Saya tidak mengatakan hal itu sebagai alasan yang tepat. Tapi tentu dia memiliki alasannya sendiri. Pemaknaan yang berbedalah yang menimbulkan kesan "bodoh". Apa yang 'bodoh' dalam diri anda dan dalam diri dia adalah berbeda.
Saya cuma mau mengatakan bahwa segala sesuatu itu nisbi. Meskipun nisbi, dan kita hidup dalam kenisbian, tetapi sudah menjadi tugas kita untuk hidup yang bertanggung jawab menurut pencerapan masing-masing.
Anda ini berbicara mengenai apa Sdr. Suchamada?
Alasan anda yang berkesan bahwa kita tidak boleh menyatakan bodoh untuk sebuah pernyataan dengan alasan kenisbian, hanyalah alasan yang mengada-ada, dan merupakan penghindaran masalah, sikap pasrah karena tidak adanya alasan/jawaban lain. Saya rasa anda tidak memiliki jawaban real dari masalah ini.
Kita boleh mengetahui, memahami pencerapan orang lain tetapi bukan berarti diam seribu bahasa jika pencerapannya itu salah, tidak beralasan pada pengetahuan, pemahaman Dhamma (makanya disebut bodoh). Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa jika ada ajaran yang tidak sesuai dengan Dhamma (Dharma, jika anda tidak suka karena bersifat sektarian), maka nyatakanlah bahwa hal itu tidak sesuai Dharma. Sang Buddha pun pernah menyatakan seseorang itu bodoh, tapi akhirnya setelah menyadari kebodohannya ia menjadi Arahat. Jika tidak, orang tersebut tidak tahu dimana kebodohannya. Saya tidak berusaha menerapkan kasus kedua dimana Sang Buddha mencerahkan seseorang, tapi saya lebih menerapkan ajaranNya untuk menyatakan sesuatu itu sesuai Dharma atau tidak dengan alasan-alasan yang telah saya sampaikan.
Saya tidak membenarkan ucapan dia, tapi saya mengkritik sikap anda yang arogan dan sektarian.
Ketika saya membaca tulisan anda mengenai kenisbian, saya pikir anda tahu mengenai kenisbian. Tapi ketika anda mengkritik saya dengan mengatakan sikap saya arogan dan sektarian, muncul pertanyaan, pahamkah anda mengenai kenisbian? Dan dikaitkan dengan kenisbian, siapakah yang arogan dan sektarian di sini? Anda atau saya?
Sdr. Suchamada, saya sendiri tidak melihat alasan anda mengapa anda tidak menerima bahwa bhiksu harus menikah, anda hanya menyatakan tidak sependapat, tidak membenarkan, tetapi tidak menyatakan alasannya. Secara halus anda beranggapan bahwa andalah yang Benar dan pernyataan tersebut Salah. Jadi apa bedanya dengan menyatakan sebagai “pernyataan yang bodoh”? Bedanya adalah anda tidak beralasan, sedangkan saya beralasan. Dan disini pulalah perbedaan antara arogan dengan tidak arogan, yaitu tanpa alasan, dengan beralasan yang tepat, benar dan berdasarkan pada pengetahuan. Inilah perbedaan antara anda dan saya.
Nah, Sdr. Suchamada, daripada anda berbicara mengenai kenisbian, mengatakan saya arogan dan sektarian, menurut anda apakah pernyataan tersebut adalah hal yang bodoh atau tidak? Apa alasan anda jika pernyataan itu tidak bodoh atau bodoh? Tidak benar atau benar?
Btw. Saya harap anda tidak tertular suspicious syndrome sektarian.
Baik dan buruk itu pun relatif. Belajar Dhamma harus bisa melampaui itu. Bukan berarti saya menisbikan tatanan tradisi dan dogmatika.
Sdr. Suchamada, belajar Dhamma memang
diharapkan bisa melampaui diskriminasi pikiran, tetapi bukan berarti mengalami syndrome anti-baik & buruk dan berbicara di awang-awang. Belajar membedakan baik dan buruk dalam perspektif Dhamma adalah awal dari melampaui diskriminasi pikiran. Jika kita tidak tahu benar dan salah bagaimana kita bisa belajar melampaui sesuatu yang kita tidak tahu?
Ini sudah OOT dari permasalahan tradisi yang baik dan yang buruk, saya tidak berkomentar lagi mengenai pembahasan baik-buruk yang dibahas dalam konteks diawang-awang. Maaf.
Tapi saya melihat anda parsial.
Itu menurut anda dan ini sifatnya nisbi. Anda tidak memiliki alasan tepat untuk itu, Sdr. Suchamada.
Menurut saya, orang yang beraspirasi mencapai kesucian memiliki jalannya masing-masing. Dan kehidupan rumah tangga bukan penghalang untuk mencapai itu.
Jika demikian Sdr. Suchamada, maka akan muncul seruan:
“teman-teman jika anda beraspirasi mencapai kesucian lalui dengan cara anda masing-masing, silahkan teruskan membunuh jika anda suka membunuh, silahkan teruskan korupsi jika anda suka korupsi, silahkan anda mabuk-mabukan bagi yang suka mabuk, karena ini adalah jalan anda, karena orang yang beraspirasi mencapai kesucian memiliki jalan masing-masing untuk mencapai.”
(semoga tidak ada yang mengiyakan seruan ini - don try this at home!)
Sdr. Suchamada, orang yang beraspirasi mencapai kesucian belumlah tentu seorang yang benar-benar suci, oleh karena itu ia masih bisa melakukan kesalahan, kebodohan yang merugikan. Jadi perlu adanya kalyanamitta yang memberitahukan apa yang salah dan benar, apakah yang ia nyatakan adalah kebodohan atau tidak. Bukankah dengan menjadi kalyanamitta dengan memberitahukan benar-salah, baik-buruk, bodoh-bijak (tentu saja dengan alasan yang benar dan tepat) juga termasuk dalam semangat bodhisattva? Jika tidak memberitahukan hal-hal itu, bisakah seseorang disebut kalyanamitta dan bisakah disebut memiliki semangat bodhisattva?
Dengan segala alasan ini Sdr. Suchamada, semoga anda memahami mengapa saya bersikap tegas yang bagi anda sikap saya ini adalah arogan.