here my personal experience: After leaving home and being ordained, I spent a period of 20 years (from age 20 to age 40) in personal practice to establish that faith which is called satori. Since then I have been involved in practices to benefit others in the secular world, and celibacy has always seemed most natural to me. I do not feel at all constrained by the precepts and have not felt any grave hindrance due to desire. Ever since I became a monk, the faith in connection with the self-awakening of the three treasures and the abstinence from personal possessions has seemed natural to me. I think that my way of being a Zen monk would have long ago come to a dead end if I had had to uphold by force a voluntary precept or a related threat of punishment for these two conditions for being a religious person: faith on the inside, and a life without material possessions on the outside.

 

When the Japanese Buddhist Saint Hônen (1133-1212) was asked whether a Buddhist religious person should be celibate or not, he said: «If it is easier for him or her to express faith by reciting the Buddha’s name alone, he or she should be celibate. If it is easier to do that with a spouse, it is better to marry. What is important is only how one expresses one’s faith in reciting the Buddha’s name.»

 

The establishment of religious faith cannot but be personal, and in this sense I fully agree with H6nen. However, as a Zen monk who has entered a monastic community in order to accomplish both personal religious practice and help for others, I feel that it was easier to do this without a family and the ensuing necessity to have personal property; so for me the choice of celibacy and poverty was a natural and joyful one. I certainly am not the only person who feels joy about celibate life; already in the old Theravada Buddhist tradition of Southeast Asia one finds many poems that sing of the joy of celibacy. Although there may be desires such as sexual desires, this joy protects celibate life.

 

It is rather difficult to speak of both the views held in the

history of Buddhism and my personal experience in just a few pages, but in conclusion I would like to emphasize that the life of a true religious person does not ban desire by inner will power or by outer pressure. Rather, it is due to a natural manifestation of Buddha-mind that life without possessions becomes a joy accompanying both activities for one’s own benefit and activity for the benefit of others.

 

Since the majority of the monks and nuns that constitute the sangha have not yet realized this, inner effort of will and vows and outer rules become necessary. Wherever there is coercion to conform to such rules, be it from the inside or the outside, there is bound to be hypocrisy and transgression. From a historical point of view, too, it is clear how meaningless it is to try to eradicate this contradiction by systematic reform. There is only one way to completely transcend this contradiction, and that is by the joy of the monk’s and nun’s own self-awakened faith. If they ignore this joy of faith and attempt to preserve a sangha that relies on some system, the sangha will surely at some point perish. But even if that kind of sangha perishes, the three treasures will not perish. Just as the green leaves of spring sprout after the autumn leaves have been burnt, the Buddha dharma will with certainty appear anew in a different form.
« Last Edit: 02 August 2008, 12:27:30 AM by SandalJepit »

 

anything