betul...
tetapi ketika kita 'diserang' merka menggunakan hal" tersebut, apakah kita bisa menjawabnya dengan, "keindahan Buddhisme bukan pada buku" ?
seperti misalnya:
ketika lahir Siddharta sudah bisa berjalan tujuh langkah, keluar teratai ditiap bekas langkahnya dan Siddharta sudah bisa berbicara "inilah kelahiranku yang terakhir... dst" ?
Banyak diantara kejadian2 penting dalam kehidupan Sang Buddha di bumbui legenda yang bermaksud untuk mempertegas dan mengambil makna yang lebih mendalam dari kejadian itu diantaranya Demikianlah yang saya pernah baca :
Khotbah NIlai-nilai Indah dan Mempesonakan (Acchariyabbhutadhamma Sutta) bercerita bahwa ketika Pangeran Siddharta dilahirkan, dia melangkah 7 langkah, dan setelah melihat ke empat penjuru, berkata : Sayalah pemimpin dunia ini; sayalah yang terbaik di dunia ini; sayalah tertua di dunia ini." Lalu atas pengaruh tradisi yang berkembang, kemudian di tambahkan, bahwa dari setiap jejak kaki sang Pangeran tumbuh bunga teratai indah. Mudah dimengerti, bahwa cerita ini tumbuh, demi menekankan makna spiritual kelahiran Sang Pangeran. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana.
Sang Buddha memperingati Siswa2nya agar membedakan kenyataan dengan legenda agar bisa menuntun ke pengertian benar dari ke dua nilai itu :
Ada dua macam orang yang salah menanggapai Tathagata apa dua itu? Dia yang menanggapi khotbah dari makna yang tidak langsung sebagai khotbah dari makna yang langsung, dan dia yang menanggapi khotbah dari makna langsung sebagai khotbah dari makna yang tidak langsung.(Anguttara Nikaya 1:59)
jangan semata-mata mempercayai meskipun
suatu hal tercantum dalam kitab-kitab suci, jangan semata-mata mempercayai meskipun suatu hal disampaikan oleh
tokoh-tokoh agama ternama, tetapi suku Kalama,
seandainya kalian sendiri telah menyadarinya, merenungkannya, berdasarkan akal sehat dan pengalaman sendiri,
bahwa sesuatu hal itu memang patut diterima atau dipercayai, mengandung kebenaran, menuju kebahagiaan,
maka sudah selayaknya, suku Kalama, untuk menerima, dan hidup berdasarkan hal-hal tersebut.
(Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 3.65)